BAB II KAJIAN PUSTAKA. istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini serta teori-teori dan penjelasanpenjelasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini serta teori-teori dan penjelasanpenjelasan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian kajian pustaka ini, akan disajikan pengertian umum tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini serta teori-teori dan penjelasanpenjelasan yang mendasarinya dengan segala kekuatan dan kelemahannya dan bagaimana teori-teori tersebut diimplementasikan serta penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini. Teori-teori dan penjelasanpenjelasan serta implementasinya, yang mempunyai kekuatan akan dijadikan landasan dalam pengumpulan dan analisis data, sedangkan yang mempunyai kelemahan akan dijadikan bahan perbandingan. 2.1 Pengertian Istilah/Penjelasan dan Kerangka Teori Pengertian Istilah/Penjelasan Korespondensi Bunyi Langacker (1972: ) mengatakan bahwa alat metode komparatif adalah korespondensi bunyi sistematis dalam bahasa-bahasa berkerabat. Dia mengatakan perbedaan-perbedaan bentuk fonetis dalam perangkat korespondensi bersifat sistematis. Bunyi-bunyi yang berkorespondensi tidak harus sama tetapi muncul secara teratur pada posisi yang sama dalam kata-kata yang mirip baik dari segi bentuk maupun arti. Dalam penjelasan tersebut, dia tidak menggunakan istilah perangkat korespondensi fonemis, tetapi menggunakan istilah korespondensi bunyi yang datanya adalah data fonetis.

2 Crowley (1992:93) mengatakan bahwa korespondensi bunyi adalah perangkat bunyi dalam kata-kata berkerabat yang dipantulkan oleh satu protobahasa. Crowley (1992:106) menjelaskan bahwa perangkat korespondensi bunyi melibatkan bunyi-bunyi yang mirip secara fonetis. Seperti Langacker, dia tidak menggunakan istilah perangkat korespondensi fonetis atau perangkat korespondensi fonemis, melainkan menggunakan istilah perangkat korespondensi bunyi (sound correspondence), korespondensi vokal (vowel correspondence), dan korespondensi konsonan (consonant correspondence). Namun, dia mengatakan,.here we are trying to analyse the phonemes of the proto-language by using the sound correspondences as the phonetic raw data. Penjelasan tersebut berarti bahwa untuk menganalisis proto-bahasa digunakan korespondensi bunyi sebagai data mentah fonetis. Artinya, data yang digunakan dalam perangkat korespondensi bunyi adalah data fonetis alih-alih data fonemis. Itulah sebabnya mengapa dalam langkah-langkah melakukan rekonstruksi, tidak disebutkan langkah mengubah data fonetis menjadi data fonemis. Crowley (1992:75-89) menggunakan data fonemis untuk menganalisis apakah perubahan proto-fonem berwujud perubahan fonetis yang mengakibatkan perubahan fonemis atau tidak. Menurut dia, perubahan fonetis tanpa perubahan fonemik berwujud alofon atau subfonem sedangkan perubahan fonetis dengan perubahan fonemis berwujud menghilangnnya fonem, pertambahan fonem, dan refonemisasi (perubahan satu fonem dengan fonem lain).

3 Sementara itu, Hock (1988:562) memakai istilah korespondensi bunyi secara rekuren dan sistematis, alih-alih perangkat korespondensi fonemis. Dalam penjelasannya, dia menggunakan data fonetis. Untuk maksud yang sama, korespondensi bunyi, Keraf (1991:49) mengganti istilah korespondensi bunyi dengan istilah korespondensi fonemis atas alasan bahwa hukum bunyi mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat. Dia tidak menjelaskan apakah perangkat korespondensi bunyi berwujud fonetis atau fonemis. Namun, dia menggunakan data fonetis dalam penjelasannya. Hal itu dapat dilihat dari fakta bahwa dia tidak mereduksi data fonetis menjadi data fonemis sebelum melakukan rekonstruksi. Artinya, penggunaan perangkat korespondensi fonemis hanya sebatas penggunaan istilah dan tidak bermaksud bahwa data korespondensi bunyi haruslah data fonemis. Jika tidak hati-hati, seorang peneliti akan tersesat setelah membaca istilah perangkat korespondensi fonemis. Ia akan menggunakan data fonemis dalam korespondensi bunyi. Atas dasar itu, peneliti akan menggunakan perangkat korespondensi bunyi seperti yang digunakan Langacker (1972: ) dan Crowley (1992:93). Keraf (1991:49) memberikan penjelasan yang lebih jauh tentang korespondensi fonemis. Dikatakannya, korespondensi fonemis adalah fonemfonem yang terdapat pada posisi yang sama dalam pasangan kata yang mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna. Korespondensi fonemis dapat dilihat pada sepuluh bilangan utama dalam bahasa Indo-Eropa.

4 Glos Yunani Latin Sanskerta Gotik satu oinos u nus e kas ains dua dy o duo dv a twai tiga treis tres tra vas threis empat te ttaras quattuor c atva ras fidwor lima pente qui nque pan ca fimf enam he ks sex sas sa ih tujuh he pta septem sa pta sibun delapan okto octo asta ahtau sembilan en-nea novem na va niun sepuluh de ka decem da sa ta ihum Data di atas menunjukkan perangkat korespondensi, yakni d-d-d-t yang terdapat pada glos dua dan sepuluh. Perangkat korespondensi lain adalah h-s-ss, yaitu perangkat fonem konsonan awal pada glos enam dan tujuh. Perangkat korespondensi ketiga adalah e-e-a -i, yang merupakan perangkat korespondensi vokal pertama pada glos sepuluh dan tujuh. Menurut Keraf, perangkat korespondensi pada satu pasang kata tidak cukup dan masih merupakan indikasi adanya perangkat korespondensi tersebut. Sehubungan dengan itu, perangkat tersebut harus diuji pada sebanyak mungkin pasangan kata pada bahasa-bahasa yang dibandingkan. Hal itu penting untuk menghindarkan faktor kebetulan atau penghilangan korespondensi yang seharusnya ada dan pemaksaan perangkat yang tidak berkorespondensi menjadi perangkat berkorespondensi. Keterdapatan secara berulang dan teratur perangkat korespondensi disebut rekurensi fonemis (phonemic recurrance).

5 Rekurensi fonemis dapat dilihat pada contoh berikut: Glos b.inggris b.jerman b.belanda b.denmark b.swedia orang m n man man man man tangan h nd hant hant h n hand kaki fut fu:s vu:t fo: fo:t jari fi g fi er vi er fe er fi er rumah haws haws h s hu: s hu:s m.dingin wint vinter winter ven d r vinter m.panas s m zomer zo:mer s m s mar minum dri k tri ken dri ke dreg drika bawa bri bri en bre e bre bri a hidup livd le:pte le:vde le:v le:vde Untuk glos rumah pada data di atas, terdapat perangkat korespondensi h h h h h aw aw u u s s s s s Dari ketiga perangkat korespondensi tersebut, perangkat korespondensi aw:aw: :u:u mengalami rekurensi seperti terlihat pada data berikut: Glos b.inggris b.jerman b.belanda b.denmark b.swedia tikus maws maws m s mu: s mu:s kutu laws laws l s lu: s lu:s keluar awt awt t u: d u:t

6 coklat brawn brawn br n bru: n bru:n Dalam bahasa-bahasa Austronesia, Keraf (1991: 51) memberikan contoh: kata hidung dalam bahasa Melayu: hidung, Batak: igung, dan Sunda: irung. Dari data tersebut dapat ditarik perangkat korenspondensi yang diperkirakan akan mengalami rekurensi fonemis, yakni d-g-r yang terlihat dalam: h i d u i g u i r u Pada data yang mencukupi, d-g-r diperkirakan akan terjadi berulang dan teratur (rekuren). Untuk menghindarkan dikeluarkannya fonem tertentu dari perangkat korespondensi karena kelihatan sangat berbeda dari fonem-fonem lainnya (seperti dijelaskan sebelumnya), Keraf mengatakan bahwa ko-okurensi (co-occurance) harus dicermati. Ko-okurensi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-kata berkerabat yang dapat mengaburkan kemiripan makna dan bentuk serta korespondensi fonetis. Menurut Keraf (1991:55), kata baru dalam bahasa Melayu adalah baru, bahasa Jawa: weru, bahasa Karo: mbaru, dan bahasa Lamalera: fu. Karena kata fu identik dengan fu busur, ada kecenderungan peneliti untuk mengeluarkan kata tersebut dari pasangan kata berkerabat sehingga fonem /f/ tidak dimasukkan dalam perangkat korespondensi b:w:b:f. Namun, karena gejala yang sama terdapat dalam bahasa itu dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya, /f/ dalam kata fu baru tetap merupakan anggota perangkat korespondensi tadi atas dasar, fu berkerabat dengan kata baru. Kata fu telah mengalami kontraksi dari bentuk baruwaru-weru(n)-wehu-weu-fu. Mula-mula fonem /r/ menjadi /h/ yang kemudian

7 hilang dari bentuk tersebut. Kedua vokal yang mengapit /h/ mengalami proses sandi dan berubah menjadi /u/. Gejala hilangnya /r/ antarvokal (intervocalic r) merupakan hal yang umum terjadi dalam bahasa-bahasa Nusantara. Misalnya, kata turut, dalam bahasa Melayu adalah turut dan tut dalam bahasa Jawa. Contoh lain, kata beras dalam bahasa Jawa mengalami proses perubahan sebagai berikut: berat-behat-beat-bot; beras-behas-beas-wos atau beras-weras-wehas-weas-wos. Keraf juga menjelaskan, penentuan perangkat korespondensi harus terlepas dari analogi, yakni menjadikan ko-okurensi dalam bahasa-bahasa berkerabat sebagai dasar untuk memasukkan fonem-fonem dari dari bahasabahasa lain dalam perangkat korespondensi fonemis. Misalnya, kata pikir yang berasal dari bahasa Arab, fikir dirasakan sudah merupakan kata bahasa Melayu. Atas dasar itu, kemungkinan peneliti akan menjadikan f-p sebagai perangkat korespondensi fonemis dalam bahasa-bahasa berkerabat Nusantara. Penentuan perangkat korespondensi seperti ini didasarkan pada analogi yang salah Metode Komparatif Menurut Langacker (1972:329), metode komparatif (comparative method) adalah teknik untuk menentukan keberhubungan secara genetis sekelompok bahasa dan untuk merekonstruksi proto-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa tersebut. Sementara itu, Hock (1988:556) mengatakan bahwa metode komparatif adalah metode untuk menemukan kemiripan bentuk-bentuk bahasa-bahasa

8 berkerabat yang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena adanya asumsi bahwa bahasa-bahasa tersebut diturunkan oleh proto-bahasa yang sama Pasangan Kata Berkerabat Langacker (1972:331) mengatakan bahwa satuan-satuan leksikal dalam bahasa-bahasa berkerabat dikatakan kognat apabila diturunkan oleh unsur leksikal yang sama dalam proto-bahasa. Misalnya, pater dalam bahasa Latin, pate r dalam bahasa Junani, pita dalam bahasa Sansakerta, dan father dalam bahasa Inggris adalah kognat karena dapat ditelusuri perkembangannya dari satu bentuk proto-indo Eropa. Dia menambahkan bahwa kata-kata kognat berhubungan satu sama lainnya dalam bentuk korespondensi bunyi yang menunjukkan perkembangan bentuk proto-bahasa dalam evolusi historis bahasa-bahasa yang diturunkannya. Menurut Crowley (1992:90), perangkat bunyi dikatakan berkerabat apabila direfleksikan satu proto-bahasa dan didistribusikan dalam kata-kata yang mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti. Gudschinsky (1956:132), menggunakan istilah pasangan berkerabat (cognate sets) untuk perangkat korespondensi bunyi. Dia memerinci prosedur yang harus diikuti untuk membandingkan kata-kata dan menetapkan kriteriakriteria dalam menentukan apakah pasangan-pasangan kata yang dibandingkan berkerabat atau tidak. Menurutnya, dalam perbandingan, yang dibandingkan adalah fonem dengan fonem, fonem dengan klaster fonem atau klaster fonem dengan klaster fonem. Perbandingan hanya dapat dilakukan antara fonem dengan fonem atau antara fonem dengan klaster fonem dalam posisi yang dapat

9 dibandingkan (comparable sets). Prosedur perbandingan tersebut telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Selanjutnya, Gudschinsky (1956:132) menjelaskan bahwa setelah diketahui pasangan fonem-fonem atau pasangan fonem-klaster fonem yang dapat dibandingkan, kriteria penentuan pasangan-pasangan yang berkerabat adalah sebagai berikut: 1. Pasangan-pasangan itu identik (misalnya [a]:[a], [c]:[c]). Pasanganpasangan yang dibandingkan mirip secara fonetis ([p]:[b], [t]:[d], dan lainlain). Pasangan-pasangan itu berbeda akibat lingkungan (conditioning factors). Misalnya, [i]: [a] dalam ciki (dialek Huatla, Meksiko) dan caki (dialek Mazatec, Meksiko) 'kayu bakar' dianggap berkerabat karena perbedaan pengucapan [c] merupakan penyebab berubahnya [i] menjadi [a] atau sebaliknya. 2. Pasangan-pasangan itu muncul berulang dalam pasangan-pasangan kata lainnya pada posisi yang dapat dibandingkan. Misalnya, [š] dalam dialek Ixcatec berkerabat dengan [1] dalam dialek Mazatec karena pasangan [š]:[1] muncul pada kata-kata lain yang dibandingkan yakni [šwi] : [p1] api dan pada [šu]:[lao]. Dua buah kata yang dibandingkan hanya dapat dikatakan berkerabat apabila paling sedikit tiga pasangan fonem dengan fonem, fonem dengan klaster fonem atau klaster fonem dengan klaster fonem berkerabat. Jika dalam kata-kata yang dibandingkan terdapat kurang dari tiga fonem yang berkerabat, maka kata-kata tersebut tidak berkerabat.

10 Penjelasan Langacker, Crowley, Gudschinsky, dan Keraf di atas saling melengkapi sehingga rekonstruksi proto dan pengelompokan bbb dapat dilakukan dengan lebih akurat Rekonstruksi Proto-bahasa Menurut Kridalaksana (1983:144), rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama atau dengan menentukan perubahanperubahan yang dialami sebuah bahasa sepanjang sejarahnya. Kridalaksana juga menyebutkan, proto-bahasa adalah awalan yang bermakna purba dan dipakai dalam istilah, seperti proto-indo-eropa, proto-germania, dan sebagainya. Karena proto adalah awalan, dalam penelitian ini, akan digunakan istilah proto-bahasa (proto-bbb) alih-alih bahasa proto. Menurut Crowley (1992:104) rekonstruksi adalah perkiraan tentang kemungkinan bentuk proto-bahasa dengan menelesuri perubahan-perubahan yang terjadi di antara proto-bahasa dengan bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannnya (sister languages). Meskipun Crowley tidak mendefinisikan secara eksplisit istilah proto, tetapi kedua definisi tersebut sama-sama menyatakan bahwa rekonstruksi protobahasa adalah penelusuran perubahan-perubahan bentuk yang terjadi dalam sejarah perkembangan proto-bahasa dan bahasa atau bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Untuk menyatakan maksud yang sama, Mbete (2009:31) mengatakan, rekonstruksi adalah peracikan atau perancangbangunan kembali sistem bahasa purba berdasarkan data dan fakta kebahasaan yang berpijak pada bahasa-bahasa kerabat.

11 Walaupun Kridalaksana dan Mbete menggunakan istilah moyang dan purba, dalam penelitian ini, kedua istilah itu tidak digunakan dan menggantikannya dengan istilah proto. Ada beberapa alasan peneliti menggunakan istilah proto. Pertama, istilah proto sudah merupakan istilah bahasa Indonesia dan digunakan dalam kamus umum dan kamus linguistik, termasuk Kamus Linguistik karya Kridalaksana (1983). Kedua, istilah-istilah ilmu pengetahuan, termasuk linguistik perlu diarahkan ke keseragaman untuk memudahkan pemahaman masyarakat internasional (misalnya, kata kerja dipadankan dengan verba, kata benda dipadankan dengan nomina, dan kata sifat dipadankan dengan ajektiva). Ketiga, istilah proto-bahasa telah digunakan secara luas oleh peneliti-peneliti linguistik historis komparatif di Indonesia. Crowley (1992:91) mengatakan bahwa bentuk-bentuk proto-bahasa dapat direkonstruksi dari refleksi-refleksi yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang berkerabat dengan menggunakan metode komparatif untuk mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi di antara proto-bahasa dengan bahasabahasa yang diturunkannya. Untuk mengetahui perubahan-perubahan tersebut, dilakukan perbandingan atas refleksi-refleksi bentuk pada bahasa-bahasa berkerabat yang diperkirakan berasal dari atau dipantulkan oleh satu proto-bahasa. Crowley (1992:96) selanjutnya menjelaskan, untuk melakukan rekonstruksi bentuk-bentuk proto-bahasa, dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: Langkah pertama adalah memisahkan kata atau kata-kata yang berkerabat dari kata-kata yang tidak berkerabat. Misalnya, tafuafi membuat api harus dikeluarkan dari data:

12 b.tonga b. Samoa b. Rarotong b. Hawai Glos tafuafi si a ika hi a membuat api Langkah kedua adalah menentukan korespondensi bunyi pada bahasabahasa yang berkerabat seperti pada glos dilarang pada data berikut: b.tonga t a p u b.samoa t a p u b.rarotong t a p u b.hawai k a p u Perangkat korespondensi dalam data tersebut adalah t-t-t-k, a-a-aa, p-p-p-p, dan u-u-u-u. Langkah ketiga adalah memeriksa perangkat bunyi berkorespondensi yang mempunyai perbedaan untuk menentukan proto-fonemnya seperti pada data berikut. b.tonga b.samoa b.rarotong b.hawai t t t k n Perbedaan perangkat bunyi pada data pertama adalah t-k dan pada data kedua adalah -n. Ada kemungkinan, /*t/ atau /*k/ adalah proto dari t dan k serta /* / atau /*n/ adalah proto dari /* / atau /*n/. Namun karena /t/ dan / / mempunyai distribusi paling luas atau rekurensi paling luas pada data yang ada, maka /*t/ dan /* / adalah fonem-fonem proto dalam keempat bahasa tersebut. Langkah ketiga tersebut sering tidak dapat diaplikasikan jika tidak ada fonem yang mempunyai distribusi paling luas dalam suatu perangkat korespondensi seperti dalam contoh berikut: b.tonga b.samoa b.rarotong b.hawai k k

13 Pada data itu /k/ dan / / mempunyai distribusi yang sama. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diingat bahwa perubahan bunyi harus berlangsung secara alamiah atau wajar. Proto-fonem /k/ dan / / yang lebih alamiah atau wajar adalah /*k/, alih-alih / / karena perubahan /k/ menjadi / / (/k/ / /) merupakan perubahan yang sangat umum terjadi melalui proses pelemahan atau lenisi. Perubahan / / menjadi /k/ (/ / /k/) sangat jarang terjadi.(meskipun mungkin) melalui proses penguatan (fortisi). Bahwa /*k/ merupakan proto-fonem /k/ dan / / dapat dikuatkan dengan proto-fonem Polinesia berikut: Bilabial Alveolar Velar Hambat *p *t Nasal *m *n * Karena sistem fonologis bahasa selalu seimbang, kekosongan velar hambat /k/, alih-alih / / untuk mengimbangi velar nasal harus diisi. Itulah sebabnya mengapa /*k/ ditetapkan sebagai proto-fonem, sehingga bagan di atas menjadi sebagai berikut: Bilabial Alveolar Velar Hambat *p *t *k Nasal *m *n * Untuk melakukan rekonstruksi, perlu diingat ketentuan-ketentuan berikut: Setiap rekonstruksi harus mengandung perubahan bunyi yang umum terjadi atau logis (lihat jenis-jenis perubahan bunyi pada bagian berikut kajian teori ini).

14 Setiap rekonstruksi harus mengandung sesedikit mungkin perubahan bunyi dari proto-bahasa ke bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Setiap rekonstruksi harus menutup kekosongan sistem fonologis berimbang, alih-alih menciptakan sistem fonologi yang tidak berimbang atau logis. Contoh sistem fonologis berimbang, jika sebuah bahasa mempunyai dua vokal bulat belakang (misalnya, /u/ dan /o/, diprediksi bahwa bahasa itu mempunyai dua vokal tidak bulat depan (misalnya, /i/ dan /e/). Depan Belakang Tinggi i u Sedang e o Rendah a Contoh sistem fonologis yang tidak berimbang, sebuah bahasa mempunyai vokal depan tinggi /i/ dan vokal depan sedang /e/ tetapi tidak mempunyai vokal tinggi belakang. Depan Belakang Tinggi i - Sedang e o Rendah a Sebuah proto-fonem tidak perlu direkonstruksi jika data yang cukup tidak tersedia dalam bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Untuk menyimpulkan penjelasan di atas, Crowley (1992:110) memberikan petunjuk tentang metode rekonstruksi sebagai berikut: 1. memilah bentuk-bentuk yang nampak berkerabat dan mengabaikan bentuk-bentuk yang tidak berkerabat; 2. melakukan inventarisasi lengkap perangkat korespondensi dalam bahasabahasa yang dibandingkan (termasuk bunyi-bunyi yang identik; perlu

15 diperhatikan korespondensi di mana suatu bunyi berkorespondensi dengan ); 3. mengelompokkan perangkat-perangkat korespondensi yang mempunyai pantulan-pantulan yang mirip secara fonetis; 4. menemukan bukti adanya distribusi komplementer atau kontrastif antara bunyi-bunyi yang dicurigai sebagai perangkat korespondensi; 5. menganggap sebagai fonem lain setiap perangkat korespondensi yang tidak mempunyai distribusi komplementer dengan perangkat korespondensi lain; 6. melakukan perkiraan atas bentuk proto-fonem dengan menggunakan kriteria berikut: a. Fonem proto yang dipilih harus logis. Artinya, perubahan-perubahan bunyi tersebut menjadi bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa yang diturunkannya harus dapat dijelaskan dalam konteks perubahanperubahan bunyi bahasa yang secara umum terjadi dalam bahasabahasa yang ada di dunia. b. Bunyi yang mempunyai distribusi paling luas dalam bahasa-bahasa berkerabat paling mungkin sebagai proto-fonem. c. Sebuah bunyi yang berkorespondensi dengan kekosongan bunyi ( ) pada daftar fonem rekonstruksi juga mungkin merupakan proto-fonem salah satu dari perangkat-perangkat korespondensi. d. Sebuah bunyi yang tidak ada dalam bahasa-bahasa berkerabat tidak perlu direkonstruksi jika tidak ada alasan yang cuku p untuk melakukannya.

16 7. Menganggap setiap perangkat korespondensi yang mempunyai distribusi komplementer mempunyai satu proto-fonem dengan menggunakan kriteria nomor 6 untuk merekonstruksi bentuknya. Mengenai rekonstruksi proto-fonem, Langacker (1972:334) menjelaskan bahwa apabila proto-fonem ditunjukkan oleh refleks yang sama dalam semua bahasa berkerabat, maka proto-segmen yang mewakili perangkat korespondensi dalam bahasa-bahasa tersebut adalah sama. Dia juga mengatakan bahwa jika sebuah proto-segmen berkembang secara berlainan dalam satu bahasa berkerabat atau lebih sesuai dengan lingkungan, proto-segmen direpresentasikan dalam dua perangkat korespondensi atau lebih seperti terlihat pada contoh berikut: Glos Comanche Hopi Yaqui kaki tama tama katek duduk kari kati katek Pada posisi awal kata, *t dipantulkan dalam ketiga bahasa untuk glos kaki. Namun, *t pada posisi di antara dua vokal (intervocalic) berkembang dengan cara yang berbeda yakni *t dalam bahasa Hopi dan Yaqui dan *r dalam bahasa Comanche untuk glos duduk. Atas dasar itu, *t adalah proto-fonem perangkat korespondensi t-t-t pada posisi awal kata dan r-t-t pada posisi di antara dua vokal. Untuk menentukan proto-fonem dalam perangkat korespondensi yang di dalamnya terdapat bunyi yang berdistribusi terluas diterapkan prinsip distribusi terluas (majority wins) seperti dijelaskan pada The Comparative Method and Linguistic Reconstruction,

17 Mengenai hal yang sama, Keraf (1991:61) menjelaskan bahwa sebuah fonem yang distribusinya paling banyak dalam sejumlah bahasa berkerabat dapat dianggap merupakan pantulan linear dari proto-fonem. Apabila prinsip distribusi terluas tidak dapat diterapkan, Crowley (1992:99) mengatakan bahwa data perangkat korespondensi dapat diperluas dengan menggunakan data bahasa yang paling dekat atau data proto-bahasa yang menurunkannya, Menurut Dempwolf (1938), rekonstruksi dapat dilakukan dengan dua cara yakni rekonstruksi internal (internal reconstruction) dan rekonstruksi komparatif (comparative reconstruction). Rekonstruksi internal adalah rekonstruksi dengan membandingkan satu bahasa dalam dua atau lebih kurun waktu. Misalnya, bahasa Inggris Kuno dibandingkan dengan bahasa Inggris Pertengahan, dan/atau bahasa Inggris Moderen. Rekonstruksi komparatif adalah rekonstruksi yang membandingkan dua atau lebih bahasa kontemporer yang berkerabat. Rekonstruksi internal sama dengan yang dikatakan Mbete (2009:15) yakni dari bawah ke atas (bottom-up) dan rekonstruksi dari atas ke bawah (top down) dengan menggunakan sistem etimon dan bunyi proto-bahasa hasil rekonstruksi yang ada seperti proto-austronesia (PAN) Kosakata Dasar Menurut Hartmann dkk, (1973: 250) kosakata dasar (basic core vocabulary) adalah kata-kata yang menunjuk konsep dan situasi yang bersifat umum dan mendasar dalam semua kegiatan manusia. Karena bersifat umum dan mendasar, kosakata dasar pasti dimiliki semua bahasa mulai dari masa pra-sejarahnya hingga menjadi bahasa atau bahasa-bahasa

18 kontemporer. Bentuk-bentuk kosakata dasarlah yang berkembang dari protobahasa ke bentuk-bentuk bahasa atau bahasa-bahasa berkerabat. Analisis diakronis (analisis perkembangan bahasa dari waktu ke waktu) menggunakan kata-kata yang dipantulkan dari proto-bahasa ke bahasa atau bahasa-bahasa yang diturunkannya, sebagai data. Atas dasar itu, telaah leksikostatistik dan rekonstruksi proto-bahasa menggunakan kosakata dasar sebagai data. Swadesh (1952:109) mengatakan bahwa kosakata dasar mencakup katakata yang menunjuk kata-kata ganti, kata-kata bilangan, anggota-anggota tubuh (dan sifat atau aktivitasnya), alam dan sekitarnya, alat-alat perlengkapan seharihari. Pada mulanya, Swadesh membuat daftar kosakata dasar yang terdiri atas 200 kata sebagai dasar perbandingan. Akan tetapi, atas pertimbangan akurasi data dan pengalaman-pengalaman di lapangan, Swadesh (1955) memodifikasi daftar tersebut dan merumuskan daftar kosakata dasar yang terdiri atas 100 kata, lihat Towards Greater Accuracy in Lexicostatistics Dating (1955). Mengenai jumlah kosakata dasar, para linguis mempunyai jumlah kata yang berbeda. Ogden ( 1930:72), misalnya, mempunyai 850 kata dalam daftar kosakatanya dan Stokhof (1980:78-99) mempunyai kata. Daftar kosakata Swadesh mengandung kelemahan-kelemahan yang bersumber dari penetapan 200 atau 100 kata yang termasuk dalam kosakata dasar yang dikatakan Swadesh dapat diterapkan kepada semua bahasa. Penerapan prinsip-prinsip mengenai kosakata dasar tidak mutlak sama dalam semua bahasa karena setiap bahasa mempunyai keunikan di samping keuniversalan. Setidaknya, dapat dicatat di bawah ini berbagai kelemahan penerapan daftar kosakata tersebut:

19 1. Dengan asumsi bahwa kosakata dasar dapat diperoleh dari kata-kata yang menunjuk alam dan sekitarnya, Swadesh telah memasukkan katakata snow 'salju', ice 'es', dan freeze 'beku' dalam daftar 200 kosakata dasarnya. Akan tetapi sesungguhnya, ketiga kata itu bukanlah kosakata dasar di daerah-daerah tropis karena sifat-sifat atau gejala-gejala alam seperti itu tidak ada. Pengenalan kelompok-kelompok masyarakat terhadap alam berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sifat-sifat dan gejala-gejala alam itu sendiri. Boleh jadi ketiga kata itu telah dikenal luas di daerah-daerah tropis berkat kemudahan mobilitas dan meluasnya pemakaian alat pendingin (freezer) belakangan ini. Namun, kata-kata ini bukan merupakan kosakata dasar di daerah beriklim tropis, termasuk daerah-daerah Austronesia, umumnya, dan daerahdaerah Batak, khususnya. Menyadari hal ini, Dyen (1962:53) mengeluarkan ketiga kata tersebut dalam penelitiannya terhadap bahasa-bahasa Melayu Polinesia. Bahkan Gudschinsky (1962), meskipun mempertahankan daftar 200 kosakata dasar versi Swadesh, memasukkan sejumlah kata yang berbeda dari kata-kata Swadesh dalam daftar kosakata dasarnya Hal ini mengakibatkan daftar 200 kosakata dasar Swadesh berbeda dengan daftar 200 kosakata Gudschinsky (clothing, cook, dance, terdapat dalam daftar Swadesh tetapi tidak terdapat dalam daftar Gudschinsky; dust, fly terdapat dalam daftar Gudschinsky tetapi tidak terdapat dalam daftar Swadesh). Rea dalam Lehman (1962) memakai daftar 100 kosakata yang sebagian berbeda dari daftar kosakata Swadesh. Lain lagi. Travis (1986), dalam penelitiannya terhadap bahasa-bahasa di Ambon, ia memakai kata-

20 kata yang berjumlah 210 yang diperolehnya dari hasil survei Summer Institute of Linguistics (SIL) di Maluku. Perbedaan kosakata dasar dan perbedaan jumlah kata yang diterapkan para. linguis menunjukkan bahwa daftar Swadesh tidak dapat diterapkan dalam semua bahasa. Berdasarkan fakta ini, peneliti akan menggabungkan kata-kata yang ada dalam daftar-daftar kosakata tersebut, kemudian memilih kata-kata yang sesuai dengan daerah-daerah dan budaya-budaya Batak. Peneliti mengeluarkan kata-kata yang kurang dekat dengan masyarakat Batak seperti rusa, telur kutu, dan lontar serta memasukkan kata-kata yang lebih sesuai seperti biru, coklat, pagi, hamil, ibu, ayah. 2. Dalam bahasa tertentu, daftar Swadesh kurang memperhatikan urutan prioritas kosakata. Meskipun, misalnya, kosakata dasar Swadesh merupakan kosakata dasar dalam bahasa-bahasa tertentu, tetapi kosakata lain mungkin lebih penting lagi dari kosakata tertentu yang ada dalam daftar Swadesh. Misalnya, kata-kata hamil, pagi, biru, coklat, ayah, ibu, dan sebagainya lebih penting daripada besi. Berdasarkan hal demikianlah, barangkali, Keraf (1991) mengganti sejumlah kata dalam daftar Swadesh dan melengkapinya dengan daftar 100 kosakata dasar. Memakai kata-kata yang kurang mesra dengan para pemakai bahasa yang diteliti berarti membuka kemungkinan munculnya katakata kosong. Pada hal, dalam studi komparatif, semakin sedikit data akan semakin kabur hasil penelitian leksikostatistik. 3. Dalam daftar Swadesh terdapat kata lie yang mempunyai makna ganda (ambigious meaning). Kata lie bisa berarti berbohong dan terletak. Jika alat penjaring data bermakna ganda, data yang

21 diperoleh kurang sahih dan hasil penelitian sudah barang tentu akan diragukan. 4. Sejumlah kata dalam daftar Swadesh kurang sesuai dengan bahasa-bahasa yang mengenal perbedaan pemakaian kosakata dasar pada siatuasi yang berbeda. Artinya, satu kata dalam daftar Swadesh boleh jadi mempunyai padanan lebih dari satu kata dalam bahasa yang mengenal perbedaan seperti itu. Jika masalah ini terjadi, akan timbul keraguan peneliti untuk menentukan kata mana dari kata-kata alternatif yang diberikan informan yang akan dibandingkan dengan kata dalam bahasa lain. Contoh, bahasa Toba mengenal kata mate, monding, marujung, mintop untuk kata dead 'mati' yang pemakaiannya masing-masing disesuaikan dengan situasi. Tidaklah mudah bagi peneliti yang bukan orang Toba untuk memilih satu dari sejumlah kata alternatif di atas. Memakai kata dead dalam bahasa ini, seorang peneliti harus mengetahui kapan kata tersebut digunakan. Swadesh tidak memberikan solusi atas masalah seperti ini. Peneliti yang dihadapkan pada kasus seperti ini harus meminta informan untuk memakai kata itu dalam konteks. Lalu, dia harus memilih mana yang paling umum di antara kata-kata yang diberikan. Jika ternyata semua kata itu sama-sama umum, peneliti harus memilih kata pertama yang diucapkan informan atas dasar bahwa pengucapannya lebih spontan (lihat Travis, 1986). 5. Swadesh mengatakan bahwa kata-kata kerabat (cognates) adalah kata-kata yang mempunyai bentuk dan makna yang mirip atau sama. Tetapi kenyataan menunjukkan, ada beberapa kata dalam bahasa-bahasa nonkerabat yang mempunyai bentuk dan arti yang mirip atau sama yang tidak merupakan kata-kata kerabat. Misalnya, kata mata (bahasa Indonesia)

22 mempunyai kemiripan fonetis dan kesamaan makna dengan kata mati (bahasa Junani). Contoh lain, kata badh (bahasa Sudan) mempunyai kemiripan fonetis dan kesamaan makna dengan kata bad (bahasa Inggris). Kesamaan atau kemiripan tersebut tidaklah disebabkan oleh fakta bahwa kata mata dan mati serta badh dan bad merupakan kata-kata kerabat, melainkan disebabkan oleh faktor kebetulan. Bahasa Indonesia dan bahasa Junani serta bahasa Sudan dan bahasa Inggris tidak mempunyai kontak budaya yang erat. Selain dari faktor kebetulan, kemiripan atau kesamaan bentuk dan arti dapat disebabkan oleh faktor peminjaman, seperti kata aljabar dalam bahasa Indonesia dan aljabar dalam bahasa Arab. Kata aljabar dalam bahasa Indonesia sudah barang tentu merupakan pinjaman dari bahasa Arab karena Indonesia dan Arab, pencetus istilah aljabar, mempunyai hubungan budaya yang sangat erat. 6. Swadesh tidak memberikan alasan mengapa ia tidak memakai kata morning 'pagi' untuk mendampingi kata afternoon 'siang' dan night 'malam'. Aneh kedengarannya jika ada kelompok masyarakat yang mengenal kata siang dan malam tidak mengenal kata pagi. Ia juga tidak menjelaskan mengapa dia tidak memakai kata-kata blue 'biru' dan brown 'coklat' untuk mendampingi kata-kata white 'putih', black 'hitam, dan yellow 'kuning'. Memang ada kemungkinan bahwa tidak semua warna dasar dikenal kelompok masyarakat tertentu, tetapi Swadesh tidak memberitahukan mengapa blue dan brown tidak dipakai. 7. Swadesh (1952:13) mengatakan bahwa jika ada dua kata atau lebih dalam satu bahasa sebagai padanan alternatif bagi satu kata dalam bahasa lain, peneliti harus memilih satu dari kata-kata tersebut secara acak. la

23 memberikan alasan bahwa pemilihan secara acak terhadap kata-kata tertentu dalam satu bahasa akan mengimbangi pemilihan dengan teknik yang sama terhadap kata-kata dalam bahasa lain, sehingga perhitungan statistik tidak akan terpengaruh oleh pemilihan tersebut. Tetapi cara seperti itu dapat merugikan apabila teknik random kebetulan memilih kata-kata yang salah secara berulang dalam satu bahasa dan memilih kata-kata yang benar secara berulang dalam bahasa lain. Untuk menghidarkan kekeliruan seperti itu, kata-kata alternatif tersebut harus diuji dalam konteks yang berbeda. Cara demikian akan memungkinkan peneliti dapat menentukan kata mana yang paling sesuai dengan kata yang ada dalam alat penjaring data. Yang menjadi kesulitan adalah hal bahwa peneliti dan informan mungkin tidak saling mengerti apabila harus membicarakan konteks pemakaian kata-kata tersebut. 8. Revisi Swadesh terhadap dattar kosakata dasar yang memuat 200 kata menjadi 100 untuk tujuan akurasi hasil penelitian boleh jadi justru mengaburkan, karena semakin sedikit jumlah data hasil perhitungan statistik akan semakin kabur. Swadesh boleh saja melakukan penyesuaianpenyesuaian dengan mengeluarkan kata-kata yang dianggap tumpang tindih. Tetapi setidaknya, dia masih dapat mempertahankan jumlah 200 kata, bahkan menambahkan kata-kata lain kepada daftar 200 kata itu. Tidak tertutup kemungkinan daftar kata dasar dapat disusun. Kroeber (1955:97) mengatakan bahwa daftar kata lebih baik daripada daftar 100 atau 200 kata. Pemakaian daftar kata dasar jelas sangat menguntungkan karena kesalahan penentuan kata-kata kerabat dalam jumlah

24 yang kecil, misalkan 5 atau 10 pasang, tidak begitu mempengaruhi hasil statistik. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan dalam jumlah yang sama dengan memakai daftar 100 kata, misalnya, kesalahan tersebut pasti akan sangat merugikan (lihat Gudschinsky, 1956:182). Atas argumentasi itulah, peneliti tidak memakai daftar 100 atau 200 kata. Gudschinsky (1956) memodifikasi daftar kosakata dasar Swadesh dengan mengurangi, dan sekaligus menambah kosakata dasar Swadesh. Di antara katakata yang dikurangi itu adalah snow, salju, cook 'memasak, dan dance 'menari, dan di antara kata-kata yang dimasukkannya itu adalah dust 'debu', fly 'terbang', dan sebagainya. Di samping itu, Gudschinsky mengatakan bahwa suatu daftar kosakata dapat direvisi dengan menambah atau mengurangi sejumlah kata dari daftar tersebut sehingga kata-kata yang dipakai untuk menjaring data benar-benar sesuai dengan keadaan geografis dan budaya masyarakat pemakai bahasa yang diteliti. Ini berarti, kosakata dasar dalam setiap bahasa tidak mutlak sama, tetapi prinsip-prinsip mengenai keuniversalan kosakata dasar harus dijadikan sebagai landasan dalam menentukan suatu daftar kosakata dasar. Gudschinsky menambahkan bahwa jika jumlah kosakata kerabat sangat kecil, satu kesalahan dalam penentuan pasangan kata kerabat akan berakibat fatal terhadap penghitungan tingkat kekerabatan. Hockett (1955:89) menekankan, The mathematical methods which are to be applied to the data are of statistical nature: the smaller the sample, the more vague the results.

25 Khusus mengenai rekonstruksi proto-bahasa, data yang tidak akurat dan terbatas akan melahirkan analisis yang tidak jelas dan membatasi jumlah perangkat korespondensi. Seperti Swadesh, Gudschinsky dalam daftar kosakata dasarnya yang merupakan modifikasi atas daftar Swadesh, memakai kata yang bermakna ganda yaitu fly. Kata tersebut, jika tidak diikuti oleh keterangan, dapat membingungkan karena mengandung dua makna yang frekuensi pemakainya sama-sama tinggi yaitu terbang dan lalat. Di samping kelemahan itu, Gudschinsky juga memakai daftar kosakata yang jumlahnya tergolong kecil (200 kata). Daftar pendek seperti ini kurang ampuh mengatasi kekaburan studi komparatif jika peneliti membuat kesalahan dalam menentukan kata-kata kerabat. Keraf (1990:91) mengatakan, ada 100 kata yang merupakan pengkhususan bagi wilayah Austronesia. Penjelasan tersebut melengkapi daftar kosakata dasar Swadesh, Gudschinsky, Rea, dan Travis. Alasan Keraf untuk merumuskan daftar 100 kosakata itu adalah sebagian besar dari kata-kata tersebut sudah digunakan Kern dalam menentukan negeri asal bahasa-bahasa Austronesia. Dari daftar tersebut, dipilih kata-kata yang dianggap mesra dengan masyarakat Batak. Beberapa kata dikeluarkan dan sebagai penggantinya dimasukkan sejumlah kata yang merupakan pengkhususan bagi wilayah dan budaya Batak. Dalam daftar kosakatanya, Keraf kelihatannya menerjemahkan secara langsung kosakata yang terdapat dalam daftar 200 kosakata Swadesh, tanpa mempertimbangkan masalah konteks. Hal demikian menyebabkan banyak kata terjemahan Keraf itu tidak merupakan isi (content) kosakata dasar sumbernya. Dia mungkin lupa bahwa apa yang dimaksud Swadesh (1951) dan

26 Gudschinsky (1956: ) dengan terjemahan bukanlah terjemahan yang terlepas dari konteks. Akibatnya, dia memuat kata-kata ekor dan hati yang masing-masing bermakna ambigu, jika tidak dilengkapi dengan keterangan. Kata ekor dapat ditafsirkan sebagai bagian dari organ tubuh hewan dan satuan untuk mengatakan jumlah hewan. Sama halnya, kata hati bisa ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia atau hewan dan perasaan manusia terhadap sesuatu. Pada hal, yang dimaksud Swadesh dengan ekor adalah tail 'organ tubuh hewan' dan hati adalah lever 'organ tubuh manusia'. Selain daripada kekeliruan-keliruan itu, Keraf membuat kesalahan-kesalahan lain yang dapat menyesatkan seorang peneliti. Kesalahankesalahan tersebut adalah sebagai berikut: Keraf Swadesh Terjemahan yang seharusnya busuk rotten (log) lapuk (kayu) gosok scratch (itch) garuk (gatal) jatuh fall (drop) ter (jatuh) kulit skin (person) kulit (manusia) panas warm (weather) panas (cuaca) tongkat stick (wood) tongkat (kayu) tahu know tahu (verba) Seharusnya Keraf lebih hati-hati dalam menerjemahkan kata-kata tersebut. Andai kata seorang peneliti memakai daftar terjemahan ini, dan kebetulan membuat kesalahan-kesalahan dalam menentukan pasangan-pasangan kata kerabat, sudah dapat dibayangkan betapa kaburnya hasil penelitian yang dilakukan peneliti tersebut. Keraf tidak konsisten dengan apa yang dikatakannya pada Keraf (1991:134), bahwa seorang peneliti harus cermat dalam menentukan kosakata dasar dan pasangan-pasangan kata kerabat. Travis (1986:23), dalam penelitiannya memakai daftar kosakata yang terdiri atas 210 kata. Daftar ini dapat dijadikan sebagai bahan bandingan

27 dalam penentuan kosakata dasar bbb. Travis juga mencatat cara memilih satu kata dari beberapa kata yang mungkin akan diberikan para informan sebagai padanan bagi satu kata dalam daftar kosakata, penjaring data. Travis memilih satu dari beberapa kata yang diberikan informan sebagai padanan dari satu kata setelah melakukan pengecekan konteks pemakaian katakata. tersebut. Jika informannya tidak dapat menunjukkan kata mana yang lebih diinginkan, dia memilih kata yang pertama atas dasar bahwa pengucapan kata tersebut lebih spontan dari pengucapan kata-kata lain. Menurut observasi yang dilakukan peneliti terhadap bahasa-bahasa Batak, adanya beberapa kata sebagai padanan satu kata dalam daftar penjaring data tidak dapat dielakkan. Tarigan (1991:35) melengkapi teori Swadesh mengenai penentuan katakata apa saja yang termasuk dalam kosakata dasar. Menurut Tarigan, kosakata dasar mencakup istilah kekerabatan, seperti: ayah, ibu, anak, adik; nama-nama bagian tubuh, seperti kepala, rambut, mata, kata ganti (diri, penunjuk), seperti: saya, dia, kami, mereka, ini, itu; kata bilangan pokok, seperti satu, dua, tiga, sepuluh, seribu, sejuta; kata kerja pokok, seperti: makan, minum, tidur, bangun; kata keadaan pokok, seperti: suka, duka, senang, sehat, bersih; serta benda-benda universal, seperti: langit, bulan, bintang, matahari. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan berbagai daftar kosakata dasar di atas, peneliti membuat daftar 300 kata yang merupakan kombinasi dari daftar kosakata Swadesh (1952;1955), Gudschinsky (1956), Rea dalam Lehman (1962), Travis (1986), Keraf (1991), dan Tarigan (1991) yang disesuaikan dengan budaya dan keadaan daerah-daerah Batak.

