KRIOPRESERVASI DALAM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN. Oleh : Harry Kurniawan Gondo

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KRIOPRESERVASI DALAM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN. Oleh : Harry Kurniawan Gondo"

Transkripsi

1 KRIOPRESERVASI DALAM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN Oleh : Harry Kurniawan Gondo Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar ABSTRAK Teknologi Reproduksi Bantuan (TRB) memegang peranan penting dalam penanganan infertilitas pada masa kini. Keberhasilan IVF (In Vitro Fertilization) tahun 1978 pada awalnya ditujukan untuk indikasi kelainan pada pihak wanita. Sekitar tahun 80-an, IVF dicoba diterapkan pada infertilitas pria tetapi hasilnya masih rendah dan memiliki keterbatasan. Baru pada tahun 1992 dengan dipublikasikannya kehamilan pertama dengan teknik ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection), terjadi peningkatan angka keberhasilan yang sangat nyata pada penanganan infertilitas pria berat. Penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat. ABSTRACT Assisted Reproduction Technique (ART) play a part important in handling of infertilitas is present day. Efficacy of IVF (In Vitro Fertilization) year 1978 initially addressed for the indication of disparity on the side of woman. Around year 80-an, IVF tried to be to be applied man infertilitas but its result still lower and have limitation. New in the year 1992 publicized of first pregnancy with technique of ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injections), happened the make of very real efficacy number handling of heavy man infertilitas. Depository embryo in the form of frost as one of bank of genetika represent depository effort peaceful embryo to be able to exploited a period of coming or for is sudden. this matter very needed to see that gamet have life endurance which relative shorten. Kata Kunci : TRB, Krioprservasi, Gamet

2 PENDAHULUAN Teknologi kriopreservasi oosit, sperma dan embrio banyak dikembangkan pada berbagai spesies hewan dan manusia bersamaan dengan kemajuan pesat teknologi produksi embrio baik secara in vivo maupun in vitro. Walaupun viabilitas sperma, oosit dan embrio segar lebih baik daripada setelah pembekuan, namun teknologi ini berkembang pesat untuk menangani ketersediaan gamet (sperma dan oosit) pada saat in vitro fertilisasi serta kelebihan embrio hasil produksi in vivo maupun in vitro. Teknologi ini memungkinkan penyimpanan oosit dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga bisa dimanfaatkan dalam kondisi tertentu. Pada program ART ( Assisted Reproduction Technique), pasien dengan kondisi Policystic Ovary (PCO) dimana tidak memungkinkan dilakukan transfer embrio (TE) pada siklus yang sedang berjalan, maka strategi pembekuan oosit setelah fertilisasi (tahap 2PN) maupun pembekuan embrio tahap pembelahan (cleavage) dan blastosis menjadi solusi untuk dilakukan transfer embrio dimasa datang pada kondisi yang lebih baik. Sampai saat ini teknologi pembekuan embrio telah menjadi program rutin pada banyak klinik infertilitas untuk kepentingan transfer embrio dikemudian hari tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap bayi yang dilahirkan. Penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat. Solusi untuk masalah ini adalah pengawetan gamet wanita dalam suhu dingin. Sterilitas iatrogenik yang timbul setelah pemberian kemoterapi atau radioterapi pada kondisi neoplasma dapat dihindari dengan pengawetan dari oosit, sama seperti penyimpanan sperma dalam suhu dingin. Hal ini disebabkan karena gambaran biologis dari oosit, dan telah muncul sejumlah pertanyaan mengenai induksi dari aneuploidy setelah gamet terpapar dengan cryoprotectant dan pembekuan serta proses pencairan. Oosit, faktanya, dihambat saat ovulasi pada metafase dari pembelahan meiosis kedua, dimana 23 kromosom dikromatid terikat dengan mikrotubulus dari benang meiosis. Pada fase ini, dimana oosit amat peka terhadap perubahan suhu dan akhirnya mengalami depolimerisasi dari benang mikrotubulus yang disebabkan karena cryoprotectant atau es kristal yang terbentuk selama proses pembekuan dan pencairan, pemisahan normal dari kromatid pada saat fertilisasi dapat mengalami kerusakan, maka dari itu menyebabkan aneuploidy setelah pengeluaran dari badan polar kedua. METODE KRIOPRESERVASI Terdapat lima langkah penting pada prosedur penyimpanan dengan suhu dingin ini : 1. Paparan awal dengan cryoprotectant, bahan yang digunakan untuk mengurangi kerusakan seluler yang disebabkan karena kristalisasi air. 2. Mendinginkan suhu sampai dibawah 0ºC. 3. Penyimpanan 4. Pencairan kembali 5. Dilusi dan menyingkirkan cryoprotectan, mengembalikan fisiologi dari microenvironment, sehingga membuat oosit ini mampu dikembangkan lebih jauh. Momen paling kritis untuk mempertahankan kehidupan seluler adalah pada fase awal dari pembekuan dengan suhu yang sangat rendah dan pengembalian akhir ke kondisi fisiologis awal. Apabila suhu rendah yang cukup telah dicapai (normalnya -196ºC, suhu dari nitrogen cair), penyimpanan, bahkan untuk periode waktu yang cukup lama, tidak akan memberikan pengaruh apapun pada survival rate dari oosit tersebut. Pada suhu ini, faktanya, tidak tersedia cukup energi untuk kebanyakan reaksi fisiologis dan molekul air akan terbentuk dalam struktur kristal. Kerusakan dari DNA yang disebabkan karena radiasi kosmik merupakan satu-satunya kerusakan gamet dan embrio yang disimpan pada suhu demikian. Ketika oosit didinginkan pada suhu diantara -5ºC sampai -15ºC, pembentukan es pertama kali diinduksi oleh media ekstraseluler sebagai proses yang dinamakan dengan seeding. Saat suhu menurun, maka jumlah es akan meningkat dan terlarut pada media ekstraseluler. Hasilnya adalah pembentukan gradien osmotik. Sebagai hasil dari gradien ini, air akan tertarik dari sitoplasma ke media ekstraseluler, dan sel akan menjadi lebih kecil. Apabila proses ini berjalan cukup lambat, maka aliran air keluar dari sel akan menurunkan kemungkinan nukleasi es dalam sel, pada suhu sekitar -15ºC. Untuk sel dengan rasio surface atau volume yang rendah, seperti gamet, diperlukan suhu pembekuan yang rendah agar didapatkan aliran air yang cukup untuk mengalir keluar dari sel. Dengan cara seperti ini, kristal es intraseluler yang terbentuk akan menjadi cukup sedikit untuk menimbulkan kerusakan pada komponen intraseluler. Perlu ditekankan, bagaimanapun juga, bahwa peningkatan angka pembekuan akan menurunkan survival rate dari semua jenis sel. Angka pembekuan yang optimal bergantung pada banyak variabel : komponen air sitosolik, perubahan permeabilitas membran, permukaan membran, dan suhu. Komponen air intraseluler, disamping

3 menimbulkan kerusakan mekanik pada saat pembekuan, juga akan menyebabkan kerusakan bahan pada saat pencairan kembali, sebagai akibat dari peningkatan volume selama proses ini berlangsung. Apabila proses pencairan berlangsung lambat, maka survival rate akan menurun karena kristal yang terbentuk pada sitosol akan memiliki waktu yang cukup untuk berkembang, dan maka dari itu akan menimbulkan kerusakan pada struktur intraseluler. Rekristalisasi dan shok osmotik, yang terjadi selama proses pencairan dari oosit yang beku, akan menurunkan suvival rate secara efektif. Rekristalisasi adalah proses dimana air kembali masuk ke dalam sel menjadi keadaan yang padat disekitar kristal es yang telah terbentuk sebelumnya pada sitosol. Ketika suhu meningkat menjadi -40ºC, beberapa molekul air akan kembali pada sepanjang jalur yang dilalui selama proses pembekuan, maka dari itu molekul air akan kembali ke sitosol dan membentuk kembali ikatan hidrogen dengan kristal es yang telah ada dan meningkatkan dimensi sel secara bermakna. Baik proses pencairan maupun proses pembekuan kemungkinan akan mempengaruhi berulangnya fenomena ini. Dehidrasi sel kemungkinan tidak memadai setelah pembekuan cepat, menimbulkan pembentukan masa intraseluler yang besar apabila proses pencairan berlangsung sangat lambat. Pembentukan es intraseluler dapat dicegah apabila pencairan cepat terjadi di inti nukleasi dari es. Shock osmotik kemungkinan diperlukan selama proses pencairan cepat. Faktanya, apabila cryoprotectant yang diletakkan sebelumnya pada sel tidak berdifusi cukup cepat untuk mencegah masuknya air, maka oosit akan membengkak dan akhirnya pecah. Pada fase ini, dua kebutuhan yang saling berlawanan harus dihadapi : pada satu sisi, waktu kontak antara sel dengan bahan cryoprotectant pada suhu kamar harus dikurangi sampai tingkat yang paling minimal karena cryoprotectant akan memicu sitotoksik yang bergantung pada suhu; pada sisi lainnya, proses dilusi dari cryoprotectant pada sitosol harus dikerjakan dengan amat lambat untuk mencegah reduksi osmotik ekstraseluler yang berlebihan, yang akan menyebabkan masuknya air dalam jumlah besar ke dalam sel yang akan mengakibatkan lisisnya sel. Keberhasilan proses pembekuan tergantung dari jenis embrio melalui upaya pemilihan media pembekuan (krioprotektan) yang tepat, pengaturan suhu baik saat pendinginan ( cooling), penyimpanan ( storage), dan pencairan (warming) dan manipulasi embrio sebagai upaya pengeluaran air sebanyak mungkin dari dalam embrio untuk menghindari terbentuknya kristal es. VARIASI TEKNIK KRIOPRESERVASI Banyak tehnik pengawetan suhu dingin yang telah diterapkan pada oosit manusia. Penggunaan gliserol, yang secara umum dianggap kurang toksik daripada bahan cryoprotectant. Peranan dari equilibration oosit baik pada Me 2SO (15 oosit) atau gliserol (13 oosit) telah dibandingkan. Setelah diawetkan dengan suhu dingin, oosit kemudian di-inseminasi-kan, namun hanya ada satu oosit yang membelah menjadi stadium dua sel setelah diawetkan dengan suhu dingin pada Me 2SO dan tidak ditemukan pembelahan pada oosit yang diawetkan pada suhu dingin dengan gliserol atau yang terpapar dengan gliserol tanpa pendinginan. Pembuahan dari oosit segar didapatkan setelah pendinginan lambat pada Me 2SO dan vetrification selanjutnya yang dinamakan dengan solusi VS1, yang mengandung 2.62 mol/l Me 2SO, 2.62 mol/l acetamide, 1.3 mol/l PrOH, dan 6% polyethlene glycol, dan telah berhasil digunakan untuk vetrification dari embrio murine. Hasil yang bervariasi telah didapatkan dari pengawetan oosit murine pada suhu dingin dengan menggunakan campuran ini, dengan malformasi fetus telah dilaporkan setelah terpapar dengan solusi vetrification dengan atau tanpa pendinginan. Oosit manusia terpapar dengan VS1 untuk periode waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan yang digunakan untuk penelitian embrio yang sebenarnya dan sukrosa digunakan untuk membantu agar bahan cryoprotectant dapat berdilusi. Hendaknya dicatat bahwa komponen acetamide dari VS1 merupakan bahan karsinogen bagi manusia. Walaupun semua kelahiran hidup yang dicapai saat ini menggunakan Me 2SO sebagai bahan cryoprotectant, namun perhatian beralih pada metode pendinginan lambat dalam PrOH yang mengikuti penggunaan PrOH untuk pembekuan embrio. Beberapa keberhasilan telah dilaporkan belakangan ini seiring dengan vetrification oosit manusia.

4 PENYIMPANAN OOSIT IMMATURE DENGAN SUHU DINGIN Masalah utama dari pengawetan oosit matur pada suhu dingin berasal dari sensitifitas gelendong mikrotubuler terhadap suhu dingin dan bahan cryoprotectant, satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyimpan oosit immatur pada stadium germinal vesikel dimana tidak dijumpai adanya gelendong mikrotubuler. Penggunaan oosit immatur juga berarti bahwa pasien akan menerima rangsangan hormonal yang lebih sedikit untuk menghasilkan oosit atau oosit mungkin akan dihasilkan tanpa rangsangan apapun. Oosit immatur yang mampu melakukan pembelahan meiosis dapat diperoleh transvaginal, walaupun prosedur ini memerlukan modifikasi dari tehnik pengambilan oosit matur. Penyimpanan oosit manusia yang immatur pada suhu dingin dari pasien yang mendapat rangsangan hormonal telah menghasilkan pemulihan dan pematangan menjadi metafase II. Oosit manusia yang immatur yang diperoleh dari ovarium yang tidak dirangsang yang didinginkan secara cepat dengan 3.5 mol/l Me 2SO ditambah dengan 0.5 mol/l sukrosa ditemukan mampu untuk mengalami kematangan meiosis setelah pencairan namun dijumpai adanya kondensasi kromosom prematur dan sebagian pada hampir setengah dari oosit yang ditangani dimana fenomena demikian tidak pernah dijumpai pada oosit murine. Kerugian dari pembekuan oosit immatur pada suhu dingin termasuk masih diperlukan prosedur pematangan tambahan. Walaupun pematangan oosit invitro seringkali berhasil pada beberapa spesies binatang, namun tidak demikian halnya pada oosit manusia. Sejauh ini hanya sedikit kehamilan yang berhasil dicapai yang berasal dari oosit immatur. Disamping itu immatur oosit harus disimpan bersama dengan sel kumulus yang intak karena sel ini sangat diperlukan agar pematangan bisa terjadi, pada kasus yang demikian protokol penyimpanan pada suhu dingin nampaknya perlu dilakukan kompromi antara protokol terbaik untuk oosit dan untuk sel kumulus. VARIABEL YANG TERKAIT DENGAN OOSIT Ukuran dari oosit mempengaruhi survival rate secara keseluruhan, kemungkinan pembentukan es intraseluler juga akan bergantung pada ukuran oosit ini. Sperma manusia merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan peranan volume sitoplasmik terhadap survival rate pada penyimpanan dengan suhu dingin ini; gamet laki-laki berukuran 180 kali lebih kecil daripada gamet wanita, dan survival ratenya jauh lebih tinggi. Kualitas oosit yang optimal sangat penting untuk menjamin survival rate selama proses pembekuan. Seringkali, sejumlah oosit dengan kualitas yang rendah dibekukan sehingga memberikan hasil yang rendah pada survival rate. Beberapa peneliti berdebat mengenai perlu atau tidaknya mempertahankan kumulus ooporus untuk meningkatkan survival rate. Tidak adanya kumulus ooporus ini akan memudahkan penetrasi dari bahan cryoprotectant untuk masuk ke dalam sitoplasma. Pentingnya kumulus yang akan meningkatkan seluler survival pada akhir dari proses penyimpanan dengan suhu dingin. Keberadaan kumulus akan berfungsi sebagai lapisan pelindung terhadap perubahan osmotik dan stres yang tiba-tiba yang diakibatkan karena perubahan konsentrasi dan dilusi dari cryoprotectant selama proses equilibrum dan pemindahan setelah proses pencairan. Semua oosit hendaknya dibekukan segera setelah dipanen, antara 38 sampai 40 jam setelah munculnya human chorionic gonadotrophin (hcg). Oosit yang lebih tua, dikultur terlebih dahulu secara in vitro sebelum dibekukan, yang menghasilkan penurunan fertilisasi, dan peningkatan fertilisasi anomalous dan polyploidy. Semua kehamilan yang didapatkan dari oosit yang dibekukan berasal dari oosit metafase II. Faktanya, oosit yang matur pada saat diambil memiliki survival dan fertilisasi rate yang lebih tinggi. Penyimpanan oosit dengan suhu dingin pada profase I dianggap sebagai pendekatan alternatif yang lain dalam usaha untuk menyimpan gamet wanita. Pada oosit ini, meiosis ditahan, dan kromosom berada di dalam nukleus, tidak berjajar di sepanjang spindle. Lebih jauh, pada stadium ini, sel berukuran kecil dan tidak berdeferensiasi, kurang akan zona pellucida, dan relatif diam dari metabolisme. Pada pasien yang ingin mempertahankan potensi reproduksinya walaupun sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi atau telah menjalani ovariektomi, mungkin akan mendapat keuntungan dari tehnik ini dikombinasi dengan IVF. Tehnik pembekuan yang baru untuk menyimpan lapisan tipis dari parenkim ovarium, kortek ovarium kaya akan folikel pada berbagai macam tingkatan kematangan, khususnya folikel primordial. Telah menjadi mungkin untuk menyimpan lapisan dari kortek ovarium untuk periode yang bervariasi dari 24 jam sampai lima minggu dengan menggunakan dua protokol pembekuan yang berbeda (DMSO 1,5 M+ PROH 1,5 M+ Sukrose 0,1M). Air dengan suhu 37ºC digunakan pada kedua kasus segera menyelesaikan proses pencairan. Tehnik penyimpanan dengan suhu dingin dan transplantasi ini masih diperlukan, hasil yang didapatkan cukup memuaskan, dan penyimpanan jaringan ovarium disarankan sebagai metode yang berlaku untuk mempertahankan fertilitas pada kasus tertentu. Apabila autograft ortotopik cukup memadai untuk menciptakan sebuah siklus menstruasi ovulatori, maka kebutuhan

5 akan induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro akan tidak dibutuhkan lagi. Pasien anak-anak juga akan diuntungkan dengan metode ini. Faktanya, kebanyakan folikel primordial dan keadaan ovarium yang relatif stabil pada masa prepubertas akan meningkatkan peluang keberhasilan, dan pada beberapa kasus, penyimpanan jaringan ovarium merupakan pilihan untuk mempertahankan fertilitas yang telah ada. VARIABEL TEKNIK Krioprotektan Cryoprotectant adalah bahan yang memiliki komposisi bahan kimia yang berbeda. Mereka memiliki kelarutan air yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan toksisitas, yang proporsional secara langsung dengan konsentrasi dan suhu. Peranan ini adalah untuk melindungi sel dari kerusakan, yang dikenal dengan cold shock, yang mungkin terjadi selama proses pembekuan, penyimpanan, dan pencairan kembali. Cryoprotectant dibagi menjadi 2 katagori menurut kemampuannya dalam menembus sel : 6. Krioprotektan yang dapat masuk kedalam sel (permeable cryoprotectants) atau agen intraseluler, misalnya : glycerol, dimethylsulfoxide (DMSO), ethylene glycol, propanediol, diethylene glycol. 7. Krioprotektan yang tidak dapat masuk kedalam sel (non permeable cryoprotectants) atau agen ekstraseluler, DMSO dan Gliserol Penggunaan glycerol sebagai krioprotektan pertama dalam bidang kriopreservasi ditemukan secara kebetulan pada tahun 1948 karena kesalahan pemberian label pada bahan atau media pembekuan sperma unggas. Sejak temuan tersebut keberhasilan Propanediol (PROH) PROH telah digunakan pada sebagian besar penyimpanan blastosit dan pre-embrio dengan suhu dingin baik pada manusia maupun spesies lainnya. Pada kombinasi dengan agen lainnya yang menurunkan toksisitas dan kekuatan osmotik, PROH Sukrose Sukrose seringkali digunakan bersama dengan bahan cryoprotectant yang lain. Bahan ini tidak mampu menembus membran sel, dan keberadaannya pada media ekstraseluler akan menimbulkan efek pengeluaran osmotik yang bermakna. Sukrose merupakan bahan pelindung selama fase dilusi atau setelah pencairan cepat, ketika sel mulai mengalami rehidrasi dan membengkak. Resiko ini dapat ditekan dengan memindahkan cryoprotectant intraseluler (misal, PROH) pada langkah dilusi (1,5 ; 1,0 ; 0,25M) dengan tujuan untuk mengurangi perluasan dari sembab seluler. Suatu metode alternatif dan lebih cepat untuk menghilangkan cryoprotectant yang permeabel berkaitan dengan penambahan dari molekul yang non permeabel, seperti sukrosa, ke dalam larutan pencair. Konsentrasi ekstraseluler yang meningkat dari molekul ini menyeimbangkan konsentrasi intraseluler cryoprotectant yang tinggi, menguragi perbedaan misalnya : sucrose, raffinose, protein, lipoprotein, kuning telur dan serum. Secara biokimia, dibedakan 3 kelas bahan dari cryoprotectant : 8. Alkohol (methanol, ethanol, propa nol, 1,2 propanediol (PROH), gliserol), 9. Gula (glukosa, laktosa, sukrose, strach) 10. Dimetilsulfoksida (DMSO). Krioprotektan merupakan komponen utama dalam proses pembekuan, namun demikian hampir semua jenis krioprotektan bersifat toksik. Ketepatan dalam menentukan jenis krioprotektan dan waktu ekuilibrasi sebelum embrio dibekukan akan menentukan keberhasilan pembekuan embrio. yang pesat dilaporkan pada pembekuan sperma dan embrio. DMSO dan gliserol, keduanya memiliki berat molekul yang rendah, telah dikenal sebagai bahan cryoprotectant terhadap kerusakan dari suhu dingin selama lebih dari 30 tahun. nampaknya memiliki oosit survival rate yang lebih baik setelah pencairan, karakteristik ini kemungkinan disebabkan karena fakta bahwa PROH dapat menembus oolema lebih cepat; disamping itu juga lebih larut air dan kurang toksik. osmolaitas pada kedua sisi dari membran plasma. Kini, sukrosa adalah satu-satunya cryoprotectant non penetratif yang secara rutin digunakan di dalam pengawetan oosit manusia dengan suhu dingin. Mekanisme kerja dari cryoprotectant cukup rumit dan dikarenakan beberapa rentetan dari fungsinya. Yang pertama, adanya cryoprotectant di dalam larutan mengijinkan penurunan sedikit dari titik cryoscopic larutan, sekitar pada suhu -2ºC atau -3ºC. Efek proteksi pada prinsipnya diakibatkan oleh kapasitas dari molekul ini untuk membentuk ikatan hidrogen yangmana mengubah struktur ristal yang normal, sehingga mengurangi dimensinya. Melalui gugus OH nya, sebagai contoh, gliserol dan PROH, dapat membentuk ikatan hidrogen denan air sama halnya dnegan DMSO melalui atom oksigennya. Agen cryoprotectant mengurangi efek perusakan dari konsentrasi tingggi elektrolit di dalam porsi air cair. Pada sistem yang terjadi dari dua fase pada tekanan yang konstan, seperti

6 es dan air, konsentrasi total dari cairan pada fase cair adalah konstan untuk masing-masing konsentrasi. Dikarenakan konsentrasi total dari cairan harus konstan, penambahan dari cryoprotectant mengurangi jumlah dari air yang mengkristal. Efikasi dari senyawa ini secara langsung terkait dengan temperatur pada saat di mana mereka ditambahkan ke dalam media kultur. Oosit manusia yang dipajankan terhadap DMSO pada suatu temperatur 37ºC kapasitas untuk mengalami fertilisasinya lenyap, tetapi pada suhu 4ºC kapasitas ini dapat dipertahankan. Penambahan dari suatu cryoprotectant pada media harus dilakukan pada suhu di bawah -10ºC dengan tujuan untuk menghindari kegagalan fertilisasi. Konsentrasi cryoprotectant optimal bervariasi tergantung dari tipe sel dan tipe spesies yang diperiksa. Suatu langkah yang penting di dalam proses kriopreservasi adalah pelenyapan dari cryoprotectant permeabel dari sitoplasma. Prosedur ini terdiri dari proses lewatnya oosit melewati suatu rangkaian larutan yang mengandung konsentrasi yang menurun bertahap. sebagai akibat dari efek tekanan osmotok, sel tersebut akan segera pecah apabila ditempatkan pada suatu medium tanpa cryoprotectant pada saat pencairan. Penyimpanan oosit seringkali dilakukan dengan suatu prosedur pembekuan lambat-pencairan cepat. Walaupun tidak lazim dan jarang dilaporkan di dalam literatur, pembekuan lambat atau pencairan Kromosom dan Gelendong Meiosis Gelendong meiosis terdiri dari benang-benang rapuh berasal dari kutub yang berhadapan dari sel, dari suatu struktur yang disebut sentriole, dan membentang sampai kromosom. Kehilangan apapun dari mikrotubular selama proses pembekuan dapat memisahkan kromosom dan menyebabkan aneuploidi. Fertilisasi normal dapat dicapai pada oosit yang menjalani kriopreservasi, menunjukkan bahwa integritas yang layak dipertahakan setelah kriopreservasi. Sebagai akibat dari kariotyping dan staining atau pengecatan DNA, kromosom terbukti Sitoskeleton Terdiri dari struktur sitoplasmik bersabut kompleks, yang berguna untuk mempertahankan dan memodifikasi bentuk, mengijinkan pergerakan dari organela sitoplasmik, eksositosis dari protein membran intrinsik. Mikrotubular, aktin mikrofilamen, dan filamen intermediate adalah komponen utama dari sitoskeleton. Keseluruhan dari komponen tersebut Granula Granula Kortikal Oosit yang selamat dari pencairan menunjukkan suatu tingkat aneuploid yang tinggi ketika menjalani fertilisasi in vitro. Normalnya, granula kortikal pada oosit yang matur segera dialinisasi di bawah oolemma. Reaksi zona terjadi setelah pergerakan granula ini ke bagian perifer dari sitoplasma dan bertanggung jawab akan hambatan dari polispermia. Ketika menggunakan lambat terjadi pada kehamilan kedua dengan suatu oosit beku. Penggunaan dari cryoprotectant konsentrasi tinggi, pembekuan ultracepat atau pencairan cepat mencegah terbentuknya kristal es dan menginduksi terjadinya suatu medium yang amorfik dan bening. Pada proses lainnya yang disebut vitrification, suatu larutan sangat pekat dari cryoprotectant dipadatkan selama proses pembekuan tanpa terbentuknya kristal es, di dalam suatu cairan yang sangat kental, dan superdingin. Hal ini menunjukkan beberapa keuntungan yang sangat jelas dibandingkan dengan pembekuan sederhana dikarenakan kerusakan yang disebabkan oleh bentukan kristal es intraseluler yang dapat dihindarkan. Kombinasi dari kecepatan pendinginan yang tinggi (hampir 1500 C/menit) dan konsentrasi yang tinggi dari cryoprotectant seperti DMSO, acetamide, propyleneglycol, dan polyethyleneglycol dibutuhkan untuk vitrification. Dasar teoritis dari vitrification, suatu teknik untuk mempreservasi embrio. Namun demikian, hasilnya tidak sesuai, dan toksisitas dari cryoprotectant dikonfirmasi dengan penelitian eksperimental. Hambatan pembelahan mungkin dikaitkan dengan kerusakan ireversibel yang terjadi di dalam sitoskeleton terkait dengan cairan pendinginan dan vitrifikasi. Vitrifikasi oosit manusia dengan tujuan untuk membuktikan kemungkinan berhasilnya prosedur ini. Proses dari pembekuan dan pencairan dan cryoprotectant dapat merusak beberapa struktur sel. tidak hilang dari gelendong selama fertilisasi dari oosit beku, tidak terbukti untuk oosit manusia. Mungkin hilangnya kromosom ditambatkan melalui kynetochores terkait dan tidak bebas bergerak di dalam sitoplasma. Mungkin juga bahwa gelendong oosit manusia lebih tidak sensitif untuk membeku dibandingakn dengan gelendong tikus. Kehilangan kromosomal dari gelendong minimal pada oosit manusia setelah pembekuan atau pencairan dan fertilisasi, menunjukkan bahwa kerusakan krio yang dicatat pada binatang tidak sama seringnya pada oosit manusia. cukup sensitif terhadap berbagai stimuli dan mempunyai kemampuan untuk depolimerisasi cepat subunit. Cryoprotectant DMSO menghasilkan kerusakan pada mikrofilamen dari oosit tikus, yang secara langsung proporsional terhadap konsentrasinya. Ketika DMSO digunakan pada temperatur mendekati 0 C, efek ini nampaknya berkurang. Perubahan pada komponen sitoskeleton, diakibatkan oleh kristal es atau cryoprotectant di dalam oosit beku atau cair. mikroskop elektron untuk mempelajari oosit manusia dan tikus, suatu reduksi yang bermakna terdapat dalam hal jumlah dan perubahan morfologi granula kortikal setelah pencairan. Pengamatan ini mungkin dapat menjelaskan insiden yang tinggi dari aneuploidi dalam oosit beku atau cair. Eksositosis prematur dari granula kortikal mungkin dikarenakan kerusakan diakibatkan

7 kristal es atau cryoprotectant pada mikrofilamen aktin Zona Pellucida Suatu karakteristik umum dari semua oosit mamalia adalah adanya suatu lapisan glikoprotein, zona pellucida, di sisi luar dari oolemma. Fungsi dari zona pellucida adalah majemuk dan hanya sebagian yang sudah dimengerti. Yang paling dimengerti dengan baik antara lain adalah: adanya reseptor terhadap sperma, induksi dari reaksi zona, blokade dari polispermia, dan Aktivasi Parthenogenetik Sejak tahun 1940 telah ditunjukkan bahwa aktivasi parthenogenetik dapat diinduksi oleh kondisi fisik seperti pembekuan. Secara sukses, ditemukan bahwa syok termal dalam bentuk panas dan dingin dapat bertindak secara efektif sebagai aktivator parthenogenetik pada beberapa spesies binatang. Kemungkinan dengan mengubah ultrastruktur dan respon integral dari berbagai komponen oosit, akan mengganggu fertilisasi dan pertumbuhan embrio. Secara khusus, Kemungkinan untuk timbulnya kelainan genetik yang menyertai distribusi kromosom yang abnormal selama dan setelah fertilisasi merupakan perhatian utama. Hampir 15% oosit manusia yang baru diperoleh (pada metafase II dan secara morfo logi nampak normal dengan mikroskop cahaya) menunjukkan satu atau lebih gelendong yang tidak dikaitkan dengan kromosom. Pada oosit murine yang diawetkan dengan suhu dingin, yang selama pendinginan lambat dengan menggunakan DMSO sebagai cryoprotectant menunjukkan bahwa oosit kemudian akan mengalami pembuahan dan mencapai stadium pembelahan pertama, polyploidy mengalami peningkatan, namun hal ini nampaknya tidak berkaitan dengan polispermia. Retensi dari polar body nampaknya menjadi penyebab utama peningkatan poliploidy yang mirip dijumpai juga pada oosit tikus yang diawetkan dengan suhu dingin dengan menggunakan tahnik ultrarapid, ini juga dinamakan dengan triploidy, walaupun nampaknya tidak mungkin untuk menentukan apakah berasal dari diandric atau digynic. yang terdapat tepat di bawah oolemma. proteksi fisik dari embrio. Bahaya dari perusakan zona pellucida pada saat kriopreservasi, secara khusus, dapat terjadi 20-29% oosit. Kerusakan pada zona pellucida diperkirakan akibat dari pembentukan dari bidang pembelahan di dalam es atau akibat pembentukan dari kristal yang besar, yang mana dapat mengurung sel dan membuat sel mengalami perforasi pada saat proses pembekuan atau pencairan. Pada oosit manusia, hanya terdapat sedikit informasi mengenai kemungkinan penyebab dari kelainan kromosom, karena fertilisasi yang berhasil dicapai setelah diawetkan dengan suhu dingin hanya ada beberapa kasus. Perbandingan antara pengawetan suhu dingin pada oosit segar dan pada oosit manusia yang telah matur yang dilakukan dengan menggunakan 1,2-propanediol sebagai bahan cryoprotectant, bahwa distribusi kromosom yang normal akan diketahui dari karyotipe setelah pembuahan dari oosit segar yang diawetkan dengan suhu dingin. Apabila oosit yang telah berumur diawetkan dengan suhu dingin dan kemudian dilakukan inseminasi, maka akan terdapat peningkatan angka fertilisasi yang abnormal, hal ini menunjukkan bahwa oosit yang telah matur hendaknya segera diawetkan dengan suhu dingin pada hari oosit ini diambil. Tingginya angka fertilisasi yang abnormal nampaknya dikaitkan dengan penuaan in-vitro daripada prosedur pengawetan suhu dingin ini. Tidak ada peningkatan yang bermakna dari frekuensi aneuploidy pada populasi oosit matur setelah pengawetan dengan suhu dingin, pada oosit immatur, yang diambil dari keadaan beku dan dikultur pada suhu 37ºC untuk mencapai kematangan, juga tidak menunjukkan adanya bukti pembentukan kromosom yang abnormal. Apabila oosit manusia diawetkan pada suhu dingin pada stadium germinal vesikel, dikembalikan lagi, dan dikultur sampai mencapai kematangan, dan kemudian didinginkan kembali untuk kedua kalinya, maka aneuploidy akan ditemukan pada 25% dari populasi yang dipulihkan kembali, hal ini menunjukkan masalah yang mungkin timbul dari pengawetan suhu dingin yang berulang kali.

8 KESIMPULAN Sesungguhnya, sebelum penerapan klinis dari pengawetan oosit dengan suhu dingin menyebar luas, penting untuk merencanakan penelitian prospektif lebih jauh dan untuk memeriksa dengan hati-hati oosit manusia yang telah matur, baik sebelum dan sesudah pembuahan dan dengan cara yang dapat diterima secara etis, untuk membuktikan hipotesis bahwa pengawetan dengan suhu dingin tidak menyebabkan aneuploidy. Hasil terbaik diperoleh dengan pemindahan embryo dalam suatu siklus penggantian hormonal lambat. Pengawetan oosit dengan suhu dingin dapat digunakan untuk berbagai pemakaian klinis. Sindrom hiperstimulai ovarium merupakan kondisi klinis yang berbeda dimana pengawetan dengan suhu dingin elektif dari seluruh oosit merupakan alternatif yang berlaku tanpa adanya implikasi etis dibandingkan dengan embryo beku. Pengawetan oosit dengan suhu dingin pada masa lalu dipertimbangkan sebagai tehnik yang tidak efisien, memberikan hasil, fertilisasi dan pembelahan sel yang buruk. Dengan pengenalan tehnik ICSI, hasil fertilisasi, perkembangan embryo dan implantasi menjadi serupa dengan yang dihasilkan oleh oosit segar. Satu-satunya langkah yang kritikal dari proses akhirnya tampak menjadi survival rate dari oosit beku dan hal ini harus dikembangkan lagi selanjutnya. Keamanan tehnik ini telah dibicarakan secara luas. Satu dari permasalahan yang terpenting menganggap kerusakan yang mungkin terjadi pada benang meiosis dan induksi berikutnya dari aneuploidi. Oleh karena hal ini, sangatlah mungkin bahwa di dalam proses pembekuan hanya oosit yang terbaik dan yang paling kebal yang terpilih, hal tersebut memungkinkan untuk bertahan dalam berbagai jenis stress yang berbeda.

9 DAFTAR PUSTAKA

10 Anwar NC, Jamaan T, Manual Inseminasi Intrauterus (IIU). Klinik Fertilitas Morula RS Bunda Jakarta. Jakarta, Boediono. A., Kriopreservasi sperma, oosit dan embrio, Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dibacakan pada PIT III HIFERI januari 2007, Yogyakarta Darmasetiawan MS, Anwar Indra. Fertilisasi In Vitro Dalam Praktek Klinik, Kelompok Seminat Kedokteran Reproduksi dan Embriologi. Jakarta, Decherney A, Polan ML (Alih Bahasa : Widjaya kusuma, Lydon Saputra), Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Binarupa Aksara, Jakarta, Larsen WJ. Human Embriology. Churchill Livingstone. Singapore, Marcelle I, Practical Pathways In Infertility. McGraw-Hill, United of State, Porcu. E., Oocyte cryopreservation. In Textbook of Assested Reproductive Techniques Laboratory and Clinical Perspectives. Martin Dunitz Ltd. United Kingdom, 2001 : Rao KA, brinsden PR. The Infertility Manual. Jaypee Brothers, New Dehli, Simson, Elias. Genetic In Obstetri And Gynecology 3 rd edition. Saunders, United States of America, Sperof L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology And Infertility 7 th edition, Assited Reproductive Technologies, p Lipincott Williams & Wilkins. Phildelphia, 2005.

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teknologi reproduksi manusia telah berkembang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini. Ruang lingkup teknologi reproduksi antara lain meliputi fertilisasi in

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan semakin meningkat pula permintaan masyarakat terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME TIPE 1 Sel Sperma ( haploid/ n) Sel telur (haploid/ n) Fertilisasi Zigot (Diploid/ 2n) Cleavage Morfogenesis Individu Sel Sperma ( haploid/

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium (Guyton dan Hall, 2006). Ovum merupakan oosit

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas secara umum didefinisikan sebagai hubungan seksual tanpa proteksi selama 1 tahun yang tidak menghasilkan konsepsi. Dalam satu tahun, konsepsi terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Ovarium merupakan bagian organ reproduksi wanita, yang memproduksi hormon dan berisi folikel yang akan dirilis untuk tujuan reproduksi (Katz et al, 2007). Kerusakan

Lebih terperinci

HASIL. Medium V3+ embrio

HASIL. Medium V3+ embrio 3 (PBS + 20% serum + 10% etilen glikol) selama 10-15 menit. Lalu embrio dipindahkan kedalam medium vitrifikasi (PBS + 20% serum + 0.5 M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO) selama 30 detik, kemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.868, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Reproduksi. Bantuan. Kehamilan Di Luar. Alamiah. Pelayanan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Semen Kambing Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara umum diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dikenal di Indonesia sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing adalah salah satu ternak yang telah didomestikasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN REPRODUKSI DENGAN BANTUAN ATAU KEHAMILAN DI LUAR CARA ALAMIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama dua dasa warsa terakhir, angka keberhasilan teknik reproduksi

BAB I PENDAHULUAN. Selama dua dasa warsa terakhir, angka keberhasilan teknik reproduksi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama dua dasa warsa terakhir, angka keberhasilan teknik reproduksi berbantu fertilisasi in vitro pada beberapa Pusat Klinik Bayi Tabung di Indonesia dilaporkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sekitar 85-90% dari pasangan muda yang sehat akan hamil dalam waktu 1 tahun. Evaluasi dan pengobatan infertilitas telah berubah secara dramatis selama periode waktu

Lebih terperinci

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING THE EFFECT OF GLYCEROL LEVEL ON TRIS-YOLK EXTENDER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, ph dan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi sperma,

Lebih terperinci

SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS)

SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS) 04 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS) Pembelahan sel dibedakan menjadi secara langsung (amitosis) dan tidak langsung (mitosis dan meiosis).

Lebih terperinci

Standardisasi Kurikulum PERFITRI. Training and Education

Standardisasi Kurikulum PERFITRI. Training and Education Standardisasi Kurikulum PERFITRI Training and Education Kurikulum Dokter TRB Basic 2 minggu pelatihan Intermediate 3 bulan pelatihan Advance 6 bulan pelatihan 20 pasien 30 pasien 50 pasien PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan 1. Latar Belakang Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan penyediaan bibit berkuaiitas tinggi meialui penerapan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan kuning telur itik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas dan kelebihan berat badan bukan hanya menjadi masalah di negara maju tetapi juga merupakan masalah yang semakin meningkat di negara-negara berkembang. Obesitas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA

PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA FITRA AJI PAMUNGKAS Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, PO Box I, Galang 20585, Sumatera Utara (Makalah diterima 30 April 2010 Revisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kambing Peranakan Etawah Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah yang berasal dari India yang memiliki iklim tropis/subtropis dan beriklim kering dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Dari hasil penampungan semen yang berlangsung pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Juli 2004 dan rusa dalam kondisi rangga keras memperlihatkan bahwa rataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan. suami-istri yang telah menikah selama satu tahun atau

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan. suami-istri yang telah menikah selama satu tahun atau BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan suami-istri yang telah menikah selama satu tahun atau lebih telah melakukan hubungan seksual secara teratur dan adekuat

Lebih terperinci

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom Fertilisasi dan Penurunan Kromosom Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Indikator Pencapaian Fungsi fertilisasi: fungsi reproduksi (penurunan genetik), fungsi perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan 4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa 27 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan perubahan penyusutan diameter folikel mulai dari rataan terendah

Lebih terperinci

Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari

Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari BAGIAN KE-17 Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari Sesudah mempelajari materi ke-17 ini mahasiswa diharapkan dapat : Mengenal bentuk-bentuk penerapan teknologi di bidang Reproduksi

Lebih terperinci

MODUL PERKEMBANGAN HEWAN : FERTILISASI. Oleh Siti Pramitha Retno Wardhani, S.Si

MODUL PERKEMBANGAN HEWAN : FERTILISASI. Oleh Siti Pramitha Retno Wardhani, S.Si MODUL PERKEMBANGAN HEWAN : FERTILISASI Oleh Siti Pramitha Retno Wardhani, S.Si Tahapan-tahapan utama perkembangan hewan: 1. Fertitisasi 2. Cleavage 3. Gastrulasi 4. Organogenesis Fertilisasi Fertilisasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis...

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM...i PRASYARAT GELAR...ii LEMBAR PERSETUJUAN...iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI...iv RIWAYAT HIDUP...v UCAPAN TERIMAKSIH...vi ABSTRAK...vii ABSTRACT...viii RINGKASAN...ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan infertilitas. Sampel merupakan pasien rawat inap yang telah menjalani perawatan pada Januari 2012-Juli 2013. Data

Lebih terperinci

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan mitosis dan meiosis pada tanaman Sub Pokok Bahasan :

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II. REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel A. Pengertian Sel Sel adalah unit strukural dan fungsional terkecil dari mahluk hidup. Sel berasal dari bahasa latin yaitu cella yang berarti ruangan kecil. Seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW

PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW (The Effect of Temperature of Glycerol and Straw Cassette on Sperm Cryopreservation) F. AFIATI, E.M. KAIIN, M.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Semen Spermatozoa

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Semen Spermatozoa 3 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Semen Semen merupakan cairan yang mengandung spermatozoa dan plasma semen yang dihasilkan dari sekresi oleh kelanjar-kelanjar kelamin jantan (Herdis et al. 2003). Adapun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Domba Ekor Tipis Domba ekor tipis merupakan domba yang bersifat profilik yaitu mampu mengatur jumlah anak yang akan dilahirkan sesuai dengan ketersediaan pakan yang

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harlap & Shiono (1980) melaporkan bahwa 80% kejadian abortus spontan terjadi pada usia kehamilan 12 minggu pertama.

BAB I PENDAHULUAN. Harlap & Shiono (1980) melaporkan bahwa 80% kejadian abortus spontan terjadi pada usia kehamilan 12 minggu pertama. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Abortus spontan adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20

Lebih terperinci

KEHIDUPAN DI BUMI. Widodo Setiyo Wibowo

KEHIDUPAN DI BUMI. Widodo Setiyo Wibowo KEHIDUPAN DI BUMI Widodo Setiyo Wibowo Widodo_setiyo@uny.ac.id ASAL MULA KEHIDUPAN DI BUMI Teori Asal Mula Kehidupan di Bumi Hipotesis dan Teori tentang asal usul kehidupan di bumi: Generatio spontanea:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Semen merupakan salah satu komponen penting dalam penghantaran spermatozoa baik secara konseptus alami maupun inseminasi buatan (IB). Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh kualitas

Lebih terperinci

BIOLOGI SEL. Chapter III Membran dan Dinding Sel

BIOLOGI SEL. Chapter III Membran dan Dinding Sel BIOLOGI SEL Chapter III Membran dan Dinding Sel Fungsinya apa yaaaaa...?? Kira-kira kalau mau masuk permisi dulu?? Mari Merievew Perbedaan Sel Tumbuhan dan Hewan Dinding Sel (Cell Wall) Sebagian besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. spermatozoa merupakan bagian dari sistem reproduksi yang penting bagi

I. PENDAHULUAN. spermatozoa merupakan bagian dari sistem reproduksi yang penting bagi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah 1. Latar Belakang Bagi manusia dan makhluk hidup yang berkembang biak secara generatif, spermatozoa merupakan bagian dari sistem reproduksi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ANALISA SPERMA DI KLINIK BAYI TABUNG RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN 2013

ABSTRAK GAMBARAN ANALISA SPERMA DI KLINIK BAYI TABUNG RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN 2013 ABSTRAK GAMBARAN ANALISA SPERMA DI KLINIK BAYI TABUNG RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN 2013 Mitos yang mengatakan infertil hanya dialami wanita masih berkembang dimasyarakat indonesia. Ini harus dibenahi

Lebih terperinci

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya.

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. 2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran

Lebih terperinci

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Definisi & Tujuannya - Pembelahan sel reproduksi sel, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN Tim Penyusun: Dr. Agung Pramana W.M., MS. Dr. Sri Rahayu, M.Kes. Dr. Ir. Sri Wahyuningsih, MS. Drs. Aris Soewondo, MS. drh. Handayu Untari drh. Herlina Pratiwi PROGRAM KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keguguran berulang adalah suatu kondisi yang berbeda dengan infertilitas yang didefinisikan sebagai dua atau lebih kegagalan kehamilan (ASRM, 2008). Dari semua kehamilan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Folikel antral adalah folikel kecil - kecil berukuran 2-8 mm yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Folikel antral adalah folikel kecil - kecil berukuran 2-8 mm yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Folikel Antral Folikel antral adalah folikel kecil - kecil berukuran 2-8 mm yang dapat dilihat di ovarium dengan menggunakan USG transvaginal. Folikel antral disebut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI 2004 Retno Prihatini Makalah Pribadi Posted: 20 December 2004 Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Tanggal 1 Desember 2004 Pengajar: Prof.Dr.Ir.Rudy C.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

Kehidupan. Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi. 7 karakteristik kehidupan. Aspek kimia dalam tubuh - 2

Kehidupan. Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi. 7 karakteristik kehidupan. Aspek kimia dalam tubuh - 2 Kehidupan 7 karakteristik kehidupan Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi Aspek kimia dalam tubuh - 2 Aspek kimia dalam tubuh - 3 REPRODUKSI: Penting untuk kelangsungan hidup spesies.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan daging domba setiap tahunnya terus meningkat.

Lebih terperinci

PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA

PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA Moh Nur Ihsan Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB Malang ABSTRAK Suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kualitas

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.1 1. Perhatikan nama-nama bagian sel berikut ini! dinding sel inti sel kloroplas Lisosom sentriol Bagian sel yang tidak dimiliki oleh sel hewan adalah... SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan

Lebih terperinci

PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran Mahasiswa memahami mengenai posisi sel, kromosom, dan DNA dalam dalam kaitannya dengan organisme Mahasiswa memahami jenis-jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai 242.013.800 jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya (Anonim,2013). Jumlah penduduk yang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol merupakan zat kimia yang dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. Penggunaan alkohol

Lebih terperinci

Dosis Glukosa Ideal pada Pengencer Kuning Telur Fosfat Dalam Mempertahankan Kualitas Semen Kalkun pada Suhu 5 C

Dosis Glukosa Ideal pada Pengencer Kuning Telur Fosfat Dalam Mempertahankan Kualitas Semen Kalkun pada Suhu 5 C Dosis Glukosa Ideal pada Pengencer Kuning Telur Fosfat Dalam Mempertahankan Kualitas Semen Kalkun pada Suhu 5 C IDEAL GLUCOSE DOSAGE ON EGG YOLK PHOSPHATE BUFFER FOR MAINTAINING SEMEN TURKEYS QUALITY IN

Lebih terperinci

3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3)

3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3) Riswanto, S. Pd, M. Si SMA Negeri 3 Rantau Utara 3 Gerakan zat melintasi membran sel 3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3) A Bagaimana struktur dari membran sel? (Book 1A, p. 3-3) Struktur membran sel dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

KULIAH I FISIOLOGI DAN SEL TUMBUHAN

KULIAH I FISIOLOGI DAN SEL TUMBUHAN KULIAH I FISIOLOGI DAN SEL TUMBUHAN Tumbuhan banyak manfaat dan nilai ekonomi Cakupan tumbuhan tinggi (Spermatofita) Fisiologi Proses Fungsi Aspek praktis dari fisiologi tumbuhan Faktor keturunan Proses

Lebih terperinci

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Embrio ternak - Bagian 1: Sapi ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

RAPAT KERJA TRAINING & EDUCATION. Hotel Akmani, Jakarta 5 Juni 2016

RAPAT KERJA TRAINING & EDUCATION. Hotel Akmani, Jakarta 5 Juni 2016 RAPAT KERJA TRAINING & EDUCATION Hotel Akmani, Jakarta 5 Juni 2016 ESHRE ASRM PERFITRI A. TRAINING : ACCREDITATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION TRAINING CENTRE IN INDONESIA B. EDUCATION : 1. PERFITRI SCIENTIFIC

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

5. Kerja enzim dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, kecuali. a. karbohidrat b. suhu c. inhibitor d. ph e. kofaktor

5. Kerja enzim dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, kecuali. a. karbohidrat b. suhu c. inhibitor d. ph e. kofaktor 1. Faktor internal yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan adalah. a. suhu b. cahaya c. hormon d. makanan e. ph 2. Hormon yang termasuk ke dalam jenis hormon penghambat pertumbuhan

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci