UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL: KASUS DI KECAMATAN CIKALONG, KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT EMI KARMINARSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL: KASUS DI KECAMATAN CIKALONG, KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT EMI KARMINARSIH"

Transkripsi

1 1 UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL: KASUS DI KECAMATAN CIKALONG, KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT EMI KARMINARSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Emi Karminarsih

3 3 ABTRACT Emi Karminarsih. Sustained Small Scale Unit Farm Forest Management in Cikalong District, Tasikmalaya Recidence, West Java Province supervised Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr as a principal advisor, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, Ms and Dr. Ir. Leti Sundawati, Msc.F.Trop as a co-advisor. Development of small scale forest management units is now becoming a promising business unit to reduce the imbalance between of supply and demand of raw timber industry. The timber production from big companies is decreasing year by year. This study describes a development of small scale management unit of private forest that may produce timber sustainably as well as economically managable. The objective of this study is to determine how wide the smallest scale of a sustainable forest management unit (Small scale sustainable farm forest management unit) were able to contribute to social economic benefits of rural communities.the study was carried out in District Cikalong, Tasikmalaya Regence, West Java Province. Simple random sampling method and simple statistical analysis were used to estimate the standing stock of sengon farm private forests (volume and tree) and non parametric statistical analysis were use to know how the correlation between forest farmer s motivation with sustained functions of farm forest management.the result shows that the annual yield fluctuatin of three sample districts relatively can be reached after five years and the yield regulation method based on increament and standing stock is suitable to be implementated on the yield regulaton of farm forest. This is due to its simplicity and practically implementable, even though the farmer have no much knowledge on yield regulation, The various of the scale area were depended on the how each farm forest be managed to qualify financially that showed the NPV-value more than one (NPV > 1). Small scale forest of Cikalong district shows that the minimal scale of unit farm forest management Cikalong district based on dusun is 27,02 ha in Dusun Cikalong (Cikalong village), 10,37 ha in Dusun (Tonjongsari village) and 62,82 ha in Dusun (Singkir village). On the otherhand the management of public forest would able to work properly when have formed organizations forest farmer groups led by the forest manager small scale unit (one or two villages) that similar to a forest farmer cooperation, a rule as well as an institution that work effectively to support develovepment community forest. All of the forest management activities were related to the farmer motivation in understanding the purpose of sustainable forest management. The motivation could be explained by four of twelve of the farmer characteristik factors. The result shows that farm forest have no much knowledge on the principles of sustained forest management benefit. Keywords : sustainable management, small scale unit, farm forest

4 4 RINGKASAN EMI KARMINARSIH. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dibawah bimbingan oleh Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr sebagai ketua, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.F.Trop sebagai anggota. Sejak bergesernya arah pembangunan kehutanan untuk mengimbangi situasi global, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengambil strategi dan kebijakan jangka panjang dalam membangun dan mengelola sumberdaya hutan, yaitu dari arah membangun hutan untuk kelestarian produksi menuju ke arah membangun kelestarian hutan dan ekosistem (aspek biodiversity, aspek ekologi dan aspek sosial), termasuk diantaranya pergeseran terhadap fungsi dan peran hutan di tanah milik yaitu hutan rakyat. Sistem pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dilaksanakan berdasarkan konsep pengelolaan yang bersifat tradisional dengan pengetahuan cara bertani merupakan warisan budaya dari nenek moyang, peran usahanya mulai diarahkan kepada sistem pengelolaan selain untuk upaya penyediaan bahan baku industri juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, yaitu sejahtera secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Seiring kondisi menurunnya bahan baku kayu untuk industri perkayuan secara nasional akhir-akhir ini sebagai akibat deforestasi, mengakibatkan adanya ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan kayu sebagai bahan baku industri. Kondisi tersebut dan terbukanya kesempatan masyarakat utuk telibat dalam pengelolaan hutan, memberi peluang pembangunan hutan rakyat naik pesat. Dengan modal yang dimilikinya mereka berlomba untuk menanami lahan miliknya dengan tanaman jenis kayu-kayuan. Permasalahannya apakah kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat tersebut sudah menerapkan tiga fungsi dasar pengelolaan hutan lestari, yaitu fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial sedangkan keberlanjutan hutan rakyat mempunyai peranan sangat penting bagi stabilitas sosial ekonomi masyarakat maupun stabilitas ekosistem (banjir, erosi, dan iklim mikro). Tujuan utama yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah membangun unit pengelolaan hutan rakyat sengon lestari skala kecil berdasarkan sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tujuan khusus adalah mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat melalui aspek internal dan eksternal serta motivasi petani hutan terhadap manfaat pengelolaan hutan rakyat melalui aspek manfaat ekonomi, sosial dan ekologi. Pendekatan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut dilihat dari dua aspek yaitu kondisi ketersediaan tegakan (standing stock) sebagai modal dasar pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil dan sistem pengaturan kelestarian hasil berdasarkan jatah tebang yang berkesinambungan. Data primer diperoleh melalui kegiatan inventarisasi terhadap tegakan hutan rakyat pada luasan areal efektif dan kegiatan survei melalui teknik wawancara

5 dengan alat bantu kuesioner terhadap petani hutan rakyat. Data sekunder sebagai penunjang diperoleh melalui studi pustaka yang dilakukan di beberapa instansi terkait. Teknik pengambilan contoh dengan Metode Simple Random Sampling dengan menggunakan plot ukur berbentuk lingkaran (0,1 ha) dan alat bantu kuesioner sebanyak 10 plot ukur dan kuesioner untuk masing - masing dusun secara purpossive dimana jumlah tersebut didasarkan pada ratio kelas kepemilikan lahan yaitu < 0,25 ha; 0,25 ha - 0,50 ha; > 0,50 ha yaitu 5:3:2. Oleh karena jumlah dusun dari ketiga desa contoh terdiri dari 21 dusun, maka jumlah total plot maupun responden yang terpilih sebanyak 210 plot ukur dan 210 responden. Analisis statistik sederhana dipakai untuk menghitung dugaan potensi baik dalam bentuk satuan ukuran volume maupun jumlah batang. Pengaturan hasil dianalisis berdasarkan pendekatan riap dan jumlah batang (sediaan tegakan) dari Metode Brandis (The Brandis Method 1856) (Osmaston 1968). Penilaian aspek ekonomi usaha pengelolaan hutan rakyat didekati oleh seberapa besar kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani hutan rakyat dan prospek usaha hutan rakyat melalui pendekatan analisis Discounted Cash Flow berdasarkan kriteria nilai NPV (Net Present Value). Sedangkan mengenai seberapa besar hubungan karakteristik petani hutan rakyat (Internal dan eksternal) terhadap motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise (stepwise regression). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa besar sediaan jumlah batang per kelas diameter akan sangat menentukan variasi jumlah jatah tebang tahunan serta seberapa lama suatu tegakan mendekati kondisi normal. Pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang ini cukup praktis dan secara teknik mudah diterapkan oleh petani hutan rakyat. Jatah tebang tahunan dengan cara pendekatan riap dan jumlah batang/sediaan tegakan, secara umum menggambarkan jatah tebang tahunan dari ketiga desa contoh (Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir) yang mulai menunjukkan fluktuasi stabil setelah periode lima tahun pertama. Kontribusi hutan rakyat sengon terhadap pendapatan total petani hutan per tahun di Desa Cikalong sebesar Rp atau 11,54%, di Desa Tonjongsari sebesar Rp atau 20,65% dan di Desa Singkir sebesar Rp atau 11,00%. Secara garis besar nilai NPV untuk setiap dusun baik dari Desa Cikalong, Desa Tonjongsari dan maupun Desa Singkir menunjukkan nilai > 1. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan rakyat sengon di masing-masing dusun secara finansial layak untuk diteruskan. Terlepas dari penilaian tersebut penekanan terhadap aspek pengaturan hasil yang berkesinambungan setiap tahunnya, sangat ditentukan oleh sediaan tegakan dengan sebaran jumlah batang yang mewakili setiap kelas diameter dan peningkatan pendapatan petani bisa diperoleh melalui kegiatan penanaman dengan jumlah bibit minimal sama dengan jumlah pohon yang ditebang, dengan demikian nilai finansial yang akan diperoleh petani dari modal berupa tegakan sediaan yang selalu tersedia sejumlah pohon yang siap dipanen tiap tahunnya bisa diperoleh secara berkelanjutan. Analisis motivasi petani hutan rakyat terhadap aspek manfaat ekonomi Y1), ekologi (Y2), dan sosial (Y3) yang didasarkan pada karakteristik internal dan eksternal petani dapat diterangkan berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda melalui model persamaan regresi Y1= 60, ,123X14 + 6,723 5

6 6 X23 1,405 X24 dimanafaktor X14 (kebutuhan rumah tangga), dan X23 (luas lahan) dan X24 (pendapatan); model persamaan regresi Y2 = 39,831+ 1,648 X15 0,485 X24, dimana faktor X15 (jumlah tanggungan keluarga) dan X24 (pendapatan) dan model persamaan regresi Y3 = 32,910 0,249 X24 + 3,015 X23, dimana faktor X24 ( pendapatan) dan faktor X23 (luas lahan ). Dari hasil analisis regresi linier berganda berdasarkan ketiga model persamaan tersebut, menunjukkan bahwa faktor kebutuhan rumah tangga, faktor jumlah tanggungan keluarga dari karakteristik internal petani HR dan faktor luas lahan dan faktor pendapatan, sebagai peubah independen hanya mampu menunjukkan pengaruh terhadap peubah dependen, yaitu peubah motivasi ekonomi, ekologi dan sosial secara berurutan sebesar 11,9%, 5,5% dan 4,6%, Walaupun persamaan tersebut memiliki nilai r 2 yang kecil, berarti menunjukkan kesanggupan dari keempat faktor karakteristik petani tersebut dalam menerangkan ketiga faktor motivasi sangat lemah, tapi bila pengaruh masingmasing faktor tersebut dilakukana secara terpisah menunjukan nilai sig. yang tinggi pada tingkat kepercayaan α =5 % Hal yang bisa diterangkan secara umum dari ketiga model regresi tersebut adalah bahwa besar kecilnya pendapatan petani hutan rakyat akan sangat ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap petani hutan rakyat. Kondisi ini akan mendorong motivasi mereka untuk mendapatkan nilai tambah dari kegiatan hutan rakyat, walaupun saat ini besar kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap total pendapatan petani rata-rata hanya sebesar 15,4%, tetapi merupakan kontribusi pendapatan kedua setelah sektor usaha pertanian. Walaupun rata-rata luas kepemilikan lahan usaha petani sempit yaitu umumnya rata-rata kurang dari 0,25 ha, tapi bila dengan mempertimbangkan jangka waktu pengalaman usaha di sektor hutan rakyat sampai saat sudah berjalan selama dua dekade sejak awal mulai membangun bangun tegakan sengon, menyipulkan bahwa secara sosial pengelolaan hutan rakyat sampai saat ini telah memberikan peningkatan kesejahteraan petani melalui nilai tambah dari pendapatan dengan adanya kegiatan di sektor usaha hutan rakyat yang dikelolanya, di lain pihak sektor tersebut secara multi efek mampu memberikan peluang penyerapan tenaga kerja mulai dari kegiatan pengadaan tanaman dan pemeliharaan, jasa penebangan, pengepul, jasa angkutan kayu, kegiatan pemasaran, industri kecil lokal, dan sebagainya. Untuk mengukur apakah pengelolaan hutan rakyat yang telah berkembang di ketiga wilayah lokasi penelitian, yaitu Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir dengan mempertimbangkan aspek manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial, maka dibuat model nilai komposit ketiga aspek tersebut dengan sediaan tegakan (jumlah batang sengon per kelas diameter pada setiap lahan petani HR). Model komposit kelestarian HR yang diperoleh adalah HtLst = 0,655 Y1 + 0,127 Y2 + 0,243 Y3, dimana Y1 adalah aspek ekonomi, Y2 adalah aspek ekologi, dan Y3 adalah aspek sosial. Dari ketiga aspek tersebut yang paling signifikan adalah aspek ekonomi (sig. 0,000 < α = 0,05), aspek ekologi (Sig. 0,243 > α = 0,05), dan aspek sosial (sig. 0,252 > α = 0.05). Berdasarkan analisis statistik dari regresi linier berganda tersebut, ketiga peubah bebas yaitu motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial hanya mampu menjelaskan sebesar 23% terhadap peubah tidak bebas terhadap kelestarian (sig.f = 0,000). Model regresi berganda tersebut dapat diandalkan untuk mengetahui

7 besarnya pengaruh ketiga peubah motivasi terhadap tingkat kelestarian. Faktor motivasi ekonomi menunjukkan pengaruh paling besar dibandingkan faktor motivasi ekologi dan sosial terhadap kelestarian hutan. Hal yang dapat diterangkan dari analisis tersebut, yaitu menggambarkan masyarakat petani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir tidak atau belum memahami akan prinsip-prinsip kelestarian dalam tujuan kegiatan pengelolaan HR, sadar atau tidak pengalaman yang telah dicapai dalam dua dekade terakhir sejak HR pertama kali dibangun, menunjukkan motivasi terhadap aspek ekonomi cukup tinggi dengan harapan nilai tambah dari pendapatan melalui peningkatan kontribusi HR dapat meningkatkan kesejahteraan sosial petani HR. Suatu bukti bahwa masyarakat tani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir menunjukkan motivasi positif secara ekonomi, walaupun motivasi ekologi dan sosial belum terlihat secara signifikan. Kegiatan penanaman oleh petani HR sampai saat ini masih terus dilakukan, walaupun skala waktu kegiatan penanamannya masih belum teratur karena tergantung ketersediaan biaya, mungkin kondisi inilai yang menyebabkan kondisi sebaran jumlah batang per kelas diameter (standing stock) yang ada di lokasi penelitian belum bisa dikatakan memenuhi kriteria lestari. Kesimpulan secara umum bahwa dalam membentuk suatu unit pengelolaan hutan lestari skala kecil, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah tersedianya luasan lahan minimal sebesar wilayah dusun dalam bentuk unit kelompok usaha tani hutan rakyat dengan petani pemilik sebagai anggota kelompok, dengan modal berupa tegakan sengon dengan sebaran jumlah batang perkelas diameter sebagi jaminan kelestarian hasil yaitu mampu memberikan jumlah pohon siap tebang setiap periodik atau tahunan secara berkelanjutan, melalui sistem pengaturan hasil yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat dan berdasarkan penilaian ekonomi layak secara finansial sebagai unit skala usaha, yang ditunjang oleh anggota kelompok petani hutan yang telah memiliki tingkat kapasitas lokal yang lebih baik, dan didukung oleh suatu sistem kelembagaan yang tepat dan kapasitas stakeholder terkait yang mampu bekerja secara efektif dan berkualitas serta dilengkapi perangkat kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat petani hutan rakyat sebagai jaminan terciptanya iklim usaha petani kayu rakyat yang lebih kondusif. Penerapan sistem pengaturan hasil berdasarkan pendekatan riap dan jumlah batang ini, disarankan dalam kegiatan inventarisasi tegakan diperlukan pengukuran secara sensus untuk memperoleh data atau informasi aktual penyebaran jumlah batang per kelas diameter yang lebih akurat dan penyempurnaan bentuk kuesioner yang lebih mampu menggali informasi tentang karakteristik baik internal maupun eksternal dari petani hutan rakyat dalam menggali motivasi terhadap manfaat kegiatan pengelolaan hutan rakyat. 7

8 8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

9 9 UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL: KASUS DI KECAMATAN CIKALONG, KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT EMI KARMINARSIH Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

10 10 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Dr. Ir. M Buce Saleh, MS Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS Dr. Ir. Hariyatno Dwi Prabowo, MSc

11 11 Judul Nama NIM : Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat : Emi Karminarsih : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Ketua Dosen Pembimbing I Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S Anggota Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.F.Trop Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 31 Januari 2012 Tanggal lulus:

12 12 PRAKATA Walaupun jalan yang dilalui banyak berliku dan melelahkan serta membutuhkan usaha keras dan kesabaran penuh, tapi dengan satu ketetapan hati disertai harapan yang pasti dengan satu keyakinan bahwa dengan izin Allah Yang Maha Esa pulalah proses penelitian dan penyusunan desertasi ini dapat terwujud, akhirnya ucapan Syukur Alhamdulillah yang tidak terhingga sebagai ungkapan kebahagiaan ini. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, MS, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Dr. Leti Sundawati, MSc.Trop, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran. 2. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Dr. Ir. M Buce Saleh, MS sebagai penguji luar prelim dan ujian tertutup yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan. 3. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MSc beserta Dr. Ir. Hariyatno Dwi Prabowo, MSc, sebagai penguji luar komisi atas kesediaannya menyempatkan waktu untuk memberikan petunjuk serta masukan saran membangunnya. 4. Dr. Ir. Naresworo Nugroho beserta staf pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang telah memberikan pendampingan selama studi. 5. Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS, Ir. Yulius Hero, MSc, dan Ir. Sudaryanto yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian disertasi ini. 6. Ananda Dr. Ir. Ricky Avenzora, MSc dan Ir. Tutut Sunarminto, MSi yang telah menyumbangkan perhatian serta bantuannya selama berlangsungnya proses ujian terbuka sampai selesai. 7. Para narasumber dari aparat Kecamatan Cikalong, Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir serta masyarakat di lokasi penelitian yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membantu terlaksananya penelitian di lapangan, wawancara, dan telaah pustaka. 8. Para sahabat tersayang Dra. Sri Rahayu, MSi, Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS, Dr. Dra Nining Puspaningsih, MS dan Reni Srimulyaningsih, S.Hut dan

13 13 Dr. Ir. Yeni Mulyani, MSc yang begitu banyak memberi dorongan moril selama penyelesaian desertasi ini. 9. Putri Nidyaningsih, S.Hut, Rizky Rahadika, S.Hut, Teguh Pradityo, S.Hut, dan Syauqi Ahmada, yang telah membantu dengan segenap semangat dan kerja keras serta penuh tanggung jawab mulai dari kegiatan penelitian dilapangan sampai pengolahan data, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. 10. Keluarga besar M. Danutmadja, khususnya ibunda Moenadjat tercinta, dan semua kakak dan adik tersayang di Sukabumi dan di Bandung, atas segala do a, dukungan dan pengertiannya yang tiada batas. 11. Kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS beserta ananda tersayang Yani Silfariyani dan Kiki Adi Irhamsyah, Alfi Ryanto dan Andining Tyas Mula Pertiwi, Wulan Sarilestari dan Irwan Ervizal, atas segala do a restunya secara tulus serta pengorbanannya selama menjalani perjalanan studi yang cukup panjang ini, tidak lupa cucunda yang manis Alya Sabila Fahriza, Fauza Jannata Widaad, Najwa Isya Aulia Ramadhani, dan Encik Rasha Athaillah Irlan yang selalu menjadi penyejuk pikiran dan penenang hati pada saat penat bekerja selama ini. Disertasi ini didedikasikan kepada mereka yang telah menjadi guru pemberi inspirasi dan sumbangan ilmu, serta para sahabat yang selalu memberi spirit kerja keras, dukungan untuk percaya diri dan kuat mental, semoga dukungannya tercatat sebagai amal yang mulia disisi Allah YME, amin Bogor, Februari 2012 Penulis

14 14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 26 September 1947 dari ayah M Danuatmadja dan ibu Moenadjat. Menikah dengan Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra tahun 1974 dan memiliki dua puteri Yani Silfariyani dan Wulan Sarilestari serta seorang putera Alfi Riyanto Hadi dan empat cucu tercinta Alya Sabila Fahrisa, Fauza Jannata Widdad, Najwa Isya Aulia Ramadhani, dan Encik Rasha Athaillah Irlan. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1976 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1997 di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1978 pernah bekerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Litbanghut) Bogor, kemudian pada tahun 1980 mulai bekerja di Fakultas Kehutanan IPB sebagai tenaga pendidik sampai sekarang. Bogor, Februari 2012 Emi Karminarsih NIM E

15 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Permasalahan Kerangka Konseptual Ruang Lingkup Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Novelti Penelitian... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat (HR) Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat Pemikiran Mengenai Hutan Rakyat Luas dan Potensi Hutan Rakyat Manfaat dan Tujuan Hutan Rakyat Permasalahan Pengelolaan Hutan Rakyat Konsep Kelestarian Hasil Konsep Pengaturan Hasil Hutan Pengelolaan Hutan Lestari Skala Kecil Motivasi Agroforestri Kelompok Tani BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data... 31

16 ii Pendugaan Potensi Pengaturan Hasil Kontribusi Hutan Rakyat Analisis Finansial Analisis Sosial BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya Kondisi Umum Desa Cikalong, Tonjongsari, Dan Singkir Topografi Kependudukan Mata Pencaharian Agama dan Budaya Organisasi dan Kelembagaan Sarana dan Prasarana BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Hutan Rakyat Kondisi Tegakan Hutan Rakyat Sediaan Tegakan Sengon Pengaturan Hasil Kontribusi Hutan Rakyat Analisis Finansial Analisis Sosial BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 77

17 iii DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Jenis data yang dikumpulkan Rumus perhitungan pengaturan hasil Rumus perhitunga jatah tebang tahunan (JTT) Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik internal Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik eksternal Definisi operasional dan parameter pengukuran motivasi petani Batas wilayah Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir Luas wilayah lokasi peelitian berdasarkan dusun dan desa contoh Luas areal berdasarkan penggunaan lahan di lokasi penelitian Jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian Sebaran umur petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Sebaran rata-rata jumlah batang pada setiap kelas diameter di Desa Cikalong Hasil uji kurva estimasi distribusi eksponensial negatif dari ketiga desa contoh Hasil uji anova satu arah terhadap jumlah batang per kelas diameter dari ketiga desa contoh Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan volume Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan jumlah batang Kondisi jumlah batang tegakan hutan rakyat Dusun Cilutung, Desa Cikalong Penentuan jatah tebang tahunan di Dusun Cilutung, Desa Cikalong Kontribusi pendapatan dari berbagai sektor usaha Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat di berbagai lokasi penelitian Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Cikalong Nilai NPV rata-rata petani di setiapdusun di DesaTonjongsari Nilai NPV rata-rata petani disetiapdusun di DesaSingkir... 59

18 iv 25 Hasil Analisa Motivasi Ekonomi, Ekologi, dan Sosial berdasarkan karakteristik internal dan eksternal masyarakat petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir (pada tingkat nyata 5%)... 61

19 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Kerangka pemikiran Peta wilayah lokasi penelitian Struktur tegakan sengon di (a) Desa Cikalong, (b) Desa Tonjongsari, dan (c) Desa Singkir...49

20 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Cikalong Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Tonjongsari Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Singkir Sebaran jumlah batang berdasarkan kelas diameter Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Cikaret, Desa Cikalong Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Pangapekan, Desa Cikalong Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Pamijahan, Desa Tonjongsari Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Sukahurip, Desa Tonjongsari Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Ciheulang, Desa Singkir Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Singkir, Desa Singkir Perhitungan NPV di Dusun Pangapekan, Desa Cikalong Perhitungan NPV di Dusun Sukahurip, Desa Tonjongsari Perhitungan NPV di Dusun Singkir 2, Desa Singkir Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Cikalong Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Tonjongsari Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Singkir Output analisis motivasi ekonomi Output analisis motivasi ekologi Output analisis motivasi sosial Ouput analisis kelestarian Mata pencaharian petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir Sarana dan prasarana di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir `

21 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada periode tahun diperkirakan mencapai 2,83 juta ha/tahun (Alikodra dan Syaukani 2004). Selanjutnya, Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa laju kerusakan menurun dalam lima tahun berikutnya yaitu sekitar 1,09 juta ha/tahun, bila mengingat ancaman yang masih cukup besar akibat kebakaran hutan dan laju pertambahan penduduk serta alih fungsi lahan, diperkirakan penyusutan luas hutan masih mungkin bertambah (Dephut 2009). Dari luas hutan juta ha (PIKA 2008), kawasan hutan efektif hanya 98 juta ha (FWI/GFW 2002), dan menurut data statistik kehutanan tahun 2008 luas lahan kritis di Indonesia mencapai 77,81 juta ha pada tahun Sebagai langkah awal menghadapi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Agenda 21 Kehutanan yang pada intinya mengetengahkan sistem pengelolaan hutan yang bercirikan pada azas keberlanjutan (sustainability). Tujuannya untuk menjamin berlangsungnya prosesproses ekologi pada siklus yang stabil, selaras, dan berkeseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidupnya (UNEP dan KMNLH 2007). Dalam perkembangan selanjutnya untuk mengatasi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Indonesia antara lain sedang mempersiapkan implementasi skema REDD (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation), mengimplementasikan skema DNS (Debt for Nature Swapt), dan meratifikasi berbagai perjanjian internasional seperti konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi perubahan iklim. Dampak nyata deforestasi dan kerusakan hutan yang membutuhkan perhatian serius di bidang kehutanan adalah karena terjadinya ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri perkayuan secara nasional. Dalam kondisi defisit tersebut dimanfaatkan oleh banyak anggota masyarakat yang telah menanam komoditi kayu di lahan miliknya bahkan yang

22 2 telah berkembang dalam bentuk suatu unit pengelolaan hutan kemasyarakatan yang dikenal dengan usaha kehutanan masyarakat (UKM) dengan pola tanam agroforestri. Pola agroforestri ini telah berkembang dengan baik di Indonesia, terutama karena terbukti sangat sesuai dengan budaya masyarakatnya, dan telah memberikan dampak yang positif bagi pengelolaan hutan di Indonesia (Santoso 2000). Berdasarkan hasil penelitiannya, Darusman et al. (2001) menyatakan bahwa UKM memiliki sifat resiliensi cukup baik dalam menghadapi situasi krisis ekonomi dan moneter pada level nasional sekalipun. 1.2 Rumusan Permasalahan Hutan rakyat adalah perhutanan yang dilakukan di atas tanah milik masyarakat. Ciri umum hutan rakyat ditunjukkan oleh adanya lahan kelola yang sempit, belum memiliki teknik kelola yang baik artinya belum menerapkan aturan sistem silvikultur yang benar, memiliki posisi tawar yang rendah akibat sistem pemasaran yang lebih menguntungkan pihak lembaga perantara seperti pedagang, penebas, pedagang pengumpul, pedagang besar, termasuk industri (Hardjanto 2003). Tujuan awal penanaman jenis-jenis kayu di lahan marginal yang gundul dan tandus melalui program-program pemerintah ditujukan bagi penyelamatan fungsi ekologi dan lingkungan seperti menghindari bahaya erosi, banjir, serta mengembalikan kesuburan tanah. Jenis yang ditanam di lahan milik (talun/kebun rakyat) dilaksanakan atas dasar prakarsa sendiri dan dilakukan secara turun temurun, serta dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam bentuk kayu bakar, dan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk rumah atau kandang ternak mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, tujuan tersebut sudah berubah menjadi usaha sampingan yang sewaktu-waktu dapat menutupi kebutuhan insidentil rumah tangga, misalnya menjual kayu untuk keperluan sekolah anaknya ataupun hajatan kawinan dan khitanan anak mereka. Awang et al. (2007) lebih lengkap menyatakan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah sifatnya individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan hanya berfungsi sebagai tabungan bagi keluarga.

23 3 Hutan rakyat yang telah berkembang di masyarakat perlu dipertahankan keberlanjutannya. Permasalahannya adalah karena ancaman pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat dan lingkungannya dikhawatirkan akan mendorong semakin banyaknya generasi muda yang meninggalkan cara bertani termasuk hutan rakyat, serta pembangunan di desanya yang dapat mengancam keberlanjutan hutan rakyat. Value dan motivasi masyarakat terhadap keberlanjutan hutan rakyat perlu digali dan di kembangkan bagi perkuatan dukungan berbagai pihak bagi jaminan keberlanjutan pemanfaatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Teori dasarnya adalah bahwa pengelolaan hutan rakyat lestari dapat dicapai apabila tiga fungsi dasar pengelolaan hutan yang meliputi fungsi sosial, fungsi ekonomi dan fungsi ekologi (Drengson dan Taylor 1977) dapat dipertahankan, yaitu bagi stabilitas sosial ekonomi masyarakat dan stabillitas ekosistem seperti mencegah terjadinya banjir, erosi, dan tanah longsor, serta stabilitas iklim mikro. Untuk itu rumusan pertanyaan penelitiannya adalah: 1. Bagaimana tata kelola hutan rakyat serta sarana dan prasarana pendukung dibidang usaha kayu saat ini bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan ekologi di lokasi penelitian. 2. Berapa luas terkecil hutan rakyat yang dapat menjamin sistem pengelolaan hutan yang lestari. 3. Sejauh mana motivasi masyarakat petani hutan rakyat di lokasi penelitian terhadap konsep pengelolaan hutan lestari. 1.3 Kerangka Konseptual Pada umumnya pengelolaan hutan seringkali kurang memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dimana praktek-praktek pembangunan kehutanan cenderung menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan. Suprayitno (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, seringkali mengabaikan keberadaan masyarakatnya, karena mereka dianggap memiliki motivasi yang rendah, tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya. Anggapan semacam ini menjadi salah satu sebab kurangnya

24 4 partisipasi masyarakat bahkan seringkali menyebabkan terjadinya konflik (Haba dkk 2003). Sejak berbagai program pembangunan dilaksanakan selalu dirasakan gagal dalam mengamankan hutan, sehingga semakin disadari akan pentingnya peranserta masyarakat setempat. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini berjalan cenderung kurang memperlakukan masyarakat secara adil, telah menjadi pemicu utama bagi kegagalan pembangunan kehutanan selama ini. Sejalan dengan laju perkembangan hutan rakyat, pemerintah mencoba memperbaiki kinerjanya melalui suatu misi pengelolaan hutan yang baru yaitu pengelolaan hutan yang adil dan lestari, yang telah memberi peluang dan ruang gerak bagi masyarakat lokal untuk terlibat aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan sehingga hutan rakyat yang tumbuh dikelola oleh masyarakat di lahan miliknya menjadi alternatif penting bagi upaya meningkatkan luas tutupan lahan. Situasi perniagaan kayu nasional yang cenderung menunjukkan semakin berkurangnya stok bahan baku kayu industri perkayuan yang jumlahnya tidak sedikit memberi peluang bagi kayu rakyat untuk diperhitungkan sebagai salah satu alternatif dalam usaha mengatasi kekurangan bahan baku. Kondisi ini berdampak positif bagi keberlanjutan hutan rakyat, masyarakat termotivasi melalui insentif ekonomi berlomba menanam jenis kayu pada lahan garapannya. Inisiatif dan kemauan untuk menanam secara suka rela jenis kayu sengon di lahan milik juga ditunjukkan oleh masyarakat desa di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan bukti minat keterlibatan masyarakat tani hutan setempat dalam melakukan pengelolaan hutan pada lahan milik mereka cukup tinggi, dengan keyakinan bahwa menanam kayu sengon merupakan tambang emas yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Rumusan pengelolaan hutan lestari yang digali dari pengetahuan masyarakat, seperti sistem pengaturan hasil yang didasarkan pada ketersediaan stock berdasarkan penyebaran jumlah batang per kelas diameter dan selalu tersedianya sejumlah pohon masak tebang dan sistem pengaturan hasil, dengan mempertimbangkan kondisi sosial, serta budaya setempat, diharapkan akan dapat membantu masyarakat sebagai dokumen penting bagi upaya mempertahankan keberlanjutannya. Dalam implementasinya, sesuai dengan teori pengelolaan hutan

25 5 konvensional, maka pola pengaturan hasil lestari akan sangat ditentukan oleh luas areal hutan rakyat sebagai suatu unit pengelolaan, ketersediaan standing stock kayu di hutan, ketersediaan jumlah pohon yang mewakili kelas diameter tertentu, kesediaan bibit, sumberdaya manusia dengan kapasitasnya sebagai tenaga yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan, ketersediaan faktor penunjang seperti sarana dan prasarana jalan angkutan, sarana ekonomi dan sarana komunikasi. Hutan Rakyat Motivasi Fungsi Ekonomi Fungsi Ekologi Fungsi Sosial Analisa Finansial Potensi Tegakan Karakteristik Petani Hutan Rakyat NPV Pengaturan Hasil Internal Ekstrenal Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Untuk mencapai keberhasilannya perlu dirumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil sesuai dengan kapasitas masyarakatnya atas dasar kepemilikan lahan, manfaat sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologi dari pengelolaan hutan rakyat yang dimilikinya. Selanjutnya perangkat kebijakan yang telah ada maupun yang baru sangat penting dalam mendukung kelancaran

26 6 kegiatan pengelolaan hutan mulai dari aspek produksi, industri pengolahan, hingga aspek pemasarannya. Selain itu juga perlu didukung oleh sistem informasi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kinerja bagi para stakeholder yang terlibat langsung dalam kegiatan, karena dalam hal ini tingkat pencapaian keberhasilannya sangat tergantung dari jumlah dan kualitas mereka. Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir penelitian diatas, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: semakin terjamin kesinambungan jatah tebang tahunan (etat jumlah batang) berarti semakin lestari tegakan hutan yang ada, maka secara finansial akan semakin stabil tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani hutan rakyat. 1.4 Ruang Lingkup 1. Wilayah hutan rakyat di lokasi penelitian didasarkan pada areal efektif hasil pengolahan peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) Kecamatan Cikalong Skala 1: Tahun Jenis yang diteliti adalah sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen). 3. Pengaturan hasil didasarkan kepada kondisi tegakan aktual. 4. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam membangun unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil adalah: (a) Dusun sebagai unit pengelolaan terkecil; (b) Daur ditetapkan lima tahun sesuai rata-rata daur butuh yang dipakai petani hutan rakyat di lokasi penelitian; (c) Riap diameter 5 cm/tahun. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil berdasarkan sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan. Untuk merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil ini dilakukan analisis terhadap: 1. Nilai dugaan potensi tegakan sengon berdasarkan volume dan jumlah batang dan sistem pengaturan hasil lestari yang dapat diterapkan pada hutan rakyat. 2. Nilai kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani yang mengusahakan hutan rakyat serta nilai finansial dari usaha hutan rakyat.

27 7 3. Hubungan motivasi petani dalam mengusahakan hutan rakyat berdasarkan karakteristik internal dan eksternal petani. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dinyatakan dalam dua hal, yaitu: a. Manfaat bagi pengembangan ilmu, merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan Ilmu Pengelolaan Kehutanan (IPK), khususnya terciptanya rumusan unit pengelolaan skala kecil hutan rakyat lestari. b. Manfaat bagi pengembangan kebijakan, merupakan sumbangan yang sangat penting bagi pemerintah (Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah) untuk mengimplementasikan kebijakan yang mungkin disusun untuk menunjang pembangunan daerah secara berkelanjutan dengan basis hutan rakyat. 1.7 Novelti Penelitian Penelitian mengenai rumusan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skala kecil masih terbatas. Misalnya, Awang (2007), telah melakukan penelitian Pendekatan tentang pembentukan Unit Manajemen Hutan Lestari/ UMHR pada hutan rakyat campuran. Kebanyakan penelitian hutan rakyat cenderung berbasis sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti: kontribusi hasil dari kayu bagi masyarakat tani dan penyerapan tenaga kerja (Kartasubrata 1988); konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar (Darusman dan Hardjanto 2006); analisis investasi (Dewi 2002); sifat resiliensi usaha kayu rakyat (Suhardjito dan Darusman 1998); kelembagaan dan kebijakan (Tinambunan et al. 1996); ekologi lingkungan (Soeryani 2007); hutan rakyat dalam konteks DAS (Awang et al. 2007); sertifikasi (Putera et al. 2011). Adapun kebaruan penelitian ini adalah: 1. Dari aspek manajemen hutan, menghasilkan rumusan tentang unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil dengan cara pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang yang menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan manfaat sosial.

28 8 2. Dari aspek ilmu pengetahuan, merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan Ilmu Pengelolaan Kehutanan, karena dengan meningkat kembangnya unit-unit kecil pengelolaan hutan rakyat saat ini, perannya mampu diandalkan sebagai salah satu pemasok kayu ketika terjadi krisis bahan baku kayu industri belakangan ini.

29 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat (HR) Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat Pengertian hutan rakyat menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Dalam Kemenhut No.49/Kpts-II/1997, hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar, sedangkan pada Permenhut No.P26/Menhut-II/2005 hutan rakyat tidak didefinisikan karakteristiknya secara jelas melainkan merujuk pada status kepemilikan lahannya, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan hak atas tanah, yang lazim disebut hutan rakyat yang diatasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh bupati/walikota. Karakteristik hutan rakyat berdasarkan status lahan tempat tumbuhnya yaitu dapat berada di lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (Awang 2007), sedangkan berdasarkan jenis tanamannya hutan rakyat dapat terdiri dari hutan rakyat yang murni ditanami kayu-kayuan; hutan yang ditanami kayukayuan dan buah-buahan; dan hutan yang ditanami tanaman kayu-kayuan, buahbuahan, empon-empon, dan sayuran (Jariyah et al. 2008; Winarno dan Waluyo 2007). Berdasarkan aspek pengelolaan karakteristik hutan rakyat adalah luasan yang dikelola sempit dan tersebar, skala usaha kecil, pola tanaman dengan jenis campuran, dikelola individual oleh keluarga (household management), tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, teknik silvikultur sederhana, kontinuitas dan dipandang sebagai tabungan bagi pemiliknya (Winarno dan Waluyo 2007; Awang 2007). Berdasarkan pola pengembangannya dapat dikelompokkan dalam (1) hutan rakyat pola swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok/ perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga kerja dari kelompok perorangan itu sendiri; (2) hutan rakyat pola subsidi, yaitu hutan

30 10 rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian/keseluruhan biaya pembangunannya; (3) hutan rakyat pola kredit usaha, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan (Winarno 2007) Pemikiran Mengenai Hutan Rakyat Awang (2005), mengemukakan bahwa konstruksi pengetahuan tahap pertama sudah meletakkan "tinta emas" dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (tahun ). Tetapi kita tidak boleh berpuas diri dengan situasi itu, sebab untuk hutan Indonesia masa yang akan datang, pengetahuan tentang hutan rakyat harus lebih luas dari pemikiran generasi pertama tersebut. Karakteristik hutan rakyat sampai saat ini bersifat individual, oleh keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini bagi perkembangan ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, tidak dapat menjamin sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya (Awang, 2005). Konstruksi pemikiran generasi kedua tentang hutan rakyat adalah membongkar pengetahuan dan pemahaman sekaligus semua kebijakan yang membatasi atau menyempitkan pengertian hutan rakyat tersebut. Kontruksi baru ini mendorong agar pengetahuan tentang hutan rakyat diperluas sama luasnya dengan fungsi hutan itu sendiri. Hutan rakyat adalah hamparan lahan yang ditumbuhi (alam dan buatan) tanaman keras dan tanaman semusim oleh individu maupun kelompok masyarakat di atas lahan milik, lahan komunal, lahan perusahaan, dan lahan yang dikuasai negara. Selanjutnya Awang (2005) menyatakan dukungan terpenting yang sangat diperlukan untuk mengembangkan hutan rakyat dalam bingkai konstruksi baru di Indonesia pada masa yang akan datang adalah antara lain: 1. Departemen kehutanan harus membuat kebijakan yang memungkinkan agar kawasan hutan yang dikuasai perusahaan dan yang dikuasai negara dapat

31 11 diakses dan dibuka peluang berusahanya untuk berkolaborasi dengan masyarakat. 2. Secara serius dan berkesinambungan pemerintah mengalokasikan dana reboisasi untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat (fisik dan non fisik, penanaman, pemeliharaan, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil). Dana ini dapat berupa bantuan cuma-cuma, kredit langsung oleh rakyat, dan model kemitraan usaha hutan rakyat. 3. Komoditas yang dikembangkan dalam hutan rakyat harus mencakup kayu, non kayu, dan jasa lingkungan. 4. Pemerintah harus memberikan reward kepada pemilik dan pengelola hutan rakyat yang telah menyelamatkan lingkungan, pemerintah jangan menciptakan kebijakan yang disinsentif (misal membuat Perda yang memberatkan petani hutan rakyat). 5. Semua pihak mendorong setiap pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengumpulan dana publik dari pengguna jasa lingkungan untuk kepentingan pemeliharaan dan pengembangan hutan rakyat. 6. Semua pihak agar mengembangkan pengetahuan dan pemikiran dan disosialisasikan kepada publik Indonesia bahwa hutan rakyat mampu berfungsi sebagai kawasan penyerap CO 2, pemeliharaan satwa, dan konservasi flora, tanah dan air Luas dan Potensi Hutan Rakyat Luasan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya berbeda-beda. Zain (1998) menyatakan bahwa luas hutan rakyat di Pulau jawa pada tahun 1995 adalah hektar, sedangkan pada tahun 2004 adalah ,86 hektar. Berdasarkan Kajian BPKH XI dan MFP II (2009), Provinsi Banten memiliki taksiran luas hutan rakyat yang cukup besar yaitu seluas ha atau sebesar 12,4% dari luas hutan rakyat yang ada di Pulau Jawa yaitu ,55 ha. Provinsi yang memiliki luas hutan rakyat terbesar adalah Provinsi Jawa Barat yang memiliki luasan hutan rakyat paling luas yaitu ,13 ha atau 36,4%, kemudian Provinsi Jawa Tengah dengan luas ,17 ha atau 28,7% dan Jawa Timur dengan luasan ,25 ha atau 20,3%. Luas dan produksi hutan rakyat

32 12 di Kabupaten Bogor Tahun 2009 untuk jenis sengon (Paraserienthes falcataria) yaitu seluas 3.354,96 ha dengan produksi ,44 m 3 (BP4K 2009). Dalam konteks potensi ekonomi kayu dari hutan rakyat, Winarno (2007) memperkirakan dengan potensi standing stock sekitar 40 juta m 3 dan daur tanam 7 tahun maka produksi kayu dari hutan rakyat dapat mencapai 6 juta m 3 per tahun. Prakiraan BPKH XI dalam MFP-II (2009) menyimpulkan bahwa dengan luasan hampir 2,6 juta ha potensi total tegakan mencapai 74,77 juta m 3 atau rata-rata 28,92 m 3 /ha, dan potensi produksi per tahun dapat mencapai 7,5 juta m 3. Dalam konteks potensi hutan rakyat pada aspek lingkungan, Awang (2007) menyatakan bahwa tujuan jangka pendek penghijauan (dalam pembangunan hutan rakyat) adalah untuk mencegah banjir, erosi tanah dan kekeringan, meningkatkan produktivitas tanah, sedangkan dalam jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan sebarannya, lokasi hutan rakyat di Jawa sebagian besar (85%) berada pada bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai atau DAS, dengan demikian menjadi sangat penting perannya dalam hal menjaga fungsi pengatur tata air dan pencegahan erosi serta longsor. Dari hasil listing sensus pertanian 2003 (Badan Pusat Statistik 2004), menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 2,32 juta rumah tangga yang mengusai tanaman sengon dengan populasi pohon yang dikuasai mencapai 59,83 juta pohon atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar 25,84 pohon. Dari total sebanyak 59,83 juta pohon sengon, sekitar 24,61 juta pohon atau 41,14% diantaranya adalah merupakan tanaman sengon yang siap tebang. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman sengon di Indonesia sebagian besar masih berumur muda. Tanaman sengon di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Tengah (34,84%), Jawa Barat (30,62%) dan Jawa Timur (10,88%), sementara di luar Jawa terdapat di dua propinsi yang cukup banyak yaitu di Lampung (3,86%) dan Kalimantan Timur (2,20%). Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang mengusai tanaman sengon di Jawa jauh lebih besar dibanding di Luar Jawa yaitu mencapai 85,63% dari total Indonesia, tetapi ratarata penguasaan tanaman per rumah tangga di Jawa hanya sekitar 25,25 pohon sedangkan di luar Jawa mencapai 29,33 pohon. Demikian juga dengan kondisi

33 13 tanaman, di Jawa persentase tanaman sengon yang siap tebang terhadap total jumlah pohon seluruhnya hanya 39,10% (BPS 2004). Produksi sengon di Wonosobo pada tahun 2007 bisa mencapai m 3 (BPS 2007) Manfaat dan Tujuan Hutan Rakyat Hutan rakyat mempunyai manfaat positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemilik hutan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air (Mustari 2000). Tujuan utama usaha hutan rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan para petani, disamping manfaat lain seperti kayu dan hasil hutan lainnya; pengawetan tanah dan air; perlindungan tanaman-tanaman pertanian; dan perlindungan satwa liar (Hardjanto 2003). Awang (2007) menjelaskan tujuan pembangunan hutan rakyat diantaranya meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; membantu meningkatkan keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan baku industri dan kayu bakar; meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; dan memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS. Rahayu dan Awang (2003) mengemukakan bahwa hutan rakyat memberi kepastian tambahan pendapatan harian dari tanaman berumur pendek dan tabungan dari tanaman berumur panjang; lebih mudah dan murah dipelihara daripada perkebunan atau areal tanaman semusim karena menyediakan pakan ternak atau kayu bakar serta tidak perlu pupuk dan disiangi; menguntungkan secara lingkungan karena bisa menumbuhkan siklus hara Permasalahan Pengelolaan Hutan Rakyat Darusman dan Hardjanto (2003) mengidentifikasikan beberapa masalah dalam pengelolaan hutan rakyat diantaranya, aspek produksi, berkaitan dengan

34 14 persoalan bagaimana mempertahankan produktivitas hutan; aspek pengolahan, berkaitan dengan semua tindakan mengubah bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi; aspek pemasaran, berkaitan dengan sistem distribusi, struktur pasar, penentuan harga, perilaku pasar, dan keragaan pasar; serta aspek kelembagaan yang berkaitan dengan perlunya penyempurnaan kelembagaan pada setiap subsistem pengusahaan hutan rakyat. Sementara itu, beberapa kendala dalam pengembangan hutan rakyat berkelanjutan menurut BPKH XI dan MFP-II (2009), diantaranya: (1) pemenuhan kebutuhan dasar, berkaitan minimnya luas kepemilikan lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan penanaman hutan rakyat; (2) hak kepemilikan lahan, berkaitan dengan pengambilan keputusan atas lahan; (3) antipati terhadap pohon tertentu, berkaitan dengan mitos di masyarakat atas jenis-jenis pohon tertentu yang tumbuh alami di lahan mereka; (4) lahan yang kritis, berkaitan dengan kondisi fisik lahan yang sukar diusahakan; (5) keterbatasan modal dan tenaga kerja; (6) konversi lahan hutan ke pertanian; (7) persepsi yang keliru, berkaitan dengan pengalaman masyarakat sebelumnya; dan (8) kelangkaan informasi khususnya dalam ketidakjelasan prospek pemasaran jenis kayu yang dianjurkan. 2.2 Konsep Kelestarian Hasil Meyer et al. (1961) menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu : (a) Integral yield (hasil integral), hutan terdiri dari pohon-pohon satu umur saja, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang sama pula, (b) Intermitten yield (hasil periodik), tegakan terdiri dari pohon-pohon dalam beberapa kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi, dan (c) Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun. Menurut Simon (1994), kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu dimana antara pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Hutan yang tertata penuh akan menghasilkan kayu yang sama tahunan atau selama periode tertentu.

35 15 Prinsip kelestarian hasil dalam pengusahaan hutan mensyaratkan diperolehnya hasil yang sedikitnya sama besar untuk satuan waktu dari suatu kesatuan pengusahaan hutan, karena satuan waktu yang biasa digunakan adalah tahun, maka secara operasional prinsip ini dapat diartikan sebagai diperolehnya hasil yang sama setiap tahun dari setiap kesatuan pengusahaan (Suhendang 1993). Hasil tegakan lestari adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu yang besarnya sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus (Davis dan Johnson 1987). Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan-pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Lebih lanjut Awang et al. menyatakan bahwa pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan rakyat. Suhendang (1993), menyatakan bahwa ukuran kelestarian hasil dikelompokkan ke dalam: (1) ukuran fisik (luas areal penebangan, volume kayu, massa dan volume batang) dan (2) ukuran ekonomis dalam bentuk nilai uang. Ukuran kelestarian hasil dengan ukuran fisik terutama volume yang banyak digunakan karena kepraktisannya dibandingkan dengan nilai uang yang relatif rumit karena dipengaruhi oleh banyak hal seperti inflasi, suku bunga dan sebagainya. Akan tetapi, penentuan uang sangat penting sebagai pertimbangan dalam pemilihan pengaturan hasil. Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menyebutkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan maka pengelolaan hutan harus mengandung tiga dimensi utama, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimensi tersebut berlaku pula dalam pengelolaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus

36 16 secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and Jhonson 1987). Knuchel (1953) menerangkan bahwa suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang dilakukan terhadap tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Kelestarian hutan tidak hanya memperhatikan volume hasil yang tetap jumlahnya, tetapi juga harus memasukkan bentuk dan kualita batang serta nilai uang yang dihasilkan. Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management (SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998). LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan hutan dilihat pada tiga manfaat pokok hutan, yaitu kelestarian manfaat ekologis, sosial, dan ekonomis, sebagai berikut: a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami. b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan. c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen dan modal yang ekuivalen dapat diinvestasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

37 Konsep Pengaturan Hasil Hutan Pengaturan hasil dimaksudkan dengan tujuan mencapai kelestarian hasil yang diperoleh dari hasil hutan secara berkelanjutan dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya. Menurut Osmaston (1968), pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian. Beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasil dalam hubungannya dengan jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasan antara lain: (a) penyediaan bagi konsumen dimana penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar; (b) pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin; (c) penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan; (d) penebangan, perlindungan terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya. Klasifikasi metode pengaturan hasil menurut Osmaston (1968) didasarkan pada: 1. Metode berdasarkan luas 2. Metode berdasarkan volume dan riap 3. Metode berdasarkan jumlah pohon Menurut Suhendang (1996), pengaturan hasil secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) pengaturan hasil hutan seumur: (a) berdasarkan luas, (b) berdasarkan volume, dan (c) berdasarkan luas dan volume; dan (2) Pengaturan hasil tidak seumur yaitu berdasarkan jumlah pohon. Pengaturan hasil terkait dengan pengaturan tebangan tegakan hutan. Meyer et al. (1961) menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta penentuan waktu tebang pada masing-masing blok atau kompartemen. Konsep pengaturan hasil yang berlaku sampai saat ini pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat didasarkan pada jumlah batang. Oleh karena itu, metoda

38 18 yang mungkin bisa diterapkan pada pengaturan hasil hutan rakyat bisa didekati melalui Metode Brandis (The Brandis Method), tanpa mengabaikan sistem pengelolaan yang sudah berjalan saat ini, dengan kata lain harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya lokal dan kapasitas petani hutan rakyat sebagai pengelola. Pada tahun 1856 Brandis diberi tugas untuk memimpin pengelolaan hutan alam Jati di Pegu, Burma (sekarang Myanmar), dengan menggunakan sistem tebang pilih pada tegakan jati yang memiliki keliling batang setinggi dada yaitu 7 feet atau setara diameter diatas limit 67,9 cm (Osmaston 1968), membutuhkan informasi sebagai berikut: 1) Penentuan kelas-kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi. 2) Perhitungan jumlah pohon untuk tiap kelas diameter. 3) Perhitungan apa yang dinamakan jangka waktu lewat (the time of passage), yaitu waktu yang diperlukan oleh sebuah pohon untuk mencapai diameter limit setelah melewati berbagai kelas diameter. 4) Penentuan apa yang dinamakan The causalty per cent utuk setiap kelas diameter, yaitu persen jumlah pohon per kelas diameter yang mati, roboh karena angin atau ditebang sebelum mencapai umur tebang. Di Myanmar, Brandis menamakan kelas diameter I adalah diameter paling besar adalah diameter diatas limit 7 kaki. Dengan demikian untuk pohon dengan diameter lebih kecil dimasukkan ke kelas II (6 7 kaki). Kelas III (4,5 6 kaki). - Kelas IV (3 4,5 kaki). Kelas V (1,5 3 kaki). Pohon-pohon yang berdiameter dibawah 1,5 kaki tidak di inventore karena tidak perlu dimasukkan di dalam perhitungan. Dari hasil inventore kemudian dapat dihitung berapa jumlah pohon untuk tiap kelas. Siklus tebang yang dipergunakan 30 tahun, rencana kegiatan akan disusun setiap 10 tahun. Dalam rencana tabangan 10 tahun pertama, separuh target tebangan akan diambil dari kelas I, dan separuh sisanya diambil dari kelas II. Akan tetapi komposisi kelas I dan kelas II yang ditebang setiap tahun dibuat sedemikian rupa sehingga pada tahun pertama penebangan hanya dilakukan terhadap pohon kelas I. Tahun ke II sepersepuluh target tebang diambil dari kelas II dan sisanya kelas I. Demikian seterusnya secara berangsur-angsur porsi kelas I

39 19 menurun sampai akhirnya pada tahun ke sepuluh tinggal persen kelas I dan sisanya pohon kelas II. Rencana tebangan seperti ini pada awalnya memang konservatif karena tidak hanya menebang pohon-pohon yang terbesar saja agar diperoleh volume tebangan yang besar pula. Tetapi pada siklus tebangan berikutnya volume etat akan meningkat yang berarti ada perbaikan potensi dan kualitas tegakan. 2.4 Pengelolaan Hutan Lestari Menurut Manan (1997) pengelolaan hutan sama dengan manajemen hutan yaitu penerapan metode bisnis dan prinsip-prinsip teknis kehutanan dalam pengurusan suatu hutan. Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda (multiple use) yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia, dan tempat rekreasi. Sebagai kegiatan manajemen, dengan demikian kegiatan pengelolaan hutan termasuk pengelolaan hutan rakyat meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam yang pada tataran pelaksanaannya mengedepankan terciptanya kelestarian hutan. Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and Jhonson 1987). Suhendang (2000) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan dating. Konsep pengelolaan hutan lestari mencakup pemahaman bahwa hutan memiliki fungsi ekonomi, fungsi ekologis, dan fungsi sosial budaya.

40 20 Fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi. Hal ini berarti sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan seperti untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Artinya sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan (enabling condition) sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Fungsi sosial budaya adalah barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk beragai kepentingan dalam pemenuhaan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari sumberdaya hutan dengan demikian adalah untuk menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management (SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998). LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan hutan dilihat pada tiga manfaat pokok hutan, yaitu kelestarian manfaat ekologis, sosial, dan ekonomis, sebagai berikut:

41 21 a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami. b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan. c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen dan modal yang ekuivalen dapat diinvestasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu lembaga akreditasi di dunia yang merupakan sebuah sistem sertifikasi yang menetapkan standard dan proses sertifikasi yang diakui secara internasional. FSC telah memiliki 16 lembaga sertifikasi tingkat internasional yang diakreditasi oleh FSC, diantaranya TUV di Indonesia (Putera et al.2011). Forest Stewardship Council (FSC), menciptakan istilah hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah dan berskala kecil (Small and Low Intensity Managed Forest (SLIMF), yaitu hutan tanaman dan non hutan tanaman yang ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha dan kriteria yang harus dipenuhi menurut standard FSC (Hinrichs et al 2008; Putera et al 2011), yaitu: 1. Luas wilayah hutan yang dikelola tidak lebih dari 100 ha, atau 2. Hutan dikelola untuk hasil hutan bukan kayu 3. Hutan dikelola untuk hasil hutan kayu dengan ketentuan tingkat pemanenan kurang dari 20% dari riap rata-rata tahunan pada seluruh wilayah hutan produksi yang dikelola dan total pemanenan tidak lebih dari 5000 m 3 /tahun. Sertifikasi FSC hanya diberikan kepada unit-unit usaha pengelolaan hutan dan turunannya, yang dikelola secara benar berdasarkan prinsip dan kriteria FSC yang telah dilakukan penilaian independen oleh lembaga sertifikasi (certifier). FSC adalah sebuah lembaga internasional non profit, independen, non pemerintah,

42 22 yang didirikan untuk mempromosikan tanggung jawab pengelolaan terhadap hutan dunia secara berkelanjutan (Putera et al. 2011). Terdapat tiga tipe sertifikat FSC yang dapat dikeluarkan, diperpanjang atau dicabut oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh FSC yaitu: 1. Sertifikat pengelolaan hutan, yaitu sertifikat untuk kegiatan pengelolaan hutan yang telah memenuhi prinsip dan kriteria FSC, yang didasarkan pada penilaian aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi. 2. Sertifikat controlled wood (diberikan hanya untuk pengelola hutan), diberikan untuk kayu yang berasal dari hutan yang belum mendapat sertifikasi FSC, tapi telah memenuhi lima kriteria sebagai berikut: a) Tidak dipanen secara illegal. b) Kegiatan pemanenannya tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hakhak sipil dan tradisional. c) Tidak dipanen dari wilayah dengan nilai konservasi tinggi (daerah yang layak dilindungi) yang kegiatan pemanenannya mengancam keberadaan wilayah tersebut. d) Tidak dipanen dari hasil hutan alam konservasi e) Tidak dipanen dari wilayah yang terdapat penanaman pohon hasil rekayasa genetik. 3. Sertifikat lacak balak (chain of custody/ CoC), ditujukan bagi industri dan organisasi perdagangan yang memproses dan memperdagangkan hasil hutan. Ketiga tipe sertifikasi diatas dapat dilakukan pada dua bentuk sertifikasi yaitu perorangan dan kelompok. Terdapat tiga tipe sertifikasi berkelompok menurut standar FSC, yaitu: 1) Tipe klasik, yaitu wadah kelompok hanya memiliki tanggung jawab dalam hal penanganan administrasi anggota kelompok yang meliputi penjualan dan pemasaran. 2) Tipe campuran, yaitu wadah kelompok berbagai tanggung jawab dengan anggota kelompok yang meliputi kegiatan perencanaan, silvikultur, pemanenan, dan pemantauan agar masing-masing pemilik lahan tetap memenuhi aturan kelompok.

43 23 3) Tipe pengelola sumberdaya (resource manager), yaitu pengelola sumberdaya bertanggung jawab pada semua kegiatan operasional kelompok yang mengatasnamakan anggota kelompok. 2.5 Motivasi Hasibuan (1999), motivasi adalah dorongan individu untuk mau bekerja keras dengan segenap kemampuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan hidup, selanjutnya Leagens dan Loomis (1971) mengemukan bahwa keinginan manusia dimodifikasi oleh pengalaman dan pola perkembangan kepribadiannya yang bersifat fluktuatif. Proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor internal (aliran fungsional) dan berbagai faktor eksternal (aliran behavioral). Hal ini berarti keberadaan motivasi untuk berpartisipasi dan kemampuan petani dalam mengelola hutan ditentukan oleh berbagai peubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat (Seng 2001). Sardiman (2000) menyatakan bahwa motivasi adalah daya penggerak yang menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/ mendesak, dan sumber motivasi dapat berasal dari dalam diri/intrinsik dan juga dari luar diri/ekstrinsik. Terdapat dua macam motivasi, yaitu: 1. Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena di dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. 2. Motivasi ekstrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Gibson et al. (1996), menyatakan bahwa teori motivasi terbagi ke dalam dua kategori yaitu: 1. Teori kepuasan (content theory), pada dasarnya teori ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor di dalam individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku seseorang. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan

44 24 yang diperlukan seseorang untuk mencapai kepuasan dan dorongan yang menyebabkan seseorang berperilaku. 2. Teori proses (process theory) pada dasarnya teori ini menekankan usaha untuk menggambarkan penjelasan dan menganalisa bagaimana perilaku digiatkan, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Dalam teori ini ditekankan pada usaha untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana seseorang bisa dimotivasi dan dengan tujuan apa seseorang tersebut bisa dimotivasi. Teori keseimbangan atau teori kebutuhan menurut Wahjosumidjo (1994), merupakan teori yang banyak dianut orang. Teori ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakekatnya adalah memenuhi kebutuhan. Widjaya (1986), menjelaskan adanya perbedaan motivasi yang ada di dalam diri seseorang dipengaruhi oleh tingkat kematangan, latar belakang kehidupan, usia/umur, keunggulan fisik, mental dan pikiran, sosial budaya, dan lingkungan. Nur (2005), dalam mengukur tingkat motivasi petani dalam pengelolaan kahuma di areal hutan rakyat, di Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna menggunakan pedekatan melalui karakteristik internal dan eksternal, yang terdiri dari faktor/variabel sebagai berikut: a) Karakteristik internal: umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, status sosial petani, sifat kosmopolit petani, kebutuhan rumah tangga, persepsi. b) Karakteristik eksternal: Kepemilikan sarana produksi, kepemilikan tenaga kerja, luas lahan, pendapatan, kemudahan dalam pemasaran, intensitas penyuluhan, jumlah tanggungan keluarga, peluang kerja diluar kahuma, jarak lahan ke areal hutan. Sedangkan pendekatan motivasi didasarkan kepada aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial, sesuai tujuan manfaat yang ingin diperoleh dari pengelolaan hutan rakyat lestari yaitu manfaat ekonomi, ekologi dan sosial. 2.6 Agroforestri Di Indonesia konsep agroforestri sudah dikenal sejak lama. Oleh karena tidak dibicarakan dalam bahasa ilmiah maka seakan-akan menjadi kurang terkenal (Andayani 2005). Konsep agroforestri merupakan salah satu bentuk

45 25 pembangunan kehutanan yang berorientasi pada masyarakat. Agroforestri adalah suatu metode penggunaan lahan secara optimal megkombinasikan system-sistem produksi biologis yang berorientasi pendek dan panjang (kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian secara bersamaan, berurutan, di dalam dan di luar kawasan hutan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Hairiah et al. 2003). Lundgreen dan Raintree (1982), mendefinisikan bahwa agroforestri adalah sebuah nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan hutan dan teknologi dimanan tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, palm-palman, bambubambuan, dan sebagainya) ditanam bersama tanaman pertanian dan atau hewan dengan satu tujuan tentang dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan. Definisi ini menunjukan bahwa: normalnya agroforestry melibatkan dua atau lebih jenis tanaman dengan salah satunya adalah tumbuhan berkayu, sistem agroforestry selalu menghasilkan dua atau lebih output, siklus agroforestry lebih dari satu tahun, biasanya sistemnya lebih kompleks secara ekologi dan secara ekonomi dari pada sistem monokultur Selanjutnya dikatakan bahwa agroforestry dapat dipraktekan untuk berbagai macam sasaran dalam kombinasi untuk menghasilkan berbagai produk atau keuntungan dari unit pengelolaan yang sama. Tiga sifat yang harus di miliki oleh semua sistem agroforestry adalah: 1. Produktifitas: sistem agroforestry sebagian besar bertujuan uneuk mempertahankan atau menambah hasil produksi dan produktivitas lahan, yaitu melalui penambahan output hasil pohon, memperbaiki kualitas lahan yang mendukung tanaman, mengurangi output sistem tanaman dan menambah efisiensi tenaga kerja. 2. Sustainabilitas: melalui pengawetan produksi sumberdaya potensial tumbuhan berkayu yang bermanfaat pada pengawetan tanah, yang dapat dicapai dalam waktu yang tidak terbatas dengan tujuan konservasi dan kesuburan tanah 3. Adoptabilitas: dapat diterima oleh masyarakat.

46 26 Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem agroforestry adalah pengaturan secara spasial dan temporal dari komponen-komponen, kepentingan dan peranan komponen-komponen, tujuan produksi atau output dari sistem ini dan bentuk sosial ekonomi, yang berhubungan dalam struktur sistem, fungsi output, sosial ekonomi, dan penyebaran secara ekologi Raintree (1984), Young (1984), Lundgreen (1982), sebagai berikut: 1. Berdasarkan struktur sistem: mengacu kepada komposisi dan komponenkomponen termasuk pengaturan spasial dari komponen berkayu, stratifikasi vertikal dari seluruh komponen dan pengaturan temporal dari komponen yang berbeda. 2. Berdasarkan fungsi output: mengacu kepada fungsi pokok atau peranan dari sistem biasanya dilengkapi dengan komponen-komponen berkayu, hal ini mungkin berkaitan dengan jasa atau proteksi alam seperti terpaan angin, sabuk perlindungan, konservasi tanah. 3. Berdasarkan sosial ekonomi: mengacu pada tingkat input (rendah maupun tinggi) dari pengaturan atau intensitas/skala dari manajemen dan tujuan komersial (subsisten, komersial, intermediate). 4. Berdasarkan ekologi: mengacu pada kondisi lingkungan dan kesesuaian ekologi terhadap sistem, didasari dengan asumsi bahwa tipe tertentu dari sistem dapat lebih layak untuk kondisi ekologi tertentu (daerah gersang, semi gersang, dataran tinggi tropis, dataran rendah tropis yang lembab dan sebagainya) 2.7 Kelompok Tani Kelompok tani merupakan suatu kelembagaan yang merupakan kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Departemen Pertanian (2007), mengemukakan bahwa kelompok tani adalah organisasi non formal di perdesaan yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani.

47 27 Kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi non formal di pedesaan yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani, memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Ciri kelompok tani: saling mengenal; saling percaya; memiliki kesamaan dalam pandangan, kepentingan, tradisi, pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, pendidikan dan ekologi; memiliki tugas dan tanggung jawab sesama anggota. 2. Unsur pengikat kelompok tani: ada kepentingan yang sama, adanya kawasan usaha dan kader tani yang berdedikasi, manfaat yang dirasakan sebagian besar petani, adanya dorongan dari tokoh masyarakat setempat. 3. Fungsi kelompok tani: merupakan wadah belajar, wahana kerja sama, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha untuk mencapai skala ekonomi dari segi kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas. Penumbuhan kelompok tani didasarkan kepada prinsip-prinsip kebebasan, keterbukaan, partisipatif, keswadayaan, kesetaraan, kemitraan. Setiap individu bebas memilih kelompok tani yang mereka kehendaki sesuai kepentingannya dan tanpa atau menjadi anggota satu atau lebih kelompok tani. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. Semua anggota berhak dan wajib terlibat dalam mengembangkan dan mengelola seperti merencanakan, melaksanakan dan menilai kinerja kelompok tani. Mampu mengembangkan potensi sendiri para anggota dalam penyediaan dana dan sarana serta pendayagunaan sumberdaya untuk mewujudkan kemandirian kelompok tani. Antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha harus merupakan mitra sejajar, saling menghargai, saling membutuhkan, saling memperkuat melalui fasilitasi penyuluh.

48 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan bulan September 2011, berlokasi di hutan rakyat sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen) di Kecamatan Cikalong, Daerah Tingkat II Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Gambar 2 Peta wilayah lokasi penelitian 3.2 Alat dan data Alat yang digunakan saat pengambilan data diantaranya alat pengukur jarak (meteran), alat pengukur keliling batang pohon (meteran), alat pengukur tinggi pohon (haga hypsometer), alat pengukur posisi koordinat GPS (Global Positioning System) Garmin 60 CSx, pencatat data tegakan (tally sheet), pencatat data sosial ekonomi (kuesioner), dan alat tulis. Pada saat pengolahan data, perangkat keras (hardware) digunakan yaitu laptop dan perangkat lunak (software) meliputi, ArcGIS 9.3, Garmin MapSources, dan SPSS 17.

49 29 Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh atau dikumpulkan dari sumber-sumber yang sudah ada (Hasan 2002). Tabel 1 dirinci jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini yang berupa data primer dan sekunder. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan Jenis data Data yang dikumpulkan /input Metode Data primer Tegakan hutan rakyat a. Potensi lahan (luas dan penggunaan lahan berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia Kecamatan Cikalong skala 1:25.000),Tahun 2009 Analisis spasial Data sekunder Karakteristik internal petani Karakteristik eksternal petani b. Dimensi tegakan (diameter setinggi Inventarisasi dada (Dbh), tinggi bebas cabang (Tbc), jumlah) a. Umur produktif (sampai saat Wawancara diwawancara) b. Pendidikan formal/non formal c. Pengalaman usaha di bidang HR d. Status sosial petani e. Sistem kosmopolit f. Kebutuhan rumah tangga per bulan g. Persepsi (thdp manfaat HR) a. luas lahan Wawancara b. Status lahan c. Pendapatan d. Kemudahan pemasaran e. Jumlah tanggungan keluarga f. Peluang kerja diluar HR g. Jarak lahan Motivasi petani a. Motivasi ekonomi Wawancara dalam usaha HR b. Motivasi ekologi c. Motivasi sosial Sistem pengelolaan a. Sejarah HR Wawancara Kondisi umum lokasi penelitian b. Karakteristik Tegakan HR(luas,status lahan, jenis tanaman,pola tanam, sediaan volume dan jumlah batang, pola pengelolaan (penanaman,pemeliharaan, perlindungan,pemanenan, pemasaran) c. Permasalahan Letak, luas, kondisi fisik (topografi, tanah, iklim), dan kondisi sosial ekonomi (umur, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya). Wawancara, pengamatan, inventarisasi Studi pustaka

50 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan inventarisasi, observasi, dan wawancara. Inventarisasi hutan merupakan suatu tindakan untuk mengumpulkan informasi tentang potensi kayu dari suatu areal hutan (Departemen Kehutanan 1992). Dalam penelitian ini, inventarisasi dilakukan untuk mendapatkan data dimensi tegakan sengon diantaranya diameter setinggi dada (Dbh), tinggi bebas cabang (Tbc), jenis tanaman, dan jumlahnya yang terdapat di dalam lahan, selanjutnya akan digunakan untuk mengetahui sediaan tegakan sebagai bahan dasar pengaturan hasil tegakan sengon. Teknik pengambilan contoh dilakukan berdasarkan Metode Simple Random Sampling (Simon 1987) kemudian dipilih 10 plot ukur dan 10 petani responden untuk setiap dusun secara purpossive, jumlah tersebut didasarkan pada ratio kelas kepemilikan lahan yaitu < 0,25 ha; 0,25 ha - 0,50 ha; > 0,50 ha yaitu 5:3:2. Adapun jumlah dusun dari tiga desa contoh adalah 21 dusun, sehingga total jumlah sampel adalah sebanyak 210 plot ukur dan 210 responden petani. Data sosial, ekonomi, dan karakteristik sistem pengelolaan hutan rakyat dikumpulkan melalui kegiatan observasi dan wawancara dengan petani pemilik lahan serta pihak-pihak terkait seperti aparat desa, aparat kecamatan, dan industri penggergajian. Data ekonomi diperlukan untuk menggambarkan nilai ekonomi bagi petani hutan rakyat, sedangkan data sosial untuk menggambarkan motivasi petani terhadap usaha hutan rakyat sengon. Data sekunder dilakukan melalui studi pustaka yang dilakukan di beberapa lembaga atau instansi terkait diantaranya Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Kementrian Kehutanan Manggala Wanabakti, Perpustakaan Litbang Kehutanan, Perpustakaan Badan Pusat Statistik Jakarta, Perpustakaan LSI IPB, Perpustakaan Fakultas Kehutanan IPB, Perpustakaan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan Balai Penelitian Tanah.

51 Metode Pengolahan dan Analisis Data Pendugaan Potensi Pendugaan potensi berdasarkan volume dan jumlah menggunakan metode statistik sederhana. Pendugaan potensi tegakan hutan rakyat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Volume tegakan = Keterangan: Vtegakan : volume tegakan pada suatu areal (m 3 ) Vi : volume pohon ke-i (m 3 ) n : banyaknya pohon dalam tegakan 2. Volume tegakan per hektar /h = Keterangan: Vtegakan/hektar : volume tegakan per hektar (m 3 ) Vi : volume pohon ke-i (m 3 ) 3. Rata-rata/nilai tengah potensi tegakan ( ) = ( )/ 4. Ragam rata-rata potensi tegakan ( ) = 1 dimana = ( ) / 5. Selang kepercayaan (1-α) x100% bagi rata-rata potensi tegakan hutan: = ± ( ) 6. Ragam dugaan bagi total populasi ( ) = Dimana 1 = 1 disebut factor koreksi populasi 7. Selang kepercayaan (1-α)100% bagi total populasi = ± ( ) 8. Atau dapat dihitung dari selang kepercayaan bagi rata-rata sebagai berikut = ± / ( ) 9. Kesalahan penarikan contoh (sampling error, SE) = / ( ) 100% Catatan: : ragam peubah y yang diukur (misal volume tegakan)

52 32 / ( ) / ( ) = 2 : nilai table t-student, dimana untuk kepraktisan biasanya digunakan nilai Selanjutnya untuk mengetahui struktur tegakan sengon dari tiga desa lokasi dilakukan pendekatan melalui persamaan distribusi eksponensial negatif (negative exponential distribution) dari Meyer 1952 (Davis at all 2001), yang didasarkan pada perbandingan pengurangan jumlah pohon yang tetap sejalan dengan pertambahan diameter yang merupakan ukuran standar kenormalan pada tegakan tidak seumur, rumus tersebut adalah sebagai berikut: N = ke -Da Keterangan : N = Jumlah pohon per hektar per kelas diameter D = Diameter pohon setinggi dada e = angka dasar logaritma (2,7183) k = konstanta yang menunjukkan ciri kerapatan pohon per hektar a = nilai yang mencirikan slope dari kurva, yaitu garis yang menggambarkan laju penurunan jumlah batang seiring bertambahnya kelas diameter. k dan a = nilai yang menunjukkan karaktertistik model dari hutan tidak seumur. Untuk mengetahui perbedaan dari ketiga kurva persamaan distribusi eksponensial negatif dari ketiga desa contoh digunakan uji estimasi kurva eksponensial (curve estimation), sedangkan untuk mengetahui perbedaan struktur tegakan hutan rakyat antar desa contoh dari segi jumlah batang per kelas diameter, digunakan uji anova satu arah, dengan hipotesa sebagai berikut: Ho: Tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga desa dari segi jumlah batang H1: Ada perbedaan signifikan antara ketiga desa dari segi jumlah batang, Dengan kriteria uji : Tolak Ho jika Sig < = 0,05 Terima Ho jika Sig = 0, Pengaturan Hasil Konsep pengaturan hasil dalam penelitian ini mengacu kepada konsep pengaturan hasil lestari yang diterapkan pada Rencana Pengelolaan Hutan Jati Masyarakat Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) Tahun , Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan konsep kelestarian ini mirip dengan Metode Brandis (The

53 33 Brandis Method 1856) (Osmaston 1968) dan di dalam perhitungannya metode ini membutuhkan informasi sebagai berikut: 1. Penentuan kelas-kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi 2. Perhitungan jumlah pohon untuk tiap kelas diameter 3. Perhitungan apa yang dinamakan jangka waktu lewat (the time of passage), yaitu waktu yang diperlukan oleh sebuah pohon untuk mencapai diameter limit setelah melewati berbagai kelas diameter. 4. Penentuan apa yang dinamakan The causalty per cent utuk setiap kelas diameter, yaitu persen jumlah pohon per kelas diameter yang mati, roboh karena angin atau ditebang sebelum mencapai umur tebang Di dalam penelitian ini dalam menerapkan cara pengaturan hasil diatas memerlukan beberapa penyesuaian serta asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi tegakan yang ada di ketiga desa penelitian. Tegakan sengon dari hasil inventarisasi dikelompokkan ke dalam enam kelas diameter dengan interval masing-masing kelas diameter 5 cm, dimana pohon-pohon dengan diameter lebih besar dari 30cm masuk kedalam kelas diameter satu dan pohon-pohon dengan diameter kurang dari 10 cm termasuk kelas diameter lima dan enam. Dari enam kelas diameter tersebut tegakan dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian yaitu kelompok pohon yang mempunyai diameter dibawah 10 cm; kelompok pohon yang mempunyai diameter (10 30) cm sebagai tegakan persediaan dan kelompok pohon yang memiliki diameter 30 cm up sebagai pohon layak tebang. Jatah tebang tahunan ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah batang yang siap dipanen, yaitu pohon-pohon yang telah mencapai ukuran diameter 30 cm atau lebih dibagi jangka waktu lewat (The time of passage) sebesar 4 tahun yang ditentukan berdasarkan asumsi rata-rata riap diameter per tahun adalah 5 cm yang artinya pohon-pohon yang berdiameter 10 cm akan mencapai kelas diameter 30 cm dalam waktu 4 tahun. Selanjutnya sisa tebangan digabung dengan jumlah pohon-pohon yang tumbuh mencapai ukuran diameter layak tebang yang berasal dari kelompok tegakan persediaan dan merupakan jumlah pohon yang akan ditebang pada tahun berikutnya. Jatah tebang tahun berikutnya juga dibagi jangka waktu lewat, demikian seterusnya, dengan catatan setiap menebang harus menanam kembali

54 34 minimal sama banyak dengan jumlah pohon yang ditebang. Dengan demikian diharapkan melalui pengaturan hasil berdasarkan pendekatan pada cara Metode Brandis tersebut dapat menjamin perkembangan tegakan yang memberikan tersedianya pohon-pohon yang siap untuk ditebang tiap tahunnya. Dalam penelitian ini, digunakan jangka waktu lewat 4 tahun dengan asumsi rata-rata riap diameter 5 cm/tahun. Besaran riap ini selain ditentukan berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya juga ditentukan atas hasil pengamatan saat penelitian di lapangan bahwa untuk rata-rata pohon yang berdiameter (25 30) cm dicapai dalam jangka daur 5 6 tahun. Asumsi tersebut dipertegas melalui hasil penelitian Sumarna (1961) yang menyatakan bahwa rata-rata riap diameter tiap tahun berfluktuasi sampai dengan umur 6 tahun sekitar (4 5) cm. Rumus perhitungan pengaturan hasil hutan rakyat dengan pendekatan riap dan sediaan tegakan (standing stock) ini disajikan pada Tabel 2. Guna menyelesaikan perhitungan jatah tebang tahunan disajikan pada Tabel 3, dan digunakan beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Riap rata-rata diameter: 5 cm/th 2. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (11-15) cm sebesar 20% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (16-20) cm sebesar 10%. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (21-25) cm sebesar 10% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (21-25) cm sebesar 0% 3. Jangka waktu lewat = 4 tahun

55 35 Tabel 2 Rumus perhitungan pengaturan hasil Nama Periode/ Luas Jumlah batang per kelas diameter Desa/ Tahun Hutan < 10 cm > 30 cm Dusun ke- Rakyat cm cm cm cm X N6/ha N5/ha N4/ha N3/ha N2/ha N1/ha A L N6/ha x L N5/ha x L N4/ha x L N3/ha x L N2/ha x L N1/ha x L I : 1 P1 N6x0,8 N5x0,9 N4x0,9 N3 N2 2 P2 P1x0,8 N6x0,7 N5x0,8 N4x0,9 N P3 P2x0,8 P1x0,72 N6x0,6 N5x0,8 N4x0, P4 P3x0,8 P2x0,72 P1x0,65 N6x0,6 5 N5x0,8 1 5 P5 P4x0,8 P3x0,72 P2x0,65 P1x0,65 N6x0,6 5 II : 6 P6 P6x0,8 P4x0,72 P3x0,65 P2x0,65 P1x0,65 7 P7 P6x0,8 P5x0,72 P4x0,65 P3x0,65 P2x0,65 8 P8 P7x0,8 P6x0,72 P5x0,65 P4x0,65 P3x0,65 9 P9 P8x0,8 P7x0,72 P6x0,65 P5x0,65 P4x0,65 10 P10 P9x0,8 P8x0,72 P7x0,65 P6x0,65 P5x0,65 III : 11 P11 P10x0,8 P9x0,72 P8x0,65 P7x0,65 P6x0,65 dan seterus nya tn Ptn P (tn-1) x0,8 P(tn-2) x0,72 P(tn-3) x0,65 P (tn-4) x0,65 P (tn-5) x0,65 Tabel 3 Rumus perhitungan jatah tebang tahunan (JTT) Nama Tahun Jumlah pohon JTT Sisa Keterangan Dusun ke- layak tebang (JPLT) A 1 N1 x L = F1 F1/4 = E1 F1 E1 = S1 Penanaman (P1) = penebangan (E1) 2 S1 + (N2 x L) = F2 F2/4 = E2 F2 E2 = S2 Penanaman (P2) = penebangan (E2) 3 S2 + (N3 x L) = F3 F3/4 = E3 F3 E3 = S3 Penanaman (P3) = penebangan (E3) 4 S3 + (N4x0,9 x L) = F4 F4/4 = E4 F4 E4 = S4 Penanaman (P4) = penebangan (E4) 5 S4 + (N5x0.81 x L) = F5 F5/4 = E5 F5 E5 = S5 Penanaman (P5) = penebangan (E5) 6 S5 + (N6x0,65x L) + (P1x0,65) = F6 F6/4 = E6 F6 E6 = S6 Penanaman (P6) = penebangan (E6) 7 S6 + (P2x0,65) = F7 F7/4 = E7 F7 E7 = S7 Penanaman (P7) = penebangan (E7) 8 S7 + (P3x0,65) = F8 F8/4 = E8 F8 E8 = S8 Penanaman (P8) = penebangan (E8) 9 S8 + (P4x0,65) = F9/4 = F9 E9 Penanaman (P9) = Dan seterusnya F9 10 S9 + (P5 x0,65) = F10 11 S10 + (P6x0,65) = F11 tn S(tn-1) + P(tn-1) = Ftn E9 F10/4 = E10 F11/4 = E11 Ftn/4 = Etn = S9 F10 E10 = S10 F11 E11 = S11 Ftn Etn = Stn penebangan (E9) Penanaman (P10) = penebangan (E10) Penanaman (P11) = penebangan (E11) Penanaman (Ptn) = penebangan (Etn)

56 36 Keterangan: L = luas hutan rakyat efektif tingkat dusun (ha) Ni = jumlah batang aktual sebelum konsep pengaturan hasil diterapkan (N/hektar x L dusun) pada kelas umur ke-i Ft = jumlah pohon layak tebang (JPLT) pada tahun ke-t Et = jatah tebang tahunan (JTT) pada tahun ke-t Pt = jumlah pohon yang ditanam minimal sama dengan Et St = sisa tebangan pada tahun ke t t = tahun (1, 2, 3,... n) Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani Analisis kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani dilakukan dengan membandingkan pendapatan yang diterima dari usaha hutan rakyat dengan pendapatan yang diterima dari usaha non hutan rakyat. Untuk membandingkan kedua pendapatan tersebut perlu diketahui rumus untuk memperoleh pendapatan dari suatu bidang usaha tertentu, yaitu: P i Keterangan: P = pendapatan dari suatu bidang usaha R i = jumlah penerimaan suatu jenis kegiatan ke-i pada suatu bidang usaha C i = jumlah pengeluaran suatu jenis kegiatan ke-i pada suatu bidang usaha R i C Setelah diketahui pendapatan dari seluruh bidang usaha maka dapat diketahui pendapatan total dari rumah tangga dengan menggunakan rumus: Prt Pa Pb Pc... Pn Keterangan: P rt Pa,Pb,Pc,- -,Pn = pendapatan rumah tangga per tahun = pendapatan dari masing-masing bidang usaha per tahun Untuk mengetahui persentase pendapatan dari suatu bidang usaha terhadap pendapatan total rumah tangga maka dapat menggunakan rumus: Keterangan: P,% = Persentase pendapatan dari bidang usaha ke-i P i = Pendapatan yang diperoleh dari bidang usaha ke-i per tahun = Pendapatan total rumah tangga per tahun P rt P P % i i x100% P n Analisis Finansial Analisis finansial dalam penilaian manajemen hutan rakyat lestari skala kecil ini dilakukan berdasarkan analisis Discounted Cash Flow dengan kriteria Net Present Value (NPV). NPV merupakan selisih antara pendapatan dengan

57 37 biaya yang telah didiskonto. Pada umumnya nilai NPV positif menunjukkan keuntungan, sebaliknya nilai NPV negatif menunjukkan kerugian (Darusman 2001). Kadariah et al. (1999) dalam evaluasi proyek tertentu, dinyatakan oleh nilai NPV 0. Jika NPV = 0 berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, proyek supaya ditolak, artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek. Rumus dari pada NPV adalah sebagai berikut: = ( ) =1 ( 1 + ) Keterangan : Bt = pendapatan kotor pada tahun ke t Ct = biaya kotor pada tahun ke t n = umur proyek i = tingkat suku bunga yang berlaku t = interval waktu Analisis sosial Analisis data sosial dilakukan sebagai berikut: 1. Untuk melihat korelasi antara karakteristik sosial ekonomi petani hutan rakyat dengan motivasi sosial, motivasi ekonomi, dan motivasi ekologi, serta korelasi antara aspek motivasi ekonomi, motivasi ekologi dan motivasi sosial dengan kelestarian hutan, dipergunakan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise (stepwise regression). Analisis data dilakukan untuk mengukur asosiasi atau keeratan hubungan antar variabel, 2. Pengukuran motivasi dilakukan untuk mengetahui keinginan petani yang diwujudkan dalam kegiatan hutan rakyat untuk memperoleh hasil yang maksimal. Motivasi petani diukur dengan menggunakan teknik Skala Likert. 3. Analisis deskriptif menguraikan dan menjelaskan tentang upaya kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang menyangkut pola tanam dalam hutan rakyat, tanaman kayu, dan tanaman bukan kayu. Definisi operasional dalam kegiatan penelitian perlu ditetapkan untuk mencegah terjadinya kesalahan arah terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan secara jelas dan terukur. Pada Tabel (4) dan Tabel (5) dapat dilihat definisi operasional dan

58 38 parameter pengukuran karakteristik internal dan eksternal. Pada Tabel (6) disajikan motivasi petani berdasarkan manfaat ekonomi, ekologi, serta sosial. Tabel 4 Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik internal Nama Definisi operasional Ukuran/indicator Kategori/skala variable Umur (X1.1) Usia responden Kepala Keluarga Tahun Rendah (<25 tahun) Sedang (25-55 tahun) Tingkat pendidikan (X1.2) Status sosial petani (X1.3) Kebutuhan rumah tangga (X1.4) Jumlah tanggungan keluarga (X1.5) Persepsi (X1.6) Lamanya responden menempuh pendidikan formal atau non formal Kedudukan responden dalam masyarakat berdasarkan jabatan formal dan informal yang dimiliki Tekanan yang menimbulkan dorongan akan sesuatu yang meliputi kebutuhan akan pangan, non pangan yang rutin, sandag, dan pendidikan serta kesehatan keluarganya setiap bulan Besarnya jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan atau beban dari responden Wawasan dan tanggapan petani tentang manfaat kegiatan hutan rakyat Sumber: Nur (2005),dimodifikasi. a) Tidak sekolah b) SD/sederajat c) SLTP/sederajat d) SLTA/sederajat e) Kursus Diukur dalam 1 tahun a) Kedudukan dalam organisasi sosial b) Kedudukan dalam struktur sosial Rp/bulan Jiwa/rumah tangga Penilaian terhadap manfaat hutan rakyat Tinggi (>55) Rendah (<SD) Sedang (SMP- SMA) Tinggi (Perguruan tinggi) Kecil (buruh tani) Sedang (petani) Tinggi (kepala dusun) Rendah (<6,1 juta) Sedang (6,1juta 9,0 juta) Tinggi (>9,0 juta) Rendah (< 5 orang) Sedang (5 8 orang) Tinggi (> 8 orang) Rendah (tidak mengetahui budidaya hutan rakyat) Sedang (mengetahui budidaya dan manfaat hutan rakyat) Tinggi (mengetahui budidaya, manfaat ekonomi, dan ekologi)

59 39 Tabel 5 Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik eksternal Nama Definisi operasional Ukuran/indikator Kategori/ skala variable Kepemilikan (X2.1) Kepemilikan tenaga kerja (X2.2) Luas lahan (X2.3) Pendapatan (X2.4) Peluang kerja di luar hutan rakyat (X2.5) Jarak lahan (X2.6) Barang-barang atau aset yang dipungut petani untuk mendukung kegiatan hutan rakyat baik dari segi jenis maupun jumlahnya Jumlah tenaga kerja baik pria maupun wanita pada berbagai tingkat umur yang berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga yang digunakan dalam usaha hutan rakyat a) Jumlah dan jenis peralatan hutan rakyat b) Jumlah dan jenis pupuk c) Jumlah dan jenis obatobatan d) Jumlah dan jenis bibit Menyetarakan dalam hari kerja (HOK) Rendah (memiliki bibit, peralatan) Sedang (memiliki bibit, peralatan, pupuk) Tinggi (memiliki bibit, peralatan, pupuk, dan obat) Rendah (tanpa tenaga kerja) Sedang (buruh 1-2 tenaga kerja) Tinggi (buruh >2 tenaga kerja) Luas areal hutan rakyat Ha Rendah (< 0,25 ha) Sedang (0,25 0,5 ha) Tinggi (>0,5 ha) Jumlah pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat dan dari usaha lain di luar hutan rakyat Pernyataan responden mengenai peluang tersedianya pekerjaan di luar hutan rakyat Jarak tempuh yang dibutuhkan responden dari tempat tinggal ke areal hutan rakyat Nur (2005), dimodifikasi Rupiah/tahun a) Banyaknya peluang kerja b) Rutinnya pekerjaan Km Rendah (<3 juta) Sedang (3 juta 10 juta) Tinggi (> 10 juta) Rendah (sebagai buruh tani) Sedang (sebagai pemilik dan wiraswasta) Tinggi (sebagai pemilik, wiraswasta, aparat desa) Rendah (< 3 km) Sedang (3 5 km) Tinggi (> 5 km)

60 40 Tabel 6 Definisi operasional dan parameter pengukuran motivasi petani Nama Definisi Ukuran/indikator Kategori variable operasional Motivasi ekonomi (Y1) Motivasi ekologi (Y2) Motivasi sosial budaya (Y3) Motivasi yang berkaitan erat dengan hasil-hasil yang diperoleh petani dari hutan rakyat berupa hasil tanaman baik tanaman kayu maupun tanaman pertanian sehingga akan meningkatkan pendapatan total petani Dorongan yang timbul dari petani untuk mengusahakan hutan rakyat berdasarkan manfaat ekologi yang diperoleh. Sistem ini akan memberikan keuntungan terhadap pemeliharaan lingkungan Dorongan yang timbul dari petani untuk mengusahakan hutan rakyat Nur (2005), dimodifikasi. Hutan rakyat memiliki manfaat ekonomi: a) Dapat diambil kayunya b) Meningkatkan pendapatan c) Memenuhi suatu lembaga, pasar, industri kayu d) Mendapat kepuasan pribadi dan kegiatan sampingan e) Memenuhi kebutuhan pangan buah, kayu bangunan dan kayu bakar f) Merupakan lumbung hidup g) Sumber bahan industri rumah tangga h) Sumber energi (kayu bakar) a) Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah b) Menjaga tanah dan tata air agar tidak longsor, erosi, an banjir c) Mempertahankan lingkungan agar sejuk dan indah d) Peneduh tanaman di bawahnya agar berproduksi baik e) Dapat memperbaiki dan mempertahankan sumber-sumber air f) Pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan dan pelestarian hutan rakyat g) Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab dalam pengelolaan dan pelestarian hutan rakyat h) Hutan rakyat berfungsi sebagai perlindungan dan paru-paru i) Sebagai apotek hijau untuk kesuburan tanah j) Sebagai penyejuk pemandangan a) Anjuran dan dorongan pemerintah b) Kegiatan yang diwariskan oleh nenek moyang c) Dapat membuka lapangan kerja d) Warisan dan tabungan hari tua e) Hutan rakyat merupakan pelestarian nilai budaya f) Tempat pendidikan bagi anak g) Terkait aspek tenurial h) Solusi dalam mengatasi konflik i) Terkait kelembagaan lokal j) Berfungsi sebagai batas lahan Menggunakan teknik skala likert Tidak setuju (1) Netral (2) Setuju (3) Menggunakan teknik skala likert Tidak setuju (1) Netral (2) Setuju (3) Menggunakan teknik skala likert Tidak setuju (1) Netral (2) Setuju (3)

61 41 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak antara 7 o o LS dan 108 o o BT. Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah Ha yang terdiri dari sawah seluas Ha, hutan rakyat Ha, hutan negara Ha, perkebunan negara/swasta 84,47 Ha, dan lain-lain 67,62 Ha. Keadaan topografi wilayah Kabupaten Tasikmalaya pada umumnya terdiri dari dataran rendah dan perbukitan. Jenis tanah di Kabupaten Tasikmalaya dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis tanah yaitu tanah litosol, regosol, dan latosol. Hal ini didukung oleh peta jenis tanah Kabupaten Tasikmalaya yang bersumber dari Balai Penelitian Tanah Bogor tahun Tanah litosol merupakan tanah dangkal di atas batuan keras. Tanah ini tergolong muda dengan bahan induk dangkal kurang dari 40 cm dan bersifat agak peka terhadap erosi dan kesuburan sedang. Kabupaten Tasikmalaya menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson beriklim tipe C dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dan curah hujan terendah antara bulan September sampai dengan Oktober. Berdasarkan data curah hujan, distribusi curah hujan rata-rata per bulan adalah 292,80 mm/bulan, sedangkan untuk data curah hujan rata-rata per tahunnya mm/tahun (Badan Pusat Statistik Tasikmalaya 2010). 4.2 Kondisi Umum Desa Cikalong, Tonjongsari, dan Singkir Desa Cikalong, Tonjongsari, dan Singkir merupakan tiga desa di dalam wilayah Kecamatan Cikalong. Kecamatan Cikalong sendiri terdiri dari 13 desa meliputi Desa Cikalong, Desa Singkir, Desa Cikancra, Desa Cikadu, Desa Cibeber, Desa Kalagenep, Desa Cimanuk, Desa Sindangjaya, Desa Mandalajaya, Desa Tonjongsari, Desa Kubangsari, Desa Cidadali, dan Desa Panyiaran. Secara geografis, Desa Cikalong terletak diantara 108 o 9 30 BT 108 o 12 0 BT dan 7 o 44 0 LS-7 o 47 0 LS, Desa Tonjongsari terletak diantara

62 42 108º08 03 BT 108º11 30 BT dan 7º º45 00 LS, dan Desa Singkir terletak diantara 7º º44 30 LS dan 108º º BT. Secara administrasi, ketiga desa berbatasan dengan desa-desa lainnya yang berada di dalam Kecamatan Cikalong yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Batas wilayah Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir Batas Desa wilayah Cikalong Tonjongsari Singkir Utara Desa Tonjongsari Desa Singkir Desa Panyiaran Selatan Desa Mandalajaya Desa Cikalong Desa Tonjongsari Timur Desa Cikancra dan Desa Kubangsari Desa Kubangsari dan Desa Cidadali Desa Cidadali Barat Desa Cidadab dan Sungai Ciwulan Desa Kujang Desa Kujang Sumber: Monografi Desa Cikalong Tahun 2008 Desa Cikalong terdiri atas 9 dusun, Desa Tonjongsari 7 dusun, dan Desa Singkir 5 dusun yang masing-masing luas wilayahnya bervariasi. Desa Cikalong terdiri dari 31 RT dan 9 RW, sedangkan Desa Tonjongsari terdiri dari 29 RT dan 7 RW, serta Desa Singkir terdiri dari 27 RT dan 5 RW. Desa Cikalong memiliki luas wilayah 1.110,24 ha, sedangkan Desa Tonjongsari dan Desa Singkir memiliki luas wilayah yang lebih sempit yaitu 708,64 ha dan 764,68 ha. Luas masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas wilayah lokasi penelitian berdasarkan dusun dan desa contoh No Nama Dusun Luas (ha) 1 Cisodong 231,80 2 Pangapekan 78,06 3 Cikaret 224,09 4 Cipondoh 82,16 5 Cikalong 86,33 6 Cilutung 44,05 7 Borosole 155,40 8 Sindanghurip 98,06 9 Desakolot 110,29 Jumlah (Luas Desa Cikalong) 1.110,24 1 Pareang 37,81 2 Cigorowong 88,50 3 Sukahurip 11,63 4 Tonjong 191,62 5 Jodang 151,24 6 Bojongnangka 88,82 7 Pamijahan 139,01 Jumlah (Luas Desa Tonjongsari) 708,64 1 Ciheulang 154,59 2 Jadimulya 155,44 3 Desakolot 179,10 4 Singkir 1 206,36 5 Singkir 2 69,19 Jumlah (Luas Desa Singkir) 764,68 Sumber: Monografi Desa Cikalong Tahun 2008

63 43 Berdasarkan deliniasi Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 2009, maka kondisi penggunaan lahan dapat Tabel 9. Penggunaan lahan tiap desa berbeda-beda. Desa terdiri dari rawa, semak, tegalan, sawah, pemukiman, dan hutan rakyat. Sedangkan pada Desa Tonjongsari dan Desa Singkir tidak terdapat rawa dan semak. Hutan rakyat paling luas pada Desa Cikalong yaitu 834,45 ha, sedangkan pada Desa Tonjongsari 548,33 ha dan pada Desa Singkir 683,21 ha. Tabel 9 Luas areal berdasarkan penggunaan lahan di lokasi penelitian Penggunaan Lahan Desa Cikalong Desa Tonjongsari Desa Singkir Rawa 1, Semak 140, Tegalan 4,38-22,12 Sawah 70,45 152,94 145,50 Pemukiman 86,96 25,68 64,62 Hutan Rakyat 834,45 548,33 683,21 Total 1138,82 726,95 915,45 Sumber: Monografi Desa Cikalong Tahun Topografi Wilayah Desa Singkir dan Desa Tonjongsari berupa lereng atau punggung bukit, sedangkan Desa Cikalong berupa dataran rendah dan perbukitan. Kelerengan wilayah berkisar antara %, yaitu daerah-daerah yang agak curam (kelerengan %) dan curam (kelerengan %) sehingga mudah terjadi pergeseran tanah dan longsor. Berdasarkan ketinggian diatas permukaan laut, dibagi menjadi tiga bagian yaitu ketinggian mdpl (33,33% dari seluruh areal), ketinggian mdpl (50,00% dari seluruh areal), dan ketinggian > 1000 mdpl (16,67% dari seluruh areal). Desa Cikalong terletak pada ketinggian 15 mdpl, sedangkan Desa Tonjongsari dan Singkir terletak pada ketinggian 145 mdpl (Kecamatan Cikalong 2008) Kependudukan Jumlah penduduk Desa Cikalong adalah jiwa (laki-laki jiwa dan perempuan jiwa), Desa Tonjongsari jiwa (laki-laki jiwa dan perempuan jiwa), dan Desa Singkir jiwa (laki-laki jiwa dan perempuan jiwa), dengan kepadatan penduduk per hektar yaitu 5,28 jiwa/ha, 4,95 jiwa/ha, dan 5,05 jiwa/ha. Rata-rata penduduk di setiap keluarga

64 44 adalah 3 jiwa untuk masing-masing desa. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun Kecamatan Cikalong dalam lima tahun terakhir adalah 1,22%. Tabel 10 Jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian Jumlah penduduk (jiwa) Uraian Desa Cikalong Desa Tonjongsari Desa Singkir Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan Jumlah Penduduk Luas Wilayah (Ha) Kepadatan Penduduk (Per Ha) Keluarga Rata-Rata Penduduk Per Keluarga Sumber: Monografi Desa Cikalong Tahun 2008 Sebaran umur petani HR di ketiga lokasi penelitian secara umum berkisar antara (30 82) tahun, tetapi paling banyak pada kisaran umur produktif (25 55) tahun atau 71,1% di Desa Cikalong, 61,4% di Desa Tonjongsari dan 62% Desa Singkir. Hal ini menunjukkan bahwa peluang kerja disektor hutan rakyat tidak terlalu dibatasi faktor umur, bahkan jumlah petani HR yang berumur diatas umur produktif masih menunjukkan jumlah cukup besar, data dapat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran umur petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari dan Desa Singkir Umur (tahun) Persentase (%) Desa Cikalong Desa Tonjongsari Desa Singkir ,67 24,28 24, ,33 37,14 40, ,77 38,58 34, ,23 2, Mata Pencaharian Mayoritas mata pencaharian penduduk di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir adalah petani. Persentase banyaknya petani di Desa Cikalong 47,09%, Desa Tonjongsari 91,43 %, dan 76 % di Desa Singkir. Mata pencaharian lain yang ada di Desa Cikalong antara lain buruh tani, pertukangan atau buruh, pedagang, PNS (pegawai negeri sipil), pegawai swasta, ABRI, dan pensiunan (Monografi Desa Cikalong 2008), sedangkan di Desa Tonjongsari meliputi jasa, pedagang, peternak, dan mayoritas petani. Industri meliputi 5 unit industri kayu, 10 unit industri anyaman, dan 8 unit industri makanan. Untuk di Desa Singkir

65 45 meliputi pegawai negeri sipil, perangkat desa, pengrajin, pegawai swasta, jasa, buruh, dan wirausaha. Perekonomian lainnya berasal dari industri kulit sebanyak 1 unit, industri kayu sebanyak 5 unit, industri anyaman sebanyak 4 unit, dan industri kain sebanyak 3 unit. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Uraian Desa Cikalong (%) Desa Tonjongsari (%) Desa Singkir (%) Mata pencaharian a) Petani 47,09 91,43 76 b) Pegawai negeri sipil c) Perangkat desa d) Pengrajin e) Pegawai swasta f) Jasa - 1,43 4 g) Buruh 9,12-2 h) Buruh tani 26, i) Peternak - 2,86 - j) Pedagang 8,27 4,29 - k) ABRI 0, l) Pensiunan 0, Sumber: Monografi Desa Cikalong Tahun Agama dan Budaya Seluruh warga Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir memeluk Agama Islam dan berkewarganegaraan Indonesia. Suku bangsa di wilayah ini adalah suku sunda yang merupakan suku asli di wilayah ini. Akan tetapi ada beberapa warga bersuku Jawa dan Betawi, yang merupakan warga pendatang. Kebudayaan yang melekat adalah budaya gotong royong. Hal ini tercermin dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama seperti pembangunan rumah atau masjid, pelaksanaan acara syukuran, pindah rumah, dan berbagai kegiatan keagamaan Organisasi dan Kelembagaan Sistem organisasi yang terdapat di tiga desa lokasi penelitian sama dengan dengan desa lain pada umumnya. Masing-masing desa dipimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh beberapa aparat desa yaitu sekretaris desa, kepala urusan pemerintahan, kepala urusan kesejahteraan, kepala urusan ekonomi pembangunan, kepala urusan umum, polisi desa, pamong tani desa, dan kepunduhan (kepala dusun) yang memimpin setiap dusun (setara dengan ketua RW).

66 46 Kelembagaan yang terdapat yaitu berupa Lembaga Musyawarah Desa (LMD), pelayanan masyarakat, PKK/posyandu, dan kelompok tani. LMD merupakan lembaga yang berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah desa. Pelayanan masyarakat terdiri atas pelayanan umum, pelayanan kependudukan, dan pelayanan legalisasi yang masing-masing diurus oleh seorang pengurus. PKK/Posyandu berfungsi sebagai sarana kesehatan masyarakat yang kegiatannya yaitu penyuluhan kesehatan ibu dan anak serta pemberian imunisasi secara berkala. Kelompok tani yang terdapat di tiga desa penelitian adalah kelompok tani sawah yang masing-masing dikepalai oleh punduh atau kepala dusun Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang umumnya terdapat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir diantaranya sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana kesehatan, dan sarana perekonomian. Ketersediaan sarana dan prasarana di masing-masing desa berbeda berdasarkan keberadaan dan jumlahnya. Masing-masing desa memiliki sarana pendidikan berupa TK swasta, SDN, SD swasta, dan SMP swasta. Untuk SMUN hanya terdapat di Desa Cikalong dan Desa Singkir dengan jumlah masing-masing 1 gedung SMUN. Kesehatan warga didukung dengan sarana kesehatan berupa puskesmas, poskesdes, posyandu, dokter, bidan, paramedis, dan dukun bayi. Puskesmas hanya terdapat di Desa Cikalong, sedangkan poskesdes hanya terdapat di Desa Tonjongsari. Dokter dan paramedia hanya terdapat di Desa Cikalong dengan jumlah 1 dokter dan 2 paramedis.

67 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sejarah hutan rakyat Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir merupakan tiga desa di Kecamatan Cikalong yang paling banyak ditanami jenis sengon yang dijadikan lokasi penelitian, yaitu masing-masing seluas 857,10 ha, 552,48 ha, dan 681,47 ha. Jenis sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) pada dasarnya sudah lama tahun 1990 dikenal dan terdapat di lahan-lahan milik warga Kecamatan Cikalong dengan sebutan kayu albiso. Sebelum maraknya penanaman sengon ini, pada tahun 1987 warga ramai menanam jenis cengkeh yang merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warganya. Bibit cengkeh dibagikan kepada warga secara gratis, akan tetapi pada perkembangannya, jenis cengkeh ini kurang memberikan hasil yang diharapkan, sehingga kemudian ditinggalkan dan kembali pada sistem lama yaitu menanami lahan-lahan dengan jenis tanaman pertanian yang menurut warga menguntungkan seperti kelapa, pisang, dan pepaya. Sejak tahun 1990-an berawal dari pendatang (pengepul/tengkulak) yang mencari kemungkinan tersedianya kayu sengon di areal penelitian, membawa informasi tentang usaha di bidang usaha kayu sengon yang menjanjikan, dimana diterangkan bahwa bibit jenis sengon cukup mudah diperoleh, sederhana dalam pengelolaannya, tumbuh dengan cepat sehingga dapat dipanen antara umur tiga sampai lebih dari lima tahun sesuai kebutuhan (daur butuh), dan tersedia pasar serta harga yang dianggap layak oleh petani untuk memperoleh keuntungan usaha. Kondisi tersebut mendorong petani untuk mulai mencoba menanam jenis sengon pada lahan kebun miliknya. 5.2 Kondisi Tegakan Hutan Rakyat Kondisi hutan rakyat sengon di tiga desa contoh pada umumnya masih terbilang muda. Hal ini dapat ditunjukkan oleh jumlah pohon yang memiliki diameter kurang dari 10 cm didominasi jumlah batang per hektar paling banyak.

68 48 Sebaran jumlah batang per hektar per kelas diameter serta bentuk struktur tegakannya disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 3. Tabel 13 Sebaran rata-rata jumlah batang pada setiap kelas diameter di Desa Cikalong Nama Desa/ Jumlah Batang per Hektar dalam Kelas Diameter Dusun < 10 cm cm cm cm cm > 30 cm Desa Cikalong Cilutung Desakolot Borosole Cikalong Pangapekan Sindanghurip Cisodong Cikaret Cipondoh Rata-rata Desa Tonjongsari Sukahurip Pareang Tonjong Cigorowong Jodang Bojongnangka Pamijahan Rata-rata Desa Singkir Ciheulang Singkir Jadimulya Singkir Desakolot Rata-rata Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Diameter pohon dibawah 10 cm rata-rata sekitar 75,59% dan jumlah pohon siap tebang dengan ukuran 30 cm up 0,16% di Desa Cikalong; 86,46% diameter <10 cm dan 0,33% diameter 30 cm up di Desa Tonjongsari; 81,98% diameter < 10 cm dan 0,47% diameter 30 cm up untuk Desa Singkir. Banyaknya jumlah pohon pada diameter kurang dari 10 cm, kemungkinan disebabkan oleh jumlah penanaman pada dua tahun terakhir (dengan asumsi riap diameter 5 cm/tahun) mulai dilakukan secara besar-besaran setelah mereka merasakan manfaat dari usaha dibidang kayu rakyat yang dapat menunjang kebutuhan insidsentil mereka selama dua dasawarsa terakhir sejak penanaman sengon. Untuk mengetahui tipe struktur tegakan masing-masing desa berdasarkan karakteristik penyebaran jumlah batang per kelas diameter didekati dengan

69 49 persamaan N = k.e -ad, dikenal dengan Negative Exponential Distribution Meyer (1952) dalam Davis dan Johnson (2001) yang dipakai sebagai penentuan kriteria kenormalan bagi hutan tidak seumur dan persamaan tersebut dikenal juga dengan istilah kurva J terbalik. Selanjutnya berdasarkan hasil uji anova pada tingkat α = 0.05 %, terhadap ketiga persamaan Struktur tegakan dari ketiga desa contoh yang digambarkan dalam bentuk persamaan diatas, menunjukkan perbedaan dari nilai konstanta k yang mengambarkan tingkat kerapatan tegakan, sedangkan bentuk slope kurva J terbaliknya yang digambarkan oleh nilai konstanta a relatif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui Gambar 3, Tabel 14 dan Tabel 15. Kurva yang menggambarkan hubungan antara jumlah batang dengan kelas diameter dari tegakan sengon di ketiga desa contoh dapat dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur Tegakan Sengon Struktur Tegakan Sengon Jumlah batang (N) y = 844.4e -0.18x R² = Jumlah batang (N) y = 239.1e -0.15x R² = Diameter (cm) Diameter (cm) (a) (b) Struktur Tegakan Sengon 50 Jumlah batang (N) y = 188.9e -0.15x R² = Diameter (cm) (c) Gambar 3 Struktur tegakan sengon di (a) Desa Cikalong, (b) Desa Tonjongsari, dan (c) Desa Singkir.

70 50 Tabel 14 Hasil uji kurva estimation distribusi eksponensial negatif dari ketiga desa contoh Nama Desa K A R 2 Desa Cikalong 844,40-0,18 0,96 Desa Tonjongsari 239,10-0,15 0,87 Desa Singkir 188,90-0,15 0,79 Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Dari perolehan persamaan yang disajikana pada Gambar 3 yaitu Y = 844,4 e- 0,18x untuk Desa Cikalong, Y = 239,1 e-0,15x untuk Desa Tonjongsari, dan Y = 188,9 e-0,15x untuk Desa Singkir, berdasarkan uji estimasi kurva eksponensial terhadap ketiga persamaan tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 13, menerangkan bahwa ketiga persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara jumlah batang terhadap kelas diameter cukup erat, dimana nilai R 2 yang diperoleh dari ketiga persamaan tersebut lebih besar dari 75% pada nilai α = 0,05. Nilai konstanta k dari ketiga persamaan tersebut secara umum menggambarkan bahwa tegakan sengon dari ketiga desa contoh lebih didominansi oleh jumlah pohon dengan diameter kecil. Nilai konstanta k yang cukup besar untuk Desa Cikalong menunjukkan kerapatan pada tegakan sengon di Desa Cikalong lebih banyak dikuasai pohon-pohon yang lebih kecil yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan kedua desa lainnya, yaitu hampir empat kali lebih besar dibanding kedua desa lainnya, yaitu Desa Tonjongsari dan Desa Singkir. Bentuk slope dari ketiga persamaan relatif tidak berbeda, ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien a yang berbeda tipis diantara ketiga desa tersebut sehingga secara umum ketiga desa tersebut dapat dikatakan struktur tegakannya tidak banyak berbeda. Dengan melakukan uji anova satu arah terhadap jumlah perkelas diameter dari ketiga desa contoh, dapat memperkuat pernyataan sebelumnya, untuk lebih jelas hasil pengujian tersebut dapat disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil uji anova satu arah terhadap jumlah batang perkelas diameter dari ketiga desa contoh Sumber Jumlah Db Kuadrat Tengah F hit Sig. Antar desa Galat Total Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, karena nilai sig = 0,166 > = 0,05, maka terima Ho, maka tidak ada perbedaan signifikan antar ketiga desa

71 51 dari segi jumlah batang, artinya struktur tegakan sengon yang ada di Desa Cikalong, Desa Tonjong sari dan Desa Singkir adalah sama. 5.3 Sediaan Tegakan Sengon Sediaan tegakan sengon dari ketiga desa cukup bervariasi. Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan potensi (Tabel 16), dengan menggunakan selang duga pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai dugaan volume per hektar yaitu antara (18,29-29,90) m 3 /ha di Desa Cikalong; (11,54-19,18) m 3 /ha di Desa Tonjongsari; dan (13,90-25,45) m 3 /ha di Desa Singkir. Dugaan total volume untuk Desa Cikalong berkisar antara (15.676, ,29) m 3 ; (6.357, ,57) m 3 di Desa Tonjongsari dan (9.472, ,41) m 3 di Desa singkir. Tabel 16 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan volume Luas Hutan Nama Desa Rakyat (ha) Rata-rata V/ha (m 3 /ha) Dugaan volume total (m 3 ) Cikalong 857,10 24, ,68 Tonjongsari 552,48 15, ,09 Singkir 681,47 19, ,96 Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Total volume dari ketiga desa menunjukkan bahwa Desa Tonjongsari memiliki jumlah volume paling kecil (8.486,09 m 3 ), sedangkan di Desa Cikalong ,68 m 3 dan Desa Singkir ,96 m 3. Hal tersebut dikarenakan luas dan rata-rata volume per hektar Desa Tonjongsari paling kecil. Sumarna (1961), menyatakan besarnya volume produksi tergantung dari banyaknya bibit yang ditanam dan kualitas tempat tumbuh. Pada tempat tumbuh yang berkualitas bagus di Indonesia, tanaman sengon dapat mencapai riap volume tahunan rata-rata maksimum sebesar 67 m 3 /ha pada umur 6 tahun dengan total volume produksi yang dihasilkan sebesar 403 m 3 /ha sampai akhir daur. Hasil penelitian Prabowo (2000) dalam Suharjito (2000), potensi tegakan hutan rakyat untuk jenis yang sama di Desa Sumberejo adalah sebesar 84,71 m 3 /ha dan taksiran volume totalnya sebesar ,11 m 3. Bila dibandingkan dengan kedua hasil penelitian Sumarna dan Prabowo (2000) sebagaimana dijelaskan sebelumnya sediaan hutan rakyat sengon di ketiga desa contoh pada penelitian ini relatif rendah sehingga perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan yang ada secara optimal melalui penyesuaian jarak tanam

72 52 yang lebih seragam dan sesuai kapasitas luas lahan. Perbandingan produksi yang dicapai terhadap luas lahan menunjukkan kondisi masyarakat tani Desa Sumber Rejo lebih optimal dalam memanfaatkan luas lahannya. Berdasarkan pendugaan jumlah batang per hektar diketahui bahwa sediaan tegakan (jumlah batang per hektar) berkisar antara 333 batang/ha 337 batang/ha di Desa Cikalong; 310 batang/ha 387 batang/ha di Desa Tonjongsari; dan 324 batang/ha 362 batang/ha di Desa Singkir. Total sediaan jumlah batang masingmasing desa berkisar antara batang batang di Desa Cikalong, batang batang di Desa Tonjongsari dan batang batang di Desa Singkir. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan jumlah batang Nama Desa Luas Hutan Rakyat (ha) Rata-rata jumlah batang/ha Dugaan total jumlah batang Cikalong 857, Tonjongsari 552, Singkir 681, Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Desa Singkir memiliki nilai dugaan jumlah batang yang paling kecil diantara Desa Cikalong dan Desa Tonjongsari. Rata-rata sedian jumlah batang per hektar di Desa Singkir 224 batang/ha, sedangkan di Desa Tonjongsari 349 batang/ha dan Desa Cikalong 3556 batang/ha. Total jumlah batang di Desa Singkir diduga sebesar batang, Desa Tonjongsari batang dan Desa Cikalong batang. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Suharjito (2000), jumlah batang per hektar dari hasil penelitian sangat jauh terhadap jumlah batang per hektar di Wonosobo ( ) batang/ha, sedangkan dibandingkan dengan potensi jumlah batang di Banjarnegara antara (20 80) batang/ha bahkan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jumlah batang per ha ditentukan oleh jarak tanam, serta kombinasi antara proporsi jenis tanaman pertanian dan jenis tanaman kayu, lama waktu pengalaman mengelola hutan rakyat, serta pangsa pasar. Petani hutan rakyat di Wonosobo lebih lama berpengalaman dalam mengelola usaha kayu rakyat dan penyebarannya secara total luasan lebih besar dibandingkan dengan di Kecamatan Cikalong, serta ditunjang dengan pesatnya

73 53 pengembangan industri perkayuan dari skala kecil sampai skala cukup besar didaerahnya. Lain halnya dengan di Banjarnegara, petani hutan rakyat lebih mementingkan proporsi lebih besar untuk jenis tanaman penghasil buah salak pondoh dimana salak sudah sejak lama merupakan sumber pendapatan utamanya dibandingkan dari kayu rakyat. Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong dirasa belum berkembang secara optimal. Hal ini dibuktikan dari kondisi proporsi antara pohon-pohon yang berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan pohon-pohon yang siap tebang. Walaupun demikian dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai merasakan manfaat menanam jenis kayu dalam hal penghasilan tambahan sebagai bentuk tabungan yang dapat diperoleh dan digunakan untuk menutupi kebutuhan insidentil keluarga, seperti biaya anak masuk sekolah dan sebagainya. Oleh karena belum adanya sistem kelembagaan dan kebijakan yang secara serius dalam menunjang usaha hutan rakyat, baik dalam aspek produksi, pengolahan maupun pemasaran, masyarakat tani hutan rakyat di Kecamatan Cikalong masih lemah dalam hal posisi tawar sehingga perlu penyempurnaan sistem kelembagaan yang lebih profesional melalui seperangkat kebijakan yang tepat guna dan mampu mendukung terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif dengan harapan petani hutan rakyat selaku produsen mampu bernegosiasi dalam menentukan posisi tawar yang lebih baik dari saat ini. 5.4 Pengaturan Hasil Dalam menyelesaikan perhitungan jatah tebang tahunan diasumsikan: 1. Riap rata-rata diameter 5 cm/th 2. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (11-15) cm sebesar 20% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (16-20) cm sebesar 10%. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (21-25) cm sebesar 10% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (25-30) cm sebesar 0%

74 54 Contoh pengaturan hasil untuk dusun Cilutung, desa Cikalong: Tabel 18 Kondisi jumlah batang tegakan hutan rakyat Dusun cilutung, Desa Cikalong Nama Desa/ Tahun Luas Jumlah batang per kelas diameter Dusun ke- (ha) < 10 cm cm cm cm cm > 30 cm Cikalong 271/ha 25/ha 13/ha 5/ha 4/ha 9/ha Cilutung 33, Periode I Periode II Periode III Dan seterusnya Tabel 19 Penentuan jatah tebang tahunan untuk hutan rakyat Dusun Cilutung, Desa Cikalong Nama Tahun Luas JPLT JTT Sisa Keterangan Dusun ke- (ha) Cilutung 33,92 Periode I Tahun 1 penebangan = penanaman = Tahun 2 penebangan = penanaman = Tahun 3 penebangan = penanaman = Tahun 4 penebangan = penanaman = Tahun 5 penebangan = penanaman = 309 Periode Tahun 6 penebangan = penanaman = 1733 II Tahun 7 penebangan = penanaman = Tahun 8 penebangan = penanaman = Tahun 9 penebangan = penanaman = Tahun 10 penebangan = penanaman = 2472 Periode III Tahun 11 penebangan = penanaman = 3550 Dan seterusnya Penerapan cara pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang untuk periode lima tahun pertama kegiatan penebangan dianggap sebagai jangka waktu penyesuaian, dan periode penebangan lima tahun berikutnya sudah menunjukkan kondisi fluktuasi jatah tebang tahunan yang relatif stabil dimana jumlah pohon yang ditebang meningkat dibandingkan hasil jatah tebang lima tahun pertama, apalagi bila pohon yang ditanam kembali setelah penebangan sebagai salah satu

75 55 syarat mempertahankan kelestarian hasil, jumlahnya lebih dari jatah yang ditebang, maka kemungkinan produksi tahunannya akan lebih besar lagi. Hal yang harus diperhatikan adalah jumlah penanaman tersebut juga harus memperhatikan kapasitas kemampuan lahan yang ada (daya dukung lahan), serta ditambah dengan usaha kegiatan pemeliharaan yang tepat seperti kegiatan penjarangan yang tujuannya selain demi meningkatkan kondisi pertumbuhan tegakan yang lebih baik, juga memberikan nilai tambah sebagai hasil antara, jadi tidak mustahil untuk memperoleh peningkatan yang signifikan bagi keberlanjutan produksi kayu yang ada. Laju kegiatan penanaman hutan rakyat di Pulau Jawa dan Madura antara Tahun (Dephut dan BPS 2004; Pusat P2H 2010) adalah hektar per tahun (Nugroho 2010), maka timbul pertanyaan apakah kondisi tersebut merupakan jaminan bahwa hasil produksinya sudah lestari. Jawabannya kembali kepada bagaimana suatu sistem pengaturan hasil tersebut dapat diterapkan untuk mengantisipasi budaya daur butuh yang selama ini dianut masyarakat petani HR yang memiliki ciri sosial budaya cukup beragam dan untuk semua ini perlu dibuktikan melalui serangkaian penelitian lebih lanjut. Sistem pengaturan hasil dalam penelitian ini merupakan suatu konsep sederhana yang diharapkan dapat diterima dan sesuai dengan pengetahuan masyarakat tani HR yang telah dimilikinya secara turun temurun (local knowledge). Selain itu, merupakan salah satu bentuk pengaturan hasil yang mungkin bisa ditawarkan dalam usaha menuju sertifikasi. Dari tiga tipe sertifikasi yang bisa dikeluarkan FSC mungkin yang cocok diterapkan untuk hutan rakyat di Kecamatan Cikalong adalah Sertificat Controlled Wood yang diberikan hanya untuk pengelola hutan dengan bentuk sertifikasi kelompok. Kelima kriteria sebagai syarat dalam bentuk sertifikasi kelompok tersebut berdasarkan kondisi umum hutan rakyat sengon di Kecamatan Cikalong tidak menjadi permasalahan yang menyulitkan, namun secara teknis didalam menuju keaarah tujuan sertifikasi harus melalui tahapan proses cukup panjang yaitu: 1) perlu diawali kegiatan sosialisasi secara partisipatif kolaborasi dari berbagai pihak stakeholder yang terkait dengan usaha dalam peningkatan atau

76 56 pengembangan kegiatan usaha kayu rakyat yang pada kenyataannya untuk hutan rakyat di Kecamatan Cikalong masih murni bergerak atas inisiatif masyarakat tani secara swadaya dan belum tersentuh bantuan apapun baik dari Pemda dalam hal ini Dinas Kehutanan maupun pihak-pihak swasta yang berkepentingan, 2) perlu menggali inisiatif dan persepsi serta motivasi masyarakat petani hutan untuk meningkatkan animo yang ada dalam tujuan mencapai manfaat pengelolaan hutan rakyat secara lestari, 3) perlu peningkatan kapasitas lokal petani hutan saat ini khususnya dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka melalui pelnyuluhan dan pelatihan yang tepat guna. Semua ini merupakan tahapan awal dalam persiapan menuju perolehan sertifikasi baik menurut prinsip dan kriteria LEI ataupun FSC. Suatu gambaran tegakan hutan rakyat Kecamatan Cikalong saat ini, menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara proporsi jumlah batang yang siap tebang dengan jumlah batang berdiameter dibawah 10 cm. Hal ini dapat diakibatkan karena tidak adanya aturan penebangan yang memperhatikan ketersediaan jumlah batang dengan ukuran diameter di bawah 30 cm yang siap ditebang untuk periode penebangan berikutnya. Selama ini penebangan dilakukan atas dasar asas kebutuhan sesaat atau dikenal dengan istilah daur butuh, sedangkan kegiatan penanaman setelah penebangan kondisinya tidak selalu teratur karena tergantung kondisi kemampuan petani, yang mungkin hal ini dikarenakan usaha di bidang hutan rakyat ini masih bersifat usaha sampingan. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasakan manfaat dari hasil kayu sengon tersebut, maka para petani hutan mulai serentak menanam secara bersamaan. 5.5 Kontribusi Hutan Rakyat Sumber pendapatan petani responden di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir berasal dari hutan rakyat, pertanian, peternakan, perdagangan, dan lain-lain.berdasarkan hasil penelitian yang tersaji dalam Tabel 20, diketahui bahwa kontribusi terbesar berasal dari pertanian yaitu 40,82% di Desa Cikalong, 48,48% di Desa Tonjongsari, dan 36,98% di Desa Singkir. Kontribusi hutan

77 57 rakyat terhadap pendapatan total petani masih dikatakan kecil yaitu sekitar 14,54% di Desa Cikalong; 20,65% di Desa Tonjongsari; dan 11,00%; atau kalau dilihat dari rata-rata kontribusi pendapatan dari hutan rakyat tersebut sebesar 15,38%. Tabel 20 Kontribusi pendapatan dari berbagai sektor usaha Sumber Desa Cikalong Desa Tonjongsari pendapatan Pendapatan Kontribusi (%) Pendapatan Kontribusi (%) rata-rata (Rp) rata-rata (Rp) Hutan rakyat , ,65 Pertanian , ,48 Peternakan , ,22 Perdagangan , ,13 lain-lain , ,53 Total , ,00 Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Tabel 20 Lanjutan Sumber pendapatan Desa Singkir Pendapatan rata-rata (Rp) Kontribusi (%) Hutan rakyat ,00 Pertanian ,98 Peternakan ,89 Perdagangan ,67 lain-lain ,46 Total ,00 Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang sama dari hutan rakyat sengon di Desa Wates dan Tambah Rejo (Dewi et al. 2004) menunjukkan bahwa besarnya kontribusi terhadap total pendapatan petani hutan rakyat di Desa Wates dan Tambah Rejo sebesar 29,41%, memberikan gambaran bahwa secara relatif tidak jauh berbeda. Demikian juga bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 21 pengelolaan hutan rakyat di ketiga desa contoh sudah dianggap cukup baik sebagai pemula. Tabel 21 Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat di berbagai lokasi penelitian No Lokasi Kontribusi (%) Sumber 1 Sumberejo, Wonogiri 21,05 Subaktini et al Sub Das Temon 23,87 Cahyono et al Wonosobo 33,00 Supangat et al Maros, Sulawesi Selatan 7,61 Hasnawir dan Yusran Zone atas Das Cimanuk Hulu 31,50 Hardjanto 2001 Kontribusi suatu sumber pendapatan akan menentukan keputusan petani dalam mengembangkan hutan rakyat. Semakin besar sumbangan suatu sumber pendapatan terhadap total pendapatan rumah tangga akan mendorong petani untuk

78 58 lebih mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya untuk kegiatan tersebut. Sumbangan yang mampu diberikan oleh hutan rakyat terhadap ekonomi rumah tangga relatif besar. Banyak kajian dan laporan yang menunjukkan kontribusi yang signifikan dari pendapatan yang diperoleh petani dengan mengembangkan hutan rakyat (Cahyono et al. 2002) Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat cukup bervariasi tergantung pada kondisi tegakan, komposisi tanaman, jenis komoditi yang ditanam, intensifikasi, peluang pasar dan sebagainya. Meskipun terdapat hutan rakyat yang relatif kecil kontribusinya pada pendapatan bukan berarti tidak mendorong pengembangan hutan rakyat. Selain keuntungan, kelayakan, dan kesinambungan hasil yang di dapat petani akan juga mempengaruhi keputusan pengembangan hutan rakyat. (Cahyono et al. 2002) 5.6 Analisis finansial Untuk menghitung nilai finansial di ketiga desa contoh ini didasarkan pada beberapa asumsi, sebagai berikut: a) Daur 5 tahun b) Suku bunga BI 7% c) Tahun 0 = 2011 d) Harga per batang kayu ditentukan atas dasar harga lokal yang berlaku Rp ,00 per m 3. Diasumsikan setiap pohon masak tebang memiliki rata-rata diameter 30 cm, tinggi bebas cabang rata-rata 11 m, angka bentuk (0,7) diperoleh volume 0,56 m 3 per batang sehingga harga per batng kayu sebesar Rp ,00. e) Perhitungan biaya tenaga kerja semua kegiatan dalam pengelolaan dilakukan oleh petani pemilik. Perhitungannya didasarkan pada kemampuan banyaknya kuantitas hasil setiap kegiatan yang dapat diselesaikan per hari. Dengan upah per HOK sebesar Rp ,- di Desa Tonjong dan Rp ,- di Desa Cikalong dan Desa Singkir. f) Biaya pembangunan tanaman terdiri dari biaya pembelian bibit, biaya persiapan lapangan tanaman: biaya pembersihan lahan, pembuatan lubang tanaman, pemupukan dan biaya penanaman

79 59 g) Sistem pengelolaan dianggap akan berulang dengan kondisi kegiatan yang sama dengan saat prhitungan nilai finansial saaat penelitian. Tabel 22 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Cikalong Nama dusun Luas HR dusun (ha) Rata-rata luas kepemilikan Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp) (ha) Cilutung 33,92 0, Desakolot 65,43 0, Borosole 132,96 0, Cikalong 70,35 0, Pangapekan 27,02 0, Sindanghurip 78,36 0, Cisodong 185,02 0, Cikaret 200,02 0, Cipondoh 73,74 0, Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Tabel 23 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Tonjongsari Nama Dusun Luas HR Luas kepemilikan dusun (ha) (ha) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp) Sukahurip 10,37 0, Pareang 36,73 0, Tonjong 118,66 0, Cigorowong 48,14 0, Jodang 127,04 0, Bojongnangka 79,64 0, Pamijahan 132,4 0, Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Tabel 24 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Singkir Nama dusun Luas HR Luas kepemilikan dusun (ha) (ha) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp) Ciheulang 232,94 0, Singkir 2 62,82 0, Jadimulya 64,30 0, Singkir 1 181,62 0, Desakolot 139,99 0, Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Perhitungan finansial dilakukan pada masing-masing dusun sebagai unit pengelolaan skala kecil didasarkan pada kondisi rata-rata penyebaran jumlah batang per kelas diameter dari luas lahan milik petani saat penelitian. Tabel 22, Tabel 23 dan Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai NPV terkecil di Desa Cikalong terdapat di Dusun Cikalong yaitu sebesar Rp dengan luas lahan 0,25 ha, di Desa Tonjongsari terdapat di Dusun Pamijahan sebesar Rp ,-

80 60 dengan luas lahan 0,32 ha, dan di Desa Singkir terdapat di Dusun Jadimulya sebesar Rp ,- dengan luas lahan 0,25 ha. Nilai NPV terbesar di Desa Cikalong terdapat di Dusun Sindanghurip sebesar Rp ,- dengan luas lahan 0,54 ha, di Desa Tonjongsari terdapat di Dusun Pareang sebesar Rp ,- dengan luas 0,36 ha, dan di Desa Singkir terdapat di Dusun Ciheulang sebesar Rp ,- dengan luas 0,45 ha. Berdasarkan hasil NPV masing-masing petani pemilik di ketiga desa contoh semuanya menunjukkan nilai NPV > 1, berarti usaha di bidang hutan rakyat bagi ketiga desa contoh untuk tingkat petani adalah layak untuk dilanjutkan sehingga di dalam menentukan luasan suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil ini berdasarkan sebuah dusun, maka skala luas minimal untuk Desa Cikalong 27,02 ha pada Dusun Pangapekan, untuk Desa Tonjongsari 10,37 ha pada Dusun Sukahurip dan untuk Desa Singkir 62,82 ha pada Dusun Singkir 2. Secara umum berarti minimal skala luas unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil adalah 10,37 ha. Luas unit pengelolaan terkecil terdiri dari jumlah luas usaha petani HR dari dusun tersebut yang berdasarkan skala usaha layak secara finansial (nilai NPV > 0). 5.7 Analisis sosial Untuk menekan biaya pengelolaan, petani hutan rakyat dalam kegiatan pengadaan tanaman, seperti pada kegiatan membersihkan lahan, membuat lubang tanam dan melakukan penanaman serta pemeliharaan sampai tanaman cukup kuat dilakukan sendiri karena memang mata pencaharian mereka secara harfiah adalah sebagai petani. Kecenderungan mereka dalam mengelola hutan rakyat memiliki tujuan yang kuat bahwa dengan membangun hutan takyat, secara finasial merupakan sumbangan cukup berarti yang telah dirasakan secara positif. Kontribusi pendapatan dari usaha kayu rakyat tersebut dianggap sebagai tabungan pendapatan yang pada saat-saat tertentu dimana dibutuhkan biaya yang cukup besar dapat merupakan sumbangan yang cukup nyata, seperti saat merencanakan naik haji, kenduri pernikahan atau khinatan anak bahkan menyekolahkan anaknya

81 61 sampai kejenjang lebih tinggi, sehingga dengan pencapaian ini secara tidak langsung dapat menaikkan status sosial mereka. Kondisi tersebut secara sadar atau tidak jelas menggambarkan bahwa mereka telah merasakan manfaat keberadaan hutan rakyat yang dibangunnya secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Untuk mengetahui besarnya motivasi masyarakat tani HR terhadap ketiga aspek jaminan kelestarian hutan tersebut tersebut, didekati melalui besarnya pengaruh faktor-faktor karakteristik internal dan ekternal petani HR terhadap motivasi manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise (stepwise regression), yang diterangkan melalui persamaan-persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dan yang disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Hasil Analisa Motivasi Ekonomi, Ekologi, dan Sosial berdasarkan Karakteristik Internal dan Eksternal masyarakat petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir (pada tingkat nyata 5%): Motivasi Model Persamaan Regresi Sig. r 2 Sig. r Ekonomi (1) Ekologi (2) Sosial (3) Y1= 60, ,123 X14 + 6,723 X23 1,405 X24 X14 = 0,000 X23 = 0,008 X24 = 0,000 Y2 = 39, ,648 X15 0,485 X24 X15 = 0,031 X24 = 0,003 Y3= 32, ,015 X23 0,249 X24 X23 = 0,041 X24 = 0,003 0,260 0, ,000 0,055 0,031 0,003 0,046 0, Dari model-model persamaan regresi linier berganda yang disajikan pada Tabel 25, secara umum dapat diterangkan bahwa dari 12 faktor, baik dari karakteristik internal maupun eksternal hanya faktor pendapatan yang mampu menjelaskan ketiga faktor motivasi, sedangkan hanya faktor luas yang mampu menjelaskan faktor motivasi ekonomi dan faktor motivasi sosial. Faktor jumlah tanggungan keluarga hanya mampu menjelaskan faktor motivasi ekologi, sedangkan faktor kebutuhan rumah tangga hanya mampu menjelaskan faktor motivasi ekonomi. Walaupun persamaan tersebut memiliki nilai r 2 yang kecil, berarti menunjukkan kesanggupan dari keempat faktor karakteristik petani tersebut dalam menerangkan ketiga faktor motivasi sangat lemah, tapi bila pengaruh masing-masing faktor tersebut dilakukana secara terpisah menunjukkan nilai sig. yang tinggi pada tingkat kepercayaan α =5 %

82 62 Dari hasil analisis tersebut dapat di terangkan bahwa luas lahan merupakan faktor pembatas bagi unit skala usaha HR, yaitu memiliki rata-rata luas lahan kepemilikan sebesar kurang dari 0,25 ha sehingga petani sejak dua puluh dekade terakhir telah berusaha mengoptimalkan lahan usahanya dengan menerapkan sistem agroforestri, demi meningkatkan pendapatan untuk menutupi kebutuhan jumlah tanggungan rumah tangganya. Usaha petani di bidang kayu rakyat sampai saat ini masih bersifat sampingan, terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari HR baru mencapai 15,40% dari total pendapatan petani dan nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi dari usaha pertanian yang masih merupakan usaha pokok dari petani HR rata-rata sebesar 38,76% pada lahan usaha yang luasnya sangat kecil rata-rata dibawah 0,25 ha. Selanjutnya dengan semakin besar faktor kebutuhan rumah tangga petani HR, maka semakin besar pula motivasi petani terhadap aspek manfaat ekonomi, ini dapat diterangkan bahwa besarnya tanggungan keluarga petani memberi dampak pada dorongan untuk meningkatkan jumlah tambahan pendapatan demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan jika dipertimbangkan nilai kontribusi usaha dibidang HR paling tinggi bila dibandingkan nilai kontribusi dari sektor usaha non pertanian yang lain, maka nilai tambah ini menunjukkan bahwa dorongan motivasi ekonomi terhadap pengelolaan hutan rakyat menjadi tinggi. Besarnya motivasi ekonomi tersebut jelas berpengaruh terhadap pentingnya mempertahankan keberadaan hutan rakyat yang secara sadar atau tidak menunjukkan motivasi petani terhadap manfaat ekologi juga tinggi, salah satu dampak secara langsung yang paling dirasakan adalah terciptanya iklim mikro yang dihasilkan tegakan HR sengon yang telah memberikan rasa nyaman serta lebih asri secara alami terhadap lingkungan hidup mereka dibanding sebelumnya dan secara tidak langsung tegakan sengon dapat membantu kesuburan lahan kebun mereka secara tidak langsung melalui sistem pemupukan alami disamping pupuk buatan yang mereka biasa gunakan. Selain itu semakin kecil pendapatan maka makin tinggi motivasi petani HR terhadap manfaat sosial. Meningkatnya pendapatan tambahan dari sektor HR memberikan dorongan untuk lebih mengembangkan usaha HR dan kesejahteraan masyarakat secara sosial akan meningkat karena uasaha dibidang HR secara multi

83 63 efek memberi peluang bagi penyerapan tenaga kerja mulai dari kegiatan penebangan, tenaga pengepul, jasa angkutan, jasa pemasaran, dan kegiatan mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Untuk mengukur apakah pengelolaan hutan rakyat yang telah berkembang di ketiga wilayah lokasi penelitian, yaitu Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir dengan mempertimbangkan aspek manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial, maka dibuat model nilai komposit ketiga aspek tersebut dengan sediaan tegakan (jumlah batang sengon per kelas diameter pada setiap lahan petani HR). Model komposit kelestarian HR yang diperoleh adalah HtLst = 0,655 Y1 + 0,127 Y2 + 0,243 Y3, dimana Y1 adalah aspek ekonomi, Y2 adalah aspek ekologi, dan Y3 adalah aspek sosial. Dari ketiga aspek tersebut yang paling signifikan adalah aspek ekonomi (sig. 0,000 < α = 0,05), aspek ekologi (Sig. 0,243 > α = 0,05), dan aspek sosial (sig. 0,252 > α = 0.05). Berdasarkan analisis statistik dari regresi linier berganda tersebut, ketiga peubah bebas yaitu motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial hanya mampu menjelaskan sebesar 23% terhadap peubah tidak bebas terhadap kelestarian (sig.f = 0,000). Model regresi berganda tersebut dapat diandalkan untuk mengetahui besarnya pengaruh ketiga peubah motivasi terhadap tingkat kelestarian. Faktor motivasi ekonomi menunjukkan pengaruh paling besar dibandingkan faktor motivasi ekologi dan sosial terhadap kelestarian hutan. Hal yang dapat diterangkan dari analisis tersebut, yaitu menggambarkan masyarakat petani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir tidak atau belum memahami akan prinsip-prinsip kelestarian dalam tujuan kegiatan pengelolaan HR, sadar atau tidak pengalaman yang telah dicapai dalam dua dekade terakhir sejak HR pertama kali dibangun, menunjukkan motivasi terhadap aspek ekonomi cukup tinggi dengan harapan nilai tambah dari pendapatan melalui peningkatan kontribusi HR dapat meningkatkan kesejahteraan sosial petani HR. Suatu bukti bahwa masyarakat tani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir menunjukkan motivasi positif secara ekonomi, walaupun motivasi ekologi dan sosial belum terlihat secara signifikan. Kegiatan penanaman oleh petani HR sampai saat ini masih terus dilakukan, walaupun skala waktu kegiatan penanamannya masih belum teratur karena tergantung ketersediaan

84 64 biaya, mungkin kondisi inilai yang menyebabkan kondisi sebaran jumlah batang per kelas diameter (standing stock) yang ada di lokasi penelitian belum bisa dikatakan memenuhi kriteria lestari. Secara umum, berdasarkan berbagai hasil analisis dapat disusun suatu rumusan tentang unit pengelolaan hutan rakyat skala kecil berdasarkan skala luas dusun, melalui pertimbangan penilaian yang dibatasi skala usaha yang berdasarkan penilaian ekonomi layak secara finansial (nilai NPV > 0). Kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani dan terpeliharanya keberadaan tegakan hutan yang merupakan modal dasar sebagai jaminan produksi tahunan secara berkelanjutan dengan ketentuan jumlah batang berdiameter tertentu sesuai permintaan pasar yang berlaku dalam hal cara penyediaan kayu dari produsen (petani HR) yaitu berdasarkan jumlah batang. Untuk itu tahapan proses implementasinya di lapangan dengan tetap mempertimbangkan kapasitas sosial budaya masyarakat tani hutan yang masih dicirikan perangkat norma sosial budaya tradisional yang masih sederhana, sebagai berikut: 1. Adanya luasan minimal usaha dengan sediaan (standing stock) yang menjamin jumlah tebangan tahunan secara berkelanjutan berdasarkan sistem pengaturan hasil yang tepat dan tetap mempertimbangkan aspek sosial budaya lokal. 2. Petani hutan rakyat memiliki kapasitas tingkat adaptasi, persepsi, dan motivasi tinggi terhadap aspek manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang cukup dan terbuka bagi tujuan peningkatan usaha di bidang kayu rakyat. Kapasitas ini dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. 3. Perlu pendampingan terkait kemungkinan peningkatan usaha pengembangan pengelolaan hutan rakyat, yaitu para stakeholder (Pemda, Penyuluh, LSM, Perguruan Tinggi) yang berdedikasi kuat dan peduli untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani berbasiskan hutan rakyat. 4. Perlu dibangun satu atau lebih kelompok tani hutan pada wilayah skala luas dusun. Jumlah anggota disesuaikan dengan kondisi lingkungan masyarakat dan usahanya. Kelompok dibangun atas dasar adanya kepentingan dan tujuan bersama dengan prinsip dari, oleh, dan untuk petani berdasarkan prinsipprinsip kebebasan memilih menjadi anggota kelompok tani. Adanya keterbukaan dan kesetaraan antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha;

85 65 kemitraan dibangun atas prinsip saling menghargai, saling membutuhkan, menguntungkan dan memperkuat partisipatif dalam hak dan kewajiban; keswadayaan; mampu menggali potensi diri dalam penyediaan dana dan sarana. 5. Tersedianya kelembagaan yang tepat dan diimbangi suatu perangkat kebijakan yang efektif yang mampu menciptakan iklim usaha hutan rakyat. untuk lebih kondusif dan lebih berpihak pada masyarakat tani hutan rakyat. Perlu informasi tentang tingkat pemahaman organisasi petani; keadaan usaha tani dan kelembagaan yang ada, serta kondisi sebaran, domisili dan jenis usaha tani. Kelembagaan masyarakat yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam membangun kelembagaan unit kelompok petani maupun unit pengelolaan skala dusun. 6. Melaksanakan advokasi (saran dan pendapat) kepada para petani khususnya tokoh-tokoh petani setempat tentang pengertian kelompok; proses dan langkahlangkah menuju pembentukan kelompok; kewajiban dan hak setiap petani menjadi anggota kelompok serta para pengurusnya; dan penyusunan rencana kerja serta cara kerja kelompok. 7. Untuk meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsi organisasi yang kuat dan mandiri dalam mengembangkan usaha tani dengan sistem agroforestri, harus dicirikan oleh: a) Adanya pertemuan rutin, memiliki rencana kerja kelompok, memiliki aturan /norma yang disepakati dan ditaati bersama, melakukan pencatatan administrasi organisasi yang rapih, memfasilitasi usaha tani secara komersil dan berorientasi pasar, adanya jalinan kerja sama antar kelompok tani, adanya pemupukan modal usaha baik iuran anggota atau penyisihan hasil usaha/ kegiatan kelompok. b) Adanya evaluasi yang dilakukan secara partisipasi. Peran pemerintah terkait dengan kegiatan HR adalah bertindak sebagai fasilitator dan menyusun kebijakan yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat tani hutan rakyat. c) Memberikan insentif berupa reward bagi petani HR yang berhasil dalam mengembangkan usaha pengelolaannya atau dalam rangka penyelamatan

86 66 lingkungan, bukan berupa disinsentif, misalnya membuat perda yang memberatkan petani HR.

87 67 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1. Luas hutan rakyat sengon efektif di Desa Cikalong 857,10 ha; Desa Tonjongsari 552,48 ha; dan Desa Singkir 681,47 ha, menempati luas penutupan lahan terbesar rata-rata 81,43%. 2. Kondisi rata-rata volume per hektar dari ketiga desa contoh berkisar antara 15,36 m3/ha sampai dengan 24,11 m3/ha dengan volume berkisar antara 8.286,09 m3 sampai dengan ,68 m Kondisi rata-rata sediaan tegakan sengon dari ketiga lokasi penelitian adalah berkisar antara 244 batang/ha sampai dengan 356 batang/ha dan total jumlah batang berkisar antara batang sampai dengan batang. 4. Tingkat kontribusi pendapatan total petani hutan rakyat per tahun di Desa Cikalong sebesar Rp atau 14,54%, di Desa Tonjongsari sebesar Rp atau 20,65% dan di desa Singkir sebesar Rp atau 11%. 5. Secara finansial usaha di bidang kayu rakyat untuk setiap petani hutan layak dilakukan (nilai NPV > 1). 6. NPV terkecil untuk tingkat petani hutan rakyat di Desa Cikalong terdapat di Dusun Cikalong yaitu sebesar Rp dengan luas lahan 0,25 ha; di Desa Tonjongsari terdapat di Dusun Pamijahan sebesar Rp ,- dengan luas lahan 0,32 ha, dan di Desa Singkir terdapat di Dusun Jadimulya sebesar Rp ,- dengan luas lahan 0,25 ha. 7. Luas hutan rakyat lestari skala kecil di ketiga desa contoh adalah seluas 27,02 ha dengan sediaan batang di Dusun Pangapekan, Desa Cikalong, 10,37 hektar dengan sediaan tegakan batang di Dusun Sukahurip dari Desa Tonjongsari dan 62,82 hektar dengan sediaan tegakan batang di Dusun Singkir 2 dari Desa Singkir, masih dapat dipertahankan sebagai suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil. 8. Motivasi petani hutan rakyat di lokasi penelitian semata-mata mengutamakan pentingnya manfaat aspek ekonomi, belum memperhatikan aspek manfaat ekologi dan sosial.

88 68 9. Faktor karakteristik internal yang mempengaruhi motivasi petani hutan rakyat adalah faktor jumlah tanggungan keluarga dan faktor kebutuhan rumah tangga dan faktor karakteristik eksternal adalah faktor luas lahan dan faktor pendapatan terhadap aspek pengelolaan hutan rakyat lestari dengan ukuran keseimbangan antara fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi. 10. Rumusan unit pengelolaan hutan rakyat lestari sekala kecil adalah sebagai berikut: a) Adanya luasan minimal usaha dengan standing stock sediaan yang menjamin jumlah tebangan tahunan tiap tahun secara berkelanjutan berdasarkan sistem pengaturan hasil yang tepat dan mempertimbangkan aspek sosial budaya lokal. b) Adanya petani hutan rakyat yang memiliki kapasitas tingkat adaptasi, persepsi, dan motivasi tinggi terhadap aspek manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang cukup serta terbuka bagi tujuan peningkatan usaha di bidang kayu rakyat. c) Adanya pendampingan terkait kemungkinan peningkatan usaha pengembangan pengelolaan hutan rakyat dari stakeholder (Pemda, LSM, Perguruan Tinggi) yang berdedikasi kuat dan peduli untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani berbasiskan hutan rakyat, d) Adanya kesiapan kelembagaan yang tepat dan diimbangi suatu perangkat kebijakan yang efektif dan bentuk insentif yang mampu menciptakan iklim usaha hutan rakyat untuk lebih kondusif dan lebih berpihak pada masyarakat tani hutan rakyat sebagai produsen kayu rakyat dalam berkontribusi sebagai pemasok disaat kondisi defisit bahan baku kayu industri akhir-akhir ini. 11. Kelestarian hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh motivasi finansial dengan kontribusi bobot sebesar 65,5%, disusul oleh motivasi sosial dan ekologi dengan bobot masing-masing sebesar 24,3% dan 12,7% dengan model persamaan : HtLst = 0,655 Y1 + 0,127 Y2 + 0,243 Y3.

89 Saran Dalam mengimpelementasikan sistem pengaturan hasil diperlukan tegakan hutan rakyat atas dasar sistem pengaturan hasil dengan menggunakan pendekatan riap dan jumlah batang yang sesuai dengan keinginan dan aturan masyarakat, serta diperlukan data dimensi tegakan melalui pengukuran secara sensus untuk memperoleh data aktual penyebaran jumlah batang per kelas diameter yang akurat dan penyempurnaan bentuk kuisioner yang lebih mampu menggali informasi lebih memberikan gambaran karakteristik baik internal maupun eksternal petani HR dalam menggali motivasi terhadap manfaat kegiatan pengelolaan HR.

90 70 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS dan HR Syaukani Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas: Menyimak Tragedi Kehancuran Hutan. Bandung: Nuansa. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Wiayati WT, Affianto A Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi, dan Pemasaran. Yogyakarta: BPFE. Andayani W Ekonomi Agroforestri. Jogjakarta: Debut Press. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Wiayati WT, Affianto A Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi, dan Pemasaran. Yogyakarta: BPFE. Awang SA Konstruksi Pembangunan Hutan Rakyat di Indonesia. Seminar Nasional Pengembangan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Rakyat di Indonesia; Yogyakarta. 12 Desember Konstruksi pengetahuan dan unit manajemen hutan rakyat. Pekan Hutan Rakyat II Memerankan Iptek bagi Peningkatan dan Kontribusi Hutan Rakyat dalam Pembangunan Kehutanan; Ciamis, Oktober Awang SA, Eko BW, Suryanto S Unit Manajemen Hutan Rakyat: Proses Konstruksi Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Banyumili Art Network. BPKH XI dan MFP-II Profil Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Kuningan Kuningan: Balai Pemantapan Kawasan Hutan. [BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor Monografi Pertanian dan Kehutanan. Bogor: Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan. [BPS] Badan Pusat Statistik Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003 Sensus Pertanian Jakarta: Badan Pusat Statistik Jawa Barat dalam Angka Jakarta: Badan Pusat Statistik Tasikmalaya dalam Angka Tasikmalaya: Badan Pusat Statistik. Cahyono SA, Nunung PN, Nur AJ Tinjauan Faktor Kelayakan, Keuntungan, dan Kesinambungan pada Pengembangan Hutan Rakyat. Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat.

91 71 Wonogiri: 1 Oktober Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen. Darusman D et al Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta: Debut Press. Darusman D dan Hardjanto Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Di dalam: Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan: Davis LS and KN Johnson Forest Management. New York: McGraw-Hill Book Co. [Dephut] Departemen Kehutanan Keputusan Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. Jakarta: Dephut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Dephut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Jakarta: Dephut Eksekutif data strategis kehutanan tahun Jakarta: Ditjen Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial. Dewi Ayu Analisis Investasi Usaha Tani Hutan Rakyat. MKI Edisi Jakarta: Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan. Dewi Ayu Analisis Investasi Usaha Tani Hutan Rakyat. MKI Edisi Jakarta: Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan. Dewi BS, Slamet BY, Linda N Peranan Hutan Rakyat dan system pengelolaannya terhadap pendapatan petani di Desa Wates dan Tambah Rejo Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Tanggamus. Jurnal Hutan Rakyat Volume VI Nomor 2: Drengson AR, D McDonald Taylor Ecoforestry: The Art and Science of Sustainable Forest Use. USA: New Society Publishers Creek. FWI/GFW The State of The Forest Indonesia. Bogor: Forest Watch Indonesia and Washington DC Global Forest Watch. Gibson JL, JM Ivancevich, dan JH Donnelly JR Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Haba J, IH Gayatri, M Noveria Konflik di Kawasan Illegal Logging. Jakarta: LIPI.

92 72 Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 1. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Handoko T Manajemen. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. Hardjanto Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di DAS Cimanuk Hulu. Jurnal Manajenemn Hutan Tropika. Vol VII No 2: Hardjanto Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hasan MI Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hasibuan MSP Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara. Hasnawir dan Yusran Analisis Model Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian BPK. Ujung Pandang: 6 (1). Hersupomo HS Peluang dan Tantangan Agroforestri di Daerah dan Implikasinya terhadap Pengembangan Sumberdaya Manusia. Duta Rimba No 233/XXIV/Nopember: Hinrichs A, DR Muhtaman, N Irianto Sertifikasi Hutan Rakyat Indonesia Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Huxley P Tropical Agroforestry. France: Blackweell Science. ITTO Criteria and Indicator for Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO Policy Development Series 7. Iskandar U, Ngadiono, Nugraha A Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Jariyah, Nur Ainun dan Nining Wahyuningrum Karakteristik Hutan Rakyat di Jawa. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Volume V No.1: Jung J Understanding Human Motivation: A Cognitive Approach. New York: Mc Millan Publishing Co Inc. Kadariah Lien, Karlina, Clive Gray Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

93 73 Kartasubrata Perhutanan Sosial Pilot Project I Proyek oleh Kanwil Kehutanan Kerjasama dengan The Ford Foundation [KHJL] Koperasi Hutan Jaya Lestari Rencana Pengelolaan Hutan Jati Masyarakat. Lambakara, Konawe Selatan. Klausmeier HJ, Goodwin W Learning and Human Abilities: Educational Psychology. New York: Harper and Row Publisher. Knuchel Herman Planning and Control in the Managed Forest. London: Oliver and Boyd. Leagens JP, Loomis CP Behavioral Change in Agricultral: Concepts and Strategies for Influencing Transition. London: Cornel University Press. Lundgren, B., and Raintree, J.B Agroforestry, presented at the Conf. of Directors of National Agro-forestry Research Systems in Asia, Jakarta, 12p. Manan S Hutan, Rimbawan, dan Masyarakat. Bogor: IPB Press. Meyer HA, AB Recknagel, DD Stevenson, and RA Bartoo Forest Management System Analysis and Simulation. Toronto: Willey and Son Inc. Mustari T Hutan Rakyat Sengon: Daur dan Kelestarian Hasil. Dalam Suharjito (penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Nugroho Bramasto Pembangunan Kelembagaan Dana Bergulir Hutan Rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Volume XVI: 3 Osmaston FC The Management of Forest. London: George Allen and Unwin Ltd. Padmowihardjo S Materi Pokok: Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. PIKA Rekalkulasi Peutupan Lahan Indonesia Tahun Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Badan Planologi Departemen Kehutanan. Prodan M Forest Biometrics. London: Pergamon Press Oxford. [Pusat P2H] Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kerangka Acuan Seminar Pola Pengelolaan dan Pembiayaan Hutan Rakyat. Jakarta: Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan.

94 74 Putera AE et al Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Konawe: Thewaterloofoundation. Rahayu YDS dan SA Awang Analisis Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat Volume V (1): Santoso H PHBM dan Proses Transaksi. Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Madiun: Pusdik Perum Perhutani Sardiman AM Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Scot GW Human relation in Management: A Behavioral Science Approach Philosophy Analysis and Issue. Richard D Irwin Inc. Illinois. Seng TO, Parsons RD, Hilton SL, Brown DS Educational Psychology: A Pratitioner-Research Approach (An Asian Edition). Singapore: Seng Lee Press. Simon Hasanu Manual Inventore Hutan. Jakarta: Universitas Indonesia Press Social Forestry and Sustainable Forest Management. Cooperation between Perum Perhutani and The Faculty of Forestry. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Slamet M Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Soeryani M Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestry: Alternatif Penatagunaan dalam Pembangunan. Jakarta: JPPL Simon Hasanu Pengaturan Hasil Hutan. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Subaktini, D., S. A. Cahyono, N. Haryanti, dan T. Setyaji Kajian Aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Wonogiri. Makalah Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat. Wonogiri, 1 Oktober Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

95 75 Suharjito D dan Darusman D Kehutanan Masyarakat. Jakarta: IPB dan Ford Foundation Suharjito D Hutan Rakyat Di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Suhendang E Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika Prinsip Kelestarian Hasil dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Menguak Permasalahan Hutan Alam Tropis di Indonesia. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Suhendang, E Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan. Diselenggarakan atas Kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta tanggal 22 Mei Sumarna K Tabel Tegakan Normal Sementara untuk Albizia falcataria. Pengumuman No. 77. Bogor: Lembaga Penelitian Kehutanan. Supangat, A.B., Paimin, S. A. Cahyono, Sutrisno, dan Gunarti Kajian Erosi dan Limpasan pada Permukaan Hutan Rakyat. Laporan Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Surakarta. Suprayitno AR Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan). [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thoha M Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Tinambunan D, SD Nasendi, dan Satria Astana Program Pengembangan Usaha Hutan Rakyat Suatu Tinjauan Sosio Ekonomi dan Kelembagaan. Lokakarya Pengembangan Hutan Rakyat ; Bandung, Januari Bandung: Duta Rimba. UNEP dan MNLH Agenda 21 Sektoral: Agenda Kehutanan. Jakarta: KMNLH. Wahjosumidjo Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia. Widayanti WT Implementasi Metode Pengaturan Hasil Hutan pada Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa Kedungkeris, Kecamatan

96 76 Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul). Jurnal Hutan Rakyat Volume VI Nomor 2: Widjaya Peranan Motivasi dalam Kepemimpinan. Jakarta: Akademia Pressindo. Winarno Djoko Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Indonesia. Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Produksi Kayu Rakyat. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Winarno B dan Waluyo EA Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal. Seminar Hasil-hasil Penelitian Hutan Tanaman; Palembang: Balai Penelitian Kehutanan: Zain AS Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat.Jakarta: Penerbit Eka Cipta.

97 LAMPIRAN 77

98 78 Lampiran 1 Hasil Uji Anova hubungan antara jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Cikalong Exponential Model Summary R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate The independent variable is D. ANOVA Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Regression Residual Total The independent variable is D. Unstandardized Coefficients Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta t Sig. D (Constant) The dependent variable is ln(n).

99 79 Lampiran 2 Hasil Uji Anova hubungan antara jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Tonjongsari Model Summary R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate The independent variable is D. ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression Residual Total The independent variable is D. Unstandardized Coefficients Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta t Sig. D (Constant) The dependent variable is ln(n).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sejarah hutan rakyat Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir merupakan tiga desa di Kecamatan Cikalong yang paling banyak ditanami jenis sengon yang dijadikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pohon pohon atau tumbuhan berkayu yang menempati suatu wilayah yang luas dan mampu menciptakan iklim yang berbeda dengan luarnya sehingga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan bulan September 2011, berlokasi di hutan rakyat sengon (Paraserienthes falcataria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat (HR) 2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat Pengertian hutan rakyat menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KOPI ROBUSTA DI KECAMATAN SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI. Oleh :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KOPI ROBUSTA DI KECAMATAN SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI. Oleh : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KOPI ROBUSTA DI KECAMATAN SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD DANAR ISYARIANSYAH PROGRAM STUDI S1 AGRIBISNIS FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan di Indonesia seluas 120 juta hektar mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga hutan kita tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, TEKANAN EKONOMI, STRATEGI KOPING DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DESA CIKAHURIPAN, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI HIDAYAT SYARIFUDDIN DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK : Arah kebijakan pembangunan hutan rakyat diarahkan pada wilayah-wilayah prioritas

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun di atas tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati dan didominasi pepohonan dengan tiga fungsi utama, yaitu : a) konservasi,

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan dan binatang yang hidup di dalamnya terancam punah. Selain itu, masih banyak manusia yang menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini telah melampaui kemampuan sumber daya alam dalam memproduksi kayu

BAB I PENDAHULUAN. ini telah melampaui kemampuan sumber daya alam dalam memproduksi kayu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumber daya alam dalam memproduksi kayu secara lestari, apalagi pertumbuhan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, hutan merupakan vegetasi alami utama dan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Menurut UU No. 5 tahun 1967 hutan didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS OLEH : SURYANI 107040002 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia dengan luas daratan 1,3% dari luas permukaan bumi merupakan salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman ekosistem dan juga keanekaragam hayati yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN DAN MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis LOUR var) MELALUI TENGKULAK (Studi Kasus Desa Wringinagung Kecamatan Gambiran Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis. Kondisi ini menyebabkan iklim

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Latar Belakang Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci