AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
|
|
- Sugiarto Sugiarto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN Pendahuluan Konsep dan Sejarah Awig-awig di Bali Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali, Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, antara lain disebutkan definisi dan pengertian tentang desa pakraman. Pada pasal 1 ayat 4 disebutkan: Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari definisi ini, paling tidak ada tiga hal penting menyangkut pengertian tentang desa pakraman. Pertama, tentang pengertian desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu dalam ikatan kahyangan tiga. Kedua, tentang pengertian desa pakraman memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Ketiga, tentang pengertian desa pakraman berhak mengurus rumahtangganya sendiri. Kalau mengacu pada pengertian nomer tiga tersebut di atas, maka sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus atau mengelola rumahtangganya sendiri, tentu saja harus ada seperangkat aturan atau ketentuan hukum (adat) yang memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana praktik pengelolaan desa pakraman itu harus dilakukan. Perangkat aturan atau ketentuan hukum adat itu, di desa pakraman di Bali, dinamakan awig-awig. Dalam kamus bahasa Bali, kata awig-awig disebutkan berasal dari suku kata wig yang artinya buruk, rusak. Penambahan kata a dalam suku kata wig, sehingga menjadi kata awig, mengubah artinya menjadi sebaliknya, yaitu tidak buruk, tidak rusak. Berangkat dari asalusul perkembangan suku kata seperti ini maka kata awig-awig kemudian mendapatkan arti lebih lengkap yaitu sebagai peraturan
2 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI yang (dampaknya) bisa membuat kebaikan dan kesejahteraan (Anandakusuma, 1986). Sebagai suatu peraturan, awig-awig desa pakraman memang bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Awigawig sudah ada sejak lama, sejalan dengan asal usul keberadaan desa pakraman itu sendiri, yang kalau ditelusuri sejarahnya berawal sejak dari jaman Bali kuno. Salah satu bukti bahwa awig-awig sudah ada sejak jaman dahulu, bisa ditemukan dari naskah awig-awig kuno yang ada di beberapa desa pakraman di Bali. Berdasarkan penelitian dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, misalnya, ditemukan salah satu awigawig yang terbilang kuno, yaitu: Awig-awig Desa Sibetan, di Kabupaten Karangasem, yang berasal dari masa tahun Isaka 1300 atau kira-kira pada tahun 1378 M. Desa Sibetan adalah desa pakraman yang terletak di Kecamatan Sibetan, Kabupaten Karangasem, tidak terlalu jauh jaraknya dari Desa Pakraman Tabola dan merupakan wilayah penghasil buah salak Bali yang terkenal itu. Saat ini, awig-awig desa Sibetan sudah diperbarui kembali melalui proses penyuratan awig-awig. Sehingga Awig-awig Desa Pakraman Sibetan sekarang susunan menjadi lebih sistematis sebagaimana halnya awig-awig desa pakraman lainnya yang sudah disuratkan. Tokoh di balik proses penyuratan Awig-awig Desa Sibetan tidak lain adalah Ida I Dewa Gde Catra, salah seorang tokoh yang juga berhasil menyuratkan awig-awig di Desa Pakraman Tabola. Selain Awig-awig Desa Sibetan, naskah awing-awig lainnya yang terbilang sudah ada sejak jaman dahulu adalah yang ada di Desa Tenganan. Desa Tenganan yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini memang dikatagorikan sebagai desa Bali aga, atau desa Bali kuno. Sebagai desa Bali aga, ternyata sejak awal Desa Tenganan ini sudah memiliki awig-awig, yang sampai saat ini masih terpelihara dan berfungsi di masyarakat. Menurut catatan sejarah, Awig-awig Desa Tenganan bahkan sudah ada dalam bentuk tertulis sejak tahun 1763 Caka (1842 M), yaitu setelah aturan desa yang sudah ada lebih awal atau disebut pengelingeling terbakar. Penulisan kembali pangeling-eling menjadi awig-awig 194
3 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN itu dilakukan oleh juru tulis Kerajaan Karangasem saat itu, bernama I Gede Gurit dan I Made Gianyar. Penulisan itu dilakukan setelah mendapatkan restu ijin dari Raja Karangasem, I Gusti Made Karangasem, dan Raja Klungkung, I Dewa Agung Putra. Sampai sekarang, awig-awig hasil penulisan kembali pangeling-eling Desa Tenganan itu masih tersimpan rapi dan masih berfungsi baik (dalam arti tetap ditaati) di masyarakat Desa Tenganan. 1 Dua contoh tersebut di atas menjelaskan bahwa awig-awig desa pakraman memang bukanlah hal baru. Setiap desa pakraman di Bali, pada umumnya sudah memiliki awig-awig, hanya saja dalam bentuknya lama yang belum tertulis, ataupun kalau sudah tertulis, susunannya (formatnya) belum tersistematisir seperti aturan hukum positif yang dikenal dewasa ini. Awig-awig lama, yang umumnya belum tertulis ini biasanya disebut pangeling-eling, kegaduhan, dresta, atau juga sima (Windia, 2008). Dalam bahasa Bali, pangeling-eling berasal dari suku kata eling yang artinya ingat, atau dalam konteks ini berarti apa-apa yang diingat oleh masyarakat terkait berbagai hal (aturan/ketentuan) yang dilarang ataupun diwajibkan untuk diikuti atau dijalankan oleh desa. Kegaduhan berasal dari suku kata gaduh, yang artinya punya atau kepunyaan (desa), yang dalam konteks ini bermakna aturan atau ketentuan yang menjadi milik desa yang harus diikuti oleh masyarakat (krama). Dresta pada mulanya berarti pandangan, yang kemudian berkembang artinya menjadi pandangan suatu masyarakat tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan tatakrama pergaulan hidup. Sedangkan sima dalam bahasa Bali kurang lebih berarti patok atas batas suatu wilayah tertentu atau wilayah, yang kemudian berkembang artinya menjadi patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat (Andakusuma, 1986 dan Surpha, 2006: 50-51). 1 Wawancara dengan Klian Desa Adat Tenganan, I Wayan Mangku Windya (pak Mangku). Tenganan, Maret Lihat juga: Setiawan, K. Oka. Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegringsingan Bali Pasca UUPA. Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana. Jakarta, Halaman
4 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Pangeling-eling, kegaduhan, dresta atau sima yang dimiliki oleh desa adat/pakraman, yang wujudnya seringkali tidak tertulis ini yang kemudian disuratkan atau dituliskan dalam bentuk suatu peraturan desa pakraman yang disebut awig-awig. Seperti yang disinggung dalam tulisan di atas, bahwa penyuratan awig-awig di desa adat/pakraman di Bali sesungguhnya sudah dilakukan sejak lama. Seperti di Desa Adat Tenganan bahkan dilakukan sejak tahun Tetapi karena penyuratan awig-awig dilakukan dari dan oleh masyarakat desa setempat, maka tentu saja bentuk dan struktur penulisannya berbeda-beda. Sebagai catatan, di masa lalu, penyuratan itu dilakukan di atas media daun lontar dan ditulis dalam huruf Jawa Kuno/Bali Kuno. Hasil penulisan di daun lontar ini biasanya di samping di pura puseh, dan masyarakat desa pada umumnya hanya mengingat-ingat saja isi atau substansi dari naskah daun lontar itu. Dalam konteks ini perlu dikemukakan bahwa seringkali naskah lontar yang di samping di pura puseh itu tidak memuat seluruh ketentuan yang ada. Sebab masih banyak ketentuan yang belum tertulis (di daun lontar), dan tersimpan baik dalam bentuk pengertian dan pemahaman yang ada dalam kesadaran masyarakat desa. Pengertian dan pemahaman itu seperti itu disebut dresta. Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa nilai-nilai dan normanorma itu biasanya belum semuanya dalam bentuk tertulis yang bisa diakses dengan mudah secara obyektif oleh masyarakat luas. Namun demikian tidak berarti hal seperti itu tidak dipahami masyarakat desa. Dalam konteks ini, substansinya lebih banyak dimengerti dan dipahami dalam kesadaran kognitif masyarakat (kesadaran kolektif) desa. Dalam pengertian ini, nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam pengeling-eling, kegaduhan, dresta, atau sima itu, sudah menubuh dalam kesadaran masyarakat, atau kalau memakai konsep Bourdieu, dikatakan sudah menjadi habitus. Tentu saja dia menjadi habitus bukan saja karena proses pewarisan nilai-nilai dan norma-norma dari generasi sebelumnya, tetapi juga karena nilai-nilai dan norma-norma itu di praktikkan secara 196
5 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN langsung dalam kehidupan sosial-budaya dan religi (keagamaan) sehari-hari. Dalam praktik inilah terjadi proses penyesuaianpenyesuaian sesuai konteks ruang dan waktu. Berangkat dari titik ini, maka nilai-nilai dan norma-norma yang dipraktikkan sehari-hari itu pada akhirnya mewujud dan melekat menjadi habitus masyarakat, sebagai individu ataupun kolektif. Sebagai suatu habitus, nilai-nilai dan norma-norma yang juga adalah suatu struktur yang terinternasilisasi dalam kesadaran kognitif (individu maupun kolektif) itu, tentu saja substansinya membatasi pikiran dan pilihan tindakan dari individu dan masyarakat desa pakraman. Membatasi dalam pengertian bahwa pikiran dan pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat itu, mau tidak mau harus menyesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma tersebut; atau kalau yang terjadi sebaliknya, maka pilihan tindakan itu dianggap melanggar, yang tentu saja dalam hal itu menghadapi konsekuensi berupa sanksi-sanksi, sesuai ketentuan yang ada. Meskipun begitu, seperti ditegaskan oleh Bourdieu, habitus itu tidak menentukan (dalam pengertian determine) pikiran dan tindakan tersebut. Seperti disinggung dalam Bab 2, bahwa ketimbang menjadi faktor yang menentukan (determine), habitus, menurut Bourdieu, hanyalah menyarankan (suggest) kepada individu dan masyarakat tentang apa yang harus dipikirkan dan strategi pilihan tindakan yang harus diambil dalam dunia sosial (lingkungan sosial desa pakraman). Oleh karena faktor seperti ini maka di sini nilai-nilai dan norma-norma itu lalu bersifat agak fleksibel, kontekstual, dan menyesuaikan atau mengikuti dimensi ruang dan waktu. Di samping juga bahwa nilai-nilai dan norma-norma itu tetap terbuka terhadap subyek perubahan, khususnya dalam kaitannya ketika harus menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Secara konsepsional, kenyataan ini sejalan dengan konsep lama yang dikenal luas dan dipahami secara dalam oleh masyarakat desa pakraman, tentang pelaksanaan nilai-nilai tradisi yang mengacu pada konsep desa kala patra. Konsep desa kala patra ini, artinya kurang lebih adalah semuanya menyesuaikan diri berdasarkan konteks tempat (desa), waktu (kala), dan situasi (patra). 197
6 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Inilah yang menjelaskan mengapa perilaku masyarakat desa pakraman, tak terkecuali di Desa Tabola, pada umumnya masih tetap patuh mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat dalam substansi pengeling-eling tersebut. Kepatuhan yang kalau ditelusuri bertahan dari genenerasi ke generasi dan dari jaman ke jaman. Meskipun kalau dicermati, ketentuan yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang selalu dipraktikkan sehari-hari tersebut seringkali maknanya sudah tidak bisa dipahami, atau dijelaskan dengan cara yang argumentatif lagi. Mereka mempraktikkannya karena hal itu dianggap sebagai suatu kewajiban yang dikenalnya lewat perwarisan tradisi. Sebagaimana dikemukakan dalam Bab 2, Giddens, menyebut hal seperti ini sebagai suatu practical consciousness, kesadaran praktis; sesuatu yang agak berbeda dengan yang disebut sebagai discursive consciousness atau kesadaran diskursif (Allan, 2006: 263). Sebagai contoh, dalam upacara dan upakara di desa pakraman, seringkali sebagian atau beberapa bagian dari proses upacara dan upakara yang bersangkutan, tidak dipahami lagi substansi maknanya secara utuh. 2 Dalam hal ini mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang mengerti dan memahami secara utuh tentang proses upacara dan upakara itu. Yang lainnya, mayoritas masyarakat desa atau krama desa, hanya mengenal bahwa proses upacara dan upakara itu harus dijalankan karena merupakan suatu kewajiban adat yang memang harus dilakukan, begitu saja dan apa adanya, sama seperti yang sudah dilakukan selama ini. 2 Upakāra dan Upacāra merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang sering disebut dengan Yajña (Yadnya). Yajña berasal dari kata Yaj yang artinya korban suci atau persembahan suci. Korban suci yang dimaksud adalah suatu korban yang dilandasi pengabdian, cinta kasih dengan niat hati yang suci dan tulus ikhlas, dengan tidak mengikatkan diri pada hasil. Sedangkan Upakāra itu sendiri berasal dari kata Upa yang artinya berhubungan dengan, dan Kara yang berarti perbuatan/pekerjaan/tangan. Jadi pengertian Upakāra di sini berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan/tangan, yang pada umumnya berbentuk materi, seperti daun, bunga, buah-buahan, air, dan api, sebagai kelengkapan dari suatu Upacāra. Kemudian Upacāra berasal dari kata Upa yang artinya berhubungan dengan, dan kata Car yang berarti gerak, kemudian mendapat akhiran a, merubah kata kerja menjadi kata sifat yang artinya gerakan. Jadi upacāra adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu Yajña (Yadnya). Sumber: &Itemid=28 198
7 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN Contoh untuk kasus seperti ini, misalnya, upacara Batara Turun Kabeh, suatu upacara besar yang setiap tahun diadakan di Pura Puseh Desa Pakraman Tabola. Upacara ini ditujukan untuk memuja para dewa yang ada di Pura Suci Besakih, yang melakukan perjalanan dari Pura Besakih ke Pura Segara Klotok (di Pantai Klotok, Klungkung); yang dalam perjalanannya kembali ke Pura Besakih, diyakini singgah di Pura Puseh Desa Tabola. Untuk menghormati kesinggahan para dewa yang bersemayam di Pura Besakih itu maka diselenggarakan upacara di Pura Puseh Tabola. Dalam proses upacara itu dilakukan berbagai persembahan seperti sesajen-sesajen, yang hal itu disebut sebagai persyaratan upakara. Para krama Desa Tabola, menjalankan upacara dan upakara begitu saja berdasarkan tatacara yang diwariskan dari orang tuanya atau generasi sebelumnya. Oleh warga desa pakraman, situasi seperti ini sering disebut dengan istilah, mula keto, yang artinya kurang lebih adalah dari semula memang sudah begitu. Di sini para krama desa menerapkan dan menjalankan nilai-nilai dan norma-norma itu serta merta begitu saja, apa adanya karena memang cara demikianlah yang dipelajari melalui tradisi yang diturunkan oleh orang tuanya atau generasi sebelumnya. Realitas seperti ini mendukung sepenuhnya kenyataan bahwa pangeling-eling, sima, dresta, atau dalam istilah yang lebih baru, awig-awig, nilai-nilainya sudah menubuh menjadi habitus dan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat desa sehari-hari. Dengan demikian, walaupun nilai-nilai dan norma-norma itu tidak dalam bentuk tertulis, tetapi tetap bisa berfungsi dan terpelihara karena menjadi acuan dalam berfikir dan bertindak. Namun demikian bukan berarti tidak ada upaya untuk menyuratkan (menuliskan) nilainilai dan norma-norma itu. Seperti sempat disinggung di atas, masyarakat desa pakraman di Tenganan, sejak abad 19 sudah mulai berusaha melakukan penyuratan pangeling-eling mereka. Begitupula dengan Desa Pakraman Tabola, yang berdasarkan dokumen yang ada, sudah berusaha menyuratkan awig-awignya pada tahun 1930-an. Tetapi, seperti dikemukaan oleh Windia (2008), bahwa hasil penulisan awig-awig pada masa lalu itu umumnya memiliki ciri 199
8 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI yang sama, yaitu: sistimatikanya kurang jelas, ketentuan dalam awigawig terkesan seperti notulen rapat, tidak mencantumkan batas wilayah (desa adat) yang jelas dan semua penduduk yang tinggal di suatu desa dianggap sama sebagai krama desa. Untuk konteks jaman sekarang, poin yang terakhir ini menjadi penting, karena sejak Bali menjadi terkenal karena pariwisata maka dengan sendirinya semakin banyak para pendatang dari luar, mulai bermukim di suatu desa adat. Mereka ini tidak hanya dari luar desa di Bali, tetapi juga bahkan dari luar daerah Bali. Lalu pada akhir tahun 1960-an muncul upaya menata penulisan awig-awig dari Pemerintah Provinsi Bali. Misalnya, pada tahun 1969, dalam Seminar Hukum I, tentang Pembinaan Awig-awig Desa Dalam Tertib Masyarakat yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana Bali dan Pemda Provinsi Bali, di samping antara lain bahwa awig-awig yang belum tertulis, dalam waktu singkat supaya diusahakan penulisannya. Kemudian, sambil menunggu penulisan tersebut, awigawig yang tidak tertulis itu dianggap masih mempunyai kekuatan berlaku sebagaimana biasa. Sebagai tindak lanjut dari Seminar Hukum I itu, tahun 1974 dimulailah proyek pembinaan dan penulisan awig-awig yang dilaksanakan oleh Provinsi Bali, bekerjasama dengan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana. Untuk awal pelaksanasan proyek maka dilakukan pesamuan (pertemuan musyawarah) di desa-desa adat Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli dan Tabanan. Selanjutnya tahun dilanjutkan proyek yang sama di Kabupaten Klungkung dan Karangasem (Windia, 2008). Sebelumnya, tahun 1979, dibentuk suatu lembaga yang bertugas melaksanaan pembinaan dan penulisan awig-awig. Lembaga itu bernama Majelis Pembinaan Lembaga Adat (MPLA). Sejak terbentuknya MPLA, maka terus menerus diupayakan untuk disusun suatu pedoman/teknis penyusunan awig-awig dan keputusan desa adat. 200
9 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN Awig-awig di Era Otonomi Daerah Setelah mengalami penyempurnaan, tahun 2002 diterbitkan pedoman/teknis penyusunan awig-awig, yang kurang lebih sistimatika maupun sebagian besar substansi pokok awig-awig tertulis tampak seragam di seluruh Bali (desa pakraman). Kalau ada perbedaan, maka perbedaan itu hanya tampak di perarem-arem (bagian keterangan tambahan/pasal-pasal tambahan yang mengatur sesuatu hal yang bersifat khusus atau lokal). Pedoman ini selanjutnya dibuat dalam bentuk buku acuan bagi masyarakat dalam melakukan penyuratan /penulisan kembali awig-awig. Terkait dengan penulisan awig-awig itu, sebelumnya, pada tahun 1986, Pemerintah Provinsi Bali pernah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daeah Tingkat I Bali. Dengan Perda itu, maka dirumuskan secara lebih jelas kedudukan, fungsi dan peranan desa adat, khususnya dalam konteks kehidupan pemerintahan desa (hubungan desa dinas dan desa adat), dan juga di sini secara lebih jelas dirumuskan kedudukan, fungsi dan peranan awig-awig desa. Sejalan dengan perkembangan jaman (reformasi) dan menyusul dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka keluarlah Perda No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman di Bali. Perda ini dimaksudkan mengganti Perda No. 6 Tahun 1986 yang dinilai perlu diperbarui dengan datangnya era otonomi (desa). Dalam Perda No. 3 Tahun 2001 ini maka soal-soal yang menyangkut kehidupan desa adat (yang dalam Perda ini diberi nama dengan istilah baru yang disebut desa pakraman), termasuk kedudukan, fungsi dan peranan awig-awig desa, diatur kembali sejalan dengan datangnya perkembangan baru dalam kehidupan tata pengelolaan pemerintahan desa. Salah satu ketentuan baru yang menonjol dari Perda No. 3 Tahun 2001 ini adalah pengertian tentang desa adat yang sekarang penyebutannya diganti menjadi desa pakraman, dan juga tentang awig- 201
10 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI awig desa. Bandingkan pengertian desa dalam Perda No. 3 Tahun 2001 yang terdapat pada bagian awal tulisan dengan Perda No. 6 Tahun 1986, yang dalam hal ini disebutkan bahwa yang disebut desa adat adalah: 202 Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Kalau kita lihat dari rumusan yang ada sebagaimana tersebut di atas, pengertian tentang desa ternyata tidak berubah, atau bahkan persis sama. Kalau diperhatikan, yang berbeda hanya penggunaan peristilahan, dari yang tadinya disebutkan sebagai desa adat, kemudian (Perda No 3 tahun 2001) diganti menjadi desa pakraman. Perubahan ini berlatar belakang mengembalikan nama desa sesuai dengan namanya pada masa lalu, yaitu pakraman. Kata pakraman itu sendiri berasal dari karaman yang kemudian berubah menjadi krama yang pada mulanya berarti kumpulan orang-orang tua (orang yang sudah berumah tangga). Dalam perkembangannya krama kemudian diartikan sebagai warga masyararakat (desa). Jadi perubahan itu untuk menegaskan suatu makna tentang adanya benang merah nama desa (adat) sekarang dengan nama desa (adat) di masa lampau. Selain itu, perubahan nama itu juga dikaitkan dengan upaya untuk mengkonstruksikan kembali identitas desa (adat) agar lebih sesuai dengan gambaran sejarah aslinya. Hal ini bisa dikaitkan dengan dengan adanya gagasan untuk mengembalikan identitas desa adat sesuai dengan gambaran desa Hindu di Bali. Ini sejalan dengan definisi dalam Perda No 3 Taun 2001 tentang desa pakraman yaitu sebagai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga. Kata adat untuk istilah desa adat itu sendiri pada dasarnya memang bukan kata asli Bali. Adat adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, yang menurut Van Vollenhoven berarti kebiasaan. Di Bali, kata adat kelihatannya mulai dikenal sejak jaman penjajahan Belanda
11 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN sekitar permulaan abad 20, diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat yang berlangsung turun temurun. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, kata adat dipakai di depan kata desa, telah dikenalkan sejak jaman Belanda untuk membedakan dengan kata dinas dalam desa dinas yang dibentuk oleh Belanda. Kata dinas itu sendiri asal katanya diambil dari bahasa Belanda, dienst, yang kemudian diadopsi menjadi dinas. Jadi dalam konteks perubahan nama dari desa adat menjadi desa pakraman, hal itu merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Lebih dari itu, perubahan nama ini kelak menjadi awal dari berbagai perubahan di desa, karena perubahan nama itu memang pada gilirannya membawa perubahan terkait keberadaan desa itu sendiri, baik dalam hubungannya secara internal (hubungan dalam desa itu sendiri) maupun eksternal (hubungan desa pakraman dengan lembaga lain di luar desa atau bahkan dengan supra desa). Sebab memang yang terjadi bukan hanya soal perubahan kata (kata adat menjadi kata pakraman), tetapi lebih dari itu ada proses memunculkan makna dan pengertian baru tentang desa dalam kesadaran kognisi individu dan kolektif masyarakat desa. Makna dan pengertian baru itu, paling tidak, substansinya sejalan dengan definisi desa pakraman seperti yang tertuang dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 yang isinya sudah disebutkan di atas. Masih terkait Perda No. 3 Tahun Dalam Perda ini, selain soal desa, dicantumkan pula pengertian tentang awig-awig desa pakraman bersama pasal yang menyangkut berbagai ketentuannya, seperti misalnya soal penyuratan atau penulisan, prinsip-prinsip yang mendasarinya, dan lain sebagainya. Soal pengertian awig-awig, dinyatakan bahwa: Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa 203
12 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI pakraman/banjar pakraman masing-masing. 3 Dengan pengertian ini maka jelas bahwa awig-awig pada dasarnya merupakan suatu ketentuan atau aturan yang menjadi acuan atau pedoman bagi krama desa dalam menjalankan praktik kehidupan sosial, budaya dan keagamaan sehari-hari, yang berlandaskan Tri Hita Karana. Sedangkan menyangkut awig-awig itu sendiri, dalam Perda disebutkan antara lain bahwa: pertama, setiap desa pakraman menyuratkan awig-awignya; kedua, awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan hak asasi manusia; ketiga, awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa pakraman; keempat, awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor bupati/walikota masing-masing. Atas dasar Perda inilah maka desa-desa adat di Bali, yang namanya sejak terbitnya Perda itu berubah menjadi desa pakraman, mulai di dorong untuk melakukan penyuratan awig-awig desanya. Ini sejalan dengan salah satu pasal dalam perda tentang desa pakraman, yang menyebutkan bahwa setiap desa pakraman menyuratkan awigawig. Pada waktu yang sama, Pemerintah Daerah Provinsi Bali juga sudah menerbitkan pedoman penyuratan awig-awig, yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi desa pakraman di Bali dalam menyuratkan awig-awig desanya. Maka kemudian desa-desa pakraman di Bali memulai langkah untuk melakukan penyuratan awig-awig; dan di antara yang paling awal merespon Perda itu adalah Desa Pakraman Tabola di Sidemen. Perlu dikemukakan di sini bahwa istilah yang digunakan bukan menyusun awig-awig, tetapi menyuratkan awig-awig. Istilah penyuratan digunakan karena pada umumnya desa-desa adat di Bali sejak semula sudah memiliki awig-awig, meski banyak di antaranya memiliki nama lain seperti disebutkan di atas, yaitu pangeling-eling, gegaduhan, sima atau dresta. Awig-awig yang ada sebelumnya, pada umumnya tidak dalam bentuk tertulis, atau kalau ada yang tertulis, 3 Lihat: Perda Provinsi Bali No 3 Tahun
13 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN susunannya umumnya tidak sistematis, lebih sering seperti notulen rapat desa. Berikut gambaran perbandingan awig-awig lama dengan awig-awig baru yang sudah disuratkan. Tabel 11: Perbandingan Awig-awig Tertulis Zaman Dulu dan Jaman Sekarang No Awig-awig Tertulis Zaman Dulu Zaman Sekarang 1 Sistematika Sistematikanya kurang jelas. Ketentuan dalam awig-awig terkesan seperti notulen rapat. Sistematika lebih baik (tersistematisir) 2 Batas Wilayah Tidak mencantumkan batas wilayah yang jelas. 3 Penduduk Semua penduduk yang tinggal di suatu desa pakraman adalah warga desa. Belum ada ketentuan yang mengatur mengenai krama tamiu (warga tamu/tidak tetap) di desa. 4 Sanksi/Denda Tidak tercantum ketentuan sanksi tersendiri. Mencantumkan batas wilayah, meskipun umumnya masih menggunakan konsep batas alam (tukad, telabah, pangkung), atau wilayah desa pakraman tetangga atau hamparan persawahan atau subak. Penduduk desa telah dikatagorikan menjadi dua: (1) krama desa dan (2) krama tamiu atau warga tidak tetap. Sanksi/denda ada dalam pasalpasal awig-awig. Besar kecilnya sanksi/denda 205
14 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI 5 Penyeragaman Awig-awig dibuat untuk mengatur pelaksanaan kehidupan beragama Hindu dan pelaksanaan adat istiadat di desa pakraman tertentu. Sehingga nuansa desa mawacara sangat kental. Sulit merumuskan awig-awig yang sama untuk beberapa desa pakraman. 206 diatur lebih detil dalam peraremarem. Sistematika dan isi pokok awigawig hampir seragam. Perbedaannya biasanya tampak dalam peraremarem. Ada peluang untuk merumuskan keseragaman awig-awig pada bidang tertentu. Sumber: dikutib dari: Windia, P. Wayan. Awig-awig Desa Pakraman. Sarathi Vol. 15 No. 3 Oktober Halaman 360. Desa adat Tabola sendiri, mulai menyuratkan awig-awig desa, justru beberapa waktu tak lama sebelum keluarnya Perda Provinsi tentang Desa Pakraman. Bahkan boleh dikatakan untuk tingkatan Kabupaten Karangasem, Desa Tabola termasuk pelopor dalam proses penyuratan awig-awig oleh desa pakraman. Di Kecamatan Sidemen, sebelum desa-desa pakraman lainnya memiliki awig-awig tertulis, Desa Tabola sudah melakukan penyuratan awig-awig. Oleh karena itu, ketika desa-desa pakraman di Kecamatan Sidemen - khususnya yang ada di sektiar desa Tabola, seperti Sangkan Gunung, Talibeng, Iseh, dan Ipah - melakukan penyuratan awig-awig sekitar tahun 2003, maka proses penyuratan awig-awig di Desa Tabola dijadikan sebagai acuan. Bahkan untuk itu, nara sumber utamanya juga tokoh dari desa Tabola, yaitu Ida I Dewa Gde Catra dan Cokorda Gde Dangin. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kedua nama tersebut di atas adalah tokoh kunci di balik penyuratan awig-awig Desa Tabola. Lebih dari itu, bahkan sejak mulai dibentuk Menjelis Desa Pakraman (MDP) untuk tingkat Kecamatan (MDP Alit), tingkat Kabupaten (MDP Madya) dan tingkat Provinsi (MDP Agung) pada tahun 2004, Cokorda
15 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN Gde Dangin terpilih menjadi Ketua MDP Alit Kecamatan Sidemen. Seperti diketahui, MDP dibentuk menyusul dihapuskannya Mejelis Pertimbangan Lembaga Adat (MPLA) melalui Perda No. 24/2002 tentang pencabutan SK Gubernur No. 18/1979 soal MPLA. Keberadaan Majelis Desa Pakraman didasarkan pada Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Perda tentang Desa Pakraman tersebut, misalnya, soal Majelis Desa Pakraman diatur antara lain soal jenis dan kedudukan Majelis Desa Pakraman, yaitu MDP Alit ditingkat kecamatan, MDP Madya kabupaten dan MDP Agung ditingkat provinsi (pasal 14). Selain itu juga diatur tentang tatacara pemilihan Ketua dan Anggota dari masing-masing Majelis di tingkat kecamatan, kabupaten dan provinsi. Dalam pasal 15 (Perda No 3 Tahun 2001) diatur antara lain bahwa pembentukan Majelis Desa Pakraman (MDP Alit) di kecamatan dipilih oleh prajuru desa pakraman se-kecamatan melalui paruman alit. Sedangkan MDP Madya dipilih oleh desa pakraman se-kabupaten/kota melalui paruman madya. Sementara MDP Utama/Agung dipilih oleh utusan desa pakraman se-bali melalui paruman agung. Paruman adalah istilah di Bali yang artinya semacam pertemuan musyawarah yang dihadiri oleh wakil-wakil dari seluruh anggota untuk mengambil keputusan tentang sesuatu hal. Tentang peserta dari masing-masing paruman disebutkan antara lain: (1) dalam paruman agung, pesertanya adalah utusan majelis madya desa pakraman; (2) peserta paruman madya adalah utusan dari majelis alit desa pakraman; (3) dan peserta paruman alit adalah utusan dari masing-masing desa pakraman. Dengan struktur peserta paruman seperti ini maka bisa dikatakan bahwa peserta paruman berlangsung secara bertingkat, mulai dari desa pakraman, majelis desa pakraman alit dan majelis desa pakraman madya. Sedangkan dalam paruman akan dipilih beberapa orang pimpinan sementara yang dipilih dari peserta paruman, sebelum terbentuknya pengurus majelis. Adanya institusi Majelis Desa Pakraman (MDP), baik yang ada di tingkat pusat (MDP Utama) maupun di tingkat kecamatan (MDP Alit), tentu saja merupakan sesuatu hal baru karena lembaga seperti ini 207
16 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI sebelumnya tidak ada di desa adat atau pakraman. Proses pembentukan lembaga baru dengan peran dan fungsinya yang baru itu, tak pelak merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai gejala perubahan sosial. Adanya lembaga seperti ini, khususnya yang ada di tingkat kecamatan, memungkinkan desa-desa pakraman pada satu kecamatan yang sama melakukan koordinasi untuk meneguhkan keberadaannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahwa adanya MDP ikut meneguhkan eksistensi desa-desa adat di Bali bisa dilihat dari praktik yang telah dilakukan oleh MDP Sidemen terhadap desa-desa adat yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen. Sebagai contoh, MDP Sidemen, misalnya, ikut memelopori secara aktif dan memfasilitasi desa-desa pakraman di Sidemen (di luar Desa Tabola) untuk melakukan penyuratan awig-awig. Sehingga setelah tahun 2004, beberapa desa pakraman di Sidemen berhasil menyuratkan awig-awignya sendiri, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Desa Pakraman Tabola. Sedangkan kalau mengacu Perda No.3 Tahun 2001, penyuratan awig-awig itu sendiri merupakan amanat yang harus dilaksanakan oleh desa-desa pakraman di Bali. Hadirnya awig-awig yang sudah disuratkan (dituliskan) di desa pakraman menjadikan kedudukan, fungsi dan peranan desa pakraman menjadi lebih jelas, dan karena itu, posisinya dalam konteks keseluruhan kehidupan pemerintahan pada tingkat perdesaan menjadi lebih kuat. Ini tak lain karena bagi desa pakraman, awig-awig merupakan semacam konstitusi tertulis (desa) yang menegaskan kedudukan, fungsi dan peranan desa pakraman bagi warga/kramanya dan juga bagi lingkungan luar desa (desa-desa adat lainnya dan supra desa). Kembali ke soal Majelis Desa Pakraman. Dalam Perda No. 3 Tahun 2001, dirumuskan lingkup tugas Majelis Desa Pakraman, yaitu antara lain: (1) mengayomi adat istiadat; (2) memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah adat; (3) melaksanakan setiap keputusan paruman; (4) membantu penyuratan awig-awig; (5) melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara 208
17 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN menyeluruh. Sedangkan dalam Perda yang sama dinyatakan wewenang Majelis Desa Pakraman, antara lain : (1) memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman; (2) sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; (3) membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten/kota dan di provinsi. Kalau melihat lingkup tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman seperti disebutkan di atas, kelihatan betapa penting kedudukan MDP dalam konteks pengembangan desa pakraman di Bali. Ini terutama terkait tugasnya utamanya membantu menyuratkan awigawig (membuat konstitusi tertulis desa) dan menjadi media untuk memusyawarahkan masalah-masalah adat dan agama. Terkait dengan yang terakhir ini, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cukup banyak konflik di desa adat/pakraman yang sumbernya adalah masalah-masalah adat dan agama. Konflik itu bisa menyangkut perselisihan antar banjar dalam satu desa atau berbeda desa, atau juga antar desa yang berbeda. Dalam hal seperti ini jelas peran MDP menjadi penting. Awig-awig Desa Tabola Proses Penyuratan Awig-awig Sebagaimana disinggung di bagian depan, upaya untuk menyuratkan awig-awig di desa Tabola telah dilakukan sebelum munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 yang mengamanatkan melalui pasal-pasalnya agar setiap desa adat/pakraman di Bali melakukan penyuratan awig-awig. Tetapi upaya yang dilakukan pada waktu itu untuk menyuratkan awig-awig masih belum memberikan hasil, sehingga kemudian dibentuk tim penyuratan awig-awig. Tim tersebut dimotori, terutama oleh dua tokoh Tabola yang 209
18 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI bersahabat sejak muda yaitu: Cokorda Gde Dangin (pak Cokorda) dan Ida I Dewa Gde Catra (pak Catra). Kedua tokoh ini, pada tahun an pernah berduet, masing-masing menjadi Perbekel dan Sekretaris Desa Dinas Sidemen, yang pada waktu itu wilayahnya persis mencakup wilayah desa adat Tabola. Melalui tim ini maka dilakukan upaya-upaya lebih serius untuk menggali bahan-bahan yang bisa digunakan bagi proses penyuratan awig-awig desa. Sebelumnya, Desa Tabola bukan tidak memiliki awig-awig. Sebaliknya awig-awig Desa Tabola sudah ada sejak jaman dahulu kala, dan merupakan warisan adat dan tradisi setempat. Bentuk awig-awig tersebut berupa naskah di atas daun lontar yang ditulis dalam huruf Jawa kuno, dan karenanya sering disebut di Bali sebagai awig-awig kuno. Awig-awig kuno Desa Tabola dalam wujud fisiknya tersimpanh di Pura Desa, dan dianggap sebagai salah satu naskah kuno yang penting dan dihormati isinya. Sebetulnya awig-awig kuno itu sempat diterjemahkan isinya dalam tulisan latin dengan bahasa Bali dan Indonesia oleh Ida I Dewa Gde Catra. Saya yang menyalin awig-awig daun lontar dalam tulisan Jawa Kuno ke tulisan latin dalam bahasa Bali. Kalau tidak salah, saya menyalin itu antara tahun , demikian ungkap Ida I Dewa Gde Catra, dalam salah satu kesempatan wawancara. 4 Awig-awig yang sudah disalin itu, antara lain, menjadi salah satu bahan bagi tim dalam menyuratkan awig-awig Desa Tabola tersebut. Selain awig-awig kuno yang sudah disalin dalam bahasa Bali itu, bahan lainnya yang digunakan sebagai acuan dalam penyuratan awig-awig desa Tabola adalah widisastra atau naskah tulisan yang berisi ajaran tentang Ketuhanan. Kata widisastra itu sendiri berasal dari kata Widi yang berarti Tuhan; dan sastra berarti ajaran. Widisastra ini antara lain bersumber dari ajaran-ajaran Hindu (Bali), yang ada di dalam berbagai bentuk kitab. Dari berbagai bahan sumber yang ada itu, lalu disusun naskah awig-awig desa, yang kemudian naskah itu di samping dalam suatu 4 Wawancara dengan Ida I Dewa Gde Catra, Amlapura, Karangasem, November
19 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN pesamuan adat (pertemuan musyawarah adat) yang dihadiri oleh berbagai perwakilan banjar desa dan tokoh masyarakat adat Tabola untuk dibahas bersama. Jadi Tim penyuratan awig-awig menyusun kembali awig-awig kuno menjadi naskah awig-awig baru yang struktur dan susunannya mengikuti naskah peraturan/perundang-undangan yang digunakan pemerintah. Untuk itu, naskah disusun tidak dalam bentuk narasi biasa seperti dalam awig-awig kuno tetapi distrukturkan dalam bab-bab (dalam bahasa Bali di awig-awig disebut sargah) dan pasal-pasal (yang dalam awig-awig disebut dengan nama palet). Sebagaimana dituturkan oleh Ida I Dewa Gde Catra (pak Catra), seringkali dalam pesamuan terjadi perdebatan di antara mereka yang hadir tentang sesuatu pasal yang akan dicantumkan dalam awigawig. Perdebatan ini terjadi karena adanya perbedaan pengertian tentang sesuatu hal, yang selama ini memang dipahami dan dipraktikan secara berbeda-beda di antara satu kelompok keluarga (juga satu banjar) dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah pesamuhan atau musyawarah untuk memutuskan suatu ketentuan tentang masalah cuntaka yang akan dimasukkan dalam naskah awig-awig baru. Cuntaka kurang lebih artinya sesuatu keadaan dimana seseorang, pria atau perempuan, karena sesuatu hal dianggap tidak bersih, atau dalam bahasa Bali disebut leteh, dan karena itu dilarang melakukan sesuatu tindakan tertentu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ketentuan tentang cuntaka ini sumbernya, antara lain, diambil dari widisastra. Dalam ketentuan tertulis awig-awig baru (bukan awig-awig kuno) desa Tabola disebutkan, misalnya, seseorang yang sedang mengalami cuntaka dilarang masuk ke pura kahyangan, ke penyucian pada waktu dilaksanakan pembuatan sajen (persembahan) suci (nyuci gening); juga ke semua tempat yang dinyatakan dilarang dan disucikan, seperti mandi di pemandian umum di sungai, dan lain sebagainya. Selain itu juga dilarang mengerjakan sajen yang akan dipersembahkan 211
20 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI ke sanggah (padmasana). 5 Sedangan sesuatu hal yang dinyatakan cuntaka, dalam awigawig dijelaskan sebagai berikut: (1) wanita datang bulan (haid); (2) pengantin mempelai pria dan perempuan; (3) ibu bapa cuntaka karena kelahiran anak (istri melahirkan anak); (4) mereka yang menghaki (ngarepin), termasuk yang bertempat tinggal dalam pekarangan tempat kematian itu; (5) mereka yang dapat menjenguk (melayat) mayat, ikut memandikan jenazah, memegang atau memikul segala peralatan jenazah; (6) siapapun yang keluar masuk ke rumah yang menyimpan jenazah, termasuk mereka yang memakan sesajen bekas upacara jenazah; dan lain sebagainya. Tentang masalah cuntaka itu sendiri biasanya memang terdapat pemahaman bersama, tetapi yang sering menjadi sumber perbedaan adalah seberapa lama cuntaka itu diberlakukan kepada seseorang, atau syarat apa yang harus dilakukan untuk membersihkan diri dari keadaan cuntaka. Hal-hal seperti inilah yang mengundang perdebatan sengit dalam pesamuan/musyawarah terkait penyuratan naskah awigawig baru Desa Tabola. Salah satu perdebatan menonjol yang pernah terjadi dalam musyawarah terkait penyusunan naskah awig-awig baru desa Tabola, sebagaimana dicatat oleh Ketua Tim Perumus awig-awig desa Tabola, Ida I Dewa Gde Catra, adalah masalah lamanya cuntaka terkait kematian seseorang. Seperti dituturkan oleh pak Catra, sebelum adanya awig-awig baru, lama seseorang dinyatakan sebagai cuntaka pada umumnya berbeda-beda di antara masing-masing kelompok maupun keluarga yang ada di Tabola. Selain berbeda-beda, umumnya waktu yang ditetapkan bagi seseorang yang dinyatakan cuntaka juga cukup lama, bahkan ada yang mencapai 42 hari. Dengan waktu cuntaka yang umumnya ditetapkan terlalu lama, maka mau tidak mau seseorang tersebut dilarang melakukan berbagai aktivitas di desa dalam selang waktu yang terlalu lama. Keadaan ini 5 Lihat: Ida I Dewa Gde Catra (Penterjemah). Awig-awig Desa Pakraman Tabola (terjemahan dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia). Amlapura, Karangasem Bali, April,
21 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN oleh tim dianggap sudah tidak sesuai perkembangan jaman lagi, karena seseorang umumnya dituntut untuk bisa terus setiap hari melakukan kegiatan sosial-ekonomi. Maka tim penyurat awig-awig mengusulkan agar waktu cuntaka di antara kelompok-kelompok atau keluargakeluarga di Tabola yang masih berbeda-beda itu untuk disamakan saja lama waktunya (diseragamkan), dan dibuat aturan baru yang menetapkan waktu cuntaka yang tidak terlalu lama waktunya. Sebagaimana di samping oleh pak Catra: Tadinya waktu cuntaka berbeda-beda, ada yang 30 hari, dan bahkan ada yang 42 hari. Lalu saya dan tim mengajukan pendapat (dalam musyawarah) kalau orang yang cuntaka tidak boleh masuk pemandian, tidak boleh masuk pasar, tidak boleh masuk pura, tidak boleh bepergian jauh, tidak boleh manjat pohon.siapa sanggup (sekarang)? Kemudian saya sampaikan, hal ini harus dirubah. Lalu setelah melalui perdebatan sengit dicapai kesepakatan boleh dibuat ketentuan baru, yang membolehkan orang mengakhiri masa cuntaka karena kematian hanya 3 hari saja sejak penyelesaian upacara 6 Maka kemudian, sebagaimana diatur dalam awig-awig baru, bahwa sejak 3 hari setelah dilakukan upacara membersihkan rumah, orang yang mendapati keadaan duka karena kematian anggota keluarga di rumah, sudah boleh ke pura lagi, dan juga boleh melakukan berbagai kegiatan sosial ekonomi di desa. Kalau dilihat secara selintas, perubahan waktu lamanya cuntaka itu memang seperti tidak terlalu punya arti. Sebab hal ini seolah-olah hanya menyangkut persoalan lamanya waktu dan bagaimana menjadikan lamanya waktu cuntaka itu bisa seragam untuk berbagai kelompok maupun keluarga besar (dadya) yang ada di Tabola. Namun demikian kalau dicermati, perubahan seperti itu memiliki arti cukup penting, karena cuntaka merupakan satu ketentuan yang ditaati oleh penduduk (krama) Desa Tabola sejak dari waktu yang lama sekali, dan sudah menjadi nilai serta norma yang dipraktikkan dari satu generasi ke generasi. Sehingga soal cuntaka boleh dikatakan merupakan bagian dari 6 Wawancara dengan Ida I Dewa Gde Catra, Amlapura, Karangasem, November
22 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI suatu habitus masyarakat desa, khususnya terkait masalah bagaimana sikap dan tindakan masyarakat desa bila dirinya sedang menghadapi situasi tidak bersih atau leteh karena sesuatu hal yang telah ditentukan oleh ketentuan adat dan/atau agama. Oleh karena itu, soal perubahan waktu cuntaka boleh dikatakan akan (dan sebagian mungkin telah) merubah kesadaran kognitif individu dan masyarakat (kolektif) Tabola, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan praktik dalam melaksanakan ketentuan cuntaka di Tabola. Yang terakhir ini cenderung akan (dan telah) merobah habitus seseorang dan juga masyarakat Tabola, khususnya dalam menyikapi dan menindak lanjuti masalah cuntaka. Gejala sosial seperti ini tak pelak merupakan bagian dari proses perubahan sosial penting. Perubahan terkait masalah cuntaka bagaimapapun bagi masyarakat desa memang menjawab kebutuhan jamannya. Sekarang menjadi hampir tidak masuk akal dan sulit dipraktikkan bila seseorang dikenai cuntaka (terkait kematian) selama 30 hari, apalagi 42 hari seperti yang dipraktikkan dulu. Masa cuntaka 3 hari sebagaimana diatur dalam awig-awig baru, jelas lebih menjawab perkembangan dan tuntutan jaman. Oleh karena tatacara yang berkaitan dengan masalah kematian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat desa pakraman, maka otomatis perubahan dalam soal cuntaka ini juga merupakan aspek yang penting pula dalam kehidupan masyarakat desa, baik dalam ukuran individu, keluarga atau masyarakat (tempek, banjar dan desa). Itulah sebabnya, musyawarah untuk mengubah ketentuan soal cuntaka ini mengundang perdebatan yang sengit, sampai pada akhirnya harus meminta pendapat dari para pedanda (pendeta brahmana, tokoh agama). Pendapat para pedanda (pendeta dari wangsa brahmana) menjadi penting karena soal cuntaka yang berkaitan dengan masalah kematian, menjadi bagian dalam ketentuan agama. Itu sebabnya konsep yang ditawarkan oleh tim penyuratan awig-awig, sebagaimana dikemukakan di depan, berlandaskan pada bahan yang bersumber pada 214
23 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN widisastra. Sebagaimana dikemukakan oleh Ida I Dewa Gde Catra, masalah perbedaan yang muncul dalam musyawarah, memang akhirnya menjadi lebih mudah dikompromikan ketika sudah mendapat pandangan dari para pedanda, yang memang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Contoh kasus yang dikemukan di atas, menggambarkan bagaimana proses penyuratan awig-awig dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan, baik perwakilan dari kelompokkelompok pemaksan pura, kelompok subak, kelompok taruna teruni (muda-mudi desa), keluarga-keluarga besar (dadya), keluarga brahmana (griya), keluarga bangsawan (Puri Sidemen), dan juga perwakilan tempek dan banjar. Jadi meskipun pada mulanya naskah awig-awig disusun oleh suatu tim, pada akhirnya sebelum diputuskan, substansinya dimusyawarahkan dalam pesamuan desa. Cara penyuratan awig-awig seperti ini tentu merupakan sesuatu hal baru. Dan hal seperti ini mesti diakui sebagai suatu bentuk baru perubahan sosial dimana suatu ketentuan yang mengatur kehidupan individu dan kolektif masyarakat desa (semacam konstitusi desa), khususnya yang berkaitan dengan kehidupan adat dan agama, disusun berdasarkan prinsip demokrasi musyawarah. Bagi masyarakat desa, ketentuan yang ada di awig-awig juga dilihat sebagai suatu perjanjian bersama atau semacam kontrak sosial, sehingga isinya harus merupakan suatu persetujuan bersama untuk bisa ditaati dan dipraktikkan. Sebagai suatu perjanjian bersama maka tidak aneh kalau kemudian naskah final awig-awig baru itu perlu dipasopati melalui suatu upacara di Pura Desa, sebelum dinyatakan mulai berlaku. Kata Pasupati awalnya berasal dari nama anak panah sakti milik Arjuna, yang adalah salah seorang satria dari lima satria Pandawa yang dikenal dalam cerita pewayangan di Bali dan di Jawa. Dalam konteks tindakan me-pasupati di pura puseh, artinya menjadi bukan lagi nama benda (anak panah) tetapi berubah menjadi suatu pemberkatan kekuatan suci dari Dewa Syiwa (Sukayana, 2008). 215
24 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka makna dari mempasupati awig-awig lantas berarti suatu proses pemberkatan terhadap naskah awig-awig yang merupakan semacam ketentuan atau konstitusi yang mengatur kehidupan bersama masyarakat desa. Pemberkatan ini dilakukan oleh para pedanda (pendeta brahmana) yang merupakan pemuka (pingajeng) desa agar isi/ketentuan awig-awig bisa ditaati bersama karena seperti kata masyarakat desa setempat bahwa awig-awig disebut sebagai sepat siku-siku atau artinya kurang lebih pedoman dasar di dalam Desa Tabola agar tercapai suatu kehidupan sosial yang harmoni di desa berdasarkan Tri Hita Karana. Dalam konteks ini, situasi demokrasi yang melingkupi kehidupan sosial-politik paska reformasi, tampaknya ikut mempengaruhi proses kehidupan sosial-politik masyarakat; yang dalam hal ini praktik musyawarah dan demokrasi telah menjadi suatu tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Dengan dasar ini, maka boleh dikatakan bahwa selain isi dari awig-awig merupakan sesuatu hal baru yang menjadi bagian dari proses perubahan sosial, proses penyuratannyapun juga merupakan suatu cara baru yang menjadi bagian dari proses perubahan sosial. Sebagaimana akan dikemukakan dalam bagian berikutannya dari tulisan ini bahwa pada masa kemudian, awig-awig baru itu juga dijadikan landasan bagi krama Desa Tabola untuk menyatakan suatu tuntutan baru yang dianggap sejalan dengan perkembangan aspirasi masyarakat. Tuntutan baru itu adalah agar sumberdaya alam yang ada di desa (dan yang sejak dahulu kala dianggap milik desa, dan yang juga telah diatur oleh awig-awig baru) dikembalikan pengelolaannya pada masyarakat, dari yang sebelumnya dikelola oleh pihak-pihak luar desa. Sebagaimana yang akan dibahas lebih rinci dalam Bab 6 dan 7, tuntutan baru itu telah mendorong munculnya dinamika baru dalam bentuk proses pelengseran pengurus desa adat/pakraman, karena dianggap oleh sebagian masyarakat desa tidak lagi aspiratif terhadap kepentingan masyarakat/krama desa. Yang menarik untuk dicermati, munculnya tuntutan dan dinamika baru itu justru didorong oleh timbulnya suatu kesadaran baru 216
25 BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN yang prosesnya berkembang berbarengan dengan proses penyuratan awig-awig (yang melewati suatu proses musyawarah demokrasi ). Juga kemudian terjadi proses internalisasi substansi awig-awig baru, yang ujungnya telah mendorong tumbuhnya kesadaran tentang hak masyarakat desa untuk mengawal kepentingannya secara kolektif. Sebagai hasil dari timbulnya kesadaran baru itu, misalnya, masyarakat Desa Tabola menjadi semakin kritis akan hak-haknya, termasuk hak kolektifnya sebagai krama desa untuk mendapatkan pelayanan yang memadai atas sumberdaya alam milik desa (air bersih). Seperti akan dijelaskan dalam Bab 7, tumbuhnya kesadaran baru itu pada akhirnya menjadi sumber pemicu dari perubahan kepemimpinan di Desa Pakraman Tabola. Selain itu, masyarakat ternyata juga semakin kritis dengan terus mencermati kembali isi awig-awig, apakah pelaksanaannya telah sesuai dan sejalan dengan perkembangan realitas. Di sini ada semacam refleksi atas praktik/tindakan terkait isi ketentuan yang ada dalam awig-awig baru, yang hasilnya adalah dorongan untuk bisa mengkoreksi atau menyesuaikan kembali isi awig-awig di kemudian hari. Contoh untuk hal yang terakhir ini adalah keinginan masyarakat (melalui pengurus desa pakraman) untuk mengkoreksi salah satu di antara pasal-pasal dalam awig-awig yang substansinya dianggap tidak demokratis. Pasal itu khususnya menyangkut institusi pingajeng desa (akan dibahas dalam Bab 7). Kalau mengacu pada konsep Bourdieu, munculnya kesadaran baru dalam kognitif individu dan masyarakat terkait adanya awig-awig sebagaimana disebutkan di atas, adalah hasil dari apa yang disebut sebagai product of the internalization of structures of the social world. Dalam konteks ini, awig-awig baru Desa Tabola bagi masyarakat Desa Tabola adalah bagian dari apa yang disebut sebagai the structures of social world itu. Dalam hal ini, struktur dunia sosial, dalam bentuk nilai-nilai dan norma-norma yang tertuang dalam awigawig itu mengalami internalisasi dalam kesadaran krama desa. Dalam perkembangannya kemudian, proses internalisasi dunia sosial itu terus menubuh dan menjadi apa yang dikatakan sebagai 217
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI PAPUA
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN MAJELIS RAKYAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR PROVINSI PAPUA,
Lebih terperinciKOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI
KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa memperhatikan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.
Lebih terperinciBAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Dualisme Desa di Tabola: Pakraman dan Dinas Hegemoni Desa Dinas Desa yang ada di Bali ini, termasuk di Sidemen, mestinya dijadikan satu saja, dengan menggabungkan
Lebih terperinciPENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014
PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
Lebih terperinciBADAN PERMUSYAWARATAN DESA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI,
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam
Lebih terperinciEKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI
EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA, SUMBER PENDAPATAN DESA, KERJA SAMA DESA, LEMBAGA ADAT, LEMBAGA KEMASAYARATAN DAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG N0M0R 13 TAHUN 2005 SERI D ==================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga Adat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 10 2006 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WATA ALA,
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa kerjasama
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT GUBERNUR BALI,
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 11 SERI E
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 11 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,
Lebih terperinciBAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Pendahuluan Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG
PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat
Lebih terperinciSINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI
SINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI Penyunting: Puteri Hikmawati, S.H., M.H. Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA DESA MENTERI DALAM NEGERI,
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 82 sampai dengan Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 85 Peraturan Pemerintah
Lebih terperinci- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG
- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN KELURAHAN SERTA PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah
Lebih terperinciPROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa negara mengakui dan
Lebih terperinciPENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI
PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DI BIDANG PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN, Menimbang Mengingat : : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUOL NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BUOL, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 729 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASIR Mengingat
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 01 TAHUN 2008 T E N T A N G BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 01 TAHUN 2008 T E N T A N G BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 209 dan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DESA DAN KERJASAMA DESA DENGAN PIHAK KETIGA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DESA DAN KERJASAMA DESA DENGAN PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang : a.
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI PAPUA
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Bali sebelum adanya LPD telah banyak terbentuk kelompok sekeha-sekeha yang intinya
Lebih terperinciP E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I
S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEDIRI,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN WAROPEN
PEMERINTAH KABUPATEN WAROPEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAROPEN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG BADAN MUSYAWARAH KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KABUPATEN WAROPEN, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAMBI
PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT MELAYU JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa adat istiadat, nilai-nilai budaya, kebiasaan-kebiasaan
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan
Lebih terperinciBUPATI KEPULAUAN MERANTI
[[ BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 13 TAHUN 20112011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : BUPATI KEPULAUAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MALANG
1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULANG BAWANG BARAT Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 22 Tahun 2006 Serie : E Nomor : 15 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 22 Tahun 2006 Serie : E Nomor : 15 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan prinsip Negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS, Menimbang : a. bahwa untuk terselenggaranya urusan pemerintahan,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 3 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI,
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH
PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SUNGAI PENUH, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KERJASAMA DESA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PACITAN Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciKEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA http://nasional.inilah.com I. PENDAHULUAN Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia bagian timur
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MALANG
1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai
Lebih terperinciNi Made, Purnama Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(1):
Resensi Buku ISSN: 0852-8489 e- ISSN: 2460-8165 Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini Penulis: Ni Made Purnama Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Juli 2016; Disetujui:
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI PAPUA
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LAHAT
PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang: a. bahwa Badan Permusyaratan Desa merupakan perwujudan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO
p PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI M0JOKERTO Menimbang : bahwa dengan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 7 TAHUN 2006
[2006] PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 7 TAHUN 2006 Badan Permusyawaratan Desa Pemerintah Kabupaten Bima Bagian Hukum Setda. Bima PEMERINTAH KABUPATEN BIMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 7
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang
Lebih terperinciBAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI
BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI 2.1. Sejarah Pemerintahan Desa Adat di Bali Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu deça, seperti Dusun, Desi, Negara, Negeri, Nagaro,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2001 T E N T A N G TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2001 T E N T A N G TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa dengan
Lebih terperinci- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
- 1 - SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I S I A K Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan
Lebih terperinciBUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,
BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk memenuhi maksud pada Pasal 42 ayat
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2006 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG
PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciP E R A T U R A N D A E R A H
P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinci