BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
|
|
- Suparman Widjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Pendahuluan Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial (Bab 2) hingga pembahasan mengenai berbagai gejala dan proses perubahan sosial terkait perdesaan di Bali pada umumnya, dan terutama perdesaan di Tabola atau Sidemen pada khususnya (Bab 3 sampai Bab 7). Perubahan sosial di perdesaan Bali pada umumnya, dibahas berdasarkan kerangka perspektif sejarah sosiologis (Bab 3 dan 4), sedangkan perubahan sosial di Tabola atau Sidemen pada khususnya dibahas dengan menguraikan hasil penelitian lapangan (Bab 4 7). Pada Bab 2, yang membahas berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial, telah dikupas, antara lain, berbagai sudut pandang pengertian tentang perubahan sosial. Salah satunya, misalnya, batasan pengertian tentang perubahan sosial. Terkait pengertian tentang perubahan sosial ini, dikemukakan pula konsep tentang struktur sosial dan juga wujud-wujud kongkrit dari perubahan sosial itu sendiri. Dari hasil penelitian lapangan, sebagaimana dikupas dalam Bab 5-7, berbagai gejala perubahan sosial yang terjadi itu memang menampakkan diri sejalan dengan batasan perubahan yang telah dikemukakan dalam Bab 2 tersebut. Namun yang lebih penting dan akan dibahas dalam bagian tulisan ini adalah bahwa dibalik munculnya gejala perubahan sosial di Desa Tabola, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian lapangan dan telah dibahas pada Bab 4-7, ternyata sifat atau karakternya tidak selalu sejalan dengan masing-masing perspektif teori yang telah dikemukakan sebelumnya itu. Dalam hal ini, salah satu hal menyolok yang mungkin perlu diperhatikan adalah munculnya gejala perubahan yang bersifat dualitas. Tetapi apa yang dimaksud dengan sifat dualitas itu, dan bagaimana wujud dari gejala perubahan dualitas itu? Uraian selanjutnya pada bagian ini akan mengupas tentang hal itu.
2 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Namun sebelum mengupas pengertian tentang konsep dualitas, perlu disinggung sedikit pengertian tentang konsep dualisme sebagai sisi yang lain dari konsep dualitas. Dualisme adalah suatu cara pandang terhadap realitas dunia (world view) yang diyakini memiliki katagori ganda yang saling berlawanan/bertentangan satu sama lain (oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis. Hirarkhis di sini dimaksudkan bahwa keberadaan unsur-unsur yang saling berlawanan atau bertentangan itu (oposisi biner) di dalamnya terkandung pilihan bertingkat (hirarkhis) yang mengandung nilai-nilai tertentu (misalnya, nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk). Al-Fayyadl (2005: 16), dengan mengutip Derida, mengemukakan bahwa pandangan dualisme ini berakar dari tradisi filsafat Barat yang diistilahkan sebagai logosentrisme atau metafisika kehadiran. Logosentrisme adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental yang terjadi di dunia fenomenal. Kebenaran transendental itulah yang dimaksudkan dengan kehadiran dalam istilah metafisika kehadiran. Dari adanya anggapan adanya kebenaran transendental ini, maka timbullah struktur hirarkhis dalam setiap katagori ganda. Konsep dualitas pada dasarnya menolak realitas yang berdasarkan katagori ganda yang saling bertentangan (oposisi biner) dan berstruktur hirarkhis itu. Jadi keberadaan katagori ganda (dualitas), dalam dirinya tidak mesti bertentangan (dikotomi) dan berstruktur hirarkhis. Salah satu pemikir terkenal yang menolak realitas dikotomi atau oposisi biner ini adalah Derida. Penolakan ini, menurut Derida sebagaimana dikutib oleh Al-Fayyadl (2005: 24-27), berdasarkan pandangan bahwa di zaman postmodern ini tidak bisa lagi berbicara atas nama filsafat sebagai sebuah sistem berfikir yang tunggal dan satu-satunya yang paling benar. Pertanyaannya, lalu apa yang terjadi bila semua dikotomi atau oposisi biner ditolak? Yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subyek-subyek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil kepermukaan. Dengan begitu maka perbedaan yang sudah merupakan suatu kodrat lantas tidak selalu mengisyaratkan hirarkhi (misalnya, warna hitam lebih unggul dari warna putih) atau oposisi (hitam 330
3 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS meniadakan putih); dan dalam konteks perbedaan ini selalu terbuka katagori ketiga yang memungkinkan kedua katagori (misalnya hitam dan putih) tersebut tetap ada seperti sediakala. 1 Berikut gambaran terkait konsep dualisme dan dualitas. Gambar 23: Konsep Oposisi Biner Dualisme Baik Baru Putih Modern Struktur DUALISME Buruk Lama Hitam Tradisi Agen LOGOSENTRISME Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam konsep dualisme terdapat apa yang disebut realitas ganda yang membentuk posisi berlawanan (oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis di antara keduanya. Sifat hirarkhis itu didasarkan pada logosentrisme yang mengandaikan hadirnya kebenaran transendental atau kebenaran tunggal. 1 Lihat: Anonim. Logosentrisme. blog.sunan-ampel.ac.id/gussableng/files/2010/10/logosentrisme 331
4 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 24: Konsep Dualitas dari Rwabhineda DUALITAS/RWABHINEDA Baik Buruk Baru Lama Putih Hitam Modern Tradisi Struktur Agen DIFFERANS Keterangan Gambar: : Menunjukkan hubungan oposisi biner yang bersifat hirarkhis ---- : Menunjukkan adanya suatu relasi kontinyu yang membuka ruang kemungkinan terbentuknya keharmonisan hubungan. Gambar di atas menunjukkan bahwa konsep dualitas menolak realitas ganda yang bertentangan (oposisi biner) dan bersiat hirarkhis (logosentrisme), dan sebaliknya melihat relasi realitas ganda (plural) sebagai suatu ruang keterbukaan (anti-esensialisme/differance) yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru dari relasi di antara keduanya, termasuk munculnya harmoni. Sebagai catatan, kata differance atau diferans, menurut Derida, sebagaimana dikutip oleh Al-Fayyadl (2005: 87-88), tidak merujuk pada konsep, tetapi hanyalah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hirarkhi yang dibangun oleh teks (logosentrisme). 332
5 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Kembali kepada persoalan adanya sifat dualitas dalam perubahan sosial di Tabola. Seiring dengan hal itu, masyarakat desa di Bali ternyata memang memiliki cara berfikir tertentu dalam melihat dunia sekitarnya (world view) yang sejalan dengan pengertian dualitas. Cara berfikir dualitas itu tertuang dalam suatu konsep yang di Bali dikenal luas sebagai Rwabhineda. Apa yang dimaksud dengan konsep Rwabhineda? Bagaimana asal usulnya kemunculannya? Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas. Termasuk dalam hal ini disinggung kaitan antara cara berfikir Rwabhineda dengan cara bertindak atau respon orang Bali pada umumnya dan orang desa Tabola/Sidemen (sebagai individu atau kolektif) terhadap suatu proses perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungan sosialnya. Perubahan Struktur Obyektif dan Subyektif Yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa kalau kita lihat dari pengertian struktur sosial dalam kaitannya dengan definisi perubahan sosial sebagai perubahan dalam struktur sosial, sebagaimana dikemukakan dalam Bab 2, maka maksudnya lebih banyak mengacu pada pengertian fakta sosial Durkheimian. Menurut Durkheim, sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2011: 77): Briefly, social fact are the social structures and cultural norms and values that are external to and coercive of actors. Struktur sosial dalam lingkup pengertian seperti ini bisa dikatagorikan sebagai struktur sosial obyektif. Ini sebagai sisi berbeda dari apa yang disebut sebagai struktur sosial subyektif, sebagai mana akan dijelaskan kemudian. Berikut gambaran dari berbagai perubahan sosial yang terjadi di Tabola dalam dimensi struktur sosial obyektif, yang gejalanya dijelaskan dengan meminjam konsep tipologi perubahan sosial menurut Harper (1989). Berdasarkan tipologi ini maka pertama, perubahan sosial terjadi bila susunan personal dalam struktur sosial berubah. Dalam konteks Tabola saat ini, yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, pengertian dan cakupannya sudah mengalami perubahan 333
6 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI dibandingkan pada masa lalu, paling tidak sebelum munculnya Awig- Awig Desa Pakraman Tabola. Pada masa lalu (sebelum reformasi dan belum ada awig-awig tertulis) yang termasuk dalam katagori krama desa cakupannya lebih sempit, yaitu mereka penduduk desa, suami istri beragama Hindu, yang tinggal (turun temurun) dan menjadi anggota banjar pepatusan serta pemaksan Pura Kahyangan Desa Tabola. Mereka inilah yang dikenal dengan istilah krama pengarep. Selain itu ada tambahan krama desa di luar katagori tersebut di atas, yaitu mereka warga masyarakat suami istri beragama Islam yang telah turun temurun tinggal di Tabola. Dalam konteks desa adat/pakraman, mereka ini di sebut sebagai krama tamiu (krama pendatang). Yang perlu dicatat tentang keberadaannya di Tabola adalah bahwa mereka ini berada di Tabola karena konteks sejarah, yaitu ketika Kerajaan Karangasem berperang melawan Kerajaan Lombok. Saat peperangan yang mulai terjadi tahun 1838 itu, sebagian pasukan Kerajaan Sidemen yang berlokasi di Desa Tabola (sekarang) ikut berangkat perang membantu Kerajaan Karangasem. Sekembalinya ke Sidemen seusai perang, pasukan Kerajaan Sidemen membawa serta orang-orang Lombok yang beragama Islam, yang kemudian mereka tinggal dan beranak-pinak di Tabola sampai sekarang. Jadi dua katagori itulah yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, dan dua katagori itulah yang juga menjadi elemen inti dari susunan personal struktur sosial masyarakat desa Tabola pada masa lalu. Lalu yang berkembang kemudian, khususnya setelah terbentuknya Awig-Awig Desa Pakraman Tabola, adalah terjadinya semacam perluasan dari apa yang tercakup dalam pengertian krama desa. Kalau semula hanya dua katagori maka menurut ketentuan baru sebagaimana terumuskan dalam Awig-Awig Desa Pakraman yang termasuk krama desa sekarang katagorinya bertambah menjadi lima katagori. Lima katagori itu adalah (1) krama ngarep/pengarep, (2) krama tamiu, (3) krama sasabu, (4) krama di luar desa, dan (5) krama desa sasabu. Sebagai catatan, pengertian dari masing-masing katagori krama desa tersebut telah diuraikan dalam Bab Perluasan pengertian tentang krama desa ini pada akhirnya akan
7 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS mempengaruhi pembentukan susunan struktur organisasi Desa Pakaraman Tabola yang baru. Ini khususnya pengurus baru paska pelengseran pengurus desa lama akibat konflik sumberdaya air di Tabola. Sebagaimana dibahas dalam Bab 7, susunan pengurus baru organisasi desa paska konflik sumberdaya air (periode kepengurusan ), mengakomodasi antara lain perwakilan dari berbagai golongan masyarakat yang ada di Tabola. Salah satunya adalah perwakilan dari krama di luar desa, krama sasabu dan krama desa sasabu. Adanya pengakuan bagi keberadaan krama desa yang tinggal di luar desa, telah mendorong berkembangnya organisasi kekerabatan berdasarkan kesamaan asal usul desa di luar Desa Tabola. Tercatat, misalnya, organisasi kekerabatan menghimpun warga desa asal Desa Pakraman Tabola yang tinggal di Denpasar dan Badung. Organisasi ini menjaga komunikasi dan hubungan yang erat dengan organisasi Desa Pakraman Tabola, dan bahkan sebagaimana disinggung di atas, keberadaannya diakomodasi dalam susunan kepengurusan organisasi desa pakraman. Kedua, perubahan struktur sosial terjadi bila ada perubahan dalam pola relasi (internal) suatu struktur sosial, termasuk perubahan struktur kekuasan (internal), otoritas dan komunikasinya. Gambaran paling jelas dari perubahan tipe ini bisa dilihat dari proses yang menyertai perubahan kepemimpinan di Tabola, khususnya dalam periode waktu setelah awig-awig dipasopati di pura desa, dan secara resmi menjadi acuan bagi pelaksanaan nilai-nilai dan norma-norma adat. Munculnya awig-awig desa yang baru itu harus dilihat juga sebagai titik awal dari semakin menguatnya otonomi (asli) desa dan suatu pola relasi internal dalam struktur sosial masyarakat desa yang lebih terbuka. Hal demikian dimungkinkan karena keberadaan isi dari awig-awig (substansi pasal-pasalnya) mendorong menguatnya iklim keterbukaan dalam kehidupan desa adat/pakraman. Keadaan inilah yang pada gilirannya menggulirkan proses perubahan sosial dalam bentuk perubahan kepemimpinan dan struktur organisasi desa pakraman, sebagaimana digambarkan dalam Bab 7. Ketiga, perubahan sosial terjadi bila ada perubahan fungsifungsi dalam struktur sosial. Untuk tipe perubahan ketiga ini, 335
8 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI misalnya, paling jelas bisa digambarkan dari adanya perubahan beberapa fungsi dari elemen dalam struktur organisasi desa pakraman. Sebagaimana dikupas dalam tulisan Bab 6 tentang kelembagaan desa, sejak tahun 2003, muncul struktur baru dalam kelembagaan organisasi desa pakraman sebagai hasil dari pelaksanaan ketentuan baru sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig desa. Dalam struktur baru itu terdapat elemen baru yang kedudukannya sangat menentukan dalam keseluruhan struktur organisasi desa, yaitu adanya pingajeng desa. Dengan adanya pingajeng desa ini, maka fungsi bendesa atau klian desa tidak lagi menjadi unsur tertinggi dalam dalam hirarki pemerintahan desa pakraman sebagaimana sebelumnya. Tetapi hirarkhi tertinggi berada ditangan pingajeng desa itu. Kelak kemudian, ketika muncul kepemimpinan yang lebih baru lagi pada awal tahun 2009, elemen baru yang bernama pingajeng desa ini dihapuskan dari susunan struktur organisasi desa karena dianggap hanya merepresentasikan kepentingan satu kelompok, khususnya kelompok kasta tinggi di Desa Tabola (bangsawan tinggi puri dan kaum brahmana tinggi) dan dinilai oleh pengurus yang baru tidak mencermin nilai demokrasi, dan sebaliknya ada unsur untuk mengembalikan lagi sistem feodalisme lama. Di sini kembali bendesa atau klian desa dalam struktur organisasi desa menjadi elemen organisasi yang memiliki wewenang kekuasaan tertinggi (lihat Bab 7). Sebagai pengganti dari elemen pingajeng desa yang telah dihapuskan maka dalam struktur organisasi desa ditambahkan elemen baru yang disebut pengrajeg, yang fungsinya kurang lebih sama seperti penasehat. Jadi karena fungsinya lebih sebagai penasehat, maka kedudukan pengrajeg dalam struktur organisasi desa tidak lebih tinggi dari bendesa atau klian desa, sebagaimana kedudukan pingajeng desa sebelumnya. Sesuai dengan susunan struktur organisasi desa yang ada, kedudukannya sejajar dengan bendesa atau klian desa. Elemen pengrajeg ini sebenarnya bukan hal baru, karena sebelumnya sudah pernah dikenal (sebelum dikenalkan konsep pingajeng ), dan konsep pingrajeg umumnya lebih banyak dikenal di desa-desa pakraman lain di luar Tabola. 336
