HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banjarnegara Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah Barat yang membujur dari arah Barat ke Timur. Terletak di antara 7º12-7º31 Lintang Selatan dan 109º29-109º45 50 Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (BPS 2007). Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat ,997 hektar (Ha) atau sekitar 3,29 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100 sampai 500 m di atas permukaan laut (m dpl) sebesar 37,04 persen, kemudian antara 500 sampai m dpl sebesar 28,74 persen, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24,4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9,82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah, dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan (BPS 2007). Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Bulan basah umumnya lebih banyak dari bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di Banjarnegara sebesar mm per tahun, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Pejawaran sebesar mm per tahun (BPS 2007). Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak jiwa, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km 2. Kepadatan rumahtangga menurut kecamatan, tertinggi adalah Banjarnegara, Purworejo Klampok dan Rakit dengan kepadatan masing-masing sebesar 546 rumahtangga per km 2, 535 rumahtangga per km 2 dan 441 rumahtangga per km 2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan

2 44 tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Punggelan dan Pejawaran. Tabel 5 menyajikan sebaran status gizi anak balita di Punggelan, Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara. Jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Pejawaran (masing-masing sebesar 1,64% dan 11,01%) lebih tinggi daripada di Punggelan (masing-masing sebesar 0,65% dan 6,06%). Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Punggelan, Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Gizi Lebih (%) Punggelan 0,65 6,06 91,27 2,02 Pejawaran 1,64 11,01 85,96 1,39 Banjarnegara 0,56 8,6 89,68 1,16 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008) Punggelan Punggelan merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar ,01 Ha yang terdiri dari 17 desa. Batas wilayah Punggelan adalah sebelah utara berbatasan dengan Pandanarum dan Kalibening, sebelah selatan berbatasan dengan Wanadadi dan Rakit, sebelah timur berbatasan dengan Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga. Punggelan merupakan wilayah yang topografinya bergelombang dan berbukit dan sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan (BPS 2007). Penduduk Punggelan pada akhir tahun 2007 sebanyak jiwa, dengan jumlah rumahtangga dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang serta kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km 2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43,8 persen, sektor jasa 5,50 persen, sektor perdagangan 3,96 persen, sektor transportasi dan industri masing-masing 0,97 persen dan 2,19 persen, sedangkan yang bekerja di sektor lainnya mencapai 41,08 persen. Sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai penentu keberhasilan sektor-sektor lainnya di Punggelan digolongkan masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan

3 45 Tingkat Pertama (SLTP) yang mencapai 55,85 persen. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tamatan Akademi maupun Perguruan Tinggi (AK/PT) masing-masing hanya sebesar 7,7 persen dan 1,37 persen. Kemudian yang masih sekolah atau belum tamat SD, tidak tamat SD dan yang tidak pernah sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali masingmasing sebesar 17,31 persen, 13,45 persen, dan 5,07 persen. Pejawaran Pejawaran merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 5.224,97 Ha yang terdiri dari 17 desa. Pejawaran berbatasan langsung dengan tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sebelah utara Pejawaran berbatasan dengan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Pagentan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah barat berbatasan dengan Wanayasa. Penduduk Pejawaran berjumlah jiwa, dengan jumlah rumahtangga dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan penduduk perempuan sebanyak jiwa. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk Pejawaran didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 46 persen. Dominasi mata pencaharian penduduk di Pejawaran adalah sebagai petani dan buruh tani dengan persentase 66,7 persen dan 29,7 persen (BPS 2007). Ketahanan Pangan Rumahtangga Ketahanan pangan memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya, untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan berdasarkan tingkat konsumsi energi (TKE) sesuai dengan kecukupan gizi yang seharusnya dipenuhi. Ketahanan pangan rumahtangga dimasukkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Rumahtangga dikatakan tahan pangan jika TKE anggota rumahtangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%), 2) Rumahtangga disebut rawan pangan jika TKE anggota rumahtanga antara persen, dan 3) Rumahtangga disebut sangat rawan pangan jika TKE anggota rumahtangga kurang dari 70 persen (Zeitlin & Brown 1990).

4 46 Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan rumahtangga di wilayah penelitian yang terkategori sangat rawan pangan merupakan sebagian besar sebanyak 112 rumahtangga (37,3%), rawan pangan sebanyak 95 rumahtangga (31,7%) dan tahan pangan merupakan sebagian kecil sebanyak 93 rumahtangga (31,0%). Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangannya dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Tingkat kecukupan energi rumahtangga responden dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Food Frequencies Questionnaire (FFQ) untuk rumahtangga selama seminggu terakhir, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi rumahtangga yang dianjurkan. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumahtangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Secara umum rumahtangga di wilayah penelitian belum mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan rata-rata tingkat kecukupan rumahtangga hanya sebesar 83,8 persen. Rata-rata kecukupan rumahtangga di Punggelan (sebesar 92,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan di Pejawaran (sebesar 75,4%), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar rumahtangga di wilayah penelitian masih berada pada kondisi rawan pangan, bahkan sangat rawan pangan. Sebagian besar rumahtangga di Pejawaran terkategori sangat rawan pangan, yaitu sebesar 50,0 persen,

5 47 sebaliknya di Punggelan, sebagian besar rumahtangga terkategori tahan pangan, yaitu sebesar 38,7 persen. Hal ini berarti kondisi rumahtangga di Punggelan lebih baik dibandingkan dengan di Pejawaran yang ditunjukkan dengan lebih banyaknya rumahtangga yang tahan pangan di Punggelan. Tabel 6 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Tingkat Ketahanan Total Punggelan Pejawaran Pangan Rumahtangga n % n % n % Sangat Rawan Pangan 37 24, , ,3 Rawan Pangan 55 36, , ,7 Tahan Pangan 58 38, , ,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 92,2 ± 33,1 75,4 ± 30,0 83,8 ± 32,6 Karakteristik Rumahtangga Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga. Umur Orang Tua Umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia ( 76 tahun) menurut Turner JS & Helms DB (1991), diacu dalam Gabriel (2008). Berdasarkan klasifikasi tersebut maka sebagian besar ayah terkategori berusia dewasa madya (63,8%) dengan usia rata-rata 35 tahun. Pada rumahtangga di kedua kecamatan, umur ayah juga terkategori dewasa madya, berturut-turut sebesar 66,2 persen pada Punggelan dan sebesar 61,2 persen pada Pejawaran, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu terkategori berusia dewasa muda (55,3%) dengan usia rata-rata 30 tahun. Baik rumahtangga di Punggelan maupun di Pejawaran, sebagian besar ibu terkategori dewasa muda, masing-masing sebesar 56,7 persen pada Punggelan dan 54,0 persen pada Pejawaran.

6 48 Tabel 7 Sebaran rumahtangga berdasarkan umur orang tua Umur Orang Tua Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Ayah Remaja (13-19 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dewasa muda (20-30 tahun) 47 31, , ,2 Dewasa madya (31-50 tahun) 98 66, , ,8 Dewasa lanjut (51-75 tahun) 3 2,0 3 2,0 6 2,0 Lansia ( 76 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 34,8 ± 7,4 34,7 ± 7,2 34,7 ± 7,3 Ibu Remaja (13-19 tahun) 2 1,3 3 2,0 5 1,7 Dewasa muda (20-30 tahun) 85 56, , ,3 Dewasa madya (31-50 tahun) 61 40, , ,3 Dewasa lanjut (51-75 tahun) 2 1,3 0 0,0 2 0,7 Lansia ( 76 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 30,0 ± 7,1 29,9 ± 6,6 30,0 ± 6,8 Tidak terdapat ayah dan ibu contoh yang terkategori lanjut usia (lansia). Kategori umur remaja hanya terdapat pada ibu yaitu sebesar 1,7 persen, dan pada Pejawaran persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan Punggelan, yaitu sebesar 2,0 persen. Faktor umur ibu berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak. Ibu yang lebih berumur cenderung lebih berpengalaman dalam merawat anak. Sedangkan ibu muda cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Besar Keluarga Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar ( 8 orang) menurut Hurlock (1998), diacu dalam Gabriel (2008). Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anakanak. Dari Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar keluarga contoh pada kedua kecamatan terkategori keluarga kecil (59,3%) dengan rata-rata 5 orang, masingmasing sebesar 60,7 persen pada Punggelan dan sebesar 58,0 persen pada Pejawaran. Persentase terbesar untuk kategori keluarga besar terdapat di Pejawaran yaitu sebesar 4,7 persen. Hal ini berarti bahwa

7 49 rumahtangga di Pejawaran kurang dapat memenuhi kebutuhan gizi anggotanya. Tabel 8 Sebaran rumahtangga berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Keluarga Kecil ( 4 orang) 91 60, , ,3 Keluarga Sedang (5-7orang) 54 36, , ,7 Keluarga Besar ( 8 orang) 5 3,3 7 4,7 12 4,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 4,5 ± 1,4 4,6 ± 1,4 4,6 ± 1,4 Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo (1989a), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata terutama pada rumahtangga yang sangat miskin. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap individu di dalamnya. Terutama anak balita yang merupakan golongan paling rawan terhadap kekurangan gizi. Pendidikan Orang Tua Menurut Berg (1986), tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Tabel 9 menyajikan sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh. Tingkat pendidikan ayah dan ibu menyebar dari tidak sekolah sampai akademi/perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah sebagian besar contoh relatif rendah. Persentase ayah yang berpendidikan tamat sekolah dasar (SD)/sederajat dan tidak tamat SD merupakan yang tertinggi (berturut-turut 60,4% dan 14,3%) sedangkan yang paling sedikit adalah perguruan tinggi/akademi (2,7%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 69,4 persen pada Punggelan dan 51,4 persen pada Pejawaran. Persentase ayah yang berpendidikan tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat dan perguruan tinggi pada Punggelan lebih tinggi dibandingkan pada Pejawaran, berturut-turut sebesar 17,6 persen tamat SLTP/sederajat, sebesar 10,8 persen tamat SLTA/sederajat dan sebesar 4,1 persen tamat perguruan tinggi.

8 50 Tabel 9 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Total Pejawaran Punggelan (Tahun) n % N % n % Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD 5.6 ± ± ± 2.9 Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD 6.0 ± ± ± 2.5 Tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu juga relatif rendah. Sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat (62,0%), hanya 5,7 persen yang tamat SLTA/sederajat dan 2,0 persen yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Menurut Sanjur (1982), tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada tingkat pendidikan ayah. Pada rumahtangga di tiap kecamatan juga sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 48,7 persen pada Punggelan dan sebesar 75,3 persen pada Pejawaran. Ibu yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi hanya terdapat di Punggelan, yaitu sebesar 4,0 persen. Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada ibu dan sedikit sekali ayah (1,4%) pada rumahtangga di Pejawaran yang menempuh pendidikan hingga akademi atau perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan keluarga pada rumahtangga di Pejawaran lebih rendah dibandingkan keluarga pada rumahtangga di Punggelan. Rendahnya tingkat pendidikan ibu berdampak pada kemampuan untuk menyediakan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup yang terbatas, sehingga menyebabkan rendahnya konsumsi pangan dan gizi, dan berakibat buruk

9 51 terhadap status gizi anak balita. Pada ayah, tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi. Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Suhardjo (1996), pengetahuan gizi berhubungan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Walaupun rumahtangga memiliki daya beli yang cukup namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannnya, baik kualitas, kuantitas maupun ragamnya. Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya tingkat pengetahuan gizi ibu berkisar antara 0 persen sampai 90 persen, dengan rata-rata sebesar 39,3 persen. Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagian besar (64,3%) masih terkategori rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah, yaitu sebagian besar (62,0%) berpendidikan tamat SD/sederajat. Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Pada rumahtangga di Punggelan, tingkat pengetahuan gizi ibu yang terkategori rendah (sebesar 42,7%) lebih sedikit daripada di Pejawaran (sebesar 86,0%). Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Rendah (<60%) 64 42, , ,3 Sedang (60-80%) 71 47, , ,7 Baik (>80%) 15 10,0 3 2,0 18 6,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 52,2 ± 26,9 26,3 ± 24,2 39,3 ± 28,7 Rata-rata tingkat pengetahuan gizi ibu di Punggelan lebih tinggi daripada tingkat pengetahuan gizi ibu di Pejawaran, yaitu sebesar 52,2 persen pada Punggelan dan 26,3 persen pada Pejawaran. Hanya 6,0 persen ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi baik, dan di Punggelan persentasenya lebih besar dibandingkan di Pejawaran, yaitu sebesar 10,0 persen. Sebagian besar ibu dianggap masih kurang dalam menjawab secara tepat beberapa pengetahuan gizi dari daftar pertanyaan yang diajukan. Beberapa pertanyaan yang dijawab

10 52 salah oleh responden seperti mengenal jenis makanan sumber protein nabati dan hewani, makna garis merah dan hijau pada kartu menuju sehat (KMS), serta mengenal jenis makanan yang mengandung zat besi dan vitamin A. Pertanyaan yang dijawab kurang tepat oleh responden seperti mengenal golongan yang rawan gizi, mengenal jenis makanan yang mengandung yodium, serta jenis makanan yang mengandung vitamin C. Pertanyaan yang dijawab tepat oleh responden seperti mengenal jenis makanan bergizi dan mengenal ciri-ciri anak yang bergizi baik. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan ayah cukup bervariasi, diantaranya petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, pedagang, wirausaha, supir, guru, PNS dan lain-lain. Dari Tabel 11 terlihat bahwa pada umumnya ayah bekerja sebagai petani (52,9%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah bekerja sebagai petani, masing-masing sebesar 25,7 persen untuk Punggelan dan sebesar 80,3 persen untuk Pejawaran, lebih besar daripada Punggelan. Tabel 11 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan orang tua Pekerjaan Orang Tua Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Ayah Petani 38 25, , ,9 Buruh tani 36 24, , ,6 Buruh bangunan/industri 13 8,8 2 1,4 15 5,1 Pedagang 19 12,8 5 3,4 24 8,1 Supir 7 4,7 2 1,4 9 3,1 Guru 5 3,4 3 2,0 8 2,7 Tukang ojek 7 4,7 0 0,0 7 2,4 Wirausaha 10 6,8 1 0,7 11 3,7 Lainnya* 13 8,8 0 0,0 13 4,4 Total , , ,0 Ibu Tidak bekerja , , ,7 Petani 9 6, , ,7 Buruh tani 5 3, ,0 26 8,7 Buruh bangunan/industri 12 8,0 3 2,0 15 5,0 Pedagang 7 4,7 2 1,3 9 3,0 Guru 5 3,3 1 0,7 6 2,0 Wirausaha 4 2,7 0 0,0 4 1,3 Lainnya* 5 3,3 0 0,0 5 1,6 Total , , ,0 Keterangan: *lainnya = penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, karyawan swasta, PNS, pembantu rumahtangga

11 53 Berbeda dengan halnya ayah, sebagian besar ibu tidak bekerja (45,7%) atau bekerja sebagai ibu rumahtangga yang merawat dan mendidik anaknya. Hanya ada 32,7 persen ibu yang membantu suaminya bekerja sebagai petani. Persentase ibu tidak bekerja lebih banyak pada rumahtangga di Punggelan, yaitu sebesar 68,7 persen. Hal ini diduga karena pada rumahtangga di Punggelan, pendapatan rumahtangganya telah mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga ibu tidak perlu membantu ayah bekerja. Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Alokasi pengeluaran rumahtangga dibedakan ke dalam pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan sebesar 70 persen atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar persen (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995, diacu dalam Tanziha 2005). Sebaran alokasi pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat pada Tabel 12. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga terkategori pendapatan menengah (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995) karena mengalokasikan pengeluarannya untuk pangan sebesar persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harper et al. (1986) bahwa pengeluaran untuk pangan di Indonesia masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga yaitu lebih dari 50 persen, yang dapat dilihat dari rata-rata alokasi pengeluaran pangan di kedua kecamatan yang lebih dari 50 persen. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan

12 54 gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Alokasi pengeluaran non pangan berkebalikan dengan pengeluaran pangan. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga juga terkategori berpendapatan menengah karena mengalokasikan pengeluaran untuk non pangan sebesar persen. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan alokasi pengeluaran rumahtangga Alokasi Pengeluaran Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Pengeluaran Pangan/Kapita/Bulan <30% 6 4,0 14 9,3 20 6, % , , ,3 >70% 35 23, , ,0 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 59,3 ± 15,0 52,6 ± 16,2 56,0 ± 16,0 Pengeluaran Non Pangan/Kapita/Bulan <30% 35 23, , , % , , ,3 >70% 6 4,0 14 9,3 20 6,7 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 40,7 ± 15,0 47,4 ± 16,2 44,0 ± 16,0 Secara umum, rata-rata alokasi pengeluaran pangan sebesar 56,0 persen lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan sebesar 44,0 persen. Pada kedua kecamatan, persentase alokasi pengeluaran pangan tidak berbeda jauh, yaitu berada pada kategori menengah sebesar persen, masing-masing sebesar 72,7 persen pada Punggelan dan 78,0 persen pada Pejawaran.. Keterkaitan antara pendapatan dan ketahanan pangan dapat dijelaskan dengan Hukum Engels. Hukum Engels menjelaskan bahwa pada saat terjadinya penurunan pendapatan, porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin meningkat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan pendapatan, maka porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin mengecil. Hasil penelitian ini mendukung Teori Engels, yaitu rata-rata responden membelanjakan 56,0 persen dari total pendapatannya untuk kebutuhan pangan (Soekirman 2000). Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi Umur Anak Balita Anak yang diambil pada penelitian ini adalah yang berumur 24 hingga 59 bulan atau yang disebut anak balita (bawah lima tahun). Pembatasan umur

13 55 anak balita ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelompok umur ini termasuk rawan terhadap kondisi kerawanan pangan rumah tangga yang penampakannya terlihat dari rendahnya status gizi anak. Jika umur anak balita dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur, yaitu kelompok umur bulan, bulan dan bulan, maka kuantitas persentase anak balita hampir tersebar merata, yaitu berturut-turut 36,7 persen, 33,0 persen dan 30,3 persen, dengan rata-rata berumur 41 bulan. Sebaran anak balita berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran anak balita berdasarkan umur Umur Anak Balita Punggelan Pejawaran Total n % n % n % bulan 3 35, , , bulan 43 28, , , bulan 54 36, , ,3 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 42,1 ± 10,6 40,1 ± 9,8 41,1 ± 10,2 Rata-rata umur anak balita pada kedua kecamatan juga tidak berbeda jauh. Pada Punggelan rata-rata umur anak balita adalah 42 bulan dan pada Pejawaran adalah 40 bulan. Jenis Kelamin Anak Balita Jumlah anak balita yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah 300 anak. Setelah diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa anak balita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 45,0 persen, sedangkan anak balita perempuan sebesar 55,0 persen. Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Laki-laki 64 42, , ,0 Perempuan 86 57, , ,0 Total , , ,0 Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yaitu setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Pangan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, serta untuk memperoleh energi agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Terutama bagi anak balita yang

14 56 sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan serta membutuhkan cukup zat gizi untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001). Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang disebut pola konsumsi pangan. Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap gizi dan kesehatan (Hardinsyah 2000). Jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989a). Pola konsumsi pangan terkait dengan kualitas dan kuantitas zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sehingga dapat mempengaruhi status gizi. Pola konsumsi pangan anak balita yang masih dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan orang tua disajikan pada Tabel 15. Pola konsumsi pangan anak balita didasarkan atas kelompok pangan pokok dan sumber protein berdasarkan kontribusi energi dan protein terhadap konsumsi sehari. Pengklasifikasian pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein anak balita adalah tunggal (memberikan kontribusi >95% kkal dan gram dalam sehari), ganda (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, B 10% kkal dan gram) dan beranekaragam (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, dan pangan B memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan C, C 5% kkal dan gram) (Martianto D 17 Agustus 2009, komunikasi pribadi). Kelompok Pangan Pangan pokok Pangan sumber protein Tabel 15 Pola konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Punggelan Pejawaran Jagung - mie beras (nasi) roti Beras (nasi) mie roti Telur tempe/tahu/kacangkacangan dan olahannya ikan ayam Ikan asin tempe/tahu/kacangkacangan telur ayam Pola konsumsi pangan pokok anak balita di wilayah penelitian terkategori beranekaragam, yaitu terdiri dari beras (nasi), jagung, mie dan roti. Bahan pangan pokok dianggap yang terpenting di dalam suatu susunan hidangan makanan, dan biasanya dapat segera terlihat di atas piring karena

15 57 merupakan kuantum terbesar di antara bahan pangan yang dikonsumsi. Bahan pangan pokok merupakan sumber utama kalori atau energi. Jenis pangan serealia (beras, jagung dan gandum) memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan kadar protein yang memadai sebagai sumber energi (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Punggelan dan Pejawaran cukup berbeda. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Punggelan terkategori beranekaragam, yaitu beras (nasi), mie dan roti. Pangan pokok utama di Punggelan adalah beras atau nasi. Beras (nasi) memberikan kontribusi 62 persen energi dalam konsumsi sehari dari kelompok pangan pokok, mie memberikan kontribusi 13 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 6 persen energi dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Pejawaran terkategori beranekaragam, yaitu jagung, mie, beras (nasi) dan roti. Pola konsumsi pangan pokok di Pejawaran didominasi oleh jagung. Jagung memberikan kontribusi 43 persen energi dalam konsumsi sehari, mie memberikan kontribusi 16 persen energi, beras (nasi) memberikan kontribusi 12 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 5 persen energi dalam sehari. Kontribusi bahan pangan pokok dan sumber protein dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Pola konsumsi pangan di kedua kecamatan berdasarkan kontribusi energi dan protein dalam konsumsi sehari Kelompok Pangan Pangan pokok Pangan sumber protein Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Punggelan Pejawaran Bahan Pangan Kontribusi Kontribusi Bahan Pangan (%) (%) Beras (nasi) 62 Jagung 43 Mie 13 Mie 16 Roti 6 Beras (nasi) 12 Roti 5 Telur 34 Ikan asin 51 Tempe/tahu/kacangkacangan Tempe/tahu/kacang- dan 33 kacangan dan 26 olahannya olahannya Ikan 17 Telur 11 Ayam 12 Ayam 9 Pola konsumsi pangan sumber protein anak balita terkategori beranekaragam, yaitu terdiri dari ikan (ikan asin dan ikan segar), tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Golongan bahan pangan yang memberikan kontribusi protein adalah sumber protein hewani dan nabati, atau yang biasa disebut bahan pangan lauk pauk. Hasil ternak (daging) memiliki nilai

16 58 biologi protein tertinggi. Penelitian Puslitbang Gizi Bogor membuktikan bahwa penggunaan tempe sebagai salah satu bahan utama pangan tambahan dapat meningkatkan berat badan dan memperbaiki status gizi anak (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan sumber protein di Punggelan tidak jauh berbeda dengan Pejawaran, hanya berbeda persentase kontribusi proteinnya. Pola konsumsi pangan sumber protein di Punggelan yaitu telur, tempe/tahu/kacang-kacangan dan olahannya, ikan (baik ikan asin maupun ikan segar) dan ayam. Telur memberikan kontribusi 34 persen protein dalam konsumsi sehari, tempe/tahu/kacang-kacangan memberikan kontribusi 33 persen protein, ikan memberikan kontribusi 17 persen protein dan ayam memberikan kontribusi 12 persen protein dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan sumber protein di Pejawaran, yaitu ikan (baik ikan asin dan segar), tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Ikan memberikan kontribusi 51 persen kontribusi protein, tempe/tahu/kacang-kacangan memberikan kontribusi 26 persen protein dalam konsumsi sehari, telur memberikan kontribusi 11 persen protein dalam sehari dan ayam memberikan kontribusi 9 persen protein dalam sehari. Ikan segar cukup banyak dikonsumsi oleh anak balita di Punggelan, namun di Pejawaran konsumsi ikan segar sangat sedikit, justru konsumsi ikan yang banyak adalah berupa ikan asin. Hal ini karena ikan asin mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya serta dapat disimpan dalam waktu yang lama selama proses distribusi. Perbedaan pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein di kedua kecamatan disebabkan karena perbedaan daya beli. Daya beli dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di Punggelan lebih tinggi daripada di Pejawaran, sehingga pangan pokok dan pangan sumber protein yang dikonsumsi lebih beragam dan harganya lebih mahal atau dengan kata lain lebih baik secara kuantitas dan kualitas. Selain itu, perbedaan pola konsumsi ini juga disebabkan oleh perbedaan agroekologi di kedua kecamatan dan kemudahan akses. Tanaman jagung banyak ditanam di Pejawaran sehingga jagung dijadikan pangan pokok di sana. Proses distribusi, terutama distribusi pangan, di Punggelan lebih mudah karena merupakan dataran rendah, dibandingkan dengan Pejawaran yang merupakan dataran tinggi dan masih banyaknya jalan tanah.

17 59 Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada atau dalam hal ini tahan pangan. Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita Tabel 17 menyajikan data mengenai rata-rata konsumsi serta tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Konsumsi energi anak balita rata-rata adalah 975 kkal per hari atau memenuhi 93,5 persen angka kecukupan gizi (AKG). Konsumsi protein rata-rata adalah 24,5 gram per hari atau memenuhi 97,3 persen AKG. Dilihat dari rata-rata konsumsi energi dan protein, dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein anak balita di wilayah penelitian sudah baik. Rata-rata konsumsi energi di Punggelan sebesar 1033,7 kkal per hari dan di Pejawaran sebesar 916,1 kkal per hari. Rata-rata konsumsi protein di Punggelan sebesar 27,1 gram per hari dan di Pejawaran sebesar 23,7 gram per hari. Tabel 17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi anak balita Zat Gizi Konsumsi Zat Gizi Punggelan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Konsumsi Zat Gizi Pejawaran Tingkat Kecukupan Zat Gizi Konsumsi Zat Gizi Total Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi (kkal) 1033,7 95,9 916,1 91, ,5 Protein (g) 27,1 100,2 23,7 94,4 25,4 97,3 Jika tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit berat (<70%), defisit sedang (70-90%) dan cukup (>90%) (Martianto et al. 2008) berdasarkan kecamatan maka sebarannya dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tingkat kecukupan energi anak balita sebagian besar terkategori cukup (45,3%), sebesar 22,0 persen terkategori defisit sedang dan 32,7 persen terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan energi adalah 93,5 persen, yang terkategori baik. Rata-rata tingkat kecukupan energi anak balita pada rumahtangga di Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (95,9%) dibandingkan dengan rumahtangga di Pejawaran yang rata-rata tingkat kecukupan energinya sebesar 91,1 persen.

18 60 Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Defisit berat (<70%) 52 34, , ,7 Defisit sedang (70-90%) 30 20, , ,0 Cukup (>90%) 68 45, , ,3 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 95,9 ± 43,6 91,1 ± 34,5 93,5 ± 39,4 Persentase tingkat kecukupan energi defisit berat, lebih tinggi di Punggelan dibandingkan di Pejawaran, yaitu sebesar 34,7 persen. Persentase tingkat kecukupan energi defisit sedang, lebih tinggi di Pejawaran dibandingkan dengan di Punggelan, yaitu sebesar 24,0 persen. Dan persentase tingkat kecukupan energi cukup, sama untuk kedua kecamatan, yaitu sebesar 45,3 persen. Tingkat kecukupan protein anak balita sebagian besar terkategori cukup (47,3%), sebanyak 20,3 persen terkategori defisit sedang dan sebanyak 32,3 persen yang terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak balita pada rumahtangga di Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (100,2%) dibandingkan dengan rumahtangga di Pejawaran, walaupun secara umum tingkat kecukupan protein anak balita pada tiap kecamatan adalah baik. Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan protein Tingkat Kecukupan Protein Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Defisit berat (<70%) 55 36, , ,3 Defisit sedang (70-90%) 21 14, , ,3 Cukup (>90%) 74 49, , ,3 Total , , ,0 Rata-rata ± SD 100,2 ± 54,1 94,4 ± 40,8 97,3 ± 47,9 Persentase tingkat kecukupan protein cukup, lebih tinggi di Punggelan dibandingkan di Pejawaran, yaitu sebesar 49,3 persen. Persentase tingkat kecukupan protein defisit sedang, lebih tinggi di Pejawaran dibandingkan di Punggelan, yaitu sebesar 26,7 persen. Dan persentase tingkat kecukupan protein defisit berat, lebih tinggi di Punggelan dibandingkan di Pejawaran, yaitu sebesar 36,7 persen. Dari rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada Tabel 18 dan 19 di atas,

19 61 dapat diketahui bahwa rumahtangga di Pejawaran memiliki tingkat kecukupan energi dan protein lebih rendah daripada Punggelan. Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita Terdapat prioritas pembagian makan kepada anak balita. Tabel 20 menunjukkan frekuensi konsumsi pangan anak balita di kedua kecamatan. Pangan pokok sebagai sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi anak balita di wilayah penelitian adalah beras atau nasi. Frekuensi konsumsi pangan tersebut lebih dari 1 kali sehari atau selalu dikonsumsi setiap waktu makan. Namun terdapat perbedaan frekuensi konsumsi nasi antara Punggelan dan Pejawaran, frekuensi konsumsi nasi di Punggelan adalah lebih dari 1 kali sehari sedangkan di Pejawaran adalah kurang dari 1 kali per minggu atau sangat jarang. Jagung sering dikonsumsi oleh anak balita pada rumahtangga di Pejawaran dan menjadi pangan pokok, namun secara umum jagung dikonsumsi kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari umbi-umbian, seperti singkong dan ubi, lebih sering dikonsumsi di Peiawaran dibandingkan di Punggelan, yaitu dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Frekuensi konsumsi singkong dan ubi di Punggelan adalah kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari terigu, seperti roti, dikonsumsi oleh anak balita dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu, sedangkan mie dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Pangan sumber protein nabati (kacang-kacangan dan olahannya) jarang dikonsumsi oleh anak balita, atau dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Namun frekuensi konsumsi tempe atau tahu di Punggelan sangat sering yaitu lebih dari 1 kali sehari, sedangkan di Pejawaran sangat jarang yaitu kurang dari 1 kali per minggu. Biasanya orang tua berbelanja bahan pangan ini pada hari pasar, yaitu setiap lima hari sekali. Pangan sumber protein hewani (berupa daging, ayam, telur dan susu) sangat jarang dikonsumsi atau dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi daging sapi dan kambing di wilayah penelitian terbatas hanya pada saat hari raya. Anak balita sangat sering mengkonsumsi ikan (berupa ikan asin), dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, terutama di Pejawaran. Di Punggelan frekuensi konsumsi ikan asin tidak sering seperti di Pejawaran, yaitu kurang dari 3 kali per minggu.

20 62 Tabel 20 Frekuensi konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Jenis Bahan Pangan Frekuensi Konsumsi Pangan Punggelan Pejawaran Total Nasi >1 kali sehari <1 kali perminggu > 1 kali sehari Jagung <1 kali perminggu >1 kali sehari < 1 kali perminggu Singkong <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu Ubi <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu Mie <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu Roti <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu Tempe/tahu >1 kali sehari <1 kali perminggu < 3 kali perminggu Daging sapi/kambing <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu Ayam <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu Ikan <3 kali perminggu >1 kali sehari > 1 kali sehari Telur <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu Susu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu Sayur >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari Buah <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu Minyak >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari Gula >1 kali sehari <3 kali perminggu > 1 kali sehari Sayur dikonsumsi dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan. Sayur dikonsumsi di setiap waktu makan, karena pada umumnya tiap rumah menanamnya di pekarangan rumah mereka. Jenis sayuran yang biasa dikonsumsi adalah daun singkong, kol, bayam, sawi putih, wortel dan daun melinjo. Jenis sayuran yang dikonsumsi tersebut bervariasi antar daerah penelitian, tergantung pada sayuran yang tersedia di lokasi masing-masing dan tergantung musim. Buah-buahan dikonsumsi dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Jenis buah yang biasa dikonsumsi adalah pisang, duku, rambutan, salak, jeruk dan apel hijau, namun tergantung musim. Buah juga tergantung pada buah yang diproduksi di wilayah setempat. Minyak dan gula dikonsumsi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, hal ini dikarenakan kedua bahan pangan tersebut biasa dipakai saat masak dan gula sering digunakan untuk membuat teh manis, sedangkan frekuensi konsumsi gula di Pejawaran adalah kurang dari 3 kali per minggu. Tabu Makanan Tabu atau pantangan terhadap makanan masih dijalankan pada anak balita. Anak balita ditabukan makan sayap dan kaki ayam dengan alasan sudah menjadi tradisi sejak dahulu, walaupun orang tua balita tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Orang tua balita juga menabukan pisang emas untuk anaknya dengan alasan pamali dimakan sampai setelah anak balita tersebut menikah. Jenis bahan pangan lain yang ditabukan pada anak balita adalah es.

21 63 Alasan yang dikemukakan oleh orang tua anak balita yaitu es dapat menyebabkan anak menjadi besar dan gendut. Bahan pangan yang ditabukan pada anak balita disajikan pada Tabel 21. Tabu Makanan Sayap dan kaki ayam Pisang emas Tabel 21 Bahan pangan yang menjadi tabu bagi anak balita Punggelan Tidak ada Ada Pejawaran Ada Tidak ada Es Ada Tidak ada Catatan Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi bagian lain dari daging ayam Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi jenis pisang lain yang tidak jauh berbeda kandungan gizinya Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena es tidak mengandung zat gizi yang penting untuk pertumbuhan anak balita Pantangan atau tabu makanan adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Tabu atau pantangan makanan di wilayah penelitian terkait dengan budaya. Tabu makanan yang ada terkait dengan sistem nilai yang berasal dari adat-adat yang diwariskan nenk moyang kepada generasi penerusnya, namun tidak ada ancaman budaya atau pun hukuman jika melanggar tabu ini. Tabu makanan pada anak balita ini bersifat permanen karena telah ada sejak dahulu, namun dalam perkembangannya banyak masyarakat yang tidak menganut tabu makanan ini. Masyarakat tidak mengetahui alasan mengapa makanan tersebut ditabukan dan sejak kapan tabu makanan tersebut dimulai. Tabu yang berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan bagi anak-anak yang masih di bawah perawatan dan asuhan wanita tersebut (Suhardjo 1989a). Status Gizi Anak Balita Status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi pangan (Riyadi 2001). Menurut Soekirman (2000), faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi pangan dan keadaan kesehatan. Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990).

22 64 Status gizi anak balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO (1995), yaitu indeks untuk berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil pengukuran dengan indeks ini selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z-skor yang direkomendasikan oleh NCHS/WHO. Kelebihan menggunakan z-skor adalah hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Husaini 1988, diacu dalam Masithah 2002). Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Umur Menurut Riyadi (2001), berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. BB/U dipengaruhi TB/U dan BB/TB. Jika di suatu masyarakat tidak ada wasting atau kurus, BB/U dan TB/U memberikan informasi yang sama, yaitu merefleksikan pengalaman gizi dan kesehatan jangka panjang. Perubahan jangka pendek, khususnya penurunan BB/U mengungkap perubahan BB/TB. BB/U rendah merefleksikan TB/U rendah, BB/TB rendah atau keduanya, maka istilah kurang gizi global telah digunakan untuk menjelaskan indikator ini, yang mencakup kurang gizi kronis dan akut. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa ratarata nilai z-skor adalah -1,5 SD, yang diklasifikasikan sebagai status gizi baik (-2 nilai z-skor 2). Rata-rata nilai z-skor BB/U yang berasal dari rumah tangga di Punggelan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga di Pejawaran, yaitu -1,4 SD. Sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/U dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U Status Gizi (BB/U) Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Gizi buruk (<-3 SD) 10 6, , ,3 Gizi kurang (-3 SD s/d <-2 SD) 32 21, , ,3 Gizi baik (-2 SD s/d 2 SD) , , ,0 Gizi lebih (>2 SD) 1 0,7 0 0,0 1 0,3 Total , , ,0 Rata-rata ± SD -1,4 ± 1,1-1,7 ± 1,1-1,5 ± 1,1 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa sebagian besar balita memiliki kategori status gizi baik (68,0%). Akan

23 65 tetapi masih terdapat balita dengan status gizi kurang (underweight, BB/U -3 nilai z-skor < -2 SD) (21,3%), balita yang terkategori status gizi buruk (severe underweight, BB/U z-skor < -3 SD) (10,3%) serta balita yang terkategori status gizi lebih (BB/U z-skor > 2 SD) (0,3%). Persentase kasus gizi baik pada rumahtangga di Punggelan sebesar 71,3 persen lebih tinggi dibandingkan di Pejawaran. Hanya terdapat 0,7 persen kasus gizi lebih, terjadi pada rumahtangga di Punggelan. Banyaknya kasus gizi buruk pada rumahtangga di Pejawaran sebesar 14,0 persen lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di Punggelan sebesar 6,7 persen. Jumlah kasus gizi kurang di Punggelan dan Pejawaran adalah sama yaitu sebesar 21,3 persen. Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi gizi kurang (underweight) di atas 30 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Rata-rata nilai z-skor BB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi BB/U bergeser -1,5 ke kiri dibandingkan dengan standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor BB/U dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U

24 66 Status Gizi Anak Balita berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan pertumbuhan kumulatif sejak lahir. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek (Supariasa et al. 2001). Indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Status gizi balita berdasarkan indeks TB/U menunjukkan bahwa rata-rata nilai z- skor adalah -2,1 SD yang termasuk dalam kategori status gizi pendek (z-skor < - 2). Rata-rata nilai z-skor TB/U anak balita pada kedua kecamatan tidak jauh berbeda, hanya rata-rata dari rumahtangga di Pejawaran yang lebih rendah, yaitu -2,5 SD. Tabel 23 menyajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks TB/U. Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi (TB/U) Punggelan Pejawaran Total n % n % n % Pendek (stunting) (<-2 SD) 64 42, , ,3 Normal ( -2 SD) 86 57, , ,7 Total , , ,0 Rata-rata ± SD -1,7 ± 1,1-2,5 ± 1,2-2,1 ± 1,2 Untuk menilai status gizi balita pada masa lampau, digunakan indeks TB/U. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan terdapat 45,7 persen balita berstatus gizi normal dan sebanyak 54,3 persen balita berstatus gizi pendek (stunting, TB/U z-skor < -2 SD). Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi pendek (stunting) di atas 40 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Kasus pendek (stunting) lebih besar terjadi pada rumahtangga di Pejawaran dibandingkan pada rumahtangga di Punggelan, yaitu sebesar 66,0 persen, sebaliknya anak balita yang terkategori normal, prevalensinya lebih besar pada rumahtangga di Punggelan, yaitu sebesar 57,3 persen, dibandingkan pada rumahtangga di Pejawaran. Rata-rata nilai z-skor TB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi TB/U bergeser -2,1 ke kiri

25 67 dibandingkan dengan standar WHO. Pergeseran kurva z-skor TB/U lebih jauh ke kiri dibandingkan dengan kurva z-skor BB/U. Hal ini menunjukkan status gizi berdasarkan indeks TB/U kondisinya lebih buruk dibandingkan indeks BB/U yang hanya bergeser sejauh -1,5 ke kiri jauhnya dari kurva standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor TB/U dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al 2001). Indeks BB/TB merupakan indikator kurang gizi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan rata-rata nilai z-skor adalah -0,5 SD, yang termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai z- skor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Pejawaran lebih tinggi, yaitu -0,4 SD, dibandingkan rumahtangga di Punggelan. Rata-rata nilai z-skor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Punggelan rendah, yaitu -0,6 SD. Pada Tabel 24 disajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/TB.

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga 20 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga Konsep ketahanan pangan menurut World Food Conference on Human Rights 1993 dan World Food Summit 1996 memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki

Lebih terperinci

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita 17 KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan periode emas, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal, terlebih lagi pada periode dua tahun pertama kehidupan seorang anak.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara merupakan satu dari 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomi, Kabupaten Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita 22 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Kabupaten Banjarnegara termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah seluas 106.971,01 Ha dengan pusat pemerintahan Kab.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Status Gizi Balita

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Status Gizi Balita 16 KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik sebuah rumah tangga akan mempengaruhi strategi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Karakteristik rumah tangga itu antara lain besar rumah tangga, usia kepala rumah tangga

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM No. Responden : Nama : Umur : Jenis Kelamin : Tinggi Badan : Berat Badan : Waktu makan Pagi Nama makanan Hari ke : Bahan Zat Gizi Jenis Banyaknya Energi Protein URT

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden:

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden: LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden: KUESIONER PENELITIAN POLA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT PAPUA (Studi kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua).

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Banjarnegara mempunyai luas wilayah 106.970,997 Ha terletak antara 7 o 12 sampai 7 o 31 Lintang Selatan dan 109 o 20 sampai 109 o 45

Lebih terperinci

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh 31 Karakteristik Sosial Ekonomi keluarga Umur orangtua Sebaran umur orangtua contoh dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu kelompok remaja (

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD HASIL DAN PEMBAHASAN Keikutsertaan PAUD Konsep Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah konsep bermain sambil belajar yang merupakan fondasi yang akan mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN PERILAKU LANSIA DALAM MENGONSUMSI MAKANAN SEHAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BATU HORPAK KECAMATAN TANTOM ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2010 I. Karakteristik Responden

Lebih terperinci

AGRIC Vol.22, No. 1, Juli 2010:67-74 PENDAHULUAN

AGRIC Vol.22, No. 1, Juli 2010:67-74 PENDAHULUAN PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia dan generasi yang berkualitas yang diperiukan untuk membangun daya saing bangsa dalam era globalisasi. Ketahanan pangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Desa Paberasan Kabupaten Sumenep. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

KUESIONER POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU

KUESIONER POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian KUESIONER POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU IDENTITAS Nomor Responden : Alamat Responden

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Banjarnegara terletak antara 7⁰12 7⁰31 Lintang Selatan dan

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Banjarnegara terletak antara 7⁰12 7⁰31 Lintang Selatan dan IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Banjarnegara terletak antara 7⁰12 7⁰31 Lintang Selatan dan 109⁰29 109⁰45 50 Bujur Timur. Berada pada jalur pegunungan di bagian tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di kebun Malabar PTPN VIII Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUESIONER ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT

LAMPIRAN KUESIONER ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT 65 LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner KUESIONER ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT FILE : AllData Sheet 1 CoverInd

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan 47 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan 1. Letak geografis, topografi, dan pertanian Kabupaten Lampung Selatan Wilayah Kabupaten Lampung Selatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden 1. Umur Umur merupakan suatu ukuran lamanya hidup seseorang dalam satuan tahun. Umur akan berhubungan dengan kemampuan dan aktivitas seseorang dalam melakukan

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR Lampiran 1. Kuisioner penelitian Sheet: 1. Cover K U E S I O N E R POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR Program : (1=PNPM,

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi KERANGKA PEMIKIRAN Masa yang terentang antara usia satu tahun sampai remaja boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi (Arisman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Rumah Tangga

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Rumah Tangga 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rumah Tangga Besar Rumah Tangga Menurut BKKBN (1998), besar rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 18 tahun. Di Indonesia BPS (2008) mencatat bahwa sekitar 34,5% anak perempuan

BAB I PENDAHULUAN. 18 tahun. Di Indonesia BPS (2008) mencatat bahwa sekitar 34,5% anak perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan anak merupakan praktik yang tersebar luas didunia. UNICEF (2010) mencatat bahwa sekitar 60% anak perempuan di dunia menikah di bawah usia 18 tahun. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Sehat Anak sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih,

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN Kode : KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN POLA MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DITINJAU DARI KARAKTERISTIK KELUARGA DI KECAMATAN DOLOK MASIHUL KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2011 Tanggal Wawancara : A. Identitas

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Makanan Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan karena makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Fungsi pokok makanan adalah untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Lokasi dan Luas Wilayah Kelurahan Cimayang merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Jarak kelurahan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. bujur timur. Wilayahnya sangat strategis karena dilewati Jalur Pantai Utara yang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. bujur timur. Wilayahnya sangat strategis karena dilewati Jalur Pantai Utara yang IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Geografis Kabupaten Batang adalah salah satu kabupaten yang tercatat pada wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Letak wilayah berada diantara koordinat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

Kuisioner Penelitian. Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Kelas IV dan V di SDN Panunggangan 1

Kuisioner Penelitian. Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Kelas IV dan V di SDN Panunggangan 1 Kuisioner Penelitian Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Kelas IV dan V di SDN Panunggangan 1 A. Petunjuk Pengisian Kuisioner 1. Adik dimohon bantuannya untuk mengisi identitas diri pada bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa air, apa alam, dan sebagainya, yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka tersedianya harus dapat dijamin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Energi dan Protein 1. Kebutuhan Energi Energi digunakan untuk pertumbuhan, sebagian kecil lain digunakan untuk aktivitas, tetapi sebagian besar dimanfaatkan untuk metabolisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Desa Desa Paberasan merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Batas-batas wilayah Desa Paberasan yaitu: Sebelah utara : Desa Poja

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah LAMPIRAN 67 68 Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah 68 69 68 Lampiran 2 Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang bertujuan mempelajari hubungan pengetahuan gizi ibu dan kebiasaan jajan siswa serta kaitannya dengan status

Lebih terperinci

SUSTAINABLE DIET FOR FUTURE

SUSTAINABLE DIET FOR FUTURE BIODATA 1. Nama : Iwan Halwani, SKM, M.Si 2. Pendidikan : Akademi Gizi Jakarta, FKM-UI, Fakultas Pasca sarjana UI 3. Pekerjaan : ASN Pada Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI SUSTAINABLE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana seluruh pengumpulan data dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

B A B II TINJAUAN PUSTAKA B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi atau tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi status kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang dapat dicerminkan dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia anak 6-24 bulan merupakan usia yang sangat penting dalam proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN PERILAKU DIET IBU NIFAS DI DESA TANJUNG SARI KECAMATAN BATANG KUIS KABUPATEN DELI SERDANG. 1. Nomor Responden :...

KUESIONER PENELITIAN PERILAKU DIET IBU NIFAS DI DESA TANJUNG SARI KECAMATAN BATANG KUIS KABUPATEN DELI SERDANG. 1. Nomor Responden :... KUESIONER PENELITIAN PERILAKU DIET IBU NIFAS DI DESA TANJUNG SARI KECAMATAN BATANG KUIS KABUPATEN DELI SERDANG 1. Nomor Responden :... 2. Nama responden :... 3. Umur Responden :... 4. Pendidikan :... Jawablah

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM DAN POTENSI WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA

BAB II KONDISI UMUM DAN POTENSI WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA BAB II KONDISI UMUM DAN POTENSI WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA Dalam bab II ini penulis akan memaparkan tentang kondisi umum Kabupaten Banjarnegara yang didalamnya akan membahas keadaan geografis, potensi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Karakteristik Wilayah Kabupaten Brebes merupakan salah satu dari tiga puluh lima daerah otonom di Propinsi Jawa Tengah yang terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa wukirsari merupakan salah satu Desa dari total 4 Desa yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Desa Wukirsari yang berada sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Explanatory Research dibidang gizi masyarakat, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antar variabel. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan dan pedesaan berdasarkan kriteria klasifikasi wilayah. desa/kelurahan (Badan Pusat Statistik {BPS}, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan dan pedesaan berdasarkan kriteria klasifikasi wilayah. desa/kelurahan (Badan Pusat Statistik {BPS}, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan di Indonesia beragam dan bertingkat mulai dari daerah pedesaan hingga perkotaan. Suatu daerah digolongkan dalam daerah perkotaan dan pedesaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNIVERSITAS INDONESIA

LAMPIRAN 1 UNIVERSITAS INDONESIA LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian UNIVERSITAS INDONESIA Dengan Hormat, Saya adalah mahasiswa Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat, akan mengadakan penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data 15 METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional study. Lokasi penelitian bertempat di Desa Sukajadi, Sukaresmi, Sukaluyu, dan Sukajaya, Kecamatan Taman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU

POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU 1 POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU Chintya Nurul Aidina¹, Zulhaida Lubis², Fitri Ardiani² ¹Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gizi Kurang Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN. Ketersediaan Pangan Berdasarkan Karakteristik Keluarga di Lingkungan XIII Kelurahan Tanjung Rejo Medan Tahun 2013

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN. Ketersediaan Pangan Berdasarkan Karakteristik Keluarga di Lingkungan XIII Kelurahan Tanjung Rejo Medan Tahun 2013 Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN Ketersediaan Pangan Berdasarkan Karakteristik Keluarga di Lingkungan XIII Kelurahan Tanjung Rejo Medan Tahun 2013 I. Identitas Responden Nama Ibu : Jumlah Balita : Nama

Lebih terperinci

BAB II PROFIL DESA KASIMPAR DAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA KASIMPAR

BAB II PROFIL DESA KASIMPAR DAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA KASIMPAR BAB II PROFIL DESA KASIMPAR DAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA KASIMPAR A. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kondisi wilayah suatu temapt tergantung pada alam, mengenai hal ini para geografis menunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini desain population survey, yaitu dengan mensurvei sebagian dari populasi balita yang ada di lokasi penelitian selama periode waktu tertentu.

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada IV. LOKASI PENELITIAN A. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada dinaungan Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara Berdasarkan Perda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Kimia Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara kadar Zn, Se, dan Co pada rambut siswa SD dengan pendapatan orang tua yang dilakukan pada SDN I Way Halim Lampung

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan dan Gizi di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai

Ketahanan Pangan dan Gizi di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai Ketahanan Pangan dan Gizi di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai Dadang Sukandar a, Ali Khomsan b, Hadi Riyadi c, Faisal Anwar d dan Eddy S Mudjajanto e Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Lebih terperinci

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA BAB II T1NJAUAN PUSTAKA A. Pola Konsumsi Anak Balita Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah, frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Serat Di Indonesia sayur cukup mudah diperoleh, petani pada umumnya menanam guna mencukupi kebutuhan keluarga. Pemerintah juga berusaha meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci