BAB 3 PENGOLAHAN DATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 3 PENGOLAHAN DATA"

Transkripsi

1 BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut ini adalah diagram yang menggambarkan keseluruhan dari proses pengolahan data. RAW Data 1 RAW Data 2 SAR Processing (MSP) SLC 1 SLC 2 InSAR Processing (ISP) Interferogram DEM SRTM Global DEM Generation DEM 1 DInSAR Processing Differential Interferogram 1 Differential Interferogram 2 Peta Deformasi 1 Peta Deformasi 2 Gambar 3.1 Proses keseluruhan pengolahan data 3.2 Data Yang Digunakan Data untuk pembuatan InSAR Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data SAR dari satelit ALOS PALSAR level 1.0. Data ini berupa data mentah dari Gunung Merapi yang terdiri dari data citra yaitu 38

2 IMG serta metadata yaitu LED. Tabel berikut adalah daftar dari data mentah serta waktu pengambilan dari citra Gunung Merapi yang digunakan. Tabel 3.1 Data-data SAR yang digunakan IMG Data LED Waktu Pengambilan IMG-HH-ALPSRP H1.0 A LED-HH-ALPSRP H1.0 A 26 Januari 2009 IMG-HH-ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 13 Juni 2009 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 29 Oktober 2009 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 14 Desember 2009 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 29 Januari 2010 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 16 Juni 2010 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 16 September 2010 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 1 November 2010 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 17 Desember 2010 IMG-HH- ALPSRP H1.0 A LED-HH- ALPSRP H1.0 A 1 Februari Data DEM Global SRTM 3 Data DEM yang digunakan merupakan data DEM Global SRTM 3 dari Gunung Merapi. Data ini dibutuhkan utuk melakukan proses mereduksikan efek topografi dari interferogram sehingga efek deformasi dari interferogram dapat diamati. DEM Global SRTM 3 untuk kawasan Merapi ini didapatkan dengan menggabungkan DEM Global SRTM 3 pada beberapa daerah sekitar kawasan Merapi kemudian dilakukan pengambilan sebagian DEM pada kawasan Merapi. Gambar 3.2 berikut merupakan gambar DEM Global SRTM 3 dari Gunung Merapi yang dipakai dalam proses mereduksi efek topografi yang dilakukan dalam penelitian. 39

3 Gambar 3.2 DEM Global SRTM Data Titik Ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial Data DEM yang digunakan merupakan data titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial sebagai kontrol DEM yang diturunkan dari pasangan interferogram yang dibuat dari 2 SLC. Ketinggian berdasarkan beda fase DEM simulasi tersebut digeoreferensi dengan menggunakan dengan menggunakan titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial. DEM hasil simulasi ini akan digunakan sama seperti DEM SRTM 3 Global yang digunakan untuk mereduksi efek topografi pada interferogram. Dengan menggunakan DEM berasal dari interferogram ini akan didapatkan DEM dengan resolusi yang sama dengan interferogram yang ada sehingga didapatkan peta deformasi yang memiliki resolusi yang lebih baik dibandingan dengan menggunakan DEM Global SRTM 3. Gambar 3.3 berikut merupakan gambar kumpulan titik ketinggian pada DEM RBI BIG yang digunakan pada penelitian. 40

4 Gambar 3.3 Titik Ketinggian DEM RBI BIG 3.3 Perangkat Lunak GAMMA Perangkat lunak GAMMA merupakan salah satu perangkat lunak yang dapat dipergunakan untuk melakukan pengolahan citra InSAR.Perangkat lunak GAMMA merupakan perangkat lunak yang diluncurkan perusahaan GAMMA Company yang bergerak di bidang penginderaan jauh oleh Charles Wegner dan Urs Wegmuller pada tahun Perangkat lunak ini digunakan pada UNIX operating system dan dibuat dari bahasa ANSI-C. Salah satu kemampuan dari GAMMA adalah dapat digunakan untuk pengamatan deformasi dari citra hasil pengolahannya. Perangkat lunak ini terbagi atas beberapa program yaitu sebagai berikut. 1. Modular SAR Processing Program ini memiliki fungsi untuk pengolahan data RAW untuk menjadi data SLC (Single Look Complex) dan MLI (Multi Look Intensity). Beberapa fungsi dapat dilakukan untuk pengolahan data RAW seperti range compression, penentuan Doppler centroid, autofocus, azimuth compression, pembentukan multilook dan lain sebagainya. 2. Interferometric SARProcessing Program ini menyediakan fungsi-fungsi untuk membentuk interferogram dari data SLC serta berbagai fitur lain seperti flattening, penentuan koherensi, filtering interferogram, phase unwrapping dan lain sebagainya. 41

5 3. Geocoding and Differential Program ini menyediakan fungsi geocoding yaitu seperti melakukan transformasi DEM dari sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat RADAR (slant range) dan begitu pula sebaliknya. Selain itu program ini dapat digunakan untuk membentuk interferogram diferensial serta pembuatan peta deformasi (displacement map). 3.4 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan jumlah data RAW sebanyak 10. Keseluruhan data RAW dapat dilihat pada tabel 3.1. Data-data ini diolah hingga menjadi peta deformasi Pengolahan Data DEM SRTM 3 Global Pada proses ini dilakukan pengolahan data DEM SRTM 3 yaitu proses geocoding agar DEM SRTM 3 Global tersebut dapat dilakukan pensimulasian menjadi interferogram yang memiliki sistem koordinat slant range. Hal ini dilakukan sebelum dapat menghilangkan efek topografi pada interferogram Proses Pembentukan Tabel Lookup dan Transformasi DEM SRTM 3 menjadi memiliki Sistem Koordinat Slant Range Pada proses ini dilakukan transformasi DEM global SRTM 3 menjadi sistem koordinat slant range serta pembentukan tabel lookup. Tabel lookup digunakan untuk melakukan geocoding kembali sehingga dari DEM dengan sistem koordinat slant range dapat ditransformasi kembali menjadi DEM. Namun pada proses ini tabel lookup yang dihasilkan masih memiliki ketelitian yang kurang baik sehingga pada proses selanjutnya tabel lookup tersebut akan diperbaiki. Hasil DEM dalam sistem koordinat slant range ini sesuai dengan masukan yang dilakukan. Apabila masukan berupa SLC maka hasil keluaran akan berupa SLC (Single Look Complex) dan apabila berupa MLI (Multi Look Intensity) maka hasil keluaran akan berupa MLI Proses Resampling dari Geometri DEM menjadi Geometri SAR Dengan menggunakan tabel lookup dilakukan resampling dari geometri DEM menjadi geometri slant range menjadi sistem koordinat peta. Pada proses ini dilakukan 42

6 transformasi agar ukuran DEM sesuai dengan ukuran citra. Selain itu hasil dari proses ini masih memiliki ketelitian yang kurang baik karena tabel lookup belum diperbaiki Proses Penghitungan Offset dan Regristrasi Polinomial Pada proses ini dilakukan penghitungan offset dan proses registrasi polinomial citra dengan DEM dalam geometri slant range Proses Perbaikan Tabel Lookup Dengan menggunakan parameter offset yang dihitung pada proses sebelumnya kemudian dapat dilakukan perbaikan tabel lookup sehingga akan dihasilkan tabel lookup yang memiliki ketelitian yang baik Proses Geocoding dari Geometri Peta menjadi Geometri SAR Pada proses ini dilakukan geocoding DEM dari geometri peta menjadi geometri SAR dengan menggunakan tabel lookup yang telah diperbaiki. Gambar 3.4 DEM hasi proses geocoding dalam slant range dan telah menjadi interferogram simulasi (kiri : didapatkan dari DEM Global SRTM 3, kanan : didapatkan dari DEM yang diturunkan dari data SAR) Pengolahan Data RAW menjadi SLC Pada proses ini dilakukan pengolahan data mentah hingga menjadi data SLC (Single Look Complex) yang dilakukan melalui serangkaian proses sinyal digital yang terdapat pada data RAW. Gambar 3.3 berikut menggambarkan proses lengkapnya. 43

7 Data RAW Penentuan Ambiguitas Doppler Estimasi Pusat Doppler Kompresi Range Auto-fokus Kompresi Azimuth Data SLC Gambar 3.5 Proses pembuatan SLC Proses Pembentukan File Parameter serta File RAW Pada proses ini dilakukan proses pembentukan file parameter yang berisikan informasi-informasi (berupa header atau metadata) dari data mentah serta file RAW yang merupakan data mentah citra satelit. File parameter ini dibuat dari data leader (LED) dan file RAW dibuat dari data citra (IMG) Penentuan Ambiguitas Doppler Pada proses ini dilakukan penentuan kemiringan pencitraan terhadap arah tegak lurus gerak orbit satelit. Proses ini diperlukan untuk proses selanjutnya yaitu estimasi dari Doppler centroid. Terdapat 2 metode yang dapat digunakan untuk penentuan ambiguitas Doppler yaitu MLBF (Multi-Look Beat Frequency) dan MLCC (Multi-Look Cross Corelation). Pada penelitian ini saya melakukan metode MLCC karena salah satu keuntungan dari MLCC adalah lebih dapat menghemat penyimpanan data Estimasi Doppler Centroid Setelah ambiguitas Doppler maka proses selanjutnya dapat dilakukan yaitu proses estimasi Dopper centroid. Proses ini diperlukan untuk proses azimuth compression. 44

8 Range Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah range untuk memaksimumkan intensitas gelombang pantulan kembali Autofocus Pada proses ini dilakukan penghilangan pengkaburan pada data yang diakibatkan oleh pergerakan satelit yang tidak sempurna pada jalur Azimuth Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah azimut dengan menggunakan Doppler centroid yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan proses ini sama dengan proses range compression. Pada proses ini dilakukan dengan masukan umum pada data PALSAR yaitu jumlah blok pemrosesan dan konstanta kalibrasi 10,2 db. Terdapat dua jenis format SLC yang dihasilkan pada proses ini yaitu FCOMPLEX dan SCOMPLEX. FCOMPLEX merupakan format data SLC dengan setiap pikselnya memiliki resolusi radiometrik 4 byte sedangkan SCOMPLEX memiliki resolusi radiometrik 2 byte. Hasil dari proses yang dilakukan ini adalah berupa SLC dengan format SCOMPLEX karena untuk penghematan memori penyimpanan serta pengamatan hasil tidak terlalu berpengaruh dari resolusi radiometrik Pengolahan Data SLC Hingga Menjadi Interferogram serta DEM Simulasi dari Interferogram Pada proses ini dilakukan pengolahan dari data SLC hingga menjadi data unwrapped interferogram. Gambar 3.6 dan 3.7 berikut menggambarkan proses lengkapnya serta salah satu SLC. SLC Master SLC Slave Penentuan Offset ResamplingSLC Slave Multilook Multilook Pembentukan Interferogram Interferogram Penentuan Baseline Orbit Gambar 3.6 Proses pembuatan interferogram serta data baseline orbit 45

9 Gambar 3.7 SLC dari data RAW 13 Juni Penghitungan Offset Kedua SLC Proses ini diawali dengan pembuatan file parameter offset. Pembuatan offset dilakukan dengan hasil file parameter offset yang masih kosong dan belum berisi offset dari kedua citra. Setelahfile parameter offset telah dibuat maka selanjutnya adalah penghitungan offset dari kedua citra. Penghitungan ini dilakukan dengan nilai pencarian pada tabel Pada proses tersebut dilakukan penghitungan offset pendekatan dari orbit kedua citra. Setelah itu dilakukan penghitungan ulang untuk memperbaiki penghitungan offset dengan penghitungan awal menggunakan multi look untuk meningkatkan keakuratan dari estimasi offset. Setelah dilakukan penghitungan dari offset pendekatan maka selanjutnya kembali dilakukan penghitungan offset dengan menggunakan korelasi intesitas kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas korelasi sebesar 7.0 dan jendela pencarian korelasi pada tabel 3.2 berikut. 46

10 Tabel 3.2 Nilai pencarian korelasi Parameter pemrosesan ISP Nilai Range pencarian 128 Azimuth pencarian 128 Lebar jendela pencarian 256 Panjang jendela pencarian 256 Selanjutnya adalah menentukan parameter polinomial untuk melakukan resampling dari salah satu citra (slave) terhadap salah satu citra (master) Proses Coregristration dan Resampling Kedua SLC Pada proses ini dilakukan coregistration dan resampling kedua citra dengan mengunakan parameter offset yang telah ditentukan. Sebelum proses ini dilakukan terlebih dahulu pada kedua citra dilakukan proses multi look untuk mengurangi noise yang ada dengan mengorbankan resolusi dari citra. Perbandingan untuk multi look pada data PALSAR adalah 1 : 3 untuk range dan azimut. Multi look dilakukan menggunakan faktor 2 pada range dan faktor 6 pada azimuth untuk menghemat penyimpanan data Proses Pembentukan Interferogram Pada proses ini dilakukan pembentukan interferogram dari kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan salah satu SLC untuk menjadi master dan salah satu SLC untuk menjadi slave. SLC master digunakan untuk menjadi referensi pada pembentukan interferogram. SLC master yang digunakan merupakan SLC dengan waktu pengambilan yang lebih duluan dari SLC slave sehingga pengamatan deformasi dilakukan berdasarkan arah waktu yang tepat. Dengan menggunakan keseluruhan SLC maka didapatkan hasil 45 interferogram yang didapatkan dengan memasangkan 9 SLC yang ada. Gambar 3.8 berikut adalah salah satu interferogram hasil pengolahan data dari pasangan SLC yang diproses menjadi interferogram dalam penelitian ini. 47

11 Gambar 3.8 Gambar interferogram hasil pasangan SLC dan Proses Penentuan Baseline Orbit Pada proses ini dilakukan penentuan baseline dari orbit kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan data orbit satelit yang terdapat pada data parameter kedua SLC (*.slc.par). Hasil yang didapatkan adalah baseline dari orbit kedua citra dalam sistem referensi koordinat lokal yaitu TCN (Track, Cross-track, andnormal). Track merupakan vektor ke arah orbit satelit master, cross-track merupakan vektor ke arah tegak lurus dari arah track dan normal, normalmerupakan vektor ke arah normal satelit master. Hasil penentuan baseline tegak lurus dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut. Tabel 3.3 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master

12 Tabel 3.4 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master

13 Tabel 3.5 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master

14 3.4.4 Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi DEM SAR Sebelum dilakukannya proses eliminasi kelengungan Bumi pada interferogram terlebih dahulu dilakukan proses pemilihan interferogram yang cocok untuk dapat membentuk DEM yang memiliki kualitas baik. Pemilihan ini dilakukan dengan melakukan pengamatan korelasi antara interferogram dan DEM Global SRTM 3. Gambar 3.9 berikut menggambarkan proses lengkap pembuatan DEM yang diturunkan dari data SAR.Gambar 3.10 berikut merupakan contoh masking korelasi interferogram yang berkorelasi baik dan buruk. Interferogram Pengamatan Korelasi dengan DEM SRTM Global 3 DEM SRTM Global 3 Penghilangan Efek Kelengkungan Bumi Pada Interferogram Informasi Baseline Estimasi Tingkat Koherensi Filtering Interferogram Unwrapping Interferogram Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Inteferogram Pembentukan DEM InSAR DEM InSAR Gambar 3.9 Proses pembuatan DEM yang diturunkan dari SAR 51

15 Gambar 3.10 Hasil masking corelation raster interferogram Proses Penghilangan Kelengkungan Bumi Proses ini dilakukan sebelum proses unwrapping sehingga proses tersebut tidak dipengaruhi oleh kelengkungan Bumi. Proses ini dilakukan hanya untuk 4 interferogram yaitu interferogram _ , _ , _ dan _ yang dipilih melalui pencarian korelasi dengan DEM Global SRTM 3 dengan batas korelasi 0,7 dan jumlah daerah yang berkorelasi baik hingga 70%. Proses ini dilakukan untuk pembentukan DEM simulasi dari interferogram. Gambar 3.11 berikut merupakan salah satu interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi pada penelitian. Gambar 3.11 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi ( _ ) 52

16 Proses Estimasi Derajat Koherensi Proses ini dilakukan untuk mencari nilai koherensi fase dari interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Buminya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan jendela koherensi 5 baris dan 5 kolom yang merupakan pengaturan biasa digunakan dan fungsi bobot pembesaran triangular. Fungsi bobot pembesaran ini memiliki hasil yang relatif tidak jauh beda untuk semua metode. Gambar 3.12 berikut merupakan gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi pada penelitian. Gambar 3.12 Gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi ( _ ) Proses Filtering Interferogram Pada proses ini dilakukan pemfilteran interferogram terhadap noise atau gangguan fase yang ada pada interferogram. Proses ini dilakukan dengan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas koherensi 0.25 agar batas koherensi yang digunakan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Selain itu untuk parameter lainya digunakan masukan yang biasa digunakan (default). Gambar 3.13 berikut merupakan interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi dan telah difilter dari noise. 53

17 Gambar 3.13 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi dan telah difilter dari noise ( _ ) Proses Unwrapping Interferogram Pada proses ini dilakukan pengubahan interferogram yang masih memiliki fase relatif menjadi fase absolut. Proses ini dilakukan dengan menggunakan metode Minimum Cost Flow (MCF) dan masukkan yang biasa digunakan. Sebelum dilakukan unwrapping terlebih dahulu dilakukan masking pada fase dengan korelasi rendah pada interferogram dengan menggunakan batas korelasi 0,25. Gambar 3.14 berikut merupakan gambar interferogram yang telah di-unwrapping Gambar 3.14 Interferogram yang telah di-unwrapping ( _ ) 54

18 Proses Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Interferogram Pada proses ini dilakukan dengan 3 proses yaitu : 1. Pemilihan titik kontrol tanah 2. Ekstraksi nilai fase yang sudah di-unwrap 3. Estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap Proses pemilihan titik kontrol tanah dilakukan dengan menggunakan RBI Badan Informasi Geospasial. Pemilihan titik-titik kontrol tanah yang dipilih merupakan titik-titik yang dapat diamati dengan jelas. Pemilihan titik ini dilakukan secara manual dengan menggunakan interferogram yang sudah di-unwrap-kan yang kemudian dirasterkan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai fase absolut titik kontrol tanah yang kemudian dilanjutkan dengan estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap Proses Pembentukan Peta Ketinggian Interferometrik Pada proses ini dilakukan pembentukan peta ketinggian interferometrik dengan mengestimasi ketinggian dan ground range dari interferogram. Ketinggian dan ground range ini masih dalam koordinat SAR (slant range atau azimuth) yang kemudian akan diubah menjadi koordinat ortonormal. Untuk melakukannya dilakukan proses resampling dari interferogram sehingga terbentuk peta ketinggian interferometrik dengan koordinat sepanjang jalur dan tegak lurus jallur (along track dan across track). Hasil pembuatan DEM tersebut dapat dilihat pada gambar Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi Peta Deformasi Pada proses ini dilakukan proses penghilangan efek topografi pada interferogram dengan menggunakan DEM yaitu DEM Global SRTM 3 dan DEM yang diturunkan dari data SAR sehingga dihasilkan peta deformasi. Gambar 3.6 berikut menggambarkan proses pembuatan peta deformasi Pengolahan DEM Global SRTM 3 DEM SRTM Global 3 tidak dapat langsung digunakan dan diproses oleh perangkat lunak GAMMA karena memiliki format data yang berbeda yaitu big endian. Untuk itu perlu 55

19 dilakukan pengubahan format data little endian menjadi big endian. Selain itu pada piksel yang tidak memiliki data berisikan nilai sehingga perlu diubah menjadi nilai 0. Interferogram DEM Penentuan Transformasi Geometrik Awal Perbaikan Transformasi Geometrik Resampling DEM Simulasi Fase Topografi Penghilangan Fase Topografi Penghilangan Trend Linear Fase Unwrapping Pembentukan Peta Deformasi Peta Deformasi Gambar 3.15 Proses pembuatan peta deformasi 56

20 Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM SRTM Global 3 Hingga menjadi Peta deformasi Pada proses ini dilakukan penghilangan efek topografi pada interferogram yang belum dilakukan unwrapping dengan menggunakan DEM SRTM Global 3. Dengan dihilangkannya efek topografi sehingga interferogram sehingga pada interferogram tersisa fase akibat pergerakan dan atmosfer dan efek lain sebagainya yang dapat diabaikan. Setelah efek topografi dihilangkan kemudian sebelum diubah menjadi peta deformasi terlebih dahulu dilakukan proses unwrapping sehingga fase yang ada pada interferogram merupakan fase absolut. Sebelum dilakukan proses unwrapping terlebih dahulu dilakukan proses masking terhadap interferogram untuk daerah berkolerasi rendah dengan batas korelasi 0,25. Hal ini dilakukan agar daerah yang memiliki korelasi rendah tidak diikutkan dalam proses unwrapping sehingga proses lebih cepat. Setelah itu kemudian dilakukan proses interpolasi interferogram yang telah di-unwrapping untuk mendapatkan daerah yang kosong akibat korelasi rendah. Setelah proses tersebut kemudian dilakukan pembentukan peta deformasi pada interferogram dengan fase absolut sehingga pergerakan dapat diamati dengan baik. Peta deformasi yang dibuat merupakan peta deformasi vertikal sehingga mengabaikan deformasi horizontal yang ada.hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM Simulasi Hingga menjadi Peta Deformasi Proses ini sama dengan proses pengolahan diferensial dengan menggunakan DEM SRTM Global 3 namun dengan menggunakan DEM simulasi yaitu peta ketinggian interferometrik. Proses ini dilakukan persis sama dengan menggunakan DEM SRTM Global 3 hingga terbentuk peta deformasi. Penghilangan efek topografik dengan menggunakan DEM sumulasidilakukan karena ketelitian pada DEM simulasi yang lebih baik dari DEM SRTM Global 3. Selain itu DEM simulasi dibuat dari data yang digunakan sehingga korelasi waktu lebih baik. Contoh hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar

21 Gambar 3.16 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM yang diturunkan dari interferogram 58

22 Gambar 3.17 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM Global SRTM 3 59

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 TUGAS AKHIR atau SKRIPSI Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas gunung api dapat dipelajari dengan pengamatan deformasi. Pemantauan deformasi gunung api dapat digolongkan menjadi tiga kategori berbeda dari aktifitas gunung

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI IV.1 Sekilas Tentang Gunung Api Batur Area yang menjadi kajian (studi) untuk dilihat sinyal deformasinya (vertikal) melalui Teknologi InSAR selama kurun waktu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data BAB IV ANALISIS Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data, hasil yang diperoleh beserta kaitannya dengan aktivitas Gunung Semeru, kinerja dari perangkat lunak GMTSAR. 4.1

Lebih terperinci

Eko Yudha ( )

Eko Yudha ( ) Eko Yudha (3507 100 045) Fenomena letusan Gunung Berapi Teknologi InSAR Terjadinya perubahan muka tanah (deformasi) akibat letusan gunung Berapi Penggunaan Teknologi InSAR untuk pengamatan gunung api Mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR) BAB II TEORI DASAR Bab ini memberikan deskripsi singkat mengenai SAR berwahana satelit, InSAR, penggunaan metode InSAR dalam penentuan deformasi dan gambaran singkat mengenai Gunung Semeru dan aktivitas

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data BAB V ANALISIS Dalam penelitian tugas akhir yang saya lakukan ini, yaitu tentang Studi Deformasi dari Gunung Api Batur dengan menggunakan Teknologi SAR Interferometri (InSAR), studi yang saya lakukan ini

Lebih terperinci

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR (DInSAR) STUDY OF DETECTED LAND SUBSIDANCE AND UPLIFT USING DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi Roni Kurniawan dan Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org]

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [http://www.wikipedia.org] BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Gunung Merapi Gunung api merupakan pembukaan ataupun retakan pada permukaan Bumi sehingga objek yang berada di bawah kulit Bumi seperti magma, debu vulkanik serta gas dapat keluar

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR Hasil dan karakteristik data yang dibutuhkan sangat tergantung pada perangkat lunak yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak GMTSAR untuk

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... v HALAMAN PERNYATAAN... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii INTISARI... viii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR

Lebih terperinci

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko Studi Perbandingan Dua Algoritma Phase Unwrapping (Region Growing dan Minimum Cost Flow) pada Teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (INSAR) dalam Menghasilkan Digital Surface Model (DSM) Jupi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada 6 o LU hingga 11 o LS dan 95 o hingga 141 o BT sehingga Indonesia berada di daerah yang beriklim tropis. Selain itu, Indonesia juga terletak

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR) II.1 Radar Radar (Radio Detection and Ranging) adalah salah satu sistem penginderaan jauh (inderaja) yang tidak

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC III.1 Sekilas Tentang ROI PAC ROI_PAC merupakan kepanjangan dari Repeat Orbit Interferometry Package, software ini memberikan kesempatan untuk para peneliti dalam

Lebih terperinci

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR STUDI DEFORMASI GUNUNG MERAPI MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERFEROMETRY SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) Eko Yudha 1, Bangun Mulyo 1, Yuwono 1,Wiweka 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) BAB II DASAR TEORI II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Remote sensing dalam bahasa Indonesia yaitu penginderaan jauh, dapat diartikan suatu teknik pengumpulan data atau informasi objek permukaan bumi

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II Tinjauan Pustaka 23 BAB II Tinjauan Pustaka II.1. Pengolahan Citra Digital Citra yang diperoleh dari lingkungan masih terdiri dari warna yang sangat komplek sehingga masih diperlukan proses lebih lanjut agar image tersebut

Lebih terperinci

DETEKSI PENURUNAN MUKA TANAH KOTA SEMARANG DENGAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR

DETEKSI PENURUNAN MUKA TANAH KOTA SEMARANG DENGAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR DETEKSI PENURUNAN MUKA TANAH KOTA SEMARANG DENGAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (DINSAR) MENGGUNAKAN SOFTWARE ROI_PAC BERBASIS OPEN SOURCE Eko Andik Saputro 1), Sutomo Kahar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU TUGAS AKHIR Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Geodesi

Lebih terperinci

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Profil adalah kenampakan permukaan alam disebabkan adanya beda tinggi apabila beda tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar. Manfaat profil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI.

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI. REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI Agustan

Lebih terperinci

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) G153 Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) Fristama Abrianto, Lalu Muhamad Jaelani Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. BAB III PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. 3.1 Lokasi Area Studi Dalam tugas akhir ini daerah Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisis Data DEM/DTM Untuk mengetahui kualitas, persamaan, dan perbedaan data DEM/DTM yang akan digunakan untuk penelitian, maka dilakukan beberapa analisis. Gambar IV.1.

Lebih terperinci

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20 Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-2 IV.7 Gelombang Menabrak Suatu Struktur Vertikal Pemodelan dilakukan untuk melihat perilaku gelombang ketika menabrak suatu struktur vertikal. Suatu saluran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital Citra digital merupakan sebuah fungsi intensitas cahaya, dimana harga x dan y merupakan koordinat spasial dan harga fungsi f tersebut pada setiap titik merupakan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ada beberapa cara yang telah dilakukan, antara lain : akan digunakan untuk melakukan pengolahan citra.

BAB III METODE PENELITIAN. ada beberapa cara yang telah dilakukan, antara lain : akan digunakan untuk melakukan pengolahan citra. BAB III METODE PENELITIAN Untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam melaksanakan tugas akhir, ada beberapa cara yang telah dilakukan, antara lain : 1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan berupa pencarian

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGOLAHAN DATA BAB III PENGOLAHAN DATA Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan pengambilan data, penentuan titik tengah area yang akan menjadi sampel, pengambilan sampel, penentuan ukuran window subcitra

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dibahas mengenai proses pengolahan data seismik dengan menggunakan perangkat lunak ProMAX 2D sehingga diperoleh penampang seismik yang merepresentasikan penampang

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-399 PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC) BAB I PENDAHULUAN I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC) Sistem Air Traffic Control (ATC) merupakan sistem kompleks yang melibatkan sumber daya manusia, lembaga otoritas, manajemen, prosedur operasi dan

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT) PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT) Ana Rizka Sari 1, Hepi Hapsari H 1, Agustan 2 1 Teknik

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi di bidang informasi spasial dan fotogrametri menuntut sumber data yang berbentuk digital, baik berformat vektor maupun raster. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pengolahan citra (image processing) telah banyak dipakai di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pengolahan citra (image processing) telah banyak dipakai di berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Citra (image) adalah bidang dalam dwimatra (dua dimensi) (Munir, 2004). Sebagai salah satu komponen multimedia, citra memegang peranan sangat penting sebagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017 ANALISIS KORELASI DEFORMASI DAN TUTUPAN LAHAN KAWASAN GUNUNG MERAPI PRA DAN PASCA ERUPSI Riska Pratiwi, Yudo Prasetyo, Bambang Darmo Yuwono *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN

BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN Untuk keperluan penelitian ini, sangat penting untuk membangun basis data SIG yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan variabel yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1)

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1) Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur Ari Wahono 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017 ANALISIS PERBANDINGAN HASIL ORTHOREKTIFIKASI METODE RANGE DOPPLER TERRAIN CORRECTION DAN METODE SAR SIMULATION TERRAIN CORRECTION MENGGUNAKAN DATA SAR SENTINEL 1 Bambang Septiana,Arwan Putra Wijaya, Andri

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh.

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh. 38 Bab IV Analisa dan Pembahasan Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh. IV.1. Analisis Sumber Data Peta-peta Pendaftaran Tanah yang kami jadikan obyek

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015 ANALISIS DEFORMASI SESAR KALIGARANG MENGGUNAKAN METODE DINSAR DAN GEOMORFOLOGI TAHUN 2007-2008 Syachril Warasambi Mispaki, Yudo Prasetyo, Moehammad Awaluddin *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi :

BAB III METODOLOGI. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi : BAB III METODOLOGI 3.1 Data Data yang digunakan dalam studi ini meliputi : Data citra satelit NOAA Citra Satelit NOAA yang digunakan merupakan hasil olahan yang menampilkan tampakan pewarnaan laut untuk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNG API DAN PENURUNAN TANAH

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNG API DAN PENURUNAN TANAH PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNG API DAN PENURUNAN TANAH THESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh : TEGUH

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra (image) sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh

Lebih terperinci

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No., 2004, -32 Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit Departemen Teknik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang penelitian dibuat, rumusan masalah, batasan masalah yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Pada bab ini akan dijelaskan berbagai macam teori yang digunakan dalam percobaan yang dilakukan. Teori-teori yang didapatkan merupakan hasil studi dari beragai macam referensi. Akan

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Terhadap Hasil Pengolahan Data Gambar IV-1 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MMS (Multimedia Messaging Service) adalah puncak dari evolusi SMS

BAB I PENDAHULUAN. MMS (Multimedia Messaging Service) adalah puncak dari evolusi SMS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah MMS (Multimedia Messaging Service) adalah puncak dari evolusi SMS (Short Messaging Service) yang berupa pesan teks pendek, dan EMS (Enhanced Messaging Service)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengerjaan tugas akhir ini ditunjukkan dalam bentuk blok diagram pada gambar 3.1. Blok diagram ini menggambarkan proses dari sampel citra hingga output

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Deformasi diambil dari kata deformation yang artinya perubahan bentuk, yaitu merupakan suatu fenomena dimana objek- objek alamiah maupun buatan manusia terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital 2.1.1 Pengertian Citra Digital Citra dapat didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi, f(x,y) dimana x dan y merupakan koordinat bidang datar, dan harga fungsi f disetiap

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE INTERPOLASI LINIER DAN METODE SUPER RESOLUSI PADA PEMBESARAN CITRA

PENERAPAN METODE INTERPOLASI LINIER DAN METODE SUPER RESOLUSI PADA PEMBESARAN CITRA Jurnal INFOTEK, Vol, No, Juni 6 ISSN 5-668 (Media Cetak) PENERAPAN METODE INTERPOLASI LINIER DAN METODE SUPER RESOLUSI PADA PEMBESARAN CITRA Rini Astuti (5) Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika STMIK

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Computer Vision Computer vision dapat diartikan sebagai suatu proses pengenalan objek-objek berdasarkan ciri khas dari sebuah gambar dan dapat juga digambarkan sebagai suatu deduksi

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Tulisan Tangan angka Jawa Digitalisasi Pre-Processing ROI Scalling / Resize Shadow Feature Extraction Output Multi Layer Perceptron (MLP) Normalisasi

Lebih terperinci

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding 14 BAB III. TEORI DASAR 3.1. Prinsip Dasar Metode Gayaberat 3.1.1. Teori Gayaberat Newton Teori gayaberat didasarkan oleh hukum Newton tentang gravitasi. Hukum gravitasi Newton yang menyatakan bahwa gaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON 3.1 Data dan Area Studi Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney Indonesia. Area tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Citra menurut kamus Webster adalah suatu representasi atau gambaran, kemiripan, atau imitasi dari suatu objek atau benda, contohnya yaitu foto seseorang dari kamera yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Marka Jalan Marka jalan merupakan suatu penanda bagi para pengguna jalan untuk membantu kelancaran jalan dan menghindari adanya kecelakaan. Pada umumnya marka jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM I GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 20 Oktober 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B Nama

Lebih terperinci