BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN"

Transkripsi

1 BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN Diskursus dan praktik potensi golongan miskin mengoperasikan kekuasaan untuk membuka berbagai akses guna memunculkan tubuh-tubuh miskin. Aksesakses tersebut menjadi modal bagi tubuh miskin untuk menunjukkan potensinya. Mekanisme pembalikan pemikiran dilakukan akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam diskursus dan praktik ini. Pertama, tubuh-tubuh miskin tidak ditenggelamkan dalam penghitungan statistika maupun persangkaan budaya, melainkan justru diajak untuk muncul bersama pendamping. Dalam arena proyek penanggulangan kemiskinan, golongan miskin muncul dalam menentukan subyek kemiskinan sendiri. Kedua, tubuh-tubuh miskin tidak dicurigai, sebaliknya dipercaya untuk memecahkan persoalannya sendiri. Interaksi dalam kelompok mengarahkan munculnya kekuasaan yang menguatkan solidaritas sosial, dan diarahkan untuk mencapai kemandirian golongan miskin itu sendiri. Ketiga, golongan miskin tidak dipandang sebagai Si Lain (Other) melainkan menjadi subyek kemiskinan sendiri, yang biasa disebut sebagai orang dalam. Pe-Lain-an justru diterapkan kepada pihak-pihak di luar golongan miskin, sehingga berkonsekuensi pada tugas orang luar untuk mendekati golongan miskin tersebut bukan tugas golongan miskin untuk beradaptasi dengan orang luar. Orang luar menjadi diperlukan (penyuluh, pendamping) agar bersamasama mewujudkan potensi golongan miskin menjadi kekuatan/kekuasaan nyata. Potensi hendak dikembangkan setinggi-tingginya, baik dari level individual, kelompok, hingga gabungan kelompok (pada pemikiran peningkatan kapasitas petani, nelayan dan koperasinya), pada level lokal, regional, nasional dan internasional (dalam kegiatan kredit mikro). Diskursus ini memang berkembang melalui seminar dan penerbitan ilmiah, serta jaringan ilmuwan dan aktivis lokal hingga global. Kekuasaan lebih utama dioperasikan sebagai kekuatan untuk meningkatkan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial bukan terutama untuk mendominasi pihak lain. Masyarakat sendiri dipandang terstruktur secara

2 128 hierarkis. Golongan miskin ditentukan pada lapisan terbawah dari masyarakat tersebut. Kekuasaan untuk meningkatkan solidaritas beroperasi ketika agensi dalam struktur tersebut memiliki kemampuan untuk bergerak antar lapisan sosial. Dibandingkan dengan konsep orang miskin, lebih dikenal konsep golongan miskin, golongan lemah, golongan terbawah dari masyarakat. Subyek kemiskinan mencakup lapisan terbawah dari masyarakat, yang dapat berupa petani berlahan sempit, buruh tani, buruh industri kecil, pengangguran. Namun demikian, karena seringkali menggunakan data individu miskin, dapat diperkirakan bahwa diskursus dan praktik potensi golongan miskin diterapkan pada 13 persen atau 31 juta penduduk miskin di Indonesia. Penyebab jatuhnya mereka pada posisi terbawah ialah ketidaksamaan sosial (social inequality) yang bersumber dari ketidaksamaan akses terhadap berbagai aspek pola nafkah. Tubuh-tubuh tersebut bukanlah miskin dalam makna tidak memiliki barang dan jasa (the have nots), namun disebabkan oleh akses kepada penghidupan yang tidak merata dalam masyarakatnya. Mempercayai Tubuh Miskin Sejarah pemikiran tentang potensi orang miskin menempati posisi penting, karena selama lebih dari dua dekade dikembangkan (1970-an hingga 1980-an) sebelum dioperasikan dalam arena program pemberdayaan masyarakat pada waktu berikutnya (melalui Program IDT/Inpres Desa Tertinggal yang dimulai tahun 1993). Adapun predisposisi yang dikembangkan berupa pemikiran dikotomis berakses-nirakses, dan solidaritas-persaingan (Gambar 11). Diskursus potensi golongan miskin mendeteksi tubuh miskin pada golongan terlemah dalam masyarakat (Sajogyo 1977: 10-17). Tubuh golongan miskin bukan menunjukkan ketiadaan, melainkan masih meninggalkan jejak kepemilikan potensi untuk mandiri. Kemiskinan mereka dimaknai sebagai ketidaksamaan atau kesenjangan (inequality) dari golongan di atasnya (Sajogyo 2006: ). Kesenjangan sosial tersebut menghambat potensi mereka, karena ketiadaan akses untuk berkembang. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan

3 129 kemiskinan diarahkan untuk memeratakan akses bagi tubuh-tubuh golongan miskin (Supriatna 1997: 24-25). Berakses Solidaritas Kelompok Persaingan Individualistik Nirakses Gambar 11. Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin Potensi kemandirian muncul karena dalam tubuh golongan miskin terkandung struktur pengetahuan tersendiri, mampu mengakumulasi pengetahuan, terutama perihal mekanisme menjadi miskin dan untuk lepas dari kemiskinan. Konsekuensinya, tubuh golongan miskin dapat dipercaya untuk mengkaji dan memahami kemiskinan di sekelilingnya serta memahami mekanisme untuk lepas dari kemiskinan. Mubyarto (1997: 3) mempraktikkannya dalam Program IDT. Filsafat yang mendasari pendekatan Program IDT adalah mempercayai penduduk miskin, bahwa apabila dibantu secara tepat mereka akan dapat "mengentaskan diri" dari kemiskinan yang mereka alami. Maka Program IDT ditekankan sebagai program pemberdayaan yang diarahkan pada upaya-upaya memperkuat dan memampukan usaha-usaha ekonomi rakyat dalam mencapai kemandirian. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi dan sekaligus pemasaran, terutama yang sumberdayanya tersedia setempat dan dikerjakan oleh rakyat secara swadaya. Kepercayaan kepada tubuh golongan miskin diwujudkan dengan membuka akses partisipasi mereka dalam kegiatan dan program penanggulangan kemiskinan. Dalam proses partisipasi tersebut, berbagai posisi sosial yang berbeda

4 130 hierarkinya diharapkan saling bekerjasama. Tindakan kerjasama ini mencipta solidaritas antar posisi sosial. Bagaimanapun kunci keberhasilan program-program penanggulangan kemiskinan adalah pada sikap keberpihakan aparat pemerintah atau birokrasi pada ekonomi rakyat dan penduduk miskin yang terlibat di dalamnya. Meningkatkan kepedulian, keberpihakan, dan komitmen warga yang tidak miskin terhadap warga yang masih hidup serba kekurangan hendaknya terus menerus kita dorong (Mubyarto 1997: 20). Berkaitan dengan hubungan antar pihak, dalam diskursus ini dioperasikan praktik metode partisipatoris, atau kadang-kadang dinyatakan sebagai metode partisipatif. Metode ini menyalurkan kekuasaan untuk menghubungkan berbagai pihak yang berbeda posisi sosial, sehingga sekaligus mengembangkan solidaritas antar pihak. Dalam metode partisipatoris berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda saling berinteraksi sampai menghasilkan keputusan bersama. Warga desa turut berpartisipasi dalam menganalisis kondisi lingkungan mereka sendiri, dengan cara menyumbang gagasan dan kritik (Mubyarto 1996: 8). Metode lainnya ialah belajar dan bertindak bersama (Participatory Learning and Action). Dalam metode ini warga miskin dipandang kreatif dan mampu menganalisis serta merencanakan hidupnya sendiri (Mubyarto 1996: 7). Orang luar hanyalah berperan sebagai penyelenggara, katalis, atau pemelancar. Metode kajian bersama (co-operative inquiry) juga bersesuaian dengan diskursus ini, karena memandang setiap pribadi memiliki kemampuan untuk bertingkah laku mandiri (Mubyarto 1996: 7). Oleh sebab itu setiap pihak yang terlibat dalam kajian bersama dipandang sama-sama sebagai peneliti. Sumber pengetahuan dan instrumennya ialah semua pihak yang terlibat langsung. Secara spesifik, pengetahuan tersebut diperoleh dari tatap muka, hasil praktik, pengalaman, dan yang dipresentasikan. Secara rinci metode partisipatoris sebagai proses pengembangan solidaritas antar pihak dilaporkan Sajogyo (1997: ). kajian bersama telah menghasilkan kesadaran bersama yang semakin kuat akan pentingnya kebersamaan dalam mencari cara dan pendekatan yang lebih sesuai maksud pemberdayaan penduduk dalam menanggulangi kemiskinan.

5 131 kajian bersama mencairkan kekakuan komunikasi dan hubungan antarunsur penggerak pembangunan. metode ini memiliki dayaguna praktis dalam proses pengembagan program-program yang melibatkan banyak pihak kajian terbuka semacam ini jarang atau belum pernah dilaksanakan dalam pengembangan suatu program. Metode kajian bersama dianggap mampu untuk membangun suatu jembatan yang kukuh bagi tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan lembaga sukarela (LSM) yang masing-masing mempunyai pijakan berbeda dalam memecahkan persoalan pengembangan masyarakat. komunikasi yang lebih intensif antartiga pihak menjadi suatu tuntutan di masa depan untuk menemukan pola-pola hubungan yang lebih efektif dan lebih efisien dalam mencapai tujuan bersama, suatu masyarakat yang adil dan makmur. Agensi dari lapisan atas yang telah mengembangkan diskursus potensi orang miskin terutama akademisi, yang memiliki pemikiran alternatif untuk pembangunan, seperti pembangunan alternatif, pembangunan partisipatoris, model kebutuhan manusia. Di samping percaya kepada orang miskin dan mengakui solidaritas lintas lapisan sosial, penganut diskursus ini mendeteksi kekuasaan dalam memeratakan hasil pembangunan sebagai mekanisme penting untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerataan sempat terumuskan dalam kerangka delapan jalur pemerataan plus empat jalur tambahan. Dua jalur pembuka pemerataan ialah peluang berusaha dan peluang bekerja. Keduanya menentukan tingkat pendapatan (pengusaha, buruh beserta rumahtangga tanggungan), tingkat pangan, sandang, perumahan, serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang pelayanannya terjangkau. Tiga jalur pemerataan lainnya dimatrikskan dengan kelima jalur terdahulu, yaitu meliputi jalur peranserta, jalur pemerataan antardaerah kota dan desa, serta kesamaan dalam hukum. Empat jalur tambahan yang perlu diwujudkan terlebih dahulu berupa pemerataan pola penguasaan tanah, pola penyediaan modal usaha bagi masyarakat, pola komunikasi pengetahuan baru bagi pengusaha dan buruh, serta pola penyediaan input baru untuk usaha yang makin banyak berasal dari luar desa. (Sajogyo 2006: ), Telah dikembangkan pula pemikiran moral ekonomi Pancasila (Mubyarto 1987: 53). Sistem ekonomi ini bercirikan penggerak perekonomian berupa rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Penggerak lainnya ialah kehendak untuk

6 132 pemerataan sosial sesuai asas kemanusiaan. Kebijakan ekonomi diprioritaskan kepada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh atau nasionalisme ekonomi. Dalam kaitan ini, koperasi dipandang sebagai soko guru perekonomian yang kongkrit. Untuk mengembangkan keadilan sosial, diperlukan pula imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan daerah. Setelah krisis moneter, Mubyarto juga mengembangkan konsep ekonomi kerakyatan. Konsep ini mencakup sistem perekonomian tradisional yang telah dikerjakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun (Mubyarto 1996: 46). Sistem ini bercirikan penggunakan teknologi sederhana dengan pemanfaatan tenaga kerja dari dalam keluarga. Segala aspek di dalamnya tidak dilihat sebagai keterbelakangan, melainkan sebagai strategi lokal untuk mengatasi masalah setempat. Agensi lain dari lapisan atas yang berperan penting dalam diskursus ini ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Identitas swadaya dalam organisasi ini lebih menunjukkan kemandirian, sambil menurunkan identitas sebagai organisasi kontra pemerintah (Ismawan 1996: 49-53). Sebagian akademisi sekaligus menjadi aktivis LSM, yang berarti sekaligus memerankan penyusunan pengetahuan formal kemiskinan dan praktik penanggulangannya. Predisposisi pemerataan akses dapat menjadi dorongan bagi praktik pemberdayaan, seperti pemberian fasilitas, pelatihan penggunaannya, dan penyusunan pengetahuan bersama-sama antara pihak luar dan golongan miskin. Pemberdayaan menjadi saluran untuk meningkatkan akses berbagai aspek produktif bagi golongan miskin. Dalam pemberdayaan, tubuh miskin diakui rasionalitasnya, kebijakan lokalnya, apresiasinya terhadap alam, dan perilaku mereka lainnya (Mubyarto 1996: 7-8). Orang luar justru belajar untuk menghargai hal itu, sehingga diharapkan untuk berdialog serta tidak bertindak tergesa-gesa dan menggurui. Meskipun diyakini munculnya peluang solidaritas untuk menghubungkan berbagai posisi sosial, disadari pula persoalan interaksional antara orang luar dan orang dalam (Siregar 2001: ). Berorientasi pada golongan miskin, identitas mereka didefinisikan sebagai orang dalam. Kerjasama dari orang luar bertujuan memunculkan penyadaran dan rasa kepemilikan orang dalam terhadap

7 133 masukan kegiatan dan program dari luar (Mubyarto 1995: 18-22). Dengan kata lain, interaksi sosial tersebut diarahkan pada proses sosial berupa kerjasama, dan pelembagaan (institutionalization) sampai masukan dari luar dirasakan sebagai milik tubuh golongan miskin. Siregar (2001: ) menuliskan pengalamannya. pendampingan merupakan ruang dialog antara dua ranah budaya yang saling membuka diri untuk berubah, saling berbagi, dan saling mempengaruhi, yaitu antara OL (Orang Luar) dan OD (Orang Dalam). Pengertian saling-berubah di situ tidaklah terbatas pada perubahan gagasan (teori dan kebijakan), melainkan juga cara pandang dan watak kami sebagai OL terhadap beragam gejala dan fakta.. Akhirnya, kami menyadari bahwa lebih dari apapun, kesuksesan menjalin pertemanan dengan OD lebih banyak ditentukan oleh kesediaan kami belajar mempraktikkan, melakoni, menghayati, dan menikmati proses belajar dan bertindak bersama masyarakat. Kami lebih banyak menerima ketimbang memberi. Pada golongan miskin sendiri dikembangkan proses kerjasama atau solidaritas, dalam bentuk pembentukan kelompok. Melalui proses sosial tersebut anggota yang lebih mampu dapat membantu anggota yang lebih kekurangan (Mubyarto 1995: 11). Kelompok menjadi atribut penting bagi tubuh golongan miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak hanya diarahkan untuk memandirikan tubuh golongan miskin, namun juga pada kelompok golongan miskin (Sajogyo 1997: ). Dalam berinteraksi dengan kelompok tubuh miskin sehari-hari, orang luar berperan sebagai pendamping kelompok. Pada saat interaksi dalam kelompok lemah atau tanpa kegiatan, pendamping merangsang tubuh-tubuh miskin untuk menciptakan kegiatan sendiri. Pada saat anggota kelompok telah aktif menjalankan kegiatannya, pendamping menyediakan akses kepada peningkatan kemampuan modal ekonomi, pengetahuan, ketrampilan. Pendamping menjadi mitra kerja kelompok tersebut, sehingga pendampingan dinilai sebagai profesi yang berlangsung secara berkelanjutan, dan dapat diarahkan menjadi pendampingan yang mandiri. Pendamping tidak dipandang sebagai unsur yang terpisah dari program penanggulangan kemiskinan, melainkan integral yang hidup

8 134 dari mekanisme hubungan dengan kelompok masyarakat yang didampinginya (Sajogyo 1997: 13). Dengan melekatnya pendamping, maka kelompok tidak harus mulai dikembagkan dari anggota yang sudah mampu. Pendamping justru berperan menyesuaikan persyaratan arena kelompok dengan habitus anggota, atau melatih anggota sehingga habitusnya sesuai dengan arena kelompok. Peran minimal dari pendamping ialah memastikan komponen program (pengembangan kelompok masyarakat, penyaluran dana) tetap lestari dan, bila memungkinkan, berkembang lebih lanjut. Keberlanjutan tersebut mencakup kelembagaan dan administrasi kelompok yang meningkat, serta peningkatan jumlah dana yang dikelola. Hal ini disampaikan Sajogyo (1997: ). Dalam rangka Microcredit Summit di Washington pada tanggal 2 s.d. 4 Februari 1997, yang hendak mengentaskan 100 juta keluarga dari kemiskinan pada tahun 2005, Indonesia mentargetkan untuk mengentaskan tujuh juta keluarga atau sekitar 28 juta orang miskin. Melalui pendekatan kelompok dan pengembangan kelembagaan pendampingan, program penanggulangan kemiskinan tujuh juta keluarga miskin itu berarti akan membentuk sekitar pokmas, melibatkan tenaga pendamping, koordinator kecamatan dan tenaga administrasi dan tergabung dalam Lembaga Pendamping Kelompok (LPK). Untuk mengoperasikan LPK itu dibutuhkan dana Rp 138 miliar per tahun (2.240 x Rp ) Jumlah tersebut masih perlu ditambah dengan biaya-biaya penyiapan bagi pembentukan atau pengembangan LPK di seluruh Indonesia sebesar kurang lebih Rp 12 miliar. Sementara itu, dana yang harus dimobilisasi untuk kepentingan pengembangan usaha adalah Rp 1,225 triliun per tahun atau kurang lebih Rp 6 triliun selama lima tahun. Dari jumlah biaya sebesar Rp 138 miliar rupiah, diasumsikan akan memerlukan 5 tahun untuk mencapai tingkat keuntungan, dengan rincian kemampuan pembiayaan (cost recovery) sebagai berikut: - Tahun I mampu membiayai : 10% - Tahun II mampu membiayai : 20% - Tahun III mampu membiayai : 40% - Tahun IV mampu membiayai : 60% - Tahun V mampu membiayai : 80% - Tahun VI mampu membiayai : 120% (untung)

9 135 Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan Setelah melalui kajian akademis sejak tahun 1970-an, dan pendampingan melalui LSM sejak 1980-an, mulai tahun 1993 diselenggarakan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Mubyarto, akademisi penganut diskursus potensi golongan miskin mengembangkan desain program IDT tersebut. Berkompromi dengan aparat pemerintah, konsep kelompok swadaya masyarakat (KSM) diputuskan menjadi kelompok masyarakat (pokmas). Penghilangan konsep swadaya dipandang sebagai pelarangan pembangunan yang sepenuhnya bottom-up (Sajogyo 1997: 13, ). Sampai mana upaya sejumlah LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang tahun 1993 itu menunjukkan kepedulian berhasil "menjual" konsep dana bergulir dalam kelompok pada pemerintah dalam rangka "peningkatan penanggulangan kemiskinan" (istilah di buku Repelita waktu itu)? Singkat saja: LPSM secara resmi tak pernah dimintai bantuannya, dari mulai awal penggodokan konsep program maupun dalam pelaksanaannya di daerah. Di dalam program IDT yang dimulai tahun 1994 pemerintah pusat memberi kepercayaan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sesuai undangundang berlaku maupun kebijakan sentralistik sama sekali tanpa menyebut peranan LPSM. Di pusat pemeran utama adalah Bappenas dan Departemen Dalam Negeri, Dirjen PMD khususnya. Bahkan pemerintah menunjukkan kelainannya dalam hal penamaan kelompok dibentuk keluarga miskin yang menerima dana bergulir itu. Nama yang diacu LPSM adalah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), tapi yang dipakai oleh Program IDT adalah pokmas, yaitu Kelompok Masyarakat, tanpa kata "swadaya": gambaran sikap "jangan pakai nama dari kamus LPSM"? (Sajogyo 2006: 179). Program ini melakukan berbagai pembalikan pemikiran utama pada masanya. Tubuh miskin yang sebelumnya dimaknai secara negatif kini diberi kepercayaan penuh, sejak penentuan siapa sajakah orang miskin di wilayahnya, turut serta dalam perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan secara mandiri, hingga mengevaluasi hasil kegiatan (Bappenas Tt: ii). Dibandingkan dengan nilai dana bantuan desa tahunan saat itu sebesar sekitar Rp 6 juta, nilai program IDT

10 136 sebesar Rp 20 juta per desa berarti bernilai tiga kali lipat. Dana yang dinilai sangat besar itu sepenuhnya dikelola pokmas yang berisikan tubuh-tubuh miskin. Setiap pokmas mendapatkan sejumlah dana, biasanya senilai Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta per anggota, dan satu kelompok beranggotakan maksimal 20 orang. Dalam satu desa dapat terbentuk banyak pokmas. Setelah tahun pertama, dana pengembalian dari anggota digulirkan kepada anggota lainnya, atau digulirkan kepada pokmas lainnya. Untuk menciptakan solidaritas di antara anggotanya, diciptakan aturan tanggung renteng, di mana kesulitan pengembalian oleh satu anggota turut ditanggung bersama anggota lainnya. Di samping partisipasi tubuh miskin untuk menentukan warga desa lain yang setara dengannya, di tingkat nasional kemiskinan dipatok menurut garis kemiskinan. Di Indonesia, Sajogyo (1988: 1-14; 2006: ) mula-mula mengembangkan garis kemiskinan untuk menentukan jumlah individu miskin sejak tahun 1977, sebelum akhirnya pemerintah secara resmi menggunakan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun Garis kemiskinan Sajogyo dan BPS sama-sama disusun menurut nilai gizi minimal setara Kkal per orang dalam sehari, namun demikian terdapat perbedaan rincian dalam penyusunannya. Menurut Sajogyo (1988: 1-14), pada saat diterapkan pada masyarakat simpangan datanya menurun hingga dua deviasi standard, sehingga masih bisa ditoleransi hingga Kkal per orang-hari. Adapun proses pengumpulan data gizi dengan menggunakan pendekatan ingatan (recall) seringkali terlapor lebih rendah (under reporting) hingga 20 persen. Atas dasar pengalaman ini, maka garis kemiskinan terbawah dapat ditoleransi hingga Kkal per orang-hari. Untuk menghasilkan pengukuran yang lebih realistis, sesuai peluang keragaman kemiskinan antar daerah, Sajogyo menyusun garis kemiskinan lebih dari satu agar kian tajam mengukur kemajuan golongan bawah. Dirumuskannya garis melarat (destitute), miskin sekali (very poor), dan miskin (poor). Berdasarkan nilai tukar beras, dibedakan pula garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan. Di desa dipancang garis 180 kg, 240 kg, dan 320 kg setara beras per orang-tahun. Untuk kota nilainya 270 kg, 360 kg, dan 480 kg setara beras per orang-tahun. Demi kepraktisan, nilai rupiah bagi kalori lalu dipertukarkan dengan

11 137 nilai beras. Beras mudah dipahami sebagai sumber kalori dan harganya tidak fluktuatif. Sejak awal penentuan desa tertinggal untuk menjaring tubuh-tubuh golongan miskin dipertanyakan. Tidak terdapat korelasi yang kuat antara lokasi tertinggal dan permukiman golongan miskin (Sarman 1997: 33-42). Sesuai dengan data kemiskinan dari BPS, jumlah tubuh orang miskin dalam satu provinsi atau satu kabupaten diprediksi melalui Survai Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), bukan berupa sensus. Desa tertinggal, sementara itu, ditentukan dari susunan variabel sensus Potensi Desa (Podes). Sebagai ganti kesulitan menentukan jumlah orang miskin dalam satu desa melalui Susenas dan sesuai dengan orientasi kepercayaan kepada golongan miskin tubuh-tubuh miskin di tiap desa akhirnya ditentukan oleh warga desa sendiri (Mubyarto 1997: 3). Tubuh miskin juga dipercaya untuk membentuk kelompok masyarakat (pokmas) sendiri. Dalam salah satu survai untuk mengevaluasi pokmas IDT, diketahui bahwa hanya seper tiga pokmas tersebut mandiri (Sajogyo 1997: 13, ). Yang menarik, selain ditemukan pokmas yang telah mandiri, juga ditemukan tubuh anggota pokmas yang telah melepaskan identitas miskin dan sedang berkembang lebih lanjut. Sayangnya, Program IDT tidak mengantisipasi tubuh usahawan baru hasil berkelompok, namun me-lain-kannya dengan sekedar mengeluarkannya dari pokmas asal. Tidak tersusun rencana pendampingan lebih lanjut untuk anggota pokmas yang telah mandiri, atau pengembangan jaringan permodalannya dengan perbankan. Berbeda dari tataran diskursus yang berminat mengembangkan potensi golongan miskin setinggi-tingginya, ternyata tataran arena program penanggulangan kemiskinan telah membatasi diri pada pengembangan potensi sekedar sampai keluar dari kemiskinan. Kejanggalan muncul saat metode penanggulangan kemiskinan yang memerlukan kemitraan dari seluruh pihak di lokasi tertentu ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pendamping dalam program IDT mampu bermitra dengan tubuh miskin. Akan tetapi kemitraan sulit dijalin bersama pemerintah daerah, swasta dan LSM. Hal ini tecermin dalam kajian bersama Program IDT (Mubyarto 1996: 26).

12 138 Di sebagian pertemuan sarasehan keterpaduan PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang diadakan atas usulan Tim Jisam (Kajian Bersama) P3R-YAE, di tingkat I maupun di tingkat II, diperoleh sejumlah apresiasi atas pendekatan (metode) diskusi kajian bersama yang terarah (terfokus), dalam situasi duduk sama rendah berdiri sama tinggi itu di antara peserta diskusi. Disayangkan, tidak seluruh peserta pada diskusi awal (arus turun) dapat berperan serta pada diskusi kedua (arus naik) ketika Tim Jisam Pusat P3R-YAE membawakan hasil jisam dari desa dan kecamatan kasus, sehingga dampak kumulatif tak sepenuhnya tercapai. Begitu pula ketidakhadiran unsur swasta (pengusaha) dan unsur LSM/Ormas sebagai peserta diskusi jisam dirasakan sebagai suatu kekurangan dalam proses menyertakan seluas mungkin unsur-unsur yang kepeduliannya sangat diharapkan, baik di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan maupun tingkat desa kasus. Pemrograman menuju pendamping mandiri juga praktis berhenti. Hingga saat ini dapat dijumpai tubuh-tubuh pendamping di tingkat kecamatan hingga provinsi yang semula dilekati label pendamping IDT. Akan tetapi upaya pengembangan profesi berlangsung secara individual, tidak terencana dalam suatu program penanggulangan kemiskinan. Menurunnya diskursus potensi golongan miskin dalam program nasional penanggulangan kemiskinan masa kini telah menenggelamkan pernyataan-pernyataan kemandirian pendamping. Ikhtisar Dengan mempercayai potensi tubuh miskin untuk berkembang menuju kemandiriannya, diskursus potensi golongan miskin memunculkan mereka, lallu pendamping mengajaknya mengembangkan kekuasaan melalui kelompok dan usaha ekonomis. Kekuasaan beroperasi melalui aktivitas pemerataan akses modal usaha, akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Dalam konteks demikian, tubuh miskin menjadi orang dalam sementara pendamping dan pihak lain berposisi sebagai orang luar. Hubungan keduanya mengoperasikan kekuasaan untuk menciptakan permukaan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial. Pada bab berikutnya hendak dikemukakan diskursus dan praktik kemiskinan produksi. Menggunakan arena yang serupa dengan praktik potensi golongan miskin meskipun saling dimanipulasi ada baiknya dikemukakan

13 139 pembedaan, di mana diskursus potensi golongan miskin mengoperasikan kekuasaan dalam upaya memunculkan tubuh miskin terus menerus, sementara diskursus kemiskinan produksi menenggelamkan kembali tubuh miskin dalam mekanisme arena birokrasi ciptaan lapisan atas.

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan

Lebih terperinci

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak berdayaan. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi kehilangan terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan harus memperhatikan segala sumber-sumber daya ekonomi sebagai potensi yang dimiliki daerahnya, seperti

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 53 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa indikator ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa I. PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa indikator ekonomi makro

Lebih terperinci

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH 3.1. Visi Berdasarkan kondisi masyarakat dan modal dasar Kabupaten Solok saat ini, serta tantangan yang dihadapi dalam 20 (dua puluh) tahun mendatang, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk miskin di Indonesia berjumlah 28,55 juta jiwa dan 17,92 juta jiwa diantaranya bermukim di perdesaan. Sebagian besar penduduk desa memiliki mata pencarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL

KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL Jakarta, 9 Maret 1994 KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENAGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL Pendahuluan Upaya

Lebih terperinci

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha I. Pendahuluan Situasi krisis yang berkepanjangan sejak akhir tahun 1997 hingga dewasa ini telah memperlihatkan bahwa pengembangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya berbagai macam masalah di dalam kehidupan masyarakat seperti terjadinya PHK pada buruh kontrak, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA SEMINAR INTERNASIONAL TEMU ILMIAH NASIONAL XV FOSSEI JOGJAKARTA, 4 MARET 2015 DR HANIBAL HAMIDI, M.Kes DIREKTUR PELAYANAN SOSIAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT MELALUI PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II

PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT MELALUI PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT MELALUI PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PENDAHULUAN Pembangunan nasional merupakan wahana bagi kita untuk membangun kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju

Lebih terperinci

Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Pendekatan Kultural Pendekatan Struktural Model Pendekatan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan 1. Pendekatan Kultural adalah program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan terencana dari satu situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik. Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

"Ojo Dumeh" Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa. Ivanovich Agusta

Ojo Dumeh Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa. Ivanovich Agusta "Ojo Dumeh" Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa Ivanovich Agusta Kegiatan peningkatan kapasitas perangkat desa menyisakan kekhawatiran dominasi birokrasi kepada warga. Kepala desa dan aparatnya mendominasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH PEDESAAN. Oleh: Drs. Suyoto, M.Si

ARTIKEL ILMIAH UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH PEDESAAN. Oleh: Drs. Suyoto, M.Si ARTIKEL ILMIAH UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH PEDESAAN Oleh: Drs. Suyoto, M.Si PROGRAM STUDI MANAJEMEN S1 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO JUNI, 2002 UPAYA PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah adalah merupakan suatu manifestasi yang diraih oleh masyarakat tersebut yang diperoleh dari berbagai upaya, termasuk

Lebih terperinci

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM A. Latar Belakang Dalam Strategi intervensi PNPM Mandiri Perkotaan untuk mendorong terjadinya proses transformasi sosial di masyarakat, dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya, mandiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai kemiskinan, konsep, dan asumsi yang dipakai. A. Pandangan Teoritis Mengenai Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA I. UMUM Hakikat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial budaya, politik, ekonomi serta pertumbuhan penduduk yang cukup cepat telah mempengaruhi tatanan nilai dan budaya suatu bangsa. Banyak permasalahan-permasalahan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 telah meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia, dari 25,9 juta (17,7%) pada tahun 1993 menjadi 129,6 juta atau 66,3% dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi masyarakat. Demikian

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan penanggulangan kemiskinan secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI KAJIAN

BAB III METODOLOGI KAJIAN BAB III METODOLOGI KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam menjalankan upaya penanggulangan kemiskinan di wilayah kerjanya, maka Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) membutuhkan suatu kerangka pelaksanaan program

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia menetap diperkotaan. Jumlah Desa di Indonesia. lebih 375 buah ( Rahardjo Adisasmita, 2006:1 ).

BAB 1. PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia menetap diperkotaan. Jumlah Desa di Indonesia. lebih 375 buah ( Rahardjo Adisasmita, 2006:1 ). BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekitar 65% jumlah penduduk Indonesia hidup di daerah pedesaan, sisanya 35% jumlah penduduk Indonesia menetap diperkotaan. Jumlah Desa di Indonesia mencapai sekitar

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI

EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan

TINJAUAN PUSTAKA. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) adalah Deklarasi Millennium hasil kesepakatan yang ditandatangani oleh kepala negara dan perwakilan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat perkembangan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat perkembangan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat perkembangan pembangunan yang telah dilakukan bangsa itu sendiri. Pembangunan merupakan proses perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa

Lebih terperinci

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA (2 SKS) POKOK BAHASAN 1 SISTEM-SISTEM EKONOMI

MODUL PEMBELAJARAN MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA (2 SKS) POKOK BAHASAN 1 SISTEM-SISTEM EKONOMI MODUL PEMBELAJARAN MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA (2 SKS) POKOK BAHASAN 1 SISTEM-SISTEM EKONOMI copyright 2016 Program Studi Akuntansi Universitas Pamulang, Tangerang Selatan. e-mail: dosen01066@unpam.ac.id

Lebih terperinci

2014 PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT.

2014 PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemiskinan merupakan masalah sosial yang saling berkaitan dengan faktor lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya. Kemiskinan bukan hanya menjadi masalah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA Kasus Kelompok Tani Karya Agung Desa Giriwinangun, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi NOVRI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri di Indonesia diarahkan untuk mampu. pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu jalan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri di Indonesia diarahkan untuk mampu. pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu jalan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan industri di Indonesia diarahkan untuk mampu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendasar, khususnya dalam memperluas kesempatan kerja,

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009)

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TKPKRI, 2008) didefinisikan sebagai suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Kemiskinan di Indonesa

Kemiskinan di Indonesa Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah kemiskinan masih tetap menjadi masalah fenomenal yang masih belum dapat terselesaikan hingga

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN I. UMUM 1. Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai bagian integral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, inflasi juga naik dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kemiskinan yang terjadi dalam suatu

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pedesaan merupakan suatu proses perubahan secara terus menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya

PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya 1 PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya Ir. Wiwik Widyo W., MT. Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP - ITATS Jl. Arief Rachman Hakim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk dapat memperbaiki tingkat kesejahteraannya dengan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan bakat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa transmigrasi merupakan bagian integral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

Desa Tertinggal dan Subsidi BBM. Oleh Ivanovich Agusta. PADA akhir tahun lalu berulang kali saya diberondong pertanyaan, setinggi apakah

Desa Tertinggal dan Subsidi BBM. Oleh Ivanovich Agusta. PADA akhir tahun lalu berulang kali saya diberondong pertanyaan, setinggi apakah Desa Tertinggal dan Subsidi BBM Oleh Ivanovich Agusta PADA akhir tahun lalu berulang kali saya diberondong pertanyaan, setinggi apakah ketertinggalan pedesaan di Indonesia. Ketika akhirnya daftar desa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkembangan era globalisasi yang terjadi saat ini telah berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkembangan era globalisasi yang terjadi saat ini telah berdampak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan era globalisasi yang terjadi saat ini telah berdampak pada perubahan lingkungan yang menyebabkan semakin ketatnya persaingan dalam dunia industri. Makin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih termasuk ke dalam kategori negara berkembang. Ilmu pengetahuan dan perekonomian menjadi tolak ukur global sejauh mana suatu negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan

Lebih terperinci

ditingkatkan dan disebarluaskan ke berbagai kota baik di perlu mengadakan usaha-usaha pembinaan yang aktif,

ditingkatkan dan disebarluaskan ke berbagai kota baik di perlu mengadakan usaha-usaha pembinaan yang aktif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan dari pemerintah pusat, khususnya program pembangunan dalam Pelita VI melalui Program Inpres Desa Tertinggal ( IDT ) ini semakin ditingkatkan

Lebih terperinci