KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI LINDA SAYUTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI LINDA SAYUTI"

Transkripsi

1 KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI LINDA SAYUTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 ABSTRAK LINDA SAYUTI. Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA. Cacing hati merupakan salah satu masalah utama dalam peternakan sapi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian infeksi cacing hati (Fasciola spp) pada sapi bali pada tingkat umur, jenis kelamin dan lokasi di Kabupaten Karangasem, Bali. Sampel tinja diambil secara acak dari 257 ekor sapi berumur kurang dari enam bulan, 6-12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Pemeriksaan jumlah cacing hati (Fasciola spp) dalam sampel tinja dengan metode filtrasi bertingkat kemudian dilakukan penghitungan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola spp) dan rataan TTGT diduga dengan selang kepercayaan 95% pada umur, jenis kelamin dan lokasi yang berbeda. Tingkat asosiasi antara lokasi, jenis kelamin dan umur sapi bali terhadap infeksi cacing hati diuji menggunakan uji khi-kuadrat (?²) dan nilai resiko relative (RR). Hasil pemeriksaan menunjukan faktor umur mempengaruhi secara nyata tingkat infeksi cacing hati. Sapi umur lebih dari 12 bulan beresiko 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan sapi umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan. Tingkat kejadian cacing hati tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan lokasi.

3 ABSTRACT LINDA SAYUTI. Liver Fluke (Fasciola spp) Infection of Bali s Cattle in Karangasem Regency, Bali. Under the direction of FADJAR SATRIJA. Liver fluke is one of serius problem at cattle farm in Indonesia. This research was designed to study risk factor prevalence of Fasciola spp infetion on the different age, sex and location of Bali s cattle in Karangasem Regency, Bali. Faecal samples were taken randomly from 257 cattle with age less than six months, 6-12 months, and more than 12 months. Number of Fasciola egg (EPG) was calculated by filtrations method. Prevalence and mean of EPG were estimated with 95% confidence interval at each level of age, sex and different location. The association level based on location, sex and age of Fasciola spp infection were tested with Chi Square (?²) test and estimated relative risk value (RR). Results of this experiment showed that age factor became significant factor of Fasciola spp infection. Cattle with age more than 12 months had 1,88 times higher risk than cattle with age less than six months and age between six to 12 months, however was not statistically. Locations and sex did not influence significanthy the Fasciola spp infection.

4 KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI LINDA SAYUTI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) Pada Sapi Bali Kabupaten Karangasem, Bali Nama : Linda Sayuti NRP : B Program Studi : Kedokteran hewan Disetujui, Dosen Pembimbing Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD NIP Diketahui Wakil Dekan Dr. Nastiti Kusumorini NIP Tanggal Lulus:

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini yang berjudul Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali. Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan dengan tulus kepada: Kedua orang tua tercinta, aki, nini alm. dan adik-adikku (Ata Terek, Syahrial, Suaka dan Sharoya) atas segala kasih sayang dan doa-doa terbaiknya. drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan. drh. Isdoni M Biomed sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan study. drh. Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen penguji seminar dan sidang skripsi yang telah memberikan banyak masukan. drh. I Ketut Artama MSi, Ayu Cendra Puspa SKH, Dzurriyatun Thaiybah SKH dan atas bantuannya selama penulis menyusun skripsi ini. Ria Purwito Sari SKH atas persahabatan yang tulus ini. Lettu Anton Permadi atas dukungan dan hari-hari yang indah. Ani S SKH, Jimmy Pangihutan SKH, Maurin A SKH, Prima M SKH, Ayu H SKH, Reccy SKH, Atin, Yulismawati, Emi, Eev, Dita, Kak Eka, Ipit, Cici, Fitriyani, Linda p atas dukungannya, Artropoda 39, angkatan 40 semoga kita semua sentiasa berada dalam lindungan Allah SWT. Staf Laboratorium Helmintologi FKH IPB atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian di laboratorium. Bogor, Juli 2007

7 RIWAYAT HIDUP Linda Sayuti Penulis dilahirkan di Panimbang, Banten pada tanggal 3 juni 1984 sebagai putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan ayahanda Ahmad Sayuti dan ibunda Siti Farida. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri I Malingping dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di Himpunan Minat Propesi Ruminansia.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...x DAFTAR LAMPIRAN...xi PENDAHULUAN...1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA...3 Fasciolosis pada Ruminansia... 3 Gambaran Umum Sapi Bali Gambaran Umum Kabupaten Karangasem, Bali METODOLOGI Temapat dan Waktu Penelitian Metode Pengambilan Sampel Metode Pemeriksaan Telur...18 Analisis Data...18 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan...23 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 31

9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada umur yang berbeda Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang berbeda Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada lokasi yang berbeda Prevalensi,?² dan resiko relatif cacing hati pada tingkat umur Prevalensi,?², dan resiko relatif cacing hati pada jenis kelamin yang berbeda Prevalensi?², dan resiko relatif cacing hati dilokasi dataran rendah dan dataran tinggi...23

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi telur dan cacing dewasa Fasciola spp Siklus Hidup Fasciola spp Telur Fasciola spp Peta Lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Karangasem, Bali...15

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis statistik Chi-Square Tabel nilai resiko relatif pada lokasi yang berbeda Tabel nilai resiko relatif pada jenis kelamin yang berbeda Tabel nilai resiko relatif pada umur yang berbeda...32

12 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong yang dikembangkan dan dipergunakan untuk membantu usaha tani dan pengadaan protein hewani (Achjadi 1986). Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi (Sulistyowati 2002). Oleh karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan pengelolaan sapi asli Indonesia termasuk sapi Bali (Soeharsono 2002). Kemurnian bangsa sapi asli Indonesia sebagai cadangan plasma nutfah sangat diperlukan untuk perkembangan peternakan di masa mendatang. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang me ndapat perhatian dari para peternak. Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola spp, yang dikenal dengan nama distomatosis, fascioliasis atau fasciolosis (Mukhlis 1985). Infeksi cacing hati (Fasciola spp) merupakan salah satu parasit penting pada ruminansia besar di Indonesia (Suweta 1984). Tingkat prevalensi penyebaran cacing hati (Fasciola spp) pada ternak masih menunjukkan angka-angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi penyebaran Fasciola spp di beberapa negara menurut FAO (2007), sebagai berikut: Indonesia mencapai 14%-28%, Philipina 18%-59%, Thailand 75%, Pakistan 50%-58%, Nigeria 60%-72%, Afrika utara 43%-50%, Brasil 50%-61%, Mexico 74%. Prevalensi Fasciola spp di Peru pada tahun ,18%-31,3% (Keiser dan Utzinger 2005).

13 2 Penyebaran suatu penyakit dipengaruhi oleh iklim dan cuaca (Arbani 1992). Menurut Brotowidjoyo (1987), cuaca menentukan prevalensi penularan suatu penyakit parasit sampai timbulnya epidemi, sedangkan iklim menentukan endemesitas suatu penyakit. Selain itu dipengaruhi oleh faktor umur dan jenis kelamin. Umur dan jenis kelamin menentukan jumlah cacing Fasciola spp yang menginfeksi yang merupakan faktor yang berasal dari induk semang. Pengaruh umur dan jenis kelamin pada infeksi Fasciola spp bersifat hormonal (Tizard 1987). Pulau Bali yang terletak di wilayah tropis memiliki kisaran suhu dan kelembaban udara yang mendukung bagi perkembangbiakan berbagai jenis parasit. Terlebih pula di wilayah lahan sawah, yang relatif memiliki tingkat genangan air dan lama waktu genangan air yang tinggi. Kondisi lahan yang demikian sangat mendukung bagi perkembangbiakan berbagai jenis parasit cacing seperti cacing hati (Fasciola spp) (Suweta 1984). Program pengendalian penyakit parasitik, termasuk fasciolosis, akan efektif apabila dirancang berdasarkan informasi akurat tentang kejadian penyakit serta faktor-faktor resiko yang mempengaruhinya. Informasi tentang kejadian fasciolosis pada sapi Bali masih sangat minim sehingga perlu dilakukan studi yang lebih mendalam Tujuan 1. Mengetahui kejadian tingkat infeksi cacing hati pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali. 2. Mengetahui faktor resiko perbedaan umur, jenis kelamin, dan lokasi peternakan terhadap kejadian infeksi cacing hati pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali Manfaat Hasil Penelitian ini memberikan informasi mengenai kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem serta faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian fasciolosis di daerah tersebut.

14 Fasciolosis pada Ruminansia BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Fasciola spp Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi taksonomi cacing hati sebagai berikut: Kingdom Filum : Animalia : Platyhelmintes Kelas : Trematoda (Rudolphi 1808) Ordo : Digenea (Van Beneden 1858) Family : Fasciolidae (Railliet 1895) Genus : Fasciola (Linnaeus 1758) Spesies : - Fasciola hepatica (Cobbold 1885) -Fasciola gigantica (Cobbold 1885) Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih seperti daun tanpa rongga tubuh. Perbedaan dari kedua jenis cacing Fasciola spp adalah pada bentuk tubuh dan ukuran telur. Telur cacing hati (Fasciola spp) berbentuk oval, berdinding halus dan tipis berwarna kuning dan bersifat sangat permiabel, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu telur yang terbuka pada saat telur akan menetas dan larva miracidium yang bersilia dibebaskan (Noble dan Elmer 1989). Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh. Tubuh Fasciola gigantica relatif lebih bundar dimana bagian posteriornya terlihat lebih mengecil dan ukuran telurnya lebih besar dibandingkan Fasciola hepatica (Adiwinata 1955). Menurut Brown (1979) cacing dewasa dapat dibedakan dari Faciola hepatica karena lebih panjang, kerucut kepala lebih pendek, alat reproduksi terletak lebih anterior, batil isap perut lebih besar. Faciola hepatica mempunyai ciri-ciri: batil isap mulut dan kepala yang letaknya berdekatan, divertikulum usus, alat kelamin jantan (testis) yang bercabang-cabang dan berlobus. Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang memenuhi sisi lateral tubuh. Memiliki sebuah pharing dan oesphagus yang pendek, uterus pendek dan bercabang- cabang (Soulsby 1969). Metabolisme Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari sekresi empedu dan

15 4 dapat hidup selama 10 tahun (Brown 1979). Fasciola hepatica dewasa berukuran 20 mm sampai 50 mm (Noble dan Elmer 1989). Sedangkan Fasciola gigantica mempunyai ukuran yang lebih besar dari Fasciola hepatica, yaitu 20 mm sampai 75 mm (Soulsby 1986). Di Indonesia Fasciola gigantica dewasa panjangnya 14 mm sampai 54 mm. Sisi kiri dan kanan hampir sejajar, bahu kurang jelas, alat penghisap ventral sejajar dengan bahu, besarnya hampir sama dengan alat penghisap mulut, kutikula dilengkapi dengan sisik. Usus buntunya bercabangcabang sejajar dengan sumbu badan, sirus tumbuh sempurna dan kantung sirus mangandung kelenjar prostat serta kantong semen, ovarium bercabang terletak di sebelah kanan garis median, kelenjar vitelin mengisi bagian lateral tubuh (Kusumamiharja 1992). Gambar 1. Morfologi telur dan cacing dewasa cacing hati (Anonim 2006) Siklus Hidup Siklus hidup parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya (Gambar 2). Fasciola spp mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu, kandung empedu, atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama tinja. Seekor cacing hati (F. hepatica) dalam sehari dapat memproduksi rata-rata 1331 butir telur pada domba dan 2628 butir telur pada sapi (Dixon 1964). Jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh empedu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.

16 5 Gambar 2. Siklus hidup cacing hati (DPP. CDC. 2006) Jumlah telur dalam tinja akan mencapai maximum dalam waktu 2 bulan setelah periode prepaten, kemudian menurun lagi secara pesat (Soulsby 1986). Telur tidak dapat berkembang dibawah suhu 10 0 C, tetapi dapat berkembang dengan baik pada suhu 10 0 C sampai 26 0 C (Levine 1977). Perkembangan dari stadium telur sampai metacecaria hanya dapat terjadi pada lingkungan yang tergenang air yang bertindak sebagai faktor pembatas siklus hidup cacing di luar tubuh ternak (Noble dan Elmer 1989). Apabila telur masuk ke dalam air, operkulum membuka dan miracidia yang bersilia dibebaskan. Miracidia hanya dapat keluar apabila mendapat cukup cahaya. Cahaya mengaktifkan miracidium yang kemudian mengubah permeabilitas suatu bantalan kental yang terletak di bawah operkulum. Telur yang sudah menetas menghasilkan miracidium. Tubuh miracidium diliputi ciliae yang berfungsi sebagai alat penggerak di air. Gerakan miracidium dipengaruhi oleh cahaya (Foto taxis) (Brown 1979). Miracidium berenang selama beberapa jam dan kemudian menebus tubuh siput (Lymnaea rubiginosa). Miracidium hanya hidup dalam

17 6 waktu singkat (24 jam) untuk mencari sipus sebagai induk semang antara. Apabila ditemukan siput yang sesuai miracidium akan melekat dan menusukkan papillanya. Setelah miracidium berhasil menembus jaringan siput, ciliae di lepaskan, kemudian menempati rumah siput tersebut. Setelah 36 jam, miracidium berbentuk gelembung dengan dinding transparan yang disebut sporokista. Di dalam tubuh siput setiap miracidium berkembang menjadi sebuah sporokista (Noble dan Elmer 1989). Selanjutnya sporokista berubah bentuk menjadi oval setelah 3 hari berada di dalam hati siput. Sporokista memperbanyak diri dengan pembelahan transversal, sehingga dari satu miracidium terbentuk banyak sporokista. Setelah 10 hari tubuh siput terinfeksi miracidium, terlihat gumpalan sel di dalam sporokista yang kemudian tumbuh manjadi redia (Brown 1979). Pada hari ke 12 redia induk mulai tampak. Pada hari ke-23 redia anak mulai terbentuk, hari ke 25 redia anak membebaskan diri. Setelah redia anak terbentuk kemudian redia berkembang sendiri-sendiri untuk membentuk cercaria. Tubuh redia berbentuk silinder dengan otot kalung leher (collar). Di dalam kalung redia terdapat sel ekskresi dan sel pertumbuhan. Cercaria dihasilkan melalui pembelahan sel pertumbuhan. Satu redia induk biasanya mengadung 3 redia anak yang sudah berkembang sempurna. Selama musim panas, biasanya hanya terdapat satu generasi redia. Redia menghasilkan cercaria yang akan meninggalkan siput (Noble dan Elmer 1989). Tubuh cercaria berbentuk bulat telur dan memiliki ekor untuk berenang. Cercaria yang keluar dari tubuh siput membebaskan diri dan berenang kemudian mencari tumbuh-tumbuhan air untuk melekat dan melepaskan ekornya. Cercaria dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai bintik-bintik putih yang bergerakgerak dan akan terlihat lebih jelas pada air jernih dengan alas stoples yang gelap yang disinari cahaya terang. Cercaria hidupnya terbatas kecuali menemukan tumbuh-tumbuhan atau hewan yang sesuai untuk menjadi kista dan kemudian berubah menjadi metacercaria (Brown 1979). Setelah melekatkan diri pada tumbuhan air contohnya batang padi dengan jarak 10 cm dari batang kemudian ekor dilepaskan. Selanjutnya cercaria berubah menjadi kista dengan cara mensekresikan subtansi viskus untuk melapisi tubuhnya. Cercaria yang telah menjadi kista disebut metacercaria. Proses pembentukan dinding kista disertai

18 7 pembentukan alat-alat dalam tubuh, berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini berlangsung 2-3 hari, setelah itu metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering dan panas (Noble dan Elmer 1989). Metacercaria berdinding tebal berlapis dua apabila termakan oleh sapi dewasa didalam lambungnya dinding kista yang berhasil dihancurkan oleh asam lambung hanya lapisan luar saja. Pada anak sapi, kemampuan lambung untuk merusak lapisan luar sangat terbatas sekali, hal ini menyebabkan tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada anak sapi tidak berpengaruh secara nyata. Di dalam kista ini metacercaria berkembang menjadi cacing muda (Suweta 1982). Agar dapat menginfeksi induk semang definitif, metacercaria didalam induk semang antara (ikan, crutacea dan keong) atau tumbuhan air harus termakan dahulu. Setelah mencapai saluran-saluran empedu hati dan mencapai dewasa kelami n, maka mulai memproduksi telur. Telur berada dalam cairan empedu. Terbawa arus ikut mengalir ke dalam kantung empedu yang kemudian masuk ke dalam usus halus melalui ductus choleduchus. Dalam usus terbawa keluar bersama tinja (Brown 1979). Siput yang menjadi Induk semang antara berbeda spesies dalam wilayah negara yang berbeda (Lapage 1956). Pada umunya jenis-jenis siput yang menjadi induk semang antara sementara cacing hati, dari Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica temasuk family Lymnaeacidae. Lymnaea rubiginosa merupakan induk semang antara cacing hati Fasciola gigantica di Indonesia. Di Afrika Lymnaea natalensis, di Pakistan serta India adalah Lymnaea rufescens, Lymnaea truncatula di Eropa dan Lymnaea tomentosa di Australia. (Kusumamiharja 1992). Siput Lymnaea rubiginosa bentuk oval dengan lingkaran spiral pada ujung ekor. Dinding rumah transparan, berwarna kuning coklat atau agak kehitaman (Suweta 1978) Patogenesa dan Gejala Klinis Faciola spp, hidup di dalam tubuh ternak yang terinfeksi sebagai parasit di dalam saluran empedu. Hidup dari cairan empedu, merusak sel-sel epitel, dinding empedu untuk mengisap darah penderita. Cacing dewasa dianggap sebagai pengisap darah yang setiap ekornya mampu menghabiskan 0,2 ml darah setiap hari (Kusumamiharja 1992). Secara umum patogenesa dan gejala klinis yang

19 8 disebabkan cacing hati (Fasciola spp) tergantung dari derajat infeksi dan lamanya penyakit. Serta faktor lain seperti lokasi di dalam induk semang, jumlah cacing yang menginfeksi, invasi telur, larva dan cacing dewasa di dalam jaringan (Brown 1979). Gejala klinis fasciolosis dapat bersifat akut dan kronis (Anonim 2004). Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronis akibat dari infeksi yang berlangsung sedikit demi sedikit (Kusumamiharja 1992). Gejala klinis yang ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut kembung dan terasa sakit apabila disentuh (Kusumamiharja 1992). Gejala akut pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi yang jelas dengan tinja yang kering dan kadang diare, terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan anemia. Kematian mendadak pada kambing dan domba (Anonim 2004). Gejala kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat pada hewan muda, keluar darah dari hidung dan anus seperti pada penyakit antrax, kelemahan otot berupa gerakan gerakan yang lamban, nafsu makan menurun, selaput lendir pucat, bengkak diantara rahang bawah (bottle jaw), bulu kering, rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus. Pemeriksaan pasca mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal, anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati (Anonim 2006). Epidemiologi dan Kerugian Ekonomi Fasciola gigantica merupakan cacing hati asli Indonesia, sedangkan Fasciola hepatica diduga masuk ke Indonesia bersama-sama dengan sapi-sapi yang didatangkan dari luar negeri. Val velzen, merupakan orang pertama yang melaporkan penemuan adanya cacing Fasciola spp pada hewan ternak kerbau yang mati karena Rinderpest di Tanggerang pada tahun 1890 (Mukhlis 1985). Pada umumnya infeksi Fasciola spp menyerang sapi, domba dan kambing. Selain itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot,

20 9 kuda, bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis Selatan, Inggris dan Aljazair (Brown 1979 dan Cheng 1973). Infeksi pada manusia kurang dari 1% (Noble dan Elmer 1989). Telur Fasciola juga berhasil ditemukan pada sampel tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon (Pangihutan 2007). Tingkat prevalensi penyebaran cacing hati (Fasciola spp) pada ternak masih menunjukan angka-angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indoneisa. Prevalensi penyebaran Fasciola spp di Indonesia menurut FAO (2007), mencapai 14%-28%. Prevalensi cacing Fasciola spp pada domba yang dipotong di RPH Pegirian Kota Surabaya sebesar 29 % (Damawi dan Irsad 2004). Menurut Suweta (1982), prevalensi infeksi cacing hati di Propinsi Bali yaitu sebesar 36,62%, untuk Kabupaten Karangasem sebesar 30,33%, Kabupaten Buleleng 29,67%, Kabupaten Bangli 31,33%, Kabupaten jembrana 33,67%, Kabupaten Klungkung 35,33 %, Kabupaten Badung 41,33%, Kabupaten Gianyar 43,33% dan Kabupten Tabanan sebesar 48,00%. Menurut informasi terdahulu tingkat infeksi cacing hati di Jawa Timur di dapatkan sebesar 63,2% (Soesetyo 1975 yang diacu dalam Suweta 1982). Infeksi pada sapi dan kerbau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kambing dan domba, pada sapi dan kerbau mencapai 25-30% pada domba dan kambing 6-10 % (Anonim 2006). Kejadian infeksi Fasciola spp berkisar antara 50-80% untuk sapi dan kerbau di pulau Jawa dan dibawah 10% untuk pulau Sumba (Muchlis 1985). Menurut Resang (1984) persentasi kejadian untuk seluruh Indonesia rata-rata 25% dan 60% untuk pulau Jawa. Kejadian infeksi cacing hati di Indonesia, dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 m tetap ditemukan Fasciola gigantica. Hal ini karena Lymnaea rubiginosa merupakan satu-satunya siput yang menjadi hospes antara mampu hidup baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Mukhlis 1977) diacu dalam (Suweta 1985). Siput dapat ditemukan dalam air yang mengalir dengan kecepatan dibawah 20 cm tiap detik. Dalam air yang tergenang dan air yang keruh tidak ditemukan, hal ini dimungkinkan kandungan oksigen yang rendah dan lebih tinggi pada air jernih dan bergerak (Brotowijoyo1987). Lymnaea rubiginosa tidak tahan kekeringan, tanpa makan dalam lumpur yang memiliki kelembaban 35 % siput

21 10 mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76 % mati dalam 4-16 hari dan dalam kelembaban 80% mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup bebas cacing, terutama suhu dan ph air (Kusumamiharja 1992). Kerugian akibat infeksi cacing sulit diperkirakan, kerugian yang diakibatkan cacing hati biasanya berupa kematian terutama pada pedet, penurunan produksi, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan jaringan, penurunan berat badan, penurunan daya tahan tubuh, penurunan tenaga kerja pada ternak kerja juga dapat menyebabkan penurunan mutu daging. Kerusakan organ tubuh yang mengakibatkan diafkir pada waktu infeksi daging, pembayaran tenaga profesional, biaya pembelian obat-obatan serta me nurunnya efisiensi makanan (Levine 1990, Suweta 1982). Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada umumnya dijumpai angka yang tinggi. Kerugian dibeberapa daerah di Indonesia bervariasi, infeksi pada sapi dan kerbau ditaksir mencapai 5-7,5 juta kilogram daging pertahun. Kerugian mencapai Rp.513 miliar pertahun (Anonim 2006). Menurut informasi terdahulu hasil survai Direktorat Jendral Peternakan Jakarta (1973;1980) kerugian ekonomi akibat infeksi cacing hati ditaksir sekitar 22 milyard rupiah pertahun, kerugian ini merupakan kerugian nomor dua terbesar setelah New Castle Disease. Menurut FAO (2007), kerugian akibat infeksi cacing hati (Fasciola spp) di Indonesia mencapai 32 juta $ pertahun atau sekitar 28%. Pada sapi di Pulau Bali kerugian dapat mencapai Rp ,- pertahun (Suweta et al. 1978). Di Inggris kerugian yang ditimbulkan pernah diperkirakan sebesar $ 200,000 setiap tahun (Lapage 1956). Di Amerika Serikat, cacing hati menyebabkan kerugian karena kematian setiap tahun sebesar $ ditambah $ disebabkan hati yang diafkir pada sapi dan $ pada domba (Brown 1979) Diagnosis. Penegakan diagnosa berdasarkan gejala klinis yang diperkuat dengan penemuan telur cacing dalam tinja (Kusumamiharja 1992). Telur Fasciola bentuk ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini memiliki

22 11 kerabang telur yang tipis. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer yang memenuhi rongga telur (Gambar3). a b c Gambar 3. Telur Fasciola spp. (a) Operkulum, (b) Kerabang telur, (c) Blastomer Menurut Brown (1979) dapat dilakukan uji ikat komplemen (CFT) dan reaksi intradermal dengan antigen Fasciola untuk mendiagnosa infeksi ekstra hepatik atau apabila tidak ditemukan telur pada pemeriksaan langsung. Antigen Fasciola sebanyak 0,2 ml disuntikkan intradermal setelah sebelumnya dilakukan pencukuran rambut. Setelah menit daerah suntikan diperiksa untuk melihat terjadinya penebalan kulit yang mengeras (induras) dengan mengukur diameter daerah penebalan. Hasil positif apabila diameter penebalan lebih besar atau sama dengan 15 mm, hasil negatif apabila diameter kurang dari 15 mm, harus dengan resep dokter hewan (Deptan 2006). Resiko terjadinya infeksi pada suatu lokasi penggembalaan juga dapat diketahui dengan memeriksa adanya metacercaria pada contoh rumput yang dikirim (Anonim 2004) Pengobatan. Benzimidazol sintesis dengan dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB sebagai faciolicidal pada domba (Anonim 2002). Albendazol plus Closantel yang di berikan secara oral dapat membunuh Fasciola gigantica, cacing pita dan nematoda (100%) (Al-Quddah at all. 1998). Fenbendazol dan Clorsulon dengan dosis 25mg/kg BB dan dosis 35mg/kg BB dapat mengurangi infeksi cacing hati dewasa (99,6%) dan cacing hati muda (Malone et al. 1997). Closantel dan Rafoxanide dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB dapat

23 12 digunakan untuk mengontrol Haemonchus spp dan Fasciola spp (Swan 1999). Diamphenethide dengan dosis 10 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk pengobatan infeksi Fasciola spp pada domba (Anonim 2002) Pengendalian Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang merupakan habitat siput, mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk memberantas siput (Kusumamiharja 1992). Pencegahan jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada binatang herbivora, pengobatan untuk binatang peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi untuk binatang liar tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat dicegah dengan tidak makan sayuran mentah (Brown 1979). Menurut Suweta (1982), upaya pengendalian penyebarluasan penyakit dapat dilaksanakan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan memberantas siput yang hidup di air persawahan dan lainnya dengan cara: a. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga siput-siput mati kekeringan b. Dengan zat kimia, antara lain perusi (CuSO4) yang ditaburkan ke dalam lahan berair. Cara ini tidak dianjurkan, karena menimbulkan pencemaran lingkungan. c. Dengan menggalakan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembangbiak larva cacing hati. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan obat cacing yang diberikan setiap 2 bulan sekali (BPPTP Kalbar 2006). Menurut Lubis (1983) pencegahan infeksi cacing hati dapat dilakukan dengan pemberian ransum yang baik sangat perlu diperhatikan untuk menambah daya tahan ternak. Disamping itu sebaiknya dilakukan pelayuan hijauan sebelum diberikan pada ternak agar larva yang mencemari hijauan tersebut mati.

24 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah yang cukup besar dengan wilayah penyebaran yang luas (Handiwirawan dan Subandriyo 2002). Sapi Bali merupakan domestikasi (penjinakan) banteng atau sapi liar yang dilakukan dari Jawa dan Bali sekitar tahun lalu. Banteng dan sapi Bali mempunyai kromosom yang identik, dan mempunyai kesamaan bentuk tulang kepala (Soeharsono 2002). Kemurnian genetis sapi Bali masih terjaga sampai saat ini karena ada undangundang yang mengatur pembatasan masuknya sapi jenis lain ke Pulau Bali (Bandini 2002). Populasinya pada tahun 1999 mencapai 27% dari seluruh sapi potong yang ada di tanah air (Bandini 2004). Menurut Soeharsono (2002), populasi sapi bali di Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta ekor, jumlah ini merupakan 25 % dari populasi sapi di Indonesia. Sapi Bali memiliki keunggulan terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi (Hadiwirawan dan Subandriyo 2002). Berdasarkan (Jurnal Hemera Zoa 1983 diacu dalam Soeharsono 2002), sapi Bali betina usia produktif dalam setahun menghasilkan kelahiran hidup anak (atau 56 anak tiap 100 sapi betina). Ketahanan sapi Bali pada kondisi kering terletak pada kemampuannya yang luar biasa menyimpan air di dalam tubuh. Disamping itu sapi bali mampu mencerna unsur Nitrogen lebih banyak dari hijauan bergizi rendah dibandingkan dengan sapi lain. Sejak 30 tahun yang lalu melalui Departemen Pertanian, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan kualitas sapi Bali, antara lain melalui teknologi kawin suntik (inseminasi buatan) menggunakan mani beku dari pejantan terpilih. Upaya ini baru sebatas menggantikan sapi jantan, belum menghasilkan stok sapi yang benar-benar berkualitas. Pada tahun 1980 pernah dicoba teknologi transfer embrio tetapi tidak diteruskan karena terlalu mahal (Soeharsono 2002). Pada saat ini sedang digalakan upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali yaitu dengan seleksi dan uji keturunan melalui persilangan dengan bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus (Handiwirawan dan Subandriyo 2002).

25 Gambaran Umum Kabupaten Karangasem Bali Kondisi Geografis Kabupaten Karangasem terletak di ujung Pulau Bali di antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kabupaten Karangasem terdiri dari delapan kecamatan yaitu Kecamatan Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang dan Kubu. Kecamatan Rendang dan Selat berada pada ketinggian di atas 500 m sampai mencapai puncak G. Agung m. Kecamatan Sidemen terletak di atas 500 m sampai 800 m dengan daerah sekitar perbukitan dan sawah. Kecamatan Bebandem berada pada ketinggian 400m m. Kecamatan Manggis terletak pada ketinggian 0 sampai500 m diatas permukaan laut dan Kecamatan Karangasem terletak pada ketinggian 0 ampai750 m diatas permukaan laut. Kecamatan Abang dan Kubu terletak pada ketinggian 0 sampai ketinggian puncak G. Agung 3.142m. Suhu udara di Kecamatan Sidemen pada siang hari mencapai mencapai 33 0 C dan malam hari 26 0 C. Dengan rata-rata kelembaban mencapai 67%-95%. Suhu udara di Kecamatan Selat pada siang hari mencapai 33 0 C dan 24 0 C. Curah hujan di Kecamatan Selat mencapai ml, di Kecamatan Sidemen ml,di Kecamatan Manggis (Desa Selumbung) ml dan Kecamatan Karangasem mencapai 903 ml (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Karangasem, 2003). Hasil pengukuran suhu di Kecamatan Karangasem pada siang hari mencapai 31 0 C dan malam hari 27 0 C. Suhu udara di Kecamatan Manggis pada siang hari mencapai 32 0 C dan suhu malam hari mencapai 28 0 C (Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang diacu dalam Artama 2005). Gambar dibawah ini merupakan peta lokasi pengambilan sampel tinja.

26 15 Gambar 4 peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Karangasem, Bali. Gambar 4. peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Karangaem, Bali (Anonim 2007) Profil Peternak dan Manajemen Peternakan Menurut Artama (2005) peternak sapi Bali yang ada di wilayah studi di Kabupaten Karangasem didominasi oleh peternak yang berumur tahun sebanyak 91 orang (36%), tahun 67 orang (27%), tahun 42 orang (17%), tahun 35 orang (14%), umur lebih dari 60 tahun 11 orang (4%) dan umur tahun 4 orang (2%). Latar belakang pendidikan peternak, pendidikan mereka terdiri atas tidak tamat SD berjumlah 122 orang (48%), tamat SD 74 orang (30%), tamat SMP 22 orang (9%), tamat SMA 27 orang (11%), dan tamat perguruan tinggi 5 orang (2%). Pengalaman beternak mereka cukup bervariasi. Pengalaman beternak sapi selama 0-5 tahun sebanyak 9 orang (4%), 5-10 tahun

27 16 29 orang (12%), tahun sebanyak 32 orang (13%), dan lebih dari 15 tahun sebanyak 180 orang (71%). Pada umumnya pola pemeliharaan sapi bali di Kabupaten Karangasem dengan sistem kadas atau memelihara sapi milik orang lain (Sulityowati 2002). Survei Artama (2005) di wilayah studi menunjukkan peternak yang memiliki Kandang permanen 35 unit (22,06%) dan Kandang semi permanen 196 unit (77,94%). Lokasi kandang dengan pemukiman peternak jaraknya kurang dari 10 m sebanyak 40 orang (16%); berjarak m 41 orang (15,40%); berjarak m 45 orang (18%); dan lebih dari 30 m mencapai 124 orang (49,60%). Umumnya peternak yang menjaga kebersihan kandang dan ternak dengan membersihkan kandang (162 orang/65,65%) dan memandikan ternaknya (244 orang / 93,55%). Namun jumlah sebagian lain ada yang tidak membersihkan kandang sebanyak 86 orang (34,35) dan yang tidak memandikan ternak 6 orang (6,45%). Penanganan limbah dilakukan dengan penampungan 155 orang (59,63%). Tinja yang digunakan untuk pupuk oleh peternak berjumlah 98 orang (29,57%) dan yang dibiarkan saja 145 orang (69,26%). Sumber air yang dipergunakan adalah air sungai sebanyak 154 oranng (61,60%) dan selebihnya menggunakan air parit sawah, air sumur, air PAM dan mata air. Kejadian diare mencapai 42 kasus selama penelitian. Diare berlangsung 1-2 minggu 39 kasus (32%, 2-4 minggu 3 kasus (2%). Diare pada umur kurang dari enam bulan mencapai 32 kasus (26%), pada umur 6-12 bulan 8 kasus (6%).Diare warna hijau 22 kasus (18%) dan diare berdarah 20 kasus (16%).

28 17 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2005-Oktober 2006 di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel tinja yang diperiksa dalam penelitian ini diambil oleh drh. I Ketut Artama (mahasiswa S2 Program Studi Sains Veteriner 2005) Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel tinja segar dilakukan pada sapi bali dengan tiga variasi umur, yaitu umur kurang dari enam bulan, 6-12 bulan dan lebih 12 bulan. Sebanyak 257 sampel tinja diambil dari delapan kecamatan diantaranya empat kecamatan terletak di dataran rendah (Kecamatan Manggis, Karangasem, Abang dan Kubu) dan empat kecamatan lain terletak di dataran tinggi (Kecamatan Rendang, Selat, Sidemen, dan Bebandem). Sampel diambil secara acak bertingkat (Multiple Stage Random Sampling) (Gulo 2002, Bhisma 2003). Dari delapan kecamatan terpilih empat kecamatan terdiri dari dua kecamatan didataran tinggi dan dua kecamatan di dataran rendah. Dua kecamatan di dataran tinggi adalah Kecamatan Selat dan Sidemen, sedangkan dua kecamatan di dataran rendah yaitu Kecamatan Manggis dan Karangasem. Di Kecamatan Manggis terpilih dua desa yaitu Desa Dauhtukad dan Selumbung, sedangkan di kecamatan Karangasem terpilih dua desa yaitu Desa Padangkerta dan Amlapura. Di Kecamatan Sidemen terpilih Desa Sedimen dan Tri Ekabuana kemudian di Kecamatan Selat terpilih Desa Selat dan Muncan. Sampel tinja yang diambil diawetkan dengan kalium bikromat 2% (K 2 Cr 2 O 7 2%) dan disimpan dalam lemari es pada suhu 4 0 C sampai saat pemeriksaan sampel tinja.

29 Metode Pemeriksaan Telur Pemeriksaan sampel tinja ditinjau dengan metode filtrasi/ DBL. Tinja sebanyak dua gram dihomogenkan dalam air kran dalam sebuah gelas. Selanjutnya suspensi tinja disaring secara bertingkat dengan filter ukuran celah permiabel 400µm, 100µm, dan 45µm sambil terus dialiri air kran yang mengalir. Endapan material yang tersaring pada filter 45µm dikumpulkan dengan cara menyemprot endapan dengan air kran lalu ditampung dalam cawan petri. Filtrat dalam cawan petri ditambahkan air secukupnya dan Metilen blue lalu diperiksa dibawah mikroskop untuk menghitung jumlah telur cacing hati (Faecal Egg Count). Telur cacing hati yang ditemukan kemudian dihitung dan jumlahnya dinyatakan sebagai jumlah telur Fasciola spp dalam tiap gram tinja (Vatta dan Krecek 2005): Jumlah telur Fasciola spp (TTGT) = Jumlah telur total Berat sampel feses (gram) 3.4. Analisis Data Hasil pemeriksaan telur Fasciola spp dalam tinja digunakan untuk menghitung prevalensi Fasciola spp pada masing-masing kelompok umur, jenis kelamin dan lokasi peternakan pada sapi Bali. Prevalensi infeksi Fasciola spp dianalisis dengan uji Duncan (Bauer 1999). Asosiasi antara prevalensi infeksi dengan beragai faktor resiko dianalisis dengan uji khi Kuadrat (? 2 ) (Wayne 1990; Sugiarto et al. 2003) pada selang kepercayaan 95%, dan dihitung nilai resiko relatif (RR) (Martin et al. 1987). Prevalensi dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: ^? = Jumlah sapi yang positif cacing hati Ukuran contoh Selang kepercayaan diduga dengan persamaan: keterangan: ^ ^ ^? ± Z a / 2 v?(1-?) n ^? = Prevalensi dugaan

30 19 n =Ukuran contoh Z a / 2 = Nilai normal baku pada a/2 (Pada penelitian ini di gunakan a = 0,05 atau pada tingkat kepercayaan 95%) a = Tingkat kepercayaan (1- a) 100% Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) diduga dengan: x ± t a/ 2,v S a Keterangan: x = Rataan TTGT S = Ragam n = Ukuran contoh t a/2,v = Nilai t-student pada a/2 dengan derajat bebas v Untuk melihat asosiasi antara kejadian infeksi cacing hati terhadap perbedaan lokasi, jenis kelamin dan umur digunakan statistik? 2 dengan persamaan? 2 =? (?i-oi)²?i ei = Nilai harapan pada lokasi/ jenis kelamin/ umur ke-i oi = Nilai observasi dengan lokasi/ jenis kelamin/umur ke-i untuk melihat asosiasi antara kejadian infeksi cacing hati terhadap perbedaan lokasi, jenis kelamin dan umur digunakan resiko relatif (RR) yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

31 20 Tabel 1. Penghitungan Resiko relatif cacing hati pada lokasi yang berbeda Lokasi Infeksi Fasciola spp Jumlah + - Dataran rendah a b a + b Dataran tinggi c d c + d Jumlah a + b b + d n Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel Tabel 2. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang berbeda Jenis Kelamin Infeksi Fasciola spp Jumlah + - Betina a b a + b Jantan c d c + d Jumlah a + c b + d n Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel Tabel 3. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada umur yang berbeda Umur Infeksi Fasciola spp Jumlah + - < 6 bulan a b a + b > 6 bulan c d c + d Jumlah a + b b + d n Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel Rumus: Resiko Relatif (RR) = (a / a + b) / (c /c + d)

32 21 BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil pemeriksaan telur cacing sampel tinja sapi Bali dari Kabupaten Karangasem menunjukkan prevalensi total infeksi Fasciola spp adalah sebesar 18,29%. Sapi yang terinfeksi mengeluarkan telur cacing dalam tinja dengan ratarata telur tiap gram tinja (TTGT) sebesar 7,03 telur/g (5,50-9,00 telur/g). Prevalensi infeksi Fasciola spp pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 30,61% (21,48%-39,73%). Nilai ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan sapi umur kurang dari enam bulan yaitu sebesar 10,58% (4,40%-17,12%) dan umur 6-12 bulan sebesar 10,81% (3,73%-17,88%). Nilai rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 9,26 telur/g (6,72-12,76 telur/g). Nilai TTGT ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan pada sapi umur kurang dari enam bulan sebesar 3,58 telur/g (2,57-4,77 telur/g) dan umur 6-12 bulan sebesar 5,60 Telur/g (4,07-7,71 telur/g). Nilai TTGT pada sapi umur 6-12 bulan tidak berbeda nyata dibanding sapi yang lebih muda (Tabel 4). Uji?² dan resiko relatif (RR), menunjukan terdapat asosiasi (hubungan) antara perbedaan umur terhadap infeksi Fasciola spp dengan nilai resiko relatif sebesar 1,88 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan sapi Bali pada tingkat umur lebih dari 12 bulan memiliki risiko 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan sapi Bali pada tingkat umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan. Tabel 4. Prevalensi,?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali pada berbagai tingkat umur Umur < 6 bulan 6-12 bulan > 12 bulan Jumlah Spesimen Total Rata-rata Prevalens ( %) 10,58 (4,04-17,12) a 10,81 (3,73-17,88) a 30,61 (21,48-39,73) b Jumlah TTGT (rata-rata) 3,58 (2,57-4,77) a 5,60 (4,07-7,71) a 9,26 (6,72-12,76) b?² RR 16,102* 1,88 Total ,29 7,03 (5, ) Huruf superskrip yang berbeda dalam setiap kolom menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05); Tanda (*) menunjukkan adanya asosiasi antar faktor.

33 22 Tabel 5 menunjukkan hasil pemeriksaan tinja pada jenis kelamin sapi Bali yang berbeda. Nilai prevalensi Fasciola spp pada sapi Bali betina yaitu sebesar 20,23% (14,48%-26,17%), sedangkan pada sapi jantan adalah 13,33% (5,63%- 21,02%). Nilai rata-rata TTGT pada sapi Bali jantan yaitu 6,61 telur/g (3,61-12,06 telur/g) dan sapi Bali betina 7,16 telur/g (5,46-9,39 telur/g). Pada prevalensi dan nilai rata-rata TTGT tidak didapatkan perbedaan yang nyata infeksi Fasciola spp untuk sapi Bali pada tingkat jenis kelamin. Uji?² dan resiko relatif (RR) didapatkan hasil bahwa tidak terdapat asosiasi diantara kedua jenis kelamin sapi tersebut (p>0,05). Tabel 5. Prevalensi,?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada tingkat jenis kelamin Jenis Kelamin Betina Jumlah Spesimen Total Rata-rata tingkat Prevalensi ( %) 20,23 (14,48-26,17) a Jumlah TTGT (rata-rata) 7,16 (5,46-9,39) a?² RR 1,74 1,52 Jantan ,13 (5,63-21,02) a 6,61 (3,62-2,06) a Total ,29 7,03 (5, ) Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P> 0,05) Prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di lokasi dataran rendah sebesar 19,81% (12,22%-27,39%), sedangkan di dataran tinggi sebesar 17,21% (11,19%-23,24%). Infeksi rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) di lokasi dataran rendah sebesar 6,94 telur/g (4,7-10,06 telur/g), sedangkan di dataran tinggi sebesar 7,11 telur/g (5,08-9,94 telur/g). Tidak didapatkan perbedaan yang nyata dalam prevalensi infeksi dan nilai rata-rata TTGT infeksi Fasciola spp untuk sapi di lokasi dataran rendah dan di dataran tinggi. Hal ini diperkuat dengan uji?² dan resiko relatif (RR) yang dilakukan untuk mengetahui adanya asosiasi antara tingkat kejadian infeksi Fasciola spp dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut. Tabel 6 menunjukkan tidak ada asosiasi antara lokasi dataran rendah dan lokasi dataran tinggi (p>0,05).

34 23 Tabel 6. Prevalensi,?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali di lokasi dataran rendah dan dataran tinggi Lokasi JJumlah Spesimen Total + Rata-rata Tingkat Prevalensi (%) Jumlah TTGT ( Rata-rata)?² RR Dt.Rendah Dt. Tinggi (12,23-27,39)ª 17,22 (11,19-23,24)ª 6,94 (4,7-10,06) a 7,11 (5,08-9,94) a 0,28 1,15 Total ,29 7,03 (5, ) Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P> 0,05) 4.2. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali dari Kabupaten Karangasem, Bali sebesar 18,29%. Angka tersebut jauh lebih rendah dari hasil penelitian Suweta pada tahun 1982 di Kabupaten yang sama yaitu sebesar 30,33%. Perbedaan hasil ini diduga berkaitan dengan kurun waktu penelitian yang berbeda jauh, serta metode diagnosa yang digunakan. Pada penelitian ini prevalensi infeksi dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah telur cacing hati dalam sampel tinja, sedangkan pada penelitian Suweta didasarkan hasil pemeriksaan postmortem di Rumah Potong Hewan. Prevalensi infeksi pada penelitian terdahulu lebih tinggi karena pemeriksan postmortem dapat mendeteksi keberadaan cacing dewasa maupun cacing muda. Pemeriksaan telur cacing dalam tinja hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah mereka melampaui masa prepaten pada saat cacing dewasa mulai menghasilkan telur. Menggunakan metode yang serupa dengan penelitian ini, Lubis (1983) mencatat prevalensi fasciolosis pada sapi potong di Kabupaten Sumedang sebesar 14,04%. Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi antara faktor umur sapi dengan kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali (Tabel 4). Perbedaan yang nyata pada prevalensi dan derajat infeksi cacing hati antara sapi berumur lebih dari 12 bulan dengan sapi yang lebih muda disebabkan pola pemeliharaan ternak yang berbeda diantara ketiga kelompok umur. Sapi dewasa pada umumnya digunakan untuk mengolah lahan pertanian.

35 24 Sapi yang sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah mempunyai peluang untuk terinfeksi oleh Fasciola spp relatif tinggi. Disamping itu peternak di Kabupaten Karangasem mempunyai kebiasaan (93,55%) untuk memandikan ternaknya (Artama 2005). Metacercaria berada didalam air atau menempel di bawah batang padi, rumput dan tumbuhan-tumbuhan lain yang berada disekitar sungai. Apabila sapi minum dan makan tanaman tersebut maka sapi akan terinfeksi larva metacercaria (Brown 1979). Menurut Suweta (1982) sapi yang sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah me mpunyai peluang untuk terinfeksi oleh cacing hati relatif tinggi. Tingkat prevalensi infeksi yang relatif rendah pada sapi Bali kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan, dapat pula dihubungkan dengan kondisi asam lambung yang tidak mampu merusak lapisan luar kista metacecaria. Menurut Dawes (1961) yang diacu dalam Suweta (1982), asam lambung dan enzim pencernaan belum berfungsi secara optimal dalam sapi muda sehingga tidak mampu merusak semua lapisan kista metacercaria. Enzim ini hanya mampu merusak lapisan luarnya saja yang mengakibatkan proses ekskistasi tidak berjalan sempurna. Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Makin tua umur sapi makin tinggi frekuensi infeksinya. Pada sapi muda lebih rendah frekuensinya, hal ini disebabkan relatif sering kandangkan dalam rangka penggemukan (sapi kereman). Selain itu juga frekuensi makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya, sehingga kemungkinan untuk terinfekasi larva metacercaria rendah. Seddon (1967), tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada sapi di Australia menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya umur sapi. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya asosiasi antara jenis kelamin sapi Bali dengan prevalensi dan derajat infeksi cacing hati. Fenomena ini juga diamati oleh Suweta (1978), yang memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi kepekaan sapi Bali terhadap infeksi Fasciola. Sebaliknya pada studi lain Suweta (1982) mengamati bahwa sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi cacing hati dibandingkan sapi betina. Hal tersebut

36 25 berkaitan dengan hormon. Menurut Dobson (1964; 1965; 1966) yang diacu oleh Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel Reticulo Endotelial System (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit. Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit dan ternak betina juga jarang dipekerjakan terutama dalam kondisi bunting dan menyusui (Suweta 1982). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa faktor ketinggian lokasi dari permukaan laut tidak berasosiasi terhadap kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali (Tabel 6). Pada penelitian yang dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu, Suweta (1982) juga tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata antara prevalensi infeksi cacing hati antara berbagai daerah di Bali dengan luasan lahan persawahan yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan kondisi mi kroklimat dan lingkungan di dataran tinggi dan dataran rendah saat pengambilan sampel tinja tidak berbeda nyata (Artama 2005). Waktu pengambilan sampel (Februari dan Maret) termasuk pada musim kemarau yang biasanya berlangsung antara bulan Maret sampai bulan Agustus. Musim hujan di Kabupaten Karangasem biasanya berlangsung selama bulan September sampai bulan Februari. Musim kemarau dapat mengganggu perjalanan siklus hidup cacing hati (Boray 1985). Di Nigeria dilaporkan bahwa tingkat infeksi cacing hati pada sapi dalam musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau (Seddon 1967). Kondisi tanah yang kering dan atmosfer yang cukup panas menyebabkan tinja cepat mengering, sehingga telur cacing hati menjadi rusak dan mati. Telur Fasciola spp menetas pada suhu optimum 26 0 C (Kusumamiharja 1992). Cacing hati (Fasciola spp) tidak berkembang biak pada siput dibawah suhu 10 0 C dan hidup pada suhu C. Sebaliknya, pada suhu 37 0 C membunuh sebagian besar telur dan miracidium (Levine 1990). Kelangsungan hidup serta penyebaran cacing hati tergantung pada kehadiran siput (Lymnaea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Miracidium akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metacercaria tahan terhadap kondisi kering (Brown 1979). Siput Lymnaea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja 1992).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi taksonomi cacing hati sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Platyhelmints Kelas : Trematoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, dan dibentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denapasar pada tanggal 20 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA Dalam perkembangbiakannya,invertebrata memiliki cara reproduksi sebagai berikut 1. Reproduksi Generatif Reproduksi generative melalui fertilisasi antara sel kelamin jantan

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Liver Fluke Infestation Level of Bali Cattle in Sukoharjo Sub-District Pringsewu Regency Lampung

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Salah satu produk hasil peternakan yang paling disukai

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis 1 BAB I PENDAHULUAN Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola gigantica menimbulkan banyak masalah dalam bidang peternakan. Fascioliasis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi bali merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci