AKURASI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA PASIEN MIOPIA AKSIAL MENGGUNAKAN ALAT OPTICAL BIOMETRY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKURASI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA PASIEN MIOPIA AKSIAL MENGGUNAKAN ALAT OPTICAL BIOMETRY"

Transkripsi

1 AKURASI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA PASIEN MIOPIA AKSIAL MENGGUNAKAN ALAT OPTICAL BIOMETRY ACCURACY OF INTRAOCULAR LENS POWER CALCULATION IN PATIENTS WITH AXIAL MYOPIA USING OPTICAL BIOMETRY Rahma Amelia, Ahmad Afifuddin, Hamzah Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar Alamat Korespondensi : dr. Rahma Amelia Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar HP Amelia_ra@yahoo.com 1

2 Abstrak Akurasi kekuatan lensa intraokuler merupakan faktor yang sangat penting dalam mencapai target refraksi pasca operasi yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler dengan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan jumlah sampel 45 orang pasien miopia aksial yang akan menjalani operasi katarak. Data dikumpulkan oleh satu orang petugas yang terlatih dan meliputi panjang aksis bola mata, kekuatan refraksi kornea, kekuatan lensa intraokuler, gangguan refraksi sisa, serta status refraksi pasca operasi. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler yang ditentukan berdasarkan status refraksi pasca operasi dengan panjang aksis bola mata pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan kekuatan lensa intraokuler paling akurat pada kelompok 1 dengan panjang aksis bola mata 25- <28 mm. Sementara perhitungan kekuatan lensa intraokuler paling tidak akurat pada kelompok 3 dengan panjang aksis bola mata > 31 mm. Namun, hubungan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p=0.18. Disimpulkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang akurasi kekuatan lensa intraokuler. Kata kunci : Perhitungan kekuatan lensa intraokuler, panjang aksis bola mata, miopia aksial Abstract Accuracy of intraocular lens power calculation is an important factor to achieve the desired post operative target refraction. This study was performed to evaluate the relationship of the accuracy of intraocular lens power calculation with the axial lenght of patients with axial myopia. This was a cross sectional study of 45 myopic patients who underwent a cataract surgery. The data was collected by a trained worker including axial lenght, corneal refractive power, intraocular lens power, post operative prediction error, and post operative refractive state. Bivariat analysis was performed to evaluate the relationship of the accuracy of intraocular lens power calculation based on patients post operative refractive state with the axial lenght. The study showed that intraocular lens power calculation was mostly accurate on group 1 with axial lenght 25 - <28 mm. While intraocular lens power calculation was less accurate on group 3 with axial lenght >32 mm. But the relationship was not statistically significant. We conclude that the longer the axial lenght, the less accurate the intaocular lens power calculation. Keywords : Intraocular lens power calculation, axial lenght, axial myopia 2

3 PENDAHULUAN Akurasi kekuatan lensa intraokuler pada operasi katarak sangat penting dalam mencapai target refraksi pasca operasi yang diharapkan dan memberi kepuasan pada pasien. Pada pemeriksaan biometri yang menggunakan alat ultrasound, kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler paling banyak disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran panjang aksis bola mata, yaitu sekitar 54% dari sejumlah kasus (Olsen, 1992). Penekanan oleh probe terhadap bola mata saat pengukuran menyebabkan pemendekan aksis bola mata sehingga akan terjadi kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler (Findl, 2005). Hal ini sangat penting oleh karena kesalahan pengukuran sebesar 0,1 mm akan mengakibatkan gangguan refraksi pasca operasi hingga 0,28 D (Olsen, 1992). Namun dengan ditemukannya alat optical biometry, ketepatan pengukuran panjang aksis bola mata telah meningkat secara signifikan. Dengan menggunakan optical biometry, target refraksi pasca operasi dapat dicapai hingga ± 0.50 D pada 62.5% kasus dan ± 1.00 D pada 92.4% kasus. Pencapaian tersebut sangat besar bila dibandingkan dengan pengukuran yang menggunakan alat ultrasound yang mencapai target refraksi sebesar ± 0.50 D hanya pada 45.5% kasus dan ± 1.00 D pada 77.3% kasus (Olsen, 2007). Pengukuran panjang aksis bola mata tidak lagi menjadi sumber utama kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler bila menggunakan alat optical biometry (Preußner, 2007). Namun, perhitungan kekuatan lensa intraokular masih merupakan tantangan besar pada pasien miopia tinggi dengan aksis bola mata yang panjang, yang memerlukan lensa intraokuler dengan kekuatan yang rendah. Suatu penelitian melaporkan bahwa pengukuran menggunakan optical biometry (IOLMaster, Carl Zeiss Meditec AG) pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang cenderung untuk memberikan hasil hipermetropia pasca operasi katarak. (Wang, 2008) Secara teori, kesalahan pengukuran panjang aksis bola mata akan lebih nyata pada penderita miopia tinggi, yang memiliki aksis bola mata panjang dan sklera yang kurang kaku. Selain penekanan kornea saat pemeriksaan biometri, adanya stafiloma posterior pada penderita miopia yang sangat tinggi juga dapat menjadi sumber kesalahan dalam pengukuran panjang aksis bola mata (Zaldivar, 2000). Penderita miopia tinggi dengan koreksi hingga D, pada umumnya merupakan miopia aksial dengan panjang aksis bola mata yang lebih dari ukuran normal. Menurut Curtin & Karlin, semakin panjang aksis bola mata, semakin besar resiko adanya kelainan patologis pada polus posterior bola mata. Mereka melaporkan bahwa kejadian stafiloma posterior meningkat dari 5% pada bola mata dengan panjang 28 mm menjadi hampir 50% pada bola 3

4 mata dengan panjang 32 mm (Curtin, 1971). Hal ini semakin menambah kesulitan dalam memperoleh hasil pengukuran panjang aksis bola mata yang akurat. Selain pengukuran panjang aksis bola mata, pemilihan formula perhitungan yang tepat juga merupakan faktor yang sangat penting dalam memperoleh kekuatan lensa intraokuler. Penggunaan formula generasi pertama dan kedua tidak dianjurkan pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang oleh karena dinilai tidak akurat dalam menentukan effective lens position. Suatu penelitian yang membandingkan formula generasi ketiga yaitu SRK/T, Hoffer Q, dan Holladay I pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang menemukan bahwa SRK/T merupakan formula yang paling tepat dengan pencapaian target refraksi ± 1 D hingga 80.5%. (Wang, 2008) Penelitian lain membandingkan formula Haigis yang merupakan formula generasi keempat dengan formula generasi ketiga yaitu SRK/T, Hoffer Q, dan Holladay I. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa formula Haigis dan SRK/T merupakan formula yang paling akurat dalam menghitung kekuatan lensa intraokuler pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang (Petermeier, 2009). Namun, adanya tiga macam konstanta pada formula Haigis menyebabkan kesulitan dalam menggunakan formula ini. Hal ini menyebabkan formula SRK/T menjadi formula yang paling banyak digunakan pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang. Oleh karena sulitnya menentukan kekuatan lensa intraokuler yang akurat pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang, bahkan dengan menggunakan alat optical biometry, maka dipandang perlu untuk melakukan suatu penelitian untuk menilai hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler dengan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial yang ditentukan mengunakan alat optical biometry. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Mata Orbita Makassar, BKMM Makassar, dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan pendekatan studi cross-sectional. Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi adalah pasien yang akan menjalani operasi katarak. Sampel penelitian sebanyak 45 orang dipilih secara consecutive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi, yaitu menderita miopia aksial, tidak menderita kekeruhan media refrakta yang berat dan 4

5 katarak yang matur, tidak memiliki riwayat operasi ablasi retina, dan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian Metode Pengumpulan Data Pengukuran panjang aksis bola mata dilakukan oleh satu orang petugas terlatih dengan menggunakan Optical Biometry. Pasien lalu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan panjang aksis bola matanya. Selain itu dilakukan pula pengukuran kekuatan refraksi kornea diikuti oleh perhitungan kekuatan lensa intraokuler. Visus terbaik beserta koreksinya diperiksa satu hari dan satu minggu setelah pasien menjalani operasi katarak. Status refraksi ditentukan berdasarkan besar lensa koreksi yang memberikan visus terbaik. Data yang diperoleh akan dikelompokkan sesuai dengan tujuan dan jenis data, kemudian akan dilakukan analisis melalui komputer dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pearson Chi-Square Tests (uji x 2 ) untuk menentukan kemaknaan hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler berupa status refraksi setelah operasi dengan panjang aksis bola mata, One way Anova untuk menilai ada tidaknya perbedaan yang bermakna dari besar kekuatan refraksi kornea, besar kekuatan lensa intraokuler, dan besar gangguan refraksi sisa dari ketiga kelompok panjang aksis bola mata, dan Independent Samples T-Test untuk menilai ada tidaknya perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran panjang aksis bola mata dan besar kekuatan lensa intraokuler yang diukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound Biometry. HASIL Karakteristik Sampel Tabel 1 memperlihatkan karakteristik umum sampel yang digunakan pada penelitian ini. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 45 pasien, yang terdiri atas 15 pasien dengan panjang aksis bola mata 25 hingga < 28 mm (kelompok 1), 15 pasien dengan panjang aksis bola mata 28 hingga < 31 mm (kelompok 2), dan 15 pasien dengan panjang aksis bola mata 31 mm (kelompok 3). Kekuatan Refraksi Kornea Tabel 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan kekuatan refraksi kornea sebelum operasi dari tiap-tiap kelompok. Hasil pemeriksaan memperlihatkan kekuatan refraksi kornea dengan distribusi yang normal. Berdasarkan uji statistik menggunakan One-Way ANOVA yang membandingkan kekuatan refraksi kornea antara ketiga kelompok, diperoleh nilai p=0.45. Hal 5

6 ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kekuatan refraksi kornea dari ketiga kelompok. Kekuatan Lensa Intraokuler Besar kekuatan lensa intraokuler dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel 3. Uji statistik menggunakan One-Way ANOVA terhadap besar kekuatan lensa intraokuler memberikan nilai p= Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara besar kekuatan lensa intraokuler dari ketiga kelompok. Analisis lanjutan menggunakan Tukey Post-hoc test menunjukkan bahwa kekuatan lensa intraokuler lebih rendah secara bermakna pada kelompok 3 (-1.06 ± 3.59 D) dibandingkan kekuatan lensa intraokuler pada kelompok 1 (11.40 ± 2.64 D, p=0.000) dan kelompok 2 (2.56 ± 4.12 D, p=0.019). Sementara besar kekuatan lensa intraokuler pada kelompok 2 juga lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok 1 (p=0.00). Gangguan Refraksi Sisa Tabel 4 memperlihatkan gangguan refraksi sisa pasien pasca operasi katarak. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa gangguan refraksi sisa yang paling besar ditemukan pada kelompok 3, dengan rata-rata lensa koreksi sebesar 0.75 ± 0.50 D, sementara gangguan refraksi sisa yang paling kecil ditemukan pada kelompok 1, dengan rata-rata lensa koreksi sebesar 0.43 ± 0.29 D. Dari hasil uji statistik menggunakan One-Way ANOVA, diperoleh nilai p=0.25. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara besar gangguan refraksi sisa dari ketiga kelompok. Akurasi Kekuatan Lensa Intraokuler Tabel 5 memperlihatkan akurasi kekuatan lensa intraokuler berdasarkan status refraksi pasien pasca operasi. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa akurasi kekuatan lensa intraokuler paling tinggi pada kelompok 1, yang ditandai dengan kejadian emetropia yang paling banyak, yaitu sebesar 73.3%. Sebaliknya, akurasi kekuatan lensa intraokuler paling rendah ditemukan pada kelompok 3, yang ditandai dengan kejadian emetropia yang paling sedikit, yaitu sebesar 40.0%. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Pearson Chi-Square Tests untuk menentukan kemaknaan hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler berupa status refraksi setelah operasi dengan panjang aksis bola mata.. Dari analisis tersebut kemudian diperoleh nilai p=0.18. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara panjang aksis bola mata dengan akurasi kekuatan lensa intraokuler. 6

7 PEMBAHASAN Dalam penelitian ini terlihat bahwa semakin besar panjang aksis bola mata, maka semakin besar gangguan refraksi sisa yang dimiliki oleh pasien. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Petermeier yang melihat hubungan antara gangguan refraksi sisa pasca operasi dengan panjang aksis bola mata menggunakan optical biometry dan formula SRK/T. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata maka semakin besar pula gangguan refraksi sisa yang dialami oleh pasien pasca operasi. Penelitian ini menunjukkan hubungan antara panjang aksis bola mata dengan gangguan refraksi sisa pasca operasi. Namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna dengan nilai p=0.17 (Petermeier, 2009). Hasil serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Wang yang membagi pasien berdasarkan panjang aksis bola mata menjadi dua kelompok. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan panjang aksis bola mata >28 mm memiliki gangguan refraksi sisa yang lebih besar (0.91 ± 0.82 D) bila dibandingkan dengan kelompok pasien yang memiliki panjang aksis bola mata <28 mm (0.52 ± 0.29 D) (Wang, 2008) Penelitian lain yang dilakukan oleh Nafees membagi pasien berdasarkan panjang aksis bola mata menjadi tiga kelompok. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gangguan refraksi sisa yang paling besar ditemukan pada kelompok pasien dengan panjang aksis bola mata > mm (0.33 D), sementara gangguan refraksi sisa yang paling kecil ditemukan pada kelompok pasien dengan panjang aksis bola mata mm (Nafees, 2010). Status refraksi pasien setelah operasi katarak ditentukan berdasarkan gangguan refraksi sisa yang dimiliki pasien. Berdasarkan status refraksi tersebut, kemudian ditentukan akurasi dari kekuatan lensa intraokuler yang ditanamkan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang pula akurasi kekuatan lensa intraokulernya. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh MacLaren yang memperlihatkan akurasi biometri pada pasien dengan aksis bola mata yang sangat panjang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang pula akurasi pemeriksaan biometri (MacLaren, 2005). Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Tsang yang menilai akurasi kekuatan lensa intraokuler pada pasien miop tinggi di Cina. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan aksis bola mata yang paling panjang (>28.00 mm) memiliki akurasi kekuatan lensa intraokuler yang paling rendah (Tsang, 2003). 7

8 Walaupun hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang pula akurasi kekuatan lensa intraokuler, namun secara statistik hubungan ini tidak bermakna. Analisis statistik dengan menggunakan Pearson Chi-SquareTests memberikan nilai p=0.18. Kesalahan pengukuran panjang aksis bola mata merupakan sumber utama kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler dengan menggunakan alat ultrasound. Seharusnya hal ini sudah tidak menjadi masalah saat pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat optical biometry. Penekanan bola mata seperti yang terjadi pada penggunaan alat ultrasound tidak lagi menjadi masalah saat pemeriksaan dilakukan menggunakan optical biometry. Ketidaksesuaian aksis pada saat pengukuran juga dapat diminimalisir oleh karena fiksasi mata yang lebih baik. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari tahu penyebab dari kurangnya akurasi kekuatan lensa intraokuler menggunakan alat optical biometry pada pasien miopia aksial. Namun hingga saat ini, belum ada literatur yang menjelaskan secara rinci alasan terjadinya gangguan refraksi tersebut, kecuali yang dijelaskan oleh Haigis. Dengan menggunakan perhitungan matematis dari prinsip-prinsip teori optik pada mata, Haigis menjelaskan hal ini. Pasien dengan aksis bola mata yang panjang akan menggunakan lensa intraokuler berkekuatan rendah bahkan lensa berkekuatan negatif, Principal plane dari lensa dengan kekuatan rendah akan bergeser menjauh dari lensa, sementara principal plane dari lensa dengan kekuatan negatif malah akan berpindah dari sisi belakang lensa ke sisi depan lensa. Hal ini akan berpengaruh pada posisi lensa setelah operasi (effective lens position) yang selanjutkan akan mengakibatkan perubahan dari konstanta lensa intraokuler. Apabila lensa dengan kekuatan yang rendah dihitung dengan menggunakan konstanta lensa yang biasa, akan terjadi gangguan refraksi sisa pasca operasi. Apalagi bila lensa negatif dihitung menggunakan konstanta yang sama dengan lensa positif, maka akan terjadi gangguan refraksi sisa yang cukup signifikan (Haigis, 2009). Pada penelitian ini, pasien menggunakan lensa intraokuler dengan kekuatan kurang dari D. Beberapa pasien dengan aksis bola mata yang sangat panjang bahkan harus menggunakan lensa intraokuler dengan kekuatan negatif, sementara konstanta yang digunakan tidak berubah. Hal inilah yang menyebabkan kurangnya akurasi dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler. Terzi melakukan penelitian pada 44 pasien miopia aksial yang menjalani operasi refractive lens exchange. Dengan menggunakan konstanta lensa standar yang dikeluarkan oleh pabrik, ternyata 95% pasien mengalami gangguan refraksi sisa pasca operasi dengan 8

9 lensa koreksi rata-rata sebesar ± 0.28 D. Setelah dilakukan perhitungan ulang dengan menggunakan konstanta yang telah dioptimalkan, gangguan refraksi sisa pasca operasi berkurang dengan penurunan nilai lensa koreksi, yaitu sebesar 0.18 ± 0.09 D (Terzi, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Petermeier terhadap 32 pasien miopia tinggi menunjukkan bahwa perhitungan kekuatan lensa intraokuler dengan menggunakan konstanta yang telah dioptimalkan dapat memperbaiki akurasi kekuatan lensa intraokuler. Gangguan refraksi sisa sebesar 1.0 ± 0.94 D dapat diturunkan menjadi 0.0 ± 0.92 D dengan menggunakan konstanta yang dioptimalkan (Petermeier, 2009). KESIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang akurasi kekuatan lensa intraokuler. Namun, sampel pada penelitian ini sangat terbatas, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan sebaran yang merata pada semua variabel. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang membandingkan akurasi kekuatan lensa intraokuler yang dihitung dengan menggunakan konstanta standar dan konstanta yang telah dioptimalisasi. 9

10 DAFTAR PUSTAKA Curtin B. & Karlin D. (1971). Axial length measurements and fundus changes of the myopic eye. American Journal Ophthalmology,71: Findl O. (2005). Biometry and intraocular lens power calculation. Current Opinion of Ophthalmology, 16: Haigis W. (2009). Intraocular lens calculation in extreme myopia. Journal Cataract Refractive Surgery, 35: MacLaren RE. (2005). Biometry accuracy using zero and negative powered intraocular lenses. Journal Cataract Refractive Surgery, 31: Nafees RE. (2010). Intraocular lens power calculation in patients with high axial myopia before cataract surgery. Saudi Journal of Ophthalmology, 24: Olsen T. (2007). Improved accuracy of intraocular lens power calculation with the Zeiss IOLMaster. Acta Ophthalmol Scand, 85: Olsen T. (1992). Sources of error in IOL power calculation. Journal Cataract Refractive Surgery, 18: Petermeier K. (2009). Intraocular lens power calculation and optimized constants for highly myopic eyes. Journal Cataract Refractive Surgery, 35: Terzi E. (2009), Accuracy of modern intraocular lens power calculation formulas in refractive lens exchange for high myopia and high hyperopia. Journal Cataract Refractive Surgery; 35: Tsang CS. (2003). Intraocular lens power calculation formulas in Chinese eyes with high axial myopia. Journal Cataract Refractive Surgery 29(7): Wang JK, Hu CY, Chang SW. (2008). Intraocular lens power calculation using the IOL master and various formulas in eyes with long axial length. Journal Cataract Refractive Surgery, 34: Zaldivar R, Shultz MC, Davidorf JM, Holladay JT. (2000). Intraocular lens power calculation in patients with extreme myopia. Journal Cataract Refractive Surgery, 26:

11 Tabel 1 Karakteristik umum sampel penelitian KARAKTERISTIK UMUM N (%) Pasien 45 (100.0%) Mata Kanan Kiri Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Panjang aksis bola mata Kelompok 1 (25 - <28 mm) Kelompok 2 (28 - <31 mm) Kelompok 3 (>31 mm) 26 (57.8%) 19 (42.2%) 20 (44.4%) 25 (55.6%) 15 (33.3%) 15 (33.3%) 15 (33.3%) Tabel 2 Kekuatan refraksi kornea pada berbagai kelompok panjang aksis bola mata pasien miopia aksial PANJANG AKSIS BOLA MATA KEKUATAN REFRAKSI KORNEA KELOMPOK 1 (25 - <28 mm) KELOMPOK 2 (28 - <31 mm) KELOMPOK 3 (>31 mm) N Mean Median Standar Deviation Range One-Way ANOVA, p=0.45 Tabel 3 Kekuatan lensa intraokuler pada berbagai kelompok panjang aksis bola mata pasien miopia aksial KEKUATAN LENSA PANJANG AKSIS BOLA MATA KELOMPOK 1 KELOMPOK 2 KELOMPOK 3 INTRAOKULER (25 - <28 mm) (28 - <31 mm) (>31 mm) N Mean Median Standar Deviation Range One-Way ANOVA, p=0.00 Post-hoc test Kelompok 3 (>31 mm) Kelompok 1 (25 - <28 mm) Kelompok 2 (28 - <31 mm) p=0.00 p=0.02 Kelompok 2 (28 - <31 mm) Kelompok 1 (25 - < 28 mm) p=

12 Tabel 4 Gangguan refraksi sisa pada berbagai kelompok panjang aksis bola mata pasien miopia aksial PANJANG AKSIS BOLA MATA GANGGUAN REFRAKSI SISA KELOMPOK 1 (25 - <28 mm) KELOMPOK 2 (28 - <31 mm) KELOMPOK 3 (>31 mm) N Mean Median Standar Deviation Range One-Way ANOVA, p=0.25 Tabel 5 Hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler berdasarkan status refraksi pasca operasi dengan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial PANJANG AKSIS BOLA MATA Kelompok 1 (25 - <28 mm) Kelompok 2 (28 - < 31 mm) Kelompok 3 (> 31 mm) TOTAL STATUS REFRAKSI EMETROPIA AMETROPIA TOTAL % 26.7% 100% % 46.7% 100% % 60.0% 100% % 44.4% 100% Pearson Chi-Square Test, p= 0.18 Tabel 6 Perbandingan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial yang dikukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound Biometry PANJANG AKSIS BOLA MATA JENIS ALAT UKUR BIOMETRY OPTICAL ULTRASOUND N Mean Median Standar Deviation Range Independent-Samples T Test, p=

13 Tabel 7 Perbandingan kekuatan lensa intraokuler pasien miopia aksial yang diukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound Biometry PANJANG AKSIS BOLA MATA JENIS ALAT UKUR BIOMETRY OPTICAL ULTRASOUND N Mean Median Standar Deviation Range Independent-Samples T Test, p=

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR.

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR. PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

KEAKURATAN TAJAM PENGLIHATAN HASIL BIOMETRI DENGAN HASIL KOREKSI KACAMATA BERDASARKAN AXIAL LENGTH

KEAKURATAN TAJAM PENGLIHATAN HASIL BIOMETRI DENGAN HASIL KOREKSI KACAMATA BERDASARKAN AXIAL LENGTH KEAKURATAN TAJAM PENGLIHATAN HASIL BIOMETRI DENGAN HASIL KOREKSI KACAMATA BERDASARKAN AXIAL LENGTH PADA PASIEN KATARAK SENILIS PASCAFAKOEMULSIFIKASI DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: ZAMILAH ASRUL

PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: ZAMILAH ASRUL PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2014 Oleh: ZAMILAH ASRUL 120100167 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang Ilmu Kesehatan Mata. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di klinik Instalasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 DEFINISI ANAK Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak, yang dimaksud anak menurut Undang-undang tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Definisi Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata

Lebih terperinci

REFRAKSI. Oleh : Dr. Agus Supartoto, SpM(K) / dr. R. Haryo Yudono, SpM.MSc

REFRAKSI. Oleh : Dr. Agus Supartoto, SpM(K) / dr. R. Haryo Yudono, SpM.MSc REFRAKSI Oleh : Dr. Agus Supartoto, SpM(K) / dr. R. Haryo Yudono, SpM.MSc REFRAKSI PENGANTAR Mata : Media refraksi Media refrakta Pilem : Retina Sifat bayangan retina? Kesadaran di otak? REFRAKSI PADA

Lebih terperinci

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Lampiran 2. LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Selamat pagi/siang Bapak/ Ibu, saya dr. Wina Fuad Lubis akan melakukan penelitian yang berjudul Perbandingan Keratometri sebelum dan Setelah

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2012 31 DESEMBER 2012 Jason Alim Sanjaya, 2014, Pembimbing I : July Ivone, dr.,m.k.k.,mpd.ked.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Miopia dapat terjadi karena ukuran aksis bola mata relatif panjang dan disebut

BAB I PENDAHULUAN. Miopia dapat terjadi karena ukuran aksis bola mata relatif panjang dan disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi di mana sinar-sinar sejajar garis pandang pada keadaan mata tidak berakomodasi difokuskan di depan retina. Miopia dapat

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MIOPIA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO ANGKATAN

FAKTOR RISIKO MIOPIA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO ANGKATAN FAKTOR RISIKO MIOPIA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO ANGKATAN 2011-2014 LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015. 39 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULER (TIO) ANTARA MATA MIOPIA DAN MATA EMETROPIA PADA MAHASISWA KEDOKTERAN UNS SKRIPSI

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULER (TIO) ANTARA MATA MIOPIA DAN MATA EMETROPIA PADA MAHASISWA KEDOKTERAN UNS SKRIPSI PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULER (TIO) ANTARA MATA MIOPIA DAN MATA EMETROPIA PADA MAHASISWA KEDOKTERAN UNS SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PUTRI NUR KUMALASARI G0012167

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 KERANGKA TEORI II.1.1 DEFINISI Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan

Lebih terperinci

JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.1 : ISSN

JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.1 : ISSN JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.1 : 66 73 ISSN 2252-5416 ASTIGMAT KORNEA ANTERIOR SETELAH FAKOEMULSIFIKASI DENGAN INSISI KORNEA TEMPORAL UKURAN 2,75 MILIMETER PADA PENDERITA KATARAK Anterior Corneal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelainan refraksi 2.1.1 Definisi kelainan refraksi Kelainan refraksi merupakan suatu keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (makula retina atau bintik kuning)

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ANAK DI SDN CEMARA DUA SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ANAK DI SDN CEMARA DUA SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ANAK DI SDN CEMARA DUA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran WAHYU APRILLIA G0010194 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN MIOPIA TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN MIOPIA TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN MIOPIA TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran Pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya

BAB I PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak adalah setiap keeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya yang disebabkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat praktek dokter (Harsono, 2005). Nyeri kepala dideskripsikan sebagai rasa sakit atau rasa tidak

Lebih terperinci

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS TANPA MIOPIA DENGAN MIOPIA DERAJAT TINGGI

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS TANPA MIOPIA DENGAN MIOPIA DERAJAT TINGGI PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS TANPA MIOPIA DENGAN MIOPIA DERAJAT TINGGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti

Lebih terperinci

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS Tujuan Pemeriksaan: 1. Menentukan jenis lensa bantu yang memberikan penglihatan paling jelas untuk mengkoreksi kelainan refraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak yang kedua orang tuanya menderita miopia. 11,12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak yang kedua orang tuanya menderita miopia. 11,12 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI MIOPIA Miopia merupakan gangguan tajam penglihatan, dimana sinar-sinar sejajar dengan garis pandang tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan retina. Miopia terjadi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Mata.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Mata. 23 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Mata. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP dr. Kariadi,

Lebih terperinci

Correlation between Axial Length with Central Corneal Thickness and Degree of Myopia

Correlation between Axial Length with Central Corneal Thickness and Degree of Myopia 296 Ophthalmol Ina 2016;42(3):296-300 ORIGINAL ARTICLE Correlation between Axial Length with Central Corneal Thickness and Degree of Myopia Riska Andriani, Eddyanto Department of Ophthalmology, Faculty

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari sebuah benda difokuskan di depan retina pada saat mata dalam keadaan tidak berakomodasi

Lebih terperinci

HANG TUAH MEDICAL JOURNAL

HANG TUAH MEDICAL JOURNAL HANG TUAH MEDICAL JOURNAL http://journal-medical.hangtuah.ac.id/ Hubungan Lama Membaca dan Menggunakan Komputer Dengan Ametropia pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Hang Tuah Semester VII Tahun Ajaran

Lebih terperinci

Perbedaan Efektivitas Antara Kacamata dan Soft lens TerhadapProgesivitas Derajat Miop.

Perbedaan Efektivitas Antara Kacamata dan Soft lens TerhadapProgesivitas Derajat Miop. Perbedaan Efektivitas Antara Kacamata dan Soft lens TerhadapProgesivitas Derajat Miop. Effectiveness of Spectacles and Soft lens in Myopia Progession Linda Setiasih 1, Yunani Setyandriana Sp.M 2, 1 Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik (kategorik-numerik) tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional yang pengamatannya

Lebih terperinci

HUBUNGAN MIOPIA YANG TIDAK DIKOREKSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA-SISWI KELAS 5-6 DI SDN DHARMAWANITA, MEDAN.

HUBUNGAN MIOPIA YANG TIDAK DIKOREKSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA-SISWI KELAS 5-6 DI SDN DHARMAWANITA, MEDAN. HUBUNGAN MIOPIA YANG TIDAK DIKOREKSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA-SISWI KELAS 5-6 DI SDN DHARMAWANITA, MEDAN Oleh: RIA AMELIA 100100230 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 HUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata merupakan organ sensoris yang sangat vital. Delapan puluh persen informasi diperoleh dari penglihatan

Lebih terperinci

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi tugas dan Melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi tugas dan Melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCA OPERASI KATARAK SENILIS DI RSUP. DR. KARIADI SEMARANG PERIODE 1 JANUARI 2007-31 DESEMBER 2007 (Antara Operator Dokter Spesialis Mata dan Calon Dokter Spesialis Mata Tahap

Lebih terperinci

Additional Intraocular Surgery after Pediatric Cataract Surgery

Additional Intraocular Surgery after Pediatric Cataract Surgery 294 Original Article Additional Intraocular Surgery after Pediatric Cataract Surgery Mario R Papilaya, Feti K Memed, Andrew M Knoch Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Padjadjaran University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat menghambat cahaya masuk ke mata. Menurut WHO, kebanyakan katarak terkait dengan masalah penuaan, meskipun kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu sebesar 51% (WHO, 2012). Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1%/tahun atau setiap

Lebih terperinci

Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Derajat Kelainan Refraksi pada Anak di RS Mata Cicendo Bandung

Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Derajat Kelainan Refraksi pada Anak di RS Mata Cicendo Bandung Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Derajat Kelainan Refraksi pada Anak di RS Mata Cicendo Bandung 1 Della Ihsanti, 2 Suganda Tanuwidjaja, 3 Titik Respati

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PRA DAN PASCAOPERASI KATARAK PADA PASIEN GLAUKOMA AKIBAT KATARAK DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PRA DAN PASCAOPERASI KATARAK PADA PASIEN GLAUKOMA AKIBAT KATARAK DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PRA DAN PASCAOPERASI KATARAK PADA PASIEN GLAUKOMA AKIBAT KATARAK DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NISAUL AMALIA RAHMAWATI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah observasional analitik yaitu penelitian yang menjelaskan

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah observasional analitik yaitu penelitian yang menjelaskan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian hubungan gangguan tidur dengan terjadinya miopia pada anak merupakan jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar pengetahuan tentang dunia disekeliling kita didapat melalui mata. Sekitar 95% informasi yang diterima otak,

Lebih terperinci

SKRIPSI PROFIL KATARAK SENILE PRE-OPERATIF DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE BULAN NOVEMBER 2014 SAMPAI DENGAN APRIL 2015

SKRIPSI PROFIL KATARAK SENILE PRE-OPERATIF DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE BULAN NOVEMBER 2014 SAMPAI DENGAN APRIL 2015 SKRIPSI PROFIL KATARAK SENILE PRE-OPERATIF DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE BULAN NOVEMBER 2014 SAMPAI DENGAN APRIL 2015 Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Katolik Widya Mandala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul lensa. katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan diseluruh dunia. Oleh karena itu, terjadi pergeseran paradigma oftalmologi dari rehabilitasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa kristalin mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di indonesia maupun di dunia. Perkiraan

Lebih terperinci

Hubungan Derajat Miopia Dengan Kejadian Degenerasi Lattice Nuraniar Bariq Kinayoh 1 Nur Khoma Fatmawati 1 1

Hubungan Derajat Miopia Dengan Kejadian Degenerasi Lattice Nuraniar Bariq Kinayoh 1 Nur Khoma Fatmawati 1 1 Hubungan Derajat Miopia Dengan Kejadian Degenerasi Lattice Nuraniar Bariq Kinayoh 1 Nur Khoma Fatmawati 1 1, Sulistiawati 1 Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda Abstrak Degenerasi lattice

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin

BAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan

Lebih terperinci

PELATIHAN KESEHATAN MATA UNTIJK GURU-GURU UKS SEKOLAH DASAR SE-KECA]W{TAN PADANG TIMUR

PELATIHAN KESEHATAN MATA UNTIJK GURU-GURU UKS SEKOLAH DASAR SE-KECA]W{TAN PADANG TIMUR USUL PROGRAM PENERAPAN IPTEKS PELATIHAN KESEHATAN MATA UNTIJK GURU-GURU UKS SEKOLAH DASAR SE-KECA]W{TAN PADANG TIMUR Oleh: Ketua: dr. Yaskur Syarif SpM Anggota: dr. Getry Sukmawati, SpM Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama, yaitu high contrast acuity atau tajam penglihatan, sensitivitas terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama, yaitu high contrast acuity atau tajam penglihatan, sensitivitas terhadap 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tajam Penglihatan Fungsi penglihatan mata dapat dikarakterisasikan dalam lima fungsi utama, yaitu high contrast acuity atau tajam penglihatan, sensitivitas terhadap kontras,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak menurut American Academy of Ophtamology (AAO) adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa sehingga cahaya tidak bisa difokuskan dengan tepat kepada retina.

Lebih terperinci

Pengukuran Tekanan Intraokular pada Mata Normal Dibandingkan dengan Mata Penderita Miop sebagai Faktor Risiko Glaukoma

Pengukuran Tekanan Intraokular pada Mata Normal Dibandingkan dengan Mata Penderita Miop sebagai Faktor Risiko Glaukoma ARTIKEL PENELITIAN Mutiara Medika Vol. 11 No. 3: 189-194, September 2011 Pengukuran Tekanan Intraokular pada Mata Normal Dibandingkan dengan Mata Penderita Miop sebagai Faktor Risiko Glaukoma Measurement

Lebih terperinci

GAMBARAN DESKRIPTIF PASIEN KELAINAN REFRAKSI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE JANUARI- JUNI 2015 SKRIPSI

GAMBARAN DESKRIPTIF PASIEN KELAINAN REFRAKSI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE JANUARI- JUNI 2015 SKRIPSI GAMBARAN DESKRIPTIF PASIEN KELAINAN REFRAKSI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE JANUARI- JUNI 2015 SKRIPSI Oleh: Nama : Audrey Fedora Irawan NRP : 1523012037 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa terdapat lebih dari 50 juta orang buta di dunia saat ini dan hampir 90%-nya berada di negara berkembang,

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN MIOPI PADA MURID SMA NEGERI 3 BANDA ACEH

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN MIOPI PADA MURID SMA NEGERI 3 BANDA ACEH SEMDI UNAYA-2017, 515-523 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN MIOPI PADA MURID SMA NEGERI 3 BANDA ACEH Meri Lidiawati Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Abulyatama,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. paparan masing masing subjek kasus dan kontrol. Penelitian ini merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. paparan masing masing subjek kasus dan kontrol. Penelitian ini merupakan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian case control dimana peneliti menggunakan kasus yang sudah ada dan memilih kontrol (non kasus) yang sebanding.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Mata adalah panca indera penting yang perlu. pemeriksaan dan perawatan secara teratur.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Mata adalah panca indera penting yang perlu. pemeriksaan dan perawatan secara teratur. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Mata adalah panca indera penting yang perlu pemeriksaan dan perawatan secara teratur. Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada anak 2,5-5

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA ANAK MIOPIA DAN EMMETROPIA DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh AMELIA RIZAR NIM.

PERBANDINGAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA ANAK MIOPIA DAN EMMETROPIA DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh AMELIA RIZAR NIM. PERBANDINGAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA ANAK MIOPIA DAN EMMETROPIA DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2014 TESIS Oleh AMELIA RIZAR NIM. 117110002 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Kata Kunci: Katarak, Diabetes Mellitus, Riwayat Trauma Mata, Konsumsi Minuman Beralkohol, Pekerjaan

Kata Kunci: Katarak, Diabetes Mellitus, Riwayat Trauma Mata, Konsumsi Minuman Beralkohol, Pekerjaan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KATARAK DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT (BKMM) PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2014 Meisye S. Hanok*, Budi T. Ratag*, Reiny A. Tumbol** *Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinarsinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan dibiaskan

Lebih terperinci

LATIHAN SPSS I. A. Entri Data

LATIHAN SPSS I. A. Entri Data A. Entri Data LATIHAN SPSS I Variabel Name Label Type Nama Nama Mahasiswa String NIM Nomor Induk Mahasiswa String JK Numeris 1. 2. TglLahir Tanggal Lahir Date da Daerah Asal Numeris 1. Perkotaan 2. Pinggiran

Lebih terperinci

Hubungan Kebiasaan Melihat Dekat dengan Miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sahara Miranda* Elman Boy**

Hubungan Kebiasaan Melihat Dekat dengan Miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sahara Miranda* Elman Boy** Artikel Penelitian Hubungan Kebiasaan Melihat Dekat dengan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Sahara Miranda* Elman Boy** *Program Profesi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).:

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).: MIOPIA A. Definisi Miopia merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki m ata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak

Lebih terperinci

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu: BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. KERANGKA TEORI Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu: 1. Miopia 2. Hipermetropia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya permainan audiovisual yang sering disebut dengan video game.

BAB I PENDAHULUAN. adanya permainan audiovisual yang sering disebut dengan video game. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi saat ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Salah satu aspek perkembangan teknologi ini ditandai dengan adanya permainan audiovisual

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Data Penelitian Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 di bagian rekam medis RSUD Dr. Moewardi. Populasi subyek pada penelitian ini adalah seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anatomi organ penglihatan Gambar 2.1. Anatomi bola mata Mata merupakan sebuah bola yang berisi cairan dengan diameter kurang lebih 24 mm. 8 Secara garis besar

Lebih terperinci

HUBUNGAN KURVATURA KORNEA DAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA PENDERITA MIOPIA ANAK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS

HUBUNGAN KURVATURA KORNEA DAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA PENDERITA MIOPIA ANAK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS 1 HUBUNGAN KURVATURA KORNEA DAN PANJANG SUMBU BOLA MATA PADA PENDERITA MIOPIA ANAK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh : SRI ULINA GINTING NIM : 127041027 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 DEFINISI Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinarsinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dibiaskan

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Kacamata Koreksi pada Penderita Miopia terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 34 Surabaya

Pengaruh Pemberian Kacamata Koreksi pada Penderita Miopia terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 34 Surabaya Pengaruh Pemberian Kacamata Koreksi pada Penderita Miopia terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 34 Surabaya Syafi in dan Arief Wibowo Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR

Lebih terperinci

HUBUNGAN KELAINAN REFRAKSI DENGAN PRESTASI AKADEMIK DAN POLA KEBIASAAN MEMBACA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

HUBUNGAN KELAINAN REFRAKSI DENGAN PRESTASI AKADEMIK DAN POLA KEBIASAAN MEMBACA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU HUBUNGAN KELAINAN REFRAKSI DENGAN PRESTASI AKADEMIK DAN POLA KEBIASAAN MEMBACA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU Elda Nazriati Dan Chandra Wijaya (Department Of Physiology, Medical Faculty

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh : Nuruljannah Nazurah Gomes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh : Nuruljannah Nazurah Gomes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara Hubungan Faktor Usia, Jenis Kelamin dan Diabetes Mellitus dengan Kejadian Katarak pada Pasien Rawat Jalan Bagian Ilmu Kesehatan Mata di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012 KARYA TULIS ILMIAH Oleh : Nuruljannah

Lebih terperinci

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER O P T I K dan REFRAKSI SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SINAR MATA (Organ Penglihatan) KORNEA + 43 D B M D Media optik PUPIL LENSA + 20 D MEDIA REFRAKSI BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat dalam berbagai kondisi patologis seperti

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA Tesis Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Dokter Spesialis Mata Oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai hasil penelitian mengenai cara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai hasil penelitian mengenai cara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai hasil penelitian mengenai cara atasan memimpin dan kinerja bawahan yang meliputi hasil penelitian data, hasil pembahasan penelitian yang

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK.

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK. GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK 1 Valeria Legoh 2 J.S.M Saerang 2 Laya Rares 1 Kandidat Skripsi Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA MADE INTAN SHANTIVANI

UNIVERSITAS UDAYANA MADE INTAN SHANTIVANI UNIVERSITAS UDAYANA ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN MADE INTAN SHANTIVANI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer

Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer ARTIKEL PENELITIAN Mutiara Medika Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer Abstrak Fitri Permatasari 1, Yunani

Lebih terperinci

KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2003

KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2003 KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI 2002-31 DESEMBER 2003 ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan dalam Menempuh

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA BERKACAMATA TENTANG KELAINAN REFRAKSI DI SMA NEGERI 3 MEDAN TAHUN Oleh : RAHILA

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA BERKACAMATA TENTANG KELAINAN REFRAKSI DI SMA NEGERI 3 MEDAN TAHUN Oleh : RAHILA GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA BERKACAMATA TENTANG KELAINAN REFRAKSI DI SMA NEGERI 3 MEDAN TAHUN 2010 Oleh : RAHILA 070100129 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 GAMBARAN PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Hubungan Lama Aktivitas Membaca dengan Derajat Miopia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter FK Unand Angkatan 2010

Hubungan Lama Aktivitas Membaca dengan Derajat Miopia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter FK Unand Angkatan 2010 429 Artikel Penelitian Hubungan Lama Aktivitas Membaca dengan Derajat Miopia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter FK Unand Angkatan 2010 Mutia Maulud Fauziah 1, M. Hidayat 2, Julizar 3 Abstrak Miopia adalah

Lebih terperinci

Pemilihan sampel. Pengajuan informed consent. Pengisian kuesioner. Pengukuran volume saliva menggunakan timbangan digital.

Pemilihan sampel. Pengajuan informed consent. Pengisian kuesioner. Pengukuran volume saliva menggunakan timbangan digital. Lampiran 1 Skema Alur Penelitian Pemilihan sampel Pengajuan informed consent Pengisian kuesioner Pengumpuan saliva dengan metode spitting untuk mengetahui ada tidaknya saliva Pengukuran volume saliva menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan satu mata. Ruang pandang penglihatan yang lebih luas, visus mata yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan satu mata. Ruang pandang penglihatan yang lebih luas, visus mata yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penglihatan binokuler adalah penglihatan menggunakan kedua mata. Penglihatan binokuler mempunyai banyak keunggulan dibandingkan penglihatan dengan satu mata. Ruang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan merupakan indra yang sangat penting dalam menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan merupakan indra yang sangat penting dalam menentukan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penglihatan merupakan indra yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Indra penglihatan tersebut adalah mata. Tanpa mata, manusia mungkin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tepat di retina (Mansjoer, 2002). sudah menyatu sebelum sampai ke retina (Schmid, 2010). Titik fokus

TINJAUAN PUSTAKA. tepat di retina (Mansjoer, 2002). sudah menyatu sebelum sampai ke retina (Schmid, 2010). Titik fokus BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Miopia a. Definisi Miopia merupakan mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga

Lebih terperinci

TESIS. Oleh : SERLY INDAH PUSPITASARI NIM

TESIS. Oleh : SERLY INDAH PUSPITASARI NIM PERBANDINGAN HASIL KOREKSI PEMERIKSAAN SUBJEKTIF (TRIAL AND ERROR) DENGAN PEMERIKSAAN OBJEKTIF (STREAK RETINOSKOPI) TANPA SIKLOPLEGIK PADA PENDERITA MIOPIA TESIS Oleh : SERLY INDAH PUSPITASARI NIM. 127041024

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Pelayanan Kesehatan Peran PMO : - Pengetahuan - Sikap - Perilaku Kesembuhan Penderita TB Paru Gambar 3.1 Kerangka Konsep B. Hipotesis 1. Terdapat hubungan pengetahuan

Lebih terperinci

KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI BLU RSU PROF. Dr. R.D. KANDOU

KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI BLU RSU PROF. Dr. R.D. KANDOU Jurnal e-clinic (ecl), Volume, Nomor, Juli 014 KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI BLU RSU PROF. Dr. R.D. KANDOU 1 Richard Simon Ratanna Laya M. Rares 3 J. S. M. Saerang 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULER PADA TERAPI TIMOLOL MALEAT DAN DORSOLAMID PASIEN GLAUKOMA. Jurnal Media Medika Muda

PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULER PADA TERAPI TIMOLOL MALEAT DAN DORSOLAMID PASIEN GLAUKOMA. Jurnal Media Medika Muda PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULER PADA TERAPI TIMOLOL MALEAT DAN DORSOLAMID PASIEN GLAUKOMA Jurnal Media Medika Muda Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Strata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Gaya Hidup a. Definisi Gaya Hidup atau lifestyle adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu: BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. KERANGKA TEORI Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu: 1. Miopia 2. Hipermetropia

Lebih terperinci

Copyright 2005 by Medical Faculty of Diponegoro University ARTIKEL ASLI

Copyright 2005 by Medical Faculty of Diponegoro University ARTIKEL ASLI Copyright 2005 by Medical Faculty of Diponegoro University Nomor 4 Januari Maret 2010 ARTIKEL ASLI KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG PERIODE 1 JANUARI 2002-31 DESEMBER

Lebih terperinci

REFRAKSI dan KELAINAN REFRAKSI. Prof. Dr. H. Sidarta Ilyas SpM Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 6/12/2012 1

REFRAKSI dan KELAINAN REFRAKSI. Prof. Dr. H. Sidarta Ilyas SpM Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 6/12/2012 1 REFRAKSI dan KELAINAN REFRAKSI Prof. Dr. H. Sidarta Ilyas SpM Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 6/12/2012 1 Media penglihatan kornea lensa badan kaca retina selaput jala ( serabut penerus ) 6/12/2012

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. secara cross-sectional. Cross-sectional yaitu penelitian yang mempelajari

BAB III METODE PENELITIAN. secara cross-sectional. Cross-sectional yaitu penelitian yang mempelajari BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental yang merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian yang dilakukan secara cross-sectional.

Lebih terperinci

Tatalaksana Miopia 1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting.

Tatalaksana Miopia 1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting. Tatalaksana Miopia 1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting. Meskipun banyak pasien miopia tinggi menggunakan lensa kontak,

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN HIPERMETROPIA DI POLIKLINIK MATA RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2009

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN HIPERMETROPIA DI POLIKLINIK MATA RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2009 Jurnal Teknobiologi, 1(1) 2010: 01-06 ISSN : 2087-5428 HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN HIPERMETROPIA DI POLIKLINIK MATA RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2009 Laode

Lebih terperinci

SOP KATARAK. Halaman 1 dari 7. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon SMF. Ditetapkan Oleh Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon.

SOP KATARAK. Halaman 1 dari 7. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon SMF. Ditetapkan Oleh Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon. SPO Tanggal Terbit 1 dari 7 Ditetapkan Oleh Direktur PENGERTIAN ANAMNENIS Dr. H. Zainoel Arifin, M. Kes Nip. 19591104 198511 1 001 Pemeriksaan gangguan penglihatan yang disebabkan perubahan lensa mata

Lebih terperinci

KEHAMILAN NORMAL DENGAN PREEKLAMSI BERAT SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TEKANAN DARAH DAN DERAJAT PROTEINURIA

KEHAMILAN NORMAL DENGAN PREEKLAMSI BERAT SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TEKANAN DARAH DAN DERAJAT PROTEINURIA PERBANDINGAN KADAR SOLUBLE fms-like TYROSINE KINASE 1 (sflt1) SERUM KEHAMILAN NORMAL DENGAN PREEKLAMSI BERAT SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TEKANAN DARAH DAN DERAJAT PROTEINURIA Amillia Siddiq, Johanes C.Mose,

Lebih terperinci

CLINICAL SCIENCE SESSION MIOPIA. Preseptor : Erwin Iskandar, dr., SpM(K)., Mkes.

CLINICAL SCIENCE SESSION MIOPIA. Preseptor : Erwin Iskandar, dr., SpM(K)., Mkes. CLINICAL SCIENCE SESSION MIOPIA Preseptor : Erwin Iskandar, dr., SpM(K)., Mkes. Oleh : Yoga Yandika 1301-1209-0053 R. Ayu Hardianti Saputri 1301-1209-0147 Amer Halimin 1301-1006-3016 BAGIAN ILMU PENYAKIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, dan biasanya berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan

Lebih terperinci