VARIABEL DETERMINAN PENGGUNAAN COTTON BUD TERHADAP INSIDENSI OTITIS EKSTERNA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABEL DETERMINAN PENGGUNAAN COTTON BUD TERHADAP INSIDENSI OTITIS EKSTERNA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id VARIABEL DETERMINAN PENGGUNAAN COTTON BUD TERHADAP INSIDENSI OTITIS EKSTERNA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran AILA MUSTOFA G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2011 to user

2 digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 BAB II LANDASAN TEORI... 4 A. Tinjauan Pustaka Otitis Eksterna... 4 a. Pengertian... 4 b. Etilologi... 4 c. Klasifikasi... 7 d. Patofisiologi... 9 e. Manifestasi Klinik f. Diagnosis g. Diagnosis Banding h. Penatalaksanaan i. Pencegahan vii

3 digilib.uns.ac.id 2. Cotton Bud a. Pengertian b. Efek Penggunaan Cotton Bud c. Serumen Pengaruh Penggunaan Cotton Bud terhadap Otitis Eksterna B. Kerangka Pemikiran C. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Lokasi Penelitian C. Subjek Penelitian D. Besar Sampel E. Cara Pengambilan Sampel F. Rancangan Penelitian G. Jalannya Penelitian H. Identifikasi Variabel I. Definisi Operasional Variabel J. Instrumen Penelitian K. Teknik Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan viii

4 digilib.uns.ac.id B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

5 digilib.uns.ac.id ABSTRAK Aila Mustofa, G , Variabel Determinan Penggunaan Cotton Bud terhadap Insidensi Otitis Eksterna. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Tujuan: Mengetahui variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control yang dilaksanakan di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta.. Subjek penelitian adalah orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel secara fixed-disease sampling. Penelitian ini menggunakan analisis multivariat dengan enam variabel independen yaitu frekuensi, intensitas, durasi, teknik, bahan, serta kondisi telinga saat menggunakan cotton bud dengan jumlah sampel 90. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Data diuji dengan uji Chi-Square atau uji Fisher, uji korelasi Spearman dilanjutkan uji Regresi Logistik. Hasil Penelitian: Dari analisis bivariat terdapat korelasi positif antara frekuensi dan otitis eksterna (r = = korelasi lemah), intensitas dan otitis eksterna (r = = korelasi sedang), serta antara teknik dan otitis eksterna (r = = korelasi lemah) serta diperoleh tiga variabel yang dimasukkan analisis multivariat yaitu frekuensi, intensitas dan teknik. Dari analisis multivariat menunjukkan hasil bahwa, intensitas penggunaan cotton bud (p = 0.001; OR 6.9(2.3, 20.8)), teknik penggunaan cotton bud (p = 0,010; OR 5.3(1.5, 18.7)), dan frekuensi penggunaan cotton bud (p = 0,011 OR 4.2(1.4, 12.9)) merupakan variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. Kualitas persamaan analisis regresi logistik menunjukkan nilai diskriminasi sedang {Area Under Curve (AUC) =72.4%} dan mempunyai kalibrasi baik dengan nilai p = (p > 0.05). Simpulan: Frekuensi, intensitas dan teknik merupakan variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. Kata Kunci: cotton bud, otitis eksterna iv

6 digilib.uns.ac.id ABSTRACT Aila Mustofa, G , Determinant Variable of Cotton Bud Use and External Otitis Incidence. Medical Faculty of Sebelas Maret University Surakarta Objective: Find the determinant variable of cotton bud use and external otitis incidence Method: This analytic qualityative observational study uses case-control method, was held in the Ear Nose Throat (ENT) Clinic of dr. Moewardi Hospital Surakarta. 90 subjects were chosen to participate in this study by fixed-disease sampling. This study used multivariate analysis with six independent variables are frequency, intensity, duration, techniques, materials, and current condition of the ear using a cotton bud. Data were collected through questionnaire. Data were analyzed with Chi-Square or Fisher, Spearman and Logistic Regression. Result: There is a positive correlation between the frequency and external otitis (r = 0346 = weak correlation), the intensity and external otitis (r = 0415 = moderate correlation), as well as between technique and external otitis (r = 0265 = weak correlation). Three variables which included multivariate analysis are frequency, intensity and technique. From multivariate analysis found that intensity (p=0.001; OR 6.9(2.3, 20.8)), technique (p= 0,010; OR 5.3(1.5, 18.7)), and frequency of cotton bud use (p = 0,011 OR 4.2(1.4, 12.9)) are determinant variable of cotton bud use and external otitis incidence. Quality equation of logistic regression analysis showed by moderate discrimination value {Area Under the Curve (AUC) = 72.4%} and good calibration with p = (p > 0.05). Conclusion: Intensity, technique, and frequency are determinant variable of cotton bud use and external otitis incidence. Keywords: cotton bud, external otitis v

7 digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan virus. Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau jerawat (Sander, 2009). Prevalensi otitis eksterna mencapai 10 % penduduk di dunia. 90 % kasus terjadi pada telinga unilateral (The 5-Minute Pediatric Consult, 2008). Terdapat beberapa predisposisi terjadinya otitis eksterna, antara lain (Sander, 2009) : struktur anatomis, kelembaban lokal, derajat keasaman (ph) liang telinga, trauma mekanik, berenang dan terpapar air, benda asing, bahan iritan, alergi, penyakit psoriasis, penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala, penyakit diabetes, penyumbat telinga serta alat bantu dengar. Salah satu faktor predisposisi yang belum pernah diteliti sebelumnya adalah trauma mekanik, dapat berupa trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga luar (meatus akustikus eksterna), misalnya setelah mengorek telinga menggunakan cotton bud. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap otitis eksterna. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan hal tersebut secara empiris. Jika otitis eksterna tidak diobati, infeksi akan menyebar ke struktur organ di sekitarnya yang lebih dalam dan dapat berkembang menjadi otitis eksterna maligna. Otitis eksterna maligna memiliki tingkat mortalitas hampir 50 % 1

8 digilib.uns.ac.id 2 (Roland, 2002). Sehingga dengan mencegah terjadinya otitis eksterna, terutama yang disebabkan oleh penggunaan cotton bud, dapat menghindari komplikasi tersebut. Penggunaan cotton bud dapat menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat (Oghalai, 2003). Cotton bud dapat memasukkan elemen bakteri dan jamur ke dalam liang telinga dan jika epitel mengalami trauma, akan mudah terjadi infeksi. Di samping itu, cotton bud juga dapat mendorong serumen ke dalam liang telinga. Semakin lama, serumen akan terakumulasi dan mengakibatkan penimbunan serumen (Lee, 2005). Keadaan di atas dapat menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur. Berdasarkan penelitian di Malaysia (Lee, 2005), menunjukkan bahwa angka penggunaan cotton bud di masyarakat sangat tinggi, yaitu mencapai 92 %, dan 74 % diantaranya bertujuan untuk membersihkan serumen. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. B. Perumusan Masalah Apakah terdapat variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna?

9 digilib.uns.ac.id 3 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis: Diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya tentang variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna. 2. Manfaat Praktis: Memperoleh data sebagai informasi bagi masyarakat, tentang variabel determinan penggunaan cotton bud dan efek yang dapat ditimbulkan, sehingga dapat mencegah terjadinya otiits eksterna.

10 digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Otitis Eksterna a. Pengertian Otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan virus. Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau jerawat (Sander, 2009). Faktor yang mempermudah radang telinga luar adalah perubahan ph di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila ph menjadi basa, proteksi terhadap infeksi menurun (Soepardi, 2007). Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain adalah trauma ringan ketika mengorek telinga (Soepardi, 2007). b. Etiologi Otitis eksterna terutama disebabkan oleh infeksi bakteri, yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus, dan Escherichia coli. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut adalah Pseudomonas sp. (41 %), Streptococcus sp. (22 %), Staphylococcus aureus (15 %) dan Bacteroides sp. (11 %) (Oghalai, 2003). Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh jamur (Aspergillus niger dan Candida albicans), alergi 4

11 digilib.uns.ac.id 5 (nikel, krom, bahan kimia hair spray, kosmetik), dan virus. Otitis eksterna dapat juga disebabkan oleh penyebaran luas dari proses dermatologis yang bersifat non infeksi (Sander, 2009). Predisposisi terjadinya otitis eksterna lebih besar pada ras yang memiliki liang telinga lebih kecil, karena lebih mudah terjadi obstruksi dan infeksi. Selain itu otitis eksterna memiliki rasio yang sama pada lakilaki maupun perempuan dan bisa terjadi pada semua kelompok usia, namun mencapai puncak insidensi pada anak usia 7-12 tahun (Roland, 2002). Faktor predisposisi otitis eksterna, yaitu (Sander, 2009) : 1) Struktur anatomis. Penimbunan serumen dapat diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang telinga. 2) Kelembaban lokal. Udara hangat/panas dan lembab memudahkan kuman bertambah banyak. 3) Derajat keasaman (ph) liang telinga. ph basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. ph asam memproteksi terhadap kuman infeksi. 4) Trauma mekanik. Trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga luar (meatus akustikus eksterna), misalnya setelah mengorek telinga menggunakan lidi kapas atau benda lainnya.

12 digilib.uns.ac.id 6 5) Berenang dan terpapar air. Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air. Hal ini disebabkan adanya bentuk lekukan pada liang telinga sehingga menjadi media yang bagus buat pertumbuhan bakteri. Otitis eksterna sering disebut sebagai Swimmer's ear. 6) Benda asing. Benda asing menyebabkan sumbatan liang telinga, misalnya manikmanik, biji-bijian, serangga, dan tertinggal kapas. 7) Bahan iritan (misalnya hair spray dan cat rambut). 8) Alergi. Alergi obat (antibiotik topikal dan antihistamin) dan metal (nikel). 9) Penyakit psoriasis. 10) Penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala. 11) Penyakit diabetes. Otitis eksterna sirkumskripta sering timbul pada pasien diabetes. 12) Penyumbat telinga dan alat bantu dengar. Terutama jika alat tersebut tidak dibersihkan dengan baik. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan (Sander, 2009) : 1) Pengobatan. Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak adekuat. 2) Trauma berulang. 3) Benda asing.

13 digilib.uns.ac.id 7 4) Alat bantu dengar (hearing aid). Penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid. c. Klasifikasi Otitis eksterna diklasifikasikan atas : 1) Otitis eksterna akut a) Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel/bisul) Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel/bisul) adalah otitis eksterna lokal yang bermula dari infeksi folikel rambut dan menimbulkan furunkel (bisul) pada sepertiga luar dari liang telinga luar (meatus akustikus eksterna) (Sander, 2009). Kulit telinga sepertiga luar liang telinga mengandung adneksa kulit,seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumen, maka tempat tersebut dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus, sehingga membentuk furunkel. Kuman penyebab biasanya Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus (Soepardi, 2007). Gejalanya ialah rasa nyeri yang hebat, tidak sesuai dengan besar bisul. Hal ini disebabkan karena kulit liang telinga tidak mengandung jaringan longgar di bawahnya, sehingga rasa nyeri timbul pada penekanan perikrondrium. Rasa nyeri dapat juga timbul spontan pada waktu membuka mulut (sendi temporomandibula). Selain itu terdapat juga gangguan

14 digilib.uns.ac.id 8 pendengaran, bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga (Soepardi, 2007). b) Otitis eksterna difus Otitis eksterna difus adalah otitis eksterna yang dapat disebabkan bakteri (Pseudomonas sp., Staphylococcus sp., Proteus sp.) atau jamur pada dua per tiga dalam dari liang telinga luar (meatus akustikus eksterna) (Sander, 2009). Tampak kulit liang telinga hiperemis dan edema yang tidak jelas batasnya (Soepardi, 2007). Kuman penyebab biasanya golongan Pseudomonas sp.. Kuman lain yang dapat sebagai penyebab ialah Staphylococcus albus, Escherichia coli dan sebagainya. Otitis eksterna difus dapat juga terjadi sekunder pada otitis media supuratif kronis (Soepardi, 2007). Gejalanya adalah nyeri tekan tragus, liang telinga sangat sempit, kadang kelenjar getah bening regional membesar dan nyeri tekan, terdapat sekret yang berbau. Sekret ini tidak mengandung lendir (musin) seperti sekret yang keluar dari kavum timpani pada otitis media (Soepardi, 2007). 2) Otitis eksterna kronik Otitis eksterna kronik adalah otitis eksterna yang berlangsung lama dan ditandai oleh terbentuknya jaringan parut

15 digilib.uns.ac.id 9 (sikatriks). Adanya sikatriks menyebabkan liang telinga menyempit (Sander, 2009). d. Patofisiologi Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan dan dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. Cotton bud (pembersih kapas telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-sel kulit mati dan serumen akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Masalah ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang telinga. Keadaan ini dapat menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur (Sander, 2009). Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang memudahkan bakteri masuk melalui kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa gatal memicu terjadinya iritasi, berikutnya infeksi lalu terjadi pembengkakan dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri (Sander, 2009). Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan perubahan rasa nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan cairan/nanah yang bisa menumpuk dalam

16 digilib.uns.ac.id 10 liang telinga (meatus akustikus eksterna) sehingga hantaran suara akan terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran (Sander, 2009). Bakteri patogen yang sering menyebabkan otitis eksterna yaitu Pseudomonas sp. (41 %), Streptococcus sp. (22 %), Staphylococcus aureus (15 %) dan Bacteroides sp. (11 %). Infeksi pada liang telinga luar dapat menyebar ke pinna, periaurikuler dan tulang temporal (Sander, 2009). Otalgia pada otitis eksterna disebabkan (Sander, 2009) : 1) Kulit liang telinga luar beralaskan periostium & perikondrium bukan bantalan jaringan lemak sehingga memudahkan cedera atau trauma. Selain itu, edema dermis akan menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat. 2) Kulit dan tulang rawan pada 1/3 luar liang telinga luar bersambung dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan sedikit saja pada daun telinga akan dihantarkan ke kulit dan tulang rawan liang telinga luar sehingga mengakibatkan rasa sakit yang hebat pada penderita otitis eksterna. e. Manifestasi Klinik Gejala otitis eksterna umumnya adalah rasa gatal dan sakit (otalgia). Gejala dan tanda pasien otitis eksterna selengkapnya (Sander, 2009) : 1) Otalgia 2) Gatal-gatal (pruritus)

17 digilib.uns.ac.id 11 3) Rasa penuh (fullness) di liang telinga. Keluhan ini biasa terjadi pada tahap awal otitis eksterna difus dan sering mendahului otalgia dan nyeri tekan daun telinga. 4) Pendengaran berkurang atau hilang. 5) Deskuamasi 6) Tinnitus 7) Discharge dan otore. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga (otore). Kadang kadang pada otitis eksterna difus ditemukan sekret/cairan berwarna putih atau kuning, atau nanah. Cairan tersebut berbau yang tidak menyenangkan. Tidak bercampur dengan lendir (musin). 8) Demam. 9) Nyeri tekan pada tragus dan nyeri saat membuka mulut. 10) Infiltrat dan abses (bisul). Keduanya tampak pada otitis eksterna sirkumskripta. Bisul menyebabkan rasa sakit berat. Ketika pecah, darah dan nanah dalam jumlah kecil bisa bocor dari telinga. 11) Hiperemis dan udem (bengkak) pada liang telinga. Kulit liang telinga pada otitis eksterna difus tampak hiperemis dan udem dengan batas yang tidak jelas. Bisa tidak terjadi pembengkakan, pembengkakan ringan, atau pada kasus yang berat menjadi bengkak yang benar-benar menutup liang telinga.

18 digilib.uns.ac.id 12 Tanda otitis eksterna menggunakan otoskop yaitu kulit pada saluran telinga tampak kemerahan, membengkak, bisa berisi nanah dan serpihan sel-sel kulit yang mati. Otalgia merupakan keluhan paling sering ditemukan. Otalgia berat biasa ditemukan pada otitis eksterna sirkumskripta. Keluhan ini bervariasi dan bisa dimulai dari perasaan sedikit tidak enak, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar, hingga rasa sakit hebat dan berdenyut. Hebatnya rasa nyeri ini tidak sebanding dengan derajat peradangan yang ada. Rasa nyeri terasa makin hebat bila menyentuh, menarik, atau menekan daun telinga. Juga makin nyeri ketika pasien sedang mengunyah. Gatal-gatal paling sering ditemukan dan merupakan pendahulu otalgia pada otitis eksterna akut. Pada kebanyakan penderita otitis eksterna akut, tanda peradangan diawali oleh rasa gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak pada telinga. Pendengaran berkurang atau hilang. Tuli konduktif ini dapat terjadi pada otitis eksterna akut akibat sumbatan lumen kanalis telinga luar oleh edema kulit liang telinga, sekret serous atau purulen, atau penebalan kulit progresif pada otitis eksterna lama. Selain itu, peredaman hantaran suara dapat pula disebabkan tertutupnya lumen liang telinga oleh deskuamasi keratin, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan yang dimasukkan ke dalam telinga. Gangguan pendengaran pada otitis

19 digilib.uns.ac.id 13 eksterna sirkumskripta akibat bisul yang sudah besar dan menyumbat liang telinga. f. Diagnosis Diagnosis otitis eksterna dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika terdapat demam dan gejala toksisitas, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang lain seperti pewarnaan gram dan kultur discharge dapat dilakukan jika diduga suspek infeksi bakteri atau jamur (Ngan, 2007). g. Diagnosis Banding Diagnosa banding otitis eksterna : (a) Otitis eksterna nekrotik; (b) Otitis eksterna bullosa; (c) Otitis eksterna granulosa; (d) Perikondritis yang berulang; (e) Kondritis; (f) Furunkulosis dan karbunkulosis; (g) Dermatitis seperti psoriasis dan dermatitis seboroika (Sander, 2009). h. Komplikasi Jika otitis eksterna tidak diobati, infeksi akan menyebar ke struktur organ di sekitarnya yang lebih dalam dan dapat berkembang menjadi otitis eksterna maligna. Komplikasi ini sering ditemukan pada pasien imunokompromise seperti diabetes, pasien AIDS, pasien kemoterapi, pasien dengan pengobatan imunosupresan seperti glukokortikoid. Otitis eksterna maligna memiliki tingkat mortalitas hampir 50 %. Komplikasi ini dapat dicurigai jika nyeri tekan, eritema dan edema dari telinga luar atau jaringan yang lebih dalam ditemukan dari pemeriksaan fisik (Roland, 2002).

20 digilib.uns.ac.id 14 i. Penatalaksanaan Penatalaksanaan otitis eksterna sirkumskripta (Sander, 2009): 1) Lokal. Pada stadium infiltrat, berikan tampon yang dibasahi dengan 10% ichthamol dalam glycerine, ganti setiap hari. Tampon dapat juga dibasahi dengan larutan Burrowi (Burrow's solution). Pada stadium abses, lakukan insisi abses dan berikan tampon larutan rivanol 0,1%. 2) Sistemik. Minumkan antibiotik pada otitis eksterna sirkumskripta yang cukup berat. 3) Analgetik. Minumkan paracetamol atau antalgin. Pada kasus otitis eksterna sirkumskripta yang berulang, cari adanya faktor penyakit sistemik seperti diabetes. Penatalaksanaan otitis eksterna bertujuan : (a) Membuang serumen, kotoran, dan sel-sel kulit mati dari liang telinga. Bersihkan dan keringkan menggunakan alat penghisap atau kapas kering; (b) Mengeluarkan mikroorganisme. Masukkan tampon yang mengandung antibiotik ke dalam liang telinga untuk menghindari infeksi bakterial akut dan ulserasi. Berikan juga antibiotik sistemik jika perlu; (c) Mengurangi rasa sakit, peradangan dan edema. Berikan obat golongan kortikosteroid misalnya metil prednisolon; (d) Menghilangkan rasa tidak enak; (e) Memulihkan pendengaran; (f) Menghilangkan gatal dan penggarukan yang berulang. Terapi antifungal untuk menghindari infeksi jamur; (g) Terapi antialergi dan antiparasit

21 digilib.uns.ac.id 15 (Sander, 2009). Penatalaksanaan otitis eksterna kronik yaitu operasi rekonstruksi liang telinga. j. Pencegahan Telinga perenang kemungkinan dicegah dengan meneteskan cairan yang mengandung campuran alkohol dan cuka di dalam telinga sebelum dan sesudah berenang. Orang tersebut harus menghindari berenang di dalam air yang terpolusi, menggunakan semprotan rambut, dan menghabiskan waktu yang lama di air hangat, iklim yang lembab. Berusaha untuk membersihkan saluran dengan lap kapas mengganggu mekanisme membersihkan-sendiri yang normal dan bisa mendorong serpihan ke dalam gendang telinga, di mana kotoran menumpuk. Juga, tindakan ini bisa menyebabkan kerusakan kecil yang mempengaruhi otitis eksternal (Sander, 2009). 2. Cotton Bud a. Pengertian Cotton bud terdiri dari segumpal kecil kapas yang dibungkuskan pada satu atau kedua ujung tongkat pendek, biasanya terbuat dari kayu, kertas yang digulung, atau plastik. Cotton bud umumnya digunakan dalam berbagai aplikasi termasuk pertolongan pertama, aplikasi kosmetik, pembersihan, seni dan kerajinan. Alat ini ditemukan pada tahun 1920 oleh Leo Gerstenzang (Schueller, 1996). Cotton bud tradisional mempunyai ujung tunggal pada batang kayu, dan ini masih sering commit digunakan to user terutama dalam tindakan medis.

22 digilib.uns.ac.id 16 Panjangnya sekitar 6 inchi (15 cm). Cotton bud ini dikemas steril dalam kertas atau plastik. Kemasan ini dapat disterilkan menggunakan autoclave. Cotton bud yang digunakan untuk kebutuhan rumah berukuran lebih pendek, sekitar 3 inchi (7,6 cm) dan memiliki dua ujung kapas. (Moser, 2006) Cotton bud sering digunakan untuk membersihkan lubang telinga dan untuk mengeluarkan serumen telinga. Walaupun dokter mengatakan selama bertahun-tahun bahwa penggunaan cotton bud untuk membersihkan telinga tidak aman, masyarakat tetap menggunakannya (Moser, 2006) (Stein, 2001). Selain itu cotton bud juga sering digunakan untuk mengaplikasikan dan menghapus riasan wajah, serta digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti membersihkan lukisan dan kerajinan (Moser, 2006) Cotton bud dapat digunakan untuk membersihkan air yang secara tidak sengaja masuk ke liang telinga dalam beberapa keadaan. Cotton bud hanya disarankan untuk mengeluarkan air atau kotoran di liang telinga, bukan untuk membersihkan serumen atau menggaruk liang telinga yang terasa gatal. Serumen hanya diproduksi di bagian luar liang telinga (Lee, 2005). b. Efek penggunaan Cotton bud Penggunaan cotton bud untuk membersihkan telinga dapat menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang

23 digilib.uns.ac.id 17 mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat (Oghalai, 2003). Cotton bud dapat memasukkan elemen bakteri dan jamur ke dalam liang telinga dan jika epitel mengalami trauma, akan mudah terjadi infeksi. Di samping itu, cotton bud juga dapat mendorong serumen ke dalam liang telinga. Semakin lama, serumen akan terakumulasi dan mengakibatkan penimbunan serumen (Lee, 2005). c. Serumen Serumen umumnya dapat ditemukan di kanalis akustikus eksternus. Kanalis akustikus eksternus normalnya memproduksi serumen dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai lubrikasi membran timpani dan epitelium, perlindungan untuk melawan kehilangan cairan transepidermal dan mengumpulkan debris dan organisme (Angus, 2005). Serumen akan memberikan suasana asam dan kaya lisozim. Serumen adalah campuran sekresi glandula sebasea dan glandula seruminosa (modifikasi kelenjar keringat apokrin) (Stout-Graham, 1990) yang berkombinasi dengan epitel deskuamasi dan rambut (Gortel, 2006). Sekresi normal dari glandula seruminosa memiliki konsistensi yang lebih sedikit daripada glandula sebasea. Jika terjadi inflamasi kanalis akustikus akan terjadi akumulasi produksi serumen, yang akan melindungi bakteri dan jamur dari terapi topikal dan menambah kelembaban kanalis akustikus (Gotthelf, 2006) Normalnya kanalis akustikus mempunyai mekanisme pembersihan sendiri. Reflek ini akan mengeluarkan serumen, deskuamasi

24 digilib.uns.ac.id 18 keratinosit dan debris yang terperangkap serta bakteri yang pelan-pelan akan dikeluarkan dari kanalis akustikus melalui migrasi epitel dari bagian yang lebih dalam ke arah superfisial, proses ini akan dimulai dari sel germinal pada membran timpani yang akan dibantu dengan pergerakan artikulasi temporomandibular (Gotthelf, 2006). 3. Variabel Determinan Penggunaan Cotton bud terhadap Otitis Eksterna Penggunaan cotton bud merupakan salah satu predisposisi timbulnya otitis eksterna. Cotton bud dapat menimbulkan trauma mekanik, dapat berupa trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga luar (meatus akustikus eksterna). Faktor ini menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat (Oghalai, 2003). Cotton bud dapat memasukkan elemen bakteri dan jamur ke dalam liang telinga dan jika epitel mengalami trauma, akan mudah terjadi infeksi. Cotton bud dapat mengganggu mekanisme reflek pembersihan serumen (Sander, 2009). Cotton bud mendorong serumen ke dalam liang telinga sehingga sel-sel kulit mati dan serumen akan terakumulasi di sekitar gendang telinga (Lee, 2005). Masalah ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang telinga. Keadaan di atas dapat menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab,

25 digilib.uns.ac.id 19 hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur (Sander, 2009).

26 digilib.uns.ac.id 20 B. Kerangka Pemikiran 1. Frekuensi 2. Intensitas 3. Durasi 4. Teknik penggunaan 5. Bahan 6. Kondisi Telinga Kanalis akustikus eksternus Cotton bud Produksi Serumen Mendorong Serumen Ke dalam telinga Trauma mekanik epitel MAE Migrasi Epitel Mekanisme Pembersihan Sendiri Mengeluarkan serumen, deskuamasi keratinosit,debris dan bakteri Akumulasi Serumen Kelembaban MAE Perkembangan bakteri dan jamur Bakteri masuk MAE Inflasi dan Eksudat dalam MAE a. Perenang b. Benda asing c. Bahan iritan d. Alergi e. Penyakit psoriasis. f. Penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala. g. Penyakit diabetes. h. Penyumbat telinga dan alat bantu dengar Otitis Eksterna a. Kelembaban lokal b. Derajat keasaman (ph) liang telinga c. Struktur anatomis telinga Keterangan : : mempengaruhi tapi tidak diteliti dan tidak dapat dikendalikan : mempengaruhi tapi tidak diteliti dan dapat dikendalikan : menghambat

27 digilib.uns.ac.id 21 C. Hipotesis Terdapat variabel determinan penggunaan cotton bud terhadap insidensi otitis eksterna.

28 digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control, yaitu peneliti mempelajari seberapa jauh variabel bebas (faktor risiko) mempengaruhi variabel terikat (efek) yang diobservasi melalui pendekatan retrospektif. Efek diidentifikasi saat ini kemudian faktor risiko diidentifikasi pada masa lalu (retrospektif). B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. C. Subjek Penelitian 1. Kriteria Umum a. Kriteria Inklusi secara umum 1) Bersedia sebagai responden penelitian 2) Usia tahun 3) Tidak buta huruf 4) Pasien Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi b. Kriteria Eksklusi secara umum Pasien dengan riwayat otitis eksterna yang telah selesai menjalani masa terapi (pasien lama) 22

29 digilib.uns.ac.id Kriteria Kasus a. Kriteria Inklusi Kasus Pasien baru yang terdiagnosis otitis eksterna b. Kriteria Eksklusi Kasus 1) Penyebab otitis eksterna: a) Perenang dan sering terpapar air. b) Benda asing (manik-manik, biji-bijian, serangga, dan kapas). c) Bahan iritan (misalnya hair spray dan cat rambut). d) Alergi. Alergi obat (antibiotik topikal dan antihistamin) dan metal (nikel). e) Penyumbat telinga dan alat bantu dengar. 2) Pasien memiliki penyakit psoriasis. 3) Pasien memiliki penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala. 4) Pasien memiliki penyakit diabetes. 2. Kriteria Kontrol a. Kriteria Inklusi Kontrol Pasien bukan otitis eksterna di Poliklinik THT RSUD dr.moewardi b. Kriteria Eksklusi Kontrol 1) Pasien perenang dan atau telinga sering terpapar air. 2) Telinga pasien pernah dilaporkan terdapat benda asing (manikmanik, biji-bijian, serangga, dan tertinggal kapas). 3) Telinga pasien pernah terpajan bahan iritan (misalnya hair spray dan cat rambut).

30 digilib.uns.ac.id 24 4) Pasien mempunyai alergi. Alergi obat (antibiotik topikal dan antihistamin) dan metal (nikel). 5) Pasien memakai penyumbat telinga dan alat bantu dengar. 6) Pasien memiliki penyakit psoriasis. 7) Pasien memiliki penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala. 8) Pasien memiliki penyakit diabetes. D. Besar Subjek Penelitian ini menggunakan analisis multivariat untuk mengontrol pengaruh faktor perancu (confounding factor) yang dapat menurunkan validitas penelitian. Rasio yang dianjurkan antara ukuran subjek dan jumlah variabel independen: n = 15 hingga 20 subjek per variabel independen Penelitian ini menggunakan enam variabel independen yaitu frekuensi, intensitas, durasi, dan teknik penggunaan cotton bud, bahan cotton bud, serta kondisi telinga saat menggunakan cotton bud. Untuk meningkatkan efisiensi penelitian maka digunakan rasio subjek terpapar : subjek tidak terpapar = 1 : 2 (Murti, 2010). Dengan demikian subjek yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebesar 90 subjek yang terdiri dari 30 subjek otitis eksterna dan 60 subjek non otitis eksterna. E. Cara Pengambilan Subjek Pengambilan subjek dengan purposive sampling yaitu desain pencuplikan non-random dengan restriksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi. Skema pencuplikan purposive sampling yang biasanya digunakan dalam studi

31 digilib.uns.ac.id 25 observasional epidemiologi case-control adalah fixed-disease sampling. Fixeddisease sampling merupakan skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau tidak berpenyakit yang diteliti, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek. Kasus dan kontrol berasal dari satu populasi sumber (source population, reference population), sehingga peneliti dapat melakukan perbandingan yang valid antara kedua kelompok studi (Murti, 2010). Dalam penelitian ini populasi sasaran merupakan pasien usia tahun yang berobat ke RSUD dr.moewardi pada bulan Mei. Sedangkan populasi sumber merupakan pasien Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi usia tahun pada bulan Mei. Kemudian dari populasi sumber tersebut peneliti akan mengambil subjek umum berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi umum. Dari subjek umum tersebut akan diambil subjek kasus dan kontrol berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kasus dan kontrol. F. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan posttest only control group design. Merupakan rancang penelitian yang hanya menilai kelompok subjek serta melakukan pengukuran tanpa pemberian perlakuan pada kelompok tersebut.

32 digilib.uns.ac.id 26 G. Jalannya Penelitian Populasi Sasaran Pasien yang berobat ke RSUD dr.moewardi pada bulan Mei usia tahun Populasi Sumber Pasien Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi pada bulan Mei usia tahun Fixed-disease sampling Subjek yang memenuhi kriteria restriksi umum Subjek Kasus Subjek Kontrol Formulir biodata + Kuesioner Cotton bud Uji Regresi Logistik H. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas: a. Frekuensi penggunaan cotton bud b. Intensitas penggunaan cotton bud c. Durasi penggunaan cotton bud d. Teknik penggunaan cotton bud e. Bahan cotton bud f. Kondisi telinga saat menggunakan cotton bud

33 digilib.uns.ac.id Variabel terikat: Insidensi Otitis Eksterna 3. Variabel luar: a. Terkendali: Usia, faktor predisposisi otitis eksterna (perenang, benda asing, bahan iritan, alergi, penyakit psoriasis, penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala, penyakit diabetes, penyumbat telinga dan alat bantu dengar) b. Tak terkendali: faktor predisposisi otitis eksterna (struktur anatomis, kelembaban lokal, derajat keasaman (ph) liang telinga) I. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Bebas a. Frekuensi penggunaan cotton bud) Cotton bud terdiri dari segumpal kecil kapas yang dibungkuskan pada satu atau kedua ujung tongkat pendek, biasanya terbuat dari kayu, kertas yang digulung, atau plastik (Schueller, 1996). Frekuensi penggunaan cotton bud dinilai dari riwayat penggunaan cotton bud dalam 2 bulan terakhir. Variasi frekuensi diklasifikasikan menjadi frekuensi sering (penggunaan satu kali atau lebih dalam sehari) dan jarang (tidak menggunakan atau penggunaan kurang dari satu kali dalam sehari). Skala variabel frekuensi adalah kategorikal. Pengukuran frekuensi penggunaan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. b. Intensitas penggunaan cotton bud Intensitas diukur dengan menilai kuat lemahnya responden menggunakan cotton bud. Intensitas kuat diketahui jika terdapat

34 digilib.uns.ac.id 28 perdarahan atau rasa nyeri. Sedangkan intensitas lemah jika tidak ditemukan tanda-tanda tersebut. Skala variabel intensitas penggunaan cotton bud adalah kategorikal. Pengukuran intensitas penggunaan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. c. Durasi penggunaan cotton bud Durasi diukur dengan menilai waktu responden menggunakan cotton bud. Durasi penggunaan diklasifikasikan menjadi dua yaitu setiap penggunaan lebih dari/sama dengan 5 menit dan kurang dari 5 menit. Skala variabel durasi penggunaan cotton bud adalah kategorikal. Pengukuran durasi penggunaan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. d. Teknik penggunaan cotton bud Teknik diukur dengan menilai cara responden menggunakan cotton bud. Teknik penggunaan diklasifikasikan menjadi dua yaitu sirkuler dan mendorong. Skala variabel teknik penggunaan cotton bud adalah kategorikal. Pengukuran teknik penggunaan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. e. Bahan cotton bud Bahan dinilai melalui deskripsi cotton bud yang digunakan responden. Bahan cotton bud diklasifikasikan menjadi dua yaitu bahan keras (cotton bud tanpa kapas pembungkus atau dengan kapas pembungkus yang sangat tipis) dan bahan lunak (cotton bud dengan kapas pembungkus yang masih utuh). Skala variabel bahan cotton bud adalah

35 digilib.uns.ac.id 29 kategorikal. Pengukuran bahan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. f. Kondisi telinga saat menggunakan cotton bud Kondisi telinga saat menggunakan cotton bud dinilai melalui deskripsi responden. Kondisi telinga diklasifikasikan menjadi dua yaitu basah dan kering. Skala variabel kondisi telinga saat menggunakan cotton bud adalah kategorikal. Pengukuran kondisi telinga saat menggunakan cotton bud dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner. 2. Variabel Terikat (Insidensi Otitis Eksterna) Otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan virus. Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau jerawat (Sander, 2009). Diagnosis otitis eksterna ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh dokter. Jika terdapat demam dan gejala toksisitas, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang lain seperti pewarnaan gram dan kultur discharge dapat dilakukan jika diduga suspek infeksi bakteri atau jamur (Ngan, 2007). Skala variabel insidensi otitis eksterna adalah kategorikal.

36 digilib.uns.ac.id Variabel Luar a. Variabel Terkendali 1) Usia Otitis eksterna dapat terjadi pada semua usia, namun berdasarkan penelitian terdapat interval usia terbanyak pengguna cotton bud adalah usia tahun (Lee, 2005). 2) Faktor predisposisi otitis eksterna (perenang, benda asing, bahan iritan, alergi, penyakit psoriasis, penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala, penyakit diabetes, penyumbat telinga dan alat bantu dengar). Variabel tersebut dikendalikan peneliti melalui eksklusi menggunakan kuesioner maupun rekam medik responden) b. Variabel Tak Terkendali Faktor predisposisi otitis eksterna (struktur anatomis, kelembaban lokal, derajat keasaman (ph) liang telinga) J. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan media rekam medik responden dan kuesioner. Kuesioner yang digunakan antara lain: 1. Formulir Biodata. 2. Kuesioner Penggunaan Cotton bud K. Teknik Analisis Data Data ditabulasikan dalam bentuk tabel dan grafis. Data selanjutnya dianalisis secara statistik dengan program SPSS versi 17.0 menggunakan model analisis regresi logistik dengan batas kemaknaan α = 0,05 untuk mengetahui

37 digilib.uns.ac.id 31 apakah terdapat variabel determinan penggunaan cotton bud (frekuensi, intensitas, durasi, dan teknik penggunaan cotton bud, bahan cotton bud, serta kondisi telinga saat menggunakan cotton bud) terhadap insidensi otitis eksterna. Adapun prosedur formal dari model analisis regresi logistik ini yaitu (Dahlan, 2011): 1. Menyeleksi variabel yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat. Variabel yang akan dimasukkan dalam analisis regresi logistik adalah variabel yang pada analisis bivariat (Uji Chi-Square atau Uji Fisher) mempunyai nilai p < Menilai korelasi antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji hipotesis korelasi Spearman. 3. Melakukan analisis multivariat dapat menggunakan 3 metode, yaitu enter, forward, dan backward. Ketiga metode ini akan memberikan hasil yang sama namun prosesnya berbeda. 4. Melakukan interpretasi hasil. Beberapa hal yang dapat diperoleh dari analisis regresi logistik adalah sebagai berikut: a. Variabel bebas yang merupakan variabel determinan variabel terikat diketahui dari nilai p masing-masing variabel. b. Ukuran kekuatan hubungan dari variabel-variabel bebas yang merupakan variabel determinan variabel terikat. Pada regresi logistik, ukuran korelasi diketahui dari besarnya nilai Odds Ratio (OR). c. Model atau rumus untuk memprediksikan variabel terikat. Pada regresi logistik rumus yang digunakan adalah:

38 digilib.uns.ac.id 32 y= a + b 1 x 1 + b 2 x 2 + b 3 x 3 + b 4 x 4 + b 5 x 5 + b 6 x 6 p=1/(1+e -y ) Keterangan: p = probabilitas untuk otitis eksterna x = variabel independen yang efeknya akan diteliti. x 1 = frekuensi penggunaan cotton bud (frekuensi sering diberi skor 1 dan tidak menggunakan/jarang diberi skor 0) x 2 = intensitas penggunaan cotton bud (intensitas kuat diberi skor 1 dan intensitas lemah diberi skor 0) x 3 = durasi penggunaan cotton bud (durasi lebih dari/sama dengan 5 menit diberi skor 1 dan durasi kurang dari 5 menit diberi skor 0) x 4 = teknik penggunaan cotton bud (teknik mendorong diberi skor 1 dan teknik sirkuler diberi skor 0) x 5 = bahan cotton bud (bahan keras diberi skor 1 dan bahan lunak diberi skor 0) x 6 = kondisi telinga saat menggunakan cotton bud (kondisi telinga basah diberi skor 1 dan kondisi telinga kering diberi skor 0) b = koefisien regresi variabel independen. Besarnya koefisien regresi ini mencerminkan besarnya pengaruh (efek) dari variabel x yang bersangkutan terhadap terjadinya variabel dependen. b 1 b 2 b 3 = koefisien regresi frekuensi penggunaan cotton bud = koefisien regresi intensitas penggunaan cotton bud = koefisien regresi durasi penggunaan cotton bud

39 digilib.uns.ac.id 33 b 4 b 5 b 6 a = koefisien regresi teknik penggunaan cotton bud = koefisien regresi bahan cotton bud = koefisien regresi kondisi telinga saat menggunakan cotton bud = konstanta adalah perkiraan besarnya rata-rata variabel dependen ketika nilai variabel xi = 0. Dengan kata lain, meskipun tanpa pengaruh suatu variabel independen, variabel dependen sudah memiliki suatu nilai tertentu yang konstan sifatnya. e = bilangan natural = 2,7 5. Menilai kualitas dari rumus yang diperoleh dari analisis regresi logistik. Kualitas rumus yang diperoleh dinilai dengan melihat kemampuan diskriminasi dan kalibrasi. Diskriminasi dinilai dengan melihat nilai Area Under Curve (AUC) dengan metode Receiver Operating Curve (ROC) sementara kalibrasi dengan metode Hosmer and Lameshow. Suatu rumus dikatakan mempunyai nilai diskriminasi yang baik jika nilai AUC semakin mendekati angka 1. Suatu rumus dikatakan mempunyai kalibrasi yang baik jika mempunyai nilai p > 0.05 pada Uji Hosmer and Lameshow.

40 digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah pasien baru dengan usia tahun, bersedia menjadi responden penelitian, tidak buta huruf dan memenuhi kriteria kasus dan kontrol. Subjek penelitian berjumlah 90 responden yang terdiri dari 30 responden dari kelompok pasien dengan otitis eksterna dan 60 responden dari kelompok pasien non otitis eksterna. A. Karakteristik Subjek Penelitian Secara lengkap karakteristik subjek penelitian yang diperoleh melalui kuesioner yang dipandu dengan wawancara pada penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut (Tabel 4.1dan Tabel 4.2) Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Variabel Jumlah Rerata (tahun) Simpangan Baku Batas Bawah Batas Atas Usia subjek (Data Primer, 2011) Tabel 4.1 memaparkan distribusi subjek berdasarkan usia subjek. Rata-rata usia subjek adalah 36.3 tahun, dengan usia paling muda 22 tahun dan usia paling tua yaitu 49 tahun. 34

41 digilib.uns.ac.id 35 Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Penggunaan Cotton bud dan Kondisi Telinga Saat Menggunakan Cotton bud Variabel Jumlah Subjek Persentase (%) Frekuensi penggunaan cotton bud - 1 kali/hari <1 kali/hari Intensitas penggunaan cotton bud - Kuat Lemah Durasi penggunaan cotton bud - 5 menit <5 menit Teknik penggunaan cotton bud - Mendorong Sirkuler Bahan cotton bud - Keras Lunak Kondisi telinga - Basah Kering Total (Data Primer, 2011) Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik subjek penelitian menurut frekuensi, intensitas, durasi, dan teknik penggunaan cotton bud, bahan cotton bud, serta kondisi telinga saat menggunakan cotton bud. Dalam penelitian ini terdapat 47 responden (52.2 %) yang menggunakan cotton bud dengan frekuensi 1 kali/hari dan 43 responden (47.8 %) dengan frekuensi < 1 kali/hari. Menurut intensitas

42 digilib.uns.ac.id 36 penggunaan cotton bud terdapat 37 responden (41.1 %) yang menggunakan cotton bud dengan intensitas kuat dan 53 responden (58.9 %) dengan intensitas lemah. Berdasarkan durasi penggunaan cotton bud terdapat 4 responden (4.4 %) yang menggunakan cotton bud dengan durasi 5 menit dan 86 responden (95.6 %) menggunakan cotton bud < 5 menit. Sesuai dengan klasifikasi teknik penggunaan cotton bud terdapat 59 responden (65.6 %) yang menggunakan cotton bud dengan teknik mendorong dan 31 responden (34.3 %) dengan teknik sirkuler. Menurut klasifikasi bahan cotton bud terdapat 4 responden (4.4 %) yang menggunakan bahan keras dan 86 responden (95.6 %) dengan bahan lunak. Berdasarkan kondisi telinga saat menggunakan cotton bud terdapat 17 responden (18.9 %) yang menggunakan cotton bud saat kondisi telinga basah dan 73 orang (81.1 %) dengan kondisi telinga kering. B. Analisis bivariat Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat, pada awalnya digunakan analisis bivariat berupa uji Chi-Square atau uji Fisher dilanjutkan dengan Uji Spearman. Uji Chi- Square digunakan untuk menguji hipotesis variabel kategorik tidak berpasangan. Sedangkan Uji Fisher digunakan jika syarat untuk uji Chi-Square (sel yang mempunyai nilai expected < 5 maksimal berjumlah 20 % dari jumlah sel) tidak terpenuhi. Kedua uji ini digunakan untuk menganalisis pengaruh masing-masing variabel frekuensi, intensitas, durasi, teknik, bahan, kondisi terhadap insidensi otitis eksterna, seperti yang tercantum pada Tabel 4.3. Uji Spearman digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara variabel bebas dengan variabel

43 digilib.uns.ac.id 37 terikat. Variabel bebas penelitian ini adalah frekuensi, intensitas, durasi, dan teknik penggunaan cotton bud, bahan cotton bud, serta kondisi telinga saat menggunakan cotton bud, sedangkan variabel terikatnya adalah insidensi otitis eksterna. Tabel 4.3 Analisis Bivariat Variabel Frekuensi, Intensitas, Durasi, Teknik, Bahan dan Kondisi, dengan Otitis Eksterna Melalui Uji Chi-Square atau Uji Fisher dan Uji Spearman Interval Frekuensi 1 kali/hari Intensitas Durasi Teknik Bahan Kondisi <1 kali/hari Kuat Lemah 5 menit <5 menit Mendorong Sirkuler Keras Lunak Basah Kering OE non OE P r OR N % N % Batas Total Kepercayaan Bawah 95% Batas Atas a a a. Nilai signifikansi diperoleh dari uji Fisher, karena syarat untuk uji Chi- Square (sel yang mempunyai nilai expected < 5 maksimal berjumlah 20 % dari jumlah sel) tidak terpenuhi. (Data Primer, 2011) Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa otitis eksterna lebih banyak (berdasarkan jumlah presentase) dialami oleh orang yang menggunakan cotton

44 digilib.uns.ac.id 38 bud dengan frekuensi 1 kali/hari (76.7 %) dibanding frekuensi <1 kali /hari (23.3%). Dari tabel tersebut juga terlihat adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara frekuensi penggunaan cotton bud dengan insidensi otitis eksterna (p = 0.001). Dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 4.9, maka dapat dikatakan bahwa frekuensi penggunaan cotton bud 1 kali/hari memiliki risiko 4.9 kali lebih besar untuk menderita otitis eksterna dibanding dengan frekuensi penggunaan cotton bud < 1 kali/hari. Otitis eksterna juga lebih banyak dialami oleh orang yang menggunakan cotton bud dengan intensitas kuat (70 %) dan teknik mendorong (83.3 %) dibanding intensitas lemah (30 %) dan teknik sirkuler (16.7 %). Hubungan antara intensitas penggunaan cotton bud dan insidensi otitis eksterna terlihat bermakna secara statistik dengan nilai p = dengan nilai OR = 6.4. Begitu juga hubungan antara teknik penggunaan cotton bud dan insidensi otitis eksterna bermakna secara statistik (p = 0.012) dengan nilai OR = 3.8. Namun untuk variabel lain yaitu durasi, bahan dan kondisi menunjukkan hasil yang tidak bermakna secara statistik dengan nilai p > Selain uji komparatif tersebut, analisis korelatif antar variabel bebas dan terikat dapat diketahui melalui uji Spearman. Interpretasi kekuatan korelasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

45 digilib.uns.ac.id 39 Tabel 4.4 Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Spearman Berdasarkan Kekuatan Korelasi Parameter Nilai Interpretasi Kekuatan Korelasi (r) (Data Primer, 2011) Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Dari tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara frekuensi (r = 0.346/korelasi lemah), intensitas (r = 0.415/korelasi sedang), teknik (r = 0.265/korelasi lemah) dengan otitis eksterna. Langkah analisis multivariat yang pertama yaitu menyeleksi variabel yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat. Variabel yang dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0.25 (Dahlan, 2011). Berdasarkan langkah tersebut dapat disimpulkan variabel yang akan dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik adalah variabel frekuensi, intensitas dan teknik penggunaan cotton bud. C. Analisis Regresi Logistik Tabel 4.5 Hasil Analisis Regresi Logistik tentang Variabel Determinan Penggunaan Cotton Bud (Frekuensi, Intensitas, dan Teknik) terhadap Insidensi Otitis Eksterna Variabel Koefisien P Adjusted Interval Kepercayaan 95% OR Batas Bawah Batas Atas Frekuensi Intensitas Teknik Konstanta (Data Primer, 2011)

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus.

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus. Gangguan pendengaran Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif, tuli sensorineural/saraf/perseptif, atau tuli campur. 1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus

BAB 1 PENDAHULUAN. Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga (Asroel, 2010). Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus auditori eksternal (Barati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan case control

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan case control 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan case control yang dilakukan dengan menggunakan desain studi observasional analitik. B. Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dokter bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT) (Bashirudin et al, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. dokter bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT) (Bashirudin et al, 2007). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benda asing adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing di liang telinga dapat bervariasi, baik

Lebih terperinci

SERUMEN PROP. Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira

SERUMEN PROP. Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira SERUMEN PROP Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira Anatomi telinga DEFINISI Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS EXTERNA

ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS EXTERNA A. Konsep Medik Definisi ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS EXTERNA Otitis eksterna adalah radang telinga bagian luar yang di sebabkan oleh jamur parasitic, ditandai dengan pengerasan struktur telinga. (Dongoes,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi kasus-kontrol (case control) yaitu suatu penelitian untuk menelaah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1 BAB I PENDAHULUAN Serumen dapat ditemukan pada kanalis akustikus eksternus. Serumen merupakan campuran dari material sebaseus dan hasil sekresi apokrin dari glandula seruminosa yang bercampur dengan epitel

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari anatomi lokal yang unik. Kanalis auditorius adalah satu-satunya cul-desac

BAB I PENDAHULUAN. dari anatomi lokal yang unik. Kanalis auditorius adalah satu-satunya cul-desac 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serumen adalah hasil sekresi kelenjar sebasea, kelenjar cerumeninosa dan proses deskuamasi epitel pada bagian kartilaginea kanalis auditorius eksternus. Produksi cerumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Poliklin ik Saraf RSUD Dr. Moewardi pada

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Poliklin ik Saraf RSUD Dr. Moewardi pada digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB II. METODE PENELITIAN

BAB II. METODE PENELITIAN BAB II. METODE PENELITIAN A. Kategori dan rancangan penelitian Berdasarkan tujuan dan fungsinya, penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian cross sectional dan dianalisis secara analitik. B. Populasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bersifat analitik, karena penelitian ini akan mengaitkan aspek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional study yang merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control. Observasional karena peneliti hanya mengamati variabel dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum didunia. Penyakit konjungtivitis ini berada pada peringkat no.3 terbesar di dunia setelah penyakit katarak dan glaukoma,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional yaitu penelitian diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi bagaimana dan mengapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang beralamat di Jalan Kolonel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditori eksternus. Aurikula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditori eksternus. Aurikula 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Luar Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditori eksternus. Aurikula memiliki bentuk khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara. Aurikula terdiri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan epidemiologi klinik. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Terikat Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Kejadian TBC Usia Produktif Kepadatan Hunian Riwayat Imunisasi BCG Sikap Pencegahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 15 Agustus 20 Oktober 2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016 ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI 2015- JUNI 2016 Pioderma merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman staphylococcus, streptococcus,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian mengenai Identifikasi Permasalahan Dosis dan Terapi Obat pada Pasien Anak Demam Berdarah Dengue (DBD) Rawat Inap Pengguna Askes

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Rekam Medik RSUP Dr. Kariadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada keadaan fisiologis vagina dihuni oleh flora normal. Flora

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada keadaan fisiologis vagina dihuni oleh flora normal. Flora BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pada keadaan fisiologis vagina dihuni oleh flora normal. Flora normal tersebut antara lain Corynebacterium ( batang positif gram ), Staphylococcus ( kokus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu cross sectional. Penelitian observasi memiliki ciri yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu cross sectional. Penelitian observasi memiliki ciri yaitu BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasi dengan rancangan penelitian yaitu cross sectional. Penelitian observasi memiliki ciri yaitu dilakukan tanpa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional melalui pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan suatu kondisi kekambuhan pada kulit kepala dan berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan suatu kondisi kekambuhan pada kulit kepala dan berpengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketombe adalah salah satu bentuk dari dermatitis seboroik kronik ringan, yang merupakan suatu kondisi kekambuhan pada kulit kepala dan berpengaruh negatif pada aspek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik komparatif dengan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik komparatif dengan 34 III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik komparatif dengan desain retrocpective cross sectional. Penelitian retrospektif adalah pengumpulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan observasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas yang. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr Moewardi.

BAB III METODE PENELITIAN. sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas yang. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr Moewardi. 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, di mana observasi atau pengumpulan data variabel bebas (faktor

Lebih terperinci

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d. THT [TELINGA] Jumlah soal : 30 soal 1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis 2. Tuli Konductive berapa db?? a. > 75

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan kohort retrospektif B. Tempat dan Waku Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008).

BAB III METODE PENELITIAN. diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross-sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi hanya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta.

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat non-eksperimental dengan rancangan penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. B. Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang ilmu kedokteran khususnya Ilmu Fisiologi dan Farmakologi-Toksikologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah. 3.1.2 Ruang Lingkup Waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control. Penelitian ini merupakan penelitian observasional karena peneliti

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan derajat berat merokok dengan kejadian infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari 2015. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik dan Ruang Rawat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. B. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Posyandu lansia desa Bibis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada Juli 2013

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada Juli 2013 15 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan secara observasional analitik dengan menggunakan metode cross sectional. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

KESEHATAN MATA DAN TELINGA

KESEHATAN MATA DAN TELINGA KESEHATAN MATA DAN TELINGA Oleh Erwin Setyo Kriswanto PENDIDIKAN OLAHRAGA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MATA DAN TELINGA INDERA PENGLIHAT ( MATA ) Mata adalah indera penglihatan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah metode observasional analitik dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah metode observasional analitik dengan pendekatan 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Desain penelitian adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN : Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN : 2302-8254 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien HIV/AIDS di Poliklinik Khusus Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil Padang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Karla Kalua G0011124 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

Gangguan Eustachius Sebabkan Infeksi Telinga. Herlina Arsyadi

Gangguan Eustachius Sebabkan Infeksi Telinga. Herlina Arsyadi Gangguan Eustachius Sebabkan Infeksi Telinga Herlina Arsyadi Sudah beberapa hari ini Dita (2 tahun) rewel. Makannya sedikit dan sulit, minum susunya juga bolong-bolong. Kadang mau kadang tidak. Reni (29

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar.

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar. PENDAHULUAN Gout sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu gutta (tetesan) karena dipercaya bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh luka yang jatuh tetes demi tetes ke dalam sendi. Kini, asam urat bisa

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN IMUNISASI CAMPAK: APLIKASI TEORI HEALTH BELIEF MODEL SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN IMUNISASI CAMPAK: APLIKASI TEORI HEALTH BELIEF MODEL SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN IMUNISASI CAMPAK: APLIKASI TEORI HEALTH BELIEF MODEL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064 FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA. Dwika Suryaningdyah. Abstrak

HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA. Dwika Suryaningdyah. Abstrak HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Dwika Suryaningdyah Abstrak Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering merupakan faktor utama terjadinya prolapsus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang. 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian respirologi. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu kesehatan anak, sub ilmu 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN DIABETES MELLITUS DAN TANPA DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode case control dilakukan terlebih dahulu kemudian pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. metode case control dilakukan terlebih dahulu kemudian pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan menggunakan metode case control. Pengambilan data variabel dependen pada metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dermatitis berasal dari kata derm atau o- (kulit) dan itis (radang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Dermatitis berasal dari kata derm atau o- (kulit) dan itis (radang atau BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatitis berasal dari kata derm atau o- (kulit) dan itis (radang atau inflamasi), sehingga dermatitis dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan dimana kulit mengalami

Lebih terperinci

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2 ISSN: 89-984 ISM, VOL. 5 NO., JANUARI-APRIL, HAL 6-6 KEJADIAN OTITIS EKSTERNA PADA MASYARAKAT PENEBEL TABANAN DAN YANGAPI BANGLI YANG BERKUNJUNG KE BAKTI SOSIAL STAF MEDIS FUNGSIONAL TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analitik menggunkan desain penelitian cross sectional. Menurut Riyanto

BAB III METODE PENELITIAN. analitik menggunkan desain penelitian cross sectional. Menurut Riyanto BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian observational analitik menggunkan desain penelitian cross sectional. Menurut Riyanto (2011) desain penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap nilai kapasitas vital

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variabel Bebas Umur Ibu hamil Pekerjaan Ibu hamil Pendidikan Ibu hamil Umur kehamilan ibu hamil Jumlah asupan protein Variable Terikat Kejadian Kekurangan Energi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Respirologi, Alergi dan Imunologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah

Lebih terperinci

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan PANCA INDERA Pengelihatan 1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan (tembus cahaya) yang disebut

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Fakultas

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep DIABETES MELITUS TIPE 2 KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL Indeks CPITN Kadar Gula Darah Oral Higiene Lama menderita diabetes melitus tipe 2 3.2 Hipotesis

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN NEKROSIS PULPA DENGAN ABSES APIKALIS KRONIS ANTARA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DAN NON DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH ANDROPAUSE TERHADAP KEJADIAN DEPRESI PADA PRIA DI KECAMATAN JEBRES, SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

PENGARUH ANDROPAUSE TERHADAP KEJADIAN DEPRESI PADA PRIA DI KECAMATAN JEBRES, SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan PENGARUH ANDROPAUSE TERHADAP KEJADIAN DEPRESI PADA PRIA DI KECAMATAN JEBRES, SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran IRIYANTI MAYA SARI BARUTU G0011116 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ngablak Kabupaten Magelang dari bulan Maret 2013.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ngablak Kabupaten Magelang dari bulan Maret 2013. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Fisiologi Kedokteran dan Ilmu Farmakologi-Toksikologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional, yaitu studi observasional mencari hubungan antara variabel bebas dan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian Berdasarkan kerangka konsep dan hipotesis yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang (Crosssectional).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah (avaskular). Kornea berfungsi sebagai membran pelindung

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Perinatologi RSUP dr. Kariadi/FK Undip Semarang. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Kelamin. Ruang lingkup keilmuan penelitian adalah Ilmu Kesehatan Kulit dan Lokasi pengambilan sampel adalah FakultasKedokteran Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian jenis non-eksperimental dimana pengambilan data dilakukan dengan pendekatan cross sectional dan dianalisa secara analitik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control retrospektif/studi kasus kontrol retrospektif. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah dampak dari episode otitis media akut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Variable bebas

BAB III METODE PENELITIAN. Variable bebas 56 BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variable bebas Intensitas Pencahayaan Luas Ventilasi JenisLantai Jenis dinding Kepadatan hunian Kelembaban Variabel Terikat Kejadian Kusta Suhu Frekwensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta atau Rumah Sakit Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional.

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional. Polusi Udara + ISPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tersebut bisa terjadi, kemudian melakukan analisis hubungan antara faktor. dipengaruhi oleh resiko) (Riyanto, 2011, p.28).

BAB III METODE PENELITIAN. tersebut bisa terjadi, kemudian melakukan analisis hubungan antara faktor. dipengaruhi oleh resiko) (Riyanto, 2011, p.28). 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis/ Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, merupakan suatu penelitian yang mencoba mengetahui mengapa masalah kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes

Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes Obat Luka Diabetes Untuk Komplikasi Diabetes Pada Kulit Diabetes dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh Anda, termasuk juga kulit. Sebenarnya, permasalahan

Lebih terperinci