HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa

Transkripsi

1 27 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan perubahan penyusutan diameter folikel mulai dari rataan terendah yaitu P2 (0,10 mm), kemudian P3 (0,13 mm), dan rataan tertinggi dihasilkan oleh P1 (0,24 mm). Tabel 3. Rataan Penyusutan Perubahan Diameter Folikel Ulangan Perlakuan P1 P2 P3....mm ,23-0,20-0,09 2-0,71-0,09-0,08 3-0,18-0,10-0,21 4-0,11-0,08-0,21 5-0,16-0,10-0,11 6-0,08-0,07-0,11 Total 1,47 0,64 0,81 2,92 Rata-rata 0,24 0,10 0,13 0,48 Keterangan : P1 = Media preservasi tanpa antioksidan P2 = Media preservasi + antioksidan Glutathione 1 mm P3 = Media preservasi + antioksidan asam askorbat 0,05 mg/ml Analisis data perubahan diameter folikel dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Gaspersz, 1995). Hasil analisis (lampiran 1) menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) pengaruhnya terhadap ukuran diameter folikel. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antioksidan jenis glutathione dan asam askorbat pada media preservasi ovarium tidak mempengaruhi rataan perubahan ukuran diameter folikel, dengan kata lain rataan ukuran diameter folikel dari setiap perlakuan relatif sama.

2 28 Hasilnya tidak berbeda nyata terjadi karena, bahan steroid yang terdapat pada cairan folikel yang berperan dalam menjaga pertukaran zat saat preservasi berlangsung, dan penggunaan antioksidan jenis glutathione ternyata tidak mampu berikatan dengan steroid yang terdapat pada cairan folikel (Fausiah, 2014). Hal tersebut terjadi karena penggunaan dosis glutathione hanya 1 mm, alasan tersebut sesuai dengan pendapat Gordon (2003) yang menyatakan bahwa dosis glutathione yang digunakan untuk preservasi ovarium selama 24 jam dengan suhu 6 0 C-7 0 C minimal 1 mm dan harus mempertimbangkan jumlah ovarium yang akan di preservasi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Takahashi (1993) bahwa penggunaan glutathione dengan dosisnya terlalu sedikit memberikan dampak negatif terhadap steroid yang terdapat di dalam folikel sehingga menyebabkan volume cairan folikel berkurang dan terjadi penyusutan dengan rataan yaitu 0,09 mm. Bahan steroid yang terdapat di dalam cairan folikel selain berfungsi untuk menjaga pertukaran dalam zat selama preservasi, ternyata berperan juga dalam menjaga kedua siklus oksidanitrat (Kumar, 2013). Penggunaan antioksidan jenis asam askorbat yang ditambahkan pada media preservasi sebagai perlakuan P3 tenyata memberikan dampak yang negatif, terhadap perubahan ukuran diameter folikel dengan rataan penyusutan yaitu 0,13 mm. Hal tersebut terjadi karena asam askorbat kurang mampu mempertahankan komposisi steroid yang terdapat dalam cairan folikel. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kesic (2009) yang menyatakan bahwa saat berlangsungnya preservasi dapat melindungi stres ekstraseluler, tetapi komposisi dalam steroid kurang bisa dipertahankan sehingga rataan penyusutannya yaitu 0, 14 mm.

3 29 Hal tersebut yang menyebabkan antioksidan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan diameter folikel jika dibandingkan dengan perlakuan P1. Karena pada perlakuan P1 cairan folikel yang mengandung kadar estradiol 17 beta yang berasal dari plasma perifer, yang memiliki komposisi transudat serum yang dimodifikasi oleh aktivitas metabolisme dan berisi bahan spesifik steroid dan glikosteroid (Bone, 1988). Mampu berikatan dengan antibiotik seperti NaCl, Penicillin dan streptomycin (Fausiah, 2014). Antibiotik tersebut digunakan sebagai media preservasi pada perlakuan P1 yang pada akhirnya dapat mempertahankan penyusutan pada folikel saat preservasi ovarium dengan rataan penyusutannya yaitu 0,24 mm. Steroid yang terdapat dalam cairan folikel memiliki konsentrasi yang rendah, jika ditambahkan dengan antibiotik seperti NaCl, Penicillin dan streptomycin konsentrasinya menjadi tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Takahashi (1993) antibiotik yang digunakan untuk media preservasi dapat mempertahankan perubahan ukuran diameter folikel karena memiliki fungsi dalam menjaga kestabilan steroid saat preservasi berlangsung sehingga rataan penyusutannya hanya 0,23 mm. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antioksidan yang ditambahkan memberikan dampak negatif terhadap perubahan ukuran diameter folikel. Hal tersebut terjadi karena dosisi yang digunakan kurang sehingga komposis yang terdapat didalam cairan folikel seperti steroid tidak bisa dipertahankan (Sadness, 1981).

4 Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Oosit Hasil pengamatan kualitas oosit pasca preservasi disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Jumlah dan Kualitas Oosit setelah Preservasi Ovarium Perlakuan Jumlah Kualitas Oosit Grade : Oosit A B C D P P P Keterangan : P1 = Media preservasi tanpa antioksidan P2 = Media preservasi + antioksidan Glutathione 1 mm P3 = Media preservasi + antioksidan asam askorbat 0,05 mg/ml Analisis data kualitas oosit dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Gasperz, 1995). Hasil analisis (lampiran 5) menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) pengaruhnya terhadap kualitas oosit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antioksidan jenis glutathione dan asam askorbat pada media preservasi ovarium tidak mempengaruhi kualitas oosit, dengan kata lain jumlah kualitas oosit grade A, B, C dan D semua perlakuan relatif sama. Hasilnya tidak berbeda nyata terjadi karena, secara fisiologis lingkungan intrafolikuler yang diperlukan saat perkembangan oosit dapat dipengaruhi oleh keberadaan antioksidan (Loos, dkk., 2003) walaupun ovarium diperoleh dari RPH, keberadaan antioksidan sangat diperlukan sebagai tambahan dalam media preservasi. Antioksidan yang ditambahkan yaitu glutathione sebagai P2 yang memiliki komposisi seperti cysteine, glutamine, glycin yang berfungsi dapat melindungi sel kumulus dari kerusakan oksidatif. Hasil dari perlakuan P2 menunjukkan jumlah oosit yang berhasil dikolekis yaitu sebanyak 59 buah dengan kualitas oosit didominasi oleh kualitas oosit grade B tetapi memberikan dampak negatif atau tidak jauh berbeda dengan jumlah kualitas oosit perlakuan lain. Hal tersebut terjadi karena penggunaan dosis glutathione yang terlalu sedikit, sehingga

5 31 menyebabkan kurangnya keseimbangan antara media preservasi yang mengakibatkan sel kumulus, sitoplasma, dan zona pellucida mudah terlepas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adifa (2010) yang menjelaskan bahwa penambahan glutathione pada media preservasi harus memperhatikan dosisnya minimal 1 mm dan harus mempertimbangkan dengan jumlah ovarium yang di preservasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Takahashi (1993) yaitu penambahan glutathione sebagai antioksidan pada media preservasi mampu memberikan hasil yang baik oosit yang berhasil dikoleksi yaitu sebanyak 57 buah dan didominasi oleh kualitas oosit grade B. Antioksidan yang ditambahkan pada perlakuan P3 yaitu asam askorbat yang berfungsi melindungi dari stress ekstraseluler di dalam sitoplasma dengan konsentrasi senyawa Fe yang tinggi (Suryohudoyo, 2000) tetapi memberikan dampak negatif pada kualitas oosit. Hal tersebut terjadi karena asam askorbat memiliki konsentrasi senyawa Fe yang tinggi sedangkan sitoplasma, zona pellucida dan sel kumulus sebagai komponen yang mengelilingi oosit tidak bisa menyeimbanginnya sehingga komponen tersebut mudak terlepas. Jumlah kualitas oosit yang diperoleh yaitu sebanyak 61 buah paling banyak jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang didominasi oleh kualitas oosit grade C. Hal tersebut yang menyebabkan antioksidan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas oosit jika dibandingkan dengan perlakuan P1. Karena pada perlakuan P1 preservasi ovarium dengan menggunakan media preservasi seperti NaCl, penicillin dan streptomycin memberikan hasil yang baik terhadap kualitas oosit, karena NaCl yang terdapat dalam media preservasi berfungsi sebagai larutan osmotik yang dapat mempertahankan daya hidup oosit. Berdasarkan hasil penelitian jumlah oosit yang diperoleh yaitu 52 buah dan didominasi oleh kualitas

6 32 oosit grade C yang hasilnya tidak jauh berbeda dengan perlakuan lain. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Vassena (2003) yaitu preservasi dengan menggunakan NaCl, pencillin dan streptomycin mampu memberikan hasil yang baik karena, kandungan yang terdapat dalam NaCl memberikan pengaruh posistif terhadap lingkungan intrafolikuler yang menyebabkan sel kumulus, sitoplasma dan zona pellucida dapat dipertahankan keberadannya. Secara umum berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa penambahan antioksidan memberikan dampak negatif terhadap kualitas oosit pasca preservasi. Hal tersebut terjadi karena antioksidan yang ditambahkan dosisnya kurang sesuai sehingga fungsi mereduksi, melemahkan atau menekan reaksi radikal bebas dan mencegah proses oksidasi tidak berjalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Winarsih (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan antioksidan yang tidak sesuai dosis memberikan efek negatif, karena tidak bisa melemahkan radikal bebas yang masuk, sehingga kerusakan yang terjadi tidak bisa diperlambat.