BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)"

Transkripsi

1 BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) II.1 Radar Radar (Radio Detection and Ranging) adalah salah satu sistem penginderaan jauh (inderaja) yang tidak dipengaruhi oleh cuaca dan waktu dalam proses pekerjaannya karena merupakan metode perekaman aktif, dimana sensor pada radar ini merekam energinya sendiri yang dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi, jadi tidak tergantung pada radiasi matahari. Prinsip dasar radar adalah memancarkan gelombang radio dan dipantulkan kembali oleh obyek di permukaan bumi tersebut. Gelombang pantulan inilah yang direkam oleh sensor dan diolah menjadi citra. Citra dapat terbentuk karena gelombang yang dipantulkan mempunyai intensitas yang berbeda, tergantung dari sudut pantul obyek. Dalam perkembangan teknologi dan semakin beragamnya aplikasi yang menggunakan radar, gelombang yang digunakan radar pun meningkat menuju gelombang yang mempunyai frekuensi lebih tinggi dengan panjang gelombang yang makin panjang yaitu gelombang mikro. Sistem radar diklasifikasikan menjadi radar untuk pencitraan (imaging radar) dan bukan untuk pencitraan (non imaging). Suatu pencitraan akan membentuk gambar dari pengamatan obyek atau area. Pencitraan ini biasanya digunakan untuk memetakan bumi, planet-planet lainnya, asteroid, obyek langit lainnya, dan untuk keperluan militer. Sedangkan pada umumnya implementasi suatu sistem non imaging radar adalah untuk mengukur kecepatan dan ketinggian, biasa juga disebut scatterometers karena sistem ini mengukur sifat pemencaran dari obyek atau area yang diamati. 5

2 Dalam studi ini, penulis hanya akan membahas mengenai pencitraan saja khususnya dengan metode Radar Apertur Sintetik Interferometri (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) dimana dua citra untuk area yang sama dicitrakan dari posisi yang berbeda baik pada saat yang sama atau saat yang berbeda, sehingga akan terjadi interferensi antar sinyal pantulnya. II.1.1 Panjang Gelombang dan Frekuensi Setiap panjang gelombang mempengaruhi penetrasi gelombang ke obyek, bentuk, dan ukuran dari obyek yang akan dicitrakan. Bila rentang gelombang yang digunakan terlalu panjang atau terlalu pendek, maka hal ini akan mempengaruhi citra yang didapat. Cakupan gelombang mikro dari spektrum elektromagnetik (Electromagnetic Spectrum - EMS) cukup besar dan ada beberapa rentang panjang gelombang yang biasa digunakan untuk pencitraan dengan radar. Gambar II.1 Spektrum Elektromagnetik (Sumber: Beberapa jenis panjang gelombang dikelompokkan menjadi beberapa band yang berada pada spektrum elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik (gambar II.1) 6

3 ini menggambarkan pembagian jenis gelombang harmonik yang menjalar di ruang hampa udara. Radar sendiri menggunakan energi elektromagnetik dengan frekuensi 0,3 40 GHz dan panjang gelombang 0,7 cm 100 cm. Hanya beberapa band saja yang dapat digunakan untuk pencitraan karena adanya perbedaan interaksi dengan atmosfir dan permukaan bumi pada setiap panjang gelombang. Besar panjang gelombang yang digunakan oleh radar tergantung dari jenis aplikasi apa yang akan dikerjakan (tabel II.1). Tabel II.1 Deskripsi Band pada Radar Rentang Panjang Panjang Gelombang Frekuensi Gelombang (Band) (cm) (GHz) Ka 0,75 1, K 1,1 1, Ku 1,67 2, X 2,4 3, C 3,75 7,5 4 8 S 7, L P ,3 Keterangan Gelombang pendek yang saat ini sudah jarang digunakan. Banyak digunakan untuk satelit komunikasi Gelombang yang biasa digunakan untuk satelit komunikasi. Lebih sensitif dan dapat mendeteksi partikel yang lebih kecil. Dapat menembus sampai permukaan kanopi vegetasi atau pohon. Biasa digunakan pada sistem airborne dan spaceborne. Digunakan pada Satelit ALMAZ milik Rusia. Tidak menyentuh struktur tanah dan dapat membedakan antara area hutan lebat dengan hutan yang sudah terbabat. Penetrasi sampai permukaan bumi. Band yang biasa digunakan untuk pencitraan oleh radar hanya band X, C, L, dan P. Selain band tersebut, biasanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan satelit komunikasi baik televisi ataupun penyiaran radio. 7

4 II.1.2 Geometri Pencitraan Radar Pada sistem radar, pencitraan dilakukan ke arah samping relatif terhadap arah terbang. Faktor-faktor geometri pada pencitraan radar, yaitu: a. Incidence angle (φ) sudut antara arah pancaran gelombang radar dengan arah vertikal b. Depression angle (θ) sudut yang dibentuk dari arah horisontal (sejajar arah range) ke garis pancaran gelombang radar. c. Look direction arah antena pada saat pencitraan. Bentuk geometri pencitraan radar dapat dilihat pada gambar II.2 berikut ini: Gambar II.2 Geometri Pencitraan Radar Keterangan: φ = incidence angle NR = near range θ = depression angle FR = far range γ = grazing angle h = tinggi terbang r = slant range II.1.3 Metode Pencitraan Radar Konsep dasar pencitraan dengan sistem radar adalah dengan pemancaran gelombang radio ke arah miring hingga gelombang tersebut mengenai obyek di permukaan bumi yang akan dicitrakan dan memantulkannya kembali ke sensor. 8

5 Pengukuran jarak oleh sistem radar adalah dengan mengukur selang waktu yang diperlukan gelombang selama perjalanan dari mulai dpancarkan, dipantulkan, dan akhirnya diterima kembali oleh sistem radar. Jarak antara sensor dengan obyek yang dicitrakan dapat ditentukan melalui hubungan sebagai berikut: c.t s = (2.1) 2 Keterangan: s = jarak sensor ke obyek c = kecepatan cahaya ( m.s -1 ) t = waktu tempuh gelombang Setelah sampai di permukaan bumi, pulsa gelombang akan dipancarkan ke segala arah dan sebagian pantulannya tersebut akan diterima kembali oleh sensor. Intensitas dari gelombang pantul ini sangat lemah bila dibandingkan pada saat gelombang dipancarkan. Kekasaran permukaan obyek dan relief topografi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap intensitas gelombang pantul tersebut. Lihat gambar II.3. Gambar II.3 Pencitraan dengan Radar pada Permukaan yang Berbeda II.1.4 Distorsi Topografi Citra Radar Distorsi topografi citra radar pada dasarnya terjadi akibat dari arah pencitraan radar yang ke samping. Ada beberapa jenis distorsi topografi citra radar, yaitu: a. Pemendekan (Foreshortening) 9

6 Pemendekan merupakan pemendekan pada proyeksi target pada citra bila dibandingkan dengan panjang sebenarnya. Gambar II.4 Pemendekan b. Pembalikan (Layover) Pembalikan adalah distorsi topografi citra radar dimana titik atau target yang seharusnya lebih jauh menjadi lebih dekat dengan sensor. Hal ini dapat terjadi karena bagian target yang lebih tinggi akan memantulkan energi lebih awal bila dibandingkan dengan pantulan energi dari dasar target. Distorsi ini kemungkinan besar terjadi pada arah range terdekat (near range). Gambar II.5 Pembalikan c. Bayangan (Shadow) Bayangan terjadi bila ada permukaan yang tidak terkena pancaran energi dari sensor karena terhalang oleh obyek lain, sehingga akan tampak sebagai daerah yang hitam karena tidak ada energi pantul yang diterima oleh sensor. 10

7 Gambar II.6 Bayangan II.1.5 Resolusi Spasial Citra Radar Setiap sistem radar mempunyai resolusi spasial dalam sistem pencitraannya. Resolusi adalah kemampuan suatu sistem untuk membedakan dua obyek dalam satu citra (Sabins, 1978). Resolusi dalam arah melintang lintasan (range resolution) dan searah lintasan (azimuth resolution) ditentukan oleh kemampuan dan karakterstik dari sistem radar tersebut. a). Resolusi Melintang Lintasan (R r ) Resolusi spasial pada arah melintang adalah resolusi yang tegak lurus arah terbang. Resolusi ini ditentukan oleh durasi atau panjang pulsa yang dipancarkan. Pada sistem SLAR (Side Looking Airborne Radar), untuk dapat merekam dua obyek secara terpisah namun berdekatan pada arah melintang lintasan, gelombang yang dipantulkan dari dua obyek tersebut harus diterima antena secara terpisah. Resolusi melintang lintasan dapat ditentukan melalui persamaan: c. τ R r = (2.2) 2.sinϕ dimana: c = kecepatan cahaya = m.s -1 τ = panjang pulsa (μs) φ = incidence angle 11

8 b). Resolusi Searah Lintasan (R a ) Resolusi searah lintasan merupakan resolusi pada arah yang sejajar dengan arah terbang. Dua titik dapat dibedakan sepanjang arah lintsan hanya jika mereka tidak diindera secara simultan. Untuk membedakan dua obyek secara terpisah, harus dipisahkan pada arah azimuth oleh jarak yang lebih besar dibandingkan dengan lebar pancaran di permukaan bumi. Resolusi searah lintasan ini memenuhi persamaan (Ismullah, 2002): R a dimana: r = jarak miring (slant range) h = tinggi λ = panjang gelombang d = panjang antena h λ λ =. = r. (2.3) cosϕ d d Dari persamaan (2.3), dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan resolusi tinggi, maka harus digunakan antena yang lebih panjang dan memperkecil tinggi terbang. II.2 Real Aperture Radar RAR RAR merupakan suatu sistem pencitraan dengan radar yang menggunakan antena sebenarnya, dengan kata lain resolusi spasial citra radar akan sebanding dengan panjang antena yang digunakan. Pada persamaan (2.3), dapat dilihat bahwa resolusi searah lintasan merupakan fungsi dari panjang antena, panjang gelombang, dan jarak miring. Jadi untuk meningkatkan resolusi searah lintasan adalah dengan cara memperpendek jarak miring, memperpanjang antena, dan menggunakan panjang gelombang yang lebih pendek. Dari pernyataan di atas, RAR mempunyai masalah untuk pencapaian resolusi searah lintasan yang baik, khususnya bila melalui wahana satelit, karena sangat bergantung pada jarak dari sensor ke target. Jika digunakan wahana pesawat 12

9 terbang, untuk mendapatkan resolusi spasial sebesar 25 meter, λ = 0,5 m, φ = 50, dan h = 5000 m, maka diperlukan antena sepanjang 156 m. Panjang antena tersebut akan sangat sulit untuk dipasang pada pesawat terbang. Selain itu juga terdapat parameter panjang pulsa untuk menentukan resolusi melintang lintasan. Panjang pulsa merupakan waktu yang diperlukan pulsa dari satu pulsa ke pulsa berikutnya. Bila digunakan φ = 50 dan τ = 0.1 μs, maka resolusi melintang lintasannya akan sebesar 19,58 m, artinya dua obyek yang berjarak kurang dari 19,58 m tidak bisa dibedakan. Masalah ini dapat diatasi dengan cara memendekkan pulsa, yang nantinya akan mencapai resolusi melintang lintasan yang lebih baik, namun hal ini akan mengakibatkan lemahnya intensitas energi gelombang radar yang berpengaruh pada penetrasinya. Banyaknya keterbatasan pada sistem RAR menyebabkan ketidakefektifan dalam penggunaan sistem RAR ini, oleh karena itu lahirlah sistem SAR. II.3 Radar Apertur Sintetik (Synthetic Aperture Radar - SAR) Sistem SAR ini lahir untuk mengatasi keterbatasan dari sistem RAR, yaitu penggunaan antena pada RAR yang semakin panjang untuk mendapatkan resolusi spasial citra yang semakin tinggi. SAR menggunakan Prinsip Doppler pada perambatan gelombang radio dengan frekuensi tertentu. Prinsip Doppler ini mengacu pada perubahan frekuensi atau panjang gelombang yang dihasilkan dari pergerakan relatif antara sensor dan target. Pada gambar II.7 panjang antena buatan (sintetik) pada SAR adalah D. Pada sistem SAR dimungkinkan untuk mendapatkan resolusi spasial lebih tinggi, khususnya untuk resolusi searah lintasan. Dari geometri pada gambar II.7, panjang D dinyatakan sebagai berikut: D = L.β (2.4) 13

10 D lintasan pesawat β panjang antena riil (d) L D D Gambar II.7 Pencitraan dengan SAR (Ismullah, 2002) Pada sistem SAR, gelombang tidak akan terdeteksi secara bersamaan. Antena kecil pada wahana akan bergerak di sepanjang lintasan, sinyal yang diterima di setiap posisi akan direkam, lalu dikombinasikan dengan sistem pengolahan data. Dengan menggunakan Prinsip Doppler, hasil citra untuk setiap obyek akan berbeda tanpa memiliki antena yang panjang karena pada saat wahana bergerak melewati obyek, obyek akan terekam dengan frekuensi yang berbeda-beda dengan selang waktu tertentu dan hasil yang penting adalah resolusi searah lintasan pada sistem SAR tidak tergantung pada jarak antena ke permukaan dan dengan antena yang lebih kecil akan memberikan resolusi yang lebih baik. Bila lebar sorot pada gambar II.7 dinyatakan sebagai berikut (Ismullah, 2002): λ β = (rad) (2.5) d dimana: λ = panjang gelombang d = panjang antena riil dengan demikian panjang antena sintetik dapat dituliskan sebagai berikut: λ D = L (m) (2.6) d Dengan menggunakan persamaan (2.5), akan didapat lebar sorot untuk antena sintetik (β s ), tetapi harus diperhatikan bahwa antena sintetik akan terbentuk 14

11 setelah menempuh jarak 2 x D di permukaan tanah dengan penjalaran pergipulang, sehingga lebar sorot yang terjadi untuk antena sintetik menjadi (Kingsley & Quegan, 1992): d β s = λ = 2D 2L (rad) (2.7) Jadi, resolusi azimuth untuk antena sintetik: d Ra = L. β s = 2 (m) (2.8) dimana: d = panjang antena sebenarnya D = panjang antena sintetik L = jarak dari sensor ke obyek Pengolahan sinyal pantul yang diterima akan menghasilkan citra. Semakin kasar suatu permukaan, maka citra tersebut akan menghasilkan area yang lebih terang atau berwarna putih karena sebagian besar gelombang yang dipancarkan memantul kembali ke antena. Selama SAR menggunakan gelombang elektromagnetik, maka selain menghasilkan citra intensitas, SAR juga menghasilkan citra fasa. II.4 Radar Apertur Sintetik Interferometri (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) Citra intensitas SAR sama dengan citra foto yang merupakan proyeksi dari permukaan bumi tiga dimensi pada bidang datar atau permukaan dua dimensi. Hal ini menyebabkan hilangnya informasi tinggi. Dua titik yang berbeda (gambar II.8) pada posisi melintang dan searah lintasan yang sama akan terlihat dalam piksel yang sama pada citra dan karena itu tinggi kedua titik tersebut tidak akan dapat dibedakan. Informasi tinggi pada citra tiga dimensi didapatkan dengan memperhitungkan informasi fasa pada teknik Radar Apertur Sintetik Interferometri. Pengolahan interferometri ini merubah semua data fasa menjadi tinggi, sehingga didapatkan informasi tiga dimensi untuk permukaan yang dicitrakan. 15

12 II.4.1 Fasa Gambar II.8 Pencitraan Dua Titik yang Berbeda (Usai, 2001) Kunci dari teknik interferometri adalah pengukuran fasa dari sinyal radar. Fasa merupakan kodisi oksilasi suatu sinyal gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu yang berulang setiap 2π (Ismullah, 2004). Pada gambar II.9 di bawah, digambarkan sebuah gelombang yang menjalar dari titik i ke j. Gambar II.9 Fasa Suatu Gelombang (Kranadjaja, 1998) Gelombang tersebut memenuhi persamaan berikut: x = A.sin (ωt + θ) (2.9) dimana: A : amplitudo (harga x maksimum) ω : kecepatan sudut gelombang θ : fasa awal, pada gambar terlihat bahwa fasa awal = 0 t : waktu Fasa itu sendiri adalah harga (ωt + θ). 16

13 Dari titik i ke titik D dinamakan satu gelombang penuh. Dengan memproyeksikan gelombang tersebut pada lingkaran sebelah kiri, maka didapatkan bahwa titik A fasa yang terukur adalah 90º atau ½π rad, pada titik B terukur 180º atau π, pada titik C terukur 270º atau 1 ½π, pada titik D terukur 360º atau 2π, dan pada titik E akan terukur fasa sebesar 360º+90º atau sebesar 2 ½π rad. Fasa sinyal pantul yang diterima lagi oleh dua sensor dapat dinyatakan dengan: Keterangan: φ : beda fasa Δr = r 1 -r 2 4π φ = λ Δr (2.10) Gambar II.10 Jarak Miring dari Dua Sensor yang Berbeda Jika fasa sudah diketahui, maka jarak miring dapat dihitung dengan persamaan (Ismullah, 2004): r = λ.(φ + k) (2.11) dimana k adalah ambiguitas fasa yang sebelumnya harus dicari melalui proses phase unwrapping agar mendapatkan fasa yang absolut, melalui: dimana φˆ adalah fasa relatif. φ = ˆ φ k. 2π (2.12) abs + Citra beda fasa yang dihasilkan pada INSAR ini dimanakan interferogram (gambar II.11). Interferogram mempunyai suatu pola fringes yang 17

14 merepresentasikan perbedaan jarak yang dicocokkan melalui siklus fasa (Usai, 2001). Selama panjang gelombang yang digunakan sekitar 10-2 m, perbedaan fasa tersebut memungkinkan proses estimasi jarak dari antena ke obyek dengan akurasi sekitar 10-2 sampai 10-3 m. Interferogram Citra Radar Gambar II.11 Interferogram dan Citra Radar Daerah New Mexico, USA II.4.2 Interferensi Gelombang Interferensi gelombang merupakan perpaduan dua gelombang yang koheren (gelombang yang mempunyai beda fasa yang tetap). Perpaduan tersebut dapat mengakibatkan adanya pelemahan atau penguatan pada kedua gelombang. Hal ini dapat dilihat pada gambar II.12 Gambar II.12 Perpaduan Dua Gelombang (G1 dan G2) Menuju P II.4.3 Pengolahan Interferometri Pengolahan interferometri berawal dari dua citra kompleks yang mempunyai resolusi tinggi, yang dinamakan SLC (Single Look Complex). Citra ini didapatkan dari penggabungan dari sinyal pantul dari citra yang beresolusi sama. SLC 18

15 merupakan hasil pengolahan dari data mentah yang didapatkan dari pencitraan dengan SAR, dimana setiap pikselnya mempunyai nilai dalam bilangan kompleks (Ismullah, 2008). Pada dasarnya, pengolahan interferometri terdiri dari: 1. Mencocokkan citra SLC. 2. Penghitungan beda fasa sehingga menghasilkan interferogram. 3. Menghilangkan ambiguitas fasa (phase unwrapping). 4. Konversi fasa menjadi tinggi. II Mencocokkan Citra (Koregistrasi) Pada pencocokkan dua citra atau koregistrasi, citra kedua (slave image) diproses hingga cocok dengan citra utama (master image). Proses ini biasanya melalui dua tahap pengolahan, yaitu koregistrasi kasar dan koregistrasi halus. Proses koregistrasi kasar merupakan tahap penentuan posisi setiap piksel di ellipsoid, sedangkan koregistrasi halus adalah proses untuk memperhalus kecocokkan antara dua citra menuju piksel yang lebih halus. Akurasi dari 1/8 piksel merupakan batas yang sudah dipertimbangkan untuk koregistrasi yang baik. Koregistrasi halus dapat diselesaikan dengan metode yang berbeda, baik pada domain frekuensi ataupun domain ruang. Pada dasarnya metode-metode ini membandingkan area yang kira-kira cocok pada kedua citra dan memecahkan beberapa set parameter transformasi. Saat proses koregistrasi citra kompleks, posisi dari setiap piksel di citra kedua dicocokkan terhadap citra utama. Setelah itu menghitung amplitudo dan fasa dari setiap fasor (vektor pada SAR). Pada koregistrasi citra, parameter registrasi yang paling penting adalah translasi (shifted), skala (scale), rotasi (rotated), kemiringan (skew), dan non linear. Parameter-parameter registrasi ini umumnya linear terhadap koordinat. II Koherensi Selain fasa, koherensi (korelasi) antara kedua citra juga harus diperhitungkan. 19

16 Nilai koherensi antara citra S 1 dan S 2 menunjukkan seberapa jauh kecocokkan kedua citra tersebut. Nilai koherensi dapat dinyatakan pada persamaan: ˆ = ΣS. S * 1 2 γ (Usai, 2001) (2.13) 2 2 Σ S1. Σ S 2 dimana: γˆ = nilai koherensi interferometri * = kompleks konjugasi Jika γˆ adalah 1, maka dapat disimpulkan bahwa citra S 1 dan S 2 sudah benar-benar identik, akan tetapi pada umumnya γˆ berada antara 0 sampai dengan 1. Nilai minimum koherensi untuk pembentukan DEM (Digital Elevation Model) yang diberikan oleh ESA (European Space Agency) adalah 0,6 untuk wahana satelit. Untuk wahana pesawat terbang, umumnya dapat mencapai lebih dari 0,9, namun tetap tidak mungkin bernilai 1 (Ismullah, 2004). Terdapat tiga hal yang menyebabkan dekorelasi: Dekorelasi karena gangguan panas (Thermal Noise) Gangguan panas ini terjadi antara lain ketika proses penguatan dari sinyal radar yang diterima oleh antena. Gangguan ini merupakan hal yang terjadi di luar sistem radar. Dekorelasi baseline Jika baseline terlalu panjang, penjumlahan koherensi radiasi dari gelombang pantul akan sangat berbeda. Dekorelasi tergantung pada panjang baseline. Pada citra, dekorelasi ini akan menimbulkan speckle (bintik hitam). Dekorelasi temporal Dekorelasi temporal dapat disebabkan oleh perubahan kecil posisi obyek selama dua pass pengamatan. Dekorelasi temporal sangat bergantung dari sifat pantul obyek. II Phase Unwrapping Pengolahan interferometri dilakukan terhadap fasa gelombang pantul yang 20

17 diterima oleh radar. Hasil penghitungan beda fasa akan membentuk citra beda fasa yang disebut interferogram dimana informasi beda fasa ini berhubungan langsung dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 dan 2π, sehingga menimbulkan masalah ambiguitas dalam menghitung siklus fasa. Fasa ini disebut fasa relatif. Phase unwrapping merupakan proses untuk menghilangkan ambiguitas fasa tersebut (gambar II.13). Persamaan untuk mendapatkan fasa absolut dari fasa relatif dapat dilihat pada persamaan (2.12). Gambar II.13 Pembentukan Fasa Absolut dari Fasa Relatif (Ismullah, 2004) Phase unwrapping dapat ditentukan dengan berbagai macam metode, seperti dengan pendekatan branch cut, pendekatan Least Square, dan metode minimal cost flow (Hanssen, 2001). Dari metode-metode tersebut, pendekatan branch cut merupakan metode yang sering dipakai pada phase unwrapping. Pada metode ini, residu adalah hal pertama yang harus diidentifikasi. Metode branch cut didasarkan pada adanya dua sumber kesalahan yang terdapat pada citra, yaitu kesalahan lokal dan kesalahan global. Pada kesalahan lokal, hanya sebagian piksel saja yang fasanya mengandung bising (noise), sedangkan pada kesalahan global, fasa yang mengandung bising terdapat di seluruh piksel. II.4.4 Teknik Pengambilan Data dengan Teknik Interferometri Terdapat tiga cara untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan jumlah lintasan wahana, diantaranya adalah: Interferometri dengan Single Pass Metode single pass ini dilakukan dengan cara melintasi area yang akan dicitrakan 21

18 sebanyak satu kali saja dan biasa digunakan di pesawat udara (airborne). Metode ini terdiri dari: a. Interferometri dengan along track Pencitraan dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan dua buah antena yang letaknya sejajar dengan arah terbang. Kedua antena ini mempunyai fungsi yang bergantian sebagai pemancar dan penerima gelombang radar. Untuk saat ini, metode ini belum dapat digunakan pada wahana ruang angkasa, karena metode ini memerlukan dua buah antena yang ditempatkan pada wahana. Pada sistem ini, radiasi gelombang hambur balik dari obyek bergerak dengan kecepatan u akan mendekati atau menjauhi radar. Karena pengaruh dari letak kedua antena maka akan terjadi perbedaan waktu sebesar Δt dalam perekaman terhadap dua citra oleh antena 1 dan antena 2. Selama interval waktu tersebut obyek akan bergerak sedikit menuju atau menjauhi radar. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan fasa sebesar φ antara kedua piksel yang bersesuaian dengan obyek. Hal ini dapat dituliskan menjadi: 4π. u. Δt Δφ = λ Bx Δ t = (2.14) v 4π. u. B Δ φ = x (2.15) λ. v dimana: u = cepat rambat gelombang Δt = perbedaan waktu perekaman obyek oleh antena 1 dan 2 B x = panjang baseline yang sejajar dengan jalur terbang v = kecepatan pesawat Pada geometri along track ini, masalah yang perlu diperhatikan adalah pergerakan pesawat yang disebut sebagai yaw (perputaran di sumbu z) dan pitch (anggukan pesawat) yang akan menimbulkan pengaruh pada beda fasa yang dihasilkan pada arah y dan z, seperti pada gambar II

19 Gambar II.14 Yaw dan Pitch b. Interferometri dengan across track Sama halnya dengan along track, metode ini juga hanya dapat digunakan pada wahana udara. Metode ini menggunakan dua antena yang ditempatkan pada pesawat sehingga membentuk garis yang tegak lurus terhadap arah terbang. Pada sistem ini hanya satu antena yang berfungsi sebagai pemancar, tetapi keduanya berfungsi sebagai penerima. Kesulitan yang dihadapi dalam metode ini adalah tidak dapat dipisahkannya kesalahan akibat pergerakan pesawat dan kesalahan akibat pengaruh variasi bentuk permukaan bumi. Interferometri dengan Multi Pass Metode ini biasa dipakai pada wahana luar angkasa karena satelit memiliki orbit yang relatif lebih stabil dan akurat bila dibandingkan dengan pesawat udara dengan terbang dua kali pada daerah yang sama (multi pass). Selain itu, sistem ini hanya menggunakan satu antena yang ditempatkan pada wahana radar. Untuk membedakan ketinggian dari dua obyek yang berbeda, diperlukan adanya sensor lain yang melakukan pencitraan dengan posisi yang berbeda dengan sensor pertama. Untuk obyek yang sama pada kedua citra, akan didapatkan nilai fasa yang berbeda. Beda fasa inilah yang merupakan fungsi tinggi. 23

20 Gambar II.15 Geometri Multi Pass (Gens, 1995) Pada gambar II.15 ada dua posisi antena saat pencitraan yaitu O1 dan O2. Dengan metode ini, O1 dan O2 bukan posisi dua antena, melainkan posisi satu antena saat t dan t+1. Komponen baseline pada geometri multi pass ini terdiri dari δ v dan δ h. Beda slant range δ r ditentukan dengan: dimana: beda fasanya adalah: ( H h) 2 g. δ h δ v B δ r = r2 r1 = (2.16) r 2r 2 2 ( δ + ) B = h δ v r1 + r2 r = π Δ φ = δ r (2.17) λ II.5 Pengaruh Band pada INSAR untuk Pencitraan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa setiap band mempunyai karakteristik masing-masing dalam kemampuan penetrasinya. Hal ini terjadi karena setiap band mempunyai frekuensi dan panjang gelombang yang berbedabeda. Kemampuan penetrasi tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan aplikasi dari setiap band pada proses pencitraan. Ilustrasi dari daya penetrasi setiap band pencitraan tersebut dapat dilihat pada (gambar II.16). 24

21 Gambar II.16 Daya Penetrasi Setiap Band Pencitraan Daya penetrasi dari setiap band akan terus meningkat sebanding dengan panjang gelombang yang digunakan, tetapi berbanding terbalik dengan frekuensi yang digunakan. Dari gambar di atas, terlihat bahwa bahwa band-x hanya dapat menembus kanopi pohon saja, berbeda dengan band-p yang dapat menembus sampai permukaan tanah. Sebagai contoh nyata dalam sektor kehutanan adalah penetrasi dari band X, L, dan P pada pohon Pinus Austria yang dapat dilihat pada gambar II.17. Gambar II.17 Penetrasi Band pada Pinus Austria (Toan, 2007) Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa intensitas materi yang dapat ditembus setiap band itu sangat tergantung pada band atau panjang gelombang yang digunakan. Semakin panjang gelombang, maka penetrasinya pun akan semakin jauh. Penggunaan dari berbagai macam band tersebut sangat tergantung pada aplikasi apa yang akan kita kerjakan. 25

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) BAB II DASAR TEORI II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Remote sensing dalam bahasa Indonesia yaitu penginderaan jauh, dapat diartikan suatu teknik pengumpulan data atau informasi objek permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data BAB V ANALISIS Dalam penelitian tugas akhir yang saya lakukan ini, yaitu tentang Studi Deformasi dari Gunung Api Batur dengan menggunakan Teknologi SAR Interferometri (InSAR), studi yang saya lakukan ini

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI IV.1 Sekilas Tentang Gunung Api Batur Area yang menjadi kajian (studi) untuk dilihat sinyal deformasinya (vertikal) melalui Teknologi InSAR selama kurun waktu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data BAB IV ANALISIS Dari studi pengolahan data yang telah dilakukan pada tugas akhir ini, dapat dianalisis dari beberapa segi, yaitu: 1. Analisis data. 2. Analisis kombinasi penggunaan band-x dan band-p. 3.

Lebih terperinci

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No., 2004, -32 Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit Departemen Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

PENGENALAN TEKNOLOGI RADAR UNTUK PEMETAAN SPASIAL DI KAWASAN TROPIS. Haniah, Yudo Prasetyo *)

PENGENALAN TEKNOLOGI RADAR UNTUK PEMETAAN SPASIAL DI KAWASAN TROPIS. Haniah, Yudo Prasetyo *) PENGENALAN TEKNOLOGI RADAR UNTUK PEMETAAN SPASIAL DI KAWASAN TROPIS Haniah, Yudo Prasetyo *) Abstract For tropical areas that often cloudy and experiencing rain, sensors based on optical satellite remote

Lebih terperinci

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko Studi Perbandingan Dua Algoritma Phase Unwrapping (Region Growing dan Minimum Cost Flow) pada Teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (INSAR) dalam Menghasilkan Digital Surface Model (DSM) Jupi

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

Evaluasi Wilayah dan Pengenalan Lokasi untuk Keperluan Rekayasa. Ishak Hanafiah Ismullah 1)

Evaluasi Wilayah dan Pengenalan Lokasi untuk Keperluan Rekayasa. Ishak Hanafiah Ismullah 1) Ismullah Vol. 10 No. 2 April 2003 urnal TEKNIK SIPIL Evaluasi Wilayah dan Pengenalan Lokasi untuk Keperluan Rekayasa Ishak Hanafiah Ismullah 1) Abstrak Berbagai macam karakteristik kondisi permukaan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org]

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org] BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Gunung Merapi Gunung api merupakan pembukaan ataupun retakan pada permukaan Bumi sehingga objek yang berada di bawah kulit Bumi seperti magma, debu vulkanik serta gas dapat keluar

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1 Umum elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik seperti yang diilustrasikan pada

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

Gelombang Elektromagnetik

Gelombang Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik Teori gelombang elektromagnetik pertama kali dikemukakan oleh James Clerk Maxwell (83 879). Hipotesis yang dikemukakan oleh Maxwell, mengacu pada tiga aturan dasar listrik-magnet

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR) BAB II TEORI DASAR Bab ini memberikan deskripsi singkat mengenai SAR berwahana satelit, InSAR, penggunaan metode InSAR dalam penentuan deformasi dan gambaran singkat mengenai Gunung Semeru dan aktivitas

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri Pengukuran pada satelit altimetri adalah pengukuran jarak dari altimeter satelit ke permukaan laut. Pengukuran jarak dilakukan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

KELAS XII FISIKA SMA KOLESE LOYOLA SEMARANG SMA KOLESE LOYOLA M1-1

KELAS XII FISIKA SMA KOLESE LOYOLA SEMARANG SMA KOLESE LOYOLA M1-1 KELAS XII LC FISIKA SMA KOLESE LOYOLA M1-1 MODUL 1 STANDAR KOMPETENSI : 1. Menerapkan konsep dan prinsip gejala gelombang dalam menyelesaikan masalah KOMPETENSI DASAR 1.1. Mendeskripsikan gejala dan ciri-ciri

Lebih terperinci

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR (DInSAR) STUDY OF DETECTED LAND SUBSIDANCE AND UPLIFT USING DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI

Lebih terperinci

Radio dan Medan Elektromagnetik

Radio dan Medan Elektromagnetik Radio dan Medan Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat, Energi elektromagnetik merambat dalam gelombang dengan beberapa karakter yang bisa

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

GROUND PENETRATING RADAR (GPR)

GROUND PENETRATING RADAR (GPR) BAB II GROUND PENETRATING RADAR (GPR) 2.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang adalah energi getar yang merambat. Bentuk ideal dari suatu gelombang akan mengikuti gerak sinusoidal. Selain radiasi elektromagnetik,

Lebih terperinci

BAB 3 RANCANG BANGUN EKSPERIMEN SISTEM INTERFEROMETER SAGNAC

BAB 3 RANCANG BANGUN EKSPERIMEN SISTEM INTERFEROMETER SAGNAC BAB 3 RANCANG BANGUN EKSPERIMEN SISTEM INTERFEROMETER SAGNAC Interferometer Sagnac terbagi 2 yaitu Interferometer Sagnac aktif dan pasif. Apabila sumber laser berada di dalam ring resonator disebut Aktif

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK ================================================= Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK ================================================= Bila dalam kawat PQ terjadi perubahan-perubahan tegangan baik besar maupun arahnya, maka dalam kawat PQ

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

Gejala Gelombang. gejala gelombang. Sumber:

Gejala Gelombang. gejala gelombang. Sumber: Gejala Gelombang B a b B a b 1 gejala gelombang Sumber: www.alam-leoniko.or.id Jika kalian pergi ke pantai maka akan melihat ombak air laut. Ombak itu berupa puncak dan lembah dari getaran air laut yang

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr Gelombang A. PENDAHULUAN Gelombang adalah getaran yang merambat. Gelombang merambat getaran tanpa memindahkan partikel. Partikel hanya bergerak di sekitar titik kesetimbangan. Gelombang berdasarkan medium

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

INTERFERENSI GELOMBANG

INTERFERENSI GELOMBANG INERFERENSI GELOMBANG Gelombang merupakan perambatan dari getaran. Perambatan gelombang tidak disertai dengan perpindahan materi-materi medium perantaranya. Gelombang dalam perambatannya memindahkan energi.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO No Percobaan : 01 Judul Percobaan Nama Praktikan : Perambatan Gelombang Mikro : Arien Maharani NIM : TEKNIK TELEKOMUNIKASI D3 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK I. SOAL PILIHAN GANDA Diketahui c = 0 8 m/s; µ 0 = 0-7 Wb A - m - ; ε 0 = 8,85 0 - C N - m -. 0. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut : () Di udara kecepatannya cenderung

Lebih terperinci

Radar I yg membuahkan gambar dikembangkan selama PD II, yakni B-Sacn (distorsi besar). PPI (Plan Position Indicator) distorsi dpt dikoreksi dg

Radar I yg membuahkan gambar dikembangkan selama PD II, yakni B-Sacn (distorsi besar). PPI (Plan Position Indicator) distorsi dpt dikoreksi dg INDERAJA SISTEM GEL MIKRO DAN RADAR Inderaja sistem pasif yg menggunakan gel mikro disebut inderaja sistem gel. Mikro Inderaja sistem aktif yg menggunakan gel. Mikro disebut inderaja sistem radar (Radio

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

Rahasia RADAR. Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara

Rahasia RADAR. Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara Rahasia RADAR Militer! Pasti itu yang terlintas di benak kita kalau mendengar istilah Radar. Padahal radar sangat luas aplikasinya, tidak hanya dalam dunia militer! Teknologinya sendiri sangat sederhana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

Sifat gelombang elektromagnetik. Pantulan (Refleksi) Pembiasan (Refraksi) Pembelokan (Difraksi) Hamburan (Scattering) P o l a r i s a s i

Sifat gelombang elektromagnetik. Pantulan (Refleksi) Pembiasan (Refraksi) Pembelokan (Difraksi) Hamburan (Scattering) P o l a r i s a s i Sifat gelombang elektromagnetik Pantulan (Refleksi) Pembiasan (Refraksi) Pembelokan (Difraksi) Hamburan (Scattering) P o l a r i s a s i Pantulan (Refleksi) Pemantulan gelombang terjadi ketika gelombang

Lebih terperinci

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super BAB 11 MICROWAVE ANTENNA Kompetensi: Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai antenna microwave desain, aplikasi dan cara kerjanya. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam di N107, berupa copy file, bukan file asli.

Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam di N107, berupa copy file, bukan file asli. Nama: NIM : Kuis I Elektromagnetika II TT38G1 Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam 14.30 15.00 di N107, berupa copy file, bukan file asli. Kasus #1. Medium A (4 0, 0, x < 0) berbatasan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 TUGAS AKHIR atau SKRIPSI Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. (

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. ( Gelombang Stasioner 16:33 Segala ada No comments Apa yang terjadi jika ada dua gelombang berjalan dengan frekuensi dan amplitudo sama tetapi arah berbeda bergabung menjadi satu? Hasil gabungan itulah yang

Lebih terperinci

Gelombang sferis (bola) dan Radiasi suara

Gelombang sferis (bola) dan Radiasi suara Chapter 5 Gelombang sferis (bola) dan Radiasi suara Gelombang dasar lain datang jika jarak dari beberapa titik dari titik tertentu dianggap sebagai koordinat relevan yang bergantung pada variabel akustik.

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SIMULASI PARAMETER RADAR TERHADAP PERFORMANSI SYNTHETIC APERTURE RADAR PADA TAHAP AWAL PENCITRAAN SENSOR RADAR PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS DAN SIMULASI PARAMETER RADAR TERHADAP PERFORMANSI SYNTHETIC APERTURE RADAR PADA TAHAP AWAL PENCITRAAN SENSOR RADAR PROPOSAL SKRIPSI ANALISIS DAN SIMULASI PARAMETER RADAR TERHADAP PERFORMANSI SYNTHETIC APERTURE RADAR PADA TAHAP AWAL PENCITRAAN SENSOR RADAR PROPOSAL SKRIPSI KONSENTRASI TELEKOMUNIKASI Diajukan untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM)

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM) Disusun oleh : MIRA RESTUTI 1106306 PENDIDIKAN FISIKA (RM) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2013 Kompetensi Dasar :

Lebih terperinci

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018. Departemen Fisika - Wardaya College

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018. Departemen Fisika - Wardaya College Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018-1. Hambatan listrik adalah salah satu jenis besaran turunan yang memiliki satuan Ohm. Satuan hambatan jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang RADAR (selanjutnya ditulis sebagai radar) ialah singkatan dari Radio Detection and Ranging dimana merupakan sistem elektromagnetik untuk mendeteksi & memberi informasi

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit BAB II PEMBAHASAN A. Difraksi Sesuai dengan teori Huygens, difraksi dapat dipandang sebagai interferensi gelombang cahaya yang berasal dari bagian-bagian suatu medan gelombang. Medan gelombang boleh jadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. 39 Universitas Indonesia

BAB 5 PEMBAHASAN. 39 Universitas Indonesia BAB 5 PEMBAHASAN Dua metode penelitian yaitu simulasi dan eksperimen telah dilakukan sebagaimana telah diuraikan pada dua bab sebelumnya. Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa dan hasil yang diperoleh

Lebih terperinci

Polarisasi Gelombang. Polarisasi Gelombang

Polarisasi Gelombang. Polarisasi Gelombang Polarisasi Gelombang Polarisasi Gelombang Gelombang cahaya adalah gelombang transversal, sedangkan gelombang bunyi adalah gelombang longitudinal. Nah, ada satu sifat gelombang yang hanya dapat terjadi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Fisika

Antiremed Kelas 12 Fisika Antiremed Kelas 12 Fisika Persiapan UAS 1 Doc. Name: AR12FIS01UAS Version: 2016-09 halaman 1 01. Sebuah bola lampu yang berdaya 120 watt meradiasikan gelombang elektromagnetik ke segala arah dengan sama

Lebih terperinci

Gelombang Transversal Dan Longitudinal

Gelombang Transversal Dan Longitudinal Gelombang Transversal Dan Longitudinal Pada gelombang yang merambat di atas permukaan air, air bergerak naik dan turun pada saat gelombang merambat, tetapi partikel air pada umumnya tidak bergerak maju

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA Tujuan Instruksional Umum Pada bab ini akan dijelaskan mengenai perambatan gelombang, yang merupakan hal yang penting dalam sistem komunikasi serat optik. Pembahasan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pada permukaannya digoreskan garis-garis sejajar dengan jumlah sangat besar.

BAB II LANDASAN TEORI. pada permukaannya digoreskan garis-garis sejajar dengan jumlah sangat besar. 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kisi Difraksi Kisi difraksi adalah suatu alat yang terbuat dari pelat logam atau kaca yang pada permukaannya digoreskan garis-garis sejajar dengan jumlah sangat besar. Suatu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

gelombang tersebut dari pemancar ke penerima yang berdampak pada penurunan kualitas sinyal dalam sistem telekomunikasi (Yeo dkk., 2001).

gelombang tersebut dari pemancar ke penerima yang berdampak pada penurunan kualitas sinyal dalam sistem telekomunikasi (Yeo dkk., 2001). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perambatan gelombang elektromagnetik dalam suatu medium akan mengalami pelemahan energi akibat proses hamburan dan penyerapan oleh partikel di dalam medium tersebut.

Lebih terperinci

Fisika Dasar I (FI-321)

Fisika Dasar I (FI-321) Fisika Dasar I (FI-31) Topik hari ini Getaran dan Gelombang Getaran 1. Getaran dan Besaran-besarannya. Gerak harmonik sederhana 3. Tipe-tipe getaran (1) Getaran dan besaran-besarannya besarannya Getaran

Lebih terperinci

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga Bab Teori Gelombang Elastik Metode seismik secara refleksi didasarkan pada perambatan gelombang seismik dari sumber getar ke dalam lapisan-lapisan bumi kemudian menerima kembali pantulan atau refleksi

Lebih terperinci

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS 4.1 Syarat Pengukuran Pengukuran suatu antena yang ideal adalah dilakukan di suatu ruangan yang bebas pantulan atau ruang tanpa gema (Anechoic Chamber). Pengukuran antena

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Bab ini berisi rangkuman hasil studi referensi yang telah dilakukan. Referensi- referensi tersebut berisi konsep dasar pengukuran 3dimensi menggunakan terrestrial laser scanner, dan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang BAB II TEORI DASAR 2.1. PROPAGASI GELOMBANG Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang didesain untuk memancarkan sinyal

Lebih terperinci

KOMUNIKASI DATA Data, Sinyal & Media Transmisi. Oleh: Fahrudin Mukti Wibowo, S.Kom., M.Eng

KOMUNIKASI DATA Data, Sinyal & Media Transmisi. Oleh: Fahrudin Mukti Wibowo, S.Kom., M.Eng KOMUNIKASI DATA Data, Sinyal & Media Transmisi Oleh: Fahrudin Mukti Wibowo, S.Kom., M.Eng Data 10110111 sinyal Untuk dapat ditransmisikan, data harus ditransformasikan ke dalam bentuk gelombang elektromagnetik

Lebih terperinci

Interferensi Cahaya. Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung

Interferensi Cahaya. Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung Interferensi Cahaya Agus Suroso (agussuroso@fi.itb.ac.id) Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung Agus Suroso (FTETI-ITB) Interferensi Cahaya 1 / 39 Contoh gejala interferensi

Lebih terperinci

BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA. Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk

BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA. Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA Kompetensi: Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk komunikasi, salah satunya pada rentang band High Frequency (HF). Mahasiswa

Lebih terperinci

KOMUNIKASI DATA SUSMINI INDRIANI LESTARININGATI, M.T

KOMUNIKASI DATA SUSMINI INDRIANI LESTARININGATI, M.T Data dan Sinyal Data yang akan ditransmisikan kedalam media transmisi harus ditransformasikan terlebih dahulu kedalam bentuk gelombang elektromagnetik. Bit 1 dan 0 akan diwakili oleh tegangan listrik dengan

Lebih terperinci