TUGAS AKHIR ANALISA PERFORMANSI PENGKODEAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSIONAL PADA SINYAL VIDEO DI KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS AKHIR ANALISA PERFORMANSI PENGKODEAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSIONAL PADA SINYAL VIDEO DI KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN)"

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR ANALISA PERFORMANSI PENGKODEAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSIONAL PADA SINYAL VIDEO DI KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN) Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama : Nurokhmah NIM : Jurusan : Teknik Elektro Peminatan : Telekomunikasi Pembimbing : Dr. Ing. Mudrik Alaydrus PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2007 i

2 LEMBAR PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini, Nama : Nurokhmah NIM : Jurusan : Teknik Elektro Fakultas : Teknik Industri Judul Skripsi : Analisa Performansi Pengkodean Reed Solomon Dan Konvolusional Pada Sinyal Video Di Kanal Additive White Gaussian Noise (AWGN) Dengan ini menyatakan bahwa hasil penulisan Skripsi yang telah saya buat ini merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulisan Skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan aturan tata tertib di Universitas Mercu Buana. Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan. Penulis, [Nurokhmah] ii

3 LEMBAR PENGESAHAN ANALISA PERFORMANSI PENGKODEAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSIONAL PADA SINYAL VIDEO DI KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN) Disusun Oleh : Nama : Nurokhmah NIM : Program Studi : Teknik Elektro Peminatan : Telekomunikasi Menyetujui, Pembimbing Koordinator TA (Dr. Ing. Mudrik Alaydrus) (Yudhi Gunardi, ST, MT) Mengetahui, Ketua Program Studi Teknik Elektro (Ir. Budi Yanto, MSc) iii

4 ABSTRAK Pengiriman sinyal video pada kanal radio akan menimbulkan error random yang bersifat burst dan terdistribusi secara acak. Pemakaian kode konvolusi yang memungkinkan transmisi ulang dalam pengoreksian kesalahan hal itu masih sering digunakan untuk meminimalisasi tingkat kesalahan. Penambahan block code Reed Solomon sebagai salah satu kode yang bersifat Forward Error Control mampu untuk mendeteksi dan mengkoreksi error yang muncul secara acak dan tak terduga (bursty) dan biasanya digunakan pada sistem koding gandeng. Pada Tugas Akhir ini akan dilakukan pengamatan performansi pengiriman sinyal video AVI pada kanal AWGN terhadap pemakaian gabungan block code Reed Solomon dengan kode Konvolusional, sedangkan teknik modulasi yang digunakan yaitu modulasi QPSK. Simulasi menggunakan program MATLAB 7.1 iv

5 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pernyataan.. ii Halaman Pengesahan. iii Abstrak... iv Kata Pengantar v Daftar Isi. vii Daftar Gambar ix Daftar Tabel x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Perumusan Masalah Batasan Masalah Metode Penelitian Masalah Sistematika Penulisan... 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Sinyal Video Video AVI Channel Coding Block Code Hamming Code Hadamard Code Golay Code Cyclic Code BCH Code Reed Solomon Code Convolutional Code Algoritma Viterbi Teknik Modulasi QPSK. 15 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI 3.1 Konsep Kode Reed Solomon Aritmatika Galois Field Pembentukan GF(2 m ) Enkode Reed Solomon Dekode Reed Solomon Komputasi Sindrom Penentuan Polinomial Lokasi Kesalahan 22 vii

6 Menentukan Posisi Kesalahan Menghitung Mgnitude Koreksi Kesalahan Konsep Kode Konvolusi Encoder Konvolusional Decoder Konvolusional Konsep Interleaver Perhitungan Bit Error Rate. 27 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB 4.1 Perancangan Sistem Simulasi Program Bagian Pengiriman Data Kanal Radio Bagian Penerimaan Data Analisa Performansi Channel Coding Tanpa Menggunakan Channel Coding Menggunakan Pengkodean Konvolusional Menggunakan Pengkodean Reed Solomon Menggunakan Pengkodean Reed Solomon dan Konvolusional Simulasi Pengiriman Sinyal Video AVI 38 BAB V KESIMPULAN 45 DAFTAR PUSTAKA. xi LAMPIRAN viii

7 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Diagram Blok Sistem Transmisi 5 Gambar 2.2 Struktur sebuah codeword 11 Gambar 3.1 Sebuah codeword Reed Solomon 18 Gambar 3.2 Struktur encoder konvolusional C(2,1,2), rate ½ 24 Gambar 3.3 Struktur Diagram Trellis untuk konvolusi C(2,1,2) 25 Gambar 3.4 Proses code rate ½ 26 Gambar 3.5 Proses Interleaving 27 Gambar 4.1 Flowchart Program 29 Gambar 4.2 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN tanpa channel coding 34 Gambar 4.3 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN Menggunakan pengkodean konvolusional 35 Gambar 4.4 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN Menggunakan pengkodean Reed Solomon 36 Gambar 4.5 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN Menggunakan pengkodean Reed Solomon dan Konvolusional 37 Gambar 4.6 Simulasi video AVI tanpa channel coding 39 Gambar 4.7 Simulasi video AVI menggunakan kode konvolusional 40 Gambar 4.8 Simulasi video AVI menggunakan kode Reed Solomon 42 Gambar 4.9 Simulasi video AVI menggunakan kode Reed Solomon dan Konvolusional 43 ix

8 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Field AVI (Audio Video Interleave) 4 Tabel 2.2 Parameter Reed Solomon 12 Table 3.1 Berbagai representasi sebuah elemen GF(2 3 ) 20 Tabel 4.1 Parameter video AVI pada simulasi 38 Table 4.2 Perhitungan BER jika tanpa channel coding 39 Table 4.3 Perhitungan BER jika menggunakan pengkodean Konvolusional 41 Table 4.4 Perhitungan BER jika menggunakan pengkodean Reed Solomon 41 Table 4.5 Perhitungan BER jika menggunakan pengkodean Reed Solomon dan Konvolusional 43 x

9 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unjuk kerja suatu sistem komunikasi dapat dievaluasi dari jumlah error yang timbul pada saat pengiriman informasi. Error ini mungkin timbul akibat derau, dan interferensi yang merusak data informasi yang dikirimkan. Channel coding berfungsi untuk menjaga informasi atau data digital dari error yang mungkin terjadi selama proses transmisi dengan cara menambahkan bit redundansi (tambahan) ke dalam data yang akan dikirimkan. Channel code yang digunakan untuk mendeteksi error disebut error detection codes, sedangkan yang juga mampu untuk mengkoreksi kesalahan tersebut disebut error correction code. Channel coding beroperasi pada data digital dengan mengkodekan sumber informasi ke dalam urutan kode untuk ditransmisikan melalui kanal. Ada dua macam tipe dasar channel coding yaitu block code dan convolutional code. 1.2 Tujuan Tugas Akhir ini disusun untuk menganalisa performansi channel coding, yaitu gabungan kode Reed Solomon, sebagai block code dan Convolutional code pada pengiriman data video. Simulasi penginterferensi diwakili oleh AWGN dengan menggunakan software Matlab Perumusan Masalah Pengiriman video digital melalui jaringan paket switch dipastikan akan mengalami penurunan kualitas, seperti paket loss dan bit error. Teknik pengkodean Reed Solomon yang banyak digunakan untuk mengatasi gangguan propagasi pada sistem transmisi digital, belum sepenuhnya melindungi data video dari paket loss maupun bit error. Permasalahan ini dapat diminimalisasi dengan menggabungkan skema pengkodean Forward error correction (FEC), yaitu Reed-Solomon (RS) dan

10 BAB I PENDAHULUAN Convolutional Code. Channel coding tersebut diharapkan mampu mengatasi random error yang muncul yang diakibatkan oleh gangguna kanal. Sedangkan untuk mengatasi burst error karena multipath fading biasanya convolutional code masih perlu digandengkan dengan rangkain interleaver. 1.4 Batasan Masalah Agar analisa lebih terarah dan tujuan penulisan bisa tercapai, maka dalam tugas akhir ini perlu adanya batasan masalah yaitu sebagai berikut : 1. Format data informasi yang dipakai yaitu video avi 2. Tidak membahas kompresi dan dekompresi file video.. 3. Mendefinisikan bit error yang muncul di jalur komunikasi dari sisi transmisi sampai ke penerima 4. Informasi akan dilewatkan pada Kanal Additive White Gaussian Noise (AWGN) sebagai pengukur tingkat error yang muncul. 5. Modulasi dan demodulasi menggunakan QPSK dan dilakukan secara koheren. 1.5 Metode Penelitian Masalah Dalam penulisan dan analisa ini penulis menggunakan beberapa metode untuk menyelesaikan masalah yang ada, antara lain : 1. Studi literatur Merupakan kegiatan pembelajaran materi melalui berbagai sumber pustaka baik berupa buku maupun jurnal ilmiah. 2. Tahap pembuatan model simulasi Pada tahapan ini dilakukan pembuatan model sistem berdasarkan referensi yang diperoleh dari tahapan pertama. 3. Simulasi Pada tahap ini dilakukan simulasi sistem dengan parameter yang telah ditentukan. Simulasi menggunakan software M-FILE Matlab 7. 2

11 BAB I PENDAHULUAN 4. Analisis Hasil Simulasi Pada tahapan ini dilakukan analisis dari hasil simulasi sehingga didapatkan kesimpulan. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tugas akhir sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas secara singkat latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan masalah, maksud dan tujuan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II DASAR TEORI Bab ini berupa penjelasan teori dasar secara umum mengenai Konsep data video AVI, kode Reed-Solomon, interleaver, kode konvolusi, dan modulasi serta demodulasi QPSK. BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Bab ini membahas konsep penggabungan kode Reed-Solomon serta konvolusi pada transmisi sinyal video serta penerapannya pada sistem. BAB IV ANALISIS HASIL SIMULASI Bab ini membahas perancangan program, serta analisis dari hasil simulasi BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran. 3

12 BAB II DASAR TEORI 2.1 Sinyal Video Ada dua konsep pengiriman video melalui internet, yaitu pengiriman file video download dan video streaming. Konsep pertama file streaming di-download ke mesin lokal kemudian dapat dimainkan dengan menggunakan program aplikasi standar. Hal itu hanya memerlukan mekanisme pengiriman yang sederhana, contohnya Transmission Control Protocol. Konsep ini memerlukan media penyimpanan yang mungkin cukup besar dan tentunya waktu pengiriman yang tidak semestinya. Konsep kedua yaitu video streaming dimana proses pengiriman data terusmenerus secara simultan dan dilakukan secara broadcast melalui Internet untuk ditampilkan oleh aplikasi streaming pada klien. Paket-paket data yang dikirimkan telah dikompresi untuk memudahkan pengirimannya melalui Internet. Data tersebut dapat dimainkan selama proses pengiriman tanpa disimpan terlebih dahulu Video AVI Audio Video Interleave adalah suatu format file RIFF (Resource Interchange File Format) yang diperkenalkan oleh microsoft. Dalam satu file video AVI tersusun atas beberapa blok atau frame. Masing-masing blok tersusun atas field. Program MATLAB akan membaca file video AVI dalam field cdata dan field colormap, Isi field tersebut tergantung tipe gambarnya,seperti sebagai berikut : Tabel 2.1 : Field AVI Tipe gambar cdata Colormap Truecolor Panjang x lebar x 3 Kosong indexed Panjang x lebar m x 3, m=indeks

13 BAB II DASAR TEORI Untuk mentransmisikan suatu video AVI, field yang berupa kode ASCII dikonfersikan terlebih dahulu ke dalam bentuk binary. Dimana format 8-bit untuk tipe gambar indexed atau grayscale, 16-bit untuk grayscale, dan 24-bit untuk truecolor. 2.2 Channel Coding Dalam komunikasi sistem digital, untuk mengirimkan suatu informasi dari pengirim ke penerima, dilakukan beberapa proses dahulu terhadap informasi tersebut. Salah satunya adalah proses channel coding. Tahapan proses channel coding dalam sistem transmisi dapat dilihat dalam diagram blok sistem transmisi berikut : Sumber Informasi Source Encoder Channel Encoder Modulator Noise Kanal Penerima Informasi Source Decoder Channel Decoder Demodulator Gambar 2.1 Diagram Blok Sistem Transmisi Channel coding berfungsi untuk menjaga informasi atau data digital dari error yang mungkin terjadi selama proses transmisi dengan cara menambahkan bit redundansi (tambahan) ke dalam data yang akan dikirimkan. Channel code yang digunakan untuk mendeteksi error disebut error detection codes, sedangkan yang juga mampu untuk mengkoreksi kesalahan tersebut disebut error correction code. Menurut Shannon, error yang terjadi akibat induksi kanal ataupun media penyimpanan yang bersifat noisy dapat ditekan mencapai level tertentu tanpa mengorbankan rate transmisi informasi atau rate penyimpanan dengan menerapkan suatu mekanisme pengkodean pada informasi. Teori Shannon ini dapat direpresentasikan dalam formula : 5

14 BAB II DASAR TEORI C = B log 2 (1 + P/N o B ) = B log 2 ( 1 + S/N ) (2.1) dimana C adalah kapasitas kanal (bps), B adalah bandwidth transmisi (Hz), P adalah daya sinyal yang diterima (watt), dan N o adalah single sided noise power density (watt/hz). Daya yang diterima oleh receiver adalah sebesar : P = E b R b (2.2) dimana E b adalah energi rata-rata tiap bit, dan R b adalah bit rate transmisi. Dengan mensubstitusikan persamaan (2) ke persamaan (1) maka akan didapat : C/B = log 2 (1 + E b R b /N o B ) (2.3) dimana C/B adalah efisiensi bandwidth. Tujuan utama dari teknik error deteksi dan koreksi ini adalah untuk memperbaiki performansi sistem transmisi data digital. Dengan menambahkan bit redundansi kedalam data yang akan dikirim maka akan meningkatkan rate transmisi atau dengan kata lain menambah bandwidth yang dibutuhkan jika data rate dari data aslinya diinginkan tetap. Hal ini berarti akan mengurangi efisiensi bandwidth jika kondisi SNR yang diinginkan tetap tinggi. Tetapi dengan channel coding, akan dihasilkan BER (bit error rate) yang baik pada kondisi SNR yang rendah. Inilah yang menjelaskan teori Shannon, yaitu bagaimana caranya memperbaiki error tanpa mengorbankan bit rate yaitu dengan bekerja pada SNR yang cukup rendah tetapi BER yang dihasilkan tetap baik (kecil). Channel coding beroperasi pada data digital dengan mengkodekan sumber informasi ke dalam urutan kode untuk ditransmisikan melalui kanal. sedangkan untuk mengatasi burst error karena multipath fading biasanya channel coding digandengkan dengan rangkaian interleaver. Ada dua macam tipe dasar channel coding yaitu block code dan convolutional code. 6

15 BAB II DASAR TEORI Block Code Block code merupakan salah satu kode yang bersifat forward error correction (FEC) yang mampu untuk mendeteksi dan mengkoreksi error tanpa meminta proses transmisi ulang. Block Code dapat digunakan untuk meningkatkan performansi sistem komunikasi jika cara lain seperti dengan meningkatkan daya atau menggunakan demodulator yang rumit dan mahal menjadi tidak praktis lagi. Pada block code, sejumlah bit pariti ditambahkan pada bit informasi sehingga terbentuk sebuah codeword atau kode block. Pada bagian pengirim, sejumlah k bit informasi dikodekan kedalam n code bit. Dengan demikian jumlah bit redundansi yang ditambahkan pada data informasinya ada sebanyak n-k bit untuk digunakan pada proses deteksi dan koreksi error yang mungkin terjadi. Block code yang dihasilkan dapat direpresentasikan dalam bentuk (n,k) code, dan rate dari kode tersebut adalah sebesar R c = k/n yang sebanding dengan rate transmisi dibagi dengan rate kanal. Kemampuan block code untuk mengkoreksi error yang timbul merupakan fungsi dari jarak kode (code of a distance). Selain kedua parameter code rate dan jarak kode, parameter penting lainnya adalah weight of a code. Distance of a code (jarak kode) Jarak dari codeword adalah jumlah elemen diantara dua codeword C i dan C j yang berbeda. (2.4) dimana d adalah jarak codeword, q adalah jumlah kemungkinan nilai dari C i, dan C j. Jika menggunakan kode biner, jarak tersebut dikenal sebagai jarak Hamming. Jarak minimum (d min ) adalah jarak terkecil diantara dua kode tersebut dan dinyatakan dengan : 7

16 BAB II DASAR TEORI d min = Min{d(C i,c j )} (2.5) Weight of a code (bobot kode) Weight of a code adalah nilai bobot dari codeword yaitu jumlah dari elemen bukan nol sepanjang codeword. Untuk kode biner, maka weight of code adalah jumlah bit 1 dalam codeword tersebut. (2.6) Sifat-sifat block code adalah sebagai berikut: a. Linearity Misalkan C i dan C j adalah dua codeword didalam (n,k) block code. Ambil a 1 dan a 2 adalah dua nilai sembarang. Kode dikatakan linier jika dan hanya jika a 1 C 1 +a 2 C 2 juga adalah codeword. b. Systematic Suatu kode dikatakan sistematik jika satu diantara bit-bit paritinya berfungsi sebagai penanda akhir dari suatu deretan informasi yang dikirimkan. Untuk (n,k) code, k bit pertama identik dengan bit informasi, dan n-k bit tiap codewordnya adalah kombinasi linier dari k bit informasinya. c. Cyclic Cyclic code adalah bagian dari kode linier yang mengikuti sifat cyclic shift. Jika C = (C n-1,c n-2,...,c 0 ) adalah codeword dari suatu cyclic code, maka (C n-2, C n-3,...,c 0,C n-1 ) yang merupakan cyclic shift dari C adalah juga codeword. Karena itu semua cyclic shift dari C adalah codeword. 8

17 BAB II DASAR TEORI Beberapa teknik pengkodean block code yang sudah dikenal dapat dijelaskan secara singkat berikut ini Hamming Code Hamming code merupakan kode nontrivial untuk koreksi error yang pertama kali diperkenalkan. Kode ini dan variasinya telah lama digunakan untuk error control pada sistem komunikasi digital. Hamming code ini ada dua macam yaitu binary dan nonbinary Hamming code. Binary Hamming code dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan berikut : (n,k) = (2 m -1, 2 m -1-m) (1.7) (2.7) dimana k adalah jumlah bit informasi yang membentuk n bit codeword, dan m adalah bilangan bulat positif. Jumlah bit paritinya adalah sejumlah m = n-k bit Hadamard Code Hadamard code adalah teknik coding dengan cara memilih baris dari matriks Hadamard sebagai codeword. Matriks Hadamard A adalah matriks NxN dimana jumlah bit 1 dan 0 untuk tiap barisnya berbeda dari baris lainnya pada N/2 lokasi. Satu baris dari matriks ini terdiri 0 semua sedangkan sisanya terdiri dari 0 untuk N/2 baris dan 1 untuk N/2 baris. Untuk N = 2, maka matriks Hadamard-nya adalah : (2.8) Golay Code Golay code merupakan kode biner linier yang mempunyai jarak kode minimum (d min ) sebesar 7 dan memiliki kemampuan untuk mengkoreksi error sebanyak 3 bit untuk setiap codeword-nya. 9

18 BAB II DASAR TEORI Cyclic Code Cyclic code adalah jenis kode linier yang memenuhi sifat cyclic seperti telah dijelaskan diatas. Cyclic code dapat dihasilkan dengan menggunakan generator polinomial dengan orde (n-k). Generator polinomial (n,k) Cyclic code adalah faktor p n + 1 dan memiliki bentuk umum : g(p) = p n-k + g n-k-1 p n-k g 1 p + 1 (2.9) sedangkan informasi yang dibawa dapat dinyatakan dalam bentuk polinomial x(p) : x(p)= x k-1 p k x 1 p + x 0 (2.10) dimana (x k-1,..., x 0 ) menunjukkan k bit-bit informasinya. Maka codeword yang dihasilkan adalah c(p) = x(p)g(p) (2.11) dimana c(p) adalah polinomial yang memiliki orde lebih kecil dari n. Sebagai pembangkit pariti biasanya adalah digunakan linier feedback shift register BCH Code BCH code adalah merupakan jenis block code yang penting karena mampu bekerja pada rentang rate yang lebar dan memiliki coding gain yang besar. Panjang dari block code ini adalah n = 2 m -1 untuk m = 3 dan jumlah error yang dapat dikoreksi berada pada nilai t < (2 m -1)/2. Kode biner BCH juga dapat digunakan untuk membuat jenis kode nonbiner yang menggunakan m bit persimbolnya. Salah satu jenis kode nonbiner BCH yang paling terkenal adalah kode Reed Solomon. Kode Reed Solomon ini pertama kali digunakan pada U.S. Cellular Digital Packet Data (CDPD) yang menggunakan m = 6 bit untuk setiap simbolnya. 10

19 BAB II DASAR TEORI Reed Solomon Code Kode Reed Solomon merupakan jenis kode nonbiner yang mampu mengkoreksi error yang muncul secara acak dan tak terduga (bursty) dan biasanya digunakan pada sistem koding gandeng. Panjang block code ini adalah n = 2m-1. Panjang kode ini dapat dinaikkan menjadi 2 m atau 2 m +1. Jumlah simbol pariti yang harus ditambahkan untuk mengkoreksi sejumlah error t adalah n-k = 2t. Jarak minimum kode ini adalah d min = 2t+1. Kode Reed Solomon banyak digunakan pada sistem karena efisiensi dan kemampuan mengkoreksi tidak hanya kesalahan acak tetapi juga kesalahan burst, antara lain pada perngkat penyimpanan (misal tape, Compact Disc, DVD, barcode, dll), komunikasi bergerak (termasuk komunikasi seluler), komunikasi satelit, televisi digital (DVB), dan modem kecepatan tinggi seperti ADSL, dan xdsl. Kode Reed Solomon adalah sub kelas dari kode BCH nonbiner dan merupakan kode siklis yang berbasis simbol. Bagian struktur sebuah codeword Reed Solomon : Gambar 2.2 Struktur sebuah codeword Untuk membentuk sebuah kode Reed Solomon dengan spesifikasi RS (n,k) terlebih dahulu menetukan parameter-parameternya : 11

20 BAB II DASAR TEORI Tabel 2.2 : Parameter Reed Solomon n = 2 m - 1 Panjang kode dalam simbol k = n 2t Jumlah simbol informasi n k = 2t Jumlah simbol paritas do = 2t + 1 d min, jarak minimum t Jumlah simbol yang dikoreksi P (x) Minimal polinomial m Jumlah bit dalam satu simbol Sebuah codeword Reed Solomon adalah sebuah blok yang terdiri n simbol. Setiap simbol terdiri atas m-bit dan merupakan elemen dari Galois Field GF(2 m ) yang dibangkitkan dari polinomial minimal P(x). Jumlah simbol yang dikoreksi menentukan komposisi jumlah simbol informasi dan paritas dalam satu codeword. Jarak minimum d antar codeword adalah jumlah posisi dimana terdapat simbol yang berbeda, tidak memperhitungkan jumlah bit yang berbeda antar simbol satu dengan yang lainnya. Efisiensi yang tinggi dari kode ini terlihat dari parameter-parameter diatas. Untuk mengkoreksi kesalahan sebanyak t simbol hanya diperlukan 2t simbol paritas Convolution Code Convolutional code adalah jenis kode yang memiliki perbedaan mendasar dari block code dimana urutan bit informasi tidak dikelompok-kelompokkan dalam blok-blok yang berbeda sebelum dikodekan. Proses yang terjadi adalah bit informasi sebagai masukan secara kontinyu di-mapping kedalam urutan bit output encoder. Teknik ini mampu meningkatkan coding gain yang lebih besar dibandingkan jika digunakan block coding dengan kompleksitas yang sama. Pada pengkodean konvolusi ini, tiap codeword selain bergantung pada message yang bersesuaian juga tergantung pada m blok message sebelumnya. Satu set codeword dengan k input, n output dan tingkat memori m disebut dengan kode konvolusi (n,k,m). Rate kode didefinisikan R = k/n. Karena pengkodean 12

21 BAB II DASAR TEORI konvolusi memiliki tingkat memori maka harus diimplementasikan dengan rangkaian logika sequensial. Convolutional code ini dihasilkan dengan cara melewatkan urutan bit informasi melalui sejumlah tingkat shift register. Pada umumnya shift register terdiri dari N(k bit) tingkat dan m generator polinomial seperti pada gambar 1.2. Data masukan digeser sepanjang k bit shift register pada satu kali waktu. Jumlah bit keluaran untuk tiap k bit masukan adalah n bit, dengan kode ratenya R c = k/n. Parameter N disebut panjang constraint dan menunjukkan jumlah bit data masukan. Beberapa istilah dalam convolutional code adalah sebagai berikut : Generator Matriks Generator matriks untuk convolutional code adalah semi-finite karena panjang masukan adalah semi-finite. Generator Polinomial Berfungsi untuk membangkitkan polinomial sesuai dengan urutan bit data masukan. Logic Table Tabel kebenaran berfungsi untuk menunjukkan keluaran dari encoder jika diberi urutan bit masukan. State Diagram State diagram digunakan untuk merepresentasikan proses pengkodean yang berbentuk diagram sederhana. Diagram ini akan menunjukkan kemungkinan keadaan dan transisinya dari satu keadaan ke keadaan lainnya. 13

22 BAB II DASAR TEORI Tree Diagram Menunjukkan struktur encoder dalam bentuk diagram pohon dengan cabangcabangnya menunjukkan variasi keadaan dan keluaran yang mungkin terjadi. Trellis Diagram Merupakan bentuk penyederhanaan dari diagram pohon yang merupakan representasi dari keluaran encoder jika diberi masukan secara lebih kompak. Decoder berfungsi untuk memperkirakan masukan dari encoder (informasi yang dikirimkan) dengan menggunakan aturan atau metoda tertentu yang menghasilkan kemungkinan jumlah error paling minimum. Dengan mengingat bahwa urutan bit kode memiliki hubungan khusus satu-satu dengan urutan bit informasinya. Urutan bit informasi dan kodenya secara unik dapat direpresentasikan pada diagram trellis. Teknik convolutional code ini ada banyak macamnya, salah satu metoda yang paling populer adalah algoritma Viterbi. Algoritma ini pertama kali diperkenalkan oleh A.J. Viterbi Algoritma Viterbi Jika kita nyatakan keadaan S j pada waktu i pada node diagram trellis sebagai S j,i maka setiap node pada diagram trellis dapat ditunjukkan oleh nilai V(S j,i ). Nilai-nilai node pada diagram trellis dapat dihitung dengan cara berikut : 1. Tentukan nilai V(S 0,0 ) = 0 dan i = 1 2. Pada waktu i, hitunglah nilai dari bagian jalur untuk semua jalur yang masuk ke semua node. 3. Tentukan V(Sj,i) sebesar nilai bagian jalur terkecil yang masuk ke node yang berkorespondensi dengan keadaan S j pada waktu i. 4. Jika i < L+m, dimana L adalah jumlah masukan segmen kode (k bit untuk tiap segmen) dan m adalah panjang dari shift register encoder 14

23 BAB II DASAR TEORI yang terpanjang, maka nilai berubah menjadi i = i+1 dan kembali ke langkah 2. Selain kedua jenis teknik channel coding diatas, pada akhir dekade '80-an setelah melalui penelitian panjang diperkenalkan teknik koding baru. Teknik koding ini berbeda dengan kedua teknik koding diatas, tetapi masih ada hubungan erat dengan teknik yang dipakai pada pengkodean konvolusi. Teknik pengkodean baru ini disebut sebagai turbo coding. Turbo code ini berdasar pada algoritma kode gandeng secara paralel. Kelebihan teknik turbo coding ini, selain memiliki coding gain yang besar, juga memiliki kinerja yang baik pada nilai SNR yang rendah. Karena itu teknik coding ini sangat baik diterapkan pada kondisi operasi signal to noise ratio yang sangat rendah Teknik Modulasi QPSK (Quadrature Phase Shift Keying) Modulasi QPSK adalah teknik modulasi M-ary dimana M=4 (karenanya dinamakan quaternary yang berarti 4 ). M-ary adalah suatu bentuk turunan dari kata binary, sedangkan M berarti digit yang mewakili banyaknya kondisi yang mungkin. Menggunakan 2 bit ada empat kondisi yang mungkin, yaitu : 00, 01, 10, dan 11 Modulasi QPSK mempunyai dua kali efisiensi bandwidth dari BPSK, karena 2 bit ditransmisikan dalam simbol modulasi tunggal. Phasa dari carrier diperoleh pada 1 dari 4 harga ruang, seperti 0, π/2, π, dan 3π/2, dimana harga dari phasa korespon ke pasangan unik dari message bit. Sinyal QPSKuntuk simbol ini dapat didefenisikan sebagai: S QPSK (t) = (2E s /T s ) cos[2πf c t + (i-1) π/2] ; 0 t T s i=1,2,3,4 (2.13) Dimana T s adalah durasi simbol dan ekivalen dengan dua kali perioda bit. Dengan menggunakan identitas trigonometri, persamaan di atas dapat ditulis untuk interval 0 t T s sebagai: 15

24 BAB II DASAR TEORI S QPSK (t) = (2E s /T s ). cos [(i-1) π/2]cos(2πf c t) - (2E s /T s ).sin [(i-1) π/2]sin(2πf c t) (2.14) Jika fungsi basis φ 1 (t) = (2E s /T s ).cos(2πf c t), φ 2 (t) = (2E s /T s ).sin(2πf c t) adalah didefenisikan pada interval 0 t T s untuk himpunan sinyal QPSK, kemudian empat sinyal dalam himpunan ini dapat diekspresikan dalam sinyal basis sebagai berikut: S QPSK (t)={ E s. cos [(i-1) π/2].φ 1 (t)- E s.sin [(i-1) π/2].φ 2 (t)}; i=1,2,3,4 (2.15) Berdasarkan representasi ini, sebuah sinyal QPSK dapat dibuat dengan menggunakan sebuah dua dimensi diagram konstelasi dengan empat point. Dari digram konstelasi sinyal QPSK, dapat dilihat bahwa jarak antara titik adjacent adalah 2E s. Karena tiap simbol koresponden dengan dua bit, kemudian E s = 2 E b, kemudian jarak antara dua titik tetangga dalam konstelasi QPSK adalah ekivalen dengan 2 E b. Dengan mensubsitusikan persamaan ini, rata-rata probability bit error dalam additive white Gaussian noise (AWGN) channel adalah diperoleh sebagai: P e,qpsk = Q( (2E b /No)) (2.16) Sebuah terjangan mengakibatkan probabilitas error bit pada QPSK adalah identik dengan BPSK, tapi dua kali sebagaimana banyak data dapat dikirimkan dalam bandwidth yang sama. Seterusnya ketika dibandingkan ke BPSK, QPSK menyediakan dua kali efisiensi spektral dengan nyata efisiensi energi sama. Sama dengan BPSK, QPSK dapat juga di kodekan secara diferensial untuk membolehkan deteksi non koheren. Dalam sebuah transmiter QPSK tipikal, aliran message binary unipolar mempunyai bit rate R b dan yang pertama dikonversikan ke dalam no-return-tozero (NRZ) menggunakan sebuah konverter unipolar ke bipolar. 16

25 BAB II DASAR TEORI Aliran bit m(t) adalah kemudian split ke dalam dua aliran bit m I (t) dan m Q (t) (aliran in-phase dan quadrature), tiapnya mempunyai bit rate R s = R b /2. Aliran bit m I (t) disebut aliran even dan m Q (t) disebut aliran odd. Dua deret binary adalah dimodulasi sebagian dua carrier φ 1 (t) dan φ 2 (t), yang adalah dalam quadrature. Dua sinyal yang dimodulasi, tiap yang mana dapat dipertimbangkan menjadi sinyal BPSK, adalah dibuat memproduksi sinyal QPSK. Filter output dari modulasi meringkas power spektrum sinyal QPSK dengan band yang dialokasikan. 17

26 BAB III KONSEP GABUNGAN REED-SOLOMON DAN KONVOLUSI 3.1 Konsep Kode Reed Solomon Kode Reed Solomon adalah sub kelas dari kode BCH nonbiner dan merupakan kode blok linier yang berbasis simbol. Sebuah Kode Reed Solomon dispesifikasikan sebagai RS(n, k) dengan m-bit simbol. (3.1) Artinya bahwa encoder Reed Solomon mengambil sebanyak k simbol dari n data dari masing-masing m bit dan menambahkan simbol paritas untuk membuat sebuah codeword simbol. Ada n-k simbol paritas dari masing-masing m bit. Dan di sisi penerima decoder Reed Solomon dapat membetulkan kesalahan hingga sampai t simbol yang memuat kesalahan pada codeword, dimana 2t = n-k. Parameter-parameter tersebut seperti pada Tabel 2.2. Gambar 3.1 menunjukan sebuah codeword Reed Solomon, atau dikenal sebagai kode sistematik karena data disebelah kiri tanpa perubahan sementara ditambah simbol paritas. Gambar 3.1 Sebuah codeword Reed Solomon Dengan panjang codeword maksimum, yaitu n = 2 m 1. Kode Reed Solomon bisa diperkecil secara konsep dengan meambahkan sejumlah simbol data nol (kosong) pada encoder, tanpa mentransmisinya, dan kemudian dimasukan kembali di sisi decoder-nya.

27 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Sebagai contoh kode Reed Solomon RS(255, 233) dengan 8-bit simbol. Masing-masing codeword memuat 255 byte codeword, dimana 233 byte adalah data dan 32 byte adalah paritas. Untuk kode tersebut : n = 255, k = 223, 2t = 32, t = 16 Secara otomatis decoder dapat membetulkan 16 kesalahan simbol pada codeword. Jika kode Reed Solomon tersebut akan dipersingkat menjadi RS(200, 168), encoder mengambil blok dari 168 byte data, dan secara konsep menambahkan 55 byte kosong sehingga menciptakan codeword (255, 223) dan hanya mentransmisikan 168 byte data dan 32 byte paritas Aritmatika Galois Field Aritmatika Galois Field merupakan dasar seluruh proses komputasi dalam kode Reed Solomon. Pemahaman mengenai hal ini akan membantu dalam proses konstruksi rangkaian logika dari persamaan matematis dan penyederhanaannya. Field adalah tempat dimana kita bisa menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, dan membagi. Pada proses aritmatika biasa dilakukan dalam field yang disebut infinite field karena jumlah elemen di dalamnya tak terbatas. Pada kode Reed Solomon proses aritmatika dilakukan Finite Field atau juga biasa disebut Galois Field (GF) yang jumlah elemen-elemennya terbatas Pembentukan GF(2 m ) Pembentukan GF(2 m ) diperlukan untuk mengetahui elemen-elemen yang terdapat di dalamnya. Sebuah GF(2 m ) mempunyai 2 m elemen (m>1). Sebuah symbol dalam kode Reed Solomon pasti merupakan elemen GF(2 m ) ini. Dalam sebuah galois field, ada tiga macam representasi sebuah elemen yaitu representasi pangkat, polynomial, dan m-tuple. Representasi inilah yang merupakan konstruksi dari galois field yang diperlukan untuk memudahkan proses aritmatika di dalamnya. Berikut ini representasi elemen-elemen dari GF(2 3 ) untuk p(x) = 1 + x + x 3. 19

28 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Tabel 3.1 Berbagai representasi sebuah elemen GF(2 3 ) Representasi pangkat Representasi polynomial Representasi m-tuple α α α 2 α α 1 + α α α + 5 α 1 + α + 6 α α α α 101 Proses aritmatika dalam GF(2 m ) mengikuti kaidah sebgai berikut : Untuk proses perkalian, seluruh elemen dinyatakan dalam representasi pangkat: a b a+ b α + α = α (3.2) α α = α = 5 α α α = α = α = 2 α ( 1+ α ) ( α + α ) = α α = α = α = α Untuk proses penjumlahan dalam GF(2 m ), seluruh elemen dinyatakna dalam representasi polynomial: 1 α α + α = (3.3) α + α = ( 1+ α ) + 1 = α Untuk proses pencarin invers sebuah elemen GF(2 m ) dilakukan dengan pesamaan: j m j α = α 2 (3.4) Enkode Reed-Solomon Sebuah codeword Reed Solomon dibentuk melalui proses encoding yaitu menambahkan simbol-simbol paritas ke informasi yang dikirimkan. Simbolsimbol paritas merupakan sisa dari proses pembagian polynomial informasi 20

29 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI terhadap generator polynomial. Codeword inilah yang akan dikirimkan ke penerima. Generator polynomial dari sebuah kode Reed Solomon dengan t koreksi kesalahan dan panjang 2m-1 adalah : 2 2t g( x) = ( x + α )( x + α )...( x + α ) (3.5) = g 2 2t g1x + g 2 x g 2t 1x + Dimana α adalah sebuah elemen dari GF(2 m ). Kode yang dibangkitkan oleh g(x) adalah sebuah siklis (n,n-2t). sebuah codeword Reed Solomon dinyatakan sebagai berikut : V(x) = u(x) + c(x) (3.6) Dimana : n i V x 1 ( ) = v i x, polynomial codeword Reed Solomon i= 0 n 1 i= nk i U ( x ) = u x i, polynomial informasi n k 1 i= 0 i C ( x) = c i x, polynomial paritas Dan v i, c i, dan u i adalah elemen dari GF(2 m ). Sehingga sebuah vector dengan n symbol (v 0, v 1,.. v n )adalah sebuah codeword RS jika dan hanya jika representasi polinomialnya v(x) adalah perkalian dari generator polynomial g(x) Metode umum enkode sebuah kode siklis yaitu dengan mencari c(x) dari u(x) dan g(x), yaitu dengan cara : 1. mengalikan polynomial informasi u(x) dengan x n-k 2. membagi x n-k u(x) dengan g(x) untuk memperoleh sisa hasil bagi c(x). 3. membentuk codeword c(x) x n-k +u(x) Ketiga langkah ini dapat diimplementasikan dengan menggunakan n-k tingak Linier Feedback Shift Register (LFSR) berdasarkan generator polynomial g(x). x 2t Dekode Reed Solomon 21

30 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Proses decode secara umum dari sebuah kode siklis, terdiri atas tiga tahap, yaitu komputasi sindrom, menentukan error pattern berdasarkan harga sindrom, dan koreksi kesalahan. Sedangkan pada Reed Solomon terdiri atas lima tahap yaitu komputasi sindrom, komputasi koefisien polynomial lokasi kesalahan, komputasi lokasi kesalahan, komputasi magnitude kesalahan, dan koreksi kesalahan Komputasi Sindrom Komputasi sindrom dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi error pada codeword yang diterima. Jika sindrom bernilai nol, maka tak terjadi error. Misalkan kode yang diterima Maka: r( x) = r r S i n 1 n 2 2 n 1 x + rn 2 x r2 x + r1 x + i = r( α ), i=1, 2,., 2t (3.7) Dimana S i = komponen sindrom ke-i Penentuan Polynomial Lokasi Kesalahan Proses ini merupakan inti dan yang paling rumit dari proses dekode, dan banyak algoritma yang dikembangkan antara lain yang sering digunakan yaitu algoritma Modified Berlekamp Massey Menentukan Posisi Kesalahan Penentuan posisi kesalahan dilakukan dengan mencari akar dari polynomial lokasi kesalahan λ ( x) = λ + λ x + λ x λ 0 yang diperoleh dari tahap sebelumnya. Prosedur ini bisa dilakukan dengan algoritma Chien Search, yaitu dengan mengalikan koefisien polynomial lokasi kesalahan dengan elemen GF(2 m ). jika hasil perkaliannnya sama dengan nol maka telah terjadi kesalahan pada lokasi tersebut 1 2 x t t Menghitung Magnitude Kesalahan 22

31 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Perhitungan magnitude kesalahan dilakukan untuk mengetahui pola kesalahan yang terjadi pada urutan symbol yang ditunjukan oleh lokasi kesalahan. Dalam hal ini algoritma Forney bisa digunakan. Y 2t Z Ω( Z) = (3.8) Z λ'( Z) Dimana : 1 Ω( X k ) = λ ( x)[1 + S( x)] (3.9) t 2 λ '( x) = λ1 + λ3z t 1 λt 1z (3.10) 1 Z : ( ) invers lokasi kesalahan X i Ω(x) : polynomial error kesalahan S(x) : polynomial sindrom Y : error magnitude (error value) λ '( x) : formal derivative dari λ (x) Koreksi Kesalahan Pada tahap koreksi kesalahan dilakukan koreksi terhadap codeword yang diterima sesuai dengan pola kesalahan yang diperoleh dari algoritma Forney dan lokasi kesalahan yang diperoleh dari Chien Search. Codeword yang valid diperoleh dari persamaan : V(x) = R(x) + E(x) (3.11) Dimana : V(x) : polynomial kode yang dikirimkan R(x) : polynomial kode yang diterima E(x) : polynomial pola kesalahan 3.2 Konsep Kode Konvolusional 23

32 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Encoder Konvolusional Kode konvolusional adalah kode yang dibentuk dengan menambah informasi tambahan (parity) berdasarkan bit inputan u = u u,... 1, 2 u i (3.12) yang sedang diproses dikonvolusi dengan generator g ( i) untuk m kode data sebelumnya, dimana m adalah panjang memori atau shift register dari kode. Jika m panjang memori m, maka jumlah state memorinya (isi memori) adalah 2. Secara matematis kode konvolusi dapat dinyatakan dengan C (n, k, m) (3.13) dimana : k = input n = output m = memori Struktur kode konvolusional dengan pola C (2,1,2) ditunjukkan pada Gambar 3.2 Encoder tersebut terdiri atas m (shift register) =2, n (output)=2, k(input) = 1, generator g (1) = (1 0 1) g (2) = (1 1 1), satu modulo adder dan satu multiplexer untuk menserialkan keluaran encoder, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut ini : m (1) Shift Register ke-1 Shift Register ke-2 Gambar 3.2 Struktur encoder konvolusi C(2,1,2), rate = ½ C (1) C (2) Output konvolusi dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu dengan diagram kondisi atau dengan diagram trellis. Dalam tugas akhir ini kita menggunakan diagram trellis. 24

33 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Gambar 3.3 Struktur Diagram Trellis untuk konvolusi C(2,1,2) Tiap bit masukan yang diberikan akan memberikan hasil dua bit keluaran, masing-masing dari C (1) dan C (2). Encoder yang digambarkan menggunakan code rate ½. Konsep code rate itu sendiri adalah untuk menyamakan rate output konvolusi yang variable sebelum masuk ke proses Interleaving, sehingga : Data rate 1 : tanpa mengalami pengulangan Data rate ½ : mengalami pengulangan 2x Data rate ¼ : mengalami pengulangan 4x Data rate 1/8 : mengalami pengulangan 8x PENGULANG INTERLEAVER T T Decoder Konvolusional Gambar 3.4 Proses code rate ½ 25

34 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI Fungsi dari decoder adalah untuk menentukan deretan bit keluaran yang paling mirip (most likely) dari aliran bit masukan yang diberikan dan pengetahuan dari encoder yang digunakan pada sumber. Prosedur decoding equivalen dengan membandingkan deretan bit yang diterima dengan semua kemungkinan deretan bit yang mungkin diperoleh dari hasil encoder dan memilih deretan bit yang paling dekat dengan deretan bit yang diterima. Untuk menentukan deretan bit yang paling dekat dengan bit yang diterima adalah dengan cara menghitung jarak Hamming nya, deretan bit yang memiliki jarak Hamming paling minimum yang dipilih untuk deretan bit tersebut. Pada dasarnya diagram trellis selalu mempunyai dua buah path untuk tiap node. Path-path yang tidak terputus merupakan survivor path yang berguna untuk menentukan decoding path dalam diagram trellis. Path yang dipilih sebagai path hasil decoding adalah path yang tidak terputus sepanjang trellis diagram dan memiliki aggregate Hamming distance minimum. Algoritma pencarian path seperti ini disebut algoritma Viterbi, sedangkan decoder yang berfungsi untuk menemukan path yang paling mirip dengan deretan bit yang telah diterima dikenal dengan nama maximum-likelihood decoder. Decoding viterbi ini berfungsi untuk melakukan deteksi sekaligus koreksi terhadap kesalahan yang terjadi selama perjalanan mulai dari output konvolusi sampai keinput decoder viterbi. Error terbesar biasanya terjadi dikanal karena gangguan propagasi. 3.3 Konsep Interleaver Untuk mengatasi burst error karena multipath fading kode konvolusi akan digandengkan dengan rangkaian interleaver dan deinterleaver. Proses interleaving ini bertujuan untuk mendistribusikan burst error, dengan cara mengacak terjadinya error sehingga mirip dengan error random.. Pada pengirim, deretan bit diatur sedemikian rupa untuk memastikan agar bit-bit yang bersebelahan terpisah sejauh beberapa bit setelah interleaving, sehingga memungkinkan dikoreksi oleh decoder Viterbi. Ilustrasi interleaving adalah sbb. 26

35 BAB III KONSEP GABUNGAN REED SOLOMON DAN KONVOLUSI kolom baris Gambar 3.5 Proses Interleaving Pengisian matrik dilakukan kolom per kolom, sedangkan proses kirim dilakukan baris per baris. Hal sebaliknya dilakukan di sisi penerima. 3.4 Perhitungan Bit Error Rate Bit Error Rate (BER) merupakan salah satu tolak ukur untuk menentukan baik tidaknya suatu sistem pengiriman sinyal data dari pemancar / pengirim sampai ke penerima. Data yang diterima di sisi penerima bisa mengalami kesalahan dari data yang dikirimkan. Dengan membandingkan data yang dikirimkan dengan data yang yang diterima akan dapat dihitung BER. Jika nilai bit di sisi penerima mengalami banyak perubahan maka nilai BER akan tinggi dan dapat dikatakan sistem tersebut memiliki performansi yang jelek. Nilai BER dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Jumlah data yang salah BER = (3.14) Jumlah data yang dikirim BER nilainya tergantung pada tingkat noise yang diterima Eb/No. Dimana Eb merupakan energi per bit dan No merupakan noise power density. Dalam hal ini kita gunakan signal to noise ratio (SNR) 27

36 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB 4.1 Perancangan Sistem Pengamatan ini menggunakan simulasi dengan program Matlab, dengan mengirimkan data berupa file video dengan kompresi AVI. File AVI memiliki tingkat kompresi yang bisa dibaca oleh Matlab sehingga memudahkan untuk mengekstraknya menjadi bit-bit. Dalam proses pengirimannya dari stasiun pemancar ke stasiun penerima akan dilewatkan gangguan berupa AWGN. Konsep pengukuran performansinya adalah sebagai berikut : Menghitung total kesalahan bit-nya. Hal itu ditampilkan dalam bentuk grafik BER terhadap SNR atau Eb/N 0 (db) untuk nilai yang berbeda dengan teknik modulasi yang dipilih yaitu QPSK. Sebagai perbandingan dilakukan juga simulasi dengan tanpa melibatkan kode Reed Solomon dan juga tanpa memakai teknik pengkodean sama sekali. Berikut diagram flowchart lengkap yang menggambarkan proses simulasi programnya.

37 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB Pengiriman Data Inisialisasi Input Data Reed Solomon Code Convolutional Encoder Blok Interleaver QPSK Modulation Kanal Radio Kanal AWGN Estimasi Kanal Penerimaan Data QPSK Demod Deinterleaver Viterbi Decoder Reed Solomon Decoder Perhitungan BER Gambar 4.1 Flowchart Program 29

38 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB 4.2 Simulasi Program Simulasi dalam Tugas Akhir ini membahas transmisi sinyal video AVI pada blok channel coding, dan tidak membahas kompresi dan dekompresi sinyal video itu sediri mulai dari sebleum masuk ke channel coding maupun setelahnya Bagian Pengiriman Data 1. Inisialisasi snr = 0 sampai 30, noise to ratio nilainya dapat ditentukan bebas orde_mod = 2, tipe modulasi yang dipilih QPSK. Hal ini bisa diganti dengan orde modulasi yang lain. Pecah = 864, merupakan nilai pembilang data input pada blok Reed Solomon 2. Input Data Data kirim yang disimulasikan merupakan data video AVI. Dengan menggunakan fungsi aviread pada Matlab 7.1 untuk membaca file AVI ke dalam movie MATLAB dan diperoleh informasi struktur AVI sebagai berikut : NumFrames: 34 FramesPerSecond: 5 Width: 96 Height: 96 ImageType: 'truecolor' VideoCompression: 'Cinepak' Quality: 100 NumColormapEntries: 0 Berdasarkan Tabel 2.1 struktur video diproses sehingga diperoleh data binary. Dari informasi struktur data input tersebut setiap iterasi program akan mengirimkan data sebesar 96x96x3x8 bit untuk setiap frame dengan total frame 34 frame, sehingga total bit input seluruhnya bit. 30

39 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB 3. Kode Reed Solomon Pengkodean Reed Solomon yang dipakai yaitu RS(40,36) dengan m = 6. Sementara panjang data yang akan ditransmisikan setiap iterasi sejumlah bit, sedangkan blok RS(40,36) dengan m=6 digunakan untuk panjang data 864 sehingga dibutuhkan suatu iterasi agar memenuhi blok RS(40,36) dengan paritas 4 bit sesuai rumus (3.1). Selanjutnya dilakukan proses pembentukan GF mengikuti kaidah (3.2) dan (3.3). Untuk menentukan generator polynomial menggunakan fungsi rsenc pada MATLAB 7.1 untuk menjalankan proses seperti yang dijelaskan pada rumus (3.5) dan (3.6). 4. Encoder Konvolusional Pola pengkodean konvolusional yang digunakan C (2,1,6), dengan panjang batas = 7 dimana generator polinom (octal) g0= 171 dan g1= Blok Interleaver Interleaver yang digunakan dalam simulasi adalah tipe interleaver blok, dimana bit-bit keluaran encoder konvolusional disusun kolom per kolom dan dibaca baris per baris. 6. Modulasi QPSK Pada proses ini, dereten bit serial hasil Interleaver akan dibentuk menjadi simbol-simbol kompleks sesuai dengan konstelasi QPSK seperti yang dijelaskan pada point Kanal Radio Kanal radio transmisi yang digunakan pada simulasi yaitu kanal AWGN (Additive White Gaussian Noise), suatu pola noise yang didefinisikan oleh Gaussian yang bersifat additive atau berubah - ubah. Sinyal hasil modulasi terlebih dahulu melewati kanal random. Pemodelan kanal AWGN dilakukan 31

40 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB dengan menggunakan fungsi awgn pada MATLAB 7.1 yaitu: sinyal_terima=awgn(output_kanal, snr, 'measured') dimana output_kanal menunjukkan sinyal hasil modulasi yang ditransmisikan yang melewati random channel, snr menunjukkan nilai SNR yang diinginkan dalam db, dan measured menunjukkan adanya pengukuran daya sinyal ditambah noise. Keluaran kanal AWGN diestimasi berdasarkan jumlah kanal yang telah dilewati. Sinyal terima estimasi ini lah yang nantinya masuk ke blok receiver. Sinyal pada input receiver setelah diganggu oleh AWGN secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut : r(t) = s(t) + n(t) (4.1) s(t) = sinyal yang ditransmisikan n(t) = White Gaussian Noise r(t) = sinyal yang diterima n(t) merupakan fungsi dari AWGN yang dipengaruhi oleh nilai Eb/No dimana Eb merupakan energi per bit dan No merupakan noise power density Bagian Penerimaan Data Pada bagian penerima transmisi sinyal video AVI yang melewati kanal radio, terdiri dari : 1. Demodulasi QPSK Data kompleks yang diterima dari proses transmisi kemudian dapat langsung dikonversi lagi menjadi data serial sesuai dengan konstelasi QPSK yang digunakan pada pengirim. 2. Deinterleaver Proses deinterleaver merupakan kebalikan dari interleaver. Deretan bit masuk ke block deinterleaver per baris dan keluar atau dibaca per kolom. 3. Decoder Viterbi Dekoder viterbi yang digunakan adalah hard decision viterbi decoder. Prinsip kerja dari dekoder viterbi adalah berdasarkan prinsip Hamming 32

41 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB distance decoding dan pengetahuan akan diagram trellis enkoder di pengirim. 4. Decoder Reed Solomon Data biner keluaran decoder viterbi akan didekode dengan kode Reed Solomon yang sama dengan kode Reed Solomon yang dikirim yaitu RS(40, 36). Pada proses ini juga akan dilakukan penentuan apakah telah terjadi error pada penerimaan codeword, penentuan lokasi dan posisi kesalahan, menghitung jumlah kesalahan bit pada codeword, serta mengkoreksi kesalahan seperti dijelaskan pada point 3.1.4, pada proses decoding Reed Solomon selain dapat mengkoreksi kesalahan juga melakukan penghapusan. Penghapusan terjadi jika posisi kesalahan ditemukan. Decoder dapat mengkoreksi kesalahan sampai t error atau 2t penghapusan. 5. Perhitungan Bit Error Rate Metoda perhitungan BER dengan membandingkan data kirim terhadap data terima, dilakukan perhitungan kesalahan bit, akumulasi total kesalahan kemudian dibagi dengan total data bit yang terkirim 4.3 Analisa Performansi Channel Coding Simulasi dilakukan dengan menggunakan data input sinyal video AVI dengan menggunakan beberapa metode pengkodean agar dapat dilihat performansi dari masing-masing pemakaian blok pengkodean yang digunakan dalam Tugas Akhir ini. Hasil simulasi akan ditampilkan dalam bentuk grafik perbandingan Bit Error rate terhadap SNR sebagai parameter performansi dari setiap sistem. Masing-masing simulasi menggunakan modulasi QPSK dengan jumlah inputan bit yang sama untuk iterasi sebanyak

42 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB Tanpa Menggunakan Channel Coding Pada gambar 4.2, simulasi yang dilakukan pada kanal AWGN hanya melewati modulasi QPSK dan tanpa melewati channel coding sama sekali, dapat dilihat bahwa untuk harga BER 10-3 pada kanal AWGN dibutuhkan Eb/No 11 db. Nilai Eb/No yang dibutuhkan pada kanal AWGN ini hanya dipengaruhi oleh noise termal yang ada di sisi pengirim dan penerima saja atau menganggap bahwa sinyal yang diterima oleh penerima adalah line of side atau langsung tanpa adanya pengaruh dari kanal radio propagasi disekitar penerima Performansi Data Video AVI Modulasi QPSK without coding 10-2 BER Eb/No Gambar 4.2 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN tanpa channel coding 34

43 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI DENGAN PROGRAM MATLAB Menggunakan Pengkodean Konvolusional 10-1 Performansi Data Video AVI Mod QPSK use Convolutional coding 10-2 BER Eb/No Gambar 4.3 Grafik Eb/No terhadap BER pada kanal AWGN menggunakan pengkodean konvolusional Gambar 4.3 tersebut merupakan grafik perbandingan BER terhadap Eb/No dengan modulasi QPSK, dimana inputan sinyal video dilewatkan terlebih dahulu melalui kode konvolusional dan rangkain interleaver. Simulasi dilakukan pada kanal AWGN, terilhat bahwa untuk harga BER 10-3 dibutuhkan Eb/No sekitar 8 db. Konfigurasi ini lebih baik bila tanpa melewati pengkodean sama sekali Menggunakan Pengkodean Reed Solomon Pada simulasi ini sinyal video dengan jumlah inputan bit yang sama disetiap iterasinya dilewatkan terlebih dahulu melalui block code Reed Solomon dengan modulasi QPSK. 35

Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : PUTU RUSDI ARIAWAN ( )

Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : PUTU RUSDI ARIAWAN ( ) Block Coding KOMUNIKASI DATA OLEH : (0804405050) JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010 Block Coding Block coding adalah salah satu kode yang mempunyai sifat forward error

Lebih terperinci

BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO

BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO BAB 3 MEKANISME PENGKODEAAN CONCATENATED VITERBI/REED-SOLOMON DAN TURBO Untuk proteksi terhadap kesalahan dalam transmisi, pada sinyal digital ditambahkan bit bit redundant untuk mendeteksi kesalahan.

Lebih terperinci

Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T

Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T Implementasi Encoder dan decoder Hamming pada TMS320C6416T oleh : ANGGY KUSUMA DEWI WISMAL (2211105016) Pembimbing 1 Dr. Ir. Suwadi, MT Pembimbing 2 Titiek Suryani, MT Latar Belakang Pada pengiriman data,

Lebih terperinci

ANALISIS UNJUK KERJA CODED OFDM MENGGUNAKAN KODE CONVOLUTIONAL PADA KANAL AWGN DAN RAYLEIGH FADING

ANALISIS UNJUK KERJA CODED OFDM MENGGUNAKAN KODE CONVOLUTIONAL PADA KANAL AWGN DAN RAYLEIGH FADING ANALISIS UNJUK KERJA CODED OFDM MENGGUNAKAN KODE CONVOLUTIONAL PADA KANAL AWGN DAN RAYLEIGH FADING F. L. H. Utomo, 1 N.M.A.E.D. Wirastuti, 2 IG.A.K.D.D. Hartawan 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas

Lebih terperinci

Analisis Kinerja Convolutional Coding dengan Viterbi Decoding pada Kanal Rayleigh Tipe Frequency Non-Selective Fading

Analisis Kinerja Convolutional Coding dengan Viterbi Decoding pada Kanal Rayleigh Tipe Frequency Non-Selective Fading 1 / 6 B. Ari Kuncoro Ir. Sigit Haryadi, M.T. (ari.kuncoro1987@gmail.com) (sigit@telecom.ee.itb.ac.id) KK. Telekomunikasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Insitut Teknologi Bandung Abstrak Salah satu

Lebih terperinci

Implementasi dan Evaluasi Kinerja Kode Konvolusi pada Modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) Menggunakan WARP

Implementasi dan Evaluasi Kinerja Kode Konvolusi pada Modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) Menggunakan WARP JURNAL TEKNIK ITS Vol., No. 1, (215) ISSN: 2337539 (231-9271 Print) A Implementasi dan Evaluasi Kinerja Kode Konvolusi pada Modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) Menggunakan WARP Desrina Elvia,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 7. Menuliskan kode karakter dimulai dari level paling atas sampai level paling bawah.

BAB II DASAR TEORI. 7. Menuliskan kode karakter dimulai dari level paling atas sampai level paling bawah. 4 BAB II DASAR TEORI 2.1. Huffman Code Algoritma Huffman menggunakan prinsip penyandian yang mirip dengan kode Morse, yaitu tiap karakter (simbol) disandikan dengan rangkaian bit. Karakter yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modulation. Channel. Demodulation. Gambar 1.1. Diagram Kotak Sistem Komunikasi Digital [1].

BAB I PENDAHULUAN. Modulation. Channel. Demodulation. Gambar 1.1. Diagram Kotak Sistem Komunikasi Digital [1]. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Meneliti dan menganalisis Turbo Convolutional Coding dan Turbo Block Coding dalam hal (BER) Bit Error Rate sebagai fungsi Eb/No. 1.2. Latar Belakang Dalam sistem komunikasi

Lebih terperinci

KOREKSI KESALAHAN PADA SISTEM DVB-T MENGGUNAKAN KODE REED-SOLOMON

KOREKSI KESALAHAN PADA SISTEM DVB-T MENGGUNAKAN KODE REED-SOLOMON KOREKSI KESALAHAN PADA SISTEM DVB-T MENGGUNAKAN KODE REED-SOLOMON TUGAS AKHIR Oleh : LUCKY WIBOWO NIM : 06.50.0020 PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Lebih terperinci

SIMULASI LOW DENSITY PARITY CHECK (LDPC) DENGAN STANDAR DVB-T2. Yusuf Kurniawan 1 Idham Hafizh 2. Abstrak

SIMULASI LOW DENSITY PARITY CHECK (LDPC) DENGAN STANDAR DVB-T2. Yusuf Kurniawan 1 Idham Hafizh 2. Abstrak SIMULASI LOW DENSITY PARITY CHECK (LDPC) DENGAN STANDAR DVB-T2 Yusuf Kurniawan 1 Idham Hafizh 2 1,2 Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Intitut Teknologi Bandung 2 id.fizz@s.itb.ac.id Abstrak Artikel

Lebih terperinci

SISTEM PENGKODEAN. IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara

SISTEM PENGKODEAN. IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara SISTEM PENGKODEAN IR. SIHAR PARLINGGOMAN PANJAITAN, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara KODE HAMMING.. Konsep Dasar Sistem Pengkodean Kesalahan (error) merupakan masalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu : Nopember 2009 - Maret 2010 Tempat : Laboratorium Teknik Telekomunikasi Jurusan Teknik Elektro Universitas Lampung. B. Metode Penelitian Metode

Lebih terperinci

Perbandingan rate kode konvolusi dan aplikasinya pada cdma

Perbandingan rate kode konvolusi dan aplikasinya pada cdma Perbandingan rate kode konvolusi dan aplikasinya pada cdma Nanang Kurniawan 1, Yoedy Moegiharto 2 1 Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Jurusan Teknik Telekomunikasi 2 Politeknik Elektronika

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN MIMO OFDM DENGAN AMC

BAB III PEMODELAN MIMO OFDM DENGAN AMC BAB III PEMODELAN MIMO OFDM DENGAN AMC 3.1 Pemodelan Sistem Gambar 13.1 Sistem transmisi MIMO-OFDM dengan AMC Dalam skripsi ini, pembuatan simulasi dilakukan pada sistem end-to-end sederhana yang dikhususkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS Simulasi ini bertujuan untuk meneliti Turbo Coding dalam hal Bit Error Rate (). Pada bagian ini akan ditunjukkan pengaruh jumlah shift register, interleaver, jumlah iterasi

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 2, (2015) ISSN: ( Print) A-192

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 2, (2015) ISSN: ( Print) A-192 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 2, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-192 Implementasi Dan Evaluasi Kinerja Encoder-Decoder Reed Solomon Pada M-Ary Quadrature Amplitude Modulation (M-Qam) Mengunakan

Lebih terperinci

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Linear Block Code S1 Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom Oleh: Linda Meylani Agus D. Prasetyo Tujuan Pembelajaran Memahami fungsi dan parameter

Lebih terperinci

SIMULASI PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN INFORMASI MENGGUNAKAN KODE BCH

SIMULASI PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN INFORMASI MENGGUNAKAN KODE BCH SIMULASI PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN INFORMASI MENGGUNAKAN KODE BCH Tamara Maharani, Aries Pratiarso, Arifin Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Surabaya

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1. Turbo Coding

BAB II DASAR TEORI 2.1. Turbo Coding BAB II DASAR TEORI 2.1. Turbo Coding Turbo Coding merupakan salah satu channel coding yang memiliki kinerja yang baik dalam mengoreksi galat pada sistem komunikasi. Turbo coding terbagi menjadi dua bagian

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C#

PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C# PEDOMAN PENGGUNAAN SIMULATOR PENYANDIAN DAN PENGAWASANDIAN SISTEM KOMUNIKASI BERBASIS PERANGKAT LUNAK VISUAL C# Simulator penyandian dan pengawasandian ini dirancang untuk meyimulasikan 10 jenis penyandian

Lebih terperinci

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Convolutional Coding

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Convolutional Coding TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Convolutional Coding S1 Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom Oleh: Linda Meylani Agus D. Prasetyo Tujuan Pembelajaran Memahami proses encoding dan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KINERJA KODE HAMMING PADA CHANNEL AWGN

PERBANDINGAN KINERJA KODE HAMMING PADA CHANNEL AWGN PERBANDINGAN KINERJA KODE HAMMING PADA CHANNEL AWGN Staf Pengajar Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran Bali, 836 Email : sukadarmika@unud.ac.id Intisari Noise merupakan

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN SIMULASI

BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN SIMULASI BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN SIMULASI Pada Tugas Akhir ini akan dianalisis sistem Direct Sequence CDMA dengan menggunakan kode penebar yang berbeda-beda dengan simulasi menggunakan program Matlab. Oleh

Lebih terperinci

HAND OUT EK. 462 SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

HAND OUT EK. 462 SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL HAND OUT EK. 462 SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL Dosen: Ir. Arjuni BP, MT Dr. Enjang A. Juanda, M.Pd., MT PENDIDIKAN TEKNIK TELEKOMUNIKASI JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA MOBILE SATELLITE SERVICE (MSS) PADA FREKUENSI L-BAND DI INDONESIA

ANALISIS KINERJA MOBILE SATELLITE SERVICE (MSS) PADA FREKUENSI L-BAND DI INDONESIA ANALISIS KINERJA MOBILE SATELLITE SERVICE (MSS) PADA FREKUENSI L-BAND DI INDONESIA Prameswari R. Kusumo 1, Sugito 2, Indrarini D. I. 3 1,2,3 Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Telkom Jln. Telekomunikasi

Lebih terperinci

Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya

Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KODING Disusun Oleh : Abdul Wahid 2475 Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya Surabaya 9 PERCOBAAN III ENCODER DAN DECODER KODE KONVOLUSI. Tujuan

Lebih terperinci

Perancangan Dan Simulasi Punctured Convolutional Encoder Dan Viterbi Decoder Dengan Code Rate 2/3 Menggunakan Raspberry Pi

Perancangan Dan Simulasi Punctured Convolutional Encoder Dan Viterbi Decoder Dengan Code Rate 2/3 Menggunakan Raspberry Pi Perancangan Dan Simulasi Punctured Convolutional Encoder Dan Viterbi Decoder Dengan Code Rate 2/3 Menggunakan Raspberry Pi Marjan Maulataufik 1, Hertog Nugroho 2 1,2 Politeknik Negeri Bandung Jalan Gegerkalong

Lebih terperinci

BAB II PENGKODEAN. yang digunakan untuk melakukan hubungan komunikasi. Pada sistem komunikasi analog, sinyal

BAB II PENGKODEAN. yang digunakan untuk melakukan hubungan komunikasi. Pada sistem komunikasi analog, sinyal BAB II PENGKODEAN 2.1 Sistem Komunikasi Digital Dalam sistem telekomunikasi digital tedapat dua jenis sistem telekomunikasi, yaitu sistem komunikasi analog dan sistem komunikasi digital. Perbedaan keduanya

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KINERJA KODE REED-SOLOMON

PERBANDINGAN KINERJA KODE REED-SOLOMON PERBANDINGAN KINERJA KODE REED-SOLOMON DENGAN KODE BOSE- CHAUDHURI-HOCQUENGHEM MENGGUNAKAN MODULASI DIGITAL FSK, DPSK, DAN QAM PADA KANAL AWGN, RAYLEIGH, DAN RICIAN oleh Liang Arta Saelau NIM : 612011023

Lebih terperinci

SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION

SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION SKRIPSI Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Program Studi Informatika

Lebih terperinci

Praktikum Sistem Komunikasi

Praktikum Sistem Komunikasi UNIT V Modulasi BPSK dan DPSK 1. Tujuan Praktikum 1. Mengetahui perbedaan komunikasi analog dengan komunikasi digital 2. Mengetahui jenis-jenis format data coding 3. Mampu memahami sistem komunikasi digital

Lebih terperinci

Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data

Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 Encoding dan Decoding Kode BCH (Bose Chaudhuri Hocquenghem) Untuk Transmisi Data A-3 Luthfiana Arista 1, Atmini Dhoruri 2, Dwi Lestari 3 1,

Lebih terperinci

BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra

BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra BROADCAST PADA KANAL WIRELESS DENGAN NETWORK CODING Trisian Hendra Putra 2205100046 Email : trisian_87@yahoo.co.id Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro-FTI, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone,

BAB I PENDAHULUAN. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone, BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Sekarang ini teknologi untuk berkomunikasi sangatlah mudah. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan media telephone, handphone, internet, dan berbagai macam peralatan

Lebih terperinci

Simulasi Channel Coding Pada Sistem DVB-C (Digital Video Broadcasting-Cable) dengan Kode Reed Solomon

Simulasi Channel Coding Pada Sistem DVB-C (Digital Video Broadcasting-Cable) dengan Kode Reed Solomon Simulasi Channel Coding Pada Sistem DVB-C (Digital Video Broadcasting-Cable) dengan Kode Reed Solomon Ruliyanto, Idris Kusuma Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Nasional

Lebih terperinci

VISUALISASI KINERJA PENGKODEAN MENGGUNAKAN ALGORITMA VITERBI

VISUALISASI KINERJA PENGKODEAN MENGGUNAKAN ALGORITMA VITERBI VISUALISASI KINERJA PENGKODEAN MENGGUNAKAN ALGORITMA VITERBI Aslam mahyadi 1, Arifin,MT 1 Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Jurusan Teknik Telekomunikasi Kampus ITS, Surabaya 60111 e-mail : meaninglife@yahoo.com

Lebih terperinci

TEKNIK TRANSMISI DIGITAL FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO

TEKNIK TRANSMISI DIGITAL FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO TEKNIK TRANSMISI DIGITAL Agenda Konfigurasi Sistem Komunikasi Digital pada satelit Sinyal Baseband dan Formatnya Jenis jenis modulasi Pengkodean Kanal dan pengaruhnya pada Siskomsat 2 KONFIGURASI SISKOMSAT

Lebih terperinci

SANDI PROTEKSI GALAT YANG TIDAK SAMA SECARA SERIAL BERDASARKAN MODULASI TRELLIS TERSANDI DENGAN KONSTELASI SINYAL ASK

SANDI PROTEKSI GALAT YANG TIDAK SAMA SECARA SERIAL BERDASARKAN MODULASI TRELLIS TERSANDI DENGAN KONSTELASI SINYAL ASK Sandi Proteksi Galat yang Tidak Sama secara Serial Berdasarkan Modulasi Trellis Tersandi dengan Konstelasi Sinyal ASK (Eva Yovita Dwi Utami) SANDI PROTEKSI GALAT YANG TIDAK SAMA SECARA SERIAL BERDASARKAN

Lebih terperinci

SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION

SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION SIMULASI KODE HAMMING, KODE BCH, DAN KODE REED-SOLOMON UNTUK OPTIMALISASI FORWARD ERROR CORRECTION Makalah Program Studi Informatika Fakultas Komunikasi dan Informatika Disusun oleh: Eko Fuji Setiawan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS Simulasi MIMO OFDM dengan teknik spatial multiplexing ini menggunakan berbagai macam parameter, yang mana dapat dilihat pada tabel 4.1. Pada simulasi, digunakan tiga

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI DAN UNJUK KERJA MODULASI WIMAX

BAB IV SIMULASI DAN UNJUK KERJA MODULASI WIMAX BAB IV SIMULASI DAN UNJUK KERJA MODULASI WIMAX Sebelum pembuatan perangkat lunak simulator, maka terlebih dahulu dilakukan pemodelan terhadap sistem yang akan disimulasikan. Pemodelan ini dilakukan agar

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1]. BAB II DASAR TEORI 2.1. Sistem Multicarrier Code Divison Multiple Access (MC-CDMA) MC-CDMA merupakan teknik meletakkan isyarat yang akan dikirimkan dengan menggunakan beberapa frekuensi pembawa (subpembawa).

Lebih terperinci

ANALISIS UNJUK KERJA TEKNIK MIMO STBC PADA SISTEM ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING

ANALISIS UNJUK KERJA TEKNIK MIMO STBC PADA SISTEM ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING ANALISIS UNJUK KERJA TEKNIK MIMO STBC PADA SISTEM ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING T.B. Purwanto 1, N.M.A.E.D. Wirastuti 2, I.G.A.K.D.D. Hartawan 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemungkinan terjadinya pengiriman ulang file gambar akibat error, yaitu karena : noise,

BAB I PENDAHULUAN. Kemungkinan terjadinya pengiriman ulang file gambar akibat error, yaitu karena : noise, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aplikasi adalah salah satu layanan yang disediakan Internet/ intranet dengan tujuan sebagai kegiatan percakapan interaktif antar sesama pengguna komputer yang terhubung

Lebih terperinci

Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak

Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak Abstrak Ayu Node Nawwarah 1, Yoedy Moegiharto 2 1 Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, sehingga penggunaan komputer sebagai media komunikasi bagi

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, sehingga penggunaan komputer sebagai media komunikasi bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan di bidang telekomunikasi menunjukkan grafik yang sangat pesat, sehingga penggunaan komputer sebagai media komunikasi bagi perusahaan untuk

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR SIMULASI PENGKODEAN HAMMING UNTUK MENGHITUNG BIT ERROR RATE

TUGAS AKHIR SIMULASI PENGKODEAN HAMMING UNTUK MENGHITUNG BIT ERROR RATE TUGAS AKHIR SIMULASI PENGKODEAN HAMMING UNTUK MENGHITUNG BIT ERROR RATE Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro Oleh :

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Sistem Modulasi Modulasi (mapping) adalah proses perubahan karakteristik dari sebuah gelombang carrier atau pembawa aliran bit informasi menjadi simbol-simbol. Proses

Lebih terperinci

PENGUJIAN TEKNIK FAST CHANNEL SHORTENING PADA MULTICARRIER MODULATION DENGAN METODA POLYNOMIAL WEIGHTING FUNCTIONS ABSTRAK

PENGUJIAN TEKNIK FAST CHANNEL SHORTENING PADA MULTICARRIER MODULATION DENGAN METODA POLYNOMIAL WEIGHTING FUNCTIONS ABSTRAK Abstrak PENGUJIAN TEKNIK FAST CHANNEL SHORTENING PADA MULTICARRIER MODULATION DENGAN METODA POLYNOMIAL WEIGHTING FUNCTIONS Jongguran David/ 0322136 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Jl. Prof. Drg.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN BIT ERROR RATE KODE REED-SOLOMON DENGAN KODE BOSE-CHAUDHURI-HOCQUENGHEM MENGGUNAKAN MODULASI 32-FSK

PERBANDINGAN BIT ERROR RATE KODE REED-SOLOMON DENGAN KODE BOSE-CHAUDHURI-HOCQUENGHEM MENGGUNAKAN MODULASI 32-FSK PERBANDINGAN BIT ERROR RATE KODE REED-SOLOMON DENGAN KODE BOSE-CHAUDHURI-HOCQUENGHEM MENGGUNAKAN MODULASI 3-FSK Eva Yovita Dwi Utami*, Liang Arta Saelau dan Andreas A. Febrianto Program Studi Teknik Elektro,

Lebih terperinci

Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak

Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak Mamiek Rizka Rohmah 1, Yoedy Moegiharto 2 1 Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya,

Lebih terperinci

DESAIN ENCODER-DECODER BERBASIS ANGKA SEMBILAN UNTUK TRANSMISI INFORMASI DIGITAL

DESAIN ENCODER-DECODER BERBASIS ANGKA SEMBILAN UNTUK TRANSMISI INFORMASI DIGITAL Desain Encoder-Decoder Berbasis Angka Sembilan Untuk Transmisi Informasi Digital 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

Lebih terperinci

Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak

Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak Karina Meyrita Dewi 1, Yoedy Moegiharto 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

Modulasi Digital. Levy Olivia Nur, MT

Modulasi Digital. Levy Olivia Nur, MT Modulasi Digital Levy Olivia Nur, MT Model Komunikasi Digital Sumber informasi Analog atau digital Format Simbol digital Modulator Channel Baseband atau bandpass Noise Tujuan Informasi Unformat Demodulat

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN SISTEM

BAB III PEMODELAN SISTEM BAB III PEMODELAN SISTEM Untuk mengetahui unjuk kerja sistem MIMO MC-CDMA, dilakukan perbandingan dengan sistem MC-CDMA. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa sistem MIMO MC-CDMA merupakan

Lebih terperinci

Kode Sumber dan Kode Kanal

Kode Sumber dan Kode Kanal Kode Sumber dan Kode Kanal Sulistyaningsih, 05912-SIE Jurusan Teknik Elektro Teknologi Informasi FT UGM, Yogyakarta 8.2 Kode Awalan Untuk sebuah kode sumber menjadi praktis digunakan, kode harus dapat

Lebih terperinci

Simulasi MIMO-OFDM Pada Sistem Wireless LAN. Warta Qudri /

Simulasi MIMO-OFDM Pada Sistem Wireless LAN. Warta Qudri / Simulasi MIMO-OFDM Pada Sistem Wireless LAN Warta Qudri / 0122140 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Jl. Prof.Drg.Suria Sumantri, MPH 65, Bandung, Indonesia, Email : jo_sakato@yahoo.com ABSTRAK Kombinasi

Lebih terperinci

Analisis Nilai Bit Error Rate pada Turbo Convolutional Coding dan Turbo Block Coding

Analisis Nilai Bit Error Rate pada Turbo Convolutional Coding dan Turbo Block Coding Analisis Nilai Bit Error Rate pada Turbo Convolutional Coding dan Turbo Block Coding Oleh Ruth Johana Angelina NIM: 612010046 Skripsi Untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA OFDM MENGGUNAKAN TEKNIK PENGKODEAN HAMMING

ANALISA KINERJA OFDM MENGGUNAKAN TEKNIK PENGKODEAN HAMMING ANALISA KINERJA OFDM MENGGUNAKAN TEKNIK PENGKODEAN HAMMING Daud P. Sianturi *, Febrizal, ** *Teknik Elektro Universitas Riau **Jurusan Teknik Elektro Universitas Riau Kampus Binawidya Km 12,5 Simpang Baru

Lebih terperinci

Deteksi dan Koreksi Error

Deteksi dan Koreksi Error Bab 10 Deteksi dan Koreksi Error Bab ini membahas mengenai cara-cara untuk melakukan deteksi dan koreksi error. Data dapat rusak selama transmisi. Jadi untuk komunikasi yang reliabel, error harus dideteksi

Lebih terperinci

LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE KONVOLUSI

LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE KONVOLUSI LAPORAN TEKNIK PENGKODEAN ENCODER DAN DECODER KODE KONVOLUSI Disusun Oleh : Inggi Rizki Fatryana (2472) Teknik Telekomunikasi - PJJ PENS Akatel Politeknik Negeri Elektro Surabaya 24-25 PERCOBAAN III ENCODER

Lebih terperinci

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Modulasi Digital: PSK dan ASK

TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Modulasi Digital: PSK dan ASK TTG3B3 - Sistem Komunikasi 2 Modulasi Digital: PSK dan ASK S1 Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom Oleh: Linda Meylani Agus D. Prasetyo Tujuan Pembelajaran Mengetahui jenis-jenis

Lebih terperinci

Teknik Pengkodean (Encoding) Dosen : I Dewa Made Bayu Atmaja Darmawan

Teknik Pengkodean (Encoding) Dosen : I Dewa Made Bayu Atmaja Darmawan Teknik Pengkodean (Encoding) Dosen : I Dewa Made Bayu Atmaja Darmawan Pendahuluan Pengkodean karakter, kadang disebut penyandian karakter, terdiri dari kode yang memasangkan karakter berurutan dari suatu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media informasi, seperti sistem komunikasi dan media penyimpanan untuk data, tidak sepenuhnya reliabel. Hal ini dikarenakan bahwa pada praktiknya ada (noise) atau inferensi

Lebih terperinci

ABSTRAK. sebesar 0,7 db.

ABSTRAK. sebesar 0,7 db. ABSTRAK Tujuan dasar komunikasi adalah pengiriman data atau informasi dari satu tempat ke tempat lain. Pada kenyataannya, transmisi data atau informasi yang diterima tidak sama dengan informasi yang dikirim.

Lebih terperinci

ANALISIS RICIAN FADING PADA TRANSMISI SINYAL DVB-T TUGAS AKHIR

ANALISIS RICIAN FADING PADA TRANSMISI SINYAL DVB-T TUGAS AKHIR ANALISIS RICIAN FADING PADA TRANSMISI SINYAL DVB-T TUGAS AKHIR Oleh : RONNY HERMAWAN PURWANTO NIM : 06.50.0012 PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Lebih terperinci

LOGO IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI M-ARY QAM PADA DSK TMS320C6416T

LOGO IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI M-ARY QAM PADA DSK TMS320C6416T IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI M-ARY QAM PADA DSK TMS320C6416T 2210106006 ANGGA YUDA PRASETYA Pembimbing 1 Pembimbing 2 : Dr. Ir. Suwadi, MT : Ir. Titik Suryani, MT Latar Belakang 1 2 Perkembangan

Lebih terperinci

ANALISIS ALGORITMA KODE KONVOLUSI DAN KODE BCH

ANALISIS ALGORITMA KODE KONVOLUSI DAN KODE BCH Analisis Algoritma Kode... Sihar arlinggoman anjaitan ANALISIS ALGORITMA KODE KONVOLUSI DAN KODE BCH Sihar arlinggoman anjaitan Staf engajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU Abstrak: Tulisan

Lebih terperinci

Analisa Kinerja Alamouti-STBC pada MC CDMA dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak

Analisa Kinerja Alamouti-STBC pada MC CDMA dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak Analisa Kinerja Alamouti-STBC pada MC CDMA dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak ABSTRAK Nur Hidayati Hadiningrum 1, Yoedy Moegiharto 2 1 Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem radio digital (Digital Audio Broadcasting, DAB, sekarang ini lazim

BAB I PENDAHULUAN. Sistem radio digital (Digital Audio Broadcasting, DAB, sekarang ini lazim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem radio digital (Digital Audio Broadcasting, DAB, sekarang ini lazim disebut dengan radio digital) sangat inovatif dan merupakan sistem penyiaran multimedia

Lebih terperinci

Introduction to spread spectrum (SS) Alfin Hikmaturokhman,MT

Introduction to spread spectrum (SS) Alfin Hikmaturokhman,MT Introduction to spread spectrum (SS) 1 A L F I N H I K M A T U R O K H M A N, S T., M T H T T P : / / A L F I N. D O S E N. S T 3 T E L K O M. A C. I D / LATAR BELAKANG 2 CDMA merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

ERROR DETECTION. Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum. Budhi Irawan, S.Si, M.

ERROR DETECTION. Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum. Budhi Irawan, S.Si, M. ERROR DETECTION Parity Check (Vertical Redudancy Check) Longitudinal Redudancy Check Cyclic Redudancy Check Checksum Budhi Irawan, S.Si, M.T Transmisi Data Pengiriman sebuah informasi akan berjalan lancar

Lebih terperinci

Ayu Rosyida Zain 1, Yoedy Moegiharto 2. Kampus ITS, Surabaya

Ayu Rosyida Zain 1, Yoedy Moegiharto 2. Kampus ITS, Surabaya Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem PIC (Parallel Interference Cancellation) MUD (Multiuser Detection) CDMA dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak Ayu Rosyida Zain 1, Yoedy Moegiharto 2 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Dewasa ini, saat teknologi informasi berkembang sangat pesat, hampir semua data telah berbentuk digital. Mulai dari data sederhana seperti buku referensi kuliah, tugas-tugas

Lebih terperinci

Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak

Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak Analisa Kinerja Kode Konvolusi pada Sistem Successive Interference Cancellation Multiuser Detection CDMA Dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak Ais Musfiro Pujiastutik, Yoedy Moegiharto Teknik Telekomunikasi,Politeknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada pengerjaan Tugas Akhir ini penelitian dilakukan menggunakan bahasa pemograman matlab R2008b. Untuk mendapatkan koefisien respon impuls kanal harus mengikuti metodologi

Lebih terperinci

BAB II NOISE. Dalam sistem komunikasi, keberhasilan penyampaian informasi dari pengirim

BAB II NOISE. Dalam sistem komunikasi, keberhasilan penyampaian informasi dari pengirim BAB II NOISE.1 Umum Dalam sistem komunikasi, keberhasilan penyampaian informasi dari pengirim (transmitter) kepada penerima (receiver) tergantung pada seberapa akurat penerima dapat menerima sinyal yang

Lebih terperinci

RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam

RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam RANDOM LINEAR NETWORK CODING UNTUK PENGIRIMAN PAKET YANG HANDAL DI NETWORK Reza Zulfikar Ruslam 0500060 Email : mathley@elect-eng.its.ac.id Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro-FTI,

Lebih terperinci

Bab II. Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code

Bab II. Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code Bab II Teori Encoding-Decoding Reed-Solomon Code Reed-Solomon Code adalah salah satu teknik error and erasure correction yang paling baik dan dijadikan standar dalam banyak bidang diantaranya komunikasi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGKODEAN MODEM VSAT TERHADAP PERFORMANSI BER PADA SISTEM SCPC

ANALISIS PENGKODEAN MODEM VSAT TERHADAP PERFORMANSI BER PADA SISTEM SCPC ANALISIS PENGKODEAN MODEM VSAT TERHADAP PERFORMANSI BER PADA SISTEM SCPC Diajukan guna melengkapi sebagai syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun oleh : Nama : Arif Fitriyanto NIM

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan suatu cara berpikir yang di mulai dari menentukan suatu permasalahan, pengumpulan data baik dari buku-buku panduan maupun studi lapangan, melakukan

Lebih terperinci

Evaluasi Kompleksitas Pendekodean MAP pada Kode BCH Berdasarkan Trellis Terbagi

Evaluasi Kompleksitas Pendekodean MAP pada Kode BCH Berdasarkan Trellis Terbagi 58 JNTETI, Vol 6, No 1, Februari 2017 Evaluasi Kompleksitas Pendekodean pada Kode BCH Berdasarkan Trellis Terbagi Emir Husni 1, Dimas Pamungkas 2 Abstract Soft decoding of block codes can be done by representing

Lebih terperinci

BAB II TEKNIK PENGKODEAN

BAB II TEKNIK PENGKODEAN BAB II TEKNIK PENGKODEAN 2.1 Pendahuluan Pengkodean karakter, kadang disebut penyandian karakter, terdiri dari kode yang memasangkan karakter berurutan dari suatu kumpulan dengan sesuatu yang lain. Seperti

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, teknologi semakin berkembang pesat. Diawali dengan adanya komunikasi analog yang kemudian secara bertahap berubah menjadi komunikasi digital. Komunikasi

Lebih terperinci

BAB III Perencanaan Jaringan VSAT Pada Bank Mandiri dengan CDMA

BAB III Perencanaan Jaringan VSAT Pada Bank Mandiri dengan CDMA BAB III Perencanaan Jaringan VSAT Pada Bank Mandiri dengan CDMA Pada Tugas Akhir ini, akan dilakukan perencanaan jaringan VSAT CDMA pada Bank Mandiri, dengan hasil akhir nanti akan didapatkan apakah perlu

Lebih terperinci

DIKTAT MATA KULIAH KOMUNIKASI DATA BAB V DETEKSI DAN KOREKSI KESALAHAN

DIKTAT MATA KULIAH KOMUNIKASI DATA BAB V DETEKSI DAN KOREKSI KESALAHAN DIKTAT MATA KULIAH KOMUNIKASI DATA BAB V DETEKSI DAN KOREKSI KESALAHAN IF Pengertian Kesalahan Ketika melakukan pentransmisian data seringkali kita menjumpai data yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI GMSK PADA DSK TMS320C6416T

IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI GMSK PADA DSK TMS320C6416T IMPLEMENTASI MODULASI DAN DEMODULASI GMSK PADA DSK TMS320C6416T 22 11 106 032 ADITYA SUKMANA Pembimbing 1 Pembimbing 2 : Dr. Ir. Suwadi, M.T : Ir. Titiek Suryani, M.T Latar Belakang 1 2 1 1 Mempelajari

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode

BAB III PEMBAHASAN. Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode BAB III PEMBAHASAN A. Kode Reed Solomon 1. Pengantar Kode Reed Solomon Teori Pengkodean (Coding Theory) adalah ilmu tentang sifat-sifat kode dan aplikasinya. Kode digunakan untuk kompresi data, kriptografi,

Lebih terperinci

UNJUK KERJA KODE-KODE PENEBAR DIRECT SEQUENCE CDMA PADA KANAL MULTIPATH FADING

UNJUK KERJA KODE-KODE PENEBAR DIRECT SEQUENCE CDMA PADA KANAL MULTIPATH FADING TUGAS AKHIR UNJUK KERJA KODE-KODE PENEBAR DIRECT SEQUENCE CDMA PADA KANAL MULTIPATH FADING Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama : Fryanli

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN RANGKAIAN CONVOLUTIONAL ENCODER DAN VITERBI DECODER MENGGUNAKAN DSK TMS320C6713 BERBASIS SIMULINK SKRIPSI

RANCANG BANGUN RANGKAIAN CONVOLUTIONAL ENCODER DAN VITERBI DECODER MENGGUNAKAN DSK TMS320C6713 BERBASIS SIMULINK SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN RANGKAIAN CONVOLUTIONAL ENCODER DAN VITERBI DECODER MENGGUNAKAN DSK TMS320C6713 BERBASIS SIMULINK SKRIPSI MOHAMMAD ABDUL JABBAR 0403030675 FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO PROGRAM

Lebih terperinci

BAB 3 ALGORITMA DAN MODEL 2K FFT-IFFT CORE

BAB 3 ALGORITMA DAN MODEL 2K FFT-IFFT CORE BAB 3 ALGORITMA DAN MODEL 2K FFT-IFFT CORE Pada Bab ini dibahas mengenai penentuan algoritma, menentukan deskripsi matematis dari algoritma, pembuatan model fixed point menggunakan Matlab, dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang sangat pesat, maka sistem komunikasi wireless digital dituntut untuk menyediakan layanan data

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA MODULASI ASK PADA KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN)

ANALISIS KINERJA MODULASI ASK PADA KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN) ANALISIS KINERJA MODULASI ASK PADA KANAL ADDITIVE WHITE GAUSSIAN NOISE (AWGN) JOSUA RINGIGAS BARAT HUTABARAT Program Studi Teknik Elektro Konsentrasi Teknik Telekomunikasi Sekolah Tinggi Teknik Harapan

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN ANALISIS AUDIO WATERMARKING BERBASIS TEKNIK MODULASI DIGITAL DENGAN PENGKODEAN KONVOLUSI

PERANCANGAN DAN ANALISIS AUDIO WATERMARKING BERBASIS TEKNIK MODULASI DIGITAL DENGAN PENGKODEAN KONVOLUSI PERANCANGAN DAN ANALISIS AUDIO WATERMARKING BERBASIS TEKNIK MODULASI DIGITAL DENGAN PENGKODEAN KONVOLUSI Augiska Muliansyahputra 1), Briliant Hadi Akbar 2), Gelar Budiman 3) 1),2),3 ) Fakultas Teknik Elektro,

Lebih terperinci

Sandi Blok. Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM

Sandi Blok. Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM Sandi Blok Risanuri Hidayat Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM Sandi Blok disebut juga sebagai sandi (n, k) sandi. Sebuah blok k bit informasi disandikan menjadi blok n bit. Tetapi sebelum

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA ESTMASI KANAL DENGAN INVERS MATRIK PADA SISTEM MIMO. Kukuh Nugroho 1.

ANALISA KINERJA ESTMASI KANAL DENGAN INVERS MATRIK PADA SISTEM MIMO. Kukuh Nugroho 1. ANALISA KINERJA ESTMASI KANAL DENGAN INVERS MATRIK PADA SISTEM MIMO Kukuh Nugroho 1 1 Jurusan Teknik Telekomunikasi, Sekolah Tinggi Teknologi Telematika Telkom Purwokerto e-mail :kukuh@st3telkom.ac.id

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN SIMULASI

BAB IV PEMODELAN SIMULASI BAB IV PEMODELAN SIMULASI Pada tugas akhir ini akan dilakukan beberapa jenis simulasi yang bertujuan untuk mengetahui kinerja dari sebagian sistem Mobile WiMAX dengan menggunakan model kanal SUI. Parameter-parameter

Lebih terperinci

Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T

Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 1 Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T Mohammad Sutarto, Dr. Ir. Suwadi, MT 1), Ir. Titiek Suryani, MT. 2) Jurusan Teknik Elektro,

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Pengaruh Kecepatan Pengguna Terhadap Kualitas Layanan Data Dengan Menggunakan Encoder Turbo Code Pada Sistem CDMA EV-DO Rev A

Simulasi Dan Analisis Pengaruh Kecepatan Pengguna Terhadap Kualitas Layanan Data Dengan Menggunakan Encoder Turbo Code Pada Sistem CDMA EV-DO Rev A Jurnal Reka Elkomika 2337-439X Juli 2014 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Teknik Elektro Itenas Vol.2 No.3 Simulasi Dan Analisis Pengaruh Kecepatan Pengguna Terhadap Kualitas Layanan Data Dengan

Lebih terperinci

Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T

Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-29 Implementasi Encoder dan Decoder BCH Menggunakan DSK TMS320C6416T Mohammad Sutarto, Dr. Ir. Suwadi, MT 1), Ir. Titiek Suryani,

Lebih terperinci