MODEL SPASIAL KERENTANAN PRODUKSI BERAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INDERAJA DAN SIG (STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL SPASIAL KERENTANAN PRODUKSI BERAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INDERAJA DAN SIG (STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT)"

Transkripsi

1 MODEL SPASIAL KERENTANAN PRODUKSI BERAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INDERAJA DAN SIG (STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT) DEDE DIRGAHAYU DOMIRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan Teknologi Inderaja dan SIG (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Bogor, Agustus 2012 Dede Dirgahayu Domiri

4

5 ABSTRACT DEDE DIRGAHAYU DOMIRI Spatial Modelling of Rice Production Vulnerability Using Remote Sensing and GIS Technology (Case Studies in Indramayu Regency, West Java). Under the direction of I Nengah Surati Jaya (Chairman), Sri Hardiyanthi Purwadhi, M. Ardiansyah, Hermanu Triwidodo (Members). In 2005 and 2009, BKP and WFP has provided food security conditions in Indonesia on Food Insecurity Map which were developed using food availability, food accessibility, food absorption and food vulnerability. There are 100 out of 265 districts in Indonesia or about 37.7%, which fall into the vulnerable to very vulnerable categories, where 11 districts were found in Java. The main objective of this research is to develope a spatial model of the rice production vulnerability based on Remote Sensing and GIS technologies for estimating the reduction of production condition. Several criteria used to obtain production vulnerability information are percentage level of green vegetation (PV), rainfall anomaly (ACH), land degradation due to erosion (Deg), and paddy harvest failure due to drought and flood in paddy field (BK). Dynamic spatial information on the greenness level of land cover can be obtained from multitemporal EVI (Enhanced vegetation Index) of MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) data. While spatial information of paddy harvest failure was estimated by using vegetation index, land surface temperature and moisture parameters with advance image processing of multitemporal EVI MODIS data. The GIS technology were used to perform spatial modelling based on weighted overlay index (multicriteria analysis). The method for computing weight of factors in the vulnerability model was AHP (Analytical Hierarchy Process), while the method for computing the weights of drought prediction model was trial-and-error. The weight on flood estimating model was computed using the CMA. The spatial model of production vulnerability (KPB) developed in this study is as follows : = This research concludes that the spatial distribution of production vulnerability condition can be estimated using the spatial model having 84.6 % of accuracy. In this study, level of production vulnerability can be categorized into six classes, i.e.: (1) invulnerable ; (2) very low vulnerability ; (3) low vulnerability; (4) moderately vulnerable ; (5) highly vulnerable ; and (6) extremely vulnerable. The result of spatial modelling then was used to evaluate progress production vulnerability condition at several sub-districts in Indramayu Regency. According to the investigation results of WFP in 2005, this area fall into moderately vulnerable category. Only few sub-districts that fall into highly and extremely vulnerable during the period of May ~ August 2008, namely: Kandanghaur, Losarang, part of Lohbener, and Arahan. Key words : Remote Sensing, GIS, Food Vulnerability, Vegetation Index, AHP

6

7 RINGKASAN Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Pemerintah Indonesia turut memberikan komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin yang rawan pangan dan gizi. Hal itu sejalan dengan World Food Summit (WFS) tahun 1996 dan ditegaskan kembali pada WFS tahun 2001 di Roma bahwa dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan diharapkan dapat dikurangi separuhnya pada tahun Pada Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pasal 1 ayat 17, tentang Pangan, dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, Bab I, pasal 1, tentang Ketahanan Pangan serta UU No 41 tahun 2009, pasal 1 ayat 10, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman dikonsumsi, tersebar merata dan terjangkau. Sasaran dari ketahanan pangan adalah masyarakat yang secara berlanjut mampu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang dan baik. Tiga aspek Ketahanan Pangan yang harus dipenuhi adalah : (1) Ketersediaan Pangan yang cukup untuk seluruh penduduk (volume, keragaman, mutu, aman dikonsumsi; (2) distribusi atau pasokan pangan yang merata ke seluruh wilayah, harga stabil dan terjangkau, sehingga rumah tangga mampu mengakses cukup pangan, serta (3) pola konsumsi yang sesuai kaidah gizi dan kesehatan (jumlah, mutu, gizi, dan aman) (BKP dan WFP, 2005). Individu masyarakat memperoleh gizi yang cukup untuk tumbuh, sehat dan produktif. Faktor lainnya yang mempengaruhi kondisi ketiga aspek ketahanan pangan adalah aspek kerentanan (vulnerability) yang menunjukkan kondisi faktor lingkungan yang berpotensi menyebabkan penurunan hingga kegagalan panen/produksi pangan. Pada tahun 2005 dan 2009, BKP dan WFP telah menyajikan kondisi ketahanan pangan di Indonesia pada Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity) yang dibangun menggunakan faktor ketersediaan pangan, akses pangan, penyerapan pangan dan kerentanan pangan. Ada sebanyak 100 dari 265 kabupaten atau sekitar 37.7 % yang termasuk ke dalam kategori rawan hingga sangat rawan, dimana 11 kabupaten di antaranya adalah kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk membangun model spasial Kerentanan Produksi Beras berbasis data inderaja dan SIG. Kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah mengintegrasikan faktor-faktor spasial lingkungan berbasis data inderaja yang menyebabkan kerentanan produksi (penurunan produksi akibat kegagalan panen padi) yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Hasil dari model spasial kerentanan produksi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk membuat kebijakan pangan yang dapat menilai potensi penurunan produksi padi. Model spasial dibangun dengan mempertimbangkan beberapa faktor (BKP dan WFP, 2005), yaitu persentase vegetasi, anomali curah hujan, degradasi lahan akibat banjir dan erosi, serta potensi gagal panen

8 (puso) akibat kekeringan dan banjir. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dengan pertimbangan (1) daerah ini sering mengalami banjir dan kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen (puso) setiap tahun; (2) Daerah Indramayu adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, yang memerlukan pemantauan kondisi lahan pertaniannya secara kontinyu. Penelitian dilakukan dengan pendekatan spasial menggunakan teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem informasi Geografis (SIG) guna memperoleh informasi spasial persentase vegetasi, anomali curah hujan, persentase degradasi lahan/erosi, dan potensi rawan puso akibat banjir dan kekeringan di lahan sawah. Metode pembobotan setiap faktor untuk model kerentanan dilakukan dengan metode AHP, dimana respondennya adalah beberapa pakar yang relevan termasuk tenaga ahli di BKP. Sedangkan metode pembobotan untuk menduga kekeringan di lahan sawah dilakukan dengan metode coba-galat (trial-and-error) dengan asumsi tertentu, sedangkan pembobotan untuk mendeteksi banjir lahan sawah dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Pemetaan Komposit (Composite Mapping Analysis/CMA). Dalam penelitian ini tingkat akurasi model dihitung dengan uji statistik Mean Absolut Persentase Error (MAPE), Simpangan rata-rata (SR), Root Mean Square Error (RMSE), dan Bias untuk mengukur keakuratan keluaran model (Hauke et al., 2001 ; Handoko, 2005; Spurr, 1952). Formula matematiknya adalah sebagai berikut : MAPE = 1/n ( Ye/Ya 1 ) SR = 1/n ( 1 - Ya/Ye ) Bias = 1/n (Ye/Ya 1) RMSE = (1/n (Ye/Ya 1) 2 ) 1/2 Tingkat Akurasi (TA) model dihitung dengan formula : TA (%) = 100% - MAPE avg Dimana : Ye : Nilai dugaan hasil model ; Ya : nilai aktual / referensi. MAPE avg : MAPE rata-rata dalam %. Informasi sebaran spasial Kerentanan Produksi Beras (KPB) diperoleh dengan cara melakukan tumpang susun (overlay) 4 layer input, yaitu persentase vegetasi (PV), degradasi lahan (Deg), anomali curah hujan (ACH), dan Banjir/Kekeringan (BK). Pemodelan spasial dilakukan dengan perangkat lunak ErMapper dan dengan modul Grid Analysis, Map Calculator yang telah disediakan oleh ArcView. Penilaian Gabungan Pakar (dari Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian dan IPB) dan hasil síntesis dengan metode AHP menghasilkan nilai bobot setiap faktor untuk Persentase Vegetasi (PV), Degradasi (Deg), Anomali Curah Hujan (ACH), dan Banjir/Kekeringan (BK),

9 secara berturut-turut yaitu : 0.102, 0.179, 0.276, dan dengan nilai rasio konsistensi (CR) = Secara matematis dengan bentuk persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : = Pengujian akurasi model dilakukan dengan membandingkan luas kegagalan panen (puso) hasil model dengan luas puso dari laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Kegagalan panen padi berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu banyak terjadi akibat kekeringan pada catur wulan II (Mei ~ Agustus) tahun 2008 yaitu seluas 27,224 Ha. Luas total puso di Indramayu berdasarkan keluaran model yang dihasilkan sebesar 27,913 Ha, sehingga terjadi perbedaan sekitar 707 Ha (Simpangan Agregat/SA = 2.5 %). Luas puso akibat banjir pada catur wulan I (Januari ~ April) tahun 2006 berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu adalah sebesar 18,140 Ha, sedangkan menurut model sebesar 15, 383 Ha, sehingga terjadi perbedaan sekitar 2,757 Ha (Simpangan Agregat/SA = -15.5%). Hasil analisis spasial terhadap puso pada tingkat kecamatan untuk kejadian kekeringan pada periode Mei ~ Agustus 2008 menunjukkan perbedaan luas yang bervariasi (lebih kecil atau lebih besar) dengan nilai MAPE = 14.8%, SR = 11.5%, RMSE = 24.5%, dan Bias = 9.5%, sedangkan pada kejadian banjir periode Januari ~ April 2006, memperlihatkan nilai MAPE = 15.9%, SR = 16.7%, RMSE = 26.4%, dan Bias = -11.7%. Tingkat akurasi model berdasarkan rata-rata nilai MAPE (15.4%) pada kasus kejadian kekeringan dan banjir adalah sebesar 100% 15.4% = 84.6% untuk memetakan lahan sawah yang terancam gagal panen padi (puso). Hubungan antara produktivitas (Prv) tanaman padi dengan kerentanan (KPB) ditunjukkan dengan nilai korelasi negatif yang nyata antara produktivitas dan kerentanan rata-rata perkecamatan. Penurunan produktivitas padi yang disebabkan oleh kenaikan kerentanan dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut : Prv = KPB Area yang memiliki nilai kerentanan 50 menunjukkan kecenderungan penurunan produktivitas padi. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga bahwa kenaikan nilai kerentanan sebesar 10 dapat menyebabkan penurunan produktivitas padi sekitar 22 Kw/Ha. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk membuat kebijakan prioritas perbaikan Ketahanan Pangan di kecamatankecamatan yang mengalami Kerentanan tinggi terhadap gagal panen (puso)

10

11 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor

12

13 MODEL SPASIAL KERENTANAN PRODUKSI BERAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INDERAJA DAN SIG (STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT) DEDE DIRGAHAYU DOMIRI P Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

14 Penguji pada Ujian Tertutup (Tanggal 16 Juli 2012) : 1. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo 2. Dr. Ir. Buce M. Saleh Penguji pada Ujian Terbuka (Tanggal 6 Agustus 2012) : 1. Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian RI 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

15 Judul Disertasi N a m a NRP Program Studi : Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan Teknologi Inderaja dan SIG (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) : Dede Dirgahayu Domiri : P : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Ketua Prof. Dr. Sri Hardiyanthi Purwadhi Anggota Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 6 Agustus 2012 Tanggal lulus :

16

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa atas Kehendak dan Pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan, tiada daya dan kekuatan kecuali atas Idzin dan Kehendak Allah SWT. Tema penelitian Ristek (Riset dan Teknologi) yang dipilih dalam penelitian ini adalah Bidang Ketahanan Pangan dengan judul : Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan Teknologi Inderaja dan SIG (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yaitu : Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Prof. Dr. Sri Hardiyanthi Purwadhi, Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc atas arahan, bimbingan dan saran-sarannya untuk menyempurnakan Disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo dan Dr. Buce M. Saleh sebagai penguji luar Komisi pada ujian tertutup tanggal 16 Juli 2012 serta Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, selaku Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, BKP, Kementrian Pertanian RI dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar Komisi pada ujian terbuka tanggal 6 Agustus 2012 atas arahan dan saran-sarannya untuk menyempurnakan Disertasi ini. Juga kepada Bpk. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc selaku Ketua Program Studi PSL IPB atas peringatannya kepada penulis untuk menyelesaikan Disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bpk. Drs. Taufik Maulana, M.BA selaku Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Agus Hidayat, MSc (Kapusfatja) atas arahan dan dorongan semangatnya kepada penulis untuk segera menyelesaikan Disertasi ini serta kepada rekan-rekan di LAPAN Pekayon atas kerjasamanya. Juga tidak lupa terima kasih yang sebesarbesarnya penulis tujukan kepada istri dan anak-anak penulis yang telah membantu dan mendoakan penulis dalam penyelesaian Disertasi ini. Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Agustus 2012 Dede Dirgahayu Domiri

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tangga 11 April 1965 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Drs. A. Domiri Siradjudin, MA (alm) dan Siti Respati. Penulis menikah dengan Ir. Nani Rachmayati binti Ruhanta dan telah diamanahkan menjadi bapak dari 10 orang anak ( 8 laki-laki, 2 perempuan). Pendidikan sarjana ditempuh di program Studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan IPA IPB, lulus pada tanggal 8 Maret Tahun 2000, penulis diterima di Program Ilmu Tanah dalam Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tanggal 8 Agustus Pada bulan Agustus 2007, penulis diterima di Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Pada tahun 1990, penulis diterima bekerja di Instansi LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), salah satu Lembaga Penelitian non Departemen. Penulis bekerja sebagai Peneliti Madya IVB di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB), Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja), LAPAN. Selama menempuh pendidikan Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), penulis telah menulis artikel ilmiah di Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) 2010 dan 2011, Geosarnas 2011, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital. Vol 8 : Tahun 2011 dengan Judul : Aplikasi Model Dinamis Pertumbuhan Tanaman Untuk Menduga Produksi Tanaman Padi. Artikel lain sebagai bagian dari penelitian Disertasi dengan judul : Deteksi Kondisi Ketahanan Pangan Beras Menggunakan Pemodelan Spasial Kerentanan Pangan akan diterbitkan di Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol 2, No 2, Edisi Juli Artikel lain dengan judul : Spatial Modelling of Available Water by Using MODIS Data Satellite masih dalam proses untuk diterbitkan di International Journal Remote Sensing and Earth Sciences edisi tahun 2012.

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiv xv xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kajian Penelitian Terdahulu Kebaharuan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Pemodelan Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pemanfaatan Data Satelit Inderaja untuk Pemantauan Kondisi Lingkungan Kerentanan dan Bencana Ketahanan Pangan III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Tahapan Pelaksanaan Penelitian Metode Penilaian Kerentanan Produksi Beras Faktor Persentase Vegetasi Faktor Anomali Curah Hujan Faktor Kekeringan dan Banjir Faktor Degradasi Lahan Penentuan Bobot dan Skor setiap Faktor Kerentanan Standarisasi Skor Peubah Kerentanan... 45

22 Klasifikasi Tingkat Kerentanan Pengujian Model IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Iklim dan Curah Hujan Penutup/Penggunaan Lahan Hidrologi Topografi dan Kemiringan Lahan (Kelerengan) Jenis Tanah dan Kondisi Drainase Lahan Bentuk Lahan (Geomorfologi) 4.7. Kependudukan V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Persentase Vegetasi Anomali/Deviasi Curah Hujan Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Banjir Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Kekeringan Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Degradasi Lahan (Erosi) Implementasi Pemodelan Spasial untuk Menentukan Tingkat Kerentanan Produksi Beras (KP) Pengujian Model Hubungan antara Kerentanan dengan Produksi Padi Implementasi Model untuk Mengurangi Kerentanan Produksi VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran

23 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Halaman 1. Uraian tahapan kegiatan penelitian Kriteria Faktor dan peringkat pada Kelas Faktor untuk Kerentanan Pangan / Kerawanan Pangan transien (Sementara) Kategori Kekeringan dan Kebasahan berdasarkan Nilai SPI Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Meteorologis (KM) Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Hidrologis (KH) Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Vegetasi (KV) Klasifikasi tingkat kekeringan lahan sawah berdasarkan IRK Klasifikasi Laju Erosi Matrik Berpasangan Hasil Penilaian Pakar Peringkat dan Nilai Skor awal pada kelas Faktor ACH Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Vegetasi Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Curah Hujan Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Degradasi Lahan Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Banjir / Kekeringan Kriteria Penentuan Kategori Tingkat Kerentanan Pangan Informasi Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Indramayu Hasil Analisis Statistik EVI Maksimum Tanaman Padi di Lahan Sawah Indramayu dan sekitarnya Tahun Luas Sawah yang mengalami Gagal Panen (Puso) Padi akibat Kekeringan dan Banjir di Indramayu Hasil perhitungan bobot setiap faktor penyebab banjir sawah... 73

24 20. Klasifikasi Tingkat Rawan Banjir Sawah Hasil Penilaian Gabungan Pakar untuk Menentukan Bobot Faktor Kerentanan Pangan Beras menggunakan Metode AHP Klasifikasi Tingkat KPB Hasil Uji Validasi Model Kerentanan Pangan dengan Data Puso Lapangan bulan Mei-Agustus Hasil Uji Validasi Model Kerentanan Pangan dengan Data Puso Lapangan bulan Januari-April Rata-rata Skor Kerentanan dan Produksi Padi setiap Kecamatan di Indramayu pada Catur Wulan I (Januari - April) Tahun

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Interaksi Empat Faktor Yang Mendukung Ketahanan Pangan Kerangka Pemikiran Penelitian Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air pada data MODIS Lokasi Penelitian di Kabupaten Indramayu, Jawa Bara Tahapan Penelitian Kerentanan Produksi Beras Perhitungan nilai PV piksel yang memiliki nilai EVI > 0.4 pada posisi baris ke-3 dan kolom ke Diagram Alir Penentuan Kekeringan Lahan Sawah Hirarki Pengambilan Keputusan Penilaian Kerentanan Pangan Penentuan Skor %Vegetasi Penentuan Skor Anom Hujan Penentuan Skor Degradasi Penentuan Skor Banjir dan Kekeringan Klasifikasi Pewilayahan Iklim Hujan Kab. Indramayu, berdasarkan metode Schmidt-Fergusson Informasi Spasial Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu Buffer sungai dengan interval jarak 500 m di Kabupaten Indramayu Informasi Spasial Elevasi di kabupaten Indramayu Informasi Spasial Kemiringan Lahan (Lereng) Informasi Spasial Jenis Tanah Informasi Spasial Drainase Tanah Informasi Spasial Bentuk Lahan (Sistem Lahan) Citra Komposit Wana EVI Multitemporal Profil Pertumbuhan Tanaman Padi berdasarkan EVI Multitemporal.. 66

26 23. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei ~ Agustus 2006 Berbasis Batas Desa Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei ~ Agustus 2008 Berbasis Batas Desa Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Januari ~ April 2006 Berbasis Batas Desa Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Mei ~ Agustus Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Januari- April Informasi Spasial Genangan Banjir tahun 2006 di Indramayu Rawan Banjir Lahan Sawah Bulan Januari Tahun Hubungan antara terkena kekeringan dengan kejadian puso padi Informasi Spasial Kekeringan Lahan Sawah berbasis piksel di Kab.Indramayu pada Mei-Agustus Tahun Skor Rentan Puso berbasis batas desa akibat Kekeringan di Kab. Indramayu pada Mei-Agustus Tahun Informasi Spasial Laju Erosi pada Januari-April Histogram Skor Kerentanan pada periode Mei-Agustus Informasi Spasial Kerentanan Produksi pada Januari-April Informasi Spasial Kerentanan Produksi pada Mei-Agustus Perbandingan Luas Puso Keluaran Model dengan Observasi Lapangan Periode Mei-Agustus Perbandingan Luas Puso Keluaran Model dengan Observasi Lapangan Periode Januari-April Hubungan antara Skor Kerentanan Rata-Rata Kecamatan dengan Produktivitas Tanaman Padi pada Januari-April 2006 dan Mei-Agustus

27 DAFTAR LAMPIRAN 1. Kuisioner Pemilihan Faktor dan Bobot Kriteria Rentan Pangan Hasil Analisis Spasial Faktor Drainase Tanah dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor Indeks Vegetasi (EVI MODIS) dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor Hujan Bulanan dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor Elevasi/Ketinggian dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor Sistem Lahan dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor Kelerengan Lahan dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Analisis Spasial Faktor SPI Hujan dengan Peta Genangan Banjir Tahun Hasil Ekstraksi EVI dan Suhu Permukaan (Ts) MODIS di Stasiun BMKG Balitan Sukamandi, Subang. 10. Hasil Keluaran Mosel Kerentangan Produksi Beras Berbasis Batas Desa Untuk Periode Januari April Hasil Keluaran Mosel Kerentangan Produksi Beras Berbasis Batas Desa Untuk Periode Mei Agustus

28 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Pemerintah Indonesia turut memberikan komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan rawan pangan dan gizi. Hal itu sejalan dengan Deklarasi World Food Summit (WFS) tahun 1996 dan ditegaskan kembali pada WFS 5 tahun kemudian di Roma yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015 (BKP dan WFP, 2005). Terkait dengan upaya tersebut lembaga pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization, FAO) secara berkala melakukan studi untuk mengkaji perkembangan wilayah rawan pangan dan jumlah penduduk rawan pangan di berbagai negara (FAO, 1999). Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1, ayat 17, dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan Bab I, pasal 1, ayat 1 serta UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, pasal 1, ayat 10 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sasaran ketahanan pangan adalah masyarakat yang secara berkelanjutan mampu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang dan baik. Ketahanan Pangan memiliki peran penting bagi ketahanan nasional, dan upaya pengembangan ketahanan pangan sejalan dengan upaya penanggulangan masalah kemiskinan. Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, dan laju pertumbuhan produksi pangan relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya. Keberlanjutan ketahanan pangan sangat tergantung pada peningkatan ketersediaan pangan nasional misalnya beras, karena beras merupakan menu pangan dengan komposisi 65% kalori dan 62% protein tersedia dari beras, dan tersedianya beras meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi ketahanan pangan di Indonesia ditunjukkan oleh hasil pemetaan Kerawanan Pangan (Food Insecurity) dengan masukan faktor-faktor ketersediaan, aksesibilitas, dan penyerapan pangan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan World Food

29 2 Programme (WFP) pada tahun Ada 100 Kabupaten dari 265 Kabupaten ( 37.7 %) yang status Ketahanan pangannya berada pada kategori Rawan hingga Sangat Rawan, termasuk 11 kabupaten di Pulau Jawa. Faktor lainnya yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di atas adalah aspek kerentanan (Vulnerability) yang menunjukkan potensi kondisi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan rawan bencana, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen/produksi pangan (DKP dan WFP, 2003). Permasalahan akan timbul jika salah satu atau lebih dari aspek ketahanan pangan tersebut tidak terpenuhi dan tercapai dengan optimal. Rawan pangan yang terjadi terus menerus akan menyebabkan bencana kemanusiaan yang terjadi akibat daya dukung lahan dan lingkungan untuk menunjang produksi pangan tidak optimal serta faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat tidak bisa mengakses untuk memperoleh kebutuhan pangan yang cukup. Faktorfaktor lahan dan kondisi lingkungan yang menurun dapat menyebabkan kerentanan yang meningkat terhadap bencana ekologis, yang menyebabkan kegagalan panen dan produksi pangan, sehingga menimbulkan kondisi rawan pangan. Permasalahan yang harus diatasi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan laju pertumbuhan produksi pangan relatif lebih lambat. Oleh karena pangan beras masih merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, maka penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek kerentanan pangan (beras) dalam arti rentan terhadap pengurangan produksi beras akibat kegagalan panen (puso). Informasi spasial kondisi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kerentanan produksi beras dapat dideteksi oleh teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Pangan yang terbuka diperlukan keberadaannya dan perlu dikembangkan terus menerus untuk memenuhi ketiga aspek sebagaimana disebutkan terdahulu untuk masyarakat termasuk petani. Lembaga pemerintah menyediakan informasi yang terkait dengan indikator ketersediaan, distribusi dan tingkat konsumsi pangan secara akurat sehingga dapat diintegrasikan dengan kepentingan analisis ketersediaan pangan di suatu daerah tertentu pada saat tertentu. Penyediaan informasi secara sistematis dan berlanjut dapat dilaksanakan melalui koordinasi di antara lembaga terkait guna memberikan manfaat bagi pengelolaan ketahanan pangan jangka panjang. SIG

30 3 yang terpadu adalah perangkat teknologi informasi yang dapat menunjang penyediaan informasi tersebut. Kebijakan penyelenggaraan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terkait ketahanan pangan di Indonesia dirumuskan antara lain dalam Agenda Riset Nasional ( ). Dalam kaitan ini Kementerian Riset dan Teknologi telah mengawali pembentukan Kelompok Kerja SIG Ketahanan Pangan yang bertugas untuk melaksanakan Sinergi Penyediaan Data dan Informasi Sumberdaya alam untuk mendukung ketahanan pangan, dengan memadukan berbagai data dan informasi dari instansi pemerintah yang terkait dengan penyediaan data spasial. Lembaga yang terkait di antaranya adalah BAKOSURTANAL, LAPAN, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, BMKG, Dep. Kelautan dan Perikanan. Kementerian Negara Ristek yang bertindak sebagai koordinator Pokja mengembangkan Sistem Informasi Spasial dengan fokus pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta-peta potensi pangan di daerah. Perkembangan teknologi satelit sampai saat ini telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas (peringatan dini bencana), yaitu dengan diluncurkannya satelit Terra dan Aqua yang memiliki sensor MODIS. Dengan tersedianya data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dari satelit Terra dan Aqua yang memiliki resolusi spasial (250 m, 500 m, dan 1000 m) serta 36 kanal, lebih banyak dibandingkan data NOAA/AVHRR (1000 m, 5 kanal), diharapkan mampu memberikan informasi perubahan kondisi pertanian, terutama lahan sawah dan tanaman padi dapat dideteksi lebih akurat. Prediksi secara cepat dan kontinyu perlu dilakukan untuk memperoleh informasi luas panen dan produktivitas padi sawah sebelum masa panen terjadi. Dengan prediksi ini maka potensi produksi padi sawah di setiap daerah dapat diketahui lebih cepat. Informasi luas panen dapat diprediksi berdasarkan pendugaan umur padi menggunakan data satelit Inderaja. Dirgahayu (2005) dan Dirgahayu et al. (2010) telah melakukan penelitian menggunakan data EVI MODIS yang memiliki resolusi spasial 250 m untuk menduga fase pertumbuhan dan umur tanaman padi. Penelitian ini dilakukan di lahan sawah yang relatif luas dan seragam awal tanamnya pada area persawahan berukuran minimal 250 m x 250 m (6.25 Ha) di pantai Utara Jawa Barat. Selanjutnya waktu dan luas panen padi hingga empat bulan mendatang dapat diprediksi berdasarkan informasi spasial umur tanaman padi. Uchida (2010) telah menkombinasikan EVI dan

31 4 NDWI (Normalized Difference Water Index) MODIS untuk mendeteksi pola tanam padi dan non padi di lahan sawah Jawa Barat. Awal tanam padi yang didominasi obyek air pada lahan sawah dapat dideteksi oleh kisaran nilai EVI yang rendah dan NDWI yang tinggi. Keberhasilan panen dan tingkat produktivitas tanaman padi tergantung pada kondisi pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif dan perkembangannya pada fase generatif. Pertumbuhan tanaman padi tersebut dapat dipantau dengan menggunakan data satelit Inderaja yang mempunyai sensor yang sensitif terhadap perubahan fase pertumbuhan (vegetatif) dan perkembangan (generatif) tanaman padi sawah serta mengalami kondisi lahan berair, bervegetasi dan bera. Kegiatan pemantauan kondisi pertumbuhan tanaman padi dan lahan sawah di pulau Jawa secara kontinyu (bulanan) telah dilakukan oleh LAPAN sejak tahun 2005 (Pusfatja, 2011). Potensi produktivitas tanaman padi dapat diestimasi berdasarkan Indeks Luas Daun (ILD) yang berkorelasi tinggi dengan Indeks Vegetasi pada fase vegetatif maksimum (Dirgahayu, 2011). Hasil penelitian Avicienna (2011) menunjukkan korelasi yang nyata antara EVI maksimum dengan produktivitas tanaman padi di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Informasi luas panen dan produktivitas padi selanjutnya dijadikan sebagai bahan masukan untuk prediksi produksi padi, sehingga dapat disusun strategi pengadaan bahan pangan pada tingkat lokal kabupaten hingga propinsi. Penelitian ini dilakukan untuk membuat informasi spasial ketahanan pangan sementara (transien) ditinjau dari aspek lingkungan, yaitu berdasarkan aspek Kerentanan Pangan (Food Vulnerability) yang dapat menyebabkan potensi penurunan produksi padi (beras) akibat kegagalan panen (puso). Pendekatan dilakukan melalui penyusunan model spasial beberapa indikator kerentanan menurut DKP dan WFP (2003), seperti Anomali Curah Hujan, Persentase Vegetasi, degradasi lahan pertanian akibat Erosi, Kekeringan, dan Banjir pada lahan padi sawah di Kabupaten Indramayu, sehingga dapat diketahui sebaran spasialnya sampai tingkat Kecamatan. Dengan demikian permasalahan antisipasi penanganan serta prioritas area yang harus diperhatikan karena mengalami kondisi rentan yang tinggi dapat diketahui sebelum panen.

32 Perumusan Masalah Di Indonesia, permasalahan kerawanan pangan yang berakibat pada keadaan yang bersifat transien/ sementara maupun kronis di Indonesia memerlukan perhatian serius dan tindakan penanganan lebih lanjut. Kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis maupun sementara dapat terjadi di daerah yang memiliki ketersediaan lahan sawah yang luas, seperti yang terjadi di beberapa Kabupaten di Jawa Timur dan Lebak di Banten (BKP dan WFP, 2005). Prioritas perbaikan kondisi lingkungan perlu didukung oleh informasi spasial agar tepat sasaran. Salah satu sumber informasi spasial yang memiliki cakupan yang luas serta kemampuan untuk mendeteksi dan memantau kondisi lingkungan adalah data satelit Inderaja. Penanganan masalah rawan pangan harus dilakukan secara optimal, terpadu, efektif dan efisien melalui pelaksanaan kebijakan yang terarah dan mencakup kegiatan pemantauan, analisis, prediksi serta evaluasi faktor-faktor penyebabnya. Selanjutnya perlu disusun perumusan strategi dan program kegiatan pencegahan dan penanggulangan masalah. Penelitian mengenai kualitas lingkungan umumnya masih mengandalkan data statistik (tabular) dan kurang melibatkan aspek spasial. Aspek spasial belum mendapat perhatian yang utama sebagai salah satu komponen penting dalam merancang, menetapkan dan menerapkan pedoman kualitas lingkungan fisik. Hubungan antara karakteristik lingkungan (iklim, tanah, dan air) dengan kualitas lingkungan sumberdaya lahan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Sitorus, 1985). Oleh karena itu analisis spasial untuk mengkaji saling pengaruh antara karakterisitik spasial lahan dengan kualitas lingkungan yang terkait dengan kerentanan pangan merupakan penelitian yang penting dan merupakan terobosan baru untuk melengkapi metodologi penelitian lebih komprehensip (terpadu). Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka ada beberapa pertanyaan pokok dalam penelitian yang perlu diketahui, yaitu : 1. Faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi Kerentanan Produksi beras (Food Vulnerability) di lokasi penelitian? 2. Bagaimana kondisi dan penyebaran spasial indikator tersebut di lokasi penelitian? 3. Dimana saja terjadi lokasi (hingga level kecamatan) yang memiliki Kerentanan Produksi dengan kategori tinggi?

33 6 4. Bagaimana hubungan antara Kerentanan Produksi Beras (KPB) dengan ketahanan pangan dari aspek ketersediaan pangan (produksi padi)? 1.3. Kerangka Pemikiran Dewan Ketahanan Pangan (DKP) RI dan Program Pangan Dunia PBB (2003) menyatakan bahwa Konsep Ketahanan pangan memiliki dua unsur keamanan pangan, yaitu ketersediaan baik dalam hal kualitas maupun kuantitas suplai makanan, dan kemudahan untuk mendapatkan makanan baik secara membeli, menukar maupun meminta. Selanjutnya terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu masalah waktu, terkait dengan situasi dan periode-periode rawan kekurangan pangan, serta yang terkait dengan kepekaan (kerentanan) terhadap rawan pangan, tingkat kekurangan gizi dan kecukupannya. Ketahanan pangan merupakan manifestasi dari sub-sistem Ketersediaan Pangan (Food Availability), sub-sistem keterjangkauan pangan dan penghasilan (Food Access), sub-sistem pemanfaatan/ penyerapan pangan (Food Utilization), serta sub-sistem Kerentanan Pangan (Food Vulnerability). Interaksi dari keempat sub-sistem tersebut pada akhirnya menentukan suatu wilayah mengalami rawan pangan atau tidak (Gambar 1). Gambar 1. Diagram Interaksi Empat Faktor yang mendukung Ketahanan Pangan (DKP dan WFP, 2003)

34 7 Kerawanan pangan merupakan masalah multi-dimensional. Secara umum kerawanan pangan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif, baik secara sementara maupun berkelanjutan. Kondisi ini dapat sedang terjadi atau berupa kecenderungan saja. Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara. Kerawanan pangan kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan untuk mengakses pangan yang cukup dari produksi swasembada, pembelian di pasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyerap pangan ke dalam tubuh, cara makan yang tidak benar, infrastruktur kesehatan dan sanitasi yang tidak memadai. Kerawanan pangan sementara, di lain pihak, merupakan dampak dari menurunnya ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan bencana alam dan faktor lingkungan lainnya (DKP dan WFP, 2003). Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat propinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Pada semua tingkatan, kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat mempengaruhi derajat kerawanan pangan (DKP dan WFP, 2003). Kerawanan pangan ini oleh BKP dan WFP (2005) digunakan sebagai parameter untuk menilai kondisi Ketahanan Pangan Nasional. Sebaran spasialnya pada tingkat propinsi dapat dipetakan dalam bentuk peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) berbasis Kabupaten. Berdasarkan interaksi faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan pada Gambar 1, maka disusun Kerangka Pemikiran Penelitian dengan topik Kerentanan Produksi Beras (disajikan pada Gambar 2). Berdasarkan Gambar 2 tersebut menunjukkan kontribusi teknologi Inderaja dan SIG untuk mendukung Ketahahan Pangan yang berkelanjutan melalui aspek Kerentanan Produksi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kerentanan Produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi Kerentanan yang dapat menyebabkan

35 8 penurunan produksi beras akibat kegagalan panen. Kondisi aktual bencana atau kerusakan lingkungan (ekologis) dan kegagalan panen (puso) akibat terjadinya anomali iklim (suhu dan curah hujan), banjir, kekeringan, dan hama penyakit, serta degradasi lahan (longsor, erosi, banjir) akan mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat untuk mengakses kebutuhan pangan, sehingga penduduk yang dikategorikan miskin semakin bertambah. Kondisi sosial budaya juga dapat terganggu akibat kerusakan ekologis tersebut, sehingga kondisi Kerentanan Pangan cenderung akan meningkat (DKP dan WFP, 2003). Kondisi Kerentanan Pangan yang dapat menyebabkan kegagalan panen dan menurunkan produksi padi suatu daerah perlu dideteksi, dipantau dan diprediksi secara spasial, sehingga dapat diketahui dimana posisi dan lokasi terjadinya penyebab penurunan Kerentanan Pangan yang dapat menurunkan status Ketahanan pangan. Peranan faktor kelembagaan yang mengimplementasikan kebijakan pemerintah dalam pembentukan struktur kelembagaan dan teknologi dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan sangat berpengaruh terhadap status Ketahanan pangan suatu daerah apakah dalam kondisi berkelanjutan atau tidak. Produksi padi setiap tahunnya mengalami fluktuasi akibat adanya perubahan iklim. Beberapa bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim adalah dengan adanya bencana kekeringan dan banjir di lahan sawah terutama di Pulau Jawa yang merupakan pemasok terbesar produksi padi nasional (DKP dan WFP, 2003). Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi disamping faktor internal (genetik). Salah satu unsur cuaca atau iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi adalah curah hujan sebagai pemasok air bagi tanaman padi yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Informasi curah hujan sangat diperlukan untuk mengoptimalisasikan penggunaan air pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi untuk dapat mencapai tingkat produksi yang optimal melalui manajemen jadwal tanam yang tepat. Data satelit Inderaja yang memiliki cakupan luas dan resolusi rendah sampai tinggi dapat dimanfaatkan untuk mendukung program Ketahanan pangan Nasional. Beberapa parameter fisik lingkungan dapat diketahui informasi spasialnya melalui satelit Terra/Aqua MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dan TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission). Satelit Terra/Aqua MODIS yang memiliki resolusi temporal tinggi (setiap hari) dapat

36 9 memantau perubahan-perubahan yang terjadi selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, sedangkan satelit TRMM dapat memberikan informasi curah hujan setiap 3 jam. Beberapa kondisi lingkungan yang mempengaruhi kerentanan pangan dapat ditampilkan sebaran spasialnya dengan data satelit Inderaja, antara lain : curah hujan, suhu permukaan, liputan lahan, Indeks Vegetasi, kemiringan lahan/ kelerengan dan aspek lahan dari DEM, estimasi laju erosi (secara tidak langsung), kelengasan tanah, kekeringan meteorologis dan agronomis, fase pertumbuhan tanaman untuk prediksi luas panen, evapotranspirasi, estimasi produktivitas, dan lain-lain. Dengan demikian kualitas lingkungan yang terkait dengan kerentanan pangan akibat anomali curah hujan, perubahan lahan bervegetasi, dan kegagalan panen padi akibat kekeringan, banjir, dan hama penyakit dapat dideteksi, diestimasi, dan dipantau melalui pemodelan spasial. Analisis multi kriteria untuk menentukan kondisi kerentanan pangan suatu daerah dapat diketahui lebih terperinci sebagai hasil dari implementasi model spasial teknologi Inderaja dan SIG. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan model spasial yang dihasilkan untuk mendeteksi kondisi tanaman padi dan lahan sawah, antara lain pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi (Xiao et al., 2005; Pusfatja, 2011), deteksi awal tanam padi (Uchida, 2010), kekeringan agronomis oleh Sanhold et al. (2002), integrasi 3 indeks kekeringan (Pusbangja, 2005) dan potensi bahaya banjir lahan sawah (Abidin et al., 2006).

37 10 DATA PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) BENCANA EKOLOGIS /GAGAL PANEN - Anomali Iklim/Hujan, Konversi Lahan, Degradasi Lahan, - Kekeringan, Banjir, Hama Penyakit SEBARAN INFORMASI SPASIAL LINGKUNGAN - Curah Hujan, Suhu, Liputan Lahan, Indeks Vegetasi, Fase Pertumbuhan, Erosi, Banjir, Logsor, Kelengasan Tanah, Kekeringan Meteorologis & Agronomis, Evapotranspirasi IMPLEMENTASI INDERAJA dan SIG : PEMODELAN SPASIAL MULTI KRITERIA KERENTANAN PRODUKSI BERAS EKONOMI (Akses Pangan) Infrastruktur (jalan), Listrik/ Energi, Kemiskinan SOSIAL (Penyerapan Pangan) Harapan hidup, SDM, SDA, Kesehatan KELEMBAGAAN Kebijakan, UU, PP KEAMANAN PRODUKSI Ketersediaan Pangan TEKNOLOGI Varietas, I.Penanaman Produktivitas, Pasca Panen KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Model Spasial Kerentanan Produksi Beras

38 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk membangun model spasial Kerentanan produksi beras menggunakan teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain : 1) Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan Kerentanan produksi beras, yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan produksi beras atau kegagalan panen padi (puso) menggunakan teknologi Inderaja dan SIG. 2) Mengidentifikasi sebaran spasial persentase vegetasi, anomali curah hujan, banjir dan kekeringan lahan sawah, serta degradasi lahan yang dapat menyebabkan puso di lokasi penelitian. 3) Membangun zona kerentanan produksi hingga tingkat Kecamatan berdasarkan model spasial yang diperoleh. 4) Mengidentifikasi hubungan antara kerentanan produksi dengan produksi padi Manfaat Penelitian 1) Bahan masukan kepada instansi terkait, terutama Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian Kabupaten untuk mengantisipasi kondisi Rawan Pangan di suatu daerah. 2) Diseminasi informasi spasial kondisi lahan pertanian, terutama lahan padi sawah yang terkait dengan kondisi kerentanan. 3) Terwujudnya kerjasama antar institusi terkait dalam pembangunan sistem informasi Kerentanan Produksi Beras untuk menunjang Ketahanan pangan Nasional yang berkelanjutan.

39 Kajian Penelitian terdahulu Irawan (2005) melakukan penelitian "Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis". Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu mengabaikan pengaruh faktor lingkungan serta tidak spasial. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun (-0.77 % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun muiai tahun Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dan WFP (World Food Programme) pada tahun 2005 dan 2009 telah memetakan daerah-daerah kabupaten yang berpotensi rawan pangan (Food Insecurity Atlas) berdasarkan data sekunder dalam format tabular (non spasial). Hasil analisis menunjukkan seratus kabupaten di Indonesia memiliki kondisi Ketahanan pangan agak rendah, sehingga perlu mendapat prioritas untuk menanggulanginya. Tahir (2010) telah mengembangkan formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan pulau-pulau kecil terhadap resiko kenaikan muka air laut yang dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Beberapa paramerter biofisik pesisir pantai dan laut serta kepadatan penduduk digunakan dalam analisis menggunakan SIG. Penelitian pemodelan spasial terkait dengan resiko kebakaran hutan di Kalimantan Barat telah dilakukan oleh Kayoman (2010). Pembobotan terhadap faktor-faktor penentu kebakaran hutan dan lahan dengan indikator titik panas (hot spot) dilakukan dengan metode CMA (Composite Mapping Analysis). Penelitian-penelitian yang menggunakan pemodelan spasial dengan penerapan data satelit inderaja dan SIG, terutama yang menyangkut aspek lingkungan terkait dengan kerentanan produksi belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Nurmalina (2007) tentang Neraca Ketersediaan Beras dan Pramudia (2008) tentang pengaruh hujan terhadap kerentanan produksi padi masih menggunakan data tabular berbasis kabupaten. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan teknologi Inderaja dan SIG dalam Pengelolaan dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

40 13 untuk mendeteksi bahaya dan kerentanan yang dapat menyebabkan kegagalan panen (puso) akibat perubahan persentase vegetasi, anomali curah hujan, dan rawan banjir dan kekeringan Kebaharuan Penelitian (Novelty) Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, maka penelitian ini memiliki kebaharuan (Novelty) dalam hal : (1) Aspek spasial berdasarkan ekstraksi informasi Kerentanan dari data satelit inderaja. Sebelumnya hanya berdasarkan data tabular dan informasi yang telah terjadi (BKP dan WFP, 2005 ; Irawan, 2005; Nurmalina, 2007; dan Pramudia, 2008). (2) Pengembangan metode penentuan bobot faktor dan perhitungan skor sub faktor menggunakan kombinasi metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan CMA (Composite Mapping Analysis). Sebelumnya BKP dan WFP (2005) belum membuat peta kerentanan produksi beras yang menggabungkan beberapa faktor Kerentanan Produksi terhadap Kerawanan Pangan transien (sementara). (3) Metode klasifikasi zona Kerentanan Produksi berdasarkan pemodelan spasial menggunakan metode overlay terbobot hingga level kecamatan. Sebelumnya belum pernah dilakukan oleh BKP dan WFP (2005,209), karena faktor-faktor penentu Kerentanan Produksi masih dipetakan secara terpisah.

41 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Secara umum, model diartikan sebagai suatu penyederhanaan dari kondisi sesungguhnya di dunia nyata. Peubah-peubah yang digunakan dalam model sebagian dari peubah-peubah yang jumlah dan jenisnya jarang diketahui secara lengkap. Tujuan dari pembuatan model adalah agar membantu pengambil keputusan ataupun analis untuk memahami, menggambarkan dan memprediksi bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui penyederhanaan fenomena maupun kenampakan karakteristik alam (feature). Dalam ilmu geomatika atau, model-model spasial mencakup sekumpulan proses yang dijalankan pada data spasial untuk menghasilkan informasi yang umumnya berbentuk informasi spasial berupa peta tematik. Hasil dari pemodelan ini dapat digunakan sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan studi ilmiah atau untuk memberikan informasi umum. Pemodelan merupakan bagian dari analisis spasial untuk memperoleh feature yang diinginkan. Pemodelan spasial dalam SIG dapat mencakup pemodelan simulasi maupun pemodelan prediktif (Jaya, 2007). Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa kemampuan analisis terhadap data spasial yang ditunjukkan melalui pemodelan merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. Alasan logis dimanfaatkannya model, yaitu : (a) dapat diuji dan dimanipulasi dengan cepat, mudah dan murah; (b) dapat menggambarkan analisis yang menggunakan beberapa skenario / alternatif. Seni dan ilmu dari pemanfaatan SIG adalah dapat mengkombinasikan berbagai fungsi analisis yang ada untuk menghasilkan informasi tematik yang baru. Model spasial dengan menggunakan bantuan SIG telah banyak diteliti untuk menghasilkan informasi tematik spasial dalam berbagai aspek, termasuk masalah lingkungan dan bencana. Yalcin dan Akyurek (2004), menggunakan metode MCE (Multicriteria Evaluation) untuk membuat daerah zona kerentanan banjir. Bobot dan nilai-nilai dari kriteria dapat berubah sesuai dengan daerah penelitian. Apabila karakteristik berubah maka, hasilnya akan menunjukkan kondisi yang berbeda. Daerah rawan banjir di wilayah studi diklasifikasikan ke dalam 5 klas yang terdiri dari: tinggi, tinggi-sedang, sedang, sedang-rendah, rendah. Sebelumnya, Nawaz dan Shafique (2003) telah melakukan penelitian

42 16 analisis risiko banjir menggunakan data Penginderaan Jauh ( Inderaja ) dan SIG. Metode yang digunakan untuk analisa resiko banjir adalah teknik SIG dengan menggunakan input tataguna lahan, umur bangunan, jenis material bangunan dan daerah rentan banjir. Hasil dari penilaian tersebut diklasifikasikan ke dalam empat klas daerah bahaya banjir yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Penilaian bahaya dan pemetaan risiko banjir digunakan untuk perencanaan wilayah lebih lanjut. Sagala (2006) melakukan penelitian pemodelan spasial kerentanan banjir dan mekanisme penanggulangan yang dilakukan masyarakat di daerah pemukiman yang mudah terkena banjir di Kota Naga, Filipina. Metode yang digunakan analisa spasial dan analisa statistik (Descriptive Statistic, Cross Tabulation Analysis, Regression Analysis). Hasil penelitian ini digunakan untuk membuat kebijakan dalam mengurangi resiko banjir, misalnya dengan mengembangkan standar bangunan yang baik dan perencanaan penggunaan lahan. Kombinasi beberapa faktor untuk menentukan kondisi kekeringan dilakukan oleh Narendra (2008). Penelitian mengambil lokasi di Sub DAS Gesing, DAS Bogowonto, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Data utama yang digunakan adalah data curah hujan dari BMKG, jenis tanah, dan kontur dari Peta Rupa Bumi. Metode yang digunakan adalah SPI (Standardized Precipitation Index), model kekeringan kelengasan tanah (dengan PC Raster) dan analisis korelasi. Hasil penelitian mnunjukkan bahwa karakteristik curah hujan tahunan dapat menggambarkan kejadian kekeringan pada tahun tersebut. Model kelengasan tanah yang dibangun dapat menjelaskan karakteristik kekeringan berdasarkan defisit lengas tanah dengan skala waktu yang fleksibel. Nilai SPI dapat digunakan untuk mengetahui adanya kekeringan, diidentifikasi dari adanya nilai SPI negatif (skala waktu 1 bulan) Pemanfaatan Data Satelit Inderaja untuk Pemantauan Kondisi Lingkungan MODIS (Moderate Resolution Image Spectrometer) adalah salah satu instrumen utama yang dibawa oleh Earth Observing System (EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Satelit Terra diluncurkan pada Desember 1999 dan telah disempurnakan dengan satelit Aqua

43 17 pada tahun MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. Lebar cakupan yang pada permukaan bumi setiap putarannya sepanjang 2,330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari µm µm (1 µm = 1/1,000,000 meter). Keragaman karakteristik spektral yang dimiliki data MODIS memungkinkan untuk ekstraksi informasi kondisi lahan, lingkungan, dan cuaca (NASA, 2010). Kurva respon spektral beberapa obyek di permukaan bumi berdasarkan reflektansi kanal MODIS ditunjukkan pada Gambar 3 (Roswintiarti et al., 2007). Gambar 3. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air pada data MODIS Dua indeks vegetasi yang paling banyak diaplikasikan dari data MODIS untuk memantau kondisi tanaman/vegetasi adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index). NDVI dapat dihitung melalui rasio kanal spektral merah (Red) dan infra merah dekat (Near Infra Red/NIR). Indeks kehijauan tanaman (Greeness Index) merupakan ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengamati kondisi vegetasi tanaman dan aktivitas fotosintesis. Pada umumnya nilai ini dapat diperoleh dari analisis kombinasi dua atau lebih kanal spektral (Huete et al., 2002). Beberapa metode telah dikembangkan untuk menghitung indeks vegetasi. Indeks vegetasi yang telah dikembangkan sampai saat ini antara lain NDVI

44 18 (Normalized Difference Vegetation Index) dan SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index) oleh Huete et al. (1997), LSWI (Land Surface Water Index) oleh Ichoku et al. (2003). EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI, ARVI, dan SARVI. EVI diketahui lebih sensitif terhadap perubahan biomasa selama fase vegetatif yang lama, serta tahan terhadap efek atmosfer dan kanopi. Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah, kanal infra merah dekat (NIR) dan kanal biru data MODIS. Kanal spektral biru sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Heute et al., 1999) Bencana kekeringan di Indonesia merupakan persoalan yang selalu terjadi dari tahun ke tahun akibat fenomena alam, seperti El-Nino, tekanan sosial-ekonomi serta perubahan penggunaan lahan. Kekeringan dapat menyebabkan berkurangnya persediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman selama musim kemarau. Bila keadaan ini terjadi, maka dapat mengakibatkan meluasnya lahan kritis yang akan berdampak terjadinya degradasi kualitas lingkungan. Kekeringan lahan juga dapat mengakibatkan penurunan atau gagalnya produksi tanaman pangan, kekurangan cadangan air minum, serta terjadinya kebakaran hutan/lahan. Wilhite dan Glantz (1985) dan Jeyaseelan (2003). membedakan kekeringan menjadi tiga berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu kekeringan meteorologis, kekeringan agronomis dan kekeringan hidrologis. Kekeringan secara meteorologis terkait dengan curah hujan (presipitasi), kekeringan agronomis terkait dengan kondisi air dan kelengasan tanaman,dan kekeringan hidrologis terkait dengan ketersediaan aliran bawah permukaan dan kelengasan tanah. Kekeringan meteorologis didefinisikan sebagai ambang batas kekurangan curah hujan (presipitasi) yang melebihi jangka waktu yang ditentukan. Ambang batas dipilih, misalnya 75 persen dari presipitasi normal dan lamanya periode waktu, sebagai contoh 6 bulan, dan akan bervariasi di setiap lokasi tergantung kebutuhan atau pemanfaatannya. Kekeringan agronomis didefinisikan secara umum oleh ketersediaan air untuk mendukung pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan masuknya presipitasi normal. Tidak ada hubungan langsung antara curah hujan dengan infiltrasi ke dalam tanah. Kekeringan hidrologis didefinisikan sebagai masuknya suplai air permukaan dan bawah permukaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kondisi rata-rata. Mirip dengan kekeringan agronomis, tidak ada hubungan langsung antara jumlah

45 19 curah hujan dan suplai air permukaan dan bawah permukaan ke dalam waduk, reservoir, akifer, dan aliran sungai karena komponen sistem hidrologis tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang lain seperti irigasi, rekreasi, pariwisata, kontrol makanan, transportasi, produksi pembangkit listrik tenaga air, suplai air minum domestik, dan perlindungan dan manajemen ekosistem dan lingkungan. Tingkat infiltrasi bervariasi tergantung dari kondisi lengas tanah sebelumnya, lereng, tipe tanah dan intensitas hujan. Karakteristik tanah juga berpengaruh terhadap kekeringan agronomis dan hidrologis. Beberapa jenis tanah mempunyai kapasitas dalam menampung air yang tinggi dibandingkan dengan yang lain. Tanah dengan karakteristik yang sulit menampung air dalam jumlah tinggi akan lebih rawan terhadap kekeringan. Wilhite dan Glantz (1985) menjelaskan proses terjadinya kekeringan. Pada mulanya, kekeringan disebabkan oleh berkurangnya curah hujan (kekeringan meteorologis). Setelah itu kekeringan berlanjut dan berpengaruh pada penurunan kelengasan tanah (kekeringan agronomis). Pada daerah pertanian akan berdampak pada penurunan produktivitas tanaman dan pada daerah hutan akan meningkatkan dan memicu terjadinya kebakaran hutan. Lebih lanjut, kekeringan dapat berkembang dan menyebabkan terjadinya kekeringan air tanah (kekeringan hidrologis). Pada tahapan ini, tidak tersedia cukup air, air tanah untuk mensuplai air minum, irigasi, industri, dan pembangkit listrik. Pada kenyataannya kekeringan yang terjadi di lapangan berlangsung secara pararel, dimana ketiga jenis kekeringan telah terjadi pada suatu hamparan. Kogan (2000) telah melakukan penelitian untuk deteksi kekeringan dan dampak-dampaknya menggunakan data NOAA. Metode yang digunakan adalah VCI (Vegetation Condition Index), TCI (Temperature Condition Index) dan Vegetation Health (VHI). Dari penelitian ini diketahui bahwa kekeringan dapat dideteksi 4-6 minggu sebelumnya dan dapat didelineasi lebih akurat. Dampak kekeringan terhadap produksi gandum dapat diketahui sebelumnya, dimana ini merupakan kebutuhan vital bagi perdagangan dan ketahanan pangan dunia. Daerah penelitian adalah global (seluruh dunia) dengan 25 negara contoh untuk validasi. Thenkabail et al. (2004) melakukan penelitian untuk mendeskripsikan perkembangan sistem dan monitoring kekeringan secara near real time di wilayah Asia Baratdaya (Afghanistan, Pakistan dan India bagian Barat). Data yang digunakan adalah MODIS dan AVHRR/NOAA (Advanced Very High

46 20 Resolution Radiometer / National Oceanic and Atmospheric Agency). Metode yang digunakan adalah NDVI dan VCI (Vegetation Condition Index). Dari penelitian ini diketahui bahwa ketersediaan data MODIS dan AVHRR yang secara kontinyu dapat diperoleh akan mampu memberikan laporan tentang perkembangan kondisi kekeringan menggunakan metode NDVI dan VCI. Guo et al. (2004) melakukan penelitian untuk menginvestigasi efisiensi kombinasi penggunaan data penginderaan jauh dan data klimatologi untuk analisis kekeringan. Penelitian dilakukan di Canadian Prairie Ecozone di Provinsi Alberta, Saskatchewan, dan Manitoba, Kanada. Data yang digunakan adalah MODIS dan data Klimatologi dari stasiun lapangan. Metode yang digunakan adalah NDVI, EVI dan juga menggunakan panjang gelombang sinar merah (Red) dan infra merah tengah (Mid Infra Red / MIR). Dari penelitian ini diketahui bahwa indeks vegetasi dari data MODIS secara efekttif dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kekeringan, terutama EVI. Guo et al. (2007) melakukan penelitian untuk mengetahui kekeringan pada daerah padang rumput menggunakan data MODIS. Penelitian dilakukan di dataran luas di bagian tengah negara Amerika Serikat (The Central Great Plains of the United States). Data yang digunakan adalah MODIS time series Metode yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan NDWI (Normalized Difference Water Index). Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara NDVI dan NDWI dengan kondisi kekeringan. Analisis juga menyingkap bahwa kombinasi informasi dari data kanal visible, near infrared dan short wave infrared mampu memperbaiki sensivitas terhadap kekeringan. Oleh sebab itu, dari penelitian ini mengajukan variabel NDDI (Normalized Difference Drought Index) yang memiliki respon lebih kuat pada kondisi kekeringan musim kemarau dibandingkan metode NDVI dan NDWI yang lebih sederhana. Anderson et al. (2007) melakukan penelitian untuk mengukur kemampuan MODIS NDVI, EVI (Enhanced Vegetation Index) dan NDWI untuk mendeteksi kekeringan tahun 2005 di Amazonia. Penelitian dilakukan di Kawasan hutan Amazon (Amazonia). Data yang digunakan adalah MODIS, TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission), dan Liputan Lahan. Metode yang digunakan adalah analisis NDVI, EVI dan NDWI dari MODIS dan analisis curah hujan dari TRMM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter NDWI dan EVI memiliki sensitivitas dan konsistensi untuk mendeteksi kekeringan secara seri-temporal.

47 21 NDVI menunjukkan variabilitas yang tinggi dan juga sulit dalam interpretasi. Bulan-bulan kritis dalam seri data NDWI dan EVI bertepatan dengan bulan-bulan dimana kekurangan air lebih tinggi yang dihitung berdasarkan data TRMM. EVI juga menunjukkan kemampuan untuk mendeteksi perubahan struktur kanopi. Metode ini sangat baik untuk digunakan dalam analisis spasial luasan dampakdampak kekeringan pada vegetasi. Parida dan Oinam (2008) melakukan penelitian untuk memantau kondisi kekeringan vegetasi/pertanian menggunakan parameter TDVI (Temperature Vegetation Dryness Index). Penelitian dilakukan di Gujarat dan Assam (Negara bagian India) dan Visayas (wilayah barat Filipina). Analisis dilakukan dengan menggunakan metode TDVI dari data MODIS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data MODIS dapat mendeteksi dan memonitor kondisi kekeringan berdasarkan kriteria nilai TVDI > 0.8. Klasifikasi kekeringan pertanian ditentukan berdasarkan metode TVDI oleh Sanhold et al. (2002). Metode TDVI sangat berguna untuk identifikasi kekeringan menggunakan satelit secara langsung dalam periode harian Kerentanan dan Bencana Definisi ancaman, bencana, kerentanan, dan resiko menurut Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (International Strategy for Disaster Reduction) PBB diacu dalam Bakornas PBP (2005), yaitu : o Ancaman: kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kamatian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan o Bencana: suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomik atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri. o Kerentanan: kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik/lingkungan, sosial, ekonomi yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana. o Mitigasi: upaya-upaya struktural dan non-struktural yang diambil untuk membatasi dampak ancaman bencana.

48 22 o Resiko: suatu peluang dari timbulnya akibat buruk, atau kemungkinan kerugian dalam hal kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan harta benda, gangguan kegiatan matapencaharian dan ekonomi atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman, bencana dan kondisi kerentanan. Bakornas PBP (2005) menyebutkan pula bahwa resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazards) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal. Tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan (kapasitas) dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Secara umum, resiko dapat dirumuskan sebagai berikut : Resiko = Bahaya x Kerentanan Kemampuan 2.4. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 dan PP no 68 tahun 2002 tentang Pangan disebutkan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau". Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dimana pangan tersedia dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, yang bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dimana pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, dimana pangan mudah diperoleh oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Maxwell dan Frankenberger (1992) mengajukan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan aspek dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang digambarkan melaiui dua keadaan kerawanan pangan,

49 23 yaitu (1) kerawanan pangan kronis dan (2) kerawanan pangan sementara/transien atau kerentanan pangan (Food Vulnerability). Kerawanan pangan dapat terjadi jika rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan kronis biasanya sering terjadi pada kawasan terpencil atau terisolasi, sehingga menyebabkan sedikitnya aktivitas sosial dan ekonomi. Kejadian bencana kelaparan berlangsung secara berulang, terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklus, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor-faktor eksternal yang ada. Konsep ketahanan pangan (food security) selanjutnya terkait dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Pengertian ke tiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan. Indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan (food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem. Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksesibilitas pangan tergantung

50 24 pada pendapatan, produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat provinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Di tingkat rumah tangga, kerawanan pangan umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh penghasilan yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Di tingkat individu, beberapa aspek seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan, perbedaan gender dan lainnya dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pada semua tingkatan, kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat mempengaruhi kerawanan pangan (Saad, 1999). Irawan (2005) melakukan penelitian "Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis". Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu mengabaikan pengaruh faktor lingkungan serta tidak spasial. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun (-0.77 % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun muiai tahun Pada tahun 2005 Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan World Food Programme (WFP) mempublikasikan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) di Indonesia berbasis batas Kabupaten yang mencakup 265 kabupaten di 30 propinsi di seluruh Indonesia. Peta Kerawanan Pangan tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan status Ketahanan Pangan suatu daerah Indikator yang digunakan dalam sub-sistem ketersediaan pangan, adalah: (1) konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar ; indikator sub-sistem akses pangan, adalah: (2) prosentasi penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, (3) prosentasi desa yang tidak

51 25 memiliki akses penghubung yang memadai, (4) prosentase penduduk tanpa akses listrik; indikator sub-sistem kesehatan dan gizi, adalah: (5) angka harapan hidup saat lahir, (6) berat badan balita di bawah standar, (7) perempuan buta huruf, (8) angka kematian bayi, (9) penduduk tanpa akses ke air bersih, (10) prosentasi penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas; indikator Kerentanan Pangan, adalah: (11) prosentasi daerah berhutan, (12) prosentasi daerah puso, (13) daerah rawan longsor dan banjir, dan (14) penyimpangan/anomali curah hujan. Hasil analisis Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) tahun 2005 menunjukkan seratus kabupaten di Indonesia memiliki kondisi Ketahanan Pangan agak rendah, sehingga perlu mendapat prioritas untuk menanggulanginya. Kerentanan Pangan di suatu daerah menurut Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan WFP (World Food Programme) tahun 2003 ditentukan oleh 4 indikator, yaitu : (1) Persentase luas area/lahan bervegetasi, terutama Hutan; (2) Anomali curah hujan (terhadap hujan rataan selama tahun); (3) Persentase Luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit ; (4) Persentase Luas areal yang mengalami resiko degradasi lahan akibat erosi, banjir atau longsor. Kelas Kerentanan Pangan (Food Vulnerability) untuk setiap indikator selanjutnya dikelompokkan menjadi 6 kelas/kategori, yaitu : (1) Sangat Tahan Pangan; (2) Tahan Pangan; (3) Cukup Tahan Pangan; (4) Agak Rawan Pangan; (5) Rawan Pangan; dan (6) Sangat Rawan Pangan; Penelitian di bidang Ketahanan Pangan menggunakan data Inderaja dan SIG telah dilakukan Nurwajedi (2011) tentang Indeks Keberlanjutan sawah di Pulau Jawa. Nilai Indeks diperoleh dengan cara mengoverlay peta sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan, agroklimat, potensi air tanah dan kondisi irigasi.

52 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak membujur pada posisi 107 o o 36 Bujur Timur dan 6 o 15-6 o 40 Lintang Selatan (Gambar 5). Batas-batas wilayah Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cirebon. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Subang. Alasan dipilihnya lokasi Indramayu, karena daerah tersebut sering mengalami banjir, kekeringan, dan serangan hama penyakit yang menyebabkan kegagalan panen (puso). Kabupaten Indramayu adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, yang perlu mendapatkan kegiatan pemantauan kondisi lahan pertanian secara kontinyu. Gambar 4. Lokasi Penelitian di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

53 Alat dan Bahan Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa data satelit inderaja seperti MODIS, TRMM, DEM SRTM 30 m. Data-data tersebut dapat diperoleh dari LAPAN. Data MODIS, DEM SRTM dan TRMM dapat diunduh bebas dari situs internet. Data digital lahan baku sawah diperoleh dari hasil kerjasama LAPAN dengan Pusdatin, Kementrian Pertanian, yaitu berupa klasifikasi lahan sawah tahun 2006 (menggunakan data Landsat dan SPOT) dan tahun 2009 (menggunakan data Ikonos). Data sekunder berupa data curah hujan bulanan dari Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan BMKG. Peta Jenis Tanah skala tinjau (1 : 250,000) Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) dan peta Land System diperoleh dari Bakosurtanal. Data statistik tanaman padi (luas panen, produktivitas, dan produksi), data bencana kekeringan, banjir, dan puso diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Data yang terkait dengan jumlah penduduk, sosial, ekonomi, dan infrastruktur hingga tingkat desa dapat diperoleh dari data dan informasi Podes (Potensi Desa) oleh BPS tahun Data MODIS yang digunakan adalah data Refektan (MOD 09) 8 harian yang telah terkoreksi atmosferik dan radiometrik (level 2) untuk membuat EVI, serta data MOD11 untuk membuat suhu permukaan (Ts) tahun 2000 ~ Data EVI dan Ts tahun 2000 ~ 2004 digunakan untuk membuat model estimasi Evapotranspirasi potensial (ETP). Data EVI multitemporal tahun 2004 ~ 2006 digunakan untuk verifikasi model estimasi kelengasan lahan sawah. Data tahun 2006 ~ 2009 digunakan untuk mengetahui karakteristik tanaman, terutama padi di lahan sawah dan analisis data untuk membuat dan menerapkan model spasial banjir, kekeringan, dan kerentanan pangan. Perangkat lunak pengolah citra dan spasial yang digunakan adalah ErMapper ver 7.0 dan ArcView 3.3, serta Visual C++ untuk pembuatan program khusus mengolah data MODIS. Alat GPS digunakan untuk mengukur posisi koordinat lokasi saat survey lapangan dan kamera digital untuk memotret kondisi lahan dan tanaman saat dilaksanakan survey lapangan Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, seperti yang disajikan dalam Gambar 5.

54 29 INVENTARISASI DATA PRIMER DAN & SEKUNDER PENGOLAHAN DATA PRIMER & SEKUNDER EKSTRAKSI INFORMASI Spasial & Vektor Basis Data Spasial : Lereng, Aspek, EVI, Suhu, Hujan,Lengas Basis Data Vektor : Erodibilitas, drainase, L.Sistem, Batas Adm ANALISIS SPASIAL Pembobotan, Skoring %Veg, Anom Hujan Erosi, Banjir, Kering ANALISIS SPASIAL Pembobotan, Skoring VALIDASI MODEL MODEL SPASIAL KERENTANAN IMPLEMENTASI MODEL PETA KERENTANAN -Rata-rata kerentanan per Kecamatan - Analisis hubungan dg Produksi padi Rekomendasi Prioritas Perbaikan di Kecamatan yang Rentan Gambar 5. Tahapan Penelitian Kerentanan Produksi Beras

55 Tahapan Pelaksanaan Penelitian Uraian tahapan kegiatan penelitian, tujuan, proses dan hasil kegiatan disajikan dalam Tabel 1 Tabel 1. Uraian tahapan kegiatan penelitian No Tahapan Kegiatan Tujuan Proses Hasil 1 Inventarisasi data dan informasi primer dan sekunder Mengetahui ketersediaan dan kelengkapan data -Permintaan dan Pemesanan data -Unduh dari situs Ketersediaan Basis data spasial, vektor 2 Pengolahan data primer dan Sekunder 3 Ekstraksi Informasi data spasial dan vektor 4 Analisis spasial, Pembobotan & Skoring untuk banjir dan kekeringan lahan sawah Memperoleh data standar yang sudah terkoreksi Memperoleh data spasial dan vektor karakteristik lahan dan fisik lingkungan -Memperoleh nilai bobot faktor pemicu banjir dan skor setiap kelas -Informasi spasial banjir, kekeringan, %vegetasi, anomali hujan (ACH) internet -Koreksi atmosfir, geometrik data spasial -Koreksi & proyeksi peta data vektor -Mengecek Konsistensi data sekunder Pengolahan citra Pengolahan data vektor -Tabulasi Silang faktor fisik pemicu banjir dgn genangan banjir menggunakan metode CMA -Penentuan nilai bobot & skor faktor kekeringan menggunakan metode coba galat dan tabular -Data spasial & vektor terkoreksi -Data tabular kekeringan, puso di lapang -EVI; suhu, hujan bulanan, ETP, lengas, SPI, Lereng, drainase, sungai /irigasi -Model Spasial rawan banjir lahan sawah -Sebaran spasial banjir dan kekeringan lahan sawah -Sebaran spasial %Veg,ACH, Pembobotan & skoring untuk kerentanan produksi 5 Validasi model Kerentanan -Memperoleh nilai bobot faktor Kerentanan dan skor setiap kelas -Memperoleh akurasi model spasial 6 Implementasi model -Memperoleh sebaran spasial kerentanan Kab. Indramayu 7 Analisis spasial, -Memperoleh nilai rataan kerentanan setiap kecamatan - Metode AHP dan coba galat -Metode deviasi rata-rata -Pemodelan spasial -Hitung rata-rata (sumarize zone) -Model Spasial Kerentanan -Akurasi model spasial kerentanan -sebaran spasial kerentanan berbasis desa -Tabulasi kerentanan dg produktivitas

56 Metode Penilaian Kerentanan Produksi Beras Kerentanan terhadap kerawanan pangan transien/sementara di suatu daerah menurut BKP dan WFP (2005) ditentukan oleh 4 faktor / indikator, yaitu : (1) Persentase Luas area/lahan bervegetasi, terutama Hutan; (2) Anomali Curah hujan (terhadap nilai hujan rataan selama tahun); (3) Persentase Luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit ; (4) Persentase Luas areal yang mengalami resiko Degradasi lahan akibat erosi, banjir atau longsor. Faktor-faktor lain yang bisa ditambahkan menurut Hanh (2003) pada skala lokal bisa mencakup faktor-faktor demografi (kepadatan dan tekanan penduduk), sosial (tingkat kemiskinan, desentralisasi), ekonomi (akses, diversifikasi), dan faktor lingkungan lainnya (deforestasi, degradasi, konversi lahan). BKP dan WFP (2009) menggunakan istilah kerentanan, baik untuk Kerawanan Pangan transien maupun Kerawanan Pangan tetap/kronis. Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak. Persentase yang dihitung adalah berdasarkan rasio luas setiap indikator terhadap luas kabupaten atau kecamatan. Kriteria pembagian kelas pada setiap faktor telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pakar dengan asumsi besarnya pengaruh (relatif) terhadap kerentanan bencana yang dapat ditimbulkan sehingga menyebabkan kegagalan panen. Kritera dari BKP dapat dilihat pada Tabel 2. Setiap faktor dibagi menjadi 6 peringkat/kelas kerentanan, yaitu peringkat/kelas 1 s/d kelas 3 merupakan kelas yang rentan terhadap kerawanan pangan. Sedangkan kelas 4 s/d kelas 6 merupakan kelas yang tahan pangan / tidak rawan.

57 32 Tabel 2. Kriteria dan Peringkat pada Kelas Faktor untuk Kerentanan terhadap Rawan Pangan Transien Faktor / Indikator Kriteria Kelas / Peringkat 1. % Area bervegetasi, terutama hutan 1. < 10% 2.10 <20 % <30 % <40 % <50 % 6. >= 50% 1. Sangat rawan pangan 2. Rawan 3. Agak rawan 4. Cukup tahan pangan 5. Tahan 6. Sangat tahan 2. Deviasi/ Anomali Curah Hujan 3. % Lahan terdegradasi akibat erosi, longsor 4. % Padi yang puso akibat kekeringan, banjir di lahan sawah Sumber : BKP dan WFP (2005) 1. > 50% <50 % <30 % <20 % 5. 1 <10 % 6. < 1 % 1. >= 30 % <30 % <25 % <20 % <10 % 6. < 5 % 1. >= 15% <15 % 3. 5 <10 % 4. 3 <5 % 5. 1 <3 % 6. < 1 % 1. Sangat rawan pangan 2. Rawan 3. Agak rawan 4. Cukup tahan pangan 5. Tahan 6. Sangat tahan 1. Sangat rawan pangan 2. Rawan 3. Agak rawan 4. Cukup tahan pangan 5. Tahan 6. Sangat tahan 1. Sangat rawan pangan 2. Rawan 3. Agak rawan 4. Cukup tahan pangan 5. Tahan 6. Sangat tahan Pengembangan metode dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan informasi spasial setiap faktor Kerentanan berbasis piksel (grid). Modifikasi dilakukan terhadap kriteria yang digunakan dan pemberian nilai skor setiap kelas dalam bentuk persamaan Regresi Faktor Persentase Vegetasi Dalam penelitian ini, faktor persentase area hutan diganti dengan faktor luas lahan bervegetasi rapat atau yang memiliki tingkat kehijauan cukup tinggi, terutama lahan sawah. Modifikasi dilakukan, karena tidak semua kabupaten memiliki hutan. BKP dan WFP (2009) menyatakan bahwa Persentase vegetasi terkait dengan mekanisme penangkapan air dalam siklus hidrologi serta faktor yang dapat mencegah/mengurangi terjadinya degradasi lahan akibat erosi, banjir, maupun longsor. Persentase hutan sebesar 10 % merupakan batas minimum yang ditetapkan pada suatu wilayah kabupaten, sehingga oleh para pakar dikategorikan pada kelas 1 (sangat rawan) jika persentase luas area hutan kurang dari 10 %.

58 33 Informasi spasial vegetasi dapat diperoleh dari hasil pengolahan citra data satelit MODIS ( Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer ) parameter Indeks Vegetasi (EVI = Enhanced Vegetation Index). adalah sebagai berikut : Dimana : melalui Kriterianya PV = (100 IVh ) / A (1) PV : Persentase vegetasi (%) IVh : jumlah luas piksel-piksel yang memiliki nilai EVI EVI t, dimana EVI t merupakan nilai batas (treshold) terendah dari EVI maksimum tanaman di lahan sawah dapat diperoleh berdasarkan statistik análisis spasial EVI multemporal selama musim tanam padi di lahan sawah (Uchida, 2010). A : luas area berbasis desa atau total jumlah piksel dalam suatu box Filter berukuran 3x3. Formula untuk mengihtung indeks vegetasi EVI adalah sebagai berikut (Heute et al., 1999) : Dimana : EVI = 2.5 (R2 R1)/(1 + R2 + 6R1 7.5R3 ) (2) R1,R2,dan R3 : Reflektansi kanal infra merah dekat, merah, dan biru data MODIS terkoreksi radiometrik dan geometrik (level 2). EVI merupakan salah satu parameter Indeks Vegetasi yang dikembangkan untuk mengatasi kekurangan yang dialami NDVI (Normalize Difference Vegetation Index), yaitu dengan menambahkan reflektansi kanal biru (R3) yang dapat mengeliminasi pengaruh awan tipis dan kandungan aerosol di atmosfer. EVI merupakan produk level 2 yang telah melalui proses koreksi radiometrik, atmosferik dan geometrik terhadap data level 1B (digital number) untuk menghasilkan reflektansi terkoreksi (Heute et al., 1999; Heute et al., 2002; Xiao et al., 2003) Dengan kriteria tersebut, maka suatu daerah yang tidak memiliki area hutan dapat diperoleh informasi spasial persentase vegetasinya, terutama lahan sawah. Persentase dihitung berdasarkan 9 piksel disekelilingnya dalam suatu kotak (window) bergerak ukuran 3x3 piksel. Ilustrasi perhitungan PV pada suatu area citra berukuran 5 x 5 (kolom/ baris piksel) disajikan dalam Gambar 6.

59 PV 3,3 = 4/9 = 56 % Gambar 6. Contoh Perhitungan nilai PV piksel yang memiliki nilai EVI > 0,4 pada posisi baris ke-3 dan kolom ke Faktor Anomali Curah hujan (ACH) Anomali Curah hujan (ACH), merupakan rasio antara deviasi (selisih) curah hujan pada periode bulanan, kuartal, atau tahunan (CHp) terhadap nilai hujan rataan selama tahun (CHr); ACH = 100 (CHp - CHr)/CHr = 100 (CHp/CHr 1) (3) BMKG (2011) mendefinisikan sifat hujan pada suatu bulan dinyatakan normal jika nilai CHp/CHr berkisar antara 0.85 ~ 1.15 (85% ~ 115%) atau jika ACH berkisar antara -15% ~ 15%. Jika lebih kecil atau lebih besar dari kriteria normal, maka disebut di bawah atau di atas normal. Faktor anomali iklim, terutama hujan mempengaruhi ketersediaan air tanah untuk pertumbuhan tanaman. Variabilitas iklim secara langsung mempengaruhi berbagai aspek dari ketahanan pangan, khususnya dalam hal ketersediaan pangan dan distribusi pangan. Peristiwa bencana alam seperti kekeringan dan banjir, berkaitan dengan besarnya variasi dan fluktuasi curah hujan (BKP dan WFP, 2005). Data curah hujan untuk suatu wilayah kabupaten dapat diperoleh dari stasiun klimatologi BMKG yang ada di kabupaten bersangkutan atau sekitarnya maupun dari pencatat curah hujan yang ada di kantor kecamatan. Sebaran spasial curah hujan dapat diperoleh dengan melakukan interpolasi spasial menggunakan metode spline. Informasi spasial curah hujan secara langsung dapat diperoleh dengan menggunakan data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission) yang memiliki resolusi spasial 27 Km. Untuk memperoleh sebaran spasial dengan resolusi yang lebih tinggi, maka data TRMM tersebut

60 35 dilakukan downscaling atau interpolasi menggunakan metode IDW atau spline yang terdapat pada modul SW Arcview maupun ErMapper Faktor Kekeringan dan Banjir Bencana kekeringan dan banjir yang parah/berat dapat menyebabkan areal pertanian/sawah yang mengalami gagal panen (puso). Informasinya secara tabular hingga tingkat kecamatan dapat diperoleh dari Dinas Pertanian Tingkat Kabupaten. Tabel 2 menunjukkan bahwa indikator bencana kekeringan maupun banjir yang dapat menyebabkan puso dengan kriteria persentase luas > 15 % sudah dikategorikan pada kelas 1 (sangat rawan), karena berkaitan langsung dengan kegagalan panen padi yang dapat menyebabkan pengurangan luas panen dan produksi padi. Deteksi kekeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Inderaja dan SIG yang menggabungkan 3 jenis kekeringan, yaitu : Kekeringan Meteorologis, Agronomis, dan Hidrologis. Diagram alir penentuan Kekeringan Lahan Sawah disajikan pada Gambar 8. Kekeringan Meteorologis (KM) yang dapat digunakan adalah berdasarkan indeks SPI (Standardized Precipitation Index) yang diadopsi dari hasil penelitian McKee et al. (1993) dan Indeks Kekeringan Meteorologis (IKM) yang diturunkan dari rasio curah hujan dengan evapotranspirasi potensial (ETP) dengan formula : IKM = CH/ETP. Menurut FAO (1978) diacu dalam Hardjowigeno (2001), kondisi kekeringan terjadi jika nilai CH/ETP < 0.5. Formula SPI adalah sebagai berikut : SPI = (X i - X m ) / Std (4) dimana : X i X m Std : jumlah curah hujan pada periode waktu/bulanan ke-i : rata-rata curah hujan pada periode waktu tertentu/bulanan ke-i selama beberapa tahun : standar deviasi curah hujan pada periode waktu tertentu/ bulanan ke-i selama beberapa tahun Hasil pengolahan data SPI menggunakan formula tersebut adalah berupa indeks yang mempunyai kisaran (-) sampai (+) yang menunjukkan tingkat kekeringan dan kebasahan meteorologis di suatu kawasan tertentu pada waktu tertentu. Klasifikasi tingkat kekeringan berdasarkan nilai SPI oleh McKee et al. (1993) dan BMKG (2011) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

61 36 Tabel 3. Kategori Kekeringan dan Kebasahan berdasarkan Nilai SPI No. Kelas Kekeringan/ Kebasahan SPI 1 Sangat Kering <= Kering -2.0 < SPI <= Agak Kering -1.5 < SPI <= Normal -1.0 < SPI <= Agak Basah 1.0 < SPI <= Basah 1.5 < SPI <= Sangat basah > 2.0 Metode Kekeringan Agronomis (KA) yang digunakan adalah berdasarkan Indeks Panas Vegetasi (IPV) yang merupakan rasio antara Indeks Vegetasi dengan suhu permukaan (Ts) dalam satuan derajat celcius. IPV dapat diperoleh dengan menggunakan data MODIS dengan formula sederhana pada persamaan 5 (Dirgahayu, 2006 ; Mieyer, 2009) : IPV = IV/Ts (5) Dimana : IV = EVI ; Data suhu permukaan (Ts) diperoleh dari data digital (DN) MODIS level 2 (MOD11) dengan konversi suhu menjadi derajat celcius pada persamaan 6. Ts = 0.02 DN (6) Metode Kekeringan Hidrologis (KH) yang digunakan adalah berdasarkan Kelengasan Lahan (Kadar Air Tanah) pada lahan sawah dengan menggunakan kombinasi reflektansi data MODIS (Dirgahayu dan Sofan, 2007). Sebaran spasial Kelengasan Lahan (KL) sawah dibuat dengan menggunakan persamaan 7 : KL = R IPV (7) Dimana : R2 : Reflektansi kanal 2 (NIR) MODIS dalam % IPV : Indeks Panas Vegetasi berdasarkan persamaan no 5. Lahan sawah berpotensi mengalami kekeringan jika kadar air tanahnya < 20 % (Wahyunto et al., 2003). Informasi spasial evapotranspirasi potensial (ETP) diduga dengan menggunakan data EVI dan suhu permukaan (Ts) melalui persamaan regresi. Data ETP diperoleh dari stasiun Klimatologi yang terdekat dengan lokasi penelitian yang memiliki alat pengukur evapotranspirasi, yaitu di Balai Penelitian

62 37 Tanaman Padi Sukamandi, Subang. Hasil ekstraksi data EVI dan Ts dan ETP periode 8 harian di stasiun tersebut dapat dilihat pada Tabel Lampiran 10. ETP diduga melalui pendekatan defisit tekanan uap (De). Hasil analisis regresi antara ETP dengan De dinyatakan dalam persamaan 8 : ETP = De (0.639) (8) n = 81 ; R 2 = 0.82 ; Se = 1.1; t hit De = 19.36** (sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99%) Dimana : De = es(1 RH) (9) es : tekanan uap jenuh, dapat dihitung dengan formula (Handoko, 1994) : es = exp((17.27 Tu)/(Tu )) (10) RH : kelembaban udara = ea/es ea : tekanan uap aktual Tu : Suhu udara ; Ts = Suhu Permukaan ; dt = Ts - Tu Tu = Ts - dt (11) Delta suhu (dt) diduga menggunakan EVI dan Ts dengan persamaan regresi. dt = Evi Ts (12) n = 72 ; R 2 = 0.91 ; Se = 0.64 t hit EVI = 2.36* (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) t hit Ts = 24.03** (sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99%) RH = 1/( dt dt 2 ) (13) n = 61 ; R 2 = 0.79 ; Se = t hit dt = 3.15* (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) Deteksi kekeringan lahan sawah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode coba-galat dari hasil penelitian RUKK LAPAN (Pusbangja, 2005), karena belum tersedianya peta sebaran kekeringan aktual (digital) pada saat terjadi kekeringan di Indramayu yang dapat digunakan untuk perhitungan bobot setiap faktor menggunakan metode CMA. Sebaran spasial kekeringan lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari Kekeringan KM, KV, dan KH berupa zona rawan kekeringan. Untuk menghasilkan zona rawan kekeringan, ketiga informasi spasial KM, KV, dan KL tersebut digabung melalui aplikasi

63 38 Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode overlay terbobot (Multi Kriteria.) Adapun langkah-langkah untuk membuat informasi spasial kekeringan lahan sawah adalah sebagai berikut : Pertama, dilakukan penentuan nilai skor dengan skala terhadap ketiga jenis kekeringan. Perhitungan nilai Skor adalah untuk standarisasi peubahpeubah yang berbeda satuan dan karakteristiknya menjadi setara, sehingga dapat digunakan bersama untuk membuat informasi tematik. Skor = Skor min + Val Min (Skor max Skor min ) (14) Dimana : Max Min Val : nilai awal peubah asal sebelum dibuat skor; Min, Max : nilai minimum dan maksimum yang ada pada peubah asal Skor min : minimum nilai skor (misal diberi nilai 5) Skor max : maksimum nilai skor (misalnya diberi nilai 100) Nilai skor dari KM, KV, dan KH berturut-turut dapat dilihat dalam Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6. Tabel 4. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Meteorologis (KM) IKM Nilai Tengah Kelas Skor_KM > Tabel 5. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Hidrologis (KH) Kadar Air Tanah (%) Kelas Skor_KH >

64 39 Tabel 6. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Vegetasi (KV) KV Kelas Skor_KV > Untuk membuat Indeks Rawan Kekeringan (IRK) dihitung dengan persamaan 15 : IRK = 0.25 KM skor KV skor KH skor (15) Pembobotan menggunakan metode coba galat dengan asumsi bahwa kekeringan agronomis atau vegetasi lebih besar pengaruhnya terhadap kondisi kekeringan, karena langsung dialami oleh tanaman padi. Urutan selanjutnya adalah bobot lengas tanah (kadar air tanah) karena terkait dengan ketersediaan air yang masih dapat diserap langsung oleh akar tanaman. Selanjutnya, berdasarkan nilai IRK klasifikasi tingkat rawan kekeringan dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu kelas non-kering, tingkat kering ringan, tingkat kering sedang, tingkat kering berat dan sangat berat (Tabel 7). Tabel 7. Klasifikasi tingkat kekeringan lahan sawah berdasarkan IRK IRK Kelas Klasifikasi 1 42 NK Non-Kering TKR Tingkat Kering Ringan TKS Tingkat Kering Sedang TKB Tingkat Kering Berat TKSB Sangat Berat Sumber : Pusbangja LAPAN (2005)

65 40 MODIS Hujan BMKG TRMM SPOT, LANDSAT Reflektan,EVI,Ts Masking Awan, Interpolasi Ts Kalibrasi, Interpolasi Klasifikasi Land Cover Kelengasan (KL) EVI, Ts, Reflektan Terkoreksi ETP Curah Hujan Lahan Baku Sawah Kekeringan Hidrologis Kekeringan Agronomis Algoritma: IPV= IV/Ts Kekeringan Meteorologis Algoritma: SPI, KM = CH/ETP Analisis Spasial Overlay Indeks Terbobot Analisis Tingkat Kekeringan Data Kekeringan (Dinas Pertanian) Survey Lapangan. VALIDASI MODEL MODEL SPASIAL KEKERINGAN LAHAN SAWAH Gambar 7. Diagram Alir Penentuan Kekeringan Lahan Sawah Sebaran spasial curah hujan baik dengan menggunakan masukan data yang bersumber dari stasiun klimatologi BMKG yang ada maupun dari data satelit seperti TRMM diperoleh setelah melakukan downscaling (interpolasi spasial) menggunakan metode spline (minimum curvature). Khusus untuk data satelit perlu dilakukan kalibrasi dengan data curah hujan yang valid di lapangan (stasiun klimatologi BMKG) agar informasinya mendekati dengan kondisi yang

66 41 sebenarnya di lapangan. Kalibrasi untuk data TRMM 8 harian menjadi curah hujan (CH) dengan formula sebagai berikut (Zubaidah dan Dirgahayu, 2011). CH = TRMM (16) Sebaran spasial banjir lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor biofisik penyebab banjir, antara lain faktor vegetasi, curah hujan bulanan, drainase tanah, elevasi, lereng, sistem lahan, dan jarak dari sungai dan saluran irigasi. Bobot setiap faktor dan skor pada kelas setiap faktor dihitung dengan menggunakan metode CMA. Penggunaan metode CMA untuk menghitung bobot bersifat empiris dan obyektif dibandingkan dengan metode trial-and-error (coba-galat). Pengaruh relatif suatu faktor / peubah tehadap kerentanan dihitung berdasarkan kisaran nilai kelas setiap peubah pada setiap kondisi kekeringan atau banjir aktual di lapangan yang menyebabkan kegagalan panen padi (puso). Metode CMA menggunakan tabulasi hasil analisis spasial antara informasi aktual genangan banjir dengan faktor-faktor biofisik lahan. Informasi spasial genangan banjir tahun 2006 diperoleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Indramayu. Metode ini lebih dinamis, karena menggunakan peubah seperti indeks vegetasi dan curah hujan yang kondisinya bisa berfluktuasi setiap bulan dibandingakan dengan metode potensi bahaya banjir yang dibuat oleh Kimpraswil (2001) maupun Abidin et al. (2006) yang hanya menggunakan peubah tetap penggunaan lahan dan curah hujan tahunan Faktor Degradasi Lahan Degradasi lahan dapat disebabkan oleh erosi, banjir, dan longsor. Dalam penelitian ini persentase luas areal yang mengalami degradasi lahan yang akan digunakan adalah akibat erosi saja. Besarnya laju erosi per tahun bisa diprediksi dengan persamaan RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation), dengan input Erosivitas Hujan (R), erodibilitas atau kepekaan tanah terhadap erosi (K), faktor besar dan panjang lereng (LS), dan faktor vegetasi dan pengolahan (CP). Persamaan umumnya adalah sebagai berikut (Arsyad, 2006) : Dimana: E = R K LS CP (17) E : Laju Erosi per tahun (Ton/Ha/Th) R : Erosivitas hujan tahunan = 2.21*CH 1.39 ;

67 42 CH : Curah hujan bulanan (cm) LS = (L/22.1) m (0, ,00965s + 0,00138s 2 ) L = panjang lereng (m), m : konstanta untuk besarnya lereng rendah; m = 0.5 jika s 5 %, m = 0.4 untuk s = 3-5 %, m = 0.3 untuk s = 1-3 %, dan m = 0.2, jika s < 1 % s = kemiringan lereng (%). Nilai Erodibilitas tanah (K) dan CP dapat diperoleh dari tabel yang ada. Persentase area yang mengalami degradasi akibat erosi dihitung berdasarkan piksel (grid) yang memiliki besarnya erosi dalam kategori kelas berat dan sangat berat menurut Keputusan Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 (Tabel 8). Tabel 8. Klasifikasi Laju Erosi No Laju Erosi (ton/ha/th) Kelas Erosi 1 < 15 Normal Erosi Ringan Moderat Berat 5 > 480 Sangat Berat Sumber : Departemen Kehutanan (1998) Perhitungan besarnya erosi hanya dilakukan sampai pada laju erosi saja, belum sampai ke Tingkat Bahaya Erosi (TBE). Untuk menghitung TBE diperlukan data kedalaman solum tanah dan besaran erosi yang masih bisa ditoleransi pada tanah yang akan di analisis. Jika hasil perhitungan laju erosi tahunan di suatu wilayah tidak ada yang mencapai kelas berat hingga sangat berat, maka faktor degradasi lahan tidak dimasukkan dalam menghitung skor kerentanan pangan Penentuan Bobot dan Skor setiap Faktor Kerentanan Nilai atau skor dari tingkat Kerentanan sebagai peubah Y merupakan fungsi dari faktor penutupan vegetasi (X 1 ), curah hujan (X 2 ), degradasi lahan (X 3 ), dan resiko kegagalan panen akibat banjir dan kekeringan (X 4 ), dinyatakan dalam persamaan 18. Y = f (X 1, X 2, X 3,X 4 ) (18) Dimana : Y = Skor Kerentanan X 1 = Skor persentase vegetasi ; X 2 = Skor anomali curah hujan X 3 = Skor degradasi lahan` ; X 4 = Skor banjir dan kekeringan

68 43 Fungsi Y dapat berupa formula tertentu atau jumlah total dari skor semua faktor (Multi Kriteria) yang telah diberi bobot (w) tetentu dengan Dengan demikian fungsi Y berdasarkan Analisis Multi Kriteria (AMK) dapat dinyatakan dengan formula 19. Y = w 1 X 1 + w 2 X 2 + w 3 X 3 + w 4 X 4 dengan Ów = 1 (19) Y merupakan nilai/skor gabungan/komposit yang diperoleh dari hasil kali bobot faktor dengan nilai skor pada setiap kelas faktor, dengan kisaran nilai Bobot setiap faktor dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain : 1. Coba-galat (trial and error), pemberian bobot terhadap suatu faktor dilakukan secara langsung dengan asumsi setiap faktor memiliki kepentingan relatif terhadap kerentanan. Bobot yang dipilih adalah bobot yang menghasilkan keakuratan penilaian tertinggi (Jaya, 2007) 2. AHP(Analytical Hierarchy Process) berdasarkan penilaian beberapa pakar (dari isian kuisoner) menggunaan skala penilaian Saaty (1993). 3. AKU (Analisis Komponen Utama) seperti yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan dan WFP (2005) dalam membuat Peta Kerawanan Pangan. 4. CMA (Composite Mapping Analysis) merupakan metode penentuan bobot beberapa faktor melalui proses Analisis Pemetaan Komposit (Jaya, 2007). Metode CMA dapat dilakukan jika informasi bencana yang terjadi di lapangan (misal kebakaran, kekeringan, dan banjir) tersedia dalam bentuk peta maupun titik-titik koordinat lapangan yang mewakili luasan tertentu (spot). Dalam penelitian ini penentuan bobot faktor yang menentukan kerentanan pangan (produksi beras) dilakukan dengan menggunakan metode AHP (Marimin, 2005). Hal ini dilakukan karena pihak BKP dan WFP belum melakukan pembuatan Peta Komposit Kerawanan Pangan Sementara / Transien. Selain itu belum tersedianya peta lahan sawah yang mengalami puso di lapangan, sehingga bobot setiap faktor yang dapat menyebabkan puso tidak dapat ditentukan dengan menggunakan metode CMA.

69 44 Tahap awal dalam metode AHP adalah menyusun struktur hirarki pengambilan keputusan penilaian tingkat Kerentanan berdasarkan faktor dan sub faktor yang mempengaruhi Tingkat Kerentanan Produksi beras (Gambar 8). Level 0 : Tujuan Tingkat Kerentanan Produksi Level 1 : Faktor % Vegetasi % Anomali Hujan % Degradasi % Banjir, Kekeringan Level 2 : Sub Faktor 1. > 60 % % % % % 6. < 20 % 1. < 1 % % % % % 6. > 50 % 1. < 1 % % % % % 6. > 30 % 1. < 1 % % % % % 6. > 15 % Level 3 : Alternatif (choices) 1.Tidak Rentan 2.Sangat Rendah 3. Rendah 4.Agak Tinggi 5. Tinggi 6.Sangat Tinggi Gambar 8. Hirarki Pengambilan Keputusan Penilaian Kerentanan Pangan Berdasarkan struktur hirarki pada Gambar 8, maka dapat disusun hubungan antara tingkat Kerentanan dengan faktor/kriteria yang mempengaruhi tingkat Kerentanan tersebut. Hubungan tersebut dihimpun dalam beberapa aturan (rules) yang dapat dibuat maksimum sebanyak 1296 rules, sehingga semua kemungkinan kombinasi dari 6 level sub kriteria pada 4 faktor tersebut dapat ditentukan kategori tingkat kerentanannya. Dengan bantuan sistem komputer yang dapat mengolah data spasial, maka sub faktor/kriteria dapat dibagi lebih detail lagi menjadi 100 skor dengan metode rating (scoring). Selanjutnya beberapa kemungkinan kombinasi yang dihasilkan harus ditentukan kategori/kelas tingkat Kerentanan Pangannya dalam 6 kelas. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang komprehensif untuk pengambilan keputusan dari banyak kemungkinan yang melibatkan data spasial, yaitu melalui Pemodelan Spasial. Pembobotan setiap faktor dalam metode AHP dihitung berdasarkan penilaian pakar (hasil isian kuesioner pada Lampiran 1) dalam suatu matrik

70 45 perbandingan berpasangan dari penilaian semua pakar. Kuesioner yang telah disebarkan adalah sebanyak empat buah kepada dua pakar di IPB dan dua pakar di BKP, Kementrian Pertanian. Sebagai contoh Tabulasi matrik berpasangan hasil penilaian pakar disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Matrik Berpasangan Hasil Penilaian Pakar Vegetasi Hujan Degradasi Kekeringan, Banjir Vegetasi 1 ½ 1/2 ¼ Hujan /3 Degradasi ½ Kekeringan, Banjir Perhitungan nilai bobot berdasarkan hasil nilai gabungan beberapa pakar (X n ) dengan menggunakan formula rata-rata geometrik pada persamaan 20. Xg = ( X 1 X 2 X 3...X n ) 1/n (20) Selanjutnya nilai-nilai Xg tersebut disusun dalam suatu tabel matrik untuk menghitung bobotnya menggunakan SW ExpertChoices Standarisasi Skor Peubah Kerentanan Untuk menentukan skor setiap sub kriteria atau kelas pada masingmasing faktor yang menunjukkan pengaruh relatif terhadap Kerentanan Pangan dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode rating dengan skala stándar Enam peringkat yang telah ditentukan oleh para pakar BKP dan WFP (2005) diasumsikan memiliki skor yang sama setelah dikelompokkan menjadi 10 peringkat. Pendetilan kriteria dari 6 peringkat menjadi 10 dilakukan pada batas atas, bawah dan diantara kriteria yang telah ditetapkan oleh BKP dengan tujuan perubahan skor antar kelas dapat terlihat secara gradual. Susunan peringkat dibalik, dimana pengaruh yang tinggi terhadap kerentanan (puso) diberi nilai skor yang lebih tinggi. Sebelumnya BKP dan WFP (2005) menempatkan peringkat pertama untuk kelas yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap kerentanan (puso), karena dikaitkan dengan prioritas kebijakan untuk dilakukan perbaikan. Sebagai contoh penentuan nilai skor pada faktor anomali curah hujan (ACH)

71 46 yang semula oleh BKP dan WFP (2005) ada 6 kelas dengan peringkat 1 6 diberi skor dengan skala disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Peringkat dan Nilai Skor awal pada kelas Faktor ACH Peringkat ACH (%) Nilai Tengah ACH Skor 1 > < Keterangan : ACH : nilai absolut ACH Pada kondisi yang sebenarnya di lapang nilai ACH bisa mencapai % (BKP, 2005), oleh karena itu nilai tengah ACH = 60 diberi skor 85 dengan asumsi ACH > 70 % memilki skor 100. Rata-rata ACH = 5 diberi skor = 100*(5/70) = 7, sedangkan rata-rata ACH = 25 diberi skor = 100*(25/70) = 36 (dibulatkan menjadi 35). Selanjutnya dengan metode coba galat penentuan nilai skor untuk setiap kelas pada setiap peubah/faktor Kerentanan didetailkan menjadi 10 kelas disajikan pada Tabel 11 hingga Tabel 14. Semakin tinggi nilai skor menunjukkan pengaruhnya yang lebih besar untuk menimbulkan kondisi sangat rentan terhadap kegagalan panen (puso). Tabel 11. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Vegetasi No Luas Vegetasi X1 (%) Skor

72 47 Tabel 12. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Curah Hujan No Anomali Curah Hujan X2 (%) Skor 1 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Tabel 13. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Degradasi Lahan No Luas Degradasi X3 (%) Skor Tabel 14. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Banjir / Kekeringan No Luas Banjir, Kekeringan Skor X4 (%) Hasil plot antara kelas peubah dengan skor kerentanannya diperlihatkan pada Gambar 9 ~ Gambar 12. Persamaan Regresi yang dihasilkan berbentuk kuadratik untuk kempat faktor Kerentanan.

73 48 Gambar 9. Penentuan Skor % Vegetasi Gambar 10. Penentuan Skor Anom Hujan Skor y = x x R 2 = % Luas Degradasi Gambar 11. Penentuan Skor Degradasi Gambar 12. Penentuan Skor Banjir & Kekeringan Penentuan skor setiap kelas pada setiap faktor dihitung berdasarkan formula sebagai berikut : (1) Faktor Vegetasi : PV Skor = 0.007X X (21) (2) Faktor Anomali Hujan : Anomali - : ACH Skor = X X (22) Anomali + : ACH Skor = X X (23) (3) Faktor Degradasi Lahan : Deg Skor = X X (24) (4) Faktor Kekeringan, : BK Skor = X X (25) Banjir Pemberian nilai skor pada setiap kelas peubah kerentanan harus dilakukan beberapa tahap jika menggunakan data berbasis vektor, yaitu dengan cara mengisi nilai skor pada tabel atribut masing-masing peubah menggunakan modul query. Jika menggunakan data berbasis grid atau raster harus dilakukan rekode terhadap input data asli dengan algoritma IF Then sebanyak 10 baris pada SW ErMapper atau pengisian tabel rekode pada SW Arcview. Perhitungan skor setiap layer peubah secara otomatis dapat dilakukan dengan model persamaan

74 49 tersebut diatas. Sebagai contoh untuk menghitung skor peubah PV (% vegetasi) pada SW ErMapper cukup menulis 1 baris algoritma saja, sebagai berikut : If i i1 > then 100 else i i Klasifikasi Tingkat Kerentanan Kriteria tingkat Kerentanan Pangan menjadi 6 kelas dapat ditentukan berdasarkan interval nilai minimum dan maksimum skor Kerentanan serta sebaran jumlah piksel setiap skor yang dihasilkan model (histogram). Besarnya interval/kisaran kelas dapat ditentukan dengan formula : Kisaran = (Max Min)/k (26) Dimana : Min, Max : Minium dan maksimum nilai skor kerentanan yang dihasilkan k : Jumlah kelas Misalkan kisaran minimum dan maksimum skor Kerentanan yang diperoleh antara 1 sampai dengan 100, maka interval antar kelas untuk membuat Tingkat Kerentanan sebanyak 6 kelas adalah sebesar 17. Kategori/kelas tingkat Kerentanan ditentukan dengan kriteria seperti disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Kriteria Penentuan Kategori Tingkat Kerentanan Pangan No Kisaran Rentan skor (Y) Kelas Rentan_Kelas 1 <= 17 1 Tidak Rentan Kerentanan Sangat Rendah Kerentanan Rendah Kerentanan agak Tinggi Kerentanan Tinggi 6 > 85 6 Kerentanan sangat Tinggi Dalam penelitian ini batas antar kelas ditentukan pula (disesuaikan) berdasarkan bentuk histogram sebaran data skor Kerentanan dan nilai statistik rata-rata dan standar deviasinya Pengujian Model Pengujian model dilakukan dengan membandingkan luas kegagalan panen (puso) hasil model dengan luas puso yang diamati di lapangan (laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu). Dalam penelitian ini tingkat akurasi

75 50 model dihitung dengan uji statistik Mean Absolut Percentage Error (MAPE) untuk mengukur keakuratan keluaran model (Hauke et al., 2001 ; Handoko, 2005). Uji statistik yang lain menurut Spurr (1952), antara lain : Simpangan rata-rata (SR), Simpangan Agregat (SA), Bias, RMSE (Root Mean Square Error), dan uji X 2 (Khi-kuadrat). Formula matematik setiap uji dinyatakan pada persamaan 27 ~ 32. MAPE = 1/n ( Ye/Ya 1 ) (27) SR = 1/n ( 1 - Ya/Ye ) (28) SA = Ye - Ya (29) Ye Bias = 1/n (Ye/Ya 1) (30) RMSE = (1/n (Ye/Ya 1) 2 ) 1/2 (31) = ( ) / (32) Dimana : Ye : Nilai dugaan hasil model ; Ya : nilai aktual / referensi Hipotesis yang diuji pada test X 2 adalah sebagai berikut : H o : Ye = Ya dan H1 : Ye Ya Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut: χ 2 χ 2, maka terima H hitung tabel( α, n 1) 0 χ 2 > χ 2, maka terima H hitung tabel( α, n 1) 1 Model dinyatakan sangat baik, jika memiliki nilai MAPE dan SR 10%, SA antara -1% ~ 1%, RMSE kecil, Bias mendekati nol, dan hasil uji X 2 menerima hipotesis H o (tidak signifikan). Akurasi model dapat ditentukan pula berdasarkan plot antara keluaran model dengan keadaan aktualnya dalam bentuk persamaan Regresi (Handoko, 2005). Model dinyatakan memilliki akurasi tinggi jika slope garis (konstanta Regresi) mendekati satu. Tingkat Akurasi (TA) model dihitung dengan formula 33. TA = 100 MAPE avg (33) TA : Tingkat Akurasi (%) MAPE avg : MAPE rata-rata, dalam %

76 51 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat Indonesia yang terletak pada jarak 207 Km kearah Timur dari Jakarta dan 180 Km kearah Timur Laut dari Bandung. Ibu kota kabupaten dan pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Indramayu namun titik teramai berada di Kecamatan Jatibarang. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kabupaten Indramayu ditetapkan sebagai salah satu pusat kegiatan nasional yang mengemban fungsi sebagai salah satu lumbung pangan, pusat pengolahan migas strategis dan simpul transportasi yang melayani aktifitas berbagai provinsi di jalur pantura yang berperan sangat dinamis di pulau Jawa maupun lingkup nasional. Simpul-simpul di wilayah kabupaten Indramayu diantaranya adalah Kecamatan Indramayu, Jatibarang, Haurgeulis dan Karangampel. Dengan potensi kelautan, dipadukan dengan pertanian, perkebunan, kehutanan dan peternakan, ditambah lagi dengan predikat sebagai kota Mangga, maka wilayah Indramayu memiliki keunggulan komparatif yang sangat berpotensi untuk menjadi mutiara di jalur pantura Iklim dan Curah Hujan Kabupaten Indramayu sebagian besar memiliki tipe iklim D (Iklim sedang) berdasarkan Klasifikasi iklim Schmid-Fergusson. Iklim tropis tipe D tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut (Bappeda Indramayu, 2009) : 1. Suhu udara harian berkisar antara 22.9 o C 30 o C, dengan suhu udara rata-rata tertinggi mencapai 32 o C dan terendah 22.9 o C. 2. Kelembaban udara 70 80%. 3. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1,587 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan sebanyak 91 hari. 4. Curah hujan tertinggi kurang lebih 2,008 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 84 hari, sedangkan curah hujan terendah kurang lebih 1,063 mm dengan jumlah hari hujan 68 hari. 5. Angin barat dan angin timur bertiup secara bergantian setiap 5-6 bulan sekali.

77 52 Analisis curah hujan rata-rata menggunakan data 6 tahun terakhir (tahun ) menunjukkan hasil yang agak berbeda (Gambar 13). Kabupaten Indramayu sebagian besar memiliki tipe iklim D (Iklim sedang), tipe E (agak kering), dan sebagian kecil tipe C (agak basah) berdasarkan Klasifikasi iklim Schmid-Fergusson. Tipe iklim D menyebar di bagian wilayah sebelah barat dan timur, sedangkan tipe E sebagian besar berada di bagian tengah Kabupaten Indramayu. Berdasarkan tipe iklim tersebut, wilayah endemik kekeringan akan terjadi di area yang memiliki tipe iklim E. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kekeringan setiap tahun di lahan sawah Kabupaten Indramayu pada kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu menyebabkan dampak yang lebih parah terhadap tanaman padi dibandingkan kejadian banjir. Laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu tahun 2009 menyebutkan Kekeringan terluas terjadi pada tahun 2008 yang menyebabkan gagal panen padi (puso) sekitar 28 ribu Ha. Gambar 13. Klasifikasi Pewilayahan Iklim Hujan Kab. Indramayu, berdasarkan metode Schmidt-Fergusson

78 Penutup/Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Indramayu seluas 209,846 Ha memiliki panjang garis pantai Km yang membentang sepanjang pantai utara antara Cirebon sampai dengan Subang. Informasi spasial penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu berdasarkan laporan Bidang Pemetaan dan SIG, Bapedda Kabupaten Indramayu diperoleh luas penggunaan lahan tahun 2009 pada Tabel 16. Penggunaan lahan sawah irigasi adalah yang paling besar luasnya dengan persentase 57 %. Selanjutnya penggunaan lahan perkebunan dan permukiman menempati urutan ke-dua dan ke-tiga, yaitu sebesar 15.3 % dan 8.6 %. Tabel 16. Informasi Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Indramayu No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas ( % ) 1 Danau % 2 Rawa % 3 Empang 12, % 4 Penggaraman % 5 Permukiman 17, % 6 Kilang Minyak % 7 Gudang Dolog % 8 Ladang / Tegalan 7, % 9 Semak % 10 Sawah Irigasi 121, % 11 Sawah tadah hujan 12, % 12 Perkebunan 32, % 13 Hutan bakau 2, % Total Luas 209, % Sumber : Bappeda Indramayu ( ) Sebaran spasial penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 14.

79 54 Gambar 14. Informasi Spasial Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu 4.3. Hidrologi Sumber air yang terdapat di Kabupaten Indramayu meliputi air permukaan dan air tanah. Air permukaan berupa Sungai dan air genangan yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS), sedangkan air tanah terdiri air tanah bebas dan air tanah tertekan yang dieksploitasi melalui sumur-sumur pompa. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai-sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan masyarakat, baik untuk kepentingan usaha pertanian, usaha industri maupun bahan baku air bersih. Daerah Aliran Sungai tersebut yaitu Cipunegara, Cipancuh, Sewo, Mang Setan, Bugel, Legok, Eretan, Cilet, Tuan, Cilalanang, Cipanas, Cipondoh, Cibelerang, Pangkalan, Semak, Maja, Rambatan, Cimanuk, Prawiro Kepolo, Prawiro Darung, Gebang Sawit, Glayem, Kamal, Sigedang, Bobos, Oyoran, Pamengkang, Cimanis, dan Kumpulkuista (Bappeda Indramayu di : )

80 55 Peta sebaran spasial buffer sungai (digabung dengan saluran irigasi) dengan jarak interval 500 m dari jalur sungai atau saluran irigasi disajikan pada Gambar 15. Untuk tujuan visualisasi kelas buffer digabung setiap Km. Gambar 15. Buffer sungai/kanal dengan interval jarak Km dari Sungai/ Saluran Irigasi di Kabupaten Indramayu Peta Buffer sungai dan saluran irigasi tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu faktor untuk membuat peta bahaya banjir maupun kekeringan. Semakin dekat jarak dengan sungai maupun saluran irigasi, maka lebih berpeluang besar mengalami banjir akibat dari luapan air sungai. Sebaliknya semakin jauh dari sungai atau saluran air irigasi, maka berpotensi besar mengalami kekeringan.

81 Topografi dan Kemiringan Lahan (Kelerengan) Elevasi / ketinggian wilayah pada umumnya berkisar antara meter di atas permukaan laut (dpl). Wilayah dataran rendahnya berkisar antara 0 6 meter dpl berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan, dan lain sebagainya. Wilayah dataran rendah menempati bagian terluas dari total wilayah yang terletak di sebelah Utara dan Timur. Sebagian besar permukaan tanahnya berupa dataran dengan kemiringan antara 0% 3% seluas 201,285 Ha atau 96,03% dari total luas wilayah. Peta sebaran spasial elevasi / ketinggian, aspek dan kemiringan lahan diturunkan dari data DEM SRTM 30 m. Informasi spasial elevasi dengan interval 12.5 m diperlihatkan pada Gambar 16. Gambar 16. Informasi Spasial Elevasi di Kabupaten Indramayu

82 57 Gambar 17. Informasi Spasial Kemiringan Lahan (Lereng) 4.5. Jenis Tanah dan Kondisi Drainase Lahan Berdasarkan Peta Jenis Tanah skala tinjau (1: 250,000) menunjukkan komposisi jenis tanah di kabupaten Indramayu terdiri dari tanah alluvial hidromorf, asosiasi podsolik, dan hidromorf kelabu, regosol kelabu, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu, grumosol kelabu, alluvial kelabu tua, asosiasi gleihumus rendah dan alluvial kelabu, asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan, komplek grumosol dan mediteran serta asosiasi alluvial kelabu dan coklat. Tingkat keasaman tanah bervariasi dari mulai asam, netral, sampai basa. Tanah alluvial pada umumnya baik digunakan untuk budidaya tanaman padi, sehingga penggunaan lahan sawah banyak ditemui di atas lahan yang memiliki jenis tanah alluvial. Informasi kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas),

83 58 tekstur tanah, dan beberapa sifat fisik dan kimia tanah dapat diperoleh dari peta jenis tanah. Informasi spasial jenis tanah (disajikan pada Gambar 18). Gambar 18. Informasi Spasial Jenis Tanah Kabupaten Indramayu memiliki empat kelas drainase. Secara umum, bagian utara kabupaten ini memiliki kelas drainase buruk dan agak buruk, sehingga berpotensi air tergenang dan banjir. Wilayah bagian selatan dan tengah memiliki drainase baik, Informasi spasial drainase tanah disajikan pada Gambar 19.

84 59 Gambar 19. Informasi Spasial Drainase Tanah 4.6. Bentuk Lahan (Geomorfologi) Berdasarkan Peta Sistem Lahan (Land System) dan laporan dari Bappeda Kabupaten Indramayu menunjukkan kondisi bentuk lahan wilayah Kabupaten Indramayu terbagi menjadi daerah perbukitan rendah bergelombang dan dataran rendah. Perbukitan rendah bergelombang menempati daerah sempit di bagian Barat Daya membentuk perbukitan yang memanjang dengan arah Barat Laut sampai Tenggara, sedangkan dataran rendah menempati bagian tengah sampai ke Utara. Kombinasi kondisi bentuk lahan dan karakteristik lahan lainnya ditunjukkan dalam satuan peta Sistem Lahan. Sebaran spasial Sistem Lahan kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 20.

85 60 Gambar 20. Informasi Spasial Bentuk Lahan (Sistem Lahan) Kependudukan Berdasarkan hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Indramayu tercatat sebanyak jiwa, dengan kepadatan penduduknya sebesar 849 jiwa/km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Karangampel sebesar jiwa/ Km2, sedangkan yang terendah yaitu Kecamatan Cantigi sebesar 242 jiwa/km2. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kabupaten Indramayu dari tahun mengalami flutkuasi. LPP terbesar terjadi pada tahun , yakni sebesar 0,87, sedangkan LPP terkecil terjadi antara tahun , yaitu 0,51. LPP sebesar 0,7%. LPP yang menurun menunjukkan keberhasilan terhadap program pengendalian jumlah penduduk yang selain itu

86 61 juga disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu banyaknya arus migrasi keluar daerah Kabupaten Indramayu seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jumlah Penduduk yang tergolong miskin di Indramayu masih realtif tinggi, namun telah mengalami penurunan sebesar 14,94% selama 4 tahun terakhir. Pada tahun 2005 angka kemiskinan sebesar 50,15% menjadi 35,21% pada tahun Penurunan persentase penduduk miskin ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Jumlah pengangguran pada tahun 2005 sebesar 8,21% dan pada tahun 2009 mencapai 10,25%. Hal ini berarti telah mengalami peningkatan sebesar 2,04%. Jumlah pengangguran merupakan proporsi jumlah penduduk yang mencari kerja secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja. Saat ini pemerintah terus melakukan pembangunan di bidang ketenagakerjaan, sehingga pada akhirnya dapat memberikan pilihan pekerjaan dan jenis usaha yang layak dan beretika bagi masyarakat.

87 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ekstraksi informasi spasial faktor lingkungan guna menentukan tingkat Kerentanan Produksi Beras di Kabupaten Indramayu pada catur wulan pertama (Januari ~ April) tahun 2006 dan pada catur wulan kedua (Mei ~ Agustus) tahun 2008 yang meliputi faktor PV, ACH, Degradasi lahan, dan potensi puso diuraikan pada pembahasan di bawah ini. Periode Januari ~ April wewakili kondisi banjir, sedangkan Periode Mei ~ Agustus mewakili kondisi kejadian kekeringan terluas di kabupaten Indramayu Persentase Vegetasi BKP dan WFP (2005) dalam laporan Peta Rawan Pangan di Indonesia tahun 2005 menentukan kriteria persentase vegetasi hutan yang tersisa akibat deforestasi hutan sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi Kerentanan Pangan atau Kerawanan pangan yang bersifat transien/sementara. Alasannya karena fungsi dari tajuk lahan bervegetasi terutama hutan dapat menangkap air, mencegah kerusakan lahan akibat Run Off/limpasan permukaan dan banjir serta mempengaruhi ketersediaan air permukaan dalam mekanisme evapotranspirasi. Kriteria penutupan vegetasi hutan yang lebih kecil dari 30% sudah termasuk kriteria rawan pangan adalah hal yang logis. Hasil penelitian Mulyana (2012) menyebutkan bahwa pengurangan vegetasi hutan sebanyak 1 Ha dapat menyebabkan kenaikan limpasan permukaan sebesar 8.1 mm/ha/tahun, penurunan 13 % kelengasan atau kadar air tanah, serta menurunkan sekitar 33 % evapotranspirasi. Dalam penelitian ini penutupan lahan bervegetasi didominasi oleh lahan pertanian, terutama lahan sawah. Oleh sebab itu kriteria persentase vegetasi yang diwakili oleh kondisi kehijaun tanaman dapat diturunkan oleh parameter Indeks Vegetasi (IV) dari data inderaja (penginderaan jauh). Kriteria nilai batas dari IV yang mempengaruhi kondisi kerentanan ditentukan berdasarkan nilai maksimum IV yang dapat dicapai oleh tanaman padi selama masa pertumbuhannya di lahan sawah (rata-rata 4 bulan). Indeks vegetasi maksimum tersebut berkorelasi dengan indeks luas daun (ILD) yang dapat dicapai sebagai hasil kegiatan fotosintesa tanaman selama masa fase pertumbuhan vegetatif. ILD maksimum tersebut berkorelasi juga terhadap hasil / produktivitas tanaman (Handoko, 2005). Tanaman padi pada umumnya mencapai fase pertumbuhan

88 64 vegetatif maksimum ketika mulai tumbuh malai, yaitu sekitar hst (hari setelah tanam). Citra komposit warna yang terdiri dari EVI rata-rata (layer red), EVI maksimum (layer green), dan EVI minimum (layer blue) selama tahun diperlihatkan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan obyek lahan sawah didominasi oleh warna hijau, karena perbedaan yang kontras antara EVI saat mencapai maksimum dengan EVI saat minimum (awal tanam). Obyek badan air (tambak dan empang) di sebelah utara tampak berwarna biru tua. Obyek penggunaan lahan lainnya tampak didominasi oleh warna abu-abu bercampur dengan sedikit warna lain, karena perbedaan antara nilai EVI minimum, maksimum, dan rata-rata selama beberapa tahun tidak terlalu besar. Gambar 21. Citra Komposit Wana EVI multitemporal (Layer red : mean EVI; green : max EVI; blue : Min EVI)

89 65 Berdasarkan hasil analisis spasial dan temporal data EVI Modis pada lahan sawah dari tahun 2007 sampai dengan 2009 menunjukkan tanaman padi minimal mencapai nilai EVI maksimum 0.45 (lihat Tabel 17). Selanjutnya nilai EVI 0.45 ini digunakan sebagai nilai ambang batas (treshold) untuk menghitung persentase vegetasi berbasis piksel di lahan pertanian dalam menentukan kondisi Kerentanan dari faktor vegetasi. Untuk menghitung persentase vegetasi tersebut dibutuhkan data EVI multitemporal selama masa pertumbuhan tanaman padi, yaitu rata-rata selama 4 bulan. Jadi dibutuhkan sekitar 16 buah data EVI MODIS yang akan dihitung nilai maksimumnya setiap piksel. Selain nilai EVI maksimum yang dapat dicapai seperti yang tercantum pada Tabel 17, karakteristik lain dari tanaman padi berdasarkan nilai EVI adalah adanya selisih yang kontras antara EVI maksimum dengan EVI saat tanam yang didominasi oleh obyek air yang memiliki nilai EVI rendah serta rata-rata nilai EVI dari mulai tanam padi hingga panen. Tabel 17. Hasil Analisis Statistik EVI Maksimum Tanaman Padi di Lahan Sawah Indramayu dan sekitarnya Tahun Parameter Min Max Mean Std IV Max IV Max-Tan IV MeanVG Keterangan : IV Max : EVI Maksimum, pada saat 60 hst (hari setelah tanam) IV Max-Tan : selisih EVI maksimum dengan EVI saat tanam IV MeanVG : rataan nilai EVI dari mulai tanam hingga panen Profil pertumbuhan tanaman padi berdasarkan nilai EVI (Gambar 22) dapat digunakan untuk mendeteksi pola tanam padi di suatu lokasi, yaitu berdasarkan bentuk kurva yang memiliki beberapa tahap pertumbuhan yang ditunjukkan oleh perubahan nilai EVI dari mulai awal tanam, fase vegetatif, puncak (EVI maksimum), fase generatif hingga berakhir saat panen (bera). Contoh EVI multitemporal 8 harian dalam Gambar 22 menunjukkan pola tanam padi 1 x /tahun dengan awal tanam pada awal Januari 2007, November 2007, dan Oktober 2008 (ditandai dengan huruf a,b, dan c pada Gambar 22). Pada lokasi tersebut nilai EVI maksimum paling tinggi tercapai pada saat data ke 97 ( 2 Februari 2009) yaitu dengan nilai EVI 0.66 dan awal tanam sekitar 2 Desember

90 , sedangkan EVI maksimum terendah tercapai pada saat data ke 52 ( 10 Februari 2008) yaitu dengan nilai EVI 0.46 dan awal tanam sekitar 3 Desember Gambar 22 tersebut menunjukkan pula bahwa tanaman di lahan sawah yang mencapai EVI maksimum < 0.45 bukan menunjukkan tanaman padi, karena jarak waktu antara tanam hingga mencapai puncak kurang dari 60 hari serta jarak waktu awal tanam hingga akhir panen kurang atau lebih dari 120 hari, selain juga bentuk kurvanya yang berbeda. Gambar 22. Profil Pertumbuhan Tanaman Padi berdasarkan EVI Multitemporal Sebaran spasial Persentase Vegetasi (PV) berbasis batas desa yang mewakili kondisi kekeringan pada periode Mei Agustus 2006 dapat dilihat pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23 tersebut menunjukkan bahwa area yang memiliki persentase vegetasi tinggi ( > 60 %) berada di sebelah selatan, yaitu di Kecamatan Gantar, Terisi, Cikedung dan Sukagemiwang, sedangkan di bagian utara sebagian besar area memiliki peresentase vegetasi rendah (< 20 %), meliputi Kecamatan Sukra, Patrol Kandanghaur, Losarang, Pasekan, dan Indramayu.

91 67 Gambar 23. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei-Agustus 2006 Berbasis Batas Desa.

92 68 Gambar 24. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei-Agustus 2008 Berbasis Batas Desa Jika dibandingkan dengan kondisi pada periode yang sama pada tahun 2008 (Gambar 24) terjadi perluasan area yang mengalami Persentase Vegetasi yang rendah (< 20 %), yaitu di bagian utara, meliputi Kecamatan Indramayu, Arahan, Balongan, Sindang, Cantigi, Pasekan, Losarang dan Krangkeng. Kecamatan Pasekan mengalami kondisi yang sama yaitu PV yang rendah yang disebabkan oleh obyek bukan vegetasi mendominasi lokasi tersebut, yaitu tambak. Kondisi yang sama di Kecamatan Pasekan ditunjukkan pula pada periode Januari April Sebagai perbandingan kondisi PV pada periode Januari April 2006 (Gambar 25) sebagian besar mencapai > 80 %. Sebagian area di Kecamatan Losarang dan Kandanghaur mengalami kondisi yang rendah, yaitu %.

93 69 Gambar 25. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Januari-April 2006 Berbasis Batas Desa 5.2. Anomali/Deviasi Curah Hujan BMKG dalam laporan bulanannya menyebutkan bahwa anomali atau deviasi hujan pada suatu periode bulanan terhadap nilai rataan hujan bulanan selama tahun (rataan klimatologi) menggambarkan kondisi kenormalan sifat hujan pada bulan yang bersangkutan. Suatu bulan berada dalam kondisi hujan normal jika rasio antara hujan bulanan yang bersangkutan dengan rataan hujan klimatologinya berkisar antara %. Jika dinyatakan dalam anomali atau deviasi hujan, maka suatu bulan dinyatakan dalam kondisi normal jika curah hujannya memiliki kisaran -15 % sampai dengan 15 %.

94 70 Hasil análisis spasial menunjukkan bahwa Anomali Curah Hujan (ACH) bernilai negatif yang tinggi (< -70%) pada periode Mei Agustus 2008 terjadi di bagian utara (Patrol dan Losarang), hingga bagian selatan seperti pada Kecamatan Lelea, Sukagumiwang, Tukdana, dan Cikedung (lihat Gambar 26). Area yang memiliki ACH < -70% tersebut diperkirakan akan mengalami kekeringan, terutama di Kecamatan Losarang dan Kandanghaur, karena nilai PV nya juga rendah. Kondisi yang berlawanan ditunjukkan pada periode Januari- April 2006 (Gambar 27), dimana sebagian besar kondisi hujannya dalam keadaan normal (-15% 15%), sedikit di atas normal (bagian tengah), hingga di atas normal yang berpotensi menyebabkan banjir di bagian tenggara (kecamatan Krangkeng). Gambar 26. Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Mei- Agustus 2008

95 71 Gambar 27. Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Januari- April Rentan Kegagalan Panen (Puso) Akibat Banjir Kegagalan panen (puso) tanaman padi secara langsung dialami akibat kejadian banjir, kekeringan, dan hama penyakit tanaman oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Kondisi Persen Vegetasi dan anomali hujan (ACH) tidak langsung menyebabkan kegagalan panen, tetapi berpengaruh terhadap tingkat kekeringan yang ditunjukkan oleh nilai PV rendah dan ACH yang besar (negatif di bawah normal), sedangkan banjir dipengaruhi oleh nilai ACH yang besar positif (di atas normal). Karakteristik bencana di kabupaten Indramayu selama sepuluh tahun terakhir sebagian besar didominasi oleh kekeringan dan banjir. Kekeringan pada umumnya terjadi pada musim kemarau, yaitu pada saat tanam kedua pada periode panen catur wulan kedua (Mei - Agustus). Sedangkan

96 72 bencana banjir terjadi pada musim penghujan, saat musim tanam Oktober- Maret, yaitu pada periode panen Januari-April. Kejadian puso akibat kekeringan dan banjir di Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Luas Sawah yang mengalami Gagal Panen (Puso) Padi akibat Kekeringan dan Banjir di Indramayu Tahun Banjir (Ha) Kekeringan (Ha) ,071 8, , ,497 3, , ,140 16, ,867 14, ,230 28, ,039 2,459 Jumlah 43, ,787 Rataan/Th 6,160 12,723 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Dalam penelitian ini kerentanan banjir di lahan sawah dihitung dengan menggunakan faktor-faktor pemicu banjir yang bersifat tetap/statis, seperti faktor fisik elevasi, lereng, drainase, buffer sungai, bentuk/sistem lahan, rataan hujan bulanan atau tahunan dan faktor dinamis. Faktor dinamis yang digunakan adalah indeks vegetasi rataan bulanan dan curah hujan bulanan yang bersangkutan. Pembobotan setiap faktor dihitung menggunakan metode CMA, karena ada peta genangan banjir yang dibuat oleh dinas pengairan Indramayu (lihat Gambar 28). Skor setiap sub faktor dihitung dengan metode rating/skala berdasarkan nilai mínimum dan maksimum nilai rasio antara observasi dan ekspetasi pada metode CMA. Perhitungan bobot relatif masing-masing faktor dan nilai skor sub faktor terhadap luasan kejadian banjir bulan Januari tahun 2006 secara detail dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2 sampai dengan 8. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot relatif dan gabungan setiap faktor penyebab banjir dengan peta genangan banjir (berdasarkan laporan Dinas Pengairan Kabupaten Indramayu) disajikan pada Tabel 19.

97 73 Gambar 28. Informasi Spasial Genangan Banjir Bulan Januari tahun 2006 di Indramayu Tabel 19. Hasil perhitungan bobot setiap faktor penyebab banjir sawah No Parameter Bobot Relatif Bobot Gabungan 1 Elevasi (El) Indeks Vegetasi (IV) Drainase (Dr) Hujan Bulanan (Hb) Sistem Lahan (SL) Bufer Sungai (BS) SPI Hujan Bulanan (SPI) Lereng (Lr) Jumlah

98 74 Model spasial Rawan Banjir (RB) berdasarkan bobot faktor pada Tabel 19 dan nilai skor pada setiap kelas sub faktor disajikan pada persamaan 34 : RB = El_Skor IV_Skor Dr_Skor Hb_Skor SL_Skor BS_Skor SPI_Skor Lr_Skor (34) Dua faktor dinamik yang kondisinya dapat berubah menurut deret waktu adalah faktor IV (EVI MODIS) dan curah hujan (bulanan dan SPI), sedangkan faktor yang lain relatif bersifat relatif / permanen. Peta bahaya banjir (Flood Hazard) dapat dibuat dengan menggunakan faktor-faktor statis ditambah dengan rata-rata kondisi faktor dinamis selama beberapa tahun. Misalnya dengan mengunakan nilai rata-rata curah hujan bulanan atau tahunan selama 5-10 tahun terakhir serta rata-rata EVI bulanan selama beberapa tahun atau dengan menggunakan faktor penggunaan lahan. Peta bahaya banjir tersebut selanjutnya digunakan sebagai masking deteksi, pemantauan, dan prediksi banjir yang bersifat dinamis dengan perubahan kondisi curah hujan dan tingkat kehijauan lahan (Indeks vegetasi) untuk periode waktu yang lebih singkat. Untuk tujuan pemantauan pertumbuhan tanaman pangan selama periode waktu yang lebih singkat misalnya 8 harian/ dasarian, dua mingguan dan bulanan, khususnya tanaman padi di lahan sawah yang mencakup daerah yang lebih luas (misalnya seluruh pulau Jawa), maka dapat digunakan empat faktor saja, yaitu elevasi, indeks vegetasi (EVI), curah hujan, dan drainase tanah. Jika belum memiliki peta digital drainase tanah, maka cukup digunakan tiga faktor saja, yaitu EVI MODIS, curah hujan, dan elevasi. Elevasi / ketinggian dapat diperoleh dengan menggunakan data SRTM 30 m maupun 90 m yang telah tersedia untuk sebagian besar wilayah di Indonesia. Sedangkan informasi spasial curah hujan dapat diperoleh dengan menggunakan data TRMM yang memiliki resolusi temporal tiga jam-an. Dengan demikian model spasial Rawan Banjir (RB) untuk tujuan pemantauan kerentanan pangan (kegagalan panen) akibat banjir dapat digunakan model spasial yang menggunakan 4 faktor, jika memiliki peta digital drainase tanah atau yang menggunakan 3 faktor disajikan pada persamaan 34 dan 36: (a) RB = EVI skor CH skor El skor Dr skor (35) (b) RB = EVI skor CH skor El skor (36)

99 75 Kategori tingkat Rawan Banjir selanjutnya dikelompokkan menjadi 5 kelas sesuai dengan kebutuhan informasi pengguna (Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan, Kementrian Pertanian), yaitu : Tidak banjir, Banjir ringan, sedang, berat, dan banjir sangat berat. Klasifikasi Rawan Banjir sawah menjadi 5 kelas dilakukan berdasarkan pembagian interval kelas menggunakan nilai rata-rata (mean) dan ¼*standar deviasi dari sebaran spasial hasil Overlay. Pengelompokan dengan metode ini dipilih karena sebaran spasial yang terbentuk mendekati pola genangan banjir. Selain itu dapat dijadikan sebagai metode standar jika menggunakan data pada lokasi dan waktu kejadian yang berbeda. Pengelompokan kategori kelas banjir sawah disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Klasifikasi Tingkat Rawan Banjir Sawah No Kriteria Kisaran RB_Skor Kelas Banjir 1 (Mean Std) 1 64 Tidak Banjir 2 (Mean Std) - (Mean + Std) Banjir ringan 3 (Mean + Std) - (Mean Std) Banjir sedang 4 (Mean Std) - (Mean Std) Banjir berat 5 > (Mean Std) > 91 Banjir sangat berat Implementasi model banjir berdasarkan persamaan no 28 untuk pemetaan kejadian banjir lahan sawah pada bulan Januari 2006 di Indramayu disajikan pada Gambar 29. Lokasi yang mengalami banjir sawah pada kategori kelas Berat dan Sangat Berat yang berpotensi puso meliputi Kecamatan : Kandanghaur, Losarang, dan Krangkeng.

100 76 Gambar 29. Rawan Banjir Lahan Sawah Bulan Januari Tahun Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Kekeringan Laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Berdasarkan Tabel 18 menyebutkan kasus kegagalan panen (puso) di Kabupaten Indramayu sebagian besar diakibatkan oleh kekeringan. Kejadian kekeringan besar sejak tahun 2003 berulang kembali setelah 5 tahun pada tahun 2008 dengan tingkat lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tetapi dengan kecenderungan meningkat setelah tahun Sedangkan kejadian banjir tidak ditemukan periode ulangannya sebelum atau sesudah kejadian banjir besar tahun Sebelum mengalami gagal panen akibat kekeringan, tanaman padi mengalami gejala kekeringan pada tingkat ringan, sedang, berat, hingga sangat

101 77 berat (seluruh bagian tanaman padi kering) yang selanjutnya dapat menyebabkan puso (mati). Hubungan antara terkena kekeringan hingga menjadi puso setiap tahun berbentuk pola eksponensial, seperti yang terlihat pada Gambar 30. Gambar 30. Hubungan antara terkena kekeringan dengan kejadian puso padi Rawan kekeringan lebih banyak terjadi di Kabupaten Indramayu, terutama pada periode bulan Mei-Agustus. Tanaman padi yang mengalami kekeringan kategori kelas berat dan sangat berat diprediksi akan mengalami kegagalan panen (puso), seperti yang dialami di Kecamatan Kandanghaur dan Losarang pada Mei-Agustus 2008 (Gambar 31). Berdasarkan hasil análisis spasial menunjukkan potensi gagal panen/puso (> 25%) dengan skor > 70 lebih banyak terjadi di bagian tengah, yaitu Kecamatan Kandanghaur, Losarang, Lohbener, Arahan, sebagian Gabuswetan dan Sliyeg (Gambar 32).

102 78 Gambar 31. Informasi Spasial Kekeringan Lahan Sawah berbasis piksel di Kab. Indramayu pada Mei - Agustus Tahun 2008

103 79 Gambar 32. Skor Kekeringan berbasis batas desa di Kab.Indramayu pada Mei - Agustus Tahun Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Degradasi Lahan (Erosi) Erosi yang terjadi di Indramayu pada periode Januari-April 2006 termasuk kategori ringan, walaupun curah hujan pada Januari-Februari tahun 2006 cukup besar ( > 200 mm). Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor LS yang kecil akibat dari sebagian besar area memiliki faktor kelerengannya yang kecil serta faktor persentase vegetasi yang tinggi pada periode Januari-April. Sebaran spasial kategori kelas laju erosi disajikan pada Gambar 33. Lokasi yang mengalami laju erosi kategori kelas ringan dan sedikit sedang terjadi di sebelah barat daya yang meliputi Kecamatan Gantar, Haurgeulis, Trisi, dan Kroya.

104 80 Gambar 33. Informasi Spasial Laju Erosi pada Januari-April Implementasi Pemodelan Spasial untuk Menentukan Tingkat Kerentanan Produksi Beras (KPB) Informasi sebaran spasial KP dapat diperoleh dengan cara mengoverlay 4 layer input, yaitu Persentase Vegetasi, Anomali Hujan, Degradasi, dan Puso yang telah diberi skor berdasarkan metode skala/rating, seperti yang telah disebutkan pada bagian metode. Pemodelan spasial dapat dilakukan dengan modul Grid Analysis yang telah disediakan oleh SW ArcView. Penilaian Gabungan Pakar (oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian dan IPB) dan hasil síntesis dengan metode AHP menghasilkan nilai eigen/bobot setiap faktor untuk Persentase Vegetasi, Anomali Curah Hujan, Degradasi dan

105 81 potensi Puso (kekeringan dan banjir), yaitu : 0.102, 0.276, 0.179, dan dengan nilai konsistensi rasio (CR ) = 0.01 pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Penilaian Gabungan Pakar untuk Menentukan Bobot Faktor Kerentanan Pangan Beras menggunakan Metode AHP Kering/ Penilaian Faktor pakar cenderung Vegetasi sama ACHuntuk Degradasi menilai pengaruh / Bobot Banjir kontribusi faktor %Vegetasi (PV) Anomali Hujan (ACH) Degradasi (Deg) Kering/ Banjir (BK) Penilaian pakar cenderung sama untuk menilai pengaruh / kontribusi faktor degradasi dan ACH lebih besar dibandingkan persentase vegetasi, serta potensi puso (akibat banjir dan kekeringan) lebih besar daripada ACH (ditunjukan oleh bilangan bulat 2 dan 3 pada nilai gabungan). Semua pakar menilai bahwa kekeringan/banjir itu lebih besar pengaruhnya menentukan Kerentanan Produksi, karena langsung berhubungan dengan kegagalan panen dan penurunan produksi padi. Model spasial Kerentanan Produksi Beras (KPB) yang dihasilkan disajikan pada persamaan 37 : KPB = PV Deg ACH BK (37) Jika suatu wilayah tidak memiliki suatu faktor yang pengaruhnya tidak begitu besar terhadap Kerentanan, misalnya pengaruh degradasi lahan akibat erosi dan longsor pada wilayah yang dominan datar tidak begitu besar, maka model dapat disederhanakan dengan menggunakan 3 faktor saja, dinyatakan pada persamaan 38 : KPB = PV ACH BK (38) Implementasi Model Spasial tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat informasi spasial Zona Kerentanan Produksi Beras. Histogram skor Kerentanan disajikan pada Gambar 35. Nilai minimum dan maksimum skor Kerentanan hasil analisis spasial sebesar 16 dan 82. Dengan demikian besarnya interval kelas =

106 82 (82 16)/6 = 11. Klasifikasi kategori kelas tingkat Kerentanan Produksi Beras (KPB) menjadi 6 kelas dilakukan dengan kriteria pada Tabel 21. : Gambar 34. Histogram Skor Kerentanan pada periode Mei-Agustus 2008 Tabel 21. Klasifikasi Tingkat KPB No Kisaran KPB_Skor Kelas Kerentanan Tidak Rentan Kerentanan Sangat Rendah Kerentanan Rendah Kerentanan Agak Tinggi Kerentanan Tinggi 6 > 70 Kerentanan Sangat Tinggi Sebaran spasial KPB pada Januari-April 2006 dan Mei-Agustus 2008 disajikan pada Gambar 35 dan Gambar 36.

DETEKSI KONDISI KETAHANAN PANGAN BERAS MENGGUNAKAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN PANGAN

DETEKSI KONDISI KETAHANAN PANGAN BERAS MENGGUNAKAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN PANGAN Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 (Desember 2012): 85-93 DETEKSI KONDISI KETAHANAN PANGAN BERAS MENGGUNAKAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN PANGAN Correlation Detection of Food

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321 PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Junita Monika Pasaribu Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana-LAPAN E-mail: baidah_any@yahoo.com

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di Indonesia salah satu tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat selain padi dan jagung

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

ISSN Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Junita Monika Pasaribu. Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana-LAPAN

ISSN Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Junita Monika Pasaribu. Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana-LAPAN ISSN 2338-3321 PEMANTAUAN KEJADIAN BANJIR LAHAN SAWAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MODERATE RESOLUTION IMAGING SPECTRORADIOMETER (MODIS) DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN BALI Any Zubaidah, Dede Dirgahayu,

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimal manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup. Kebutuhan pokok manusia terdiri atas, kebutuhan pangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi Daftar Gambar Bab 1. Pendahuluan... 5

Daftar Isi. Daftar Isi Daftar Gambar Bab 1. Pendahuluan... 5 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Daftar Gambar... 4 Bab 1. Pendahuluan... 5 Bab 2. Metode Prediksi Iklim, Pola Tanam dan... 6 2.1 Pemodelan Prediksi Iklim... 6 2.2 Pengembangan Peta Prediksi Curah Hujan... 8

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO

PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONALTINGKAT DESA SENTRA PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONALTINGKAT DESA SENTRA PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONALTINGKAT DESA SENTRA PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Program

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet ESTIMASI PRODUKTIVITAS PADI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU)

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TESIS DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TRI HANDAYANI No. Mhs. : 125301914 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA 1 PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: Yan Alfred Sigalingging 061201030 Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN Oleh : Sumaryanto Muhammad H. Sawit Bambang Irawan Adi Setiyanto Jefferson Situmorang Muhammad Suryadi

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi Daftar Gambar Bab 1. Pendahuluan... 5

Daftar Isi. Daftar Isi Daftar Gambar Bab 1. Pendahuluan... 5 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Daftar Gambar... 4 Bab 1. Pendahuluan... 5 Bab 2. Metode Prediksi Iklim, Pola Tanam dan... 6 2.1 Pemodelan Prediksi Iklim... 6 2.2 Pengembangan Peta Prediksi Curah Hujan... 8

Lebih terperinci

PEMODELAN SPASIAL RESIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT LANGGENG KAYOMAN

PEMODELAN SPASIAL RESIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT LANGGENG KAYOMAN PEMODELAN SPASIAL RESIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT LANGGENG KAYOMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis LAPORAN AKHIR TA. 2013 STUDI KEBIJA AKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAUU JAWAA (TAHUN KE-2) Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Ketahanan pangan Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN

VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat) I R A W A N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik Sistem dinamik didefinisikan sebagai sebuah bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut waktu (Forester, 1999 dalam Purnomo 2005). Sistem dinamik merupakan

Lebih terperinci

Oleh : INA NOPELINA A

Oleh : INA NOPELINA A STUDI PEMETAAN TANAMAN OBAT TEMULAWAK (CURCUMA XANTHORHIZA ROXB.) DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS : Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Oleh : INA NOPELINA A24101078 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 3 C. Tujuan... 4 D. Manfaat...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan Penelitian tentang analisis tingkat bahaya dan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir banyak dilakukan sebelumnya, tetapi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

SISTEM PAKAR PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PEMILIHAN WILAYAH BUDIDAYA KOMODITAS PERTANIAN (STUDI KASUS: KECAMATAN KLARI, KARAWANG, JAWA BARAT)

SISTEM PAKAR PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PEMILIHAN WILAYAH BUDIDAYA KOMODITAS PERTANIAN (STUDI KASUS: KECAMATAN KLARI, KARAWANG, JAWA BARAT) SISTEM PAKAR PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PEMILIHAN WILAYAH BUDIDAYA KOMODITAS PERTANIAN (STUDI KASUS: KECAMATAN KLARI, KARAWANG, JAWA BARAT) Oleh BUDI HARDIYANTO F14101112 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PENELITIAN KELOMPOK LAPORAN PENELITIAN PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS Oleh : Budi Gunawan, ST, MT. Drs. RM Hendy Hendro H,M.Si

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci