BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Penelitian Sebelumnya II.1.1. Uji Hasil Klasifikasi Kelerengan DEM dan Kontur Salah satu penelitian sebelumnya yang membahas mengenai kelerengan dilakukan oleh USGS (United State Geological Survey) dalam acara URISA Caribbean GIS Conferrence pada bulan September Penelitian tersebut menggunakan sampel wilayah Grenada, di dekat laut Caribbean LU dan BB. Salah satu hal yang dibahas dalam penelitian adalah perbandingan hasil klasifikasi kelerengan antara kontur dengan selang kontur 10 meter, DEM ASTER GDEM versi 1, dan DEM SRTM 90m. Kotak berwarna kuning pada gambar II.1 di bawah ini merupakan lokasi area penelitiannya. Gambar II.1. Area penelitian kelerengan oleh USGS (Chirico, 2004) Dalam penelitian itu, didapatkan data kelerengan seperti yang ditunjukkan pada gambar II.2 di bawah ini. 8

2 Gambar II.2. Hasil penelitian klasifikasi kelerengan oleh USGS : A. Data kontur 10 meter, B. DEM ASTER GDEM versi 1, C. DEM SRTM 90 meter. (Chirico, 2004) Dari gambar II.2 tersebut diterangkan bahwa hasil klasifikasi kelerengan dari data kontur dapat mengklasifikasikan lebih detail, yaitu kelerengan 0-50, sedangkan hasil data DEM ASTER GDEM versi 1 hanya mencapai 0-30, dan DEM SRTM 90 meter tidak lebih dari 20. II.1.2. Penelitian Pengaruh Kelerengan Pada Perkebunan Tebu Pada tahun 2000 dilakukan analisis kesesuaian lahan bagi usaha pertanian tebu dan kedelai di wilayah kecamatan Kromengan, kabupaten Malang, provinsi Jawa Timur oleh Firman Darmawan dan Soemarno dari jurusan ilmu tanah, universitas Brawijaya, Malang. Penelitian tersebut menghasilkan data pengaruh kelerengan yang cukup besar terhadap tingkat kesesuaian lahan tanam tebu. Daerah penelitian merupakan dataran rendah dengan ketinggian tempat m di atas permukaan laut, dan memiliki landform datar hingga bergelombang dengan kemiringan berkisar antara 0-60%. Dari keseluruhan area, dilakukan uji kesesuaian lahan berdasarkan tingkat kelerengan 0-40% (SPL-1) dan 40-60% (SPL-2). Tabel II.1 di bawah ini merupakan tabel hasil analisis kesesuaian tingkat kelerengan untuk pertanian tebu. 9

3 Tabel II.1. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman tebu Kesesuaian Permukaan Lahan (s) SPL1 Kelas kesesuaian SPL2 Kelas kesesuaian Kemiringan (%) Tebu Tanaman Hutan atau Tahunan Sumber : Darmawan dan Soemarno, 2000 Analisis kesesuaian lahan pada tabel II.1. daerah SPL-1 menunjukkan tingkat sangat sesuai untuk penanaman tebu, sedangkan SPL-2 tidak sesuai untuk tanaman tebu, dan lebih sesuai untuk tanaman hutan. Seperti yang telah diketahui, bahwa lahan yang mempunyai kemiringan ekstrem (lebih dari 40%) sangat berpotensi untuk terjadi erosi. Adanya erosi yang tinggi akan mengurangi kesuburan dan kemantapan tanah sebagai penunjang pertumbuhan tanaman karena unsur-unsur hara maupun partikel-partikel tanah akan terlimpas oleh air bila terjadi hujan. II.2. Parameter Kelerengan dalam Penentuan Kesesuaian Lahan Pertanian Tebu II.2.1. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan penilaian dan pengelompokan suatu kawasan tertentu dari lahan dalam hubungannya dengan penggunaan yang dipertimbangkan (FAO, 1976 dalam Sitorus,1998 dalam Tanahjuang, 2012). Struktur dari kesesuaian lahan menurut metode FAO (1976) yang terdiri dari empat kategori yaitu : a. Ordo : menunjukkan jenis/macam kesesuaian atau keadaan kesesuaian secara umum. b. Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo. c. Sub-kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam kelas. d. Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan di dalam sub-kelas. 10

4 II Ordo Kesesuaian Lahan Tingkat ini menunjukkan apakah lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Oleh karena itu ordo kesesuaian lahan dibagi dua, yaitu : 1. Ordo S : Sesuai Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan. 2. Ordo N : Tidak Sesuai Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari. II Kelas Kesesuaian Lahan Ada tiga kelas dari ordo tanah yang sesuai dan dua kelas untuk ordo tidak sesuai, yaitu : 1. Kelas S1 : Sangat Sesuai Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari apa yang telah biasa diberikan. 2. Kelas S2: Cukup Sesuai Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan sehingga akan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S3: Sesuai Marjinal Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1 : Tidak Sesuai pada saat ini 11

5 Lahan yang mempunyai pembatas yang lebih berat, tetapi masih mungkin diatasi. 5. Kelas N2 : Tidak Sesuai selamanya Lahan yang mempunyai pembatas yang permanen, mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan. II.2.2. Kelas Kesesuaian Lahan Tanam Tebu Dalam proses penentuan kesesuaian area tanam, terdapat berbagai aspek yang harus diperhatikan, menurut litbang pertanian departemen pertanian diantaranya yaitu temperatur, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, gambut, retensi hara, toksisitas, sodisitas, bahaya sulfidik, bahaya erosi, bahaya banjir, dan penyiapan lahan. Aspek bahaya erosi, ditentukan berdasarkan parameter kelerengan. Hal tersebut juga berlaku untuk tanaman tebu, dimana syarat kesesuaian lahan tebu menurut departemen pertanian yaitu seperti pada tabel II.2 di bawah ini. Tabel II.2. Kesesuaian lahan tebu menurut departemen pertanian Persyaratan penggunaan/ Kelas kesesuaian lahan karakteristik lahan S1 S2 S3 N Bahaya erosi (eh) Lereng (%) < > 30 Bahaya erosi sangat rendah rendah - sedang berat sangat berat Sumber : Balitbangpar, 2008 II.3. Kelerengan Lereng merupakan permukaan bumi yang memiliki kemiringan seragam (Badan Informasi Geospasial, 2012). Kelerengan merupakan suatu ukuran tingkat kemiringan permukaan tanah. Kelerengan ditunjukkan dengan besarnya sudut kemiringan dalam persen (%) atau derajat ( ). Tingkat kelerengan sangat berpengaruh terhadap kondisi tanah di bawah permukaannya. Pada tingkat kelerengan yang tinggi, maka jumlah aliran permukaan, dan energi angkut air juga membesar. Hal ini disebabkan oleh gaya berat yang semakin besar, sejalan dengan 12

6 semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal. Dengan kata lain, lapisan tanah atas yang tererosi akan semakin banyak. Ketika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi kali lebih banyak (Arsyad, 2000). Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka adanya peta kelerengan akan membantu dalam proses perencanaan berbagai bidang, seperti area cocok tanam pada perkebunan, pembangunan jalan, gedung, dan sebagainya. Dalam rangka menjaga kualitas peta kelerengan, pada tahun 2012 Badan Informasi Geospasial (Kardono, 2012) melalui deputi informasi geospasial tematik pusat pemetaan dan integrasi tematik telah mengeluarkan SOP (standard operating procedures) pengolahan data untuk pemetaan kemiringan lereng nomor tahun Tabel II.3. di bawah ini merupakan sedikit kutipan isi dari SOP tersebut. Tabel II.3. Standard Operating Procedures pengolahan data untuk pemetaan kemiringan lereng BIG nomor tahun 2012 No Aktivitas Diagram Alir Output Keterangan 1 Menjelaskan teknis pengolahan data secara detail kepada tim teknis di bidang terkait Mulai 1 2 Membuat data DEM format grid berdasar sumber data yang telah dikumpulkan 2 Data DEM fotmat raster grid Resolusi spasial data raster yaitu 0,2 mm dari skala output yang dihasilkan 3 Melakukan perhitungan kemiringan lereng menggunakan analisis spasial "slope" Data raster kemiringan lereng Satuan kemiringan lereng sesuai kebutuhan : persen (%) atau derajat ( ) 4 Melakukan klasifikasi data raster kemiringan lereng sesuai kebutuhan 4 4 Data raster kemiringan lereng terklasifikasi 5 Melakukan klustering hasil klasifikasi kemiringan lereng 5 5 Data raster kemiringan lereng terklasifikasi yang sudah mengelompok dalam area yang lebih besar 6 Melakukan konversi format data dari raster grid ke vektor 6 6 Data kemiringan lereng terklasifikasi dalam format vektor

7 No Aktivitas 5 Diagram Alir Output Keterangan 5 7 Melakukan generalisasi data kemiringan lereng sesuai satuan pemetaan terkecil 6 6 Data kemiringan lereng dengan kerincian data spasial sesusai skala output Satuan pemetaan terkecil merupakan luasan (0,4 x 0,4 cm) x penyebut skala 8 Melakukan entri database kemiringan lereng sesuai hasil klasifikasi data raster 7 7 Data kemiringan lereng tentatif Melakukan kontrol kualitas terhadap data kemiringan lereng 9 Tidak Ya Menyerahkan data kemiringan lereng ke basis data untuk disimpan Selesai Data kemiringan lereng tersimpan Sumber : Kardono, 2012 SOP di atas dibagi menjadi dua bagian proses, meliputi proses penyiapan DEM/DTM dan proses pengolahan data DEM/DTM menjadi peta kelerengan. Berikut penjelasan SOP di atas yang dibagi menjadi dua bagian. II.3.1. Penyiapan Data DEM/DTM Pada prinsipnya, perhitungan tingkat kelerengan dapat memanfaatkan data ketinggian permukaan tanah atau elevasi DEM/DTM. Data DEM/DTM merupakan data raster yang berisi tentang ketinggian tempat dari sebuah datum. Untuk memperoleh data ketinggian tersebut, maka digunakan beberapa metode, salah satunya dengan pengukuran langsung menggunakan alat survey ke lapangan. Sayangnya untuk kebutuhan informasi ketinggian pada area yang luas, metode tersebut dirasa kurang efisien. Akhirnya data ketinggian permukaan tanah lebih sering memanfaatkan data DEM/DTM yang diukur dengan menggunakan metode seperti foto udara, LiDAR, citra satelit, dan lain-lain. Setiap DEM/DTM tersebut memiliki bentuk, sistem proyeksi, dan pola persebaran nilai ketinggian yang bermacam-macam bergantung sumbernya. Seperti DEM/DTM yang bersumber dari peta RBI berbentuk kontur, sedangkan 14

8 dari citra satelit berbentuk raster DEM, atau dari LiDAR yang berbentuk point cloud. Selain bentuknya, DEM/DTM tersebut juga menggunakan sistem proyeksi yang bermacam-macam seperti sistem proyeksi geografik. Sedangkan dalam penentuan nilai kelerengan, data yang dihitung merupakan nilai ketinggian pada piksel raster grid yang berjarak rapi berdasarkan jarak tertentu, dan bersistem proyeksi UTM. Sehingga data-data DEM/DTM yang bermacam-macam tersebut, kemudian diinterpolasikan hingga didapatkan nilai-nilai ketinggian yang tersebar teratur sesuai grid, dan ditransformasi menjadi sistem proyeksi UTM. Dalam proses penentuan jarak antar gridnya sendiri juga diatur dalam SOP yaitu dengan rumus II.1 sebagai berikut. Ukuran grid = Penyebut Skala / 5000meter... (II.1) Namun, karena ketersediaan DEM/DTM untuk skala di atas 1 : masih jarang tersedia, maka diperbolehkan menggunakan ukuran grid maksimal dengan rumus II.2 sebagai berikut. Ukuran grid = Penyebut Skala / 1000meter... (II.2) II.3.2. Pengolahan Data Menjadi Peta Kelerengan Tahapan pengolahan kemiringan lereng berdasarkan SOP adalah sesuai diagram alir pada gambar II.3. berikut ini. Data DEM Slope Hitung Luasan Generalisasi Klasifikasi Klustering Penghalusan Konversi ke vektor Entri Database kemiringan lereng Data lereng vektor siap pakai Gambar II.3. Diagram alir SOP BIG pengolahan data DEM menjadi peta kemiringan lereng (Kardono, 2012) 15

9 II Perhitungan Nilai Kelerengan Setelah data DEM/DTM membentuk format raster grid, maka dapat dilakukan perhitungan nilai kelerengan. Pada dasarnya nilai kelerengan adalah perbandingan antara jarak horizontal dan jarak vertikal. Menurut Nugraha (2012) dengan mengetahui beda tinggi dan jarak di antara dua titik, maka dapat dihitung persentase kemiringannya dengan rumus II.3 yang diterangkan pada gambar II.4 berikut. h r Gambar II.4. Ilustrasi rumus kemiringan lereng Persentase Kelerengan (%) = x 100%... (II.3) Atau bisa juga menggunakan rumus II.4 di bawah ini apabila hasil yang diharapkan berupa derajat kemiringan. Derajat Kelerengan ( ) = arc tan x (II.4) Keterangan : h : Elevasi (m) r : Jarak datar (m) Meskipun pada prinsipnya sama, namun perhitungan kelerengan pada raster grid sedikit berbeda. DEM/DTM yang berformat raster grid tersebut merupakan piksel-piksel yang harus memperhitungkan nilai piksel di sekitarnya dari semua arah. Sehingga dalam perhitungan nilai kelerengan satu buah piksel, melibatkan piksel 3x3 seperti ilustrasi pada gambar II.5 dan perhitungannya pada rumus II.5, II.6, dan II.7 yang dikutip dari Burrough (1998) di bawah ini. 16

10 Gambar II.5. Ilustrasi piksel yang diperhitungkan dalam perhitungan nilai kelerengan piksel pada DEM/DTM berformat raster grid (Burrough, 1998). =... (II.5)... (II.6)... (II.7) Keterangan : dz dx dy a,b,c,d,e,f,g,h,i : penurunan nilai elevasi (m) : penurunan nilai jarak datar ke arah sumbu x (m) : penurunan nilai jarak datar ke arah sumbu y (m) : nilai elevasi piksel (m) II Klasifikasi Kelerengan Kemudian raster grid kelerengan tersebut diklasifikasikan berdasarkan keperluan penggunaan peta. Dalam kesempatan ini, penulis akan menggunakan standar klasifikasi kelerengan yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK). Puslittanak sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang penelitian kondisi tanah dan pertanian tentu telah mempertimbangkan aspek kebutuhan khususnya pertanian, dan kerincian klasifikasi kelerengan sehingga membaginya menjadi tujuh kelas kelerengan. Tabel II.4. berikut merupakan pembagian kelas kelerengan yang dibuat oleh Puslittanak. Tabel II.4. Klasifikasi kelas kemiringan lereng No Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Bentuk Relief Datar Agak Landai Landai 17

11 No Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Bentuk Relief Agak Curam Curam Sangat Curam Terjal Sumber : Puslittanak, 2003 II Klustering Setelah dilakukan klasifikasi, maka data tersebut dilakukan klustering. Klustering merupakan proses pengelompokan spasial dari data spasial yang terdistribusi menyebar menjadi data yang terdistribusi membentuk kelompok atau wilayah-wilayah (Kardono, 2012). Di dalam proses kluster, raster grid dihitung pikselnya berdasarkan aturan tertentu, antara lain seperti gambar II.6. berikut dengan aturan piksel 3 x 3 (Burrough, 1998). Gambar II.6. Ilustrasi proses perhitungan kluster pada perangkat lunak arcmap (Burrough, 1998) II Konversi ke Vektor dan Penghalusan Setelah proses sebelumnya, maka hasil klasifikasi kelerengan yang telah terbentuk masih berupa raster grid. Selain kaku, data dalam format raster grid tidak dapat dianalisis luasnya. Maka untuk mempermudah proses selanjutnya, data raster grid tersebut dirubah formatnya menjadi vektor. Dalam aplikasi arcgis terdapat fasilitas untuk mengubah format dari raster menjadi vektor secara 18

12 otomatis, namun bentuk vektor tetap mengikuti bentuk piksel pada raster. Apabila dilakukan penghalusan secara otomatis, yang terjadi justru terbentuk poligonpoligon yang bertampalan dan kosong. Agar vektor yang terbentuk lebih halus, maka proses konversi raster ke vektor menggunakan metode digitasi manual. Untuk aturan penghalusan juga telah diatur di dalam SOP BIG dengan rumus II.8 sebagai berikut. Toleransi penghalusan (meter) =... (II.8) II Hitung Luasan dan Generalisasi Poligon-poligon kelerengan yang terbentuk, selanjutnya dihitung luasnya untuk dilakukan proses generalisasi. Proses generalisasi bertujuan untuk menghilangkan dan menggabungkan luasan area atau poligon data spasial yang luasnya kurang dari satuan pemetaan terkecil (SPT). Rumus II.9 untuk menghitung SPT berdasarkan SOP BIG adalah sebagai berikut. SPT (m²) =... (II.9) Keterangan : SPT : Satuan Pemetaan Terkecil (m²) II.4. LiDAR LiDAR (Light Detection and Ranging) merupakan sistem pengindraan dengan memanfaatkan gelombang aktif sinar laser. Prinsip kerja LiDAR adalah mendapatkan informasi koordinat objek, dengan menghitung jarak berdasarkan informasi selang waktu yang dibutuhkan sinar laser menempuh perjalanan dari pemancar, memantul dari objek, hingga kembali diterima oleh receiver. Diterangkan dalam gambar II.7. di bawah ini. Gambar II.7. Prinsip kerja sensor LiDAR (Nawangsidi, 2009) 19

13 Sistem LiDAR terdiri dari beberapa komponen, seperti : 1. Sinar laser, umumnya digunakan spektrum ultraviolet, near-infrared, serta cahaya tampak (visible light). 2. Scanner, merupakan alat penembak sinar laser serta alat optik untuk membagi arah tembak sinar laser. 3. Receiver, merupakan alat untuk menerima sinar laser pantulan dari objek. Penggunaan LiDAR sendiri ada dua metode, antara lain Ground LiDAR dan Airborne LiDAR. Ground LiDAR adalah metode pemetaan dengan menggunakan sensor LiDAR yang diletakkan di permukaan bumi. Sedangkan Airborne LiDAR adalah metode pemetaan dengan menggunakan sensor LiDAR pada wahana pesawat terbang, pada umumnya menggunakan pesawat Cessna atau helikopter. Dalam Airborne LiDAR, posisi pesawat diketahui dengan integrasi GPS yang terdapat di permukaan bumi dan INS yang terdapat dalam pesawat, kemudian jarak wahana pesawat dengan permukaan bumi didapatkan dari sensor LiDAR yang ditembakkan, yang pada akhirnya didapatkan koordinat (x,y,z) titiktitik objek yang berada di permukaan bumi. Analoginya diterangkan pada gambar II.8 di bawah ini. Gambar II.8. Komponen Sensor LiDAR (Nawangsidi, 2009) 20

14 II.4.1. Komponen Airborne LiDAR Dalam proses akuisisi data LiDAR, digunakan berbagai komponen yang terintegrasi. Beberapa komponen tersebut, antara lain : II Sensor LiDAR Sensor LiDAR merupakan komponen yang terdapat laser, yang akan memancar ke permukaan objek untuk mendapatkan kondisi permukaan objek tersebut dalam bentuk point cloud atau titik-titik koordinat tiga dimensi (x,y,z). Pada airborne LiDAR, sensor menembakkan sinar laser dari wahana terbang ke arah permukaan bumi dengan sudut pancaran tertentu, sehingga didapatkan informasi jarak antara wahana terbang dengan permukaan bumi. Karakteristik dari sensor airborne LiDAR dapat dilihat pada tabel II.5 di bawah ini. Tabel II.5 Spesifikasi laser scanner LiDAR Spesification Typical Value Wavelength µm Pulse Repetition Rate 5 33 khz (50 khz max) Pulse Energy 100s µj Pulse Width 10 ns Beam Divergence mrad Scan Angle (Full Angle) 40 (75 max) Scan Rate Hz Scan Pattern Zig-zag, parallel, elliptical, sinusoidal GPS Frequency 1-2 times per second INS Frequency 50 (200 max) Operating Altitude m (6000 m max) Footprint m (from 1000m) Multiple Elevation Capture 1 5 Grid Spacing m Vertical Error 15+ cm Horizontal Error cm Sumber : Fowler, 2001 dalam Nawangsidi, 2009 Airborne LiDAR dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan spektrum sinar yang digunakan, yaitu : 21

15 1. Airborne topographic LiDAR, yang menggunakan spektrum sinar near infrared, berguna untuk memetakan permukaan bumi yang tidak tertutup dengan air. 2. Airborne LiDAR bathymetry, yang menggunakan spektrum sinar biru/hijau untuk mengukur kedalaman perairan hingga 50 meter. Keunggulan sensor LiDAR adalah mampu melakukan pengukuran multiple return (multi pantulan) dari setiap pulsa yang dipancarkan, sehingga sistem ini dapat memetakan tutupan lahan hingga permukaan bumi. Banyaknya pantulan yang dapat dideteksi oleh sensor adalah dua hingga lima pantulan. Dalam pembuatan DTM, data yang dimanfaatkan adalah data terbawah, data tersebut dianggap sebagai data permukaan tanah, seperti yang diterangkan pada gambar II.9. Gambar II.9 Sensor LiDAR yang dapat memantulkan lebih dari 1 pantulan (Sonsang, 2014) Kemampuan sinar laser pada sistem LiDAR bergantung pada medium yang dilewatinya, apakah udara, tutupan lahan, atau dasar perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan pulsa LiDAR adalah : 1. Kondisi cuaca di bawah wahana udara, seperti asap, kabut, dan hujan. 2. Komposisi vegetasi dan objek yang berada di permukaan bumi. 3. Background noise atau pantulan sinar matahari. 22

16 4. Besar sudut scanning. 5. Panjang gelombang sinar laser. 6. Karakteristik receiver yang digunakan. 7. Banyaknya gelombang sinar laser yang dipancarkan. 8. Tinggi terbang wahana. Sistem airborne LiDAR menggunakan pancaran sinar laser dengan kecepatan rambat 299, km/s atau 300,000 km/s. Jarak maksimal antara pesawat dengan permukaan tanah adalah 6 km, karena sinar laser akan menempuh jarak maksimal hanya 12 km sejak dipancarkan hingga diterima receiver. Jarak 12 km tersebut ditempuh dalam waktu 4 x 10-5 detik. Kemampuan sinar laser yaitu memancarkan ,000 pancaran/detik, atau memerlukan 2 x 10-4 hingga 2 x 10-5 detik untuk 1 pancaran sinar. Berkas sinar tersebut ditembakkan secara beruntun dan diarahkan sesuai pola scan melalui cermin yang berputar menyapu berkisar Seperti yang diilustrasikan pada gambar II.10 di bawah ini. Gambar II.10. Prinsip scanning sensor laser. (1) Transmitter menembakkan laser (2) Sudut scan yang diinginkan (3) Cermin yang memantulkan sinar laser ke bawah. (Hvidegaard, 2006 dalam Nawangsidi, 2009) Salah satu contoh sensor laser yang sering digunakan dalam pemetaan LiDAR adalah produk Optech ALTM 3100 EA, produk ini lebih diperuntukkan dalam pemetaan darat, karena sensor lasernya belum dapat menembus air. Gambar II.11 dan tabel II.6 berikut adalah bentuk dan spesifikasinya. 23

17 Gambar II.11. Komponen Sensor LiDAR (Sonsang, 2014) Tabel II.6. Spesifikasi ALTM 3100 EA Laser 1064 nm Altitude m Range measurement Up to 4 Scan frequency Max. 70 Hz Scan Angle Max. ± 25 Pulse rate Max. 100 khz Beam divergence 0.3 mrad Beam pattern Oscilating, sawtooth Sumber : Brenner, 2006 II Kamera Digital Kamera berguna untuk melakukan pemotretan area yang direkam oleh sensor LiDAR selama akuisisi data berlangsung. Area yang ditangkap oleh kamera lebih lebar 8/5 kali daripada sensor LiDAR, sehingga dapat dipastikan, bahwa foto hasil pemotretan mencakup semua area yang diukur sensor LiDAR. Kamera ini mengambil gambar berdasarkan pengaturan waktu, yang disesuaikan dengan kemampuan kamera dan kecepatan pesawat. Kamera tersebut langsung terhubung dengan processor dan komputer operator saat pemotretan berlangsung. 24

18 Salah satu kamera digital yang sering digunakan dalam survey LiDAR adalah kamera sensor D-8900 yang diterangkan pada gambar II.12 dan tabel II.7 berikut. Gambar II.12. Komponen sensor kamera digital D-8900 (Sonsang, 2014) Tabel II.7. Spesifikasi sensor kamera digital D-8900 Parameter Specification Camera Head Sensor Type 60 Mpx Fullframe CCD, RGB Sensor Format 8,984 x 6,732 Pixel Pixel Size 6µm x 6µm Frame Rate 1 frame / 2 second FMC Electro-Mechanical, driven by piezo technology (patented) Shutter Electro-Mechanical iris mechanism 1/125 to 1/500++ sec. Fstop 5.6, 8, 11, 16 Lenses 50mm/70mm/120mm/210 mm Filter Color and near infrared removable filters Dimension (HxWxD) 200 x 150 x 120mm (70mm lens) Weight -4.5 kg(70mm lens) Controller Unit Computer Mini ITX RoHS-complicant small-form-factor embedded computers with AMD Turion TM 64 x2 CPU 4GB RAM. 4GB flash disk local storage IEEE 1394 Firewire interface Removable Storage Unit -500GB solid state drives 8,000 images Power Consumption -8A 168 W Dimensions 2U full rack; 88 x 448 x 493 mm Weight -15Kg 25

19 Parameter Capture One Image Output Sumber : Sonsang, 2014 Specification Image Pre Processing Software Radiometric control and format conversion, TIFF or JPEG 8,984 x 6,732 pixels 8 or 16 bits per channel (180 MB or 360 MB per Image) II GPS (Global Positioning System) GPS merupakan sistem radio navigasi dan penentu posisi menggunakan satelit buatan Amerika. GPS terdiri atas tiga segmen utama yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol (control-system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pengguna (user segment) yang terdiri atas pemakai, alat penerima, dan perangkat lunak pengolah data GPS. Dalam survey LiDAR terdapat dua komponen GPS, yaitu GPS yang berada di permukaan tanah, dan GPS yang berada di pesawat. GPS yang berada di permukaan tanah memberikan informasi posisi dan waktu kepada sistem LiDAR yang ada di pesawat. Sehingga sebelum melakukan survey LiDAR, terlebih dahulu dilakukan pembuatan titik-titik referensi di permukaan bumi. GPS tipe geodetic digunakan untuk membuat titik referensi tersebut, dengan kerapatan titik referensi setiap radius 30km. Selanjutnya ketika akuisisi data LiDAR berlangsung, maka dilakukan pengukuran koordinat dengan mengintegrasikan data GPS yang ada di pesawat dengan GPS referensi di permukaan tanah. Metode itu dikenal sebagai OTF Diferensial GPS. OTF, disebut juga Kinematik OTF atau RTK (Real Time Kinematic). Pengukuran metode RTK ini memungkinkan akurasi yang baik (<10cm) posisi tiga dimensi (x,y,z). Metode RTK diilustrasikan seperti pada gambar II.13 di bawah ini. 26

20 Gambar II.13. Ilustrasi fungsi GPS untuk akuisisi data LiDAR (Karvak, 2014) Dalam sistem airborne LiDAR, GPS dan laser scanner merupakan komponen yang dioperasikan secara terpisah, sehingga terdapat perbedaan spasial dan temporal antara kedua alat tersebut. 1. Deviasi Spasial Merupakan perbedaan posisi antara lokasi antena GPS dengan lokasi laser scanner pada wahana terbang. Sistem koordinat wahana terbang (x, y, z) menjadi acuan perbedaan posisi (Δx, Δy, Δz) seperti pada gambar II.14 di bawah ini. Gambar II.14. Deviasi spasial pada pengukuran GPS LiDAR (Nawangsidi, 2009) 2. Deviasi Temporal Komponen-komponen pada sistem airborne LiDAR yaitu GPS, INS, dan laser scanner melakukan pengukuran secara terpisah, sehingga terdapat kemungkinan ketiga alat tersebut tidak bekerja secara bersama. Selisih waktu seperti pada gambar II.15, itulah yang biasa disebut deviasi temporal. 27

21 Gambar II.15. Deviasi temporal GPS, INS, dan Laser Scanner (Nawangsidi, 2009) II INS (Inertial Navigation System) Inertial Navigation System adalah suatu sistem navigasi yang mampu mendeteksi perubahan geografis, perubahan kecepatan, serta perubahan orientasi dari suatu benda. Alat ini sering digunakan pada wahana terbang umumnya sebelum teknologi GPS. Sistem ini mampu mengukur besar perubahan sudut terhadap arah utara, besar pergerakan rotasi wahana terbang terhadap sumbu horizontal, percepatan terbang, hingga temperatur dan tekanan udara. INS ditunjukkan dalam gambar II.16 di bawah ini. Gambar II.16. Inertial Navigation System (Nawangsidi, 2009) INS terdiri dari dua komponen utama, yaitu IMU (Inertial Measurement Unit), dan NP (Navigation Processor). IMU berguna untuk mengukur orientasi sistem LiDAR seperti (roll, pitch, dan heading). Sedangkan NP berfungsi untuk mengukur pergerakan terhadap bumi yang berputar, berdasarkan pengukuran percepatan dan pergerakan rotasi. Dengan kata lain NP 28

22 menyelaraskan koordinat pesawat dengan koordinat sumbu-sumbu di permukaan bumi. Paramater ini digabungkan dengan informasi posisi GPS dan data laser scanner untuk menentukan koordinat (x,y,z) dari poin laser yang dikumpulkan. Seiring perkembangan teknologi INS, dari konvensional ke laser, maka ketelitian INS meningkat dalam pengukuran pergerakan rotasi, percepatan, dan kecepatan wahana. Tabel II.8 berikut berisi tentang ketelitian INS. Tabel II.8. Ketelitian data yang dihasilkan INS Parameter Nilai Ketelitian Posisi 0.02 m Posisi Vertikal 0.02 m Kecepatan m/s Heading Roll & Pitch Sumber : Nawangsidi, 2009 II Operator Display dan Pilot Display Operator Display berfungsi untuk memberikan informasi tentang data yang sedang diakuisisi, antara lain status satelit GPS, IMU, sensor laser, dan progress terbang pesawat sepanjang jalur penerbangan, seperti pada gambar II.17. Gambar II.17. Operator Display (Sonsang, 2014) Sedangkan Pilot Display berfungsi untuk memandu pilot agar bisa terbang pada jalur yang direncanakan, seperti pada gambar II

23 Gambar II.18. Pilot Display (Sonsang, 2014) II Aircraft / Pesawat Wahana pesawat yang umumnya digunakan dalam akuisisi data LiDAR adalah pesawat cessna dan helikopter, yang telah dimodifikasi (dilubangi) pada bagian bawahnya agar dapat digunakan sebagai lubang keluarnya sensor LiDAR dan kamera digital. Gambar 2.19 merupakan salah satu contoh jenis pesawat yang digunakan oleh PT Karvak Nusa Geomatika dalam pemotretan LiDAR. Gambar II.19. Pesawat Cessna yang digunakan dalam akuisisi data LiDAR (Sonsang, 2014) Berbagai jenis komponen yang telah dijelaskan di atas dirangkai untuk dapat digunakan dalam proses akuisisi data. Gambar II.20. di bawah ini adalah diagram rangkaian komponen alat LiDAR yang berada di dalam pesawat. 30

24 Gambar II.20 Rangkaian komponen LiDAR di pesawat (Sonsang, 2014) II.4.2. Tahapan Umum Survey LiDAR Pada umumnya survey LiDAR bertujuan untuk membuat peta topografi, namun tidak jarang dimanfaatkan juga untuk keperluan lain yang lebih spesifik. Gambar II.21. merupakan diagram alir secara umum tahap pelaksanaan survey LiDAR. Persiapan Instalasi Sistem dan Flight Plan Ground Support Akuisisi Data LiDAR dan Foto UDARA Data GPS Tidak Verifikasi Data LiDAR Ya Rekonstruksi Jalur Terbang Pengolahan Raw Data LiDAR Pengolahan Foto Udara Pengolahan Lanjut Gambar II.21. Diagram alir pelaksanaan survey LiDAR (Sonsang, 2014) 31

25 Setelah proses persiapan yang antara lain meliputi rancangan biaya, perencanaan survey, dan perizinan usai, maka dilakukan proses pemasangan titiktitik ikat di permukaan bumi yang teliti dan efisien. Perusahaan LiDAR di Indonesia seperti salah satunya PT Karvak Nusa Geomatika menggunakan titik ikat horizontal yang ditarik dari titik orde 1 BIG. Kemudian untuk referensi ketinggian, biasa ditarik dari MSL (muka laut rata-rata) berdasarkan perhitungan pasang surut air laut daerah terdekat area survey. Proses pengukuran titik referensi tersebut menggunakan GPS tipe geodetic. Setelah memiliki titik referensi di permukaan tanah yang memuat data koordinat tiga dimensi (x,y,z) yang berjarak maksimal 30 km, dan terpasang seluruh perangkat survey LiDAR di pesawat, maka dapat dilaksanakan survey LiDAR dengan mengintegrasikan data permukaan tanah dan alat survey di pesawat. Maksimal izin terbang yang diberikan dalam satu hari maksimal adalah 6 jam, dalam waktu tersebut kurang lebih area yang terukur adalah 5,000 ha. Sensor laser memang dapat digunakan baik siang maupun malam hari, namun untuk mendapatkan data foto udara juga, maka akuisisi data biasa dilaksanakan pada waktu siang hari. II.4.3. Data Airborne LiDAR Data hasil survey airborne LiDAR (selain foto udara) secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, karena terdapat tiga instrumen yang bekerja bersama dalam satu sistem pesawat, antara lain : 1. GPS pesawat yang menghasilkan data koordinat saat survey dilakukan (x,y,z) 2. INS yang menghasilkan data tentang pergerakan rotasi wahana pesawat terbang terhadap sumbu x,y,z (pitch, roll, heading) 3. Laser scanner yang menghasilkan data jarak dari pesawat ke objek di permukaan tanah Ketiga data tersebut diolah secara berurutan untuk mendapatkan produk akhir berupa titik-titik ketinggian permukaan bumi atau DTM. Gambar II.22. merupakan skema pengolahan data airborne LiDAR. 32

26 Airborne Survey Ground Survey Camera Rollei+IMU Sensor LiDAR ALTM Optech Data GPS Base Station Koordinat Fixed Base Station Image.tiff Imagelist Range file (Laser dan Scan Angle) Pos file (Posisi relatif dan IMU) Software Pospac Pendefinisian Posisi (x,y,z) Posisi Fixed Sbet.Out Software DashMap : Pembuatan Raw Data LiDAR RAW Data LiDAR Las. File Software Terrasolid Gambar II.22. Bagan pengolahan data airborne LiDAR (Karvak, 2014) Berdasarkan diagram di atas, dapat dilihat bahwa setelah diketahui posisi pesawat dengan GPS sistem RTK, maka data tersebut digabungkan dengan data pergerakan wahana dari INS. Kemudian data jarak laser ke permukaan tanah digabungkan dengan koordinat tersebut, sehingga posisi objek di permukaan tanah diketahui. Format data LiDAR pada umumnya adalah ASCII atau LAS. Dari format tersebut, dapat dilakukan konversi ke format lain dengan berbagai perangkat lunak seperti ArcMAP, Global Mapper, dan sebagainya. Data LiDAR berisi informasi mengenai return number, koordinat poin, arah scan, besar sudut scan, ketinggian terbang, waktu GPS, dan jarak sinar laser. II.4.4. Ketelitian dan Sumber Kesalahan Data LiDAR Data LiDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi, yaitu akurasi vertikal 15-20cm, dan akurasi horizontal cm (Jumadi, 2008 dalam Nawangsidi, 2009). Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh PT Karvak Nusa 33

27 Geomatika, dengan melakukan pengujian koordinat yang dihasilkan oleh pulsa lidar dengan menggunakan GPS, berikut adalah hasilnya : 1. Dengan jumlah sampel 29 titik, didapatkan selisih rata-rata horizontal meter, dan standar deviasi Dengan jumlah sampel 40 titik, pada daerah curam, didapatkan selisih rata-rata vertikal meter, dengan nilai standar deviasi Dengan jumlah sampel 40 titik pada daerah datar, didapatkan selisih rata-rata vertikal meter, dengan standar deviasi Namun dengan ketelitian tersebut, tentu data LiDAR tetap mengalami berbagai kesalahan, sumber-sumber kesalahan tersebut antara lain : 1. Kesalahan posisi sensor yang disebabkan oleh kesalahan pada GPS dan INS. 2. Kesalahan sudut dari laser yang tidak diluruskan secara sempurna oleh sumbu pitch, roll, dan heading pada pesawat. 3. Kesalahan pengukuran jarak akibat kesalahan jam pada alat, koreksi atmosfer, dan ambiguitas permukaan objek. 4. Sinyal laser yang mengenai bangunan, beberapa tidak terpantul langsung ke receiver, namun memantul ke permukaan lain terlebih dahulu dan akan menyebabkan outlier dan data palsu. II.4.5. Kelebihan dan Kelemahan LiDAR Metode LiDAR tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat menjadi bahan pertimbangan punggunaanya. Teknologi LiDAR memiliki keunggulan, antara lain : 1. Akuisisi data bisa dilakukan siang maupun malam hari. 2. Sistem mampu mengakuisisi data elevasi yang sangat banyak. 3. Kerapatan poin ketinggian meter. 4. Tidak membutuhkan banyak titik kontrol. 5. Akurasi vertikal maupun horizontal bisa mencapai cm. 34

28 6. Mampu menembus kerapatan vegetasi hingga mendapatkan informasi permukaan tanah. 7. Akuisisi data efisien dan efektif untuk daerah yang luas. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang ada pada metode LiDAR antara lain : 1. LiDAR tidak dapat bekerja dengan baik jika ketinggian pesawat di atas awan karena terhalang. 2. Sensor LiDAR hanya dapat mengumpulkan data ketika cuaca mendukung, tidak sedang hujan, kabut, atau badai. 3. Daerah dengan kerapatan vegetasi yang tidak tertembus sinar matahari, juga tidak dapat ditembus laser LiDAR. 4. Karena sensor LiDAR modern menggunakan kamera foto, maka meskipun bisa malam hari, hanya lebih baik digunakan di siang hari. 5. Sensor LiDAR pada umumnya tidak dapat menembus permukaan yang berair, hanya yang memiliki spesifikasi laser tertentu. II.5. DTM/DEM II.5.1. Pengertian DTM/DEM Konsep pembuatan model-model digital untuk permukaan bumi belum lama ditemukan, penggunaan istilah Model Permukaan Digital (MPD) atau Digital Terrain Model (DTM) baru diperkenalkan pada akhir tahun 1950-an. DTM memiliki pengertian yang beragam, salah satu deskripsi DTM adalah sekumpulan titik-titik, yang data koordinat ruangnya diketahui di permukaan bumi, dan disimpan di dalam suatu media yang dapat dibaca oleh seperangkat sistem komputer (Prahasta, 2009). Sedangkan DEM adalah teknik penyimpanan data topografi permukaan. Suatu DEM merupakan penyajian koordinat (x,y,h) dari titik, secara digital mewakili bentuk topografi suatu permukaan (Dipokusumo dkk., 1983 dalam Nugraha, 2012). Meskipun banyak literatur menganggap bahwa pengertian DTM dan DEM sama, namun ada juga literatur yang membedakan keduanya secara lebih 35

29 detail. Seperti yang dimuat dalam info terra 05, dijelaskan bahwa DEM memperhitungkan titik-titik tertinggi yang berada di atas permukaan bumi. Oleh karena itu DEM juga meliput data ketinggian unsur bangunan, pepohonan, beserta objek lain yang menonjol dari permukaan bumi dan dapat dikenali oleh sensor satelit. Sementara DTM hanya memperhitungkan ketinggian permukaan bumi. Oleh karena itu sebagai contoh, model-model ketinggian yang dibuat dengan cara mendigitasi peta-peta topografi hanya akan menghasilkan DTM. Sedangkan yang diturunkan atau diekstrak dari sensor-sensor satelit adalah DEM (raster grid). II.5.2. Jenis DTM/DEM Untuk merepresentasikan suatu model permukaan, distribusi titik-titik data yang bersangkutan juga perlu diperhitungkan. Titik-titik data ini harus berjumlah cukup dan distribusinya sesuai dengan detail permukaan yang akan direpresentasikan. Sehubungan dengan hal ini, dari polanya, pengambilan titiktitik data DTM dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu irregular dan regular. II DTM Irregular Jenis DTM Irregular yaitu DTM dimana persebaran koordinat planimetris titik-titik yang terekam, beserta jarak-jarak antara satu sama lainnya tidak memiliki keteraturan atau pola-pola tertentu. DTM Irregular antara lain : 1. DTM Acak Pada umumnya DTM seperti ini didapat secara langsung dari hasil pengukuran di lapangan atau survei terestris sebagaimana pembuatan peta situasi berkontur. Pada DTM ini, antara titik-titik sampel kemungkinan tidak terdapat selang atau jarak yang teratur. Selain itu pada survei terestris, surveyor akan lebih memfokuskan pada unsurunsur yang mengalami perubahan topografi menonjol. Gambar II.23. di bawah ini adalah contoh persebaran titik tinggi DTM acak. 36

30 Gambar II.23. Contoh tampilan DTM acak (Prahasta, 2009) 2. DTM Kontur DTM kontur juga termasuk ke dalam jenis DTM irregular karena ia tidak memiliki keteraturan jika dilihat dari sebaran planimetrisnya. Jarak antar titik sampel tidak memiliki keteraturan jarak satu sama lainnya seperti pada gambar II.24. di bawah ini. Gambar II.24. Contoh tampilan DTM kontur (Prahasta, 2009) II DTM Regular DTM regular adalah DTM yang memiliki komponen planimetris baik yang ke arah absis atau ordinat dengan pola atau keteraturan jarak tertentu. 1. DTM Grid Posisi planimetris titik-titik sampel DTM grid memiliki jarak yang sama antara titik yang bersebelahan. Pada umumnya DTM ini memiliki interval absis dan ordinat yang nilainya sama atau konstan membentuk bujur sangkar seperti gambar II.25. di bawah ini. 37

31 Gambar II.25. Contoh tampilan DTM grid (Prahasta, 2009) 2. DTM Rectangular DTM ini mirip dengan DTM grid, hanya saja interval ke arah absis dam ke ordinat tidak sama. Akibatnya titik sampel membentuk geometri empat persegi panjang seperti gambar II.26. di bawah ini. Gambar II.26. Contoh tampilan DTM rectangular (Prahasta, 2009) 3. DTM Triangular Dalam hal membentuk geometri tertentu, DTM triangular juga mirip dengan grid dan rectangular. Hanya saja, DTM triangular membentuk geometri segitiga-segitiga (sama sisi atau sama kaki) yang konsisten. 4. DTM Profil DTM ini jarak atau interval pada salah satu komponen koordinatnya (absis atau ordinat) adalah sama. Pada umumnya, DTM jenis ini dihasilkan dari suatu proses scanning model foto dalam arah absis atau ordinat. II.5.3. Representasi DTM/DEM Pada umumnya DTM/DEM disajikan dengan menggunakan tiga metode, antara lain garis kontur, grids, atau raster-grids, dan TIN. 38

32 1. Garis kontur Garis kontur merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang memiliki nilai ketinggian yang sama. Metode ini merupakan bentuk representasi yang paling familiar untuk permukaan tanah, baik dalam format analog maupun digital. Gambar II.27. berikut merupakan contoh kontur yang menggambarkan kondisi curam. Gambar II.27. Contoh tampilan (peta) garis-garis kontur (Prahasta, 2009) 2. Grids Grids merupakan struktur matriks yang digunakan untuk merekam relasi-relasi topologi yang terdapat di antara titik-titik data secara implisit. Tetapi karena struktur datanya serupa dengan penyimpanan array komputer digital, maka penanganan matriks data ketinggiannya sangatlah sederhana, seperti pada gambar II.28 di bawah ini. Gambar II.28. Contoh DTM dalam bentuk raster grid (Prahasta, 2009) 39

33 3. TIN TIN (Triangulated Irregular Network) merupakan suatu model alternatif bagi DTM atau DEM raster-grid biasa. Model ini diperkenalkan pada awal 1970-an untuk membangun sebuah model permukaan digital dari sekumpulan titik-titik data yang terdistribusi secara tidak teratur. Pada model TIN, setiap titik sampel yang bersebelahan dihubungkan satu sama lain dengan garis untuk membentuk geometri segitiga-segitiga bebas tetapi non overlapping. Di dalam setiap segitiga ini, permukaan yang bersangkutan diwakili oleh sebuah bidang datar. Setiap permukaan segitiga akan didefinisikan ketinggian pada setiap titik sudutnya, seperti pada gambar II.29 di bawah ini. Gambar II.29. Contoh tampilan struktur umum DTM dalam bentuk TIN (Prahasta, 2009) \ II.5.4. Sumber Data DTM/DEM DEM atau DTM terbentuk dari titik-titik yang memiliki nilai koordinat 3 dimensi (x,y,z) permukaan bumi. Permukaan tanah dimodelkan dengan memecah area menjadi bidang-bidang yang terhubung satu sama lain dimana bidang-bidang tersebut terbentuk oleh titik-titik pembentuk DEM. Titik-titik tersebut dapat berupa titik sampel permukaan tanah atau titik-titik hasil interpolasi atau ekstrapolasi titik-titik sampel. Titik-titik sampel merupakan titik-titik yang didapat dari hasil sampling permukaan bumi, yaitu pekerjaan pengukuran atau pengambilan data ketinggian titik-titik yang dianggap dapat mewakili relief permukaan bumi. Data sampling titik-titik sampel tersebut kemudian diolah 40

34 hingga didapat koordinat titik-titik sampel (Nugraha, 2012). Beberapa metode pengukuran ketinggian DTM/DEM antara lain survey terrestrial, fotogrametri, pengindraan jauh, kartografi, batimetri, pengindraan jauh lainnya (LiDAR, SRTM, sonar, dll). II.5.5. Distribusi Kesalahan DTM/DEM Pada kenyataan akuisisi data DEM, sering diasumsikan bahwa kesalahan data spasial terdistribusi normal. Sebagai contoh tabel distribusi normal dapat dilihat pada gambar II.30 di bawah ini. Gambar II.30. Diagram distribusi normal ketelitian DEM (Nugroho, 2012 dalam Nugraha, 2012) Untuk mengukur akurasi data DTM/DEM, kita anggap f (x,y) merupakan permukaan tanah yang sebenarnya (ketinggian pada peta RBI), dan f (x,y) merupakan permukaan pada DTM/DEM. Sedangkan selisihnya adalah e(x,y) seperti pada rumus II.10 berikut ini. e(x,y)=f (x,y)-f(x,y)... (II.10) Keterangan : e : Selisih tinggi (m) f : Nilai tinggi DEM pertama (m) f : Nilai tinggi DEM kedua (m) x,y : Koordinat titik tinggi (m) 41

35 Selisih tersebut merupakan kesalahan dari permukaan DEM. Setelah perumusan yang sama oleh Temfi (1980) dalam Nugraha (2012), kesalahan ratarata kuadrat (mean square error/mse) dapat digunakan untuk mencari akurasi DEM seperti pada rumus II.11 berikut ini. mse = e²(x,y)dxdy... (II.11) Keterangan : mse : Kesalahan rata-rata (m) e² : Kuadrat selisih tinggi Nilai e(x,y) adalah variabel acak dalam istilah statistik (Li, 1986 dalam Nugraha, 2012) dan besaran dan sebaran (dispersion) adalah dua karakteristik variabel acak. Untuk mencari besaran, beberapa parameter dapat digunakan seperti nilai ekstrem (e max dan e min), modus (nilai paling besar), median (nilai tengah), perkiraan matematis (pembobotan rata-rata). Sedangkan untuk mencari sebaran (dispersion), beberapa parameter seperti range, perkiraan deviasi absolute dan standar deviasi dapat dicari. Untuk meringkas, selain mse yang digunakan secara umum di atas, parameter berikut ini dapat juga digunakan untuk menghitung akurasi DEM seperti pada rumus II.12, II.13, dan II.14 (Nugraha, 2012). R = e max-e min... (II.12) µ =... (II.13) σ = ²... (II.14) Keterangan : R : Selisih tertinggi dikurangi selisih terendah (m) µ : Nilai rata-rata (m) σ : Nilai standar deviasi (m) 42

36 Penggunaan Range (R) dapat digunakan sebagai spesifikasi akurasi DTM/DEM seperti yang digunakan pada standar akurasi peta nasional amerika. II.5.6. Metode Untuk Mencari Ketelitian DTM/DEM Ketelitian DTM/DEM dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Tiga atribut (akurasi, densitas, dan distribusi) dari sumber data. 2. Karakteristik dari permukaan tanah. 3. Metode yang digunakan untuk membentuk DTM/DEM. 4. Karakteristik permukaan DEM yang dibentuk dari sumber data. Berdasarkan faktor di atas, ada enam metode atau strategi untuk mencari ketelitian dari sebuah DEM (Li, 1992.a). Setiap satu dari enam faktor di atas dianggap menjadi variabel tunggal penentu ketelitian DEM, sedangkan lima yang lain dianggap tidak berubah. Jadi untuk pencari sebuah ketelitian hanya dapat dilakukan dengan satu metode, tidak dapat menggunakan keenam metode tersebut secara bersamaan. Berikut ini adalah metode untuk mencari ketelitian DEM. 1. Akurasi sumber data dapat bervariasi sebagai variabel tunggal, sedangkan faktor lain dianggap tidak berubah. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan sumber data dengan akurasi yang berbeda seperti peta RBI, data SAR, ataupun pengukuran GPS. 2. Densitas dari sumber data dapat bervariasi sedangkan faktor lain dianggap tidak berubah. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan kerapatan sampel data yang berbeda, dalam arti menggunakan jarak grid yang berbeda dalam mengambil sampel data. 3. Distribusi dari sumber data dapat bervariasi sedangkan faktor lain dianggap tidak berubah. Ini dilakukan dengan menggunakan data dengan distribusi yang berbeda atau metode seleksi data yang berbeda. 4. Tipe dari permukaan tanah dapat bervariasi sedang faktor lainnya dianggap tidak berubah. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua atau lebih daerah sampel dengan relief dan tutupan lahan yang berbeda. 43

37 5. Tipe dari permukaan DEM dapat bervariasi sedangkan faktor lain dianggap tidak berubah. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan tipe permukaan DEM yang berbeda misalnya menggunakan permukaan continuous, discontinuous, dan smooth untuk pembentukan permukaan DEM seperti metode langsung dan tidak langsung. Untuk menghitung akurasi dari sebuah DEM tentunya membutuhkan beberapa titik sampel. Berdasarkan teori statistik, kebutuhan titik sampel tergantung pada dua faktor berikut ini : 1. Tingkat akurasi yang diperlukan untuk angka akurasi (yaitu µ/mean dan σ/ standard deviasi) untuk diperkirakan. 2. Variasi yang terkait dengan variabel acak, seperti perbedaan ketinggian dalam kasus pengujian akurasi DEM. Semakin kecil variasi, semakin kecil ukuran sampel yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat akurasi yang diperlukan untuk estimasi akurasi. Sebagai contoh jika σ dari beda tinggi adalah 0, maka satu titik sampel sudah cukup mewakili tidak peduli seberapa luas area atau banyaknya data. Jika diberikan konstanta S, presentasi probabilitas, (100%) dari interval acak µ ± S termasuk M yang disebut interval kepercayaan, dimana S dapat disebut derajat kepercayaan dari perkiraan mean. Pada umumnya jika diperlukan interval kepercayaan (100%) = 100 (1-α)% maka jumlah titik sampel yang dibutuhkan (n) dapat dinyatakan dalam rumus II.15 sebagai berikut (Nugraha, 2012). n = Keterangan : ² ² ² = zr² x ( )²... (II.15) zr : Nilai batas dimana variabel acak Y akan jatuh pada probabilitas r s : Derajat kepercayaan Nilai zr yang paling banyak digunakan adalah zr0.95 = 1.960, zr0.98 = 2.326, zr0.99 = Sebagai contoh, jika akurasi yang dibutuhkan dari estimasi mean adalah 10% dari standard deviasi kesalahan DEM. Dan derajat kepercayaan 95% maka titik sampel yang dibutuhkan adalah

38 Jika ΔH2 adalah kesalahan pada titik sampel dan ΔH1 adalah beda tinggi yang sebenarnya, maka menurut Nugraha (2012) digunakan rumus berikut. ΔH = ΔH1 - ΔH2... (II.16) Keterangan : ΔH : Beda tinggi terkoreksi (m) ΔH1 : Beda tinggi sebenarnya (m) ΔH2 : Kesalahan beda tinggi (m) Melalui beberapa turunan dan substitusi persamaan di atas, maka dapat diperoleh persamaan untuk menghitung kesalahan pada titik sampel ΔH2 pada rumus II.17 berikut (Nugraha, 2012). σδh2 = = x σ... (II.17) Keterangan : σδh : Standar deviasi kesalahan beda tinggi (m) n : Jumlah sampel Sebagai contoh, jika jumlah titik sampel 51 titik, maka akurasi yang diperlukan oleh titik sampel dari standard deviasi adalah 10% dari standard deviasi kesalahan DEM. Pada ilmu pemetaan akurasi dari titik sampel disebut sebagai RMSE. II.6. DEM SRTM SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) adalah satelit pengindraan jauh yang bertugas memperoleh data permukaan bumi menggunakan SAR (Synthetic Aperture Radar). SRTM merupakan hasil kerjasama antara NASA dan NGA untuk membuat peta Digital Elevation Model (DEM) secara global menggunakan interferometri. Instrumen SRTM terdiri dari Spaceborn Imaging Radar-C (SIR-C) yang dipasang pada satelit antariksa. Synthetic Aperture Radar (SAR) instrumen yang melihat suatu penampang dari samping dan memperoleh data berupa petak-petak (swath) suatu area secara kontinyu, seperti ilustrasi pada gambar II.31 di bawah ini. 45

39 Gambar II.31. Geometri SAR (Bamler, 1999 dalam Nugraha, 2012) Petak-petak SRTM membentang dari 30 off-nadir sampai dengan 58 Nadir dengan ketinggian 233km, dan memiliki luas tiap petaknya 225km. SRTM telah merekam hampir 1000 petak selama 10 hari operasi. Panjang dari petakpetak yang diperoleh dari beberapa ratus meter hingga beberapa ribu kilometer. SRTM diluncurkan pada 16 September 1999 dan beroperasi selama 11 hari. Instrumen ini telah dioperasikan secara optimal dan berhasil merekam 99.96% dari daratan yang ditargetkan paling tidak 1 kali, 94.59% dari daratan paling tidak dua kali perekaman, dan 50% daratan terekam tiga kali atau lebih. Tujuan dari perekaman di atas adalah untuk menggambarkan setiap segmen daratan minimal dua kali dari sudut yang berbeda untuk mengisi area yang tidak terekam akibat keadaan topografi tanah yang tidak rata. Untuk lebih jelasnya, tabel II.9. ini merupakan spesifikasi dari Sensor SRTM. Tabel II.9. Spesifikasi Sensor SRTM Spesifikasi Keterangan Peluncuran/Pendaratan September 16/ Lama Misi 11 Hari Proyek mulai/berakhir Agustus 1996/Maret 2001 Berat Satelit kg Spesifikasi Keterangan Penggunaan Energi 900kWh Ketinggian Orbit 233Km Inklinasi Orbit 57 46

40 Petak data yang diperoleh Akuisisi data Data Recording Rate Total data mentah radar Sumber : Nugraha, (80% keseluruhan daratan bumi) >80 Jam 180Mbps untuk C-band, 90 Mbps untuk X-band 9.8 Terrabytes II.6.1. Karakteristik Data SRTM II.6.1. Langkah Pemrosesan Data SRTM Data SRTM telah mengalami beberapa tahap pemrosesan sehingga mengakibatkan beberapa versi data yang memiliki karakteristik berbeda. NGA menyebut SRTM 30meter dan 90meter sebagai SRTM1 dan SRTM3. Data echo mentah dari radar diproses secara sistematik menggunakan SRTM Ground Data Processing System (GDPS. Proses ini mengubah data echo radar menjadi strips data elevasi digital satu strips per satu petak (swath). Data strips kemudian dimozaikkan tiap derajatnya dan diformat menurut Digital Terrain Elevation Data (DTED) sesuai spesifikasi dari NGA. Data diproses berdasar tiap benua mulai dari benua Amerika Utara, Amerika Selatan, Eurasia, Afrika, Australia, dan pulaupulau lain, dengan data di tiap benua telah mengalami block adjustment (koreksi kesalahan residu). Data mentah selain diubah dalam bentuk DTED juga diformat kembali ke dalam format SRTM. Tahap selanjutnya, NGA menggunakan beberapa proses untuk menyempurnakan data SRTM, meliputi pengeditan, penghilangan daerah yang terjadi spike (elevasi satu titik yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan permukaan tanah terlihat lancip) dan well (sama dengan spike namun menjorok ke bawah akibat satu titik memiliki elevasi yang terlalu rendah). Selain hal di atas, juga dilakukan leveling terhadap tubuh air, dan juga penentuan garis pantai seperti pada gambar II.32. berikut. 47

41 Gambar II.32. Data SRTM : (a) Sebelum diolah (b) sesudah diolah (Kobrick, 2006 dalam Nugraha, 2012) II.6.2. Versi Data DEM SRTM Setelah diolah, data DEM SRTM ini diproduksi dalam dua versi data, yaitu DEM SRTM dengan sampel 1 detik dan DEM SRTM dengan sampel 3 detik. Data DEM SRTM dengan sampel 1 detik hanya diproduksi untuk daerah Amerika Utara saja. Sedangkan untuk daerah di dunia diproduksi dengan sampel tiap 3 detik. DEM 3 detik merupakan hasil dari proses subsampling data DEM 1 detik. Proses ini dilakukan dengan dua alternatif. Pertama, setiap 3x3 piksel dari data DEM SRTM 1 detik dipilih satu sampel yang letaknya di tengah proses ini dinamakan sampling method. Kedua dengan mengambil rata-rata setiap 3x3 piksel dari data SRTM 1 detik, proses ini dinamakan averaging method. Gambar berikut merupakan ilustrasinya. Untuk wilayah Indonesia, hanya tersedia DEM dengan resolusi 90 meter (3 detik), sehingga lembaga penerbangan dan antariksa nasional (LAPAN) melakukan resampling dari data tersebut hingga didapatkan resolusi yang lebih baik yaitu 30 meter dan 25 meter. Metode yang digunakan merupakan metode yang sama seperti yang digunakan oleh negara Australia. 48

42 Gambar II.33. Proses subsampling data SRTM sampel 1 detik menjadi sampel 3 detik (Kobrick, 2006 dalam Nugraha, 2012) II.6.3. Format Data SRTM Data DEM SRTM sampel 1 detik disebut SRTM1 memiliki resolusi 30m. Hal ini menyebabkan banyak orang menyebutnya SRTM30 meter. SRTM 30 meter ini memiliki 3601 sampel sama dengan luas baris dan kolom yang overlapping. Sedangkan data SRTM sampel 3 detik disebut SRTM3 memiliki resolusi spasial sebesar 90 meter. Hal ini menyebabkan kebanyakan orang menyebutnya SRTM 90 m. SRTM 90 meter memiliki 1201 garis dan sampel sama dengan luas baris dan kolom yang overlapping. Data DEM SRTM memiliki proyeksi geografis. Data DEM SRTM disediakan dalam bentuk 16-bit biner raster sederhana. SRTM memiliki format data yang sama seperti format GRID lainnya, yaitu terdiri atas sel-sel yang setiap sel memilki nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada DEM SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS 1984, bukan dari permukaan laut. Tetapi karena datum WGS 1984 hampir berimpit dengan permukaan laut, maka untuk skala tinggi dapat diabaikan perbedaan di antara keduanya. Datum vertikal DEM SRTM mengacu pada geoid (EGM 96) sehingga ketinggian pada DEM SRTM ini merupakan tinggi orthometrik. DEM SRTM memiliki elevasi dari sampai meter, berdasarkan rentang ketinggian yang ada di bumi. Spesifikasi dari data DEM SRTM dapat dilihat pada tabel II.10 berikut ini. 49

43 Tabel II.10. Spesifikasi data SRTM Nama Resolusi Spasial Proyeksi Datum Horizontal Datum Vertikal Satuan Tinggi Ukuran Sel SRTM1 30 meter Geografis WGS 84 WGS 84 / EGM 96 geoid meter SRTM3 90 meter Geografis WGS 84 WGS 84 / EGM 96 geoid meter Sumber : Kobrick, 2006 dalam Nugraha, 2012 Resolusi vertikal SRTM1 menurut USGS adalah ±16m sebanyak 90% dan yang 10% lebih baik daripada ±16m. II.6.4. Kelebihan dan Kekurangan DEM SRTM Beberapa kelebihan yang dimiliki DEM SRTM antara lain : 1. Gratis, ini adalah kelebihan utama yang dimiliki SRTM. Siapa saja dan dimana saja dapat mendownload DEM SRTM tanpa bayar. 2. Digital, DEM SRTM dapat didownload dengan format HGT, ASCII, atau GeoTiff, kita bisa mengkonversi ke format yang kita inginkan misalnya Grid ArcView. 3. Resolusi, resolusi lumayan tinggi untuk skala tinjau. Resolusi horizontal (yang bisa kita download untuk Indonesia) adalah 90 meter. Tentu saja dengan resolusi ini SRTM tidak bisa digunakan untuk pemetaan secara detail. Sedangkan kekurangan DEM SRTM antara lain DEM SRTM memiliki 0.2% data yang tidak terliputi di muka bumi karena berupa pegunungan. II.7. DEM ASTER GDEM ASTER merupakan salah satu sensor yang terdapat pada satelit Terra. Satelit Terra diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dengan misi selama 6 tahun sebagai platform pertama program pengamatan bumi berskala besar yang dipromosikan oleh NASA. Kemudian program satelit ini diberi nama baru sebagai EOS-AM1, yang merupakan program kerja sama internasional dimana NASA 50

44 menyediakan bus satelit dan sistem sensor Ceres, Modis, dan Misr, Jepang menyediakan sensor ASTER, dan Kanada menyediakan sensor Mopitt. Satelit Terra diluncurkan dengan orbit polar, sun synchronous pada ketinggian 700 hingga 737km, dengan sudut inklinasi 98.2, rescurrence cycle 16 hari di ekuator, periode menit. Gambar II.34. berikut ini merupakan foto dari sensor ASTER yang dipasang pada satelit Terra. Gambar II.34. Foto satelit Terra (ASTER User Handbook Version 2, 2002) Sensor ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission Reflection Radiometer) merupakan sensor optis lanjut buatan JAROS (Japan Resources Observation System Organization) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan berbagai studi kebumian. Terdiri atas 3 radiometer yang menghasilkan 14 saluran spektral yaitu 3 band VNIR (Visible and Near Infrared) dengan resolusi 15 m, 6 band SWIR (short wave infrared) dengan resolusi 30 m, dan 5 band TIR (Thermal Infrared) dengan resolusi 90 m. Sistem sensor ini menghasilkan scene yang berukuran sekitar 60km x 60km dengan revisit time sekitar 5 hari. Dengan penempatan (pointing) pada target yang sama dua kali, ASTER dapat mendapatkan citra stereo beresolusi tinggi (Thoha, 2008 dalam Nugraha, 2012). Keterangan lebih lanjut dapat dibaca pada tabel II.11, dan II.12di bawah ini. Tabel II.11. Karakteristik sistem sensor ASTER Orbit Sistem Terra 705 Km, 98.2, sun-synchronous, 10:30 AM crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle) 51

45 Sensor Swath Width Off-Track Viewing Revisit Time ASTER 60 Km Tersedia ± 8.5 SWIR dan ± 24 VWIR 5 Hari Band-band Spektral (µm) VNIR 0.056(1), 0.66 (2), 0.81(3), 2.26 (4), 2.23 (5), 2.40 (6), TIR 8.3 (1), 8.65 (2), 9.10 (3), 10.6 (4), 11.3 (5) Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi Spasial) Arsip Data Sumber : Abrams dkk., m (VNIR), 30m (SWIR), 90m (TIR) Terra.nasa.gov Subsystem VNIR SWIR TIR Tabel II.12. Karakteristik subsistem sensor ASTER Band No. Sumber : Prahasta, 2009 Spectral Range (µm) Spatial Resolution(m) Quantization Level N B bits 30 8 bits bits II.7.1. Karakteristik DEM ASTER GDEM II Proses Akuisisi Data DEM ASTER GDEM DEM ASTER GDEM diakuisisi oleh spektrum VNIR. Band 3B sebenarnya identik dengan band 3N pada spektrum VNIR. Hanya saja band 3B (3 backward) dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut pandang sebesar 23.5 relatif terhadap nadir teleskop. Kombinasi band 3N dan band 3B itulah yang dapat 52

46 menghasilkan DEM (Prahasta, 2009). VNIR merekam gambar stereo dari nadir telescope, kemudian backward-viewing telescope merekam kembali daerah yang sama setelah selang waktu 60 detik sehingga terbentuk citra stereo. Gambar II.35 di bawah ini merupakan ilustrasi posisi sensor VNIR 3B dan 3N. Gambar II.35. Instrumen dari sensor VNIR ASTER (Abrams dkk., 2002) ASTER mencakup data DEM dari koordinat 83 LU hingga 83 LS. Kemudian data tersebut dibagi atas petak-petak citra dengan luas 1x1 derajat. Jumlah petak untuk DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu 22,600, sedangkan jumlah area untuk DEM ASTER GDEM versi 2 yaitu 22,702. Setiap petak citra DEM ASTER terdiri atas dua file, yaitu data DEM dan data informasi kualitas DEMnya. Resolusi spasial dari DEM ASTER GDEM baik versi 1 atau versi 2 sama yaitu 1 arc second atau sekitar 30 meter. Hanya saja ketelitian vertikal telah ditingkatkan pada DEM ASTER GDEM versi 2. II Versi Data DEM ASTER GDEM DEM ASTER GDEM hingga saat ini memiliki dua versi yang dikomersilkan, yaitu DEM ASTER GDEM versi 1 yang diluncurkan pada akhir bulan Juni 2009, dan DEM ASTER GDEM versi 2 yang diluncurkan pada pertengahan bulan oktober DEM ASTER GDEM versi 2 bisa disebut sebagai hasil pengembangan dan perbaikan dari versi 1. Pada versi pertama ditemukan beberapa kelemahan, antara lain hasil DEM yang lemah untuk daerah lintang tinggi, terkontaminasi oleh awan, dan hasil studi beberapa instansi penguji 53

47 independen menyatakan bahwa tingkat efektifitas resolusi spasial DEM ASTER GDEM versi 1 berada pada urutan 120 meter. Seperti versi 1, DEM ASTER GDEM versi 2 juga divalidasi oleh kerjasama antara Amerika Serikat dan Jepang. Perbaikan dilakukan dengan menambahkan 260,000 gambar untuk meningkatkan cakupan wilayah DEM. Peningkatan akurasi vertikal dilakukan dengan validasi data DEM terhadap referensi geodetic perbatasan Amerika Serikat (CONUS), terhadap data DEM SRTM 30 meter yang mencakup Amerika Serikat dan 20 wilayah lain di dunia, dan terhadap data altimetri global. Kemudian untuk peningkatan akurasi horizontal merupakan bagian dari tugas Jepang dan kelompok peneliti akurasi global SRTM. Sebelumnya akurasi vertikal DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu 10 hingga 25 meter. Setelah dilakukan perbaikan, berdasarkan catatan peneliti akurasi vertikal, kesalahan rata-rata selisih tinggi DEM ASTER GDEM versi 2 menjadi sekitar meter setelah dibandingkan dengan 18,000 titik kontrol geodesi CONUS, dengan akurasi 17 meter pada tingkat kepercayaan 95%. Kemudian berdasarkan uji coba Jepang dengan 10 titik referensi tinggi nasional Jepang, terdapat selisih sekitar -0.7 meter pada area terbuka, dan 7.4 meter pada area hutan. Demikian pula hasil studi CONUS mencatatkan bahwa selisih vertikal DEM ASTER GDEM versi 2 menjadi sekitar 8 meter untuk daerah tertutup kanopi, dan lebih dari 1 meter untuk daerah terbuka. Studi altimetri global menyebutkan bahwa rata-rata selisih terhadap kontrol altimeter yang diturunkan sekitar 3 meter, dan sangat sensitif terhadap tinggi pohon. Kemudian untuk kondisi horizontal, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jepang, menghasilkan kesimpulan bahwa pergeseran horizontal yang terjadi pada DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu sebesar 0.95 piksel, telah diturunkan menjadi 0.23 piksel di DEM ASTER GDEM versi 2. Dicatatkan juga bahwa terjadi perbaikan resolusi horizontal antara 71 hingga 82 meter dibandingkan dengan DEM SRTM 30 meter, tetapi jumlah noise meningkat. Void (daerah yang tidak terekam) dan artefak secara substansial berkurang pada DEM ASTER 54

48 Elevation Error GDEM versi 2, bahkan di beberapa daerah hampir tidak ada. Untuk lebih terangnya dapat dilihat pada tabel II.13. dan II.14. di bawah ini. Data Supplier Tabel II.13. Spesifikasi ASTER GDEM versi 2 METI/NASA Version and acquiisition date ver.2, 2011 Period of data collection Acquisition Technis Main distortion factor Stereo Pairs, visible, and near infrared clouds Datum (horizontal) WGS 1984 Datum (vertical) Horizontal Resolution Horizontal Accuracy Vertical Accuracy Data Format Sumber : Abrams dkk., 2002 EGM96 Geoid 1 arc second ±30m (abs) 95% Circular Error (CE) ±20m (abs) 95% Linear Error (LE) GeoTIFF, 16-bit signed integer Tabel II.14. Perbedaan ketelitian ASTER GDEM versi 1 dengan versi 2 About DEM ASTER versi 1 DEM Aster versi 2 Horizontal Error Flat and open area (rice farm) Mountainous area largely covered by forest Sumber : Tachikawa, arc-second to west 0.13 arc-second to west 0.47 arc-second to south 0.19 arc-second to north offset -4.8 m -0.7 m SD 6.2, 5.9 m RMSE m offset +2.2 m +7.4 m SD 15.4 m 12.7 m RMSE m Gambar II.36. Perbedaan penampakan ASTER GDEM versi 1 dengan versi 2 (Tachikawa, 2011) 55

49 II Format Data DEM ASTER GDEM Output DEM ASTER menggunakan sistem proyeksi geografis. Data DEM ASTER disediakan dalam bentuk 16-bit biner raster dengan format geo tiff. ASTER memiliki format data yang sama seperti format GRID lainnya, yaitu terdiri atas sel-sel yang setiap sel memilki nilai ketinggian dalam wujud DN (Digital Number). Khusus untuk daerah void (kosong) menggunakan kode DN dan wilayah perairan menggunakan DN 0. Datum vertikal ASTER GDEM mengacu pada geoid EGM 96 sehingga ketinggian pada DEM ASTER ini merupakan tinggi orthometrik. Tabel II.15 berikut menerangkan tentang format data DEM ASTER GDEM. Tabel II.15. Format data DEM ASTER GDEM Key Processing Factor Version 1 Version 2 Number of input scene DEM 1,264,118 1,514,350 Posting Interval 1 arc-second 1 arc-second Correlation Kernel Size 9 by 9 pixels 5 by 5 pixels Minimum Water Body Detection Size 12 sq. km 1.0 sq. km Water Body Post Processing Not Applied Applied Filtering Threshold Value 40 m 40 m Offset -5 m offset observed Release Data June 29th, 2009 Middle of October, 2011 Sumber : Tachikawa, 2011 II Kelebihan dan Kekurangan DEM ASTER GDEM Berikut adalah kelebihan DEM ASTER GDEM, antara lain adalah : 1. Gratis, data DEM ASTER GDEM baik versi 1 atau versi 2 dapat diunduh secara gratis melalui website. 2. Digital, DEM ASTER GDEM tersedia dalam format GeoTiff, kita bisa mengkonversi ke format yang kita inginkan. 3. Resolusi spasial yang lebih baik daripada DEM SRTM. 4. Data DEM ASTER GDEM tersedia untuk seluruh permukaan bumi. Sedangkan kelemahan pada DEM ASTER GDEM antara lain adalah : 1. Dalam proses akuisisinya yang memanfaatkan sensor infra merah, mengakibatkan tutupan awan tidak dapat ditembus. 56

50 2. Terdapat void pada beberapa tempat (area kosong). 3. Validasi baru dimaksimalkan untuk wilayah Amerika Serikat dan Jepang. II.8. Gridding II Interpolasi Kriging Proses gridding adalah suatu tahapan dimana baris-baris (titik-titik) dari pengamatan (Xp, Yp, Zp) yang secara planimetris tidak terdistribusi menurut aturan tertentu ditransformasikan sedemikian rupa sehingga akhirnya menjadi sejumlah baris-baris (titik-titik) koordinat baru (Xi, Yi, Zi) yang berlokasi di titiktitik (sudut) grid tertentu (Prahasta, 2008). Di dalam terminologi aplikasi surfer, grid adalah daerah (area) yang berbentuk segi-empat yang terdiri atas baris dan kolom. Titik grid adalah titik perpotongan antara baris (terdiri dari titik-titik yang memiliki absis sama) grid. Setiap metode grid memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung pada terapan peta kontur yang akan dibentuknya (Budiyanto, 2005 dalam Nugraha, 2012). Untuk mendapatkan nilai (Xi, Yi) baru, dihitung berdasarkan penentuan koordinat absis dan ordinat titik awal grid (Xo, Yo) yang ditambahkan dengan interval-interval jarak (baik yang ke arah absis maupun yang ke arah ordinat/ Dx dan Dy) yang dikalikan dengan indeks baris (Iy) dan jolom (Ix) posisi grid yang bersangkutan (Nugraha, 2012). Sementara, nilai-nilai ketinggian titik gridnya (Zi) dihitung dengan cara menginterpolasikan dari sejumlah nilai-nilai ketinggian pengamatan yang bersangkutan. Jenis interpolasi grid dalam surfer yang paling sering digunakan adalah metode kriging. Kriging merupakan metode gridding yang bersifat fleksibel dan geostatikal yang sangat bermanfaat di berbagai bidang dan menyediakan tampilan visual dengan daya tarik yang kuat bagi data yang tersebar secara tidak teratur. Dengan kemampuannya menerima berbagai data ini, metode kriging menjadi metode yang sangat efektif. Kriging adalah metode default yang digunakan oleh surfer. Pada data yang memiliki kapasitas besar, metode grid ini berjalan agak lambat. Pada metode kriging milik Surfer terdapat beberapa 57

51 komponen model variogram, tipe drift, dan nugget effect. Kriging mempunyai karakteristik, antara lain : 1. Mampu bekerja dengan baik meskipun datanya acak 2. Menghitung nilai suatu titik dari nilai yang diketahui dengan estimasi 3. Menghitung kesalahan dari estimasi yang dilakukan Kriging menggunakan pembobotan dalam proses interpolasinya. Bobot tergantung pada jarak antar titik. Titik dengan jarak yang dekat, akan mempunyai bobot lebih besar dibandingkan dengan jarak yang jauh. Bobot untuk interpolasinya diturunkan dari semivariogram. Semivariogram menentukan tingkat hubungan spasial (spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah. Semivariogram dihitung dengan menggunakan rumus II.18 di bawah ini : Z o =... (II.18) Keterangan : Z o : Nilai estimasi Wi : Bobot Zi : Nilai yang diketahui Model variogram akan menentukan sifat ketetanggaan titik-titik lokal pengamatan beserta bobotnya yang digunakan ketika interpolasi nilai ketinggian setiap node grid. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Surfer menyediakan beberapa model variogram eksponensial, gauss wave (hole effect), linier, kuadratik, kuadrat-rasional, dan sperikal. Jika pengguna tidak mengetahui secara pasti mengenai model yang tepat untuk proses gridding datanya, Surfer menyarankan untuk menggunakan variogram linier dengan besar skala 1. Semivariogram tergantung dari semivarian yang dihitung berdasarkan nilai, jarak antar titik, dan jumlah titik tetangga yang digunakan untuk menentukan nilai titik yang baru. Semivarian dihitung dengan rumus II.19 di bawah ini (Nugraha, 2012). γ (h) = x ²... (II.19) Keterangan : γ (h) : Semi-Varian Zi : Nilai pada suatu titik 58

52 Zj n : Nilai pada titik yang lain : jumlah titik pada suatu rentang Gambar II.37. Hubungan antar titik dengan jarak yang berbeda-beda untuk pembobotan pada interpolasi kriging (Nugraha, 2012) Dalam krigging terdapat pilihan tipe drift akan memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada proses gridding (interpolasi) dimana di dalam pola sebaran datanya terdapat lubang (tidak tersedianya sejumlah data ukuran yang cukup untuk menginterpolasikan nilai node grid tertentu) yang cukup besar, atau ketika Surfer terpaksa harus melakukan ekstrapolasi keluar dominan spasial datanya. Surfer menyediakan tiga pilihan untuk tipe drift, yaitu none, linear, dan quadratic. None digunakan untuk kondisi dimana datanya cenderung terdistribusi secara merata. None pula yang digunakan jika pengguna tidak mengetahui secara pasti sebaran datanya. Artinya dengan tipe drift ini, interpolasinya menggunakan model ordinary kriging. Sementara itu, pilihan tipe drift linear dan quadratic digunakan untuk mengimplementasikan model universal kriging. Walaupun demikian, penggunaan kedua tipe drift ini harus didasarkan pada informasi atau pengetahuan mengenai kecenderungan datanya di lapangan. Jika datanya cenderung linear, maka gunakanlah pilihan yang kedua. Tetapi jika datanya bergelombang kuadratik, gunakanlah pilihan yang ketiga (Prahasta, 2008 dalam Nugraha, 2012). Langkah kerja interpolasi kriging dilakukan dalam beberapa langkah, antara lain : 1. Membagi jarak menjadi beberapa rentang jarak 59

53 2. Untuk tiap titik dihitung jarak dan kuadrat nilainya (semivarian) 3. Mengelompokkan tiap titik sesuai dengan rentang jaraknya, diakumulasikan jumlah varian pada setiap rentang jarak. 4. Menghitung nilai rata-rata varian di setiap rentang jarak. 5. Menggambarkan posisi nilai rata-rata pada semivariogram. Gambar II.38. Proses interpolasi kriging dengan semivariogram (Nugraha, 2012) II Height Error Map (HEM) Height Error Map merupakan hasil yang menunjukkan kualitas DEM saat melakukan pembuatan DEM melalui metode interpolasi (Surfer) atau pembuatan DEM dengan citra stereo optik (Leica Photogrametry Suite, Erdas Imagine). Gambar II.39. menunjukkan gambar pengaturan untuk mendapatkan HEM pada perangkat lunak Surfer 9. 60

54 Gambar II.39. Kotak dialog output grid of kriging standard deviations (Nugraha, 2012) Bila menggunakan surfer, Height Error Map dibentuk dari hasil Output Grid of Kriging Standard Deviation. Penggunaan Output Grid of Kriging Standard Deviations dapat memperlambat proses Gridding, karena surfer menggunakan algoritme yang sangat optimal untuk menghitung dan menginterpolasi node yang diinput. Output Grid of Kriging Standard Deviations akan memberikan informasi lokasi dari penyimpangan data gridding. Height Error Map dibuat berbasis pada standar deviasi dari setiap nilai ketinggian, proses pembuatannya melalui tahapan konturing, transformasi sistem koordinat dan interpolasi menggunakan perangkat lunak Surfer. Height error map yang diperoleh akan menjadi nilai bobot saat penggabungan DEM dilakukan. Semakin tinggi height error suatu piksel, maka semakin rendah bobot piksel tersebut, dan semakin rendah height error maka semakin tinggi bobot piksel. II Penelitian Terdahulu Metode Gridding Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yaitu Atriyon Julzarika dan Bambang Trisakti. Penelitian tersebut menggunakan data DEM SRTM 90 dan data peta topografi skala 1 : untuk wilayah sekitar Enrekang (Sulawesi Selatan) dan peta topografi skala 1 : untuk wilayah sekitar Bandung (Jawa Barat). Setelah menganalisis berbagai macam metode interpolasi, hasilnya memperlihatkan bahwa dari delapan metode interpolasi yang digunakan, enam diantaranya 61

55 mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik. Akurasi terbaik diperoleh dengan menggunakan metode Kriging Quadratic (spherical) dan Kriging Cubic. II.9. Uji Statistik Dalam penelitian ini akan didapatkan beberapa peta kelerengan berdasarkan data DEM/DTM LiDAR, ASTER, dan SRTM. Maka untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antar data akan dilakukan analisis statistik. Berikut adalah tinjauan pustaka analisis statistik yang akan digunakan pada penelitian kali ini. II Penentuan Sampel Dalam analisis statistik, terdapat istilah Teknik Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian antara lain. Pada penelitian kali ini akan digunakan teknik probability sampling, atau teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Berikut adalah syarat keterwakilan sampel : 1. Diambil secara acak. 2. Proses pengambilan sedemikian sehingga setiap anggota punya peluang sama. 3. Jumlah mencukupi. 4. Jika populasi berumpun, setiap rumpun punya peluang sama untuk dipilih. 5. Proportional atau seimbang. Untuk menentukan ukuran sampel minimal dalam populasi penelitian kali ini, akan digunakan rumus Slovin, berikut rumusnya (Pratisto, 2009). n =... (II.20) Keterangan : n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi α : Taraf signifikansi (0.01 atau 0.05) 62

56 II Uji Distribusi Normal Sebelum dilakukan uji statistik lebih lanjut, data harus diketahui apakah terdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, akan digunakan metode One Sample Kolmogorov Smirnov pada perangkat lunak SPSS. Uji ini pada prinsipnya adalah perbandingan antara frekuensi komulatif eksperimental dengan distribusi teoritis yang diasumsikan. Jika perbedaan keduanya cukup besar, maka model distribusi teoritis ditolak. Langkah dari metode ini adalah sebagai berikut (Pratisto, 2009). 1. Menghitung nilai rata-rata populasi. x rata-rata =... (II.21) 2. Menghitung standar deviasi populasi. ²... (II.22) 3. Menghitung Z-Score. Z score =... (II.23) 4. Menghitung Z-Score komulatif. 5. Menghitung desimal jumlah jenis x. Ft = Z Score xi + Z Score xi+1... (II.24) Fs =... (II.25) 6. Menghitung selisih absolut. D = Ft Fs... (II.26) Keterangan : xi : Nilai sampel n : Jumlah sampel x rata-rata : Rata-rata nilai sampel z score : Nilai z ft : Nilai z komulatif fs : Nilai desimal jumlah jenis x D : Selisih absolut ft dan fs 63

57 7. Membandingkan D maksimum dengan D pada tabel. Gambar II.40. Tabel nilai kritis uji kolmogorov smirnov (Dali, 2014) Dalam hal ini, apabila D maksimum lebih kecil daripada D yang terdapat pada tabel Kolmogorov Smirnov seperti yang ada pada gambar II.40 di atas, maka dapat diartikan bahwa data terdistribusi normal. II Uji Korelasi Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui besar hubungan antara variabel satu dengan yang lain. Penelitian kali ini akan menggunakan perangkat lunak SPSS untuk menganalisis korelasi. Metode yang dapat digunakan antara lain adalah Pearson (untuk data terdistribusi normal), Kendall s Tau dan Rank Spearman (untuk data yang tidak terdistribusi normal). Terdapat beberapa klasifikasi korelasi, antara lain seperti ditunjukkan oleh tabel II.16 bawah ini. Tabel II.16. Tingkat korelasi menurut Jonathan Sarwono No Persentase Korelasi Jenis Korelasi 1 0 Tidak ada Sangat lemah Cukup Kuat Sangat kuat 6 1 Sempurna Sumber : Setabasri,

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN III.1. Area Penelitian Area penelitian didasarkan pada data LiDAR, antara koordinat 7 50 22.13 LS 139 19 10.64 BT sampai dengan 7 54 55.53 LS 139 23 57.47 BT. Area penelitian

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisis Data DEM/DTM Untuk mengetahui kualitas, persamaan, dan perbedaan data DEM/DTM yang akan digunakan untuk penelitian, maka dilakukan beberapa analisis. Gambar IV.1.

Lebih terperinci

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2015

Jurnal Geodesi Undip Januari 2015 ANALISIS KETELITIAN DEM ASTER GDEM, SRTM, DAN LIDAR UNTUK IDENTIFIKASI AREA PERTANIAN TEBU BERDASARKAN PARAMETER KELERENGAN (Studi Kasus : Distrik Tubang, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua) Mahmudi, Sawitri

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON 3.1 Data dan Area Studi Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney Indonesia. Area tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang berlimpah, serta ditempati lebih dari 240 juta penduduk. Pembangunan di segala

Lebih terperinci

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara) Geoid Vol. No., Agustus 7 (8-89) ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) Agung Budi Cahyono, Novita Duantari Departemen Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR 63 BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR Survey airborne LIDAR terdiri dari beberapa komponen alat, yaitu GPS, INS, dan laser scanner, yang digunakan dalam wahana terbang, seperti pesawat terbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004] BAB II DASAR TEORI 2.1. Permasalahan Kenaikan Permukaan Air Laut Fenomena kenaikan muka air laut mengemuka seiring dengan terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Data spasial sangat dibutuhkan untuk menyediakan informasi tentang kebumian. Untuk memenuhi data spasial yang baik dan teliti, maka diperlukan suatu metode yang efektif

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b...

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Sehubungan

Lebih terperinci

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL JENIS DAN TARIF ATAS JENIS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang sudah terdaftar dan berkoordinat (BIG, 2014). Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Bab ini berisi rangkuman hasil studi referensi yang telah dilakukan. Referensi- referensi tersebut berisi konsep dasar pengukuran 3dimensi menggunakan terrestrial laser scanner, dan

Lebih terperinci

Isfandiar M. Baihaqi

Isfandiar M. Baihaqi ASPEK PERPETAAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Isfandiar M. Baihaqi 0813

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM 32 BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM 3.1 Pergerakan rotasi wahana terbang Wahana terbang seperti pesawat terbang dan helikopter mempunyai sistem salib sumbu x, y, dan z di mana masing-masing

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk dari digitalisasi yang sedang berkembang saat ini adalah teknologi 3D Scanning yang merupakan proses pemindaian objek nyata ke dalam bentuk digital.

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Profil adalah kenampakan permukaan alam disebabkan adanya beda tinggi apabila beda tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar. Manfaat profil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data kebumian yang memberikan informasi geospasial terus berkembang. Real world yang menjadi obyek pemetaan juga cepat mengalami perubahan. Penyediaan

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unmanned Surface Vehicle (USV) Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV) merupakan sebuah wahana tanpa awak yang dapat dioperasikan pada permukaan air.

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Dasar Hukum FUNGSI RDTR MENURUT PERMEN PU No 20/2011 RDTR dan peraturan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri BAB II DASAR TEORI 2. Fotogrametri Salah satu teknik pengumpulan data objek 3D dapat dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrametri. Teknik ini menggunakan foto udara sebagai sumber data utamanya. Foto

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

PRESENTASI TUGAS AKHIR

PRESENTASI TUGAS AKHIR PRESENTASI TUGAS AKHIR KAJIAN DEVIASI VERTIKAL ANTARA PETA TOPOGRAFI DENGAN DATA SITUASI ORIGINAL TAMBANG BATUBARA Oleh : Putra Nur Ariffianto Program Studi Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang American Society of Photogrammetry (Falkner dan Morgan, 2002) mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu dan teknologi mengenai informasi terpercaya tentang objek fisik

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG Matakuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) Oleh: Ardiansyah, S.Si GIS & Remote Sensing Research Center Syiah Kuala University, Banda Aceh Session_03 March 11, 2013 - Sumber dan Akuisisi Data - Global

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Konsep Dasar Pengolahan Citra Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Definisi Citra digital: kumpulan piksel-piksel yang disusun dalam larik (array) dua-dimensi yang berisi nilai-nilai real

Lebih terperinci

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000 BAB 3 TAHAPAN STUDI Dalam bab ini akan dibahas rangkaian prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini yang dimulai dari peralatan yang digunakan, proses kalibrasi kamera, uji coba, dan pengambilan data

Lebih terperinci

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data BAB 3 Akuisisi dan Pengolahan Data 3.1 Peralatan yang digunakan Pada pengukuran TLS, selain laser scanner itu sendiri, receiver GPS tipe geodetik juga digunakan untuk penentuan posisi titik referensi yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM)

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM) ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM) Yogyrema Setyanto Putra, Muhammad Taufik Program Studi Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian Bab III Pelaksanaan Penelitian Tahapan penelitian secara garis besar terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan kesimpulan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r) BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Kalibrasi Kamera Analisis kalibrasi kamera didasarkan dari hasil percobaan di laboratorium dan hasil percobaan di lapangan. 4.1.1. Laboratorium Dalam penelitian ini telah

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS Dasar dari prinsip kerja TLS sudah dijelaskan di Bab 3, pada pengambilan data dengan TLS, setiap satu kali pengambilan data pada satu tempat

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661 A369 Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech I Gede Brawiswa Putra, Mokhamad Nur Cahyadi Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di dalam dunia pertambangan tidak terlepas dari hal mengenai kelerengan. Hal ini dapat dilihat dari struktur dan bentuk dari final wall yang terbentuk akibat proses penambangan

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (20XX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi

Lebih terperinci

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4. DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... v PERNYATAAN... vi PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv DAFTAR ISTILAH... xvi INTISARI...

Lebih terperinci

PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL. Ratna Saraswati

PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL. Ratna Saraswati PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL Ratna Saraswati KONSEP PENGOLAHAN CITRA Citra dijital disimpan dalam bentuk matriks (array atau grid) 2 dimensi Masing-masing elemennya mewakili sebuah kotak kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang berfungsi untuk menyalurkan tegangan listrik dari pusat tegangan yang memiliki jarak yang jauh. Menara SUTET terbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin modern belakangan ini membuat teknologi survei dan pemetaan akan kebutuhan tentang data kebumian yang dapat memberikan suatu informasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI Pada bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan tingkat kualitas data, terutama perbandingan dari segi geometri, selain itu juga akan dibahas mengenai

Lebih terperinci