28 Pengelompokan Bahasa Tentang pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat, Langacker (1972:339) menjelaskan bahwa kriteria dasar pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat adalah inovasi bersama (shared innovation). Secara utuh, penjelasan tersebut dikutip di bawah ini: The basic criterion for establishing subfamilies is shared innovation. If two or more languages have undergone a substantial number of common changes that have not occurred in any other daughters, it is likely that these languages constitute a subfamily and derive from a common pattern that does not underlie the other daughters. Mengenai hal yang sama, Crowley (1992: ) mengatakan, bahasabahasa berkerabat dalam satu kelompok (subgroup) mempunyai tingkat kedekatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tingkat kedekatan tersebut dijadikan sebagai landasan pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat. Hal itu dapat dilihat dari data berikut: b.inggris b. Belanda b. Jerman b. Perancis b.italia b.rusia w n e:n ains ce uno ad in tu: twe: tsvai due dva i: dri: dʶai tʶwa tre tr i fo: fi:r fi:ʶ katʶ kwatro t etir e faiv f if fynf s k t i kwe p at Terdapat keidentikan yang cukup untuk menempatkan keenam bahasa di atas dalam satu kelompok. Lebih jauh, terdapat keidentikan yang menunjukkan bahwa

29 bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda lebih dekat antara satu dengan yang lain dibanding dengan ketiga bahasa lainnya. Sama halnya, bahasa Perancis dan bahasa Italia lebih dekat antara satu dengan yang lain dibanding dengan keempat bahasa lainnya. Sementara itu, bahasa Rusia terlihat berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan dalam keluarga bahasa tersebut, terdapat tiga kelompok bahasa. Kelompok pertama terdiri atas bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Kelompok kedua terdiri atas bahasa Perancis dan bahasa Italia. Kelompok ketiga terdiri atas hanya bahasa Rusia. Pengelompokan tersebut dapat ditunjukkan dalam diagram pohon berikut: Proto-Indo-Europa Proto-Jerman Proto-Romanik b.inggris b.belanda b.jerman b.perancis b.italia b.rusia Diagram 2.1 Pengelompokan Bahasa Diagram tersebut menunjukkan bahwa bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman diturunkan oleh bahasa yang sama, yakni proto-jerman (proto-germanic). Proto-Jerman dan ketiga bahasa lainnya diturunkan oleh bahasa yang sama, yakni proto-indo-eropa (proto-indo-european). Menurut Crowley, pengelompokan bahasa tidak didasarkan pada retensi bersama (shared retention) melainkan pada inovasi bersama inovasi ( shared innovation) bahasa-bahasa berkerabat. Menggunakan retensi bersama sebagai dasar pengelompokan bahasa tidak tepat karena terlalu banyak bunyi yang

30 mengalami retensi dalam bahasa-bahasa berkerabat. Inovasi dijadikan sebagai landasan pengelompokan bahasa didasarkan pada fakta bahwa inovasi dalam satu bahasa tidak mungkin terjadi secara tersendiri dan pasti mempunyai hubungan dengan inovasi pada bahasa-bahasa kerabatnya. Namun perlu diperhatikan bahwa inovasi bersama dapat terjadi secara kebetulan melalui proses perubahan paralel (parallel development or drift). Misalnya, dalam banyak bahasa Oseanik moderen, konsonan hilang pada akhir kata ( C / #). Dalam bahasa Enggano, pulau di selatan Sumatera, inovasi yang sama juga terjadi. Namun, bahasa-bahasa Oseanik tidak berada dalam satu kelompok dengan bahasa Enggano karena bahasa ini tidak mempunyai kemiripan lain dengan bahasa-bahasa Oseanik. Atas dasar itu, faktor-faktor berikut harus dihindarkan: a. perubahan bunyi yang sangat tidak biasa; b. perubahan-perubahan fonologis, khususnya perubahan-perubahan yang tidak biasa terjadi secara bersamaan dalam bahasa-bahasa berkerabat; c. perubahan-perubahan yang berkorespondensi dengan perubahanperubahan yang tidak ada hubungannya dengan perubahan-perubahan gramatikal dan semantik Kata Pinjaman Langacker (1972:333). memberikan penjelasan mengenai kata-kata pinjaman. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kosakata dasar bersifat universal yang memperkecil kemungkinan adanya pinjam-meminjam, ada baiknya diperhatikan secara serius kemungkinan adanya kata-kata pinjaman. Dia mengatakan bahwa :

31 Borrowed lexical items often disobey otherwise general phonotactic restrictions of the borrowing language. Long lexical items that cannot be broken down into familiar morphemes are also likely to have been borrowed. Sapir (1921:197) mempunyai pandangan yang senada dengan Langacker tersebut. Dia mengatakan bahwa kata-kata pinjaman sering melanggar sistem fonetik bahasa yang meminjam meskipun kata-kata pinjaman tersebut telah mengalami modifikasi fonetik. Gudschinsky (1956) menjelaskan cara untuk menentukan kata-kata nonkerabat akibat adanya pinjaman baik dari bahasa-bahasa kerabat maupun bahasa-- bahasa nonkerabat. Menurut Gudschinsky (1956:181), kata-kata dalam.bahasa yang diteliti yang mempunyai bentuk dan arti yang sama atau mirip dengan kata-kata dalam bahasa nonkerabat yang mempunyai atau pernah mempunyai hubungan budaya dengan bahasa yang, diteliti harus dicurigai sebagai kata-kata pinjaman. Untuk menentukan kata-kata pinjaman dari bahasa-bahasa kerabat, harus dilihat frekuensi munculnya fonem-fonem tertentu dalam bahasa-bahasa yang dibandingkan. Fonem-fonem yang frekuensi pemunculannya sangat terbatas dianggap merupakan pinjaman dari bahasa yang menunjukkan frekuensi yang tinggi pemunculan fonem-fonem tersebut. Dalam membandingkan dialek Huautta dan San Miguel bahasa Mazatec, misalnya, terlihat bahwa kata n'ai 'ayah' dalam kedua dialek itu bukanlah kata-kata kerabat karena pemunculan ai dalam dialek San Miguel hanya terbatas pada istilah-istilah keagamaan, sedangkan dalam dialek Huautla, pemunculan klaster itu tidak terbatas.

32 Dalam penelitiannya terhadap delapan bahasa nusantara, Kridalaksana ( ) mengatakan bahwa kata-kata yang sama bentuk dan artinya dalam dua bahasa nonkerabat dianggap sebagai pinjaman dari sesamanya. Kridalaksana yang mengutip Gudschinsky (1956:181) membuat kekeliruan dengan mengabaikan masalah kontak budaya antara dua bahasa nonkerabat. Persamaan bentuk dan arti tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bahwa katakata tertentu merupakan pinjaman jika kedua bahasa dalam mana kata-kata itu dijumpai tidak mempunyai atau tidak pernah mempunyai kontak budaya. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam penelitian tersebut adalah, Kridalaksana tidak menunjukkan penerapan rumus-rumus penentuan pasangan-pasangan kata kerabat dan penentuan waktu pisah bahasa-bahasa itu serta penentuan standar kesalahan. Langkah seperti ini akan menyulitkan pembaca untuk mengetahui apakah ada kekeliruan dalam penerapan rumus-rumus tersebut. Uraian tentang kata-kata pinjaman (loan words) ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan dan pemilihan data yang termasuk dalam daftar kosakata dasar yang dijadikan peneliti sebagai alat penjaring data Kata-Kata Tabu Teeter (1963) mengatakan bahwa kata-kata nonkerabat dapat terjadi akibat adanya faktor tabu atau dalam istilah Gillieron dalam V.Teeter verbal pathology. Menurut Teeter, selain memperhatikan kata-kata kerabat, seorang peneliti perlu juga memperhatikan kata-kata nonkerabat yang muncul akibat adanya faktor tabu, karena hal ini akan mempengaruhi akurasi penelitian. Ada kalanya, pasangan kata tertentu mempunyai bentuk dan arti yang sangat berbeda akibat adanya faktor

33 tabu (dalam satu bahasa kata tertentu dianggap tabu, tetapi dalam bahasa lainnya kata yang sama dianggap tidak tabu). Jika faktor tabu tidak ada, kemungkin pasangan kata itu adalah berkerabat. Oleh karena itu, seorang peneliti harus menanyakan kepada informannya apakah ada di antara kata-kata yang diucapkannya itu merupakan pengganti kata-kata yang dianggap tabu. Yang menjadi kesulitan dalam penerapan teori ini adalah kemungkin bahwa peneliti dan informan tidak akan saling mengerti dalam pembicaraan yang menyangkut masalah tabu. Kontribusi penjelasan tentang kata-kata tabu dan pengaruhnya terhadap keabsahan data adalah untuk menghindarkan masuknya kata-kata kosong karena informan tidak menyebutkan padanan-padanan kata tertentu yang dianggap tabu Inovasi Menurut Kridalaksana (1983:65), inovasi adalah perubahan bunyi, bentuk atau makna yang mengakibatkan terciptaanya kata baru Bahasa-bahasa Batak Bahasa-bahasa Batak adalah bahasa-bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar masyarakat etnik Batak di Tapanuli, Sumatera Utara. Menurut Sibarani (1997), sebagian besar masyarakat Batak bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lainnya di bagian Timur Laut Tapanuli yakni Simalungun, dan sebagian lainnya di sebelah Barat Laut Danau Toba yakni Tanah Karo (lihat peta pada lampiran penelitian ini). Dia menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola Mandailing.

34 Menurut yang diunduh 20 Agustus 2013, bahasa-bahasa Batak adalah sekelompok bahasa yang dituturkan di Sumatera Utara. Kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok yang dijuluki Northwest Sumatra-Barrier Islands dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Berdasarkan sumber itu, bahasa-bahasa Batak terdiri atas tiga kelompok yakni kelompok Utara (bahasa Alas-Kluet, bahasa Dairi, dan bahasa Karo), kelompok Selatan (Toba, Angkola, dan Mandailing), dan perantara (bahasa Simalungun). Sementara itu, Keraf ( 1991:2009) menjelaskan, bahasa-bahasa Batak terdiri atas bahasa Toba, bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Angkola, bahasa Dairi, dan bahasa Alas. Dalam penelitian ini, bahasa-bahasa Batak meliputi bahasa Toba, bahasa Simalungun, bahasa Pakpak Dairi, bahasa Angkola,bahasa Karo, dan bahasa Mandailing. Alasan peneliti untuk memisahkan bahasa Angkola Mandailing menjadi bahasa Angkola dan bahasa Mandailing adalah perkembangaan kedua bahasa telah menjadikan kedua bahasa mempunyai perbedaan yang semakin jauh. 2.2 Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang perubahan bahasa. Fakta bahwa bahasa terus mengalami perubahan melalui perkembangan atau inovasi adalah landasan linguistik historis komparatif yang mempelajari sejarah perkembangan proto-bahasa (parent language) menjadi bahasa-bahasa yang diturunkannya (sister languages). Fakta ini jugalah yang melandasi studi komparatif terhadap bahasa-bahasa yang berhubungan secara genetis untuk menemukan perangkat-perangkat korespondensi yang dapat dijadikan data untuk

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Linguistik Historis Komparatif Linguistik historis komparatif adalah cabang ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat dipisahkan dari pengembangan bahasa nasional. Salah satu upaya untuk mengembangkan bahasa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7).

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa-bahasa yang hidup dewasa ini tidak muncul begitu saja. Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami perjalanan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU 2.1 Konsep Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang menyangkut objek, proses, yang berkaitan dengan penelitian. Dalam

Lebih terperinci

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan waktunya. Hal itu dimungkinkan oleh perubahan dan perkembangan pola kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Sepanjang pengetahuan peneliti permasalahan tentang Kajian Historis Komparatif pada Bahasa Banggai, Bahasa Saluan, dan Bahasa Balantak belum pernah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK Jurnal Skripsi Oleh : Nursirwan NIM A2A008038 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012 Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah BAB II KERANGKA TEORETIS Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff

Lebih terperinci

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF Jurnal Skripsi Oleh: Kurnia Novita Sari NIM A2A008030 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Para linguis historis komparatif Indonesia selama ini pada umumnya lebih tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama diakui bahwa di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Untuk menulis suatu karya ilmiah, bukanlah pekerjaan yang mudah dan gampang. Seorang penulis harus mencari dan mengumpulkan data-data yang akurat serta

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Dialektologi merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini diawali dengan pendeskripsian data kebahasaan aktual yang masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia sudah banyak dilakukan. Namun tidak demikian penelitian mengenai ragamragam bahasa dan dialek.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. akal budi untuk memahami hal-hal tersebut. Sebuah konsep yang kita tulis harus

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. akal budi untuk memahami hal-hal tersebut. Sebuah konsep yang kita tulis harus BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kridalaksana (1984:106), konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan

Lebih terperinci

Rendi Rismanto* ABSTRAK

Rendi Rismanto* ABSTRAK Kekerabatan Kosakata Bahasa Sunda dengan Bahasa Melayu Betawi di Kota Tangerang Selatan: Kajian Linguistik Historis Komparatif Oleh Rendi Rismanto* 180110080010 ABSTRAK Skripsi ini berjudul Kekerabatan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 365-351 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan bahasa adalah alat komunikasi verbal manusia yang berwujud ujaran yang dihasilkan oleh alat

Lebih terperinci

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab 8.1 Simpulan BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbahasa merupakan pengalaman universal yang dimiliki oleh manusia. Bahasa adalah sistem bunyi ujar. Bunyi bahasa yang tidak sesuai diucapkan oleh seorang pengguna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri dalam suatu masyarakat. Berbagai status sosial dan budaya dalam masyarakat sangat memengaruhi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa mengalami perubahan dan perkembangan dari bahasa Proto (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf (1996:29), bahasa Proto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa terjadi karena antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak memiliki hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Alor. Pulau

Lebih terperinci

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk BAB IX TEMUAN BARU Berdasarkan penyajian dan analisis data yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, berikut ini disajikan kristalisasi hasil penelitian sekaligus merupakan temuan baru disertasi ini. 9.1

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialekto syang berarti varian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi penelitian yang mencakup desain penelitian, partisipasi dan tempat penelitian, pengumpulan data, dan analisis data. Adapun pemaparan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur BAB II KERANGKA TEORETIS 2.1 Sejarah Singkat Penutur Bahasa Austronesia Penutur bahasa Austronesia diperkirakan telah mendiami kepulauan di Asia Tenggara sekitar 5000 tahun yang lalu. Mereka diduga berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau kelompok masyarakat untuk bekerja sama dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1983: 17), dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan seharihari. Ketika berbahasa ada bentuk nyata dari pikiran yang ingin disampaikan kepada mitra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Batak Simalungun merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Batak Simalungun merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan rumus-rumus perhitungan tingkat kekerabatan serta usia bahasa

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan rumus-rumus perhitungan tingkat kekerabatan serta usia bahasa BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Suatu penelitian akan dikatakan berhasil apabila menggunakan metode yang relevan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistika bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat pemakai bahasa membutuhkan satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang / Masalah Penelitian Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD) tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang masuk ke dalam kelompok bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa Melayu Standar, Serawai,

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster angin selatan dan kata Greek 1 BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek nêsos "pulau". Para

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Prof.Madya Dr. Zaitul Azma Binti Zainon Hamzah Jabatan Bahasa Melayu Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia 43400

Lebih terperinci

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Telepon: , Faksimile.

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Telepon: , Faksimile. KEKERABATAN BAHASA-BAHASA ETNIS MELAYU, BATAK, SUNDA, BUGIS, DAN JAWA DI PROVINSI JAMBI: SEBUAH KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF YUNDI FITRAH DAN RENGKI AFRIA Program Studi Sastra Indonesia Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008:143). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah perbatasan antara wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dengan wilayah tutur bahasa-bahasa

Lebih terperinci

K A N D A I. Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14

K A N D A I. Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14 K A N D A I Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14 KEKERABATAN BAHASA TAMUAN, WARINGIN, DAYAK NGAJU, KADORIH, MAANYAN, DAN DUSUN LAWANGAN (Language Kinship of Tamuan, Waringin, Dayak Nguji, Kadorih, Maanyan,

Lebih terperinci

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. BAB X SIMPULAN DAN SARAN 10.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan, Metode, dan Jenis Penelitian 3.1.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif yaitu pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu fonologi adalah suatu kajian bahasa dalam hal bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi ujaran yang dimaksud adalah bentukan fonem-fonem yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana,1983).

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi 180 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kajian relasi kekerabatan bahasa-bahasa di Wakatobi memperlihatkan bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi sebagai bahasa tersendiri dan

Lebih terperinci

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun adalah bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Simalungun merupakan salah

Lebih terperinci

II. GAMBARAN BUNYI YANG TERWARIS DALAM PROTO- AUSTRONESIA DAN BAHASA KARO

II. GAMBARAN BUNYI YANG TERWARIS DALAM PROTO- AUSTRONESIA DAN BAHASA KARO DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... LEMBAR PENGESAHAN... HALAMAN PENETAPAN UJIAN... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN...

Lebih terperinci

KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA

KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA 1 KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA Oleh La Ode Rely (Ketua) Fatmah AR. Umar (Anggota 1) Salam (Anggota 2) Universitas Negeri Gorontalo Program Studi

Lebih terperinci

KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK MANDAILING

KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK MANDAILING KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK MANDAILING Farida Meliana Hutabarat 1, Ermanto 2, Novia Juita 3 Program Studi Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang Email: faridahutabarat12@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kekerabatan tersebut selanjutnya diabstraksikan dalam bentuk silsilah.

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kekerabatan tersebut selanjutnya diabstraksikan dalam bentuk silsilah. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedekatan hubungan dalam suatu komunitas dapat ditelusuri dengan mengamati kesamaan bahasa yang digunakan di komunitas tersebut. Bahasa, selain digunakan sebagai

Lebih terperinci

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya Abstrak Difusi leksikal merupakan fenomena lingusitik yang dapat terjadi pada bahasa apa pun. Difusi leksikal merupakan unsur inovasi bahasa yang menyebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Bahasa adalah suatu sistem simbol bunyi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 BEBERAPA PERUBAHAN BUNYI VOKAL PROTO AUSTRONESIA DALAM BAHASA MANDAILING DAN TOBA (SUATU KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARARIF) TESIS OLEH ERLIANA SIREGAR 087009007/LNG SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

dengan penjelasan pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945, bahasa-bahasa di Indonesia seperti bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan Bahasa Batak berkedudukan sebag

dengan penjelasan pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945, bahasa-bahasa di Indonesia seperti bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan Bahasa Batak berkedudukan sebag 46, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 KERABATAN BAHASA BATAK TOBA DAN BAHASA BATAK ANGKOLA SUATU KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF Gokma Mualita Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Linguistik merupakan dasar dalam mempelajari keahlian berbahasa, atau biasa disebut dengan ilmu bahasa. Linguistik berasal dari kata Latin Lingua yang artinya

Lebih terperinci

GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR

GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR Suparman 1, Charmilasari 2 Universitas Cokroaminoto Palopo 1 Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

KEKERABATAN BAHASA AKIT DAN DUANU: KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK. Zainal Abidin

KEKERABATAN BAHASA AKIT DAN DUANU: KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK. Zainal Abidin KEKERABATAN BAHASA AKIT DAN DUANU: KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK Zainal Abidin Balai Bahasa Provinsi Riau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Binawidya, Kompleks Universitas Riau, Panam, Pekanbaru Posel:

Lebih terperinci

2 (Pasir) 1 di Provinsi Kalimantan Timur. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian terhadap bahasa Paser (selanjutnya disingkat PSR). Kal

2 (Pasir) 1 di Provinsi Kalimantan Timur. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian terhadap bahasa Paser (selanjutnya disingkat PSR). Kal 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki kekayaan yang sangat luar biasa, termasuk kekayaan aneka ragam bahasa yang dimiliki ditiap daerahnya. Menutur penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM A. PENGANTAR Fonologi adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa. Fonologi secara Etimologi berasal dari kata fon, yang artinya bunyi dan logi yang berarti ilmu. Fonologi

Lebih terperinci

Klasifikasi Bahasa (Abdul Chaer) Klasifikasi Genetis Klasifikasi Tipologis Klasifikasi Areal Klasifikasi Sosiolinguistik.

Klasifikasi Bahasa (Abdul Chaer) Klasifikasi Genetis Klasifikasi Tipologis Klasifikasi Areal Klasifikasi Sosiolinguistik. Klasifikasi (Abdul Chaer) Tipologi Klasifikasi Genetis Klasifikasi Tipologis Klasifikasi Areal Klasifikasi Sosiolinguistik Klasifikasi Genetis Klasifikasi Tipologis Bentuk Garis keturunan proto Induk bahasa

Lebih terperinci

KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK SIMALUNGUN KAJIAN : LEKSIKOSTATISTIK SKRIPSI DISUSUN OLEH: RETTA SILITONGA

KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK SIMALUNGUN KAJIAN : LEKSIKOSTATISTIK SKRIPSI DISUSUN OLEH: RETTA SILITONGA KEKERABATAN BAHASA BATAK TOBA DENGAN BAHASA BATAK SIMALUNGUN KAJIAN : LEKSIKOSTATISTIK SKRIPSI DISUSUN OLEH: RETTA SILITONGA 100701003 DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kridalaksana,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kridalaksana, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri yang sekaligus menjadi hakikat setiap bahasa adalah bersifat dinamis (Chaer, 2003: 53). Dinamis dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai aspek

Lebih terperinci

INTISARI. Yunyu, Xu Warna dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah

INTISARI. Yunyu, Xu Warna dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah INTISARI Yunyu, Xu. 2015. Warna dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis. Disertasi. Yogyakarta: Program Studi Humaniora (Ilmu Linguistik), Fakultas Ilmu Budaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bagian ini diuraikan (1) lokasi dan subjek penelitian, (2) desain penelitian, (3) metode penelitian, (4) definisi operasional, (5) instrumen penelitian, (6) teknik pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

ANALISIS FONOLOGI DAN LEKSIKOLOGI BAHASA JAWA DI DESAPAKEM KECAMATAN GEBANGKABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS FONOLOGI DAN LEKSIKOLOGI BAHASA JAWA DI DESAPAKEM KECAMATAN GEBANGKABUPATEN PURWOREJO ANALISIS FONOLOGI DAN LEKSIKOLOGI BAHASA JAWA DI DESAPAKEM KECAMATAN GEBANGKABUPATEN PURWOREJO Pramu Tri Kurniawan Universitas Muhammadiyah Purworejo e-mail: Pramukurniawan@yahoo.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya

Lebih terperinci

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS BAHASA BATAK ANGKOLA DALAM KARANGAN BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS 5 SDN 105010 SIGAMA KECAMATAN PADANG BOLAK TAPANULI SELATAN Fitriani Lubis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1 Teori-Teori Yang Relevan Dengan Variabel Yang Diteliti 2.1.1 Pengertian Semantik Semantik ialah bidang linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia. Bahasa terdiri atas bahasa lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia. Bahasa terdiri atas bahasa lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu bagian dalam kebudayaan yang ada pada semua masyarakat di dunia. Bahasa terdiri atas bahasa lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat dari perbedaan dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat Minangkabau di berbagai wilayah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Permainan bunyi..., Rizky Febriawan Ariyanto, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Permainan bunyi..., Rizky Febriawan Ariyanto, FIB UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa, khususnya bahasa manusia, pada dasarnya terwujud dalam dua bentuk, yaitu bunyi dan aksara. Dalam perkembangannya, bahasa dapat dibagi menjadi bahasa lisan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedudukan bahasa sangat penting untuk manusia. Bahasa juga mencerminkan identitas suatu negara. Masalah kebahasaan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penulis mengambil beberapa jurnal, skripsi, disertasi dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan analisis kontrastif, adverbial

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka,

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pengantar Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan dalam menyusun landasan atau kerangka teori. Kajian pustaka berfungsi

Lebih terperinci

KORESPONDENSI FONEMIS BAHASA SASAK, BAHASA OGAN, BAHASA MINANGKABAU, DAN BAHASA SUMBAWA

KORESPONDENSI FONEMIS BAHASA SASAK, BAHASA OGAN, BAHASA MINANGKABAU, DAN BAHASA SUMBAWA KORESPONDENSI FONEMIS BAHASA SASAK, BAHASA OGAN, BAHASA MINANGKABAU, DAN BAHASA SUMBAWA Arifa Rachmi Putri Undip Semarang, Jawa Tengah, Indonesia Email: arifaputri10@gmail.com ABSTRACT Putri, Arifa Rachmi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam kehidupan manusia, maka amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang perlu dikaji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian mengenai isoglos dialek bahasa Jawa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini termasuk dalam penelitian lapangan (field study) baik penelitian

Lebih terperinci

BAHASA PASER DI KALIMANTAN TIMUR

BAHASA PASER DI KALIMANTAN TIMUR BAHASA PASER DI KALIMANTAN TIMUR (KAJIAN LINGUISTIK DIAKRONIS) TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik MinatUtamaLinguistikDeskriptif Oleh:

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Dialek Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang

Lebih terperinci

WAKTU PISAH DAN POHON KEKERABATAN BAHASA SUWAWA GORONTALO TOLAKI WOLIO. Oleh: Anindiah Suwastikaningrum NIM

WAKTU PISAH DAN POHON KEKERABATAN BAHASA SUWAWA GORONTALO TOLAKI WOLIO. Oleh: Anindiah Suwastikaningrum NIM WAKTU PISAH DAN POHON KEKERABATAN BAHASA SUWAWA GORONTALO TOLAKI WOLIO Oleh: Anindiah Suwastikaningrum NIM 13010113130065 Program Studi S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia UNDIP INTISARI Waktu pisah dan kean

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia memiliki daya pikat tersendiri bagi peneliti asing. Meskipun

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia memiliki daya pikat tersendiri bagi peneliti asing. Meskipun 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada Bab 1, peneliti akan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, uraian masalah, tujuan, manfaat, asumsi dasar, dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Bahasa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah alat komunikasi yang sangat penting bagi setiap manusia

PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah alat komunikasi yang sangat penting bagi setiap manusia PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah alat komunikasi yang sangat penting bagi setiap manusia agar dapat mempertahankan kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satu orang manusia yang

Lebih terperinci

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA. Wahya*

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA. Wahya* FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA Wahya* Rizka.cikal@yahoo.com ABSTRACT Linguistics lexical diffusion is a phenomenon that can occur in any language. Lexical diffusion of innovation is an element of

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam dialek. Istilah dialek merupakan sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bahasa Batak Wikipedia Indonesia, Diunduh tanggal 20 Agustus 2013.

DAFTAR PUSTAKA. Bahasa Batak Wikipedia Indonesia,  Diunduh tanggal 20 Agustus 2013. DAFTAR PUSTAKA Adelaar, K.A.1992.Proto-Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its Lexicon and Morphology. Canberra: Pacific Linguistics, C-119. Bahasa Batak. 2013.Wikipedia Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa

Lebih terperinci