9 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Perubahan fungsi lainnya terkait dengan perubahan struktur di Tabola adalah masuknya elemen-elemen yang dianggap mewakili aspirasi atau kepentinggan berbagai kelompok masyarakat yang ada di Tabola. Elemen-elemen ini dikenal dengan konsep petajuh, yang untuk konteks desa pakraman terdiri antara lain dari elemen-elemen yang mewakili aspirasi kelompok kahyangan, palemahan, dan pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa. Tentang pengertian dari masing-masing kelompok ini, bisa dilihat kembali pada Bab 6. Keempat, perubahan terjadi bila ada perubahan pola hubungan di antara struktur-struktur sosial yang berbeda. Gambaran paling nyata dari fenomena perubahan tipe seperti ini di Tabola bisa dilihat dari perubahan pola hubungan antara desa adat/pakraman dengan desa dinas, terutama sejak diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan juga Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebagaimana dijelaskan pada Bab 6, perubahan itu konsekuensi dari perubahan kedudukan desa adat/desa pakraman dan desa dinas, yang sejak era reformasi kedudukan desa adat/pakraman semakin kuat (terhadap desa dinas), dan yang praktiknya tidak lagi menjadi seperti sub-ordinasi desa dinas. Dengan adanya perubahan itu, maka posisi desa adat/pakraman, paling tidak menjadi lebih seimbang/setara dalam hubungannya dengan desa dinas. Dengan demikian, masing-masing memiliki cakupan wewenang dan kekuasaan sendiri-sendiri, yaitu desa dinas lebih banyak mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti misalnya pengurusan KTP dan suratsurat lainya yang berhubungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan kepada warga desa, pelaksanaan program Pemerintahan Daerah, dan lain sebagainya. Sementara desa adat/pakraman lebih banyak mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat (dan budaya) serta agama. Dengan bahasa yang lebih ringkas, desa dinas mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari warga (negara) desa, sedangkan desa adat/pakraman mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari krama desa. Ini menjadi sangat berbeda bila 337
10 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI dibandingkan dengan situasi masa lalu, di mana desa dinas boleh dikatakan hampir mendominasi urusan-urusan desa, termasuk urusan desa adat/pakraman. Kelima, perubahan sosial terjadi bila muncul struktur baru dari struktur sosial lama yang sudah ada selama ini. Gambaran ini bisa dilihat dari munculnya struktur-struktur baru, seperti Majelis Desa Pakraman/MDP (dari tingkat alit, madya sampai utama) sebagai supra-struktur baru bagi desa adat/pakraman. Selain itu juga munculnya kelembagaan-kelembagaan baru seperti pingajeng, pengrajeg, dan berbagai macam lembaga baru yang dirumuskan dalam awig-awig Desa Tabola. Dalam hal ini juga perlu digarisbawahi bahwa awig-awig tertulis (hasil penyuratan awig-awig lama) Desa Pakraman Tabola sesungguhnya juga adalah suatu bentuk kelembagaan (nilai-nilai dan norma-norma) yang baru muncul di Tabola menyusul bergulirnya jaman reformasi. Jadi di sini, awig-awig selain adalah produk dari perubahan sosial, dalam dirinya juga menjadi sumber dari perubahan sosial. Itulah, antara lain, contoh-contoh dari pada apa yang disebut sebagai perubahan struktur sosial obyektif. Di samping perubahan struktur sosial obyektif seperti diuraikan di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan terjadinya gejala perubahan struktur sosial dalam dimensi subyektif (struktur subyektif). Yang dimaksudkan dengan struktur subyektif di sini, mengacu pada pemikiran Bourdieu, lebih pada pengertian struktur kognitif yang ada dalam kesadaran individu maupun kolektif. Struktur subyektif dalam bentuk struktur (kesadaran) kognitif inilah yang mendasari konsep Bourdieu tentang Habitus. Di sini contoh yang paling kentara dari terjadinya perubahan dalam stukrur sosial subyektif adalah munculnya gagasan-gagasan atau ide-ide baru yang mendorong diterimanya nilai-nilai (dan normanorma) baru di masyarakat. Dengan diterimanya nilai-nilai (dan norma-norma) baru itu, maka terjadi perubahan dalam kesadaran dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektif. Tentu saja perlu dicatat di sini, bahwa penerimaan nilai-nilai dan norma-norma baru itu tidak berlangsung secara serta merta, tetapi melalui suatu 338
11 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS proses dialog yang membutuhkan waktu, yang hal itu terutama berlangsung intensif pada waktu dilakukan proses penyuratan awigawig desa. Wujud nyata dari diterimanya nilai-nilai baru itu, sebagian tertuang dalam rumusan yang ada dalam pasal-pasal di Awig-Awig Desa Pakraman Tabola. Proses diterima nya (dan kemudian dipraktikkannya dalam tindakan sehari-hari) nilai-nilai baru sebagai hasil dari perkembangan ide-ide baru yang berasal dari kesadaran subyektif (individu atau kolektif) itu, dalam konsep Bourdieu disebut sebagai proses dialectic of the internalization of externality and externalization of internaliy. Di sini terlibat suatu proses: (a) penstrukturan struktur sosial obyektif atau structuring structure, yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur awig-awig baru ke dalam kesadaran kognitif individu ataupun kolektif yang dampaknya merubah sikap dan perilaku; (2) penstrukturan oleh struktur sosial subyektif atau structured structure yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur kognitif ke dalam struktur sosial/realitas sosial masyarakat). Kedua proses penstrukturan itu secara keseluruhan berlangsung secara berkesinambungan dan dialektis. Proses penstrukturan yang berlansung secara dialektik ini menghasilkan apa yang disebut sebagai gejala perubahan sosial. Di samping apa yang telah disebut itu (terkait awig-awig), juga muncul dan tumbuh suatu kesadaran baru (yang lebih makro sifatnya) di masyarakat terkait perkembangan situasi sosial-politik di desa, khususnya sejak era reformasi. Situasi sosial-politik baru itu dalam realitasnya bisa diringkas dan dikaitkan dengan proses yang disebut sebagai demokratisasi. Situasi baru ini pada gilirannya mendorong secara bertahap terjadinya perubahan pola hubungan antara masyarakat (warga/krama desa) dengan desa (baik desa dinas dan desa adat) dan juga, pada gilirannya, antara desa adat dengan desa dinas itu sendiri sebagai suatu entitas kelembagaan. Tentang berlangsungnya perubahan dalam kesadaran kognitif masyarakat, terkait dengan nilai-nilai dalam kehidupan di desa adat/pakraman, bisa digambarkan dari beberapa kasus, sebagaimana dibahas dalam Bab 5 tentang Awig-Awig Desa Tebola. Salah satu 339
12 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI contoh yang dibahas dalam bab itu adalah masalah cuntaka, atau berarti sesuatu keadaan di mana seseorang, pria atau wanita, karena sesuatu hal dianggap tidak bersih, dan karena itu dilarang melakukan sesuatu tindakan tertentu. Cuntaka adalah sesuatu persoalan yang terkait langsung dengan masalah adat dan agama, sehingga sebenarnya memang tidak gampang mengubah ketentuannya. Apalagi hal seperti itu merupakan suatu keyakinan yang telah dipraktikkan sejak dahulu kala, dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh para orang tua dan leluhur. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya, karena perkembangan tuntutan jaman yang menghendaki segalanya menjadi lebih praktis, maka ide atau gagasan untuk mengubah ketentuan mengenai waktu serta persyaratannya bisa diterima masyarakat melalui suatu musyawarah bersama yang diwarnai oleh perdebatan pro dan kontra yang cukup sengit. Setelah disepakati, perubahan itu akhirnya dicantumkan dalam pasal awigawig sebagai suatu ketentuan baru yang harus dipatuhi dan dipraktikkan. Di luar masalah cuntaka ada beberapa kasus lain yang serupa, seperti misalnya diadopsinya gagasan tentang pingajeng (yang kelak kemudian mengalami koreksi kritis dari masyarakat untuk kemudian berubah menjadi pangrajeg ) dalam awig-awig. Juga diterimanya gagasan terkait ketentuan praktik pelestarian lingkungan alam di Tabola dalam awig-awig sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana dalam praktik kehidupan sehari-hari di desa. Ini khususnya menyangkut hubungan antara manusia dengan alam atau disebut konsep palemahan, di samping dua hubungan lagi, yaitu hubungan manusia dengan manusia (konsep pawongan) dan hubungan manusia dengan Tuhan (konsep parhyangan). Apa yang bisa dicermati dari uraian di atas adalah bahwa perubahan sosial di Tabola, berlangsung tidak saja dalam dimensi struktur sosial obyektif, tetapi juga pada saat yang berbarengan terjadi perubahan dalam struktur sosial subyektif. Dalam konteks Desa Pakraman Tabola, perubahan struktur obyektif lebih banyak terkait 340
13 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS dengan perubahan pada aspek kelembagaan masyarakat, apakah bentuknya organisasi, seperti misalnya, struktur organisasi desa adat/pakraman atau desa dinas, atau juga dalam bentuk institusi peraturan/ketentuan (nilai-nilai dan norma-norma), seperti misalnya kelembagaan awig-awig desa. Sedangkan perubahan struktur subyektif lebih terkait dengan perubahan pada aspek (kesadaran) kognitif individu dan masyarakat (secara kolektif). Bentuknya bisa berupa muncul dan berkembangnya gagasan-gagasan yang mendorong diterimanya ide-ide baru sebagai suatu realitas baru yang dipraktikkan (misalnya tentang gagasan demokrasi); atau juga diterimanya ide-ide baru sebagai suatu bentuk dari nilai atau norma baru yang siap dipraktikkan bersama. Dalam perspektif teori perubahan sosial, khususnya dalam pengertian perubahan sosial sebagai suatu perubahan struktur sosial, maka bisa dikemukakan bahwa perubahan struktur sosial di Tabola itu ternyata tidak saja menyangkut perubahan struktur sosial dalam pengertian obyektif (struktur obyektif) tetapi juga sekaligus dalam pengertian subyetif (kesadaran kognitif). Dalam hal ini kelihatannya muncul suatu gejala perubahan yang bersifat dualitas, yaitu terjadinya perubahan pada struktur (sosial) obyektif di satu sisi, dan pada saat yang sama muncul perubahan pada struktur (sosial) subyektif di sisi lain. Faktor Penyebab Eksogen dan Endogen Sebagaimana di uraikan dalam bagian sebelumnya, bahwa proses perubahan bisa disebabkan oleh faktor-faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan (struktur sosial) yang sumbernya berasal dari luar struktur sosial tersebut. Sebaliknya faktor endogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan yang sumbernya berasal dari dalam struktur sosial itu sendiri. Tidak jarang nama dari faktor eksogen dan endogen ini disebut dengan nama lain, yaitu faktor eksternal dan internal, tetapi dengan maksud dan pengertian yang sama (Smelser, 1992). 341
14 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Kalau dicermati dari hasil penelitian lapangan, faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial di Tabola justru ditimbulkan oleh dua faktor pengaruh, ekternal dan internal. Kedua faktor ini muncul sebagai faktor penyebab perubahan secara hampir serentak dan berkesinambungan. Dalam Bab 4 dan 5, misalnya, digambarkan bagaimana Pemda Provinsi Bali, menerbitkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Prakraman, yang pada gilirannya telah mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, tidak terkecuali Desa Pakraman di Tabola. Perubahan sosial itu terwujud dalam bentuk, antara lain, tersuratnya awig-awig desa pakraman di Tabala (dari sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis dalam susunan yang sistematis); organisasi desa pakraman (Tabola) menjadi semakin kuat kedudukannya, terutama dihubungkan dengan kedudukan desa dinas. Harus diakui pula bahwa terbitnya Perda Provisi Bali No. 3 Tahun 2001, tidak terlepas dari proses reformasi. Ini khusus terkait dengan keluarnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang substansinya mendorong pelaksanaan proses otonomi daerah (dan otonomi desa). Dalam konteks ini, dua ketentuan yang disebutkan di atas, tidak pelak merupakan faktor ekternal yang mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, khususnya Desa Tabola. Sementara itu, gelombang reformasi yang bergulir kencang sejak tahun 1998, telah mendorong tumbuhnya kesadaran-kesadaran baru di masyarakat, tidak terkecuali bagi warga Tabola, khususnya terkait gagasan tentang kebebasan, kemandirian (otonomi) serta demokrasi. Munculnya kesadaran baru itu memberikan dorongan inisiatif untuk merumuskan kembali keberadaaan masyarakat (krama) dan desanya dalam konteks perkembangan jaman yang baru. Apa yang dilakukan Pak Cjokorda Gde Dangin mengundang Megawati Sukarnoputri untuk hadir dalam upacara keluarga Maligya di Sidemen, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai bagian dari munculnya kesadaran baru itu. Tidak terbayangkan bahwa pak Cokorda akan mengundang Megawati, yang pada waktu itu Ketua Partai PDIP, bila keadaan belum berubah, mengingat yang diundang itu adalah sosok yang dianggap sebagai musuh politik oleh rezim yang berkuasa 342
15 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS sebelum datangnya jaman reformasi. Juga ide sebagian tokoh Desa Tabola untuk bersinergi dengan pihak luar dalam rangka meminta dukungan pendanaan bagi kepentingan penyusunan awig-awig baru, harus dilihat sebagai bagian dari inisiatif untuk merumuskan kembali keberadaan desa pakraman di jaman yang baru itu. Dalam hal ini, datangnya Megawati ke Sidemen/Tabola tentu saja memperkuat kesadaran yang sudah mulai tumbuh tentang kebebasan dan demokrasi. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan semakin kuatnya posisi politik PDIP sebagai partai yang menjadi simbol perlawanan terhadap rezim lama (yang otoriter) di Tabola/Sidemen. Sedangkan semuanya itu mungkin terjadi karena adanya inisiatif yang diambil Pak Cokorda Gde Dangin, yang memang sangat menyadari tentang telah datangnya jaman baru. Terkait faktor penyebab perubahan sosial, hal ini jelas merupakan faktor penyebab internal. Begitupula pula tindakan para tokoh desa Tabola, termasuk Pak Cokorda, ketika berusaha melakukan penyuratan awig-awig desa, dan juga merespon ketentuan yang ada terkait pengembangan struktur baru supra-desa pakraman bernama Majelis Desa Pakraman (Alit). Ini juga merupakan bukti lain dari adanya faktor internal dalam proses perubahan sosial di Tabola. Perkembangan selanjutnya, perubahan di Tabola banyak diwarnai oleh faktor-faktor internal. Misalnya saja munculnya institusi baru di desa, termasuk bentuk organisasi baru desa paska penyuratan awig-awig. Begitupula ketika muncul pergolakan kepemimpinan di Tabola yang pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kepemimpinan dan struktur organisasi baru di Desa Pakraman Tabola. Semuanya itu, kalau dikaji, sebagaimana diuraikan dalam Bab 4, 6, dan 7, muncul karena tumbuhnya pikiran-pikiran baru paska reformasi di Desa Tabola, khususnya yang digulirkan oleh lapisan elit baru di Tabola. Yang dimaksudkan dengan lapisan elit baru ini adalah lapisan elit yang tumbuh semakin kuat sejak masa reformasi, yang mereka ini memiliki berbagai latar belakang, mulai dari mantan guru, pengusaha, mantan pengurus desa dinas serta aktivis LSM. Umumnya mereka ini, sebelumnya tidak menjadi bagian dari elit penguasa Desa Pakraman Tabola. 343
16 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Kalau ditelusuri, faktor internal dan eksternal sebenarnya juga menjadi faktor pendorong perubahan pada tingkatan supra-desa, terutama munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebagai catatan, Perda ini kemudian menjadi faktor penyebab eksternal atas terjadinya berbagai perubahan di tingkat desa. Pertama, bisa dijelaskan bahwa Perda No. 3 Tahun 2001 tersebut bisa muncul karena adanya proses kebebasan dan demokratisasi terkait reformasi yang mulai bergulir kuat setelah rezim Orde Baru rontok tahun Dalam hubungannya dengan hal ini, lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahah Daerah, memberikan momentum yang kuat bagi daerah untuk (secara bertahap) memperkuat kembali hak-hak otonominya yang sudah redup, terutama sejak dilaksanakan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Faktor bergulirnya reformasi, dan terutama dilaksanakan UU No. 22 Tahun 1999, boleh dikatakan sebagai faktor penyebab perubahan dari luar (eksternal) yang memberikan pengaruh kuat bagi lahirnya Perda tentang Desa Pakraman itu. Di sisi lain, memang telah ada keinginan kuat masyarakat dan dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali sendiri untuk memperkuat kedudukan desa adat atau desa pakraman. Dasar pemikirannya adalah untuk tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai budaya, adat dan agama (Hindu) di Bali. Bagi Bali, kebertahanan dan kelestarian menjadi faktor sangat penting untuk menjaga kelangsungan Bali, khususnya sebagai daerah wisata (modal ekonomi) sekaligus identitas Bali itu sendiri (modal sosial dan kultural). Keinginan yang kuat ini pernah diwujudkan melalui Perda tentang Desa Adat tahun 1986, tetapi belum mampu memberdayakan desa adat secara optimal, karena pada masa itu dibayangi oleh kekuatan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang memberikan dasar legal bagi dominasi desa dinas atas desa adat. Baru Perda No. 3 Tahun 2001 (sebagai revisi atas Perda No. 6 Tahun 1986) desa adat, yang selanjutnya diganti namanya menjadi desa pakraman, lebih berhasil diberdayakan kedudukannya. Faktor keinginan yang 344
17 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS kuat itu, tak pelak merupakan faktor penyebab perubahan dari dalam (endogen). Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa dibalik faktor penyebab perubahan dari dalam (endogen) itu adalah adanya aktor-aktor, baik sebagai individu maupun kolektif, yang aktif dan berinisiatif dalam merespon perkembangan situasi. Jadi sesuai dengan pemikiran Giddens terkait teori strukturasi, aktor-aktor itu merepresentasikan agen-agen yang aktif dalam relasinya dengan struktur sosial. Terkait dengan sifat agen-agen yang aktif dan berinisiatif ini, Giddens (Johnson: 2008) menyatakan: The production and reproduction of society thus to be treated as a skilled performance on the part of its members, not as merely a mechanical series of processes. Jadi di sini, sekali lagi, manusia sebagai individu dan kolektif adalah agen yang aktif dan rasional, dalam arti, memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan secara terus menerus dalam proses produksi dan reproduksi dari dunia sosial. Proses produksi dan reproduksi dunia sosial itu tidak lain adalah proses perubahan sosial. Sejalan dengan perspektif seperti ini, maka bisa dikatakan pula bahwa orang Bali, khususnya orang desa di Tabola, baik sebagai individu maupun kolektif, adalah manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan rasional. Tentu ini mungkin berbeda kalau dibandingkan dengan kesan umum bahwa orang-orang Bali umumnya dinilai pasif dan mengikuti saja kondisi sosial yang dihadapinya, terutama yang terwujud dalam simbol-simbol adat yang sering diibaratkan sebagai struktur sosial yang kuat dan kokoh itu. Akhirnya, sekali lagi, di sini faktor eksogen dan endogen berjalan secara serentak dan berkesinambungan sebagai faktor pendorong perubahan. Bekerjanya dua faktor perubahan secara sekaligus ini yang dikategorikan sebagai proses dualitas. Arah Perubahan Siklikal dan Linier Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa teori perubahan sosial pada umumnya mengenal perspektif pola perubahan, yaitu pola linier, pola siklikal dan pola dialektik. 345
18 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Perubahan berpola linier mengacu pada suatu pandangan bahwa perubahan sosial itu pada dasarnya memiliki ciri kumulatif, dan bersifat tidak berulang (non-repetitive). Perubahan pola linier ini biasanya bersifat permanen, dalam arti perubahan tidak pernah kembali kepada titik semula berjalan secara evolusi, proses dan arahnya cenderung berlangsung secara diakronik atau melewati suatu tahapan awal dan tahapan akhir (tahap maju/lebih lanjut). Sebaliknya dengan perubahan berpola siklikal. Perubahan sosial berpola siklikal mengacu pada pandangan bahwa sejarah perkembangan masyarakat dilihat sebagai suatu proses yang berulang, bukan garis lurus. Perubahan pola siklikal ini sejalan dengan pepatah history does repeat it self, sejarah selalu berulang. Sedangkan perubahan sosial berpola dialektik menyandarkan pada asumsi bahwa perubahan terjadi secara komplek, kumulatif dan berkembang dalam jangka panjang. Perubahan pola dialektik ini digambarkan berjalan tidak mulus seperti pola linier atau gradual seperti pola siklikal, tetapi - seperti yang digambarkan oleh perspektif Marxian - melibatkan suatu proses pertentangan karena adanya kontradiksi internal dalam struktur sosial (yang berubah itu). Mencermati fenomena perubahan sosial yang berlangsung di Tabola/Sidemen maka bisa dilihat bahwa perubahan yang terjadi tidak menunjukkan suatu gambaran perubahan yang berpola tunggal, yaitu apakah linier atau siklikal. Kalau dicermati, kedua pola itu, linier atau siklikal, muncul dalam proses perubahan sosial di Tabola. Sebagai gambaran, perubahan berpola linier, misalnya, bisa dilihat dari fenomena perkembangan organisasi desa dinas yang cenderung semakin demokratis dan tidak lagi menghegemoni semua urusanurusan desa, terutama urusan yang sebenarnya merupakan wewenang desa adat/pakraman. Proses ini terjadi seiring dengan berjalanannya proses demokratisasi yang merasuk semakin dalam ke desa sejak jaman reformasi (1998). Salah satu wujud awal dari proses demokratisasi yang merasuk ke desa ini, antara lain adalah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah, yang substansinya mengatur pula 346
19 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS ketentuan tentang pengelolaan pemerintahan desa. Bila dibandingan dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa akan tampak jelas bahwa substansi tentang Pemerintahan Desa dalam UU No. 22 Tahun 1999 memberikan nuansa kebebasan/demokrasi yang jauh lebih kuat. Nuansa demokrasi inilah yang akhirnya mengubah kedudukan dan wewenang desa dinas, sehingga boleh dikatakan pengaruh kedudukan desa dinas tidak lagi menghegemoni (hampir) semua urusan masyarakat desa, yang di Bali keberadaannya terbagi atas dua desa, yaitu desa dinas dan desa adat/pakraman. Lebih dari itu, bahkan boleh dikatakan hubungan antara desa (dinas) dan masyarakat menjadi lebih seimbang, karena, salah satunya, hadirnya lembaga yang mengawasi jalannya pengelolaan pemerintahan desa, yaitu Dewan Perwakilan/Permusyawatan Desa (DPD). Anggota DPD berasal dan dipilih dari masyarakat secara langsung melalui musyawarah desa. Di samping itu, dengan berjalannya proses demokratisasi dan berkembangnya politik multipartai hingga ke desa-desa, maka tidak ada kekuatan tunggal yang mampu menghegemoni semua urusan masyarakat, termasuk juga kekuatan militer (TNI) yang sekarang lebih menjaga jarak dengan politik kekuasaan pemerintahan (desa). Yang disebutkan terakhir ini merupakan faktor penting, yang hal ini jelas berbeda dengan keadaan di masa sebelum reformasi. Dalam tingkat tertentu, proses demokratisasi ini tidak saja mempengaruhi organisasi desa dinas tetapi juga desa adat/pakraman. Yang paling menyolok adalah proses penyuratan awig-awig, yang keseluruhan prosesnya diatur agar melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat adat. Ditambah bahwa proses penyuratan itu sendiri merupakan bagian dari upaya untuk memperluas proses keterbukaan. Ini dalam arti bahwa awig-awig yang tadinya tidak tertulis diupayakan untuk menjadi tertulis dengan susunan yang lebih sistematis mengacu pada sistematika hukum positif dan bersifat terbuka. Yang disebutkan terakhir ini jelas sejalan dengan proses keterbukaan/demokratisasi. 347
20 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Ini ditambah lagi dengan penyusunan kepemimpinan organisasi desa adat yang juga mulai mengadopsi mekanisme pemilihan langsung secara demokratis, dan tidak lagi mengandalkan begitu saja pada faktor-faktor tradisional, seperti halnya kepemimpinan dipilih berdasarkan asal usul dari keturunan tertentu (geneologi) atau sejenisnya. Pendek kata, pada tingkat tertentu, pengelolaan desa adat/pakraman di Tabola telah mengadopsi sebagian dari gagasan demokratisasi yang merasuk ke desa sejak munculnya jaman reformasi. Demokratisasi itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses modernisasi, yang secara makro sering disebut sebagai suatu proses perubahan sosial berpola linier atau evolusionis. Jadi dengan demikian proses demokratisasi yang merasuk dalam desa, tak pelak membawa aspek-aspek dari proses perubahan sosial berpola linier. Aspek-aspek perubahan sosial berpola linier seperti ini fenomenanya kelihatan terjadi di Tabola/Sidemen. Sementara itu perubahan sosial berpola siklikal ternyata juga tergambar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung di Tabola. Gambaran paling nyata bisa dilihat dari munculnya gagasan untuk mengubah sebutan desa adat menjadi desa pakraman. Memang gagasan perubahan penyebutan itu awalnya muncul dalam Perda Provinsi Bali (No. 3 Tahun 2001), walaupun pada akhirnya gagasan tersebut diterima penuh dan diadopsi oleh desa-desa adat di Bali, termasuk desa adat Tabola. Kalau ditelusuri, perubahan penyebutan desa adat menjadi desa pakraman bukan hanya sekedar mengubah nama. Tetapi lebih jauh lagi, perubahan nama itu mengandung maksud, yaitu salah satunya untuk mengembalikan lagi bayangan ideal desa (adat) di masa lalu sebagai suatu desa Hindu dengan segala nilai-nilainya yang dianggap luhur itu. Dalam konteks perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman ini, tentu tidak berlaku pepatah apa artinya sebuah nama. Perubahan nama dari desa adat menjadi desa pakraman jelas membawa arti yang dalam, karena perubahan nama itu mengandung makna ingin mengkonstruksi kembali gagasan tentang desa adat sesuai dengan asal 348
21 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS usulnya di masa lalu sehingga diharapkan terbangun identitas desa sebagaimana yang diharapkan. Keinginan itu, misalnya, secara tersirat bisa dibaca dari isi Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, khususnya bagian menimbang, yang menyebutkan, antara lain: Bahwa desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, yang memiliki otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan; bahwa desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan. Apa yang bisa dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman memiliki aspek-aspek siklikal, seolah-olah perubahan yang terjadi mengacu pada keadaan masa lalu yang dianggap pernah ada. Dengan nama baru, yaitu desa pakraman, diharapkan bayangan desa adat yang berbasis nilai-nilai agama Hindu, bisa terwujud kembali, paling tidak sebagian dari aspek-aspeknya. Inilah yang dikatakan sebagai suatu bentuk perubahan sosial yang mengandung aspek-aspek siklikal karena memang ada semacam semangat untuk mengembalikan masa lalu yang dinilai baik untuk diwujudkan pada masa sekarang dan masa depan. Sejalan dengan hal itu, tidak mengherankan kalau dalam proses penyuratan awig-awig mencuat gagasan lain untuk memunculkan kembali suatu bentuk institusi baru dalam susunan kepengurusan desa pakraman yang mengacu pada keadaan yang pernah ada dimasa lalu, yaitu pingajeng desa. Upaya (yang berhasil) untuk memunculkan kembali institusi pingajeng desa ini tak pelak merupakan bagian dari fenomena perubahan yang berpola siklikal. Yang juga perlu dicermati di sini adalah bahwa persoalannya bukan hanya memunculkan nama dan institusi baru yang disebut pingajeng desa, tetapi lebih dari itu adalah suatu upaya (sadar atau tidak sadar), untuk mengembalikan lagi kedudukan para elit desa dari golongan (kasta) tinggi (khususnya golongan bangsawan dan brahmana) dalam 349
22 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI struktur kepemimpinan pemerintahan desa adat. Tentu semuanya atas dasar pikiran mempertahankan dan melestarikan keberadaan desa adat atau pakraman yang sudah ada di Bali sejak jaman dahulu. Dua bentuk perubahan yang diuraikan di atas, memang terjadi di Tabola, yang hal itu menggambarkan bahwa perubahan berpola linier maupun siklikal betul-betul berlangsung, apakah hal itu terjadi secara serentak dan tumpang tindih maupun berkesinambungan atau silih berganti. Bahkan soal munculnya fenomena pingajeng desa, yang dalam hal ini digambarkan sebagai suatu bentuk perubahan berpola siklikal, kelak kemudian dihapuskan dan diganti oleh institusi lain yang bernama pangrajeg. Meskipun istilah pangrajeg berasal dari pengertian masa lalu, yaitu semacam dewan penasehat yang berwenang memberikan nasehat-nasehat atas jalannya pemerintahan desa pakraman, tetapi maknanya dikonstruksi dan dipakai dalam pengertian baru yang lebih demokratis. Hal ini khususnya dalam konteks untuk mengganti istilah pingajeng yang dianggap tidak demokratis. Mengapa demikian? Ini karena kata pingajeng memiliki makna mengatasi kekuasaan kepemimpinan desa pakraman, sehingga seolah-olah bendesa bukan lagi pimpinan tertinggi desa. Mungkin ciri perubahan ini lebih mirip dengan pengertian perubahan berpola dialektis. Jadi bisa disimpulkan di sini bahwa perubahan di Tabola lebih mencirikan suatu perubahan yang tidak berpola tertentu, yaitu antara linier atau siklikal, tetapi keduanya ada secara bersamaan. Dua pola perubahan yang terjadi secara bersama-sama ini yang dikatakan sebagai perubahan sosial berpola dualitas. Faktor Pendorong Struktur dan Agensi Dalam perspektif teori-teori modernisme, perubahan sosial seringkali dipandang secara dikotomis, dualisme. Dalam konteks proses perubahan sosial, misalnya, maka yang menjadi faktor utama penyebab perubahan sosial itu seringkali di dikotomikan dalam dua sisi, yaitu apakah penyebab utamanya faktor struktur ataukah sebaliknya faktor aktor/agen. Sebagai contoh, teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Marxian, Durkheimian ataupun 350
23 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS pendekatan struktural fungsional lebih condong mengutamakan faktor struktur ketimbang aktor sebagai pendorong perubahan. Sebaliknya, teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Weberian ataupun pendekatan interaksionisme simbolik, lebih menekankan pada faktor aktor sebagai pendorong perubahan. Berbeda dengan perspektif teori-teori modernisme, perspektif teori late modernity yang digaungkan suaranya oleh Giddens lewat teori strukturasi maupun perspektif teori constructivist structuralism, menolak adanya dikotomi atau dualisme seperti disebut di atas. Menurut Giddens, sebagaimana dikutip oleh George Ritzer (2011: 524) dalam bukunya Sociological Theory, structure only exists in and through the activities of human agents. Jadi di sini ia menolak pandangan yang menggambarkan struktur adalah outside atau external dari tindakan manusia sebagai aktor. Konsep Giddens tentang struktur seperti ini terang berbeda dengan konsep struktur dalam pengertian bahwa struktur itu eksis sebagai suatu realitas obyektif yang mempengaruhi tindakan individu secara independen dari pengetahuan dan maksud tujuan individu-individu yang bersangkutan. Jadi seperti ditulis oleh Ritzer (2008: 522): agency and structure cannot conceived of parts from one another; they are two sides of the same coin. Atau dalam bahasa Giddens, keduanya (struktur dan agensi) adalah dualitas (duality) lihat sekali lagi Bab 2. Sejalan dengan Giddens, Pierre Bourdieu, juga menolak pandangan dikotomi antara agensi dan struktur dalam proses perubahan sosial. Dasar penolakan Bourdieu, dijiwai oleh keinginan untuk mengatasi kesalahan dalam ilmu sosial karena mempertentangkan subyektivisme dan obyektivisme, yang menurutnya dikatakan sebagai oposisi absurd antara individu (individual) dan masyarakat (society). Kata Bourdieu (1990: 25): of all the oppositions that artificially divide social science, the most fundamental, and the most ruinous, is that one that is set up between subyectivism and obyectivism. Lantas gejala perubahan seperti apa yang tergambar di Tabola? Dari hasil penelitian sebagaimana diungkapkan dalam bagian 351
24 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI sebelumnya terlihat bahwa baik faktor struktur maupun agensi, keduanya, secara berkesinambungan telah menjadi faktor pendorong dari proses perubahan sosial di Desa Pakraman Tabola. Faktor struktur sebagai pendorong perubahan, bisa digambarkan, misalnya, dari adanya berbagai ketentuan supra-desa yang dampaknya secara langsung mendorong perubahan sosial di desa. Contoh yang paling jelas adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5, Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, telah mendorong proses perubahan di desa, yaitu antara lain: Pertama, desa Pakraman di Bali, termasuk Desa Tabola, terdorong untuk melakukan penyuratan awig-awig desa, yang dalam konteks desa boleh dikatakan merupakan semacam konstitusi baru desa atau suatu konsensus baru bagi masyarakat desa tentang bagaimana menjalankan kehidupan sosial di Desa Pakraman di Bali. Hadirnya kontitusi baru ini tentu saja mengubah sebagian dari cara masyarakat desa pakraman (krama desa) dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Bab 5 menggambarkan dengan jelas bagaimana berbagai aspek kehidupan sosial krama Desa Pakraman Tabola mengalami perubahan terkait dengan adanya awig-awig baru desa. Kedua, munculnya institusi baru yang merupakan institusi supra desa adat/pakraman, yang sebelumnya tidak dikenal. Institusi baru ini dihadirkan baik pada tingkat Provinsi dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Agung, tingkat Kabupaten dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Madya, dan tingkat Kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Alit. Dengan munculnya institusi baru tersebut maka desa pakraman di Bali, termasuk di Tabola, langsung maupun tidak langsung terhubung dengan jalinan struktur birokrasi pemerintahan, mulai dari tingkat Provinsi hingga Kecamatan. Meskipun dalam konteks ini, desa pakraman tetap merupakan institusi desa (adat) yang otonom. Ketiga, perubahan penyebutan nama desa dari desa adat menjadi desa pakraman, sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, sedikit banyak telah mengubah sebagian 352
25 BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS bayangan/imajinasi tentang desa adat dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sebagaimana di kupas pada Bab 5 dan 6, perubahan nama ini tidak saja memiliki arti perubahan penyebutan nama dari adat menjadi pakraman, tetapi didalamnya mengandung keingingan untuk mengkonstruksi kembali bayangan desa sebagaimana gagasan asalnya yaitu desa yang menyandarkan nilai-nilai sosialnya pada ajaran Hindu Bali. Dalam Bab 3 dan 4, misalnya, digambarkan bagaimana Mpu Kuturan pada abad 9 meletakkan dasar nilai-nilai sosial bagi desa di Bali pada waktu itu yang bersandarkan pada ajaran Hindu dengan menempatkan pura kahyangan tiga sebagai basis dari keberadaan desa pakraman di Bali. Dalam konteks saat ini, keingingan untuk mengkonstruksi kembali desa yang berbasis pada nilai-nilai luhur ajaran Hindu Bali itu tercermin dari definisi baru yang lebih eksplisit tentang apa yang dinamakan desa pakraman (Perda No. 3 Tahun 2001), yaitu: Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa. Kalau diperhatikan, pengertian ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa menempati posisi penting dalam keseluruhan pengertian tentang desa pakraman di Bali, yang perwujudannya bisa dilihat dari keberadaan tiga pura desa, yaitu pura puseh, pura desa/balai agung dan pura dalem. Dengan demikian, desa pakraman di Bali, selain dia merupakan institusi sosial masyarakat, pada saat yang bersamaan dia juga tidak bisa dilepaskan dari institusi keagamaan, dalam bentuk ikatan kahyangan tiga/kahyangan desa sebagaimana disebutkan di atas. Dalam konteks ini, warga desa pakraman sebagai bagian dari kelembagaan sosial di sebut sebagai krama desa; sedang warga desa sebagai bagian dari kelembagaan keagamaan desa, disebut sebagai krama pemaksan desa. Menarik untuk dicermati di sini bahwa warga desa prakraman di Bali sesungguhnya dalam dirinya melekat dua identitas yang sejatinya satu dengan yang lainnya tidak bisa dilepaskan, yaitu sebagai di satu sisi sebagai krama desa, dan di sisi yang lain sebagai warga pemaksan. Fenomena kewargaan desa yang 353
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.
Lebih terperinciBAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Dualisme Desa di Tabola: Pakraman dan Dinas Hegemoni Desa Dinas Desa yang ada di Bali ini, termasuk di Sidemen, mestinya dijadikan satu saja, dengan menggabungkan
Lebih terperinciAWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN Pendahuluan Konsep dan Sejarah Awig-awig di Bali Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali, Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, antara lain disebutkan definisi dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS
1 UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat Oleh Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS Permasalahan Diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah
BAB VI KESIMPULAN Sampai pada saat penelitian lapangan untuk tesis ini dilaksanakan, Goenawan Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah Tempo dalam waktu yang relatif lama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan
Lebih terperinci4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer
Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan
Lebih terperinciNi Made, Purnama Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(1):
Resensi Buku ISSN: 0852-8489 e- ISSN: 2460-8165 Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini Penulis: Ni Made Purnama Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Juli 2016; Disetujui:
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu policy di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai
Lebih terperinciAbstract. Balinese society are bound by two village system, they are village
MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id
Lebih terperinciKOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.
KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh
Lebih terperinciPROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN
PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Munculnya reformasi telah menggantikan kedudukan rezim orde baru yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik yang melanda Bangsa Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY
BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY A. Pengertian tentang konsep civil society Konsep civil society memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing tokoh yang memberikan penekanan
Lebih terperinciEKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI
EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan
BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,
Lebih terperinciBab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai
Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih
BAB I PENDAHULUAN Tidak mungkin ada monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi ( Suara Yogya, 26/11/2010). Itulah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai
Lebih terperinciRelevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2
Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1 Tunjung Sulaksono 2 A. Pendahuluan Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek dan dimensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada masa awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciBab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Melalui berbagai serangkaian aktivitas pelacakan data dan kemudian menganalisisnya dari berbagai perspektif, beberapa pernyataan ditawarkan dalam uraian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Peristiwa besar di tahun 1998 telah menciptakan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)
BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup
Lebih terperinciBAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Jika seseorang mendengar kata pura maka asosiasinya adalah pulau Bali dan agama Hindu. Jika seseorang mengaku berasal dari Bali maka asosiasi yang muncul adalah orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatkan peranan publik ataupun pembangunan, dapat dikembangkan melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita yang kompleks namun
Lebih terperinciproses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.
BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Global status report on NCD World Health Organization (WHO) menyatakan penyebab kematian semua umur di dunia 68% karena penyakit tidak menular. Perubahan pola gaya hidup
Lebih terperinciH. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI
H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/kota Angkatan III 2010 di Lembaga Ketahanan Nasional(Lemhannas-RI).
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif
Lebih terperinciPENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI
PENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH., MH ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Adapun kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai
153 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Uraian pembahasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu menjadi landasan penulis untuk mengemukakan beberapa kesimpulan terhadap kajian ini. Adapun kesimpulan-kesimpulan
Lebih terperinciBAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK
BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Sumber Daya Manusia 2.1.1. Pendidikan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan
Lebih terperinciEmbrio Sosiologi Militer di Indonesia
Pengantar Redaksi Embrio Sosiologi Militer di Indonesia GENEALOGI SOSIOLOGI MILITER Kalau diteliti lebih dalam, setiap sosiolog besar pasti pernah berbicara tentang institusi militer, tak terkecuali Marx,
Lebih terperinciPENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1
Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR
Lebih terperinci2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7
DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI...1 BAB 1 PENDAHULUAN...2 1.1 Latar Belakang Masalah...2 1.2 Rumusan Masalah...2 1.3 Tujuan Penulisan...3 BAB 2 PEMBAHASAN...4 2.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Bangsa...4
Lebih terperinciBAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak
53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus
Lebih terperinciSIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) Al Darmono Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah merupakan penyerasian
Lebih terperinciMemahami Akar dan Ragam Teori Konflik
Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah
Lebih terperinciFaktor hirarki inilah yang tidak memungkinkan pengujian materil peraturan desa tidak BAB IV PENUTUP
Faktor hirarki inilah yang tidak memungkinkan pengujian materil peraturan desa tidak dilakukan langsung kepada Undang-Undang Dasar. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana dalam Pasal 69 Undang-Undang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin
Lebih terperinciBAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam
BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi
Lebih terperinciCATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.
CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA. Disampaikan oleh Mendagri dalam Keterangan Pemerintah tentang RUU Desa, bahwa proses penyusunan rancangan Undang-undang tentang Desa telah berusaha mengakomodasi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat
BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus
Lebih terperinci2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa PDI Perjuangan di Kabupaten
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dinamika yang harus dimainkan dalam ranah yang terus berubah tadi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menggunakan logika irisan himpunan, maka desa adalah irisan dari dunia, sebuah negara, dan irisan desa itu sendiri. Artinya, wajah desa sekarang ini adalah
Lebih terperinciPosisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran
Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran Paradigma Memandang Realitas : Sebuah Fondasi Awal Pemahaman semiotika tidak akan mudah terjebak pada urusan-urusan yang teknik metodologi,
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting
Lebih terperinciKonstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut
Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Leif STENBERG Direktur, AKU- Dalam makalah berikut ini, saya akan mengambil perspektif yang sebagiannya dibangun
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di seluruh dunia. Saking derasnya arus wacana mengenai demokrasi, hanya sedikit saja negara yang
Lebih terperinci* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik
Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori
Lebih terperinci2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri,
Lebih terperinciPENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan suatu sarana untuk memilih orang agar dapat mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di
Lebih terperinciBAB VII REFLEKSI MEMBANGUN KESADARAN PEMUDA DARI KESENJANGAN DAN HILANGNYA PERAN DALAM DESA. 1. Membangun Kesadaran Pemuda Menjadi Agen
104 BAB VII REFLEKSI MEMBANGUN KESADARAN PEMUDA DARI KESENJANGAN DAN HILANGNYA PERAN DALAM DESA A. Refleksi Teoritis 1. Membangun Kesadaran Pemuda Menjadi Agen Problem yang dialami pemuda desa Banjar adalah
Lebih terperinciPENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep
Lebih terperinciPEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY
PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation),
Lebih terperinciSumarma, SH R
PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DIBIDANG PERTANAHAN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SEBAGAI WUJUD KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN RINGKASAN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan
Lebih terperinciPERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1
PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME A. Pengantar Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1 Tulisan pada artikel ini akan menyajikan persoalan peran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan serangkain kegiatan analisis data dari temuan di lapangan yang diperoleh melalui tahap observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dapat ditarik beberapa
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH
Lebih terperinciProgram Kekhususan HUKUM TATA NEGARA
SKRIPSI PELAKSANAAN KEWENANGAN BADAN MUSYAWARATAN NAGARI (BAMUS) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NAGARI PADA NAGARI KOTO MALINTANG KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM Program Kekhususan HUKUM TATA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. demikian besar dan luasnya, maka dibutuhkan strategi pemerintahan yang mantap.
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan, dengan luas wilayah mencapai 4,8 juta Km 2 dengan 1,9 juta Km 2 diantaranya merupakan daratan yang terpencar berupa 13.667 pulau dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diakui dan dihormatinya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa di Indonesia merupakan perwujudan penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 63 TAHUN 2012 TENTANG FORUM KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT DI KABUPATEN BADUNG
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 63 TAHUN 2012 TENTANG FORUM KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. Bahwa dalam pelaksanaan
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga
BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan
Lebih terperinciBAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang
Lebih terperinciKOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI
KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi
Lebih terperinciBAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana didalam negara kesatuan dibagi menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa
282 BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa kesimpulan dan saran yang diperlukan. A. Kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda
Lebih terperinciPELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM
PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan
Lebih terperinci