SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far) Oleh : LANDUNG HARI SUTRISNO NIM :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far) Oleh : LANDUNG HARI SUTRISNO NIM :"

Transkripsi

1 PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN SPERMATOGENESIS TIKUS JANTAN (Rattus novergicus L.) GALUR SPRAGUE DAWLEY SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far) Oleh : LANDUNG HARI SUTRISNO NIM : PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H

2 LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI NAMA : LANDUNG HARI SUTRISNO NIM : JUDUL : PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN SPERMATOGENESIS TIKUS JANTAN (Rattus novergicus L) GALUR SPRAGUE DAWLEY Disetujui oleh: Pembimbing I Pembimbing II Azrifitria, M.Si, Apt NIP Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed NIP Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Drs. M. Yanis Musdja M.Sc., Apt NIP

3 LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN SPERMATOGENESIS TIKUS JANTAN (Rattus novergicus L) GALUR SPRAGUE DAWLEY Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan tim penguji oleh Pembimbing: Landung Hari Sutrisno NIM: Menyetujui, 1. Pembimbing I Azrifitria, M.Si, Apt Pembimbing II Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed... Penguji: 1. Ketua Penguji Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt Anggota Penguji I Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt Anggota Penguji II Nurmeilis, M.Si, Apt Anggota Penguji III Eka Putri, M.Si, Apt.... Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal lulus : 30 September 2010 Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And

4 LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN. Jakarta, September 2010 Landung Hari Sutrisno

5 ABSTRAK Judul : Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan hormon kontrasepsi pria yang sedang dikembangkan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penyuntikan formulasi tunggal (TU+MPA) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi (TU/MPA) dan kosolven (TU/MPA)) yang paling efektif dalam menekan spermatogenesis hingga azoospermia. Penelitian dilakukan dengan penyuntikan formulasi tunggal (TU 2,5mg + MPA 1,25mg, TU 5mg + MPA 0,75mg, TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg, mikroemulsi TU 5mg/MPA 0,75mg, mikroemulsi TU 5mg/MPA 1,125mg, kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg) pada tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok selama tiga bulan. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali pada minggu ke-0 dan minggu ke-8, kemudian dibedah minggu ke-12. Berdasarkan analisa data, menunjukkan bahwa berat badan kelompok formulasi tunggal dan formulasi kombinasi tidak terdapat perbedaan bermakna (p 0,05) dengan kontrol normal. Hasil analisa data konsentrasi spermatozoa, baik formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal memperlihatkan perbedaan bermakna (p 0,05), dimana formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg) paling baik menekan konsentrasi spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia berat (ratarata konsentrasi spermatozoa 1 juta/ml). Hasil analisa data penilaian histologi spermatogenesis menunjukkan perbedaan bermakna (p 0,05) antara formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal. Formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg) paling berpengaruh terhadap perkembangan spermatogenesis dimana banyak sel spermatogenik yang tidak berkembang. Kata kunci : Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA), spermatozoa, spermatogenesis, tikus jantan galur Sprague Dawley

6 ABSTRACT Title : Effect of Hormone Testosterone Undecanoate (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA) concentrations on Spermatozoa and spermatogenesis Histology Male Rats (Rattus Novergicus L) strain of Sprague Dawley Testosterone Undekanoat (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA) is a hormonal male contraceptive is being developed. The purpose of this study is to find a single injection of formulations (TU+MPA), combination formulations (microemulsions (TU/MPA) and kosolven (TU/MPA)) are most effective in suppressing spermatogenesis to azoospermia. This research carried out by injecting a single formulation (TU 2,5mg + MPA 1,25mg, TU 5mg + MPA 0,75mg, TU 5mg + MPA 1,125mg) and combination formulations (microemulsions TU 2,5 mg/mpa 1,25 mg, microemulsion TU 5mg/MPA 0,75mg, microemulsion TU 5mg/MPA 1,125 mg, kosolven TU 2.5 mg/mpa 1.25 mg) in male rats (Rattus novergicus L) Sprague Dawley strain were divided into 8 groups for three months. Injecting done twice at week 0 and week 8, then dissected the 12th week. Based on data analysis, showed that the weight loss group single formulation and formulation combinations there were no significant differences (p 0.05) with normal controls. Results of data analysis the concentration of spermatozoa, either a single formulation, formulation combination and normal controls showed significant differences (p 0.05), where a single formulation (TU 5mg + MPA 1,125mg) and formulations combination (microemulsion TU 2,5 mg/mpa 1,25 mg) best reduce the concentration of spermatozoa to reach severe oligozoospermia (mean sperm concentration of 1 million/ml). Results Histological assessment of spermatogenesis data analysis shows significant differences (p 0.05) between single formulation, formulation and combination of normal controls. Single formulation (TU 5mg + MPA 1,125mg) and combination formulations (microemulsions TU 2,5mg/MPA 1,25 mg), the most influential on the development of spermatogenesis in which many cells that are not developing spermatogenic. Keywords : Testosterone Undecanoate (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA), sperm, spermatogenesis, male rats Sprague Dawley strain

7 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan segala rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus novergicus L.) Galur Sprague Dawley. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak. Drs. M. Yanis Musdja M.Sc, Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi. 3. Azrifitria, M.Si, Apt, selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulisan skripsi ini. 4. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed, selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulisan skripsi ini. 5. Ayahanda Sutrisno S.Pd, MM., Ibunda Sumarni S.Pd dan nenek tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materil. Tiada apapun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta dan kasih sayang yang telah engkau berikan, kepada merekalah skripsi ini kupersembahkan. Kepada adikku Arum Haryany Sutrisno dan Pandu Aji Sutrisno yang secara tidak langsung telah banyak memberikan motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8 6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Para staf dan karyawan program studi Farmasi. Staf Administrasi Farmasi, mba Via dan seluruh laboran, Kak Eris dan Kak Nurul yang telah banyak membantu selama proses penelitian. 8. Para karyawan program studi farmasi, Mas Opik, Mas Toni yang telah banyak membantu selama penelitian. 9. Kepada sahabat sepenelitian Indira Irma Anggraeni dan Rico, terima kasih atas bantuan, motivasi dan kebersamaannya selama penelitian. 10. Rista Prihatini dan Silma Awalia yang telah menjadi pembimbing III hingga penulis dapat dengan baik menyelesaikan skripsi ini. 11. Nadia Kristina, Zuliana Mufarihah, Suny Koswara, Laili Latifah untuk kebersamaan, dukungan, motivasi, semangat serta bantuannya selama penelitian. 12. Sebelas pejuang (Amalia, Sheila, Elli, Ardian, Irma, Tiwi, Hilda, Yayah, Rico, Lisna dan penulis) atas perjuangan dan keyakinan sehingga dapat sidang dan wisuda tepat waktu. 13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan. Jakarta, September 2010 Penulis

9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesa Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Hewan Jantan Testis Anatomi Testis Fisiologi Testis Epididimis dan Duktus (vas) Deferens Anatomi Epididimis dan Duktus (vas) Deferens Fisiologi Epididimis dan Duktus (vas) Deferens Spermatogenesis Tahap-Tahap Spermatogenesis Sel Spermatogenik Siklus Epitel Seminiferus Peranan Hormon Pada Spermatogenesis Testosteron Undekanoat Medroksiprogesteron Asetat BAB III KERANGKA KONSEP BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan... 26

10 4.2.1 Alat Bahan Prosedur Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan Hewan Perlakuan Cara dan Dosis Perlakuan Pembuatan Preparasi Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa Pengukuran Histologi Spermatogenesis Analisa Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis Pembahasan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 56

11 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan Testis dan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus Tahapan pembentukan spermatogenesis Tahapan perkembangan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus Mekanisme pengaturan hormon spermatogenesis Rumus bangun Testosteron Undekanoat Rumus bangun Medroksiprogesteron Asetat Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok Grafik konsentrasi spermatozoa vas deferens setelah perlakuan Grafik penilaian histologi spermatogenesis Nebido Depo Progestin Mikroemulsi Kosolven Larutan George Tikus jantan Kamar hitung hemasitometer Mikroskop cahaya Penimbangan tikus Pengambilan Depo Progestin Pengambilan Nebido Pengambilan mikroemulsi Penyuntikan TU dan MPA Pembiusan tikus Persiapan hewan yang akan dibedah Pembedahan Pengambilan jaringan/organ Testis dan vas deferens Vas deferens Testis Penampungan spermatozoa Pengawetan testis Pengambilan larutan george Pengenceran spermatozoa dengan larutan george Spermatozoa pada kamar hemasitometer Pengamatan dengan mikroskop... 62

12 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Rancangan Percobaan Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung Cara Pengenceran Rumus Konsentrasi Spermatozoa Nilai Histologi Spermatogenik Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Setelah Perlakuan Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis Dosis TU dan MPA pada Manusia Dosis TU dan MPA pada hewan percobaan (Tikus) Berat Badan Tikus Tiap Kelompok Hasil uji Normalitas Berat Badan Tikus Jantan Hasil uji Homogenitas Berat Badan Hasil uji Kruskall Wallis Berat Badan Tikus Jantan Hasil uji LSD Berat Badan Tikus Jantan Hasil uji normalitas konsentrasi spermatozoa Hasil uji Homogenitas Konsentrasi Spermatozoa Hasil uji Kruskall Wallis Konsentrasi Spermatozoa Hasil uji LSD Konsentrasi Spermatozoa Hasil uji Normalitas Histologi Spermatogenesis Hasil uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis Hasil uji LSD Histologi Spermatogenesis Kelarutan Medroksiprogesteron Asetat

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Surat Keterangan Hewan Uji Sertifikat Bahan Uji Medroksiprogestin Asetat (MPA) Bahan dan Alat Penelitian Kegiatan Penelitian Perhitungan Dosis Perhitungan Penyuntikan pada Hewan Percobaan Skema Kerja Pembuatan Preparasi Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Berat Badan Tikus Jantan Spermatozoa pada Kamar Hitung Hemasitometer Histologi Spermatogenesis Uji Normalitas Terhadap Berat Badan Tikus Jantan Uji Homogenitas Terhadap Berat Badan Tikus Jantan Uji Kruskal Wallis dan Uji LSD Terhadap Berat Badan Tikus Jantan Uji Normalitas Konsentrasi Spermatozoa Uji Homogenitas Konsentrasi Spermatozoa Uji Kruskal Wallis dan Uji LSD Terhadap Konsentrasi Spermatozoa Uji Normalitas Histologi Spermatogenesis Uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis Uji LSD Histologi Spermatogenesis

14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alat kontrasepsi pria yang pertama kali dikembangkan adalah alat kontrasepsi yang dapat mencegah spermatozoa bertemu dengan ovum. Keadaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan pemakaian kondom atau vasektomi. Kontrasepsi dengan menggunakan kondom dan teknik vasektomi ditemukan banyak kekurangannya sehingga saat ini dikembangkan metode kontrasepsi hormonal pria (Reddy, 2000). Telah dilakukan penelitian yang menjelaskan metode kontrasepsi pria dapat dilakukan dengan cara pemberian hormon, dimana proses spermatogenesis dikendalikan melalui hipotalamus-hipofisis-testis (Moeloek, 1991). Tujuan utama kontrasepsi hormonal pada pria adalah untuk menekan spermatogenesis sampai tercapai kondisi azoospermia yang bersifat sementara tanpa efek samping (Kamischke, 2000). Kontrasepsi hormonal berfungsi untuk menekan sekresi hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga produksi dan kualitas spermatozoa dapat dikendalikan dengan tetap memelihara libido normal (Yurnadi, 2008). Proses spermatogenesis dipengaruhi pada kerja Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Luteinizing Hormone (LH) bekerja pada sel-sel interstisial atau sel Leydig, yang merangsang

15 pembentukan testosteron yang diperlukan untuk perkembangan normal sel dari keturunan spermatogenik. Follicle Stimulating Hormone (FSH) diketahui bekerja pada sel Sertoli yang merangsang spermatogenesis dan memudahkan sintesis dan sekresi protein pengikat androgen (Junqueira, 2007). Adapun kontrasepsi hormonal yang dapat menekan produksi spermatozoa, diantaranya analog gonadotropin releasing hormone (GnRH), hormon-hormon steroid seperti androgen, progestin, dan estrogen (Moeloek, 1991). Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan kontrasepsi hormonal yang paling efektif dalam menginduksi spermatogenesis sehingga mencapai azoospermia. Penggunaan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) memiliki masa kerja yang panjang, sehingga mempunyai efek farmakokinetik dan farmakodinamik lebih baik dibandingkan dengan bahan lain, seperti kombinasi Testosteron Enantat (TE) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (Gu, 2004). Moeloek (2001) telah melakukan penelitian kontrasepsi hormonal pada pria di Jakarta dan Palembang. Dari hasil penelitian di Jakarta diperoleh pencapaian azoospermia 100% dengan pemberian 500 mg Testosteron Undekanoat (TU) mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) selama 48 minggu dengan interval 12 minggu. Sedangkan di Palembang terjadi pencapaian 100% azoospermia setelah 24 minggu dengan interval 12 minggu (Moeleok, 2001). Sementara dari hasil penelitian Gu (2004), pemberian hormon Testosteron Undekanoat (TU) +

16 Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dengan interval 8 minggu dapat menekan spermatogenesis sampai azoospermia pada pria Cina. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat mempengaruhi proses spermatogenesis karena terjadi hambatan sekresi gonadotropin (Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)) sehingga menghambat spermatogenesis dan cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi alat kontrasepsi hormonal pada pria (Gu, 2004). Penelitian yang telah banyak dilakukan, belum ada yang melakukan studi menggunakan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dalam formulasi kombinasi. Telah diketahui bahwa Testosteron Undekanoat (TU) 1000mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 150mg dan Testostesron Undekanoat 1000mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 300mg dapat menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia pada pria Cina (Gu, 2004). Di Indonesia, penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) 500mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 250mg menyebabkan azoospermia pada sukarelawan di Jakarta dan Palembang (Moeloek, 2001). Berdasarkan penelitian tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui formulasi kombinasi yang paling efektif menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia dengan dosis yang berbeda-beda. Formulasi kombinasi ini, diharapkan dapat digunakan sebagai hormon kontrasepsi pria yang lebih baik dari sediaan formulasi tunggal karena sudah mengandung dua zat

17 aktif (Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA)) dan lebih praktis dalam pemberian. Penelitian dilakukan untuk mengetahui formulasi tunggal dan formulasi kombinasi yang paling efektif pengaruhnya terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. 1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley? 2. Apakah terdapat perbedaan spermatogenesis antara penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA)? 1.3 Hipotesa 1. Terjadi penurunan jumlah konsentrasi spermatozoa setelah penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 2. Terdapat perbedaan spermatogenesis antara formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA).

18 1.4 Tujuan Penelitian 1. Menguji pengaruh formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. 2. Mencari formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang paling efektif menghambat spermatogenesis dan konsentrasi spermatozoa. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Mengetahui pengaruh formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. 2. Mengetahui formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang paling efektif menghambat spermatogenesis dan konsentrasi spermatozoa.

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Reproduksi Hewan Jantan Sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas testis, epididimis, duktus deferens, kelenjar aksesori (kelenjar vesikulosa, prostat dan bulbouretralis), uretra dan penis. Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim. (William, 2005). 2006) Gambar 1. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan (Suckow,

20 2.2 Testis Anatomi Testis Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dan sedikit gepeng. Testis terletak dalam skrotum dan dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu tunika albuginea. Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan membentuk mediastinum testis, yaitu tempat penjuluran yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250 kompartemen piramid yang disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni oleh 1-4 tubulus seminiferus. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum saat testis masih berada dalam rongga abdomen. Sedangkan permukaan posterior menjadi tempat masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Skrotum memiliki peran penting dalam memelihara testis pada suhu di bawah suhu intra abdomen, yaitu sekitar 4 C-7 C (Manika, 1991) Fisiologi Testis Testis merupakan organ yang berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan menghasilkan hormon (testosteron). Sekitar 80%, testis terdiri dari tubulus seminiferus yang berkelak-kelok, yang di dalamnya berlangsung spermatogenesis. Tubulus yang berkelak-kelok dalam lobulus semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis (Heffner, 2008). Tubulus seminiferus merupakan tempat terjadinya spermatogenesis. Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di

21 dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara metabolik dan struktural untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini juga berfungsi pada proses aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel Leydig yang memproduksi androgen. Selain itu sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus (Heffner, 2008). Gambar 2. Testis dan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus (Junqueira, 2007).

22 2.3 Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens Anatomi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran berkelok-kelok secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis diperkirakan mempunyai tiga regio : kaput (kepala), korpus (badan), dan kauda (ekor). Permukaan sel epitel duktus ini ditutupi oleh mikrovili panjang yang bercabang dan tidak teratur yang biasa disebut stereosilia. Epitel duktus epididimis turut serta dalam pengambilan dan pencernaan badan-badan residu yang dikeluarkan selama proses spermatogenesis berlangsung. Duktus-duktus epididimis dari setiap testis menyatu untuk membentuk sebuah saluran berdinding tebal dan berotot yang disebut duktus (vas) deferens. Dari setiap testis duktus deferens berjalan keluar dari kantong skrotum dan kembali ke dalam rongga abdomen dan berakhir di ureter di bagian leher kandung kemih. Dinding duktus deferens tebal dan berotot dengan lubang kecil sehingga terasa padat dan dapat diraba (lewat kulit) di bagian leher skrotum dan dapat diikat atau dipotong pada saat vasektomi (Fawcett, 2002) Fisiologi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens Epididimis merupakan daerah penumpukan dan penyimpanan spermatozoa setelah meninggalkan testis. Secara umum epididimis memiliki fungsi utama, yaitu transportasi, pemekatan (konsentrasi), pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Duktus-duktus epididimis melaksanakan beberapa fungsi penting tersebut. Sewaktu meninggalkan

23 testis, spermatozoa belum mampu bergerak atau membuahi (belum matang secara fisiologis). Spermatozoa memperoleh kedua kemampuan tersebut selama perjalanannya melintasi epididimis. Proses pematangan ini dirangsang oleh testosteron yang tertahan di dalam cairan tubulus oleh protein pengikat androgen. Kapasitas spermatozoa untuk membuahi semakin ditingkatkan ketika disekresikan ke dalam saluran reproduksi wanita, yang disebut kapasitasi (Sherwood, 2001). Epididimis juga memekatkan spermatozoa beberapa ratus kali lipat dengan menyerap sebagian besar cairan yang masuk dari tubulus seminiferus. Spermatozoa yang telah matang secara perlahan bergerak melintasi epididimis ke dalam duktus deferens akibat kontraksi ritmik otot polos di dinding saluran-saluran tersebut. Duktus (vas) deferens berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa yang penting. Hal ini disebabkan karena spermatozoa yang terkemas rapat relatif inaktif dan kebutuhan metabolit mereka juga rendah. Spermatozoa dapat disimpan dalam duktus deferens selama beberapa hari walaupun tidak mendapat pasokan nutrisi dari darah dan hanya mendapat makanan dari gula-gula sederhana yang terdapat disekresi tubulus (Sherwood, 2001).

24 2.4 Spermatogenesis Tahap-Tahap Spermatogenesis Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel yang baru dibentuk dapat mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom dalam berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya (Fawcett, 2002). Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-s (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah selama pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses meiosis

25 menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal (Junqueira, 2007). Gambar 3. Tahapan pembentukan spermatogenesis (Junqueira, 2007) Sel Spermatogenik Perkembangan sel spermatogenik merupakan suatu kejadian yang sangat kompleks dari berbagai tipe sel spermatogenik yang disebut spermatogenesis. Sebagian besar sel-sel yang menyusun epitel seminiferus adalah sel spermatogenik dengan berbagai tahap perkembangan tertentu (Naz, 2006). Telah dijelaskan pada tahap-tahap perkembangan spermatogenenesis, bahwa perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa memerlukan beberapa perkembangan tertentu.

26 Proses perkembangan tersebut dibagi menjadi tiga tahap: a. Spermatositogenesis: Diferensiasi spermatogonia menjadi spermatosit primer. b. Meiosis: perkembangan sel, dimana spermatosit primer memiliki kromosom diploid membentuk spermatid haploid. c. Spermiogenesis: Transformasi spermatid menjadi spermatozoa (sperma). Diferensiasi Spermatogonia Spermatogonia yang terletak di lapisan paling luar tubulus secara terus menerus membelah dengan cara mitosis dimana sel baru yang terbentuk identik dengan sel induk. Peristiwa ini disebut proliferasi mitotik. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinyu sel-sel germinativum baru. Menurut gambaran inti selnya, pada manusia dikenal tiga jenis spermatogonia : a. Spermatogonia gelap tipe A, dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahankan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat tipe A yang memiliki inti lonjong pucat. b. Spermatogonia pucat tipe A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi spermatogia B (menjadi spermatogonia pucat tipe A yang lain). c. Spermatogonia tipe B mempunyai inti bulat yang mengandung kromatin padat dengan membran inti. Bila spermatogonia tipe B

27 membelah diri dengan cara mitosis, sel-sel tersebut menghasilkan selsel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Leeson, 1996). Setelah pembelahan mitosis spermatogonia, salah satu sel anak tetap berada diluar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak berdiferensiasi untuk mempertahankan lapisan sel germinativum. Sementara itu, sel-sel anak lainnya berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi dan untai-untai ganda tetap bersatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama (Sherwood, 2001). Pembelahan Meiosis Spermatosit Pembelahan meiosis pertama dari spermatosit primer, diikuti dengan pembelahan meiosis kedua spermatosit sekunder, dimana jumlah kromosom berkurang dan DNA spermatid menjadi haploid (n). Profase I pada pembelahan meiosis pertama melibatkan empat tahap: 1. Leptoten 2. Zigoten 3. Pakiten 4. Diakinase Kromosom dari spermatosit primer mulai migrasi, membentuk benang panjang selama leptoten dan pasangan homolog selama zigoten. Selanjutnya hasil migrasi singkat kromosom terjadi selama pakiten. Pertukaran kromosom homolog terjadi selama diakinase.

28 Metafase I, pasangan kromosom homolog berbaris di garis khatulistiwa. Setiap pasangan kromosom berpisah dan bermigrasi ke kutub yang berlawanan dari sel pada anafase I, dan sel-sel terpisah membentuk dua spermatosit sekunder selama telofase I spermatosit sekunder adalah sel yang relatif kecil, dan karena mereka berumur pendek, mereka tidak mudah terlihat di epitel seminiferus. Selama mitosis spermatogonia dan meiosis dari spermatosit, pembelahan melibatkan dua komponen : pembelahan nukleus dan pembelahan sitoplasma (sitokinesis) (Gartner, 2007). Spermiogenesis Spermiogenesis merupakan tahap akhir produksi spermatozoa. Spermiogenesis adalah proses transformasi spermatid menjadi spermatozoa, yaitu sel yang sangat dikhususkan untuk menyampaikan DNA jantan kepada ovum. Tidak terjadi pembelahan sel selama proses ini berlangsung (Junqueira, 2007). Spermatid dapat dikenali dari ukurannya yang kecil dan intinya dengan daerah kromatin padat. Letak spermatid di dalam tubulus seminiferus adalah di dekat lumen. Spermiogenesis adalah suatu proses perkembangan rumit yang mencakup pembentukan akrosom, pemadatan dan pemanjangan inti, pembentukan flagelum, dan hilangnya sebagian besar sitoplasma. Hasil akhirnya adalah spermatozoa matang yang kemudian dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus (Gartner, 2007).

29 Spermiogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase : a. Fase golgi Sitoplasma spermatid mengandung kompleks Golgi di dekat inti, mitokondria, sepasang sentriol, ribosom bebas, dan tubulus retikulum endosplasma halus. Granula proakrosom berkumpul di kompleks Golgi dan kemudian menyatu membentuk satu granula akrosom yang terdapat dalam vesikel akrosom. b. Fase akrosom Vesikel dan granula akrosom menyebar untuk menutupi belahan anterior inti yang memadat yang dikenal akrosom. Akrosom mengandung beberapa enzim hidrolitik, seperti hialuronidase, asam fosfatase, neuraminidase, dan protease. Jadi, akrosom berfungsi sebagai lisosom. c. Fase pematangan Sitoplasma residu dibuang dan difagositosis oleh sel Sertoli dan spermatozoa dilepaskan ke dalam lumen tubulus (Junqueira, 2007) Siklus Epitel Seminiferus Satu siklus seminiferus merupakan satu tingkat perkembangan sel tertentu dari epitel tubulus seminiferus dimana, terjadi perkembangan dari satu sel menjadi satu tingkat sel yang lebih dewasa pada siklus yang sama. Epitel seminiferus testis terdiri dari sel Sertoli dan sel spermatogenik. Perkembangan epitel seminiferus bergantung pada perbedaan waktu proliferasi dan diferensiasi sel induk spermatogonia. Pada tikus, waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus epitel seminiferus adalah 12,9 hari (13

30 hari). Sedangkan satu siklus spermatogenesis (spermatogonia menjadi spermatozoa) adalah 51,6 hari (sekitar 8 minggu). Sehingga dapat dikatakan bahwa satu siklus spermatogenesis memerlukan 4 siklus epitel seminiferus. Pada potongan melintang tubulus seminiferus testis tikus tipe asosiasi sel dibagi dalam 14 tahapan. Setiap asosiasi sel, terdiri dari sekumpulan sel spermatogenik yang selalu tersusun teratur dari spermatogonia, spermatosit dan spermatid yang terdapat pada berbagai tingkat perkembangan (Franca, 1998). Tahapan spermatogenesis tersusun dari susunan antara spermatogonia A, spermatogonia intermedia, spermatogonia B, spermatosit primer dalam berbagai tahap profase (leptoten, zigoten, pakiten, diploten dan diakinase) dan spermatid dengan 19 langkah spermatogenesis (Franca, 1998). Gambar 4. Tahapan perkembangan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Dunkel, 1997)

31 Pada manusia, satu siklus epitel seminiferus membutuhkan waktu 16 hari dan waktu yang diperlukan untuk satu siklus spermatogenesis 64 hari (sekitar 8 minggu). Sedangkan satu siklus spermatogenesis memerlukan 4-5 siklus epitel seminiferus dimana tipe asosiasi sel dibagi dalam 6 tahapan (Weinbauer, 1999). Pentingnya mengidentifikasi tahapan spermatogenesis berkaitan dengan sifat siklus dan proses biokimia yang terjadi selama pematangan epitel spermatogenik (Heninger, 2004). 2.5 Peranan Hormon Pada Spermatogenesis Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Pengaturan pembentukan spermatogenesis dimulai dengan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH). Selanjutnya, Luteinizing Hormone (LH) merupakan rangsangan utama untuk sekresi testosteron pada sel Leydig yang diperlukan untuk perkembangan normal sel spermatogenik, sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) untuk merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen oleh sel Sertoli, yang merupakan komponen tubulus testis yang berguna menyokong pematangan sel spermatozoa dalam proses spermatogenesis (Sherwood, 2001).

32 Gambar 5. Mekanisme pengaturan hormon spermatogenesis (Dee, 2004) Maka, dapat disimpulkan bahwa hormon memiliki peranan yang penting terhadap terbentuknya spermatogenesis. Adapun hormon yang terlibat diantaranya testosteron, Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), estrogen, dan hormon pertumbuhan lainnya (Naz, 2006). A. Testosteron Testosteron merupakan salah satu bentuk hormon kelamin pria, androgen. Androgen berasal dari testis dan sebagian diproduksi oleh kelenjar adrenal. Androgen sendiri terdiri dari beberapa hormon, yaitu testosteron, hidrotestosteron dan androstenedion. Namun demikian, jumlah testosteron lebih banyak dibandingkan dengan hormon yang lain. Hormon ini memegang peranan penting pada satu tahap penting proses pembelahan sel-sel germinal untuk pembentukan spermatozoa, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini mengontrol

33 perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak, pubis, dada, kumis dan jenggot serta untuk pertumbuhan otot dan tulang (Ascobat, 2008). B. Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) Luteinizing Hormone (LH) disekresikan oleh sel karminofil dari kelenjar hipofisis bagian anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron, juga berperan dihasilkannya estradiol. Follicle Stimulating Hormone (FSH) merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen (ABP) oleh sel Sertoli. Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. Dengan demikian Follicle Stimulating Hormone (FSH) bekerja menyiapkan kadar androgen yang cukup untuk sel germinal dan memacu pendewasaan spermatozoa di dalam epididimis (Junqueira, 2007). C. Estrogen Dibentuk oleh sel-sel Sertoli ketika sedang distimulasi oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon ini kemungkinan diperlukan pada proses spermiasi. Sel-sel Sertoli juga mengsekresikan suatu protein pengikat androgen yang mengikat baik testosteron dan estrogen maupun keduanya ke dalam cairan tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk maturasi spermatozoa (Suherman, 2008).

34 D. Hormon pertumbuhan lainnya Seperti juga pada sebagian besar hormon lainnya diperlukan untuk mengatur latarbelakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogenesis (Sherwood, 2001) Testosteron Undekanoat Testosteron Undekanoat (TU) (17-hydroxy-4androsten-3-one 17- undecanoate) merupakan testosteron ester golongan asam lemak alifatik yang mempunyai rantai samping panjang, sehingga lebih bersifat lipofilik. Esterifikasi testosteron menghasilkan molekul yang kurang polar dan dapat larut dalam minyak dan jaringan lemak. Testosteron Undekanoat (TU) merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Testosteron Undekanoat (TU) mempunyai waktu paruh yang panjang yakni 6-10 minggu. Hal ini disebabkan karena rantai samping alifatik yang panjang, semakin panjang rantai karbon maka waktu paruhnya akan memanjang pula (Woferst, 2007). Gambar 6. Rumus bangun Testosteron Undekanoat (Ilyas, 2008).

35 Testosteron Undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara injeksi secara intramuskular. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis Testosteron Undekanoat (TU) tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon-reseptor. Kompleks hormon-reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA. Tujuan utama pemberian Testosteron Undekanoat (TU) adalah mempertahankan tingginya kadar testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kotrasepsi pria (Ilyas, 2008). 2.7 Medroksiprogesteron Asetat Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan esterifikasi progesteron pada rantai C-17 grup hidroksil sehingga menghasilkan rantai alkil. Semakin panjang rantai alkil ini semakin lama pula efek kerjanya di dalam tubuh, karena waktu biotransformasinya menjadi lebih lama (Henzl, (1991) dalam disertasi Ilyas (2007)). Berbentuk serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau dan stabil dalam air. Medroksiprogesteron Asetat (MPA) memiliki titik cair antara 200 C-210 C dan mudah larut dalam kloroform, aseton dan di-oksan, dapat larut dalam etanol dan metanol, sukar larut dalam eter, serta tidak larut dalam air (Moeloek, 1991).

36 Gambar 7. Rumus bangun Medroksiprogesteron Asetat (Andajaningsih, 1995). Medroksiprogesteron Asetat (MPA) adalah suatu progesteron sintetik yang memiliki efek kerja panjang (long acting) di dalam tubuh bila diberikan secara intramuskular. Penggunaan progesteron pada pria didasari oleh prinsip kerja yang sama pada wanita, yaitu menekan sekresi gonadotropin hipofisis yang menghambat produksi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) melalui umpan balik negatif dan selanjutnya akan menekan spermatogenesis sehingga dapat digunakan sebagai kontarsepsi pria. Pada pria progesteron dihasilkan oleh testis dan kelenjar adrenal testis sebagai hasil antara biosintesis androgen testis dan kortiko steroid meskipun dalam jumlah relatif sedikit (Moeloek, 1991). Pemberian progestin pada laki-laki normal akan menekan fungsi testis secara efektif, menurunkan jumlah sperma dan menekan libido serta potensi seks. Dari berbagai penelitian diketahui dosis efektif Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang dapat menurunkan konsentrasi dan viabilitas spermatozoa, serta kadar hormon testosteron pada tikus galur

37 Sprague-Dawley adalah dosis 1,25 mg. Sedangkan untuk menekan produksi hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) pada pria dan wanita adalah dosis 150 mg dan dosis ini dapat bertahan di dalam tubuh selama tiga bulan ( Yurnadi, 2008). Pemberian kombinasi 500 mg Testosteron Undekanoat (TU) dengan 250 mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan spermatogenesis sampai azoospermia (Gu, 2004). Penggunaan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan spermatogenesis tetapi juga menekan sekresi testosteron. Hal ini menyebabkan penurunan libido, sehingga perlu dikombinasikan dengan Testosteron Undekanoat (TU). Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan kontrasepsi paling efektif dan waktu yang dibutuhkan untuk menghambat sekresi gonadotropin (Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)) dapat lebih lama (Kusmana, 2001).

38 BAB III KERANGKA KONSEP Tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley Aklimatisasi 1 minggu Penimbangan Penyuntikan minggu ke 0 Penimbangan Penyuntikan minggu ke 8 Penimbangan Pembedahan minggu ke 12 Pembuatan preparasi Testis Vas deferens Pengamatan histologi spermatogenesis Pengukuran konsentrasi spermatozoa Analisa data

39 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Biologi Universitas Indonesia. Penelitian berlangsung selama 5 bulan, terhitung dari bulan Mei 2010 sampai dengan September Alat dan Bahan Alat Gelas piala, cawan arloji, kaca objek dan penutupnya, tabung reaksi, wadah pembiusan, timbangan analitik (Precisa XT 220A), Hemositometer Improved Neubeur, mikroskop cahaya (motic), alat bedah, botol minuman, kandang, alat bedah 1 set, mikropipet, Spuit Therumo Syringe 1 ml, kapas, sarung tangan, masker Bahan Tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan gram, makanan dan minuman tikus, NaCl fisiologis, Medroksiprogesteron Asetat (MPA), Testosteron Undekanoat (TU), Nebido, Depo progestin, Eter, Alkohol, larutan Hematoksilin, larutan Bouin (asam pikrat, formaldehid 4%, asam asetat), larutan xilol, larutan Eosin, larutan George, Alkohol, Parafin, larutan Paraformaldehid 4%, Aquabidestilat.

40 4.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental yang terdiri atas 8 kelompok perlakuan dengan masing-masing terdiri dari 3 ekor tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. Hal ini memenuhi rumus Federer, yaitu : (n-1) (t-1) 15 keterangan : (n-1) (8-1) 15 (n-1) 7 15 n : jumlah hewan percobaan tiap kelompok t : jumlah kelompok 7n n 22 n 3,1 ~ 3 Tabel 1. Rancangan Percobaan No Kelompok Dosis (mg) Waktu Pengukuran TU MPA penyuntikan(minggu) spermatozoa dan testis 1. K1 FT 2,5 1, minggu 12 (N + DP) 2 K2 FT 5 0, minggu 12 (N + DP) 3 K3 FT 5 1, minggu 12 (N + DP) 4 K4 FK 2,5 1, minggu 12 ME 5 K5 FK 5 0, minggu 12 ME

41 6 K6 FK 5 1, minggu 12 ME 7 K7 FK 2,5 1, minggu 12 Kos 8 Kontrol minggu 12 normal Ket : K = Kelompok FT FK N DP ME Kos = formulasi tunggal = formulasi kombinasi = Nebido (Testosteron Undekanoat (TU)) = Depo progestin (Medroksiprogesteon Asetat (MPA)) = Mikro Emulsi ( TU/MPA) = Kosolven (TU/MPA) 4.4 Perlakuan Hewan Percobaan Hewan Perlakuan Sebelum percobaan, tikus diaklimatisasi selama 1 minggu dengan pemberian makanan dan minuman secukupnya. Penimbangan dilakukan sebelum dan sesudah penyuntikan untuk mengetahui pertambahan berat badan masing-masing kelompok. Kemudian, setiap ekor tikus diberi tanda pengenal agar tidak salah dalam perlakuan, selanjutnya dilakukan penyuntikan sesuai dengan rancangan percobaan.

42 4.4.2 Cara dan Dosis Perlakuan Tikus disuntik dengan formulasi tunggal (TU + MPA) dan formulasi kombinasi (TU/MPA) sesuai dengan dosis rancangan percobaan. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali pada minggu ke-0 dan minggu ke- 8 secara IM (intra muskular) pada bagian paha kanan dan pada paha kiri. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali agar kombinasi TU + MPA efektif dalam menghambat sekresi hormon gonadotropin (LH dan FSH) (Yurnadi, 2008). Tikus yang telah mendapat perlakuan kemudian dipelihara dan dirawat sampai minggu ke-12 untuk dipreparasi Pembuatan Preparasi Setelah minggu ke-12, tikus dibius dengan eter, kemudian dibedah. Diambil bagian testis dan duktus (vas) deferens, lalu dibuat preparasi. Jaringan testis yang telah diambil, difiksasi dalam larutan Bouin dan dibiarkan selama kurang lebih 24 jam. Kemudian dilakukan pencucian, yaitu mencuci organ dengan alkohol 70% yang dilakukan berulang-ulang selama kurang lebih 30 menit. Hal ini bertujuan agar warna kuning (larutan Bouin) berkurang atau tampak jernih. Jaringan didehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat dari alkohol 70%, 80%, 96% dan alkohol absolut selama kurang lebih 1 jam untuk menarik molekul air yang keluar dari jaringan. Selanjutnya jaringan dijernihkan dengan larutan benzil benzoat selama 24 jam, lalu dalam benzol sebanyak 2 kali 15 menit sampai jaringan tampak jernih atau transparan (Ilyas, 2007). Setelah itu, dilakukan infiltrasi dengan parafin dalam beberapa tahap, yaitu jaringan direndam dalam parafin I selama 30 menit, parafin II

43 selama 60 menit, dan parafin III selama 90 menit. Infiltrasi dilakukan dalam oven dengan suhu 56 C-58 C. Perlakuan berikutnya adalah penanaman jaringan yang telah diinfiltrasi dalam parafin cair lalu diletakkan dalam kotak kertas sesuai dengan ukuran masing-masing jaringan yang akan ditanam. Kotak kertas yang telah berisi jaringan dimasukkan dalam lemari es dan dibiarkan membeku (Kusmana, 2001). Selanjutnya, pemotongan jaringan setebal 3-6µm dengan menggunakan pisau mikrotom putar dan hasil irisan ditempelkan pada kaca objek. Preparat pada kaca objek dipanaskan sampai jaringan mengembang dengan sempurna. Sebelum jaringan diwarnai, sediaan direndam dalam xilol selama 5 menit sebanyak 2 kali. Hal tersebut bertujuan agar sisa parafin yang masih merekat pada jaringan dapat dihilangkan. Xilol dihilangkan dengan merendam jaringan pada larutan alkohol bertingkat dari konsentrasi tinggi turun secara bertahap (100%, 90%, 80%, dan 70%) masing-masing selama 3 menit. Untuk pewarnaan dilakukan dengan hematoksilin dan eosin (HE). Jaringan yang telah diwarnai dijernihkan dengan xilol selama 5 menit agar jaringan tampak lebih cerah. Pada tahap akhir, jaringan testis pada kaca objek diberi entelan dan ditutup dengan kaca penutup sehingga dapat dilakukan pengamatan (Woferst, 2007). Parameter pengamatan mikroskopik pada tubulus seminiferus testis meliputi tahap-tahap spermatogenesis. Sedangkan pada duktus (vas) deferens pengamatan dilakukan terhadap konsentrasi spermatozoa yang dinyatakan dalam juta/ml (Kusmana, 2001).

44 4.4.4 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa Pengukuran konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengambil spermatozoa pada duktus (vas) deferens. Spermatozoa yang didapat diletakkan pada kaca arloji yang berisi cairan NaCl sebanyak 250 µl. Spermatozoa dimasukkan kedalam bilik hitung Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar. Setelah diketahui jumlah spermatozoa, maka dapat dilakukan pengukuran untuk menentukan konsentrasi spermatozoa (yang dinyatakan dalam juta/ml) sesuai dengan tabel dibawah ini (Ilyas, 2007). Bila dari 1 kotak didapat : Tabel 2. Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung No Jumlah Spermatozoa Pengenceran Kotak yang Dihitung 1 > kali 5 kotak kali 10 kotak 3 <15 10 kali 25 kotak Dari jumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang terhitung (Ilyas, 2007). Tabel 3. Cara Pengenceran No Pengenceran Pembuatan Pengenceran 1 50 kali a. 980 µl larutan George + 20 µl spermatozoa b µl lar. George + 50 µl spermatozoa

45 2 20 kali 950 µl lar. George + 50 µl spermatozoa 3 10 kali a. 900 µl lar. George µl spermatozoa b. 450 µl lar. George + 50 µl spermatozoa Setelah dilakukan pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara pengenceran pada tabel diatas. Kemudian dilakukan pengukuran spermatozoa sesuai rumus di bawah ini (Ilyas, 2007). Tabel 4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa No Kotak Rumus konsentrasi spermatozoa 1 5 n x x faktor pengenceran (50) x n x x faktor pengenceran (20) x 2, n x x faktor pengenceran (10) Ket : n = jumlah spermatozoa setelah pengenceran Dari perhitungan jumlah spermatozoa, dapat dihitung pula frekuensi timbulnya azoospermia. Azoospermia adalah suatu keadaan dimana tidak ada spermatozoa dalam cairan semen. Sedangkan oligozoospermia adalah suatu keadaan dimana terdapat sedikit spermatozoa dalam cairan semen (spermatozoa 20 juta/ml) (WHO, 1999). Penetapan timbulnya azoospermia dilakukan dengan cara membagi banyaknya individu yang mengalami azoospermia (Az) dengan banyaknya individu dalam satu kelompok (n) dikalikan 100% (Kusmana, 2001).

46 4.4.5 Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis Pengukuran dilakukan untuk mengetahui spermatogenesis dalam tubulus seminiferus. Metode yang dapat digunakan untuk menilai spermatogenesis adalah dengan menggunakan tabel Johnsen (1970). Penilaian dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai tiap tubulus dalam sediaan kemudian dibagi dengan jumlah tubulus yang dinilai. Angka ratarata yang didapat merupakan nilai akhir untuk sediaan tersebut. Cara ini mempunyai keuntungan cepat untuk dilakukan, dapat dibandingkan dengan antara perlakuan yang satu dan yang lain serta memberi gambaran tentang spermatozoa (Kusmana, 2001). Tabel 5. Nilai Histologi Spermatogenik Nilai Kriteria Histologi 10 Spermatogenesis lengkap dan teratur dengan spermatozoa banyak dan epitel seminiferus normal. Lumen tubulus terbuka 9 Spermatozoa banyak, tetapi epitel seminiferus tidak teratur, tampak bagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing). Lumen tubulus tertutup 8 Jumlah spermatozoa dalam tubulus kurang dari sepuluh 7 Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus, tetapi masih banyak spermatid 6 Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus kurang dari sepuluh

47 5 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus, tetapi masih banyak spermatosit 4 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus dan jumlah spermatosit kurang dari lima 3 Sel kelamin dalam tubulus hanya terdiri atas spermatogonia 2 Dalam tubulus tidak ada sel kelamin, hanya sel Sertoli 1 Dalam tubulus tidak ada sel 4.5 Analisa Data Data hasil penelitian dianalisa untuk melihat adanya perbedaan berat badan, konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis dari masingmasing kelompok perlakuan. Data-data yang diperoleh dianalisa menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 17 yang meliputi uji homogenitas, uji kenormalan, uji parametrik (Anova) atau non parametrik (Kruskall Wallis). Hipotesis : Ho: tidak ada perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok Ha : terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok Kriteria pengujian : Bila nilai sig 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan. Bila nilai sig 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan (Nasikin, 2007).

48 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus Hasil pengukuran berat badan tikus baik pada kelompok formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi serta kelompok yang tidak mendapat perlakuan menunjukkan peningkatan berat badan. Tabel 6. Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok No Tanggal Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok (Gram) I II III IV V VI VII VIII 1 28 April ,33 253,33 253,33 246,66 260,00 253,33 253,33 246, Mei ,00 260,00 270,00 251,66 280,00 253,33 266,66 251, Mei ,66 296,66 308,66 275,00 298,66 286,66 298,00 278, Mei ,00 305,33 317,00 280,66 306,66 301,00 307,33 284, Mei ,00 313,66 324,66 285,66 314,66 308,00 316,66 288, Mei ,33 321,00 330,00 291,66 304,00 317,33 322,66 303, Juni ,00 327,33 339,33 299,00 314,33 324,00 328,66 309, Juni ,66 338,00 347,33 312,33 325,66 335,00 336,33 315, Juni ,00 345,33 361,66 319,00 335,00 344,00 348,66 320, Juni ,00 344,00 364,66 321,00 344,00 349,66 355,00 324, Juni ,00 348,00 371,66 331,00 348,66 356,00 359,66 328, Juni ,66 356,33 381,66 344,33 359,00 351,33 372,00 333,00

49 13 1 Juli ,33 368,66 394,66 355,00 377,33 381,66 392,33 355, Juli ,33 379,00 399,00 368,33 372,00 393,33 389,00 368, Juli ,33 373,66 397,33 354,66 375,66 387,66 379,00 365, Juli ,33 384,66 389,33 352,00 348,00 370,33 358,00 365, Juli ,00 381,66 398,33 351,33 346,00 369,66 379,33 373, Juli ,33 388,66 406,33 359,66 352,66 395,66 393,00 384, Juli ,33 396,33 412,66 366,00 363,66 406,33 408,33 390, Juli ,66 399,66 413,66 369,66 370,33 407,00 410,66 396,33 Gambar 8. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok

50 5.1.2 Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa Hasil perhitungan/pengukuran konsentrasi spermatozoa dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Setelah Perlakuan No Kelompok Hewan Jumlah Konsentrasi Rata-rata Rata-rata Percobaan spermatozoa Spermatozoa Konsentrasi Konsentrasi dalam 10 (Juta/mL) Tiap Tikus Tiap kotak (ekor) (Juta/ml) Kelompok Kanan kiri Kanan Kiri (Juta/ml) 1 I (TU 2,5 mg + MPA 1,25 mg) 2 II (TU 5 mg + MPA 0,75 mg) 3 III (TU 5 mg + MPA 1,125 mg) 4 IV( ME TU 2,5 mg / MPA 1,25 mg) Tikus ,5 9,5 9,5 Tikus ,5 11,5 11 Tikus ,5 9,25 Tikus ,5 Tikus ,5 Tikus Tikus Tikus ,5 1,25 Tikus ,5 1 0,75 Tikus Tikus ,5 1 0,75 Tikus ,5 1,25 9,9 5, V ( ME TU 5 Tikus ,5 7,75

51 mg / MPA 0,75 mg) 6 VI ( ME TU Tikus ,5 9,5 9,5 9,1 Tikus ,5 10,25 Tikus ,5 5,5 5 5 mg / MPA 1,125 mg) 7 VII ( Kos TU 2,5 mg / MPA 1,25 mg) 8 VIII (kontrol normal) Tikus Tikus Tikus ,5 8,25 Tikus , ,25 Tikus ,5 Tikus ,5 Tikus ,5 Tikus ,5 4,6 9,3 37,5 Gambar 9. Grafik konsentrasi spermatozoa vas deferens setelah perlakuan

52 5.1.3 Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis Hasil perhitungan/pengukuran histologi spermatogenesis dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8. Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis No Kelompok Hewan Skor / Nilai Rata-rata Rata-rata Percobaan Kanan Kiri Penilaian Penilaian Tiap Tiap Tikus Kelompok 1 I (TU 2,5 mg + MPA 1,25 mg) 2 II (TU 5 mg + MPA 0,75 mg) 3 III (TU 5 mg + MPA 1,125 mg) 4 IV (ME TU 2,5 mg / MPA 1,25 mg) 5 V (ME TU 5 mg / MPA 0,75 mg) Tikus ,15 Tikus 2 9,4 9,3 9,35 Tikus 3 9 9,2 9,1 Tikus 1 8,2 8,4 8,3 8,16 Tikus 2 8,1 8,2 8,15 Tikus 3 8 8,1 8,05 Tikus 1 6 6,4 6, Tikus 2 6,3 6,3 6,3 Tikus Tikus 1 6 6,1 6,05 6,1 Tikus Tikus 3 6,2 6,3 6,25 Tikus 1 8,2 8,3 8,25 8,28 Tikus 2 8,3 8,4 8,35 Tikus 3 8,2 8,3 8,25 6 VI ( ME TU Tikus 1 7,1 7,2 7,15 7,21

53 5 mg / MPA 1,125 mg) 7 VII (Kos TU 2,5 mg + MPA 1,25 mg) 8 VIII Tikus 2 7 7,2 7,1 Tikus 3 7,4 7,4 7,4 Tikus 1 9 9,1 9,05 9,2 Tikus 2 9,3 9,2 9,25 Tikus 3 9,2 9,4 9,3 Tikus 1 9, (Kontrol normal) Tikus Tikus 3 9,625 9, Keterangan : Penilaian histologi spermatogenesis dapat dilihat pada tabel 5 Bab IV. Gambar 10. Grafik penilaian histologi spermatogenesis

54 5.2 Pembahasan Hasil uji normalitas dan homogenitas berat badan menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p 0,05). Namun terdapat data yang tidak homogen (p 0,05) dan homogen (p 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji ANOVA (untuk data yang terdistribusi normal (p 0,05) dan homogen (p 0,05)) dan uji nonparametrik Kruskal Wallis (untuk data yang terdistribusi normal (p 0,05) dan tidak homogen (p 0,05)). Hasil uji ANOVA dan uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data berat badan antara kelompok perlakuan baik formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) dan formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 12, 13 dan 14). Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan hormon steroid yang dapat merangsang pertumbuhan badan, perkembangan otot rangka dan tulang yang disertai pertambahan berat badan pada efek anabolik. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pemberian hormon steroid dalam dosis farmakologis pada orang normal akan membesarkan otot dan berat badan lebih dari normal (Ascobat, 2008).

55 Beberapa data memang mendukung bahwa pemberian Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat merangsang pertambahan berat badan, akan tetapi dapat kembali normal. Gu (2004), telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa dengan pemberian Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (1000mg TU + 150mg MPA) pada manusia selama 48 minggu, rata-rata berat badan bertambah pada semua kelompok dengan kenaikan maksimum 1,4 kg selama perlakuan, tetapi kembali normal secara bertahap ke arah nilai awal setelah periode injeksi. Zhang (1999), juga melakukan penelitian dengan menggunakan Testosteron Undekanoat ( TU) dosis 500mg dan 1000mg pada manusia selama 36 minggu. Dari hasil penelitiannya rata-rata berat badan bertambah 4,1% selama perlakuan dan kembali normal setelah pemulihan. Penelitian yang dilakukan oleh Yurnadi (2009) dengan pemberian dosis minimal 1,25mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) pada tikus jantan (setara dengan 150mg pada manusia) selama 48 minggu menyebutkan rata-rata berat badan terjadi penambahan sebanyak 2,6% dari masing kelompok, akan tetapi dari hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa berat badan tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p 0,05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Hasil penelitian yang dilakukan disimpulkan terdapat pertambahan berat badan setelah penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dan

56 Medroksiprogesteron Asetat (MPA) tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p 0,05) dengan kontrol normal. Hasil uji normalitas dan homogenitas konsentrasi spermatozoa menunjukkan bahwa data terdistribusi tidak normal (p 0,05). Namun homogen (p 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data konsentrasi spermatozoa antara formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) maupun formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 15, 16 dan 17). Penyuntikan formulasi tunggal (TU + MPA) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi (TU/MPA) dan kosolven (TU/MPA)) bertujuan untuk mengetahui sediaan yang paling efektif dalam menghambat spematogenesis hingga mencapai azoospermia. Hasil pada penelitian ini, memperlihatkan telah terjadi penurunan konsentrasi spermatozoa setelah dilakukan penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Meskipun belum mencapai azoospermia, baik kelompok formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi telah menunjukkan penurunan konsentrasi

57 spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia. Dari tujuh kelompok perlakuan, kelompok formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan kelompok formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg) yang paling berpengaruh menekan produksi spermatozoa, dimana rata-rata jumlah konsentrasi spermatozoa untuk kedua kelompok tersebut hanya 1 juta/ml (data dapat dilihat pada tabel 7). Penurunan konsentrasi spermatozoa terjadi karena penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat mempengaruhi spermatogenesis dimana terjadi hambatan sekresi hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga menekan spermatogenesis dan produksi spermatozoa (Yurnadi, 2008). Selain itu perbedaan penggunaan dosis dari masing-masing kelompok juga menyebabkan perbedaan hasil pada penelitian yang telah dilakukan. Testosteron Undekanoat (TU) berfungsi sebagai hormon pengganti yang mempertahankan tingginya kadar serum testosteron (>710 ng/dl) sehingga menyebabkan terjadinya umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis anterior serta menurunkan sekresi gonadotropin (Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)) yang sangat diperlukan dalam spermatogenesis dan produksi spermatozoa (Gu, 2009). Sedangkan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menginduksi sekresi gonadotropin (Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)) sehingga menghambat produksi spermatozoa dan testosteron dalam testis (Ilyas, 2007).

58 Penelitian yang telah dilakukan juga membuktikan dengan penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dosis 1000mg dengan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dosis 150mg atau 300mg dapat menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia tanpa terlihat adanya efek samping (Gu, 2004). Nasikin (2007), melakukan studi praklinik pada tikus jantan galur Sprague Dawley dengan penyuntikan 2,5mg Testosteron Undekanoat (TU)+1,25mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Hasilnya, kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan produksi spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia. Meskipun belum mencapai azoospermia, tetapi dari hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa telah terjadi peristiwa apoptosis akibat penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (Nasikin, 2007). Apoptosis atau proses kematian sel secara terprogram pada saat perkembangan sel spermatogenik dapat disebabkan dari akumulasi penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang panjang (Ilyas, 2007). Peningkatan apoptosis sejalan dengan penekanan testosteron endogen atau intratestiskular (Lee, 1999). Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) baik formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi menyebabkan oligozoospermia dan kemungkinan juga meningkatkan proses apoptosis sel spermatogenik. Formulasi kombinasi (mikroemulsi Testosteron

59 Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA)) memiliki keuntungan dibandingkan formulasi tunggal karena lebih praktis dalam pemberian, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut sebagai hormon kontrasepsi pria. Hasil uji normalitas dan homogenitas histologi spermatogenesis menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p 0,05) dan homogen (p 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji ANOVA. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data uji LSD histologi spermatogenesis antara kelompok perlakuan baik formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) maupun formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 18, 19 dan 20). Setelah dilakukan penelitian, memang terbukti bahwa penurunan konsentrasi spermatozoa akibat penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medrokisprogesteron Asetat (MPA) juga mempengaruhi perkembangan sel spermatogenik. Dari analisa data memperlihatkan terdapat perbedaan secara bermakna (p 0,05) antara formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal. Pada penilaian histologi spermatogenesis, nilai rata-rata histologi formulasi tunggal (TU 5mg +

60 MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi ( ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain (dapat dilihat pada tabel 8). Hal ini berbanding lurus dengan jumlah konsentrasi spermatozoa pada kedua kelompok tersebut yang memiliki jumlah rata-rata konsentrasi spermatozoa lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain. Perubahan yang terlihat tampak dari sel spermatogenik (spermatogonia dan spermatid) yang tidak berkembang atau sedikit jumlahnya sehingga spermatozoa tidak terbentuk (gambar perbedaan histologi spermatogenesis dapat dilihat pada lampiran 11). Selama spermatogenesis, kematian sel-sel spermatogenik terjadi secara spontan pada beberapa fase perkembangan sel spermatogenik sehingga pada epitel tubulus seminiferus tidak ditemukan spermatozoa (Ker, 1992). Menurunnya jumlah konsentrasi spermatozoa hingga mencapai azoospermia setelah dilakukan penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) menandakan bahwa didalam tubulus seminiferus kemungkinan terdapat sel-sel spermatogenik yang tidak berkembang atau mengalami peristiwa apoptosis. Spermatogonia dan spermatid bulat kebanyakan mengalami kematian melalui apoptosis (Dunkel, 1997). Hal ini menyebabkan perubahan dari spermatogenesis. Adanya pengurangan gonadotropin merupakan salah satu pemicu terjadinya apoptosis pada sel-sel germinal (Francavilla, 2000). Sehingga dapat dikatakan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) berpengaruh terhadap perkembangan sel-sel germinal dan mengakibatkan perubahan histologi

61 spermatogenesis yang disertai penurunan konsentrasi spermatozoa. Perbedaan terlihat pada formulasi tunggal (TU 5mg+MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg) yang paling berpengaruh dalam menghambat perkembangan sel spermatogenik.

62 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan konsentrasi spermatozoa. Berdasarkan analisa data konsentrasi spermatozoa antara formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p 0,05). Formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg + MPA 1,25mg) lebih baik dalam menghambat produksi spermatozoa dibandingkan dengan sediaan yang lain. Rata-rata konsentrasi spermatozoa formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg+MPA 1,25mg) adalah 1 juta/ml. 2. Berdasarkan analisa data histologi spermatogenesis antara formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p 0,05). Perbedaan paling nyata terlihat pada formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg + MPA 1,25mg) yang memiliki nilai histologi spermatogenik 6 (tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus kurang dari sepuluh) dibandingkan dengan kelompok yang lain.

63 6.2. Saran Sebaiknya pada penelitian selanjutnya dilakukan uji praklinik dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga diperoleh hasil secara farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih baik sebelum dilakukan uji klinik.

64 DAFTAR PUSTAKA Andajaningsih Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Ascobat P Androgen, antiandrogen & Anabolik Steroid. Dalam : Farmakologi dan Terapi edisi 5 FKUI. Gaya Baru. Jakarta: Dee S. U Human Physiology An Integrated Approach Edition Third. Chapter 26, part b. dalam Reduction and Development Dunkel L., Hirvonen V., Erkkila K Clinical aspects of male germ cell apoptosis during testis development and spermatogenesis. Cell Death and Differ No Fawcett, Don W Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC Franca L. R., Takehiko Ogawa, Mary R. A., Ralph l. B. and Lonnie D. Russell Germ Cell Genotype Controls Cell Cycle during Spermatogenesis in the Rat. Biology of Reproduction No Francavilla S., D Abrizio P., Cordeschi G., Pelliccione F., Necozione S., Ullise S., Propersi G., Francavilla F Fas Expression Correlates with Human Germ Cell Degeneration in Melotic and Post Meiotic Arrest of Spermatogenesis. Mol Hum Reprod No Gartner L. P. and James L. Hiatt Color Textbook of Histology Third Edition. New York : Saunders Elsevier. Hal

65 Gu YQ, Jian-sun Tong, Ding-zhi Ma, Xing-hai Wang, Dong Yuan, Wen-hao Tang and William J. Bremner Male Hormonal Contraception: Effects of Injections of Testosterone Undecanoate and Depot Medroxyprogesterone Acetate at Eight-Week Intervals in Chinese Men. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 89. No Gu YQ, Xiaowei Liang, Weixiong Wu, Minli Liu, Shuxiu Song, Lifa Cheng, Liwei Bo, Chengliang Xiong, Xinghai Wang, Xiaozhang Liu, Lin Peng, and Kangshou Yao Multicenter Contraceptive Efficacy Trial of Injectable Testoterone Undecanoate in Chinese Men. The Journal of Clinical Endocrinol & Metabolism Vol. 94. No Heffner L. J. dan Danny J. Schust At A Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Hal 24, 25, 26, 37 Heninger N. L., Stauh C., Blanchard T. L., Johnson L., Varner D. D., Forrest D. W Germ Cell Apoptosis in the Testes of Normal Stallions. Theriogenology No Henzl M. R Contraceptive hormones and their clinical use. Reproductive Endocrinology. Philadelphia : Saunders Company. P Ilyas, S Azoospermia dan Pemulihannya Melaui Regulasi Apoptosis Sel Spermatogenik Tikus (Rattus sp) Pada Penyuntikan Kombinasi TU & MPA. Disertasi. Program doktor Ilmu Biomedik FKUI Ilyas, S Efektivitas Kontrasepsi Hormonal Pria Yang Menggunakan Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Noretisteron Enantat. Dalam Jurnal Biologi Sumatera. Vol. 3. No Junqueira, L. C., Jose Carneiro, Robert O. K Histologi Dasar edisi ke-8. Jakarta: EGC. Hal

66 Kamischke, A., Venherm S., Ploger D., von Eckardstein S., Nieschlag E Intramuscular testosterone undecanoate and norethisterone enanthate in a clinical trial for male contraception. J Clin Endocrinology Metab. Vol. 86. No Kerr J. B Spontaneous degeneration of germ cells in normal rat testis : assessment of cell typesand frequency during the spermatogenic cycle. J. Reprod. Fert No Kusmana, D Pengaruh Penyuntikan Kombinasi Hormon Testoteron Enathat (TE) dan Depot Medroksiprogesteron Asetat Terhadap Spermatogenesis Beruk Jantan (Macaca nemestrina) yang Diberi Pakan Berkadar Protein, Lemak, dan Karbohidarat Berbeda. Disertasi. Program pasca Sarjana FKUI Lee J., John H. Richburg, Elizabeth B. Shipp, Marvin L. Meistrich and Kim Boekelheide The Fas System, a Regulator of Testicular Germ Cell Apoptosis, Is Differentially Up-Regulated in Sertoli Cell Versus Germ Cell Injury of the Testis. Endocrinology Vol. 140 No Leeson R. C Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC. Hal Manika W., Tomaszewska, I Ketut Sutama, I Gede Putu, dan Thamrin D Chaniago Reproduksi, Tingkah Laku Dan Reproduksi Ternak Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Moeloek, N. H Penurunan Kesuburan Pria Pada Penyuntikan Testoteron Enanthat+DMPA dan 19 Nortestoteron Heksiloksifenilpropionat (19 Nt) + DMPA. Disertasi. Program Pasca Sarjana FKUI Moeloek, N., Pujianto D., Agustin R., Arsyad KM., Waluyo P., Prihyugiarto Y., and Mbizvo M.T Achieving azoospermia by injections of testosterone undecanoate alone or combined with depot medroxyprogesterone acetate in Indonesian men. (unpublished data)

67 Nasikin Ekspresi Protein Fas Pada Sel Germinal Testis Tikus setelah Penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Tesis. Magister Program Studi Ilmu Biomedik FKUI Naz R. K. and Rajendran Sellamuthu Receptor In Spermatozoa : Are They Real?. Journal of Andrology Vol. 7 No. 25 Reddy PRK Hormonal contraception for human males. Asian J. Androl No Sherwood L Fisiologis manusia ; dari sel ke sistem ed. 2. Jakarta : EGC. Hal Suckow, M. A., Steven H. W., Craig L. F The Laboratory Rat Second Edition. USA : American College of Laboratory Animal Medicine Series Suherman S.K Estrogen dan Progestin, Agonis dan Antagonisnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5 FKUI. Gaya Baru. Jakarta: Weinbauer G. F., Nieschlag E Testicular physiology of primates. In : Reproduction in nonhuman primates. Waxman, Muenster WHO Laborhandbuch zur Untersuchung des menschlichen Ejakulats und der Spermien-Zervikalschhleim-Interaktion Ubersetzung von: Nieschlag E., Nieschlag S., Bals-Pratsch M., Behre H. M., Knuth U. A., Meschede D., Niemeier M., Schick A., 4 th edn. Springer, Berlin Heidelberg New York William O. R Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals Third Edition. USA : Baltimore, Maryland. Male Reproduction chapter 13 hal

68 Woferst, R Pengaruh Penyutikan Kombinasi Testoteron Undekanoat Dan Depot Medroksiprogesteron Asetat Terhadap Aktivitas Protein Caspase-3 Sel Germinal Testis Tikus. Tesis. Program Pasca Sarjana FKUI Yurnadi, Asmida Y, Suryandari D.A., Wahjoedi B., Moeloek N Penentuan Dosis Minimal Depot Medroksi Progesteron Asetat serta Pengaruhnya terhadap Viabilitas Spermatozoa dan Kadar Hormon Testosteron Tikus. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 58, No Yurnadi, Dwi A. Y., Moeloek N Pengaruh Penyuntikan Dosis Minimal Depot Medroksiprogesteron Asetat (DMPA) terhadap Berat Badan dan Kimia Darah Tikus Jantan Galur Spague Dawley. Makara Sains Vol. 13 No Zhang Y., Yi-qun Gu, Xing-hai Wang, Yu-gui Cui and William J. Bremner A Clinical Trial of injectable Testosterone Undecanoate as a Potential Male Contraceptive In Normal Chinese Men. The Journal of Clinical Endocrinol & Metabolism Vol. 84. No

69 Lampiran 1. Surat Keterangan Hewan Uji

70 Lampiran 2. Sertifikat Bahan Uji Medroksiprogestin Asetat (MPA)

71 Lampiran 3. Bahan dan Alat Penelitian Gambar 11. Nebido Gambar 12. Depo Progestin Gambar 13. Mikroemulsi Gambar 14. Kosolven

72 Gambar 15. Larutan George Gambar 16. Tikus jantan Gambar 17. Kamar hitung hemasitometer Gambar 18. Mikroskop cahaya

73 Lampiran 4. Kegiatan Penelitian Gambar 19. Penimbangan tikus Gambar 20. Pengambilan Depo Progestin Gambar 21. Pengambilan Nebido Gambar 22. Pengambilan mikroemulsi Gambar 23. Penyuntikan TU dan MPA Gambar 24. Pembiusan tikus

74 Gambar 25. Persiapan hewan yang akan dibedah Gambar 26. Pembedahan Gambar 27. Pengambilan jaringan/organ Gambar 28. Testis dan vas deferens Gambar 29. Vas deferens Gambar 30. Testis

75 Gambar 31. Penampungan spermatozoa Gambar 32. Pengawetan testis Gambar 33. Pengambilan lar. George Gambar 34. Pengenceran spermatozoa dengan lar. George Gambar 35. Spermatozoa pada kamar hemasitometer Gambar 36. Pengamatan dengan mikroskop

76 Lampiran 5. Perhitungan Dosis Untuk pemberian pada tikus, dosis yang digunakan dikonversikan berdasarkan perhitungan menggunakan berat badan yang berasal dari penelitian sebelumnya (Ilyas, 2004). Berat badan manusia : 50 kg Berat badan tikus : 0,25 kg Perhitungan sebagai berikut : Tabel 9. Dosis TU dan MPA pada Manusia No Kelompok Dosis (mg) TU MPA 1. K1 FT N+DP 2 K2 FT N+DP 3 K3 FT N+DP 4 K4 FK ME 5 K5 FK ME 6 K6 FK ME 7 K7 FK Kos 8 Kontrol normal - - Ket : K = Kelompok FT = formulasi tunggal FK = formulasi kombinasi

77 N DP ME Kos = Nebido (Testosteron Undekanoat (TU)) = Depo progestin (Medroksiprogesteon Asetat (MPA)) = Mikro Emulsi ( TU/MPA) = Kosolven (TU/MPA) Perhitungan Dosis Uji 1. Kelompok 1 Dosis Nebido (Testosteron Undekanoat) : Dosis hewan = 2,5 mg Dosis Depo progestin (Medroksiprogesteron Asetat) : Dosis hewan = 1,25 mg 2. Kelompok 2 Dosis Nebido (Testosteron Undekanoat) : Dosis hewan = 5 mg Dosis Depo progestin (Medroksiprogesteron Asetat) : Dosis hewan = 0,75 mg 3. Kelompok 3 Dosis Nebido (Testosteron Undekanoat) : Dosis hewan = 5 mg Dosis Depo progestin (Medroksiprogesteron Asetat) : Dosis hewan 4. Kelompok 4 Mikroemulsi (TU/MPA) : Dosis hewan (TU) Mikroemulsi (TU/MPA) : = 1,125 mg = 2,5 mg Dosis hewan (MPA) = 1,25 mg

78 5. Kelompok 5 Mikroemulsi (TU/MPA) : Dosis hewan (TU) Mikroemulsi (TU/MPA) : = 5 mg Dosis hewan (MPA) = 0,75 mg 6. Kelompok 6 Mikroemulsi (TU/MPA) : Dosis hewan (TU) Mikroemulsi (TU/MPA) : = 5 mg Dosis hewan (MPA) = 1,125 mg 7. Kelompok 7 Kosolven (TU/MPA) : Dosis hewan (TU) Kosolven (TU/MPA) : = 2,5 mg Dosis hewan (MPA) = 1,25 mg 8. Kelompok 8 tidak mendapat perlakuan. Tabel 10. Dosis TU dan MPA pada hewan percobaan (Tikus) No Kelompok Dosis (mg) TU MPA 1. K1 FT 2,5 1,25 N+DP 2 K2 FT 5 0,75 N+DP 3 K3 FT N+DP 5 1,125

79 4 K4 FK 2,5 1,25 ME 5 K5 FK 5 0,75 ME 6 K6 FK 5 1,125 ME 7 K7 FK 2,5 1,25 Kos 8 Kontrol normal - -

80 Lampiran 6. Perhitungan Penyuntikan pada Hewan Percobaan Untuk penyuntikan pada hewan percobaan, perhitungan berdasarkan perhitungan menggunakan berat badan yang berasal dari penelitian sebelumnya (Ilyas S.,2004). Adapun perhitungannya sebagai berikut : Perhitungan Penyuntikan Minggu ke-0 1. Kelompok 1 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 2,5 mg/250gr MPA = 1,25 mg/250gr Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml)

81 2. Kelompok 2 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 5 mg/250gr MPA = 0,75 mg/250 gr Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) 3. Kelompok 3 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 5 mg/250gr MPA = 1,125 mg/250 gr

82 Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) 4. Kelompok 4 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 2,5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,25 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 25 mg MPA = 12,5 mg Tikus I Tikus II

83 Tikus III 5. Kelompok 5 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 0,75 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 50 mg MPA = 7,5 mg Tikus I Tikus II Tikus III 6. Kelompok 6 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,125 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 50 mg MPA = 11,25 mg Tikus I Tikus II Tikus III

84 7. Kelompok 7 (kosolven) Diketahui : Dosis TU = 2,5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,25 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 25 mg MPA = 12,5 mg Tikus I Tikus II Tikus III 8. Kelompok 8 tidak mendapat perlakuan Perhitungan Penyuntikan Minggu ke-8 1. Kelompok 1 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 2,5 mg/250gr MPA = 1,25 mg/250 gr Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml)

85 Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) 2. Kelompok 2 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 5 mg/250gr MPA = 0,75 mg/250 gr Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml)

86 Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) 3. Kelompok 3 (N+DP) Diketahui : Nebido = 1000 mg/4ml Depo progestin = 50 mg/ml Dosis TU = 5 mg/250gr MPA = 1,125 mg/250 gr Tikus I Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus II Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) Tikus III Testosteron Undekanoat (Nebido = 1000 mg/4 ml) Medroksiprogesteron Asetat (Depo progestin = 50 mg/ml) 4. Kelompok 4 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 2,5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,25 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus)

87 Tikus I Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 25 mg MPA = 12,5 mg Tikus II Tikus III 5. Kelompok 5 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 0,75 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 50 mg MPA = 7,5 mg Tikus I Tikus II Tikus III 6. Kelompok 6 (mikroemulsi) Diketahui : Dosis TU = 5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,125 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 50 mg MPA = 11,25 mg

88 Tikus I Tikus II Tikus III 7. Kelompok 7 (kosolven) Diketahui : Dosis TU = 2,5 mg/0,1 ml untuk (1 tikus) Dosis MPA = 1,25 mg/0,1 ml untuk ( 1 tikus) Pembuatan mikroemulsi (TU+MPA) sebanyak 1 ml, berarti dalam 1 ml mengandung : TU = 25 mg MPA = 12,5 mg Tikus I Tikus II Tikus III 8. Kelompok 8 Tidak mendapat perlakuan

89 Lampiran 7. Skema Kerja Pembuatan Preparasi Testis Testis Difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam Dicuci dengan alkohol 70% berulang-ulang selama 30 menit Diinfiltrasi dengan paraffin dalam oven (56-58 C) selama 3 jam Dijernihkan dengan benzil benzoat selama 24 jam dan benzol sebanyak 2 kali selama 30 menit Dehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%) dan alkohol absolut selama 1 jam Penanaman jaringan dalam kotak kertas dan dimasukkan dalam lemari es sampai membeku. Pemotongan jaringan setebal 3-6µm dan hasil irisan ditempelkan pada kaca objek Preparat pada kaca objek dipanaskan sampai jaringan mengembang dengan sempurna Pewarnaan dilakukan dengan hematoksilin dan eosin (HE) Xilol dihilangkan dengan larutan alkohol bertingkat dari konsentrasi tinggi turun secara bertahap (100%, 90%, 80%, dan 70%) masing-masing selama 3 menit sediaan direndam dalam xilol selama 5 menit sebanyak 2 kali Jaringan yang telah diwarnai dijernihkan dengan xilol selama 5 menit Jaringan testis pada kaca objek diberi entelan dan ditutup dengan kaca penutup Pengamatan histologi testis

90 Spermatozoa Vas Deferens Spermatozoa Diencerkan dengang larutan George Pengamatan dengan mikroskop Spermatozoa hasil pengenceran diletakkan pada kamar hitung Hemasitometer

91 Lampiran 8. Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Tabel 3. Rumus Konsentrasi Spermatozoa (Ilyas, 2007). No Kotak Rumus konsentrasi spermatozoa 1 5 n x x faktor pengenceran (50) x n x x faktor pengenceran (20) x 2, n x x faktor pengenceran (10) Ket : n = jumlah spermatozoa setelah pengenceran 1. Kelompok 1 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 21 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 21 x x 20 x 2,5 = 10,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 23 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 23 x x 20 x 2,5 = 11,5 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 18 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 18 x x 20 x 2,5 = 9 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL

92 2. Kelompok 2 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 12 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 12 x x 20 x 2,5 = 6 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 12 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 12 x x 20 x 2,5 = 6 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 14 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 14 x x 20 x 2,5 = 7 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL 3. Kelompok 3 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL

93 Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 3 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 3 x x 20 x 2,5 = 1,5 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 1 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 1 x x 20 x 2,5 =0,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL 4. Kelompok 4 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 1 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 1 x x 20 x 2,5 = 0,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 = 1 Juta/mL

94 Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 2 x x 20 x 2,5 =1 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 3 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 3 x x 20 x 2,5 = 1,5 Juta/mL 5. Kelompok 5 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 14 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 14x x 20 x 2,5 = 7 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 17 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 17 x x 20 x 2,5 = 8,5 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 20 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 20x x 20 x 2,5 =10 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 21 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 21 x x 20 x 2,5 = 10,5 Juta/mL

95 6. Kelompok 6 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 9 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 9 x x 20 x 2,5 = 4,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 11 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 11 x x 20 x 2,5 = 5,5 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 6 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 6 x x 20 x 2,5 = 3 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 10 x x 20 x 2,5 = 5 Juta/mL 7. Kelompok 7 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 16 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 16 x x 20 x 2,5 = 8 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 17 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 17 x x 20 x 2,5 = 8,5 Juta/mL

96 Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 19 x x 20 x 2,5 = 9,5 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 22 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 22 x x 20 x 2,5 = 11 Juta/mL Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 18 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 18 x x 20 x 2,5 =9 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 20 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 20 x x 20 x 2,5 = 10 Juta/mL 8. Kelompok 8 Tikus 1 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 70 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 70 x x 20 x 2,5 = 35 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 80 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 80 x x 20 x 2,5 = 40 Juta/mL Tikus 2 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 70 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 70 x x 20 x 2,5 = 35 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 84 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 84 x x 20 x 2,5 = 42 Juta/mL

97 Tikus 3 Kanan, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 72 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 72 x x 20 x 2,5 = 36 Juta/mL Kiri, jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 74 ekor. Jadi konsentrasi spermatozoa adalah : 74 x x 20 x 2,5 = 37 Juta/mL

98 Lampiran 9. Berat Badan Tikus Jantan Tabel 11. Berat Badan Tikus Tiap Kelompok No. Tanggal Hewan Berat Badan Tikus per Kelompok (Gram) Percobaan I II III IV V VI VII VIII 1 28 April 2010 Tikus Tikus Tikus Mei 2010 Tikus Tikus Tikus Mei 2010 Tikus Tikus Tikus Mei 2010 Tikus Tikus Tikus Mei 2010 Tikus Tikus Tikus Mei 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juni 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus

99 14 2 Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus Juli 2010 Tikus Tikus Tikus

100 Lampiran 10. Spermatozoa pada Kamar Hitung Hemasitometer A K 1 (Perbesaran 400X) A K 2 (Perbesaran 400X)

101 K 3 (Perbesaran 400X) A A K 4 (Perbesaran 400X)

102 K 5 (Perbesaran 400X) A K 6 (Perbesaran 400X) A

103 A K 7 (Perbesaran 400X) A K 8 (Perbesaran 400X)

104 Keterangan : A = spermatozoa dalam kamar hitung Hemasitometer K 1 = kelompok 1 (TU 2,5mg+MPA 1,25mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 K 2 = kelompok 2 (TU 5mg+MPA 0,75mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 12 K 3 = kelompok 3 (TU 5mg+MPA 1,125mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 K 4 = kelompok 4 (ME TU 2,5mg+MPA 1,25mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 2 K 5 = kelompok 5 (ME TU 5mg+MPA 0,75mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 K 6 = kelompok 6 (ME TU 5mg+MPA 1,125mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 10 K 7 = kelompok 7 ( kosolven TU 2,5mg+MPA 1,25mg). Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 19 K 8 = kontrol normal. Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak adalah 70

105 Lampiran 11. Histologi Spermatogenesis A D C E B K 1 (Perbesaran 400X) K 1 (Perbesaran 1000X) C D B A K 2 (Perbesaran 400X) K 2 (Perbesaran 1000X)

106 B C A K 3 (Perbesaran 400X) K 3 (Perbesaran 1000X) A C B K 4 (Perbesaran 400X) K 4 (Perbesaran 1000X) D C B A K 5 (Perbesaran 400X) K 5 (Perbesaran 1000X)

107 A B D C K 6 (Perbesaran 400X) K 6 (Perbesaran 1000X) C D B E A K 7 (Perbesaran 400X) K 7 (Perbesaran 1000X) A B C D K 8 (Perbesaran 400X) K 8 (Perbesaran 1000X)

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu : Proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa disebut spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan.

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan. 34 BAB III METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan post-test only control group design. Pemilihan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUNTIKAN KOMBINASI TESTOSTERON UNDEKANOAT DAN DEPOT MEDROKSI PROGESTERON ASETAT TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA TESTIS TIKUS (Rattus sp.

PENGARUH PENYUNTIKAN KOMBINASI TESTOSTERON UNDEKANOAT DAN DEPOT MEDROKSI PROGESTERON ASETAT TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA TESTIS TIKUS (Rattus sp. PENGARUH PENYUNTIKAN KOMBINASI TESTOSTERON UNDEKANOAT DAN DEPOT MEDROKSI PROGESTERON ASETAT TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA TESTIS TIKUS (Rattus sp.) Rismadefi Woferst, Nukman Moeloek, Asmarinah Dosen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) 2.1.1 Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan pepaya dapat diklasifkasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT

PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) TERHADAP STRUKTUR TESTIS MENCIT (Mus musculus L.) STRAIN BALB C SETELAH PAPARAN METHOXYCHLOR SKRIPSI Oleh: Firda Lutfiatul Fitria NIM 061810401043

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Blustru/Mentimun Aceh (Luffa aegyptica Roxb.)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Blustru/Mentimun Aceh (Luffa aegyptica Roxb.) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Blustru/Mentimun Aceh (Luffa aegyptica Roxb.) Luffa aegyptica merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Cucurbitaceae (Gambar 1). Hemburg (1994) menyatakan bahwa biji

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan hewan coba, sebagai bagian dari penelitian eksperimental lain yang lebih besar. Pada penelitian

Lebih terperinci

SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS)

SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS) 04 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS) Pembelahan sel dibedakan menjadi secara langsung (amitosis) dan tidak langsung (mitosis dan meiosis).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II. REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2 1. Pasangan antara bagian alat reproduksi laki-laki dan fungsinya berikut ini benar, kecuali... Skrotumberfungsi sebagai pembungkus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Keterbatasan sumber daya alam dan pertambahan penduduk yang pesat merupakan masalah negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pertambahan penduduk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

HORMONAL PRIA. dr. Yandri Naldi

HORMONAL PRIA. dr. Yandri Naldi FUNGSI REPRODUKSI PRIA DAN HORMONAL PRIA dr. Yandri Naldi Fisiologi Kedokteran Unswagati cirebon Sistem reproduksi pria Sistem reproduksi pria meliputi organ-organ reproduksi, spermatogenesis dan hormon

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan acak lengkap. Penelitian ini menggunakan empat kelompok

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan acak lengkap. Penelitian ini menggunakan empat kelompok 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan acak lengkap. Penelitian ini menggunakan empat kelompok perlakuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa negara berkembang seperti Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar sehingga aktivitas maupun pola hidup menjadi sangat beraneka ragam. Salah satu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian laboratorium

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian laboratorium III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian laboratorium dengan rancangan acak lengkap. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) kelompok perlakuan

Lebih terperinci

FISIOLOGI FUNGSI ORGAN REPRODUKSI LAKI-LAKI. Dr. Akmarawita Kadir., M.Kes., AIFO

FISIOLOGI FUNGSI ORGAN REPRODUKSI LAKI-LAKI. Dr. Akmarawita Kadir., M.Kes., AIFO FISIOLOGI FUNGSI ORGAN REPRODUKSI LAKI-LAKI Dr. Akmarawita Kadir., M.Kes., AIFO 1 ISI I. Fungsi Komponen Sistem Reproduksi Pria II. Spermatogenesis III. Aktivitas Seksual Pria IV. Pengaturan Fungsi Seksual

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah konsumen rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003). Penelitian yang dilakukan (Foa et al., 2006)

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI Oleh: Connie AstyPakpahan Ines GustiPebri MardhiahAbdian Ahmad Ihsan WantiDessi Dana Yunda Zahra AinunNaim AlfitraAbdiGuna Kabetty T Hutasoit Siti Prawitasari Br Maikel Tio

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Blustru (Luffa aegyptica Roxb.) Tumbuhan Luffa aegyptica Roxb. disebut dengan blustru (Gambar 2.1) merupakan tumbuhan khas Tropis dan sering digunakan sebagai makanan terutama

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1. Lingkup Tempat Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di masa modern ini, alkohol merupakan minuman yang sangat tidak asing lagi dikalangan masyarakat umum. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi alkohol dianggap dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak memiliki medium atau dapat merambat melalui ruang

Lebih terperinci

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan mitosis dan meiosis pada tanaman Sub Pokok Bahasan :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain rancangan acak lengkap (RAL). B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

Function of the reproductive system is to produce off-springs.

Function of the reproductive system is to produce off-springs. Function of the reproductive system is to produce off-springs. The Gonad produce gamets (sperms or ova) and sex hormones. All other reproductive organs are accessory organs Anatomi Sistem Reproduksi Pria

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit dan lekosit tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes.

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TEMPE KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) SELAMA MASA PREPUBERTALTERHADAP VIABILITAS SPERMATOZOA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Antonius Budi Santoso, 2007. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Kimia untuk pembuatan ekstrak Myrmecodia pendens Merr. &

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Kimia untuk pembuatan ekstrak Myrmecodia pendens Merr. & 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi untuk pengaklimatisasian hewan uji serta

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa. fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa. fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008). 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Definisi Kebisingan Kebisingan adalah suatu bunyi intensitas tinggi, merupakan pencemaran yang mengganggu dan tidak disukai, dan mengganggu percakapan dan merusak

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK PEMBERIAN ETANOL 40% PERORAL TERHADAP KETEBALAN LAPISAN SEL SPERMATOGENIK TUBULUS SEMINIFERUS TIKUS WISTAR JANTAN DEWASA

ABSTRAK EFEK PEMBERIAN ETANOL 40% PERORAL TERHADAP KETEBALAN LAPISAN SEL SPERMATOGENIK TUBULUS SEMINIFERUS TIKUS WISTAR JANTAN DEWASA ABSTRAK EFEK PEMBERIAN ETANOL 40% PERORAL TERHADAP KETEBALAN LAPISAN SEL SPERMATOGENIK TUBULUS SEMINIFERUS TIKUS WISTAR JANTAN DEWASA Kadek Devi Aninditha Intaran, 2016 Pembimbing I : Hartini Tiono, dr.,

Lebih terperinci

MITOSIS DAN MEIOSIS. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed. BIOLOGI KEPERAWATAN 2009

MITOSIS DAN MEIOSIS. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed. BIOLOGI KEPERAWATAN 2009 MITOSIS DAN MEIOSIS TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed. BIOLOGI KEPERAWATAN 2009 SIKLUS SEL G1(gap 1): periode setelah mitosis, gen-gen aktif berekspresi S (sintesis): fase sintesis DNA (replikasi), kromosom

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL Dalam penelitian ini sampel diambil dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM untuk mendapatkan perawatan hewan percobaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus Hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan percobaan post test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja kegiatan seksual jantan; dan (3) pengaturan fungsi reproduksi jantan. pria dengan berbagai hormonal (Guyton, 2000)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja kegiatan seksual jantan; dan (3) pengaturan fungsi reproduksi jantan. pria dengan berbagai hormonal (Guyton, 2000) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Reproduksi Jantan Fungsi reproduksi pada jantan dapat dibagi menjadi tiga subdivisi utama. Meliputi (1) spermatogenesis, yang berarti pembentukkan sperma; (2) kinerja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, desain Post-test control group desain. Postes untuk menganalisis perubahan gambaran histopatologi pada organ

Lebih terperinci

ABSTRAK. Elizabeth, 2016; Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Dr. Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc.

ABSTRAK. Elizabeth, 2016; Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Dr. Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc. ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN KADAR TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR JANTAN Elizabeth, 2016; Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK. Natalia, 2011; Pembimbing I : Teresa Liliana W., S. Si., M. Kes Pembimbing II : Djaja Rusmana, dr., M. Si

ABSTRAK. Natalia, 2011; Pembimbing I : Teresa Liliana W., S. Si., M. Kes Pembimbing II : Djaja Rusmana, dr., M. Si ABSTRAK PEMBERIAN VITAMIN C, E, SERTA KOMBINASINYA MENINGKATKAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus) GALUR Swiss Webster YANG DIBERI PAJANAN Allethrin Natalia, 2011; Pembimbing I : Teresa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas pada pria merupakan masalah yang perlu perhatian dan penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas wanita dalam penatalaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah yang sampai sekarang belum dapat diatasi, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001) dan menurut infomasi tahun 2007 laju pertumbuhan penduduk sudah

BAB I PENDAHULUAN. 2001) dan menurut infomasi tahun 2007 laju pertumbuhan penduduk sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 adalah sebesar 210.241. 999 dengan pertambahan penduduk sekitar 1,9 % (BPS, 2001) dan menurut infomasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP. merupakan alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia CH 3 OH.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP. merupakan alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia CH 3 OH. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1Metanol 2.1.1.1 Pengertian Metanol atau metyl alkohol diperoleh dari distalasi destruktif kayu, merupakan alkohol yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas merupakan salah satu masalah penting bagi setiap orang. Infertilitas pada pria berkaitan erat dengan spermatogenesis. Proses ini dipengaruhi oleh dua faktor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas

Lebih terperinci

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan 05 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik Kucing domestik (Felis catus, Linneaus 1758) (Gambar 1) menempati sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 18 HSI DN MBHSN Hasil 1. Histologi testis Gambaran histologi testis musang luak tersusun atas tubuli seminiferi yang dipisahkan oleh jaringan interstitial. Terdapat tiga komponen penyusun tubuli seminiferi

Lebih terperinci

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon)

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Modul ke: Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Fakultas PSIKOLOGI Ellen Prima, S.Psi., M.A. Program Studi PSIKOLOGI http://www.mercubuana.ac.id Pengertian Hormon Hormon berasal dari kata hormaein yang berarti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan Rancangan Acak Terkontrol (RAT). Pemeliharaan dan pemberian ekstrak cabe jawa dan zinc (Zn) pada tikus

BAB III METODE PENELITIAN. dengan Rancangan Acak Terkontrol (RAT). Pemeliharaan dan pemberian ekstrak cabe jawa dan zinc (Zn) pada tikus BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol (RAT). B. Waktu dan Tempat Penelitian Pemeliharaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan Acak Lengkap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan,

BAB III METODE PENELITIAN. motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan, 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan, perlakuan, pengamatan jumlah, morfologi, viabilitas, dan motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut batasan WHO (dalam Bell, 2005), kebisingan adalah suara-suara

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut batasan WHO (dalam Bell, 2005), kebisingan adalah suara-suara II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Definisi Kebisingan Menurut batasan WHO (dalam Bell, 2005), kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki oleh karena itu kebisingan sangat mengganggu aktivitas

Lebih terperinci

PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes.

PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes. HAND OUT PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes. Spermatogenesis Sperma diproduksi di spermatogonia (sel epidermis tubulus seminiferus testis. Hormon yang

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Anatomi. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Aisyah Liputa Indeka NIM : 20130310105 Program Studi : Pendidikan Dokter Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Menyatakan

Lebih terperinci

PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran Mahasiswa memahami mengenai posisi sel, kromosom, dan DNA dalam dalam kaitannya dengan organisme Mahasiswa memahami jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

PEMBELAHAN MITOSIS PADA TUDUNG AKAR BAWANG MERAH (Allium Cepa)

PEMBELAHAN MITOSIS PADA TUDUNG AKAR BAWANG MERAH (Allium Cepa) PEMBELAHAN MITOSIS PADA TUDUNG AKAR BAWANG MERAH (Allium Cepa) LAPORAN PRAKTIKUM UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Genetika 1 yang dibimbing oleh Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M.Pd dan Andik Wijayanto, S.Si,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME Hasil pengamatan pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan Rancangan Acak Terkontrol. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012).

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). Pemeliharaan dan perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di rumah hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Besar Veteriner Wates sebagai tempat pembuatan preparat awetan testis.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Besar Veteriner Wates sebagai tempat pembuatan preparat awetan testis. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2004 Pebruari 2005 di Sub Laboratorium Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta sebagai tempat

Lebih terperinci