Perspektif Pengayaan:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Perspektif Pengayaan:"

Transkripsi

1 Perspektif Pengayaan: Pendekatan Pendidikan Luar Biasa terhadap Sekolah Inklusif Edvard Befring Pendahuluan Perspektif pengayaan adalah suatu pendekatan berdasarkan kemampuan dan kekuatan. Ini merupakan sebuah pendekatan alternatif atau suplementer bagi model pendidikan luar biasa yang diagnostik-terapeutik. Pendekatan ini melibatkan asesmen untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh anak serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dan taman kanak-kanak, dan menggunakan informasi tersebut sebagai titik tolak dalam menciptakan lingkungan belajar. Artikel ini menyajikan sejarah singkat PLB (atau pendidikan khusus) di Eropa, menggambarkan beberapa contoh ilustratif tentang Perspektif Pengayaan dan membahas berbagai mitos dan hambatan implementasi Perspektif Pengayaan tersebut. Pendidikan Luar Biasa (atau Pendidikan Khusus) Di Eropa, sekolah khusus pertama didirikan kira-kira 200 tahun yang lalu. Pada abad ke-20 terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang PLB, dengan semakin diakuinya hak-hak sipil para penyandang cacat, hingga diberlakukannya perundang-undangan yang mewajibkan pendidikan untuk semua dan mengharuskan pemberian jaminan formal untuk pengajaran adaptif bagi semua anak. PLB telah muncul sebagai sebuah bidang penelitian dan pendidikan guru yang berdiri sendiri. Antara tahun 1900 dan 1950, PLB hanya mencakup prosentasi kecil (sekitar 1%) dari total populasi siswa dan sebagian besar diselenggarakan di sekolah khusus yang segregatif. Sejak tahun 1970 perubahan radikal telah terjadi dan layanan PLB diperluas mencakup para siswa di semua sekolah setempat, anak usia pra-sekolah, remaja di sekolah menengah atas dan orang dewasa serta orang lanjut usia yang berkebutuhan pendidikan khusus. PLB telah berkembang menjadi salah satu bidang utama dalam disiplin ilmu pendidikan secara keseluruhan, dan menciptakan kesempatan baru bagi para penyandang cacat dari berbagai tingkatan usia (Befring & Tangen, 2001). PLB merupakan bagian integral dari sistem negara kesejahteraan, yang didasarkan atas tiga prinsip utama: pertama, bahwa masyarakat bertanggung jawab untuk menyediakan sebuah jaringan keselamatan untuk dimanfaatkan oleh semua orang bila mereka membutuhkannya (misalnya bila sakit atau mengalami kecelakaan, atau bila seseorang mencapai usia lanjut). Kedua, masyarakat bertanggung jawab untuk menstimulasi dan mendorong setiap anggotanya untuk mengembangkan sebuah kepribadian yang kaya dan mencapai potensinya secara penuh. Untuk mencapai tujuan ini, setiap orang harus mendapat akses yang bebas ke pendidikan dan kegiatan budaya. Ketiga, semua kebijakan sosial dan kesehatan didasarkan atas prinsip-prinsip diskriminasi positif ini merupakan

2 gagasan untuk memberikan semaksimal mungkin kepada mereka yang paling membutuhkannya. Manajemen PLB yang layak adalah yang berdasarkan prinsip-prinsip diskriminasi positif, yang berimplikasi adanya telaah yang objektif dan kritis terhadap tindakan politik maupun praktek profesional (Befring et al., 2000:567). Telaah kritis PLB meliputi tantangan terhadap premis mayor model medis. Satu asumsi dasar dari pendekatan medis atau pendekatan diagnostik-terapeutik terhadap PLB adalah bahwa suatu diagnosis dapat dibentuk berdasarkan observasi dan tes terhadap seorang individu, dan bahwa terdapat korelasi antara perlakuan dengan efek rehabilitasi. Asumsi ini telah menyebabkan sumber daya manusia dan sumber dana keuangan dalam jumlah yang sangat besar diinvestasikan untuk mencari apa yang salah dalam diri seseorang sehingga mereka membutuhkan dukungan dan perhatian profesional. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa seorang individu cenderung diperiksa di luar konteks, sehingga dapat ditemukan suatu kecacatan tertentu pada dirinya, agar perlakuan dapat ditargetkan secara spesifik pada gangguan yang diperkirakan ada. Kegiatan diagnostik meningkat, dan sejumlah besar anak didiagnosis sebagai memerlukan layanan PLB. Dalam sebuah studi baru-baru ini, Skarbrevik (2001) menemukan bahwa sebanyak 20% anak dan remaja Norwegia memerlukan layanan PLB. Alat diagnosis yang paling sering dipergunakan dapat mengidentifikasi adanya kelainan dalam membaca, menulis dan berbicara, dan kesulitan dalam konsentrasi dan perhatian yang diberi label disleksia dengan variasinya, gangguan perhatian dan hiperaktivitas, serta masalah-masalah perilaku. Semua diagnosa ini terjadi dalam konteks kehidupan modern serta tuntutannya akan pendidikan dan adaptasi sosial, yang menimbulkan tekanan yang besar pada anak dan remaja. Demikian besarnya tekanan ini sehingga permasalahan pada tingkatan tertentu akan tampak normal. Namun, dalam diagnosis tradisional dan dalam pendidikan dengan model rehabilitasi, realita normal seperti ini sering diabaikan dan digantikan dengan pemikiran bahwa masalah pada seorang individu dapat diatasi jika ditangani oleh orang yang memiliki keahlian. Model medis ini telah mengakibatkan orang memfokuskan perhatiannya pada diagnosis itu beserta permasalahan dan kelemahan yang diakibatkannya, pelabelan dan stigmatisasi sehingga upaya lebih diarahkan pada identifikasi masalah, bukan pada kegiatan belajar dan mengajar. Merupakan alternatif bagi model medis tersebut adalah perspektif pendidikan yang memfokuskan pada pembelajaran. Alternatif ini memanfaatkan dan membangun kekayaan personal yang dimiliki (kekuatan dan sumber daya). Sebuah model pembelajaran berupaya memahami apa yang dapat dicapai oleh seseorang, bukannya menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Satu tugas utamanya adalah memperkuat identitas bagi PLB sebagai sebuah bidang yang berorientasikan perkembangan, yang berkontribusi terhadap proses pembelajaran yang lebih lengkap dalam kontek sosial yang lebih luas. Sebuah Perspektif Pembelajaran pada Pendidikan Luar Biasa Menurut sejarah, filosofi dasar PLB berakar pada prinsip-prinsip bahwa semua manusia mempunyai nilai yang sama, dan bahwa setiap anak harus mendapat pengasuhan dan memperoleh pendidikan yang relevan untuk hidup yang bermartabat. Para perintis PLB seperti Maria Montessori adalah tokoh yang sadar akan prinsip-prinsip tersebut dan pendukung demokrasi yang didasarkan atas penghargaan terhadap kehidupan.

3 Dalam konteks Eropa, Montessori ( ) merupakan tokoh yang sangat penting karena dia berpandangan bahwa perbedaan dalam kemampuan belajar dan berperilaku itu pada hakikatnya merupakan masalah pendidikan, bukan masalah medis. Dia membuktikan bahwa anak-anak yang tunagrahita (pada masa itu disebut tidak dapat dididik ) dapat memperoleh hasil yang mengesankan dalam belajar membaca, menulis dan keterampilan manual. Di rumah anak yang didirikannya di Roma, Montessori memulai sebuah program komprehensif untuk mengasuh dan mengajar anak. Dia menemukan bahwa anak-anak memiliki kapasitas besar untuk pendidikan sendiri, konsentrasi dan pengulangan, dan memiliki stamina, yang membuatnya mengambil kesimpulan bahwa kegiatan belajar dapat bertahan lama jika kondisi belajarnya sesuai dan tugas yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan anak. Montessori menekankan pentingnya konsentrasi, perkembangan inisiatif, dan kondisi belajar yang memberikan ruang bagi siswa untuk memperoleh rasa pencapaian pribadi. Dia menyatakan bahwa kebebasan dan struktur itu saling terkait, dan menekankan bahwa proses belajar harus menciptakan fondasi bagi kedisiplinan diri dan keahlian yang relevan dengan kehidupan. Kelahiran kembali gagasan-gagasan Maria selama dua dekade terakhir ini telah mengubah ekspektasi dan perlakuan terhadap individu yang dianggap tidak memiliki kemampuan mental. Setelah masa eksperimen dengan pengajaran yang sistematis terhadap para individu ini pada awal tahun 1060-an, mitos bahwa mereka tidak dapat belajar atau tidak dapat diajar itu rontok, mengakibatkan munculnya pergerakan politik dan professional di Eropa dan Amerika Utara. Orang-orang yang pada suatu masa pernah diperlakukan sebagai orang terbuang dan dimasukkan ke lembaga pemeliharaan, ternyata dapat membuat kemajuan yang baik dalam perkembangan pribadi dan kemandiriannya, sebagai akibat dari sebuah perspektif pendidikan. Menganut perspektif pendidikan atau belajar merupakan sebuah faktor penting dalam pengangkatan harkat manusia. PLB telah mendapat dorongan sosial dan politis dari berbagai organisasi internasional. Sebuah perspektif penting bagi bidang ini diberikan pada konvensi PBB 1966 mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Konvensi tersebut menghasilkan Pasal 13 yang menetapkan hak setiap orang atas pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai persyaratan fundamental bagi perkembangan manusia dan merupakan dasar bagi manifestasi harkat martabat manusia. Kemajuan pengetahuan dan sikap yang relevan [repertoire perilaku] membuat seseorang berhak atas hak-hak manusia yang fundamental. Konvensi tersebut menekankan bahwa pendidikan dasar merupakan kewajiban dan tersedia bebas biaya bagi semua orang. Perlu dicatat bahwa pasal-pasal konvensi itu merupakan dokumen hukum dan perjanjian internasional yang mengikat, yang harus diperhatikan oleh semua negara anggota. Konvensi ini memperkuat suatu pemikiran bahwa semua orang mempunyai hak atas pendidikan, tanpa membedakan potensi belajar mereka [Konvensi PBB 1966, Pasal 13, 2a]. Tahun Penyandang Cacat Internasional 1981 yang disahkan PBB dengan motonya partisipasi penuh dan kesetaraan, memberikan peringatan dan pengakuan lebih jauh mengenai hak-hak orang penyandang cacat. Meskipun telah ada pengakuan dan resolusi dalam skema internasional tersebut, tetapi pandangan yang ada pada tingkatan lokal tetap tidak hanya menganggap bahwa orang-orang penyandang cacat tidak pantas dihargai, dilihat sebagai tidak memiliki kemampuan, tetapi juga korban dari diskriminasi fungsional. Perencana sosial setempat gagal memperhatikan kebutuhan individu penyandang cacat dengan baik; mereka harus memenuhi kebutuhan individu yang tidak cacat [Befring 1994]. Laporan tahun 1995 dari European Centre for Educational Research and Innovation [Pusat untuk Penelitian dan Inovasi Pendidikan di Eropa] menerangkan situasi tersebut sebagai berikut: sebuah pendidikan berkualitas tinggi bagi

4 semua orang melibatkan lebih dari sekedar kebijakan pembangunan bagi sistem pendidikan saja tetapi melibatkan juga sebuah keprihatinan terhadap lingkungan sosial yang lebih luas [Evans 1995:144]. Sebuah referensi yang serupa terhadap kebutuhan untuk merombak kebijakan sosial dapat ditermukan dalam Penyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994) mengenai pendidikan kebutuhan khusus: Sekolah inklusi menyediakan seting yang baik untuk mencapai persamaan kesempatan dan partisipasi, tetapi keberhasilannya memerlukan upaya nyata tidak hanya dari guru-guru dan para staf sekolah tetapi juga oleh teman sekelas, orang tua, keluarga dan para sukarelawan. Perubahan institusi sosial tidak hanya merupakan sebuah tugas teknis; utamanya tergantung pada keyakinan, komitmen dan niat yang baik dari setiap individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Pernyataan ini menggambarkan kebutuhan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap hasil jangka pendek dan jangka panjang yang positif mengenai pendidikan bagi orang-orang penyandang cacat secara sosial dan individual [Befring 1994]. Dibutuhkan adanya dukungan publik untuk sebuah pendekatan pendidikan yang secara simultan meyakinkan publik agar optimistik mengenai pendidikan bagi anak penyandang kecacatan maupun tanpa kecacatan, dan mendukung pendidikan anak-anak penyandang cacat dalam konteks sosial di lingkungan komunitasnya sendiri [misalnya sekolah setempat]. Pandangan optimistik yang diajukan penulis tentang prinsip pengayaan PLB juga relevan dengan tujuan tersebut. Perspektif Pengayaan Perundang-undangan pendidikan di Skandinavia dan negara-negara Eropa lainnya menekankan tanggung jawab atas anak secara keseluruhan tanggung jawab untuk belajar, kesejahteraan/kesehatan dan perkembangan pribadi. Dengan deklarasi resmi ini berarti bahwa sekolah mempunyai tiga tujuan utama: a) untuk menciptakan eksistensi yang berguna dan berharkat/berharga bagi semua anak dan remaja, b) untuk mempersiapkan mereka bagi masa dewasanya, dan c) untuk mempromosikan dan menjaga nilai-nilai kebudayaan dan sosial. Konteks sosial merupakan alat untuk mencapai tujuan dan merupakan tujuannya itu sendiri. Maksudnya adalah agar seorang individu dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain dan dengan lingkungannya sejalan dengan menciptakan suasana dan seting sosial yang memungkinkan interaksi tersebut terjadi. Penerapan perspektif ini terhadap perkembangan pendekatan baru mengenai aktivitas PLB dikenal sebagai Pesfektif Pengayaan (Befring 1990; 1994; 1997; 2000). Menurut Perspektif Pengayaan, sebuah komunitas, sebuah sekolah dan sebuah masyarakat yang beradaptasi dengan dan merespon terhadap kebutuhan dan wujud orang yang berbeda kebutuhan dan kemampuannya [misalnya kecacatan] memperkaya semua orang, para siswa dan juga para pendidik. Dengan kata lain, TK, SD, sekolah menengah yang baik bagi anak-anak penyandang cacat pada kenyataannya akan memberikan lingkungan ideal untuk belajar dan mendidik dan merawat kesehatan/kesejahteraan semua anak dalam ruang kelas atau sekolah yang bersangkutan. Dalam perspektif ini perbedaan individu dilihat sebagai kekayaan, bukan sebagai permasalahan. Perspektif Pengayaan dimaksudkan sebagai pergeseran dari konsep seperti gangguan dan kelainan dengan menekankan hal-hal positif yang dapat ditawarkan oleh sumber material

5 maupun sumber daya manusia PLB. Kekayaan keahlian para guru PLB dapat memberikan kontribusi untuk mempromosikan sebuah pendekatan pendidikan terpadu bagi semua anak. Perspektif Pengayaan didasarkan pada pendekatan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan [misalnya menemui setiap siswa di mana pun dia memasuki pengalaman belajar]. Bila semua anak dengan karakter yang berbeda-beda disatukan dalam satu sekolah, terdapat juga kesempatan untuk menciptakan konteks sosial yang ideal untuk perkembangan belajar dan pribadi. Dari Perspektif Pengayaan, heterogenitas siswa menawarkan tantangan dan kesempatan untuk meningkatkan konteks pembelajaran. Heterogenitas membangun konteks untuk interaksi sosial yang lebih beragam. Heterogenitas membentuk dasar untuk menghargai perbedaan (pembelajaran moral). Dengan berfokus pada kemampuan yang ada bukannya pada kelemahannya, perspektif ini didasari oleh prinsip pemahaman yang sama, paradigma yang sama dengan konsep enabling (memupuk kemampuan) dan perspektif pemberdayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lassen bahwa kemungkinan untuk memberdayakan orang tua dapat dilaksanakan oleh para praktisi jika mereka memahami kemampuan orangtua, anak-anak dan sistem, dan bersedia mengembangkan sumber-sumber yang belum dimanfaatkan. Di sinilah letaknya tantangan pendidikan luar biasa yang sebenarnya [Lassen 1999]. Perspektif Pengayaan ini bertentangan dengan prinsip dan pelaksanaan pengelompokkan homogen yang mengakselerasi aktivitas diagnostik, meningkatkan kecenderungan menuju pemisahan untuk membuat dua kelompok siswa mereka yang telah didiagnosis dan mereka yang belum diperiksa menghasilkan komunitas yang dipisah-pisahkan secara tidak alami dan artifisial. Jelas sekali bahwa ini bukan kondisi bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman hidup yang bermartabat atau untuk mempersiapkan kehidupan nyata di masa datang di dalam masyarakat yang heterogen. Perspektif Pengayaan dalam Pelaksanaannya Selama lebih dari 20 tahun penulis telah mendapatkan inspirasi dari sekolah dan guru yang mengimplementasikan filosofi pendidikan yang lebih inklusif. Keberhasilan sebuah sekolah di daerah perkotaan di Norwegia telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk memformulasikan Perspektif Pengayaan ini. Sekolah tersebut mengadopsi kunci dasar pendidikan sbb: perhargaan bagi setiap identitas siswa, dan variasi dipandang sebagai sumber daya bukannya sebuah masalah. Kunci dasar ini merefleksikan pandangan moral dengan menekankan penghargaan atas perbedaan. Dan mereka merefleksikan perspektif pendidikan dengan memberikan siswa kesempatan untuk belajar dari satu sama lain, seperti halnya yang akan mereka lakukan di dunia nyata. Setelah bertahun-tahun mengalami konflik dan masalah-masalah, sekolah ini sukses dalam mengembangkan sebuah lingkungan berkarakter antusiasme dan kebanggan atas kapasitas mereka untuk mendukung setiap anak dalam pembelajaran dan kemampuan pribadinya (Helland 1995). Prestasi ini dicapai oleh sebuah sekolah dasar di Norwegia, yang mempunyai populasi siswa heterogen baik dalam hal kemampuan fungsionalnya maupun dalam etnisnya. Untuk menerapkan Perspektif Pengayaan membutuhkan upaya sosial yang sulit. Guru di sekolah lain yang bekerja sama dengan penulis, melaporkan bahwa dengan menempatkan anak yang menyandang kecacatan di sekolah setempat dapat mengakibatkan pengasingan dan olok-olok bagi anak tersebut beserta orang tuanya.

6 Guru-guru ini menekankan perlunya memberi setiap anak kesempatan untuk merasa dihargai dan seluruh kelas mengambil manfaat dari praktek tersebut. Satu guru menyebutkan posisi ini dengan jelas: Integrasi lebih dari sekedar menempatkan siswa bersama-sama dan memberikan perlindungan bagi yang menyandang kecacatan. Pendidikan harus selalu melibatkan pembelajaran kompetensi, kepercayaan diri dan toleransi. Ini merupakan tujuan yang realistis bagi kelas-kelas pada umumnya, memberikan sebuah kesempatan nyata bagi tiap anak agar diperhatikan dan dihargai dengan penghargaan yang positif (Befring 1994:39). Dengan mempertimbangkan hal tersebut, kita dapat mengevaluasi kualitas sebuah komunitas [misalnya sebuah sekolah, kelas atau lingkungan terdekat] berdasarkan kualitas layanannya terhadap individu yang paling berkebutuhan. Hal tersebut dapat dicapai secara logis dan melalui pengalaman. Sebaliknya, jika kita mendefinisikan kesuksesan terbesar adalah remaja yang berfungsi paling baik atau siswa yang paling mudah diatur, dan ini digunakan sebagai titik awal pendidikan, maka kita beresiko merancang program pendidikan dan lingkungan sekolah yang penuh konflik dan tidak memberikan rasa aman. Penelitian empirik tentang layanan PLB di sekolah integrasi tanpa perspektif pendidikan inklusi menghasilkan konsekuensi negatif seperti di atas [Persson 1995]. Dari perspektif ilmu sosial, terbukti bahwa bila individu yang paling tidak beruntung merasa terhina, diasingkan atau disisihkan, akan terjadi penggunaan kekuatan, kurangnya solidaritas, rasa tidak aman, dan upaya untuk merebut posisi yang lebih tinggi dan lebih baik dalam tatanan sosial. Sebaliknya, Perspektif Pengayaan, dengan mendefinisikan anak yang memiliki perbedaan dalam belajar dan menghadapi tantangan dalam pendidikannya sebagai titik tolak, maka akan menghasilkan ekspektasi yang lebih positif tentang potensi semua siswa dan memberikan dorongan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih beragam atau lebih lengkap. Praktek Perspektif Pengayaan Dalam prekteknya, Perspektif Pengayaan dapat diterjemahkan dan diungkapkan melalui materi, metode, kualifikasi staf sekolah dan oleh pemahaman fundamental sekolah tentang proses belajar manusia. Untuk mengimplementasikan Perspektif Pengayaan, staf sekolah harus bersedia melakukan hal-hal sbb: melakukan telaah kritis terhadap sistem persekolahan; memandang guru PLB sebagai sumber belajar bagi semua siswa di sekolah yang bersangkutan; mempertimbangkan untuk memasukkan kemampuan metakognitif sebagai sebuah kurikulum baru untuk keberhasilan semua siswa; dan siap menghadapi berbagai mitos dan resistensi. Kecuali bagi pendidikan kejuruan, sistem sekolah Eropa memberikan prioritas terhadap teori formal dan pengetahuan akademis daripada keahlian operasional dan praktis yang pragmatik. Survey menunjukkan bahwa orientasi abstrak ini dapat merupakan sebuah faktor beresiko besar bagi siswa yang proses belajarnya tidak abstrak. Penelitian menunjukkan bahwa sistem persekolahan yang berlaku sekarang ini merupakan kontributor bagi sejumlah besar remaja yang merasa terasing atau rendah diri dan yang tidak siap untuk menjalani kehidupan sehari-hari (Egelund, Ertman & Jorgensen 1993; skaalvik 1996; Birkemo 2000). Hal tersebut diakibatkan oleh ketidakcocokan antara karakteristik dan kebutuhan siswa dengan konsep sekolah yang ada, strukturnya, kurikulumnya dan pelaksanaan pembelajarannya.

7 Menurut Perspektif Pengayaan, membawa siswa yang menyandang kecacatan beserta guru khususnya ke sekolah umum dapat bermanfaat bagi komunitas sekolah. Beberapa manfaat tersebut adalah: a) lebih mengutamakan keanekaragaman daripada keseragaman potensi dan kebutuhan anak serta kebutuhan akan pengajaran yang dibedakan; b) mengajar dalam konteks yang relevan versus teoritis; c) meningkatkan kemungkinan pendidik melihat betapa dekat kaitan antara proses pengetahuan dengan pengalaman pribadi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Bila sekolah menghargai perbedaan dalam diri anak dan antara satu anak dengan anak lainnya, maka guru mengembangkan serangkaian pendekatan instruksional baru termasuk memanfaatkan siswa sebagai instruktur dan pendukung sosial satu sama lain (misalnya lihat adaptasi kelompok pembelajaran kooperatif yang dijelaskan dalam Thousand, Villa & Nevin 2001]. Dalam berperan sebagai tutor pembantu, siswa yang menyandang kecacatan maupun tanpa kecacatan mempunyai peluang untuk a) menemukan kekuatannya sendiri dan potensi belajarnya bila mereka membantu siswa lainnya belajar, dan b) menghindarkan diri dari hubungan kompetitif antar teman sebaya, yang terbentuk dalam sistem sekolah tradisional dan berstrata. Sebuah hipotesis logis, yang terkait dengan Perspektif Pengayaan, adalah bahwa anak akan berkembang melalui pengajaran dan dukungan dari teman sebayanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Logstrup, kita manusia tergantung satu sama lain, kita juga mempunyai kekuatan atas satu sama lain dan kita harus belajar menggunakan kekuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat membantu sesama (Logstrup 1989:73). Suatu sekolah yang bersatu dan heterogen dapat menciptakan suatu konsep bagi anak agar belajar menjaga satu sama lain. Keahlian ini diterjemahkan menjadi prilaku orang dewasa yang dapat menciptakan kondisi-kondisi untuk demokrasi yang lebih dikembangkan dengan perhatian utama pada kesejahteraan semua warga negara. Perlu dicatat bahwa pergerakan internasional tentang sekolah, Persatuan Perguruan Tinggi Dunia [United World Colleges] mencantumkan pengasuhan praktis dalam program pendidikan dan metodologikalnya (Peterson 1987). Guru Khusus sebagai Nara Sumber Pengayaan yang bagaimanakah yang dapat diperoleh dengan mengintegrasikan guru khusus (atau guru PLB) ke dalam seting sekolah reguler setempat? Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pendidikan luar biasa telah berkembang sebagai bidang studi dan penelitian yang berdiri sendiri, yang sering terpisah dari praktek dan penelitian dalam pendidikan umum atau layanan kemanusiaan lainnya (misalnya pekerjaan sosial) atau ilmu-ilmu sosial ( misalnya psikologi). Di Norwegia, misalnya, pendidikan luar biasa yang merupakan bidang yang berdiri sendiri telah menyebabkan terlembagakannya gelar universitas yang terpisah (dengan pilihan konsentrasi studi dalam bidang pendidikan bagi tunarungu, terapi wicara, tunadaksa, tunanetra, masalah perilaku, kecacatan ganda dan tekhnologi) serta program doktoral untuk pendidikan luar biasa. Lebih jauh, sistem dukungan Norwegia bagi PLB telah dibentuk, yang memberikan bantuan dengan cara memberikan konsultasi pendidikan kebutuhan khusus dan konselling bagi siswa, orang tua, guru dan sekolah-sekolah di dalam komunitas setempat. Pusat ini dipandang sebagai penghubung dan pendukung bagi perkembangan sekolah inklusif yang merangkul semua siswa. Sejumlah pertanyaan fundamental harus diajukan yang berhubungan dengan prioritas profesional dari staf senter ini (misalnya diagnosis dan pendekatan rehabilitasi yang dibahas sebelumnya), dan di mana layanan diberikan.

8 Laporan 1995 dari Pusat Penelitian dan Inovasi Pedidikan Eropa menekankan bahwa integrasi siswa yang berkelainan merupakan proses kompleks yang memerlukan keterlibatan dan motivasi yang kuat, keahlian khusus, dan pemikiran yang baru, di samping faktor-faktor lain (OECD, 1995). Guru khusus membawa pengetahuan dan sikap profesionalnya. Secara spesifik, guru khusus dilatih untuk berasumsi bahwa setiap individu mempunyai karakteristik unik yang membutuhkan bantuan tertentu dalam proses pembelajarannya; secara teoritis mereka mempunyai sikap untuk memandang keberagaman individu sebagai sumber daya dibanding sebagai masalah. Pendidikan untuk mempersiapkan guru-guru ini memberikan pengajaran dalam bermacam-macam teori pembelajaran, penggunaan berbagai peralatan remedial dan teknologi baru, etika, hak-hak legal, teknik observasi, psikologi perkembangan dan kognitif, dan metode mengajar. Kompetensi Pribadi: Kurikulum baru untuk keberhasilan bagi semua. Manifestasi utama Perspektif Pengayaan adalah pergeseran dalam fokus guru menuju konsep belajar sebagai satu proses yang mencakup belajar substansi isi, pembelajaran pribadi ( sikap ) dan kompetensi metakognitif mengetahui bagaimana seseorang belajar. Pengetahuan metakognitif merupakan indikator seberapa baik seseorang menggunakan metode-metode dan strategi-strategi untuk mengontrol dan meningkatkan pembelajaran dan pengetahuannya. Kemampuan ini ditunjukkan, misalnya, bila pembaca yang kompeten menguarangi kecepatan membacanya pada saat mereka sampai pada bacaan yang sulit, agar mendapatkan ekstra waktu untuk pemrosesan. Mereka menyimpulkan apa yang telah dibacanya, mengajukan pertanyaan untuk memperjelas isi, menerjemahkan dan mempertimbangkan kemungkinan hubungan dengan masalahmasalah lain, dan bersikap kritis terhadap teks berikutnya. Banyak siswa yang berkesulitan belajar tampaknya tidak mempunyai strategi metakognitif seperti itu. Jadi, bila mereka didorong agar terus mencoba, mereka akan berulang-ulang gagal sehingga beranggapan bahwa mereka tidak dapat belajar. Bentuk kemampuan metakognitif tertentu tampak diperoleh selama awal masa kanakkanak. Pada titik ini, tidak ada hubungan yang jelas antara pengetahuan metakognitif dan kapasitas belajar. Namun hubungan antara keterampilan metakognitif dan prestasi akan tampak jelas setelah beberapa lama, yang menunjukkan bahwa pandangan pribadi mengenai strategi belajar yang berguna merupakan faktor keberhasilan yang signifikan dalam proses pendidikan (misalnya lihat Brown, 1994). Tanggung jawab para pendidik adalah untuk membantu semua anak untuk menjadi protagonis terhadap proses belajarnya sendiri. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan kesempatan bagi siswa untuk mengalami pencapaian penguasaan terhadap sesuatu dan dengan mengarahkan siswa untuk menemukan dan mempraktekan proses di mana tugas atau konsepnya mereka kuasai. Semua pendidik perlu mengembangkan keahliannya lebih mendalam untuk membimbing siswa agar memperoleh kesadaran metakognitif. Keterampilan dan cara pandang siswa mengenai dimensi meta-learning merupakan sebuah kunci untuk memperoleh cara pandang terhadap diri sendiri, kepercayaan diri, penghargaan diri, motivasi dan keinginan yang kuat. Pembelajaran pribadi dan meta-learning merupakan hal yang sentral untuk melaksanakan Perspektif Pengayaan. Tanpa itu akan banyak anak yang tetap rentan untuk mengembangkan sikap negatif terhadap pembelajaran dan dirinya sendiri, beresiko untuk

9 meyakini bahwa mereka tidak mampu untuk belajar, sehingga mereka rendah diri, tidak dapat menjadi protagonis atas hidupnya sendiri. Mitos dan Perspektif Pengayaan Penolakan terhadap Perspektif Pengayaan akan datang dari berbagai sumber, termasuk dari keyakinan yang ada mengenai orang-orang yang berkesulitan belajar. Untuk mengilustrasikan bagaimana perspektif pembelajaran dapat membawa perubahan tentang keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat, ingat bahwa dahulu diyakini bahwa orang yang tunarungu tidak dapat berbicara karena gangguan intelektual dan perilaku, dan hal ini menjustifikasi orang untuk mengucilkan para penyandang tunarungu dari aktivitas sosial. Seorang filosof, Cardano ( ) menentang pandangan ini dengan memperkenalkan anggapan bahwa indera-indera dapat saling menggantikan satu sama lain; yaitu bila pendengaran terganggu, indera lain dapat menggantikannya (Befring 1994). Cardano menyatakan bahwa setiap penyandang tunarungu total perlu belajar untuk mendengar dengan membaca dan berbicara dengan menulis; dan sekolah untuk tunarungu yang pertama dibangun didasari oleh teori ini. Sekarang, tidak ada yang menganggap bahwa kehilangan pendengaran diasosiasikan dengan keterbelakangan mental atau ketidakmampuan untuk belajar. Namun sepanjang sejarah, pandangan-pandangan negatif dan takhayul mengenai berbagai macam kecacatan merupakan pengesahan atas pelecehan kekuasaan primitif, pemisahan sosial dan ketidakpedulian pendidikan. Masih relatif baru bahwa fondasi internasonal telah disahkan untuk memasukkan orang-orang yang menghadapi tantangan kognitif ke dalam konteks pendidikan (misalnya PBB, 1996, asosiasi publik dan formal bagi kesempatan belajar dan harkat manusia). Kekuatan kedua yang bertentangan dengan Perspektif Pengayaan adalah pandangan bahwa kompetisi penting bagi pembelajaran. Dalam praktek pendidikan, kompetisi sering melegitimasi metode evaluasi komparatif di sekolah, praktek penyaringan mahasiswa di Universitas, dan semua jenis upaya penelusuran, stratifikasi, pemilahan dan eksklusi (misalnya program dan sekolah untuk anak berbakat). Kompetisi di sekolah tumbuh dengan subur meskipun ada bukti empiris dan pengalaman yang menunjukkan manfaat relatif dari penerapan metode pembelajaran dan lingkungan yang koperatif (Kohn, 1986). Kohn (1986) menekankan bahwa integritas pribadi dan standar etnis yang tinggi dikembangkan terutama melalui interaksi dan berbagi tanggung jawab, dan dapat terganggu jika orang belajar untuk menganggap sesama manusia sebagai saingan karena mereka harus terus membuktikan bahwa mereka lebih baik dibandung yang lain. Etika dan praktek persaingan sering menimbulkan hambatan yang besar bagi sekolah yang berusaha mempromosikan konsep pendidikan inklusif dan sekolah terpadu. Sebaliknya, sebuah Perspektif Pengayaan memerlukan dan tergantung pada sebuah konteks pembelajaran yang non-kompetitif. Kesimpulan Artikel ini membahas Perspektif Pengayaan, sebuah pendekatan alternatif bagi model pendidikan kebutuhan khusus yang berorientasi medis diagnostik-terapeutik, yang dibangun atas dasar assesmen terhadap apa yang dapat dilakukan oleh orang serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dan masyarakat. Perspektif Pengayaan memandang

10 bahwa apa yang secara instruksional baik bagi mereka yang rentan dalam hal pendidikan, juga baik bagi mereka yang lebih mudah untuk belajar. Dari Perspektif Pengayaan, sebuah sekolah dipandang sebagai konteks sosial di mana setiap orang memperoleh manfaat pendidikan dari kebersamaan di dalam sebuah komunitas. PLB, jika berakar pada Perspektif Pengayaan, murid-murid dan gurunya yang dulunya terpisah dan terisolasi, kini tercakup sebagai anggota yang dibutuhkan dan penting dari komunitas pendidikan umum. Secara ringkas, Perspektif Pengayaan memperkuat upaya-upaya untuk membangun program pendidikan yang benar-benar terintegrasi dan inklusif. Jelas bahwa untuk mengaktualisasikan Perspektif Pengayaan akan membutuhkan perubahan program pendidikan guru, sehingga memperhatikan dan mendukung orang lain itu menjadi bagian dari kurikulum, baik bagi anak maupun orang dewasa di sekolah. Ini berarti membantu siswa melepaskan diri dari kungkungan tradisi pemisahan dan persaingan dalam pendidikan di sekolahnya sehingga mereka melihat dan merasakan bahwa semua teman sekelasnya mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepada kelompok kelasnya. Ini dilakukan dengan membantu guru membuat sebuah iklim kelas dan sekolah di mana semua orang dapat memperoleh manfaat dengan berbagi pengalaman satu sama lainnya. Untuk mengaktualisasikan teori berbagi tersebut akan memerlukan penumbuhan kesadaran pada diri anak maupun anggota komunitas lainnya mengenai prinsip-prinsip dasar moral dan sosial dari etos pendidikan inklusif. Jika sebuah sekolah menerima Perspektif Pengayaan ini, maka akan lebih besar kemungkinannya bagi semua anak untuk hidup dalam keberadaan yang lebih bermartabat, memperoleh persiapan yang memadai untuk masa dewasanya, dan akan lebih menghargai nilai-nilai sosial dan budaya. Perspektif Pengayaan menjanjikan penghapusan isolasi dan jaminan atas hak-hak anak penyandang cacat, dan mengakui keragaman siswa sehingga akan dipandang sebagai aset yang berharga, bukan sebagai pengganggu situasi belajar. Daftar Pustaka Befring, E Special education in Norway. International Journal of Disability, Development and Education, 37(2): Befring, E Læring og skole: Vilkår for eit verdig liv [Learning and School: Conditions for a Dignified Life]. Oslo, Det Norske Samlaget. Befring, E Skolens mote med barn. Behov for pedagogisk nyorientering [The School and our Children: The Needs for New Educational Perspective]. In I.M. Helgeland (ed.). Forebyggende arbeid iskolen-en pedagogisk utfordring [Preventative Measures in School. An Educational Challenge]. Oslo, Kommuneforlaget: Befring, E The Enrichment Perspective- A Special Educational Approach in a Inclusive School, In: Remedial and Special Education, Vol.18, no : Befring, E. et.al From Normalization to Enrichment In: Villa, R.A. & Thousand, J.S. Restructuring for Caring and Effective Education, Paul H. Brookes Publ..Co, Baltimore: Befring, E. & Tangen, R Specialpedagogikk,( Special Education) Oslo, Cappelen Akademisk.

11 Birkemo, Asbjørn Motivasjon og læring (Motivation and Learning). Oslo, Pedagogisk Forskningsinstitutt, Universitetet i Oslo. Brown, A. L The Advancement of Learning. Educational Researcher.8:4-12. Egelund, N., Ertmann, B., & Jorgensen, P.S Risikobørnset fra en forskningssynsvinkel [Children at Risk Considered from a Research Point of View]. Copenhagen, Det Tverministerielle Børneudvalg. Evans, P Conclusions and Policy Implications. In P. Evans (Ed.).Our Children at Risk. Paris, Center for Educational Research and Innovation, Organization for Economics Cooperation and Development: Helland, U Møteplass Fjell [Meeting place Fjell School], SCHOLA (The Journal of the Norwegian Ministry of Education and Research) no. 3: Kohn, A No Contest: The Case against Competition. Boston, Hougton Mifflin. Lassen, Liv Parenting Children with Rare Progressive Disabilities: A study of Parents Needs Related to Stress and Coping. Oslo, University of Oslo, Department of Special Needs Education. Løgstrup, K.E Den etiske fordring [The Ethical Demand]. Copenhagen, Gyldendahlske Boghandel. Organozation for Economics Cooperation and Development Integrating Students with Special Needs into Mainstream School, Paris, Center for Educational Reseach and Innovation, Author. Peterson, A School Across Frontiers. Adriatics, Iyaly, United World Colleges. Persson, B Specialpedagogisk arbete i grundskolan [Special Educational Work in the Elementary School]. Gøteborgs Universtet, International Standart Serial Number Skaalvik, E Barns selvoppfatning-skolen ansvar [Children s Self Concept: The School s Responsibility] Oslo, Tano. Skårbrevik, Karl Johan Spesialundervisning i grunnskolen-omfang og ressursbruk. (Special Education in Elementary School) Article in Norsk Pedagogisk Tidsskrift, : Thousand, J. S., Villa, R. A., & Nevin, A. I Creativity and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers. Baltimore, Paul H. Brookes. United Nations Convention on Economic, Social and Cultural Rights. New York. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, Education The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Document 94/WS/18. Geneva, Author.

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama

Lebih terperinci

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA Disusun oleh: ZULKIFLI SIDIQ NIM 029519 A. PENDAHULUAN Selama beberapa tahun kita telah mengamati bahwa anak-anak dan remaja berhenti sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam

Lebih terperinci

Landasan Pendidikan Inklusif

Landasan Pendidikan Inklusif Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang

Lebih terperinci

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN A. PERUBAHAN PANDANGAN TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PENDIDIKANNYA Paham humanisme yang berkembang di negara-negara Barat saat ini mempengaruhi cara pandang

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif Juang Sunanto dan Hidayat Departemen Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun desain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Seperti sebuah lagu yang baru saja diluncurkan, pendidikan inklusif mendapat sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri... (UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sesungguhnya bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

2016 PELAKSANAAN AKOMODASI KURIKULUM BAHASA INDONESIA BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA OLEH GURU DI SD NEGERI CIBAREGBEG KABUPATEN SUKABUMI

2016 PELAKSANAAN AKOMODASI KURIKULUM BAHASA INDONESIA BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA OLEH GURU DI SD NEGERI CIBAREGBEG KABUPATEN SUKABUMI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap individu. Sejalan dengan itu, upaya pemberian pendidikan bagi setiap warga Negara sudah di atur dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih terperinci

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG Juang Sunanto, dkk Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah ditegaskan dalam UU RI 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus

Lebih terperinci

Pendahuluan. Berit H. Johnsen

Pendahuluan. Berit H. Johnsen Pendahuluan Berit H. Johnsen Banyak buku dan artikel yang telah dipublikasikan dengan topik sekolah inklusif dan masyarakat inklusif. Di banyak negara dan di berbagai benua, telah berkembang wacana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun.

Lebih terperinci

KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT

KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT Oleh : Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd. MA. Dosen FIP Universitas Negeri Yogyakarta PENGANTAR PENGALAMAN REFORMASI PENDIDIKAN AS SEBAGAI RESPON TERHADAP PRESTASI RUSIA YANG

Lebih terperinci

Menuju Inklusi dan Pengayaan

Menuju Inklusi dan Pengayaan Bagian Satu Menuju Inklusi dan Pengayaan Miriam Donath Skjørten Pendahuluan Selama beberapa dekade yang lalu, kita telah mengalami banyak perubahan dalam pendidikan bagi anak penyandang cacat. Perubahan-perubahan

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak semua anak, terbuka untuk semuatanpa memandang latar belakang setiap individudikarenakan mereka tumbuh dari lingkungan dan budaya yang berbeda-beda

Lebih terperinci

Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special

Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special Education in Indonesia) Zaenal Alimin Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS UPI Jurusan PLB FIP UPI Perspektif

Lebih terperinci

Centre for Disability Research and Policy

Centre for Disability Research and Policy Kolaborasi Lintas Sektor Kesehatan dan Pendidikan untuk Pendidikan Inklusif bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Membangun Visi Kebijakan dan Agenda Penelitian di Indonesia (Issue 2, 2016) Centre for Disability

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak-anak Berkelainan

PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak-anak Berkelainan PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak-anak Berkelainan Terjemahan dari: SPECIAL NEEDS EDUCATION Children with Exceptionalities Oleh: Kim Fong Poon-Mc Brayer dan Ming-gon John Lian Diterjemahkan Oleh: Dra.Hj.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar Riset Indeks Inklusi dalam Pembelajaran Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Jaringan Kerja untuk Inklusi Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Disajikan pada Seminar Pendidikan Inklusif peringatan hari kelahiran Louis Braille Suku Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung 28

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Sejak tahun 1901, Indonesia telah menyelenggarakan

Lebih terperinci

Penyandang Cacat dan Permasalahannya

Penyandang Cacat dan Permasalahannya Penyandang Cacat dan Permasalahannya Juang Sunanto Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia Pandangan dan Sikap Masyarakat Keberadaan penyandang cacat (penca) telah ada sejak dahulu

Lebih terperinci

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href="http://www.upi.edu">universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a>

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href=http://www.upi.edu>universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a> Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi Oleh Didi Tarsidi universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 1. Definisi Istilah konseling rehabilitasi yang dipergunakan

Lebih terperinci

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia A. Pendahuluan Sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Sistem

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus. SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta) Nurjanah K8409047 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih dari 200 kelompok etnis hidup bersama, dan lebih dari 40 kebudayaan terwakili di dalam media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals Individualized Education Program (IEP) Dapat diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,

Lebih terperinci

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. 0 PENERAPAN TEKNIK MULTISENSORI BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA ASPEK PEMAHAMAN DAN ASPEK SUPRASEGMENTAL SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DISLEKSIA DI SEKOLAH DASAR INKLUSI KOTA BANDUNG DISERTASI diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi PENDIDIKAN INKLUSIF Nenden Ineu Herawati ABSTRAK Uraian singkat tentang pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah untuk semua anak, dengan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan

Lebih terperinci

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA 37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Indah Permata Darma, & Binahayati Rusyidi E-mail: (indahpermatadarma@gmail.com; titi.rusyidi06@gmail.com) ABSTRAK Sekolah inklusi merupakan salah satu

Lebih terperinci

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah yang menjadi dasar pijakan peneliti melakukan penelitian, kemudian tujuan penelitian yang menjadi arah pada penelitian ini, selanjutnya

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh Mohamad Sugiarmin Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena

Lebih terperinci

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF Aini Mahabbati, S.Pd., M.A Jurusan PLB FIP UNY HP: 08174100926 Email: aini@uny.ac.id Disampaikan dalam PPM Sosialisasi dan Identifikasi

Lebih terperinci

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **)

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **) REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Pendahuluan Oleh Edi Purwanta **) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM Mengapa Instrumen Internasional? Anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus; Keluarga, sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Haryanto REALITA PENCA DI LAPANGAN Belum ada data riil jumlah penca di Indonesia, Diperkirakan 10% dari populasi

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari, di seluruh dunia, jutaan orang harus bekerja atau sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari, di seluruh dunia, jutaan orang harus bekerja atau sekolah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap hari, di seluruh dunia, jutaan orang harus bekerja atau sekolah. Beberapa diantaranya mungkin merasa sangat bersemangat dengan pekerjaannya dan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang membawahi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, pelaksanaan ditingkat provinsi khususnya di Provinsi

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA TASIKMALAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, setiap individu terkadang mengalami suatu hambatan. Hambatan yang terjadi pada suatu individu beragam jenisnya. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Waktu yang dihabiskan anak-anak di sekolah saat ini cukup besar, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. Waktu yang dihabiskan anak-anak di sekolah saat ini cukup besar, oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah rumah yang dimasuki oleh anak. Waktu yang dihabiskan anak-anak di sekolah saat ini cukup besar, oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Anak berkebutuhan khusus, TK, pelayanan

ABSTRAK. Kata Kunci : Anak berkebutuhan khusus, TK, pelayanan WORKSHOP PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN YANG DIINDIVIDUALKAN BAGI GURU DALAM PELAYANAN PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI TK SAWITRI, KOMPLEK UNJ DUREN SAWIT Suprihatin Jurusan Pendidikan Luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif menghargai keberagaman apapun perbedaannya. Pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa setiap individu dapat berkembang sesuai dengan potensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini ditujukan untuk mengekesplorasi praktik pelaksanaan dan pengembangan sekolah inklusif. Penelitian dilakukan dengan menjadikan SD Negeri 2 Bendan, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sejak dilahirkan mempunyai fitrah sebagai makhluk yang. berguna bagi agama, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sejak dilahirkan mempunyai fitrah sebagai makhluk yang. berguna bagi agama, berbangsa dan bernegara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak dilahirkan mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk berfikir, berkreasi dan juga beragam serta beradaptasi dengan lingkungannya.

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) PENDIDIKAN INKLUSIF DISEKOLAH DASAR KOTA PADANG Oleh: Afrina Devi Marti Abstrak: Penelitian ini di latarbelakangi oleh Permendiknas No.20 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tujuan

Lebih terperinci

AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1

AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1 AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1 Addriana Bulu Baan 2 POR FKIP Universitas Tadulako Palu ABSTRAK Pendidikan Jasmani Olahraga

Lebih terperinci

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional XIV dan Kongres X Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia di Semarang Tanggal 13 16 April 2005 Oleh Edi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak pekerjaan yang dapat menimbulkan stress diantaranya adalah profesi sebagai guru SLB. Berdasarkan

Lebih terperinci

Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami kebijakan nasional dan

Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami kebijakan nasional dan PAKET 1 MEMBANGUN PERSPEKTIF INKLUSI GENDER DAN SOSIAL (120 ) 1 Kompetensi Dasar: Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education 110 BAB V PENUTUP A. Simpulan Pendidikan inklusif sebagai suatu kecenderungan baru dalam sistem pendidikan hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya demokrasi pendidikan dan tegaknya hak asasi manusia

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF PROGRAM PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT DLINGO, 3 OKTOBER 2011 PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF Aini Mahabbati Jurusan PLB FIP UNY HP : 08174100926 EMAIL : aini@uny.ac.id IMPLIKASI PENDIDIKAN INKLUSIF (Diadaptasi

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

KATALOG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)

KATALOG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS) KATALOG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS) RASIONAL PROGRAM Layanan program PLS tumbuh subur dan tersebar luas di tengah masyarakat, baik program-program yang bersifat institusional, informasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif merupakan salah satu perwujudan dari pendidikan berkualitas. Pendidikan inklusif merujuk pada sistem pendidikan atau lembaga pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan

Lebih terperinci

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Kode Etik Global Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Takeda Pharmaceutical Company Limited Pasien Kepercayaan Reputasi Bisnis KODE ETIK GLOBAL TAKEDA Sebagai karyawan Takeda, kami membuat keputusan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut keputusan menteri kesehatan No. 193/ MenKes/ SK/ X/2004 tentang

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut keputusan menteri kesehatan No. 193/ MenKes/ SK/ X/2004 tentang BAB II KAJIAN TEORI A. KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Menurut keputusan menteri kesehatan No. 193/ MenKes/ SK/ X/2004 tentang kebijakan nasional promosi kesehatan dan keputusan Menteri Kesehatan No. 114/MenKes/SK/VII

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. Menurut Gibbons (2002), self directed learning adalah peningkatan

BAB II LANDASAN TEORITIS. Menurut Gibbons (2002), self directed learning adalah peningkatan BAB II LANDASAN TEORITIS A. Self Directed Learning 1. Pengertian Self Directed Learning Menurut Gibbons (2002), self directed learning adalah peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk bekal mengarungi samudera kehidupan yang semakin penuh dengan persaingan. Oleh karena itu pendidikan menjadi

Lebih terperinci

Kurikulum Berbasis TIK

Kurikulum Berbasis TIK PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang terus, bahkan dewasa ini berlangsung dengan pesat. Perkembangan itu bukan hanya dalam hitungan tahun, bulan, atau hari, melainkan jam, bahkan menit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkembang demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkembang demikian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkembang demikian pesat dengan berbagai aspek permasalahannya. Pendidikan tidak hanya bersinggungan dengan

Lebih terperinci

Mengatasi diskriminasi terhadap penyandang cacat: Persoalan dan strategi penting

Mengatasi diskriminasi terhadap penyandang cacat: Persoalan dan strategi penting Mengatasi diskriminasi terhadap penyandang cacat: Persoalan dan strategi penting Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar Menguraikan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci