BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)"

Transkripsi

1 BAB II TEORI DASAR Bab ini memberikan deskripsi singkat mengenai SAR berwahana satelit, InSAR, penggunaan metode InSAR dalam penentuan deformasi dan gambaran singkat mengenai Gunung Semeru dan aktivitas tiga tahun terakhir. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR) SAR merupakan sebuah sistem radar koheren yang mampu menghasilkan citra dengan citra penginderaan jauh resolusi tinggi dan mampu bekerja siang dan malam karena merupakan sistem aktif. SAR dapat bekerja pada semua kondisi cuaca karena menggunakan gelombang mikro untuk mengobservasi permukaan bumi atau mengobservasi planet lain (Elachi, 1982; Roth dan Wall, 1995). Sistem ini ditemukan oleh Carl Wiley pada tahun 1953 kemudian dikembangkan untuk pemetaan dan aplikasi lainnya. Ada dua jenis sistem SAR terkait dengan wahananya, airborne dan spaceborne. Dalam penelitian ini hanya digunakan sistem spaceborne. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SAR memiliki resolusi tinggi bahkan melebihi kemampuan antena riilnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengolahan sinyal menggunakan prinsip Doppler. Dimana prinsip Doppler menyatakan bahwa frekuensi suatu sumber bunyi akan terdengar berubah apabila sumber bunyi tersebut bergerak relatif terhadap sensor (pendengar). Terdapat empat langkah yang harus dilakukan dalam pemrosesan data SAR, yaitu : 1. Penghitungan parameter CEOS telah menstandarkan struktur data SAR yang kemudian dikenal sebagai format data CEOS. Data SAR dalam format CEOS terdiri dari lima file, yaitu file volume directory, file leader, file trailer, file citra, dan file null volume directory. Pada tahap penghitungan parameter, parameter pemrosesan ditentukan dengan mengkstrak file leader dan diekstrak dari data raw. Parameter parameter yang tersebut antara lain berupa waktu saat awal pemindaian, parameter geometri bumi, geometri scene, dan PRF. 7

2 2. Estimasi Doppler centre frequency Karena adanya pergerakan pada sensor dan target selama proses pengiriman dan penerimaan sinyal, terjadi efek Doppler. Untuk menghilangkan efek ini, estimasi frekuensi centroid Doppler dilakukan dalam pemrosesan data. Centroid Doppler bervariasi sesuai dengan range dan azimuth-nya. Variasi pada arah range merupakan fungsi dari sikap satelit dan seberapa dekat jarak antara footprint dengan garis iso-doppler pada permukaan bumi. Variasi searah terbang (azimuth) disebabkan oleh perubahan yang relatif pelan pada sikap satelit sebagai fungsi dari waktu. Ada banyak algoritma yang dapat digunakan untuk proses ini, salah satunya adalah teknik konvolusi dengan menggunakan FFT (Sanwell, 2011). 3. Kompresi melintang lintasan (range compression) Resolusi arah range dalam sistem SAR tergantung pada panjang pulsa yang dipancarkan (τ) dan diartikan sebagai jarak minimum antara dua benda sehingga kedua benda tersebut dapat dibedakan dalam citra. Persamaan untuk resolusi arah miring (ΔR) ini adalah ΔR = (c. τ)/2 (2.1) Δx = ΔR/sinθ (2.2) Sedangkan untuk resolusi range dapat dilihat di persamaan (2.2). Di sini tampak bahwa semakin kecil panjang pulsa akan memberikan resolusi yang semakin baik tapi memerlukan energi yang lebih besar. Untuk mengatasi masalah ini, teknik modulasi chirp dikembangkan untuk mengkompres panjang pulsa. Pada tahap kompresi melintang lintasan, sebuah filter untuk mencocokkan pulsa yang dipancarkan dengan yang data yang ada dilakukan. Proses ini digunakan untuk memperoleh pantulan kompleks yang terkonvolusi dengan chirp. 4. Kompresi searah lintasan (azimuth compression) Resolusi searah lintasan dapat dituliskan sebagai berikut. (2.3) Tampak dalam persamaan 2.3 besarnya resolusi hanya tergantung pada panjang antena saja. Semakin pendek panjang antena, semakin baik resolusi yang dapat diperoleh namun ada batas tertentu sehingga panjang antena yang digunakan praktis. Kompresi searah lintasan memfokuskan data searah lintasan dengan mempertimbangkan pergeseran fase dari target seperti target bergerak melalui antena, sehingga parameter orbit dari sensor dibutuhkan dalam proses ini. 8

3 Dengan melakukan kompresi chirp (kompresi panjang pulsa) pada arah range dan azimuth, resolusi dari sistem SAR akan meningkat. Hasil akhir dari pemrosesan data SAR adalah citra SAR yang berupa mosaik dari setiap piksel. Setiap piksel merepresentasikan permukaan Bumi dan disebut sel resolusi. Setiap piksel dilambangkan dalam sebuah bilangan kompleks yang berisi amplitudo dan fase dari gelombang radar pantulan dari semua obyek yang ada di daerah yang dipindai. Informasi tersebut direkam dalam format kompleks dengan mengadaptasi dari format data I/Q. Citra SAR juga dikenal sebagai SLC yang terdiri dari grid dengan nilai nilai kompleks atau fasor dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan berikut. (2.4) dimana y adalah data SLC yang menggambarkan besarnya medan listrik dari bidang gelombang elektromagnetik, A adalah amplitudo gelombang radar, dan sudut fase dari gelombang radar. Amplitudo menggambarkan kuantitas dari medan elektromagnetik dari setiap obyek yang ada di setiap piksel, sedangkan fase melambangkan jarak ambiguitas antara sensor dan setiap obyek yang ada di dalam piksel tersebut. 2.2 InSAR SAR interferometri atau InSAR dikembangkan untuk mendapatkan peta topografi dari suatu daerah atau tinggi topografi untuk satu titik tertentu pada permukaan Bumi (Agustan, 2010). Produk dari teknik ini adalah interferogram yang diperoleh dari perkalian silang piksel demi piksel dari dua citra SAR (dua SLC) dan kemudian sebuah DEM yang merepresentasikan topografi bumi dapat dibuat. Gambar 2.1 mengilustrasikan geometri sistem InSAR. Untuk mendapatkan interferogram diperlukan dua citra, istilah yang digunakan untuk membedakan kedua citra tersebut adalah master dan slave. Dimana umumnya master merupakan citra yang dipindai terlebih dahulu dan slave, citra yang dipindai kemudian. Interferogram yang dihasilkan akan mengandung amplitudo yang merupakan hasil kali amplitudo kedua cita, dan fase yang merupakan beda fase antar citra tersebut. 9

4 Gambar 2.1 Geometri sistem InSAR (Agustan, 2010) Persamaan yang digunakan untuk menghitung interferogam adalah Interferogram = y(mater)*y(slave) (2.5) (2.6) (2.7) ( ) Karena ada dua waktu pengamatan yang berbeda, orbit dari setelit di kedua citra tidak tepat sama. Jarak antara dua posisi satelit tersebit dikenal dengan istilah baseline (B), dan dapat proyeksikan menjadi baseline tegak lurus ( ) dan baseline sejajar (B ). Baseline tegak lurus merupakan komponen baseline yang tegak lurus dengan line of sight (LOS) sedangkan baseline sejajar adalah komponen yang sejajar dengan LOS. Posisi satelit saat memindai permukaan bumi diperlukan untuk menghitung besarnya panjang baseline tersebut. Informasi posisi satelit terekam dalam file orbit. Berdasarkan gambar 2.1, tinggi titik G di permukaan bumi (HG) di atas permukaan suatu referensi dengan beda fase ( ) dapat dihitung dengan persamaan 2.8 dan 2.9 (Hanssen, 2001). (2.8) 10

5 (2.9) dimana adalah look angle di titik G dan α adalah sudut baseline satelit. Beda fase pada persamaan 2.8 dapat diganti menjadi 2π untuk mendapatkan tinggi ambiguitas (hg) yang dapat diartikan sebagai beda tinggi yang menghasilkan perubahan fase interferogrametrik sebesar 2π setelah pendataran interferogram. Tinggi ambiguitas terkait dengan perbedaan orbit antar citra dan perubahan tinggi yang sama akan menghasilkan sebuah fringe. (2.10) Fringe adalah cincin warna yang memiliki fase yang sama pada interferogram dan tergantung pada parameter baseline. Baseline sejajar menghasilkan fringe sistematik sedangkan baseline tegak lurus menghasilkan fringe topografi. Fringe pada interferogram tidak langsung merepresentasikan tinggi permukaan karena informasi fase yang ditampilkan masih berupa fase relatif, perlu proses yang disebut unwrapping untuk memperoleh fase mutlaknya. Selain itu, pada interferogram juga terkandung beda fase yang disebabkan oleh ketidakseragaman dan sumber sumber dekorelasi yang terjadi antar dua waktu observasi. Sumber sumber dekorelasi tersebut diantaranya adalah suhu, geometri pusat Doppler, waktu dan volume, kesalahan interpolasi dan kesalahan koregristrasi (Hanssen, 2001). 2.3 Differential InSAR Fase pada interferogram mengandung informasi profil topografi ( ), perbedaan jalur orbit ( ), dan noise ( ), kemungkinan deformasi ( ), atmosfir ( ) dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan : (2.11) (2.12) dimana DG adalah pergeseran permukaan pada arah antara satelit dan piksel target. Dengan demikian, besarnya deformasi yang terkait dengan pergeseran titik dipermukaan bumi dapat diestimasi dengan menggunakan teknik InSAR, yaitu dengan menghilangkan sinyal sinyal yang tidak diinginkan. 11

6 { } (2.13) Untuk pendeteksian deformasi, istilah differensial InSAR (DInSAR) diartikan sebagai pengurangan fase topografi dari interferogram. Fase topografi dapat diperoleh dengan cara membuat simulasi dari DEM yang berasal dari peta topogarfi, teknik survei lainnya, atau dari SRTM. Teknik seperti ini disebut dengan metode 2pass differential interfeometry atau langsung DInSAR karena teknik ini hanya membutuhkan dua citra SAR. Teknik ini melakukan pengurangan antara interferogram asli dari dua citra tersebut dengan interferogram hasil simulasi dari DEM. Gambar 2.2 Alur pemrosesan pada teknik DInSAR (Agustan, 2010) Teknik lainnya adalah 3-pass dan 4-pass differential interferometry. Teknik 3-pass menggunakan tiga citra SAR untuk mengapatkan dua interferogram berdasarkan pada citra master yang sama. Satu dari pasangan tersebut harus memiliki interval pengamatan yang pendek dan baseline interferogrametik yang cukup panjang yang tidak dipengaruhi oleh deformasi digunakan untuk mengestimasi fase topografi. Pasangan lainnya terdiri dari citra yang diambil sebelum dan setelah terjadinya 12

7 deformasi (gempa). Keunggulan teknik 3-pass ini adalah kesamaan kondisi geometrik karena kedua pasangan memiliki citra master yang sama. Selain itu, teknik ini tidak memerlukan adanya DEM. Sedangkan teknik 4-pass membutuhkan empat buath citra SAR untuk membentuk dua interferogram yang saling lepas (master yang berbeda). Seperti teknik 3-pass dari dua pasang tersebut ada pasangan yang digunakan sebagai interferogram topografi dan interferogram yang mengandung deformasi. Kemudian, teknik ini memerlukan adanya resampling dari kedua interferogram agar geometrinya dapat dipenuhi. Tahapan untuk mendapatkan interferogram dan peta deformasi dengan teknik DInSAR dapat dilihat pada gambar 2.2, yaitu (Agustan, 2010): 1. Estimasi awal Tahap ini mengestimasi offset awal antara dua citra SAR sebelum melakukan perkalian silang piksel demi piksel. 2. Regristrasi dan resampling citra Tahap regristrasi atau koregritrasi citra adalah proses dasar dalam pembuatan interfrogram karena tahap ini memastikan memastikan setiap target pada permukaan bumi memberikan kontribusi ke piksel yang sama pada citra master dan slave. Koregristrasi terdiri dari penghitungan offset antara citra master dan slave yang digunakan untuk mencari parameter transformasi sehingga citra slave memiliki geometri yang sama dengan citra master. Setelah parameter transformasi diperoleh, citra slave di-resample untuk mendapatkan geometri yang serupa dengan citra master dengan resolusi sub-piksel. Untuk meminimalkan salah interpolasi, digunakan metode interpolasi yang sesuai. 3. Estimasi baseline Pengukuran jarak antara dua satelit ketika mengobservasi target yang sama pada permukaan bumi membutuhkan posisi satelit dan tinggi satelit yang akurat. Informasi ini disimpan dalam ephemeris satelit atau file orbit. Secara praktis, baseline dapat diestimasi dengan menggunakan: a. Informasi orbit, berdasarkan vektor posisi satelit dari file orbit. Metode ini dapat dilakukan apabila vektor posisi satelit (file orbit) yang akurat ada. 13

8 b. Bilangan fringe pada interferogram, berdasarkan bilangan fringe lokal pada interferogram yang belum didatarkan. Metode ini dapat dilakukan apabila fringe akibat kelengkungan bumi bersifat dominan dalam interferogram. c. Titik kontrol tanah (GCP) berdasarkan inversi dari penghitungan dari fase menjadi tinggi. Metode ini merupakan metode yang paling akurat namun hanya dapat dilakukan setelah tahap unwrapping dan metode ini digunakan untuk memperbaiki estimasi baseline seperti yang dijelaskan pada tahap Penggeseran range spektral dan pemfilteran bandwidth dengan azimuth sama Koregristrasi fase antar citra karena pergeseran spektral arah range dan azimuth yang terjadi setelah regristrasi dan resampling citra dilakukan pada tahap ini. 5. Penghitungan fase interferogrametrik Tahap ini merupakan tahan utama dalam teknik pemrosesan InSAR. Interferogram dihitunga dengan penghitungan piksel demi piksel dari dua citra yang telah di koregristrasi dan filter pergeseran spektralnya. 6. Pembuatan fringe sintetik (fase topografi) Tahap ini dapat dikatakan sebagai proses eksternal jika metode yang digunakan adalah 2-pass DInSAR. Fase topografi disimulasikan berdasarkan informasi baseline yang diperoleh dari parameter orbit data master dan slave. Dengan menggunakan parameter orbit yang sama, fase topografi hasil simulasi akan menghasilkan pola yang sama dengan interferogram yang asli yang mengandung fringe topografi. Faktor penting dalam tahap ini jika DEM eksternal digunakan adalah sistem koordinat. Karena mayoritas pemrosesan interferogram dilakukan dalam sistem koordinat SAR, sehingga DEM eksternal yang biasanya telah memiliki sistem koordinat yang bergeoreferensi harus ditransformasi ke sistem koordinat SAR. Tahapan tersebut tidak perlu dilakukan apabila menggunakan metode 3-pass atau 4-pass DInSAR karena fase topografinya diperoleh dalam sistem koordinat yang sama. 7. Pengurangan fase topografi dari fase interferogram Tahap ini menghilangkan fase topografi dari fase interferogram untuk mendapatkan hanya fase deformasi (diferensial) dan fase dari sinyal lainnya seperti fase atmosfir dan fase sistematik orbit yang tersisa. 8. Filter fase diferensial Pemfilteran interferogram diferensial bertujuan untuk mereduksi fase noise untuk membuat fase unwrapping menjadi lebih efisien dan sederhana. Pada tahap ini, ada 14

9 tiga opsi untuk memfilter interferogram : filter band pass, filter berdasarkan gradient fase lokal dan filter penyesuaian berdasarkan spectrum fringe lokal. 9. Unwrap fase diferensial Fase diferensial masih termodulo sebesar 2π, sehingga tahap ini bertujuan untuk mendapatkan bilangan bulat dari putaran untuk ditambahkan pada fase termodulo sehingga nilai fase yang tidak ambiguitas dari setiap piksel citra dapat diperoleh. 10. Perbaikan baseline Baseline yang presisi hasil estimasi dapat diperoleh dengan menggunakan informasi fase topografi (persamaan 2.9). Dengan menggetahui informasi tinggi (dari DEM) dan hasil unwrap fase topografi (dari InSAR), kemudian dengan menggunakan penghitungan mundur (inverse) panjang baseline dapat diestimasi. Informasi tinggi digunakan sebagai GCP. GCP ini terdistribusi secara sistematik pada citra dan digunakan untuk mengestimasi parameter baseline dengan menggunakan pendekatan least square. 11. Penanganan komponen atmosfir Interferogram diferensial masih memiliki fase komponen atmosfir yang dapat menciptakan pola deformasi palsu (pseudo). Fase atmosfir ini dapat ditangani dengan mengestimasi trend fase linier dengan informasi tinggi dan stacking interferogram jika terdapat banyak interferogram yang didapat pada observasi yang panjang. Gambar 2.3 menunjukkan ilustrasi efek atmosfer pada interferogram. a) b) c) d) e) f) Gambar 2.3 Efek atmosfer pada interferogam (Agustan, 2010) 15

10 12. Pembuatan peta deformasi Fase diferensial akhir yang masih termodulo digunakan untuk membuat peta pergeseran permukaan. Tahap ini menghitung pergeseran sepanjang LOS dengan memanfaatkan informasi panjang gelombang, incidence angle, jarak miring di edge dekat dan jauh. Nilai positif pada pergeseran mengindikasikan adanya pergeseran kearah sensor (satelit). Kemudian, nilai positif tersebut juga berarti peningkatan tinggi permukaan jika diproyeksikan ke komponen vertikal atau pemendekan ground range jika diproyeksikan pada komponen horisontal, begitu sebaliknya. Besarnya deformasi arah vertikal ditentukan dengan mencari pergeseran Line of Sight (LOS). Pergeseran LOS ini dianalisis dari fase deformasi yang telah di-unwrap. Dengan menggunakan teknologi InSAR, analisis deformasi yang dapat dilakukan adalah analisis satu dimensi, yaitu searah dengan LOS. Kemudian, hasil dari analisis satu dimensi tersebut dikonversikan menjadi pergeseran vertikal dengan memanfaatkan incidence angle (Wegmüller dan Werner, 1997) dengan persamaan ( ) dimana Untuk satelit ALOS, pergeseran LOS 1 radian = ~ 1,9 cm. 2.4 Metode InSAR untuk Pengamatan Deformasi Gunungapi Kemampuan teknik InSAR dalam mengestimasi fase deformasi berguna untuk studi deformasi. Deformasi terkait dengan gempabumi seperti deformasi coseismic dan postseismic, aktivitas gunungapi, longsor, aktivitas manusia seperti penurunan muka tanah karena penambangan dan aktivitas pengambilan air tanah secara berlebih. Terkait gunungapi, deformasi di sekitar gunugapi merupakan salah satu indikator pergerakan magma. Deformasi yang terkait dengan aktivitas gunungapi biasanya diindikasikan dengan pola inflasi dan deflasi yang dapat diidentifikasi dengan fringe fringe konsentris pada interferogram seperti yang tampak pada gambar 2.4. Sebagai contoh, deflasi yang terjadi karena aktivitas Gunung Etna, Italia, telah diukur dengan menggunakan teknik InSAR oleh Massonnet dkk. (1995), pendeteksian deformasi 16

11 terkait dengan letusan tahun 1997 di Gunung Okmok di Alaska oleh Lu dkk. (1998), dan pemodelan instrusi magma dan persebaran radial badan gunung setelah letusan selama fase pengisian kembali magma dilakukan oleh Palano dkk. (2008). Di Indonesia, teknik InSAR untuk keperluan pengamatan deformasi gunungapi telah dilakukan pada beberapa gunung, beberapa diantaranya adalah Gunung Batur (Suganda, 2008 dan Sidiq, 2009), Gunung Ibu (Sidiq, 2009 dan Agustan, 2010), Gunung Krakatau (Agustan, 2010), dan Gunung Merapi (Zhang dkk., 2011, Yudha dkk, 2010 dan Saepuloh, 2009). Gambar 2.4 Bentuk fringe pada deformasi gunungapi (Dzurisin, 2007) Setiap teknologi pasti ada kekurangannya, teknik InSAR memiliki keterbatasan dalam hal resolusi temporal, koherensi dan noise yang terkait dengan dekorelasi. Biasanya, dengan interval waktu observasi yang semakin panjang antar epok akan mengurangi koherensi dari citra interferogramnya (Agustan, 2010). Koherensi adalah koefisien korelasi silang dari pasangan citra SAR pada bagian yang kecil. Nilai dari koherensi berkisar dari 0, yang merepresentasikan fase interferogram yang terbentuk hanya noise hingga 1 yang artinya tidak ada noise pada fase interferogram. Nilai nol ini pasa perangkat lunak pengolahan InSAR memiliki warna hitang sedangkan koherensi 1 ditunjukkan dengan warna putih. Secara praktis, untuk keperluan aplikasi InSAR nilai koherensi yang diajurkan harus lebih besar dari 0,2 (Ferreti dkk, 2007). 17

12 Dalam pendeteksian deformasi berdasarkan teknik InSAR, terdapat beberapa cara untuk mendapatkan diferensial interferogram : 1. Pasangan interfreogrametri tunggal dan baseline mendekati nol Fase interferogram diferensial diperoleh dari dua pasang SLC dengan panjang baseline tegak lurus kecil (mendekati nol). 2. Pasangan interferogrametri tunggal dan baseline tidak nol Pasa kasus baselinenya tidak mendekati nol, fase interferogram diperoleh dari dua SLC mengandung fase topografi dan fase deformasi. Sehingga 2-pass DInSAR harus dilakukan. 3. Tiga citra interferogram dan tanpa gerakan Kasus ini mirip dengan 3-pass DInSAR yang telah dijelaskan pada bagian II.4. Interval pengamatan terpendek (untuk mendapatkan koherensi dan menghindari pergerakan atau deformasi) dengan baseline yang panjang sebaiknya dipilih sebagai pasanga interferogram yang digunakan untuk mendapatkan fase topografi. Pasangan yang lainnya sebaiknya memiliki interval observasi lebih besar tapi baseline yang lebih pendek. 4. Dua pasang citra dan tidak ada gerakan pada salah satunya Kasus ini mirip dengan 4-pass DInSAR yang dijelaskan pada bagian II. 4. Pada metode ini terdapat dua master dan setiap master memiliki satu citra slave. Tahapan pengolahannya sama dengan 3-pass DInSAR. Terkait dengan pendeteksian deformasi, estimasi InSAR memberikan informasi satu dimensi yaitu pergeseran sepanjang arah LOS. Umumnya pergeseran yang dapat diamati adalah pergesearn arah vertikal karena besarnya incidence angle dari satelit. Persamaan 2.14 digunakan untuk menghitung pergeseran ini. Dari pergeseran ini, dapat diketahui karakteristik dari aktivitas gunungapi yang dipantau. Gejala pengembangan badan gunung (inflasi) ditandai dengan pemendekan LOS sedangkan saat deflasi (badan gunung mengempis) LOS akan mengalami pemanjangan. Gambar 2.5 mengilustrasikan hubungan LOS dengan aktivitas inflasi deflasi gunungapi. Pada gambar a) tampak bahwa saat inflasi, terjadi LOS citra slave lebih pendek dibandingkan dengan LOS citra master. Kasus berlawanan terjadi pada deflasi seperti yang ditunjukkan gambar b). 18

13 a) b) Keterangan: LOS citra master LOS citra slave Gambar 2.5 Ilustrasi hubungan pergeseran LOS dengan inflasi deflasi gunungapi 2.5 Gambaran Umum Lokasi Studi (Gunung Semeru) Secara administratif, Gunung Semeru berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur. Sedangkan secara geografis, terletak pada LS dan BT. Gunung ini memiliki tinggi puncak 3676 m di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi yang ada di Pulau Jawa (Badan Geologi, ESDM). Tipe bentuk gunungapi untuk semeru adalah tipe stratovolcano, yaitu berbentuk seperti kerucut. Produk letusan utama dari Gunung Semeru adalah lontaran material pijar, guguran awanpanas dan lahar di musim hujan masuk ke sungai-sungai yang berhulu di Gunung Semeru. Status terakhir dari aktivitas Gunung Semeru adalah Waspada (Level II) setelah diturunkan dari status Siaga (Level III) pada tanggal 2 Mei Sebelumnya, pada tanggal 5 Mei 2009 Status aktivitas Gunung Semeru dinaikan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), dan pada tanggal 16 Juli 2009, pukul WIB status Gunung Semeru diturunkan menjadi Waspada (Level II). Pada tanggal 2 Februari 2012 kegiatan Gunung Semeru meningkat lagi akhirnya status kegiatan dinaikan kembali dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). (PVMBG) Peta yang tampak pada gambar 2.6 merupakan peta Provinsi Jawa Timur dengan daerah yang berada di dalam persegi panjang menunjukkan citra yang diolah dalam penelitian ini. Sedangkan Gunung Semeru sendiri ditandai dengan segitiga yang ada di dalam persegi panjang tersebut. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa citra 19

14 yang diolah tidak hanya berisikan data yang terkait dengan Gunung Semeru tapi ada gunung lain, yaitu Gunung Bromo, Gunung Penanjakan, Munggal, Arjuno dan Gunung Botak. Kompleks Gunung Semeru berada dalam satu kelurusan dengan kompleks Gunung Tengger di bagian utara merupakan gunung api strato yang umumnya tersusun atas batuan piroklastik dan lava berkomposisi basaltik sampai andesitik. Batuan vulkanik ini merupakan hasil dari beberapa titik letusan yang terpisah. Gambar 2.6 Peta lokasi daerah studi (Gunung Semeru) Seperti yang telah diberitahukan sebelumnya, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung yang aktif. Tabel 2.1 menunjukkan rekaman aktivitasnya dari tahun 2009 hingga tahun 2012 oleh Global Volcanism Program (bekerjasama dengan USGS). Untuk rekaman sejarah aktivitas Gunung Semeru dari tahun 1818 hingga 2010 oleh PVMBG dapat dilihat pada gambar 2.7. Selain itu, ada beberapa rekaman yang dilaporkan oleh BNPB, yaitu pada bulan Juni dan Juli 2011 terjadi ledakan keras di Gunung Semeru dan terjadi hujan abu di sekitar daerah tersebut serta tampak adanya asap putih tebal keluar dari kawah Jonggring Saloka. 20

15 Tabel 2.1 Rekaman aktivitas Gunung Semeru tahun 2009 hingga 2012 Waktu Perekam Peristiwa Aktivitas 03/2009 PVMBG,VAAC Peningkatan aktivitas seismic dan terdengar bunyi dentuman karena erupsi abu. Berdasarkan citra satelit abu tersebut mencapai ketinggian 4.3 km dpl. Berdasarkan PVMBG terdapat plume yang mencapai VAAC 4.6 km dpl namun VAAC abu tidak teridentifikasi dari citra satelit. 07/2009 PVMBG Pada Maret terjadi erupsi yang yang menghasilkan plume berwarna putih abu abu, kemudian pada bulan Mei hingga akhir Juni terdapat kabut yang mengganggu pengamatan visual. Abu dan plume berangsur angsur berkurang diikuti penurunan aktivitas kegempaan /2010 PVMBG Selama November 2009 hingga Februari 2010, cuaca buruk mengganggu pengamatan. Kemudian tanggal 25 hingga 28 Februari ada longsoran batu pijar dan berpindah sejauh 750 m dari kawah. 11/2010 PVMBG Agustus hingga Oktober terjadi peningkatan kegempaan dan gumpalan gas kadang naik m diatas kawah. Adanya peningkatan kubah lava di kawah Gunung Semeru. 11/2010 VAAC Berdasarkan analisis citra, selama November abuvulkanik naik hingga 4.3 km dpl. serta terdeteksi adanya gas Sulfur dioksida sejauh 75 km SW. 02/2012 PVMBG Tanggal 29 Desember 2011 hingga 2 Februari 2012 terdapat peningkatan kegempaan, selama Januari terdapat pergerakan material pijar menjauh dari kawah dan tanggal 2 Februari terjadi erupsi yang memuntahkan material sejauh 2,5 km dari kawah. 05/2012 PVMBG Karena erupsi bulan Februari, terjadi peningkatan kegempaan, pijaran tampak setingga 50 m, hingga akhir Maret. Kemudian adanya penurunan kegempaan setelah itu dan terjadi peningkatan kubah lava pada bulan April. ( 21

16 Gambar 2.7 Sejarah aktivitas Gunung Semeru dari tahun1818 hingga 2010 (lanjut ke halaman berikutnya) (Wahyudin, 2010) 22

17 Lanjutan gambar

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data BAB IV ANALISIS Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data, hasil yang diperoleh beserta kaitannya dengan aktivitas Gunung Semeru, kinerja dari perangkat lunak GMTSAR. 4.1

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI IV.1 Sekilas Tentang Gunung Api Batur Area yang menjadi kajian (studi) untuk dilihat sinyal deformasinya (vertikal) melalui Teknologi InSAR selama kurun waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada 6 o LU hingga 11 o LS dan 95 o hingga 141 o BT sehingga Indonesia berada di daerah yang beriklim tropis. Selain itu, Indonesia juga terletak

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data BAB V ANALISIS Dalam penelitian tugas akhir yang saya lakukan ini, yaitu tentang Studi Deformasi dari Gunung Api Batur dengan menggunakan Teknologi SAR Interferometri (InSAR), studi yang saya lakukan ini

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) II.1 Radar Radar (Radio Detection and Ranging) adalah salah satu sistem penginderaan jauh (inderaja) yang tidak

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org]

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org] BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Gunung Merapi Gunung api merupakan pembukaan ataupun retakan pada permukaan Bumi sehingga objek yang berada di bawah kulit Bumi seperti magma, debu vulkanik serta gas dapat keluar

Lebih terperinci

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007 AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 27 UMAR ROSADI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Pada bulan Oktober akhir hingga November 27 terjadi perubahan aktivitas vulkanik G. Semeru. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas vulkanisme dapat mengakibatkan bentuk bencana alam yang menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara (Hariyanto, 1999:14) mengemukakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas gunung api dapat dipelajari dengan pengamatan deformasi. Pemantauan deformasi gunung api dapat digolongkan menjadi tiga kategori berbeda dari aktifitas gunung

Lebih terperinci

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR (DInSAR) STUDY OF DETECTED LAND SUBSIDANCE AND UPLIFT USING DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) BAB II DASAR TEORI II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Remote sensing dalam bahasa Indonesia yaitu penginderaan jauh, dapat diartikan suatu teknik pengumpulan data atau informasi objek permukaan bumi

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 TUGAS AKHIR atau SKRIPSI Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU TUGAS AKHIR Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Geodesi

Lebih terperinci

KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 2009

KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 2009 KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 009 Estu KRISWATI dan Oktory PRAMBADA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Jalan Diponegoro

Lebih terperinci

Telepon: , , Faksimili: ,

Telepon: , , Faksimili: , KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

ERUPSI G. SOPUTAN 2007

ERUPSI G. SOPUTAN 2007 ERUPSI G. SOPUTAN 2007 AGUS SOLIHIN 1 dan AHMAD BASUKI 2 1 ) Penyelidik Bumi Muda di Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi 2 ) Penganalisis Seismik di Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi

Lebih terperinci

7.5. G. IBU, Halmahera Maluku Utara

7.5. G. IBU, Halmahera Maluku Utara 7.5. G. IBU, Halmahera Maluku Utara G. Ibu dilihat dari Kampung Duono, 2008 KETERANGAN UMUM Lokasi a. Geografi b. Adminstrasi : : 1 29' LS dan 127 38' BT Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat, Prop.

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NOMOR 57 BANDUNG 40122 JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 TELEPON: 022-7215297/021-5228371 FAKSIMILE:

Lebih terperinci

BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008

BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008 BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008 ESTU KRISWATI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Selama Januari - Maret 2008 terdapat 2 gunungapi berstatus Siaga (level 3) dan 11

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi Roni Kurniawan dan Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424,021-5228371

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424,021-5228371

Lebih terperinci

II. PENGAMATAN 2.1. VISUAL

II. PENGAMATAN 2.1. VISUAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 4122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 1295 Telepon: 22-7212834, 5228424, 21-5228371

Lebih terperinci

Eko Yudha ( )

Eko Yudha ( ) Eko Yudha (3507 100 045) Fenomena letusan Gunung Berapi Teknologi InSAR Terjadinya perubahan muka tanah (deformasi) akibat letusan gunung Berapi Penggunaan Teknologi InSAR untuk pengamatan gunung api Mengetahui

Lebih terperinci

24 November 2013 : 2780/45/BGL.V/2013

24 November 2013 : 2780/45/BGL.V/2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR STUDI DEFORMASI GUNUNG MERAPI MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERFEROMETRY SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) Eko Yudha 1, Bangun Mulyo 1, Yuwono 1,Wiweka 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Kelud di Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang, Provinsi Jawa Timur.

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Kelud di Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang, Provinsi Jawa Timur. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur 4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur G. Lewotobi Laki-laki (kiri) dan Perempuan (kanan) KETERANGAN UMUM Nama Lain Tipe Gunungapi : Lobetobi, Lewotobi, Lowetobi : Strato dengan kubah lava Lokasi

Lebih terperinci

BERITA GUNUNGAPI APRIL - JUNI 2008

BERITA GUNUNGAPI APRIL - JUNI 2008 BERITA GUNUNGAPI APRIL - JUNI 2008 ESTU KRISWATI Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Pada periode April Juni 2008, tiga gunungapi yang sebelumnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Distribusi Hiposenter Gempa dan Mekanisme Vulkanik Pada persebaran hiposenter Gunung Sinabung (gambar 31), persebaran hiposenter untuk gempa vulkanik sangat terlihat adanya

Lebih terperinci

BADAN GEOLOGI - ESDM

BADAN GEOLOGI - ESDM Studi Kasus Merapi 2006 : Peranan Pengukuran Deformasi dalam Prediksi Erupsi A. Ratdomopurbo Kepala BPPTK-PVMBG Sosialisasi Bidang Geologi -----------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di ring of fire (Rokhis, 2014). Hal ini berpengaruh terhadap aspek geografis, geologis dan klimatologis. Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data BAB IV ANALISIS Dari studi pengolahan data yang telah dilakukan pada tugas akhir ini, dapat dianalisis dari beberapa segi, yaitu: 1. Analisis data. 2. Analisis kombinasi penggunaan band-x dan band-p. 3.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Deformasi diambil dari kata deformation yang artinya perubahan bentuk, yaitu merupakan suatu fenomena dimana objek- objek alamiah maupun buatan manusia terjadi perubahan

Lebih terperinci

KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 1 JALAN JEND GATOT SUBROTO KAV. 9 JAKARTA 195 Telepon: -713, 5,1-5371 Faksimile: -71, 1-537 E-mail:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Objek Penelitian Berdasarkan bentuk morfologinya, puncak Gunung Lokon berdampingan dengan puncak Gunung Empung dengan jarak antara keduanya 2,3 km, sehingga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah dengan kondisi geologi yang menarik, karena gugusan kepulauannya diapit oleh tiga lempeng tektonik besar (Triple Junction) yaitu lempeng

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

BERITA GUNUNGAPI MEI AGUSTUS 2009

BERITA GUNUNGAPI MEI AGUSTUS 2009 BERITA GUNUNGAPI MEI AGUSTUS 2009 Kushendratno Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Selama periode Mei Agustus 2009 terdapat 4 gunungapi berstatus

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN SOSIALISASI ERUPSI G. SEMERU,MEI JUNI 2008

PEMANTAUAN DAN SOSIALISASI ERUPSI G. SEMERU,MEI JUNI 2008 PEMANTAUAN DAN SOSIALISASI ERUPSI G. SEMERU,MEI JUNI 2008 KRISTIANTO, HANIK HUMAIDA, KUSHENDRATNO, SAPARI DWIYONO Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jl. Diponegoro No. 57 Bandung, 40122 Sari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru) Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru) Disusun oleh: Anita Megawati 3307 100 082 Dosen Pembimbing: Ir. Eddy S. Soedjono.,Dipl.SE.,MSc.,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT) PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT) Ana Rizka Sari 1, Hepi Hapsari H 1, Agustan 2 1 Teknik

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR Hasil dan karakteristik data yang dibutuhkan sangat tergantung pada perangkat lunak yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak GMTSAR untuk

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ERUPSI G. KARANGETANG 2007 DAN PERKIRAAN KEDALAMAN SUMBER TEKANAN BERDASARKAN DATA ELECTRONIC DISTANCE MEASUREMENT (EDM)

ERUPSI G. KARANGETANG 2007 DAN PERKIRAAN KEDALAMAN SUMBER TEKANAN BERDASARKAN DATA ELECTRONIC DISTANCE MEASUREMENT (EDM) ERUPSI G. KARANGETANG 7 DAN PERKIRAAN KEDALAMAN SUMBER TEKANAN BERDASARKAN DATA ELECTRONIC DISTANCE MEASUREMENT (EDM) CECEP SULAEMAN, IYAN MULYANA, OKTORY PRIAMBADA, AGUS BUDIANTO Pusat Vulkanologi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Tsunami biasanya berhubungan dengan gempa bumi. Gempa bumi ini merupakan proses terjadinya getaran tanah yang merupakan akibat dari sebuah gelombang elastis yang menjalar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dari data deformasi dengan survei GPS dan data seismik. Parameter

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN 44 BAB III METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Pembacaan Rekaman Gelombang gempa Metode geofisika yang digunakan adalah metode pembacaan rekaman gelombang gempa. Metode ini merupakaan pembacaan dari alat yang

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC III.1 Sekilas Tentang ROI PAC ROI_PAC merupakan kepanjangan dari Repeat Orbit Interferometry Package, software ini memberikan kesempatan untuk para peneliti dalam

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

Analisis Energi Gempa Letusan Gunung Semeru 09 Oktober 2009

Analisis Energi Gempa Letusan Gunung Semeru 09 Oktober 2009 Analisis Energi Gempa Letusan Gunung Semeru 9 Oktober 29 Arif Rahman Hakim 1, Hairunisa 2 1,2 Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Taman Siswa Bima 1 arifrahmanhakim5@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Gunungapi Soputan Geomorfologi Gunungapi Soputan dan sekitarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga satuan morfologi (Gambar 2.1) yaitu : 1. Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi,

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi BAB II DASAR TEORI 2.1 Gunungapi Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat

Lebih terperinci

ANALISIS DEFORMASI PERMUKAAN GUNUNG RAUNG MENGGUNAKAN TEKNOLOGI

ANALISIS DEFORMASI PERMUKAAN GUNUNG RAUNG MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TUGAS AKHIR RG 141536 ANALISIS DEFORMASI PERMUKAAN GUNUNG RAUNG MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DIFFERENTIAL INTERFEROMETRY SYNTHETIC APERTURE RADAR (DInSAR) BERDASARKAN ERUPSI 28 JUNI 2015 RANI FITRI FEBRIYANTI

Lebih terperinci

VEKTOR. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3. Liduina Asih Primandari, S.Si., M.Si.

VEKTOR. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3. Liduina Asih Primandari, S.Si., M.Si. VEKTOR 1 A. Definisi vektor Beberapa besaran Fisika dapat dinyatakan dengan sebuah bilangan dan sebuah satuan untuk menyatakan nilai besaran tersebut. Misal, massa, waktu, suhu, dan lain lain. Namun, ada

Lebih terperinci

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara 7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara G. Kie Besi dilihat dari arah utara, 2009 KETERANGAN UMUM Nama Lain : Wakiong Nama Kawah : Lokasi a. Geografi b. : 0 o 19' LU dan 127 o 24 BT Administrasi : Pulau Makian,

Lebih terperinci

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI.

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI. REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI Agustan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina dan. akibat pertumbukan lempeng-lempeng tersebut (Gambar 2).

BAB 1 PENDAHULUAN. lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina dan. akibat pertumbukan lempeng-lempeng tersebut (Gambar 2). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan peta jalur lempeng dunia, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, Telkom University sedang mengembangkan satelit mikro yang mengorbit pada ketinggian 600-700 km untuk wahana pembelajaran space engineering. Sebelum satelit

Lebih terperinci

4.12. G. ROKATENDA, Nusa Tenggara Timur

4.12. G. ROKATENDA, Nusa Tenggara Timur 4.12. G. ROKATENDA, Nusa Tenggara Timur Puncak G. Rokatenda dilihat dari laut arah selatan P. Palue (Agustus 2008) KETERANGAN UMUM Nama : G. Rokatenda Nama Kawah : Ada dua buah kawah dan tiga buah kubah

Lebih terperinci

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur 4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur G. Iya KETERANGAN UMUM Nama : G. Iya Nama Lain : Endeh Api Nama Kawah : Kawah 1 dan Kawah 2 Tipe Gunungapi : Strato Lokasi Geografis : 8 03.5' LS dan 121 38'BT Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gunung Kelud merupakan salah satu gunung api aktif yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Gunung Kelud merupakan salah satu gunung api aktif yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Kelud merupakan salah satu gunung api aktif yang ada di Indonesia, yaitu berada di perbatasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Blitar, Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL SEISMIK TREMOR HARMONIK DAN TREMOR SPASMODIK GUNUNGAPI SEMERU, JAWA TIMUR INDONESIA

ANALISIS SINYAL SEISMIK TREMOR HARMONIK DAN TREMOR SPASMODIK GUNUNGAPI SEMERU, JAWA TIMUR INDONESIA ANALISIS SINYAL SEISMIK TREMOR HARMONIK DAN TREMOR SPASMODIK GUNUNGAPI SEMERU, JAWA TIMUR INDONESIA Arin Wildani 1, Sukir Maryanto 2, Adi Susilo 3 1 Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP, Universitas Islam

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

EVALUASI SEISMIK DAN VISUAL KEGIATAN VULKANIK G. EGON, APRIL 2008

EVALUASI SEISMIK DAN VISUAL KEGIATAN VULKANIK G. EGON, APRIL 2008 EVALUASI SEISMIK DAN VISUAL KEGIATAN VULKANIK G. EGON, APRIL 28 KRISTIANTO, AGUS BUDIANTO Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Letusan G. Egon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB II KOMPRESI DATA PENGINDERAAN JAUH

BAB II KOMPRESI DATA PENGINDERAAN JAUH 12 BAB II KOMPRESI DATA PENGINDERAAN JAUH 2.1 Data Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan teknik pengamatan permukaan bumi baik daratan maupun air dengan mengukur radiasi elektromagnetik yang yang

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan Data Elevasi 1. DEM dan Kontur BIG Perbandingan antara data elevasi DEM dan Kontur BIG disajikan dalam perbandingan 100 titik tinjauan elevasi yang tersebar merata

Lebih terperinci

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko Studi Perbandingan Dua Algoritma Phase Unwrapping (Region Growing dan Minimum Cost Flow) pada Teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (INSAR) dalam Menghasilkan Digital Surface Model (DSM) Jupi

Lebih terperinci

BERITA GUNUNGAPI JANUARI APRIL 2009

BERITA GUNUNGAPI JANUARI APRIL 2009 BERITA GUNUNGAPI JANUARI APRIL 2009 Novianti INDRASTUTI Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Selama periode Januari April 2009 terdapat 4 gunungapi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur - 100 Bujur Timur. Provinsi Sumatera memiliki luas total sebesar

Lebih terperinci

1.1. G. PUET SAGOE, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

1.1. G. PUET SAGOE, NANGGROE ACEH DARUSSALAM 1.1. G. PUET SAGOE, NANGGROE ACEH DARUSSALAM KETERANGAN UMUM Nama Lain : Puet Sague, Puet Sagu atau Ampat Sagi Lokasi a. Geografi Puncak b. Administrasi : : 4 55,5 Lintang Utara dan 96 20 Bujur Timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dibahas mengenai proses pengolahan data seismik dengan menggunakan perangkat lunak ProMAX 2D sehingga diperoleh penampang seismik yang merepresentasikan penampang

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci