PERANAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR"

Transkripsi

1 PERANAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR Oleh : Bambang Sulistyo Guru Besar bidang Ilmu Survei dan Pemetaan / GIS dan Remote Sensing Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Ketua Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia, Komisariat Wilayah Bengkulu Jalan WR. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu bambangsulistyounib@gmail.com; HP : PENDAHULUAN Indonesia memiliki kodrat geografis sebagai Negara kepulauan/maritim, beriklim tropik, dengan keberagaman ekosistem, sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, bahasa, suku, agama, dan bencana (multihazard). Kodrat geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan modal dasar dalam pembangunan Nasional untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat sejahtera, damai, aman, bahagia secara berkelanjutan. Keberagaman potensi dan masalah yang harus dikelola oleh pemerintah bersama masyarakat dan para stakeholder tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor geografis seperti geologis, geomorfologis, iklim, hidrologis, tanah, penutup lahan serta aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat (Suratman, 2012). Sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam. Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam, keaneka ragaman suku, agama, adat, budaya, golongan pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat komplek mengakibatkan wilayah Negara Indonesia menjadi wilayah yang memiliki potensi rawan bencana, baik bencana alam maupun ulah manusia, antara lain; gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah Iongsor, angin ribut, kebakaran hutan dan lahan serta letusan gunung api. Secara umum terdapat peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun. Bahkan saat ini peristiwa bencana menjadi lebih sering terjadi dan silih berganti, misalnya dari kekeringan kemudian kebakaran, lalu diikuti banjir dan longsor (Mendagri, 2006). Berbasis analisis geografis dapat dipahami bahwa dibalik potensi alam di Indonesia yang kaya dan subur, tersimpan pula risiko bencana alam dan konflik sosial. Pengelolaan sumber daya alam selalu terkait dengan perubahan ekosistem dan dampak negatifnya pada sosial, ekonomi, keamanan, dan kesehatan. Dengan demikian, konsep pengelolaan sumber daya harus berwawasan lingkungan serta berbasis kearifan lokal agar kerusakan lingkungan dan bencana dapat terkendali. Beberapa kesalahan dalam pengelolaan pembangunan di Indonesia berdampak pada kerusakan lingkungan dan bencana alam. Bencana alam akibat penambangan, pembalakan hutan, permukiman di kawasan lindung, dan kegiatan lainnya telah menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, bencana lumpur dan kekeringan. Bencana alam 1

2 lainnya seperti tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, puting beliung membuktikan bahwa Indonesia negara multihazard yang harus disikapi dan diwaspadai. Negara Indonesia yang memiliki aspek geosfer yang amat kompleks memerlukan informasi spasial potensi dan masalah sumber daya dalam berbagai skala dan waktu. MITIGASI BENCANA BNPB (2012) mengidentifikasi bahwa secara garis besar Indonesia memiliki 13 Ancaman Bencana. Ancaman tersebut adalah : 1. Gempabumi; 2. Tsunami; 3. Banjir; 4. Tanah Longsor; 5. Letusan Gunung Api; 6. Gelombang Ekstrim dan Abrasi; 7. Cuaca Ekstrim; 8. Kekeringan; 9. Kebakaran Hutan dan Lahan; 10. Kebakaran Gedung dan Pemukiman; 11. Epidemi dan Wabah Penyakit; 12. Gagal Teknologi; dan 13. Konflik Sosial. Sampai dengan bulan Januari 2016, BNPB mencatat jumlah kejadian bencana, jumlah korban dan jumlah dampaknya yang terjadi di Indonesia. Secara garis besar kejadian bencana banjir menduduki peringkat pertama (31,1%), diikuti bencana perubahan iklim (20,2%), diikuti bencana tanah longsor (16,4%), diikuti bencana kebakaran (12,8%), sedangkan kejadian bencana lainnya rata-rata kurang dari 10% dari jumlah kejadian yang ada. Data tersebut disajikan dalam bentuk grafik seperti disajikan pada Gambar 1 (BNPB, 2016). Gambar 1. Grafik jumlah kejadian bencana yang terjadi di Indonesia 1 (Sumber BNPB, 2016) Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Republik Indonesia, 2007). Sedangkan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Berdasarkan definisi di atas maka potensi bencana adalah keadaan, atau kondisi alam yang memungkinkan terjadinya bencana. Misalnya kondisi tanah yang labil dengan lereng yang curam adalah daerah yang rawan longsor, apabila terjadi cuaca ekstrim berupa curah hujan yang tinggi maka kemungkinan akan terjadi longsor. Peningkatan curah hujan berkorelasi positif terhadap kelembaban tanah sebelum terjadi longsor (Ponziani et al, 2012; Lepore, 2013). 2

3 Tentu saja bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami tidaklah dapat dilawan oleh manusia, namun dengan pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat mengembangkan berbagai teknologi yang dapat memprediksi dan mencegah kerugian yang terlalu besar yang diakibatkan bencana alam tersebut. Para peneliti bencana berpendapat bahwa semua faktor bencana berhubungan dengan tindakan manusia. Sebuah bencana tidak akan menjadi bencana yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana dilakukan tindakan-tindakan pencegahan atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian orang masih berpendapat bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, karena hanya Tuhan yang tahu kapan suatu bencana alam akan terjadi. Namun, para ahli dan mereka yang peduli dengan gejala alam tidak menyerah sampai di titik itu. Mereka percaya bahwa sebelum bencana yang lebih besar akan terjadi, selalu diawali gejala atau tanda bencana tersebut. Artinya, semua pihak berusaha semaksimal mungkin apabila memang terjadi bencana alam lagi diharapkan jumlah kerugian, baik material maupun non-material, sekecil mungkin atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal itulah yang disebut dengan istilah mitigasi, yaitu upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No 24 Tahun 2007; PP No 21 Tahun 2008). Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Berdasarkan siklus waktunya, penanganan bencana terdiri atas 4 tahapan yaitu: Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana. Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan gempa Kesiapsiagaan merupakan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana. Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin akan terjadi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum yang meliputi upaya mengurangi tingkat risiko, pengelolaan sumber-sumber daya masyarakat, serta pelatihan warga di wilayah rawan bencana. Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana. Tahap ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana dilaksanakan dengan fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat bencana. Pemulihan merupakan upaya mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula. Pada tahap ini, fokus diarahkan pada penyediaan tempat tinggal sementara bagi korban serta membangun kembali saran dan prasarana yang rusak. Selain itu, dilakukan evaluasi terhadap langkah penanggulangan bencana yang dilakukan. Mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : a) Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana. b) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana. c) Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan d) Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. 3

4 PERAN SIG DALAM MITIGASI BENCANA Dari pembahasan tentang mitigasi bencana terlihat bahwa kebutuhan untuk memperoleh informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana sangatlah besar. Yang menjadi tantangan terbesar adalah bagaimana mendapatkan informasi atau peta tersebut secepat mungkin, lalu diinformasikan ke masyarakat untuk melakukan evakuasi dan tindakan penyelamatan lainnya. Pada keadaan demikian maka kehadiran teknologi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) sangatlah berarti dan berperan. Definisi, Komponen dan Sub Sistem di dalam SIG Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang sering disingkat dengan SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya. Sistem Informasi Geografi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengelola dan menganalisis data spasial (Aronoff, 1989). Saat ini SIG bukan saja digunakan untuk mengolah data fisik spasial, tetapi juga data sosial ekomoni bereferensi geografis (Martin, 1996). Dalam hubungannya dengan penentuan kawasan rawan bencana, SIG dapat digunakan untuk menentukan daerah atau lokasi dimana rawan bencana kemungkinan terjadi. Dalam hal ini digunakan analisis query spatial dan analisis tumpangsusun peta melalui sistem pembobotan (Demers, 1997; Borrough, 1988). Dilihat dari definisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada. Sebagaimana sistem komputer pada umumnya, SIG hanyalah sebuah alat yang mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan sumberdaya manusia untuk memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam keberhasilan sistem SIG. Komponen utama SIG terdiri atas: 1. Hardware, yang terdiri dari komputer, GPS, printer, plotter, dan lain-lain. Dimana perangkat keras ini berfungsi sebagai media dalam pengolahan/pengerjaan SIG, mulai dari tahap pengambilan data hingga ke produk akhir baik itu peta cetak, CD, dan lain-lain. 2. Software, merupakan sekumpulan program aplikasi yang dapat memudahkan kita dalam melakukan berbagai macam pengolahan data, penyimpanan, editing, hingga layout, ataupun analisis keruangan. 3. Brainware, dalam istilah Indonesia disebut sebagai sumberdaya manusia merupakan manusia yang mengoperasikan hardware dan software untuk mengolah berbagai macam data keruangan (data spasial) untuk suatu tujuan tertentu. 4. Data Spasial, merupakan data dan informasi keruangan yang menjadi bahan dasar dalam SIG. Data ataupun realitas di dunia/alam akan diolah menjadi suatu informasi yang terangkum dalam suatu sistem berbasis keruangan dengan tujuan-tujuan tertentu. 4

5 Selain ke-empat komponen tersebut, beberapa Penulis menambahkan Metode sebagai salah satu komponen di dalam SIG. Tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan SIG dengan tujuan apapun itu sangat tergantung dari keempat (atau kelima) komponen ini. Jika salah satu komponen tersebut bermasalah, maka output yang dihasilkan juga akan bermasalah. Manfaat utama penggunaan SIG dengan komputer dibandingkan dengan metode pembuatan peta tradisional dan masukan data manual atau informasi manual, adalah memperkecil kesalahan manusia, kemampuan mamanggil kembali peta tumpangsusun dari simpanan data SIG secara cepat, dan menggabungkan tumpangsusun tersebut. Teknologi yang digunakan dalam SIG memperluas penggunaan peta, model-model kartografik dan statistik spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk pengembangan model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan serta masalah penggunaan lahan. Subsistem dalam SIG yaitu meliputi 1. pengumpulan dan pemasukan data; 2. Manajemen data atau pembentukan data dasar; 3. analisis; dan 4. penerapan dan keluaran (Short, 1992). Pemasukan Data Pemasukan data ke dalam SIG dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : scanning (pelarikan atau penyiaman); digitasi; dan tabulasi. a. Scanning (pelarikan atau penyiaman), yaitu proses pengubahan data grafis kontinu menjadi data grafis diskret yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel). Proses scanning dapat dilakukan dari wahana dengan jarak tertentu dari obyek, misalnya satelit atau pesawat udara; atau dapat juga dilakukan melalui scanner dari suatu gambar analog, misalnya peta. Format datanya berbentuk raster. b. Digitasi, yaitu proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam format vektor, menggunakan digitizer. c. Tabulasi, yaitu sebagai informasi dari peta atau kawasan yang dimasukkan. Didalam kegiatan yang melibatkan SIG, biasanya tahap pemasukan data merupakan tahap yang banyak memakan waktu, yaitu hampir 70 % dari alokasi waktu kegiatan SIG (Sulistyo, 2011). Manajemen Data Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data. Efisiensi manajemen data ditentukan oleh efisiensi sistem untuk melaksanakan operasi-operasi itu. Pada tahap ini dilakukan penyusunan basis data, standarisasi data, kontrol kualitas, dan lain sebagainya. Manipulasi Dan Analisis Data Salah satu kemampuan utama SIG adalah dalam manipulasi dan analisis data (spasial) untuk memperoleh informasi baru. SIG bukan hanya melakukan manipulasi dan analisis data secara cepat dan efisien, untuk menggantikan fungsi yang sebenarnya dapat dilakukan pula secara manual; melainkan justru menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan tanpa bantuan komputer. Beberapa fasilitas yang biasa terdapat pada paket SIG untuk manipulasi dan analisis data : a. Penyuntingan untuk pemutakhiran data; b. Interpolasi Spasial; c. Tumpangsusun Peta dan d. Pemodelan. 5

6 Keluaran Keluaran utama dari suatu kegiatan SIG adalah informasi spasial baru. Informasi ini perlu untuk disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional. Penyajiannya perlu memperhatikan aspek kartografi sedemikian rupa sehingga pengguna peta akan dengan mudah dapat membaca dan menggunakannya. Informasi baru juga dapat disajikan dalam bentuk tidak tercetak (soft copy) untuk tujuan analisis lebih lanjut. Peta Bencana Berbasis SIG adalah suatu sistem yang diaplikasikan untuk memperoleh, menyimpan, menganalisa dan mengelola data yang terkait dengan atribut, yang secara spasial mengacu pada keadaan bumi. Dalam kondisi yang khusus sistem komputer yang handal dalam mengintegrasikan, menyimpan, mengedit, menganalisa, membagi data menampilkan informasi geografi yang diacu. Pada kondisi yang lebih umum, SIG adalah cara yang memudahkan pengguna untuk membuat query secara interaktif, menganalisa informasi spasial dan mengedit data. SIG adalah ilmu yang mengkombinasikan antara penerapan dengan sistem. SIG adalah suatu alat yang dapat mendukung penetapan keputusan dalam semua fase siklus bencana. Dengan kata lain SIG adalah suatu kata yang menjelaskan tentang semua jenis item dari data yang hendaknya mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi terhadap suatu lokasi. Pada awalnya fokus dari SIG adalah terutama pada respon bencana. Dengan perubahan paradigma aturan manajemen bencana telah berkembang secara cepat. Proses harus berjalan menjadi suatu kejadian yang mengalir dari penyiapan hingga mitigasi, perencanaan hingga prediksi dan kedaruratan hingga perbaikan. Tiap-tiap aktivitas diarahkan menghasilkan keberhasilan penanganan bencana. Aturan yang dikembangkan termasuk cara yang diambil dalam mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan sejumlah keahlian tergambarkan dari berbagai area yang berbeda. SIG dapat bertindak sebagai antar muka antara semua ini dan dapat mendukung semua fase siklus manajemen bencana. SIG dapat diterapkan untuk melindungi kehidupan, kepemilikan dan infrastuktur yang kritis terhadap bencana yang ditimbulkan oleh alam; melakukan analisis kerentanan, kajian multi bencana alam, rencana evakuasi dan perencanaan tempat pengungsian, mengerjakan skenario penanganan bencana yang tepat sasaran, pemodelan dan simulasi, melakukan kajian kerusakan akibat bencana dan kajian keutuhan komunitas korban bencana. Karena SIG adalah teknologi yang tepat guna yang secara kuat merubah cara pandang seseorang secara nyata dalam melakukan analisis keruangan. SIG menyediakan dukungan bagi pemegang keputusan tentang analisis spasial/keruangan dan dalam rangka untuk mengefektifkan biaya. SIG tersedia bagi berbagi bidang organisasi dan dapat menjadi suatu alat yang berdaya guna untuk pemetaan dan analisis. Penghindaran bencana dapat dimulai dengan mengidentifikasi resiko yang ditimbulkan dalam suatu area yang diikuti oleh identifikasi kerentanan orang-orang, hewan, struktur bangunan dan asset terhadap bencana. Pengetahuan tentang kondisi fisik, manusia dan kepemilikan lainnya berhadapan dengan resiko adalah sangat mendesak. SIG berdasarkan pemetaan tematik dari suatu area kemudian ditumpangkan dengan kepadatan penduduk, struktur yang rentan, latar belakang bencana, informasi cuaca dan lain lain akan menetukan siapakah, apakah dan mengetahui lokasi mana saja yang paling beresiko terhadap bencana. Kapabilitas SIG dalam pemetaan bencana dengan informasi tentang daerah sekelilingnya membuka trend gerografi yang unik dan pola spasial yang mempunyai kejelasan visual, akan lebih dapat dipahami dan membantu mendukung proses pembuatan keputusan. Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan basis data, inventori, overlay SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut, analisis resiko, analisis untung rugi, proses geologi, statistik spasial, matriks keputusan, analisis sensitivitas, proses geologi, korelasi, auto 6

7 korelasi dan banyak peralatan dan algoritma untuk pembuatan keputusan spasial yang komplek lainnya. SIG dapat digunakan dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk menentukan besarnya jaminan keselamatan terhadap masyarakat dan bangunan sipil, untuk mengidentifikasi sumber bencana, pelatihan dan kemampuan yang dimiliki secara spesifik terhadap bahaya yang dijumpai dan untuk mengidentifikasi area yang terkena banjir serta relokasi korban ke tempat yang aman. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan mitigasi. Semua langkah-langkah yang diambil bertujuan untuk menghindari bencana ketika diterapkan, langkah yang berikutnya adalah untuk bersiap-siap menghadapi situasi jika bencana menyerang. SIG untuk kesiapsiagaan bencana adalah efektif sebagai sarana untuk menentukan lokasi sebagai tempat perlindungan di luar zone bencana, mengidentifikasi rute pengungsian alternatif yang mendasarkan pada skenario bencana yang berbeda, rute terbaik ke rumah sakit di luar zona bencana itu, spesialisasi dan kapasitas rumah sakit dan lain lain. SIG dapat memberikan suatu perkiraan jumlah makanan, air, obat, kedokteran dan lain lain misalnya untuk penyimpanan barang atau logistik ANALISIS SIG DALAM PENENTUAN LOKASI RAWAN LONGSOR Kejadian bencana tanah longsor di Indonesia, seperti telah disebutkan pada awal makalah ini, menduduki peringkat 3. Berikut ini diberikan, walaupun secara ringkas, contoh tahap-tahap analisis untuk memperoleh Peta Lokasi Rawan Longsor. Longsor merupakan perpindahan massa tanah secara alami sehingga termasuk dalam kategori erosi. Perbedaan dengan jenis erosi lainnya adalah bahwa longsor terjadi dalam waktu singkat dan dalam volume yang besar (Arsyad, 2000). Pengangkutan massa tanah terjadi sekaligus, sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan juga besar. Suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) lereng cukup curam, 2) memiliki bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeabel dan lunak, dan 3) terdapat cukup air untuk menjenuhi tanah di atas bidang luncur tersebut. Jika syarat tersebut dimiliki, maka pada umumnya kejadian longsor hanya tinggal menunggu agen pemicunya yaitu curah hujan dan gempa bumi. Untuk menyusun Peta Lokasi Rawan Longsor idealnya mendasarkan pada survei lapangan atau survei terestris yang dilakukan pada semua lokasi rawan longsor. Namun demikian cara tersebut sangat tidak efektif, tidak efisien, memerlukan waktu yang lama, memerlukan tenaga survei yang banyak dan memerlukan biaya yang besar. Sebagai gantinya maka dibuatlah suatu model lokasi rawan longsor. Model merupakan penyederhanaan dari realita. Model penentuan lokasi rawan longsor berarti mencoba melibatkan semua parameter penyebab terjadinya rawan longsor didalam analisis sedemikian rupa sehingga diperoleh lokasi rawan longsor. Di Indonesia ada beberapa model dalam penentuan lokasi rawan longsor yang sudah dikembangkan, diantaranya yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, oleh Kementerian Pekerjaan Umum, oleh Kementerian Kehutanan, oleh UGM dan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Dalam contoh analisis lokasi rawan longsor di bawah ini digunakan model yang dikembangkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut 7

8 dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut ditumpangsusunkan (overlay) dan dilakukan penghitungan skor kumulatif, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor seperti disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram Alir Analisis Penentuan Lokasi Rawan Longsor Setelah semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk peta digital, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada setiap parameter. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah hujan dan geologi (batuan induk). Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya longsor. Semakin tinggi derajat 8

9 lereng maka akan memberikan bahaya rawan longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi. Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi dan Skor Faktor Kemiringan Lereng No Kemiringan Lereng ( dalam % ) Keterangan Skor 1 0,00-8,00 Datar 1 2 8,01-15,00 Landai ,01-25,00 Miring ,01-45,00 Curam ,01 atau lebih Sangat curam 5 Sumber: Nicholas and Edmunson (1975) dalam Purnamasari (2007) Pemberian skor kerawanan tanah longsor untuk masing-masing kelas jenis tanah didasarkan pada ciri morfologi tanah berupa tekstur tanah (pasir, debu dan lempung) dan sifat permeabilitasnya yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yang dapat menyebabkan longsor, yang disajikan pada Tabel 3. Jenis tanah yang memiliki potensi untuk terjadinya longsor terutama bila terjadi hujan adalah jenis tanah yang kurang padat dalam hal ini adalah tanah yang mempunyai tekstur pasir dan tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. Air permukaan yang meresap ke dalam lapisan tanah yang mempunyai tekstur pasir akan mempercepat kondisi tanah tersebut menjadi jenuh air dan menjadi labil serta pada kemiringan lereng yang relatif curam akan mempermudah terjadinya tanah longsor. Pemberian skor dan pembagian kelas jenis tanah disajikan pada Tabel 4. Tabel 2 Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah No Jenis tanah Tekstur Permeabilitas 1 Aluvial Liat; pasir < 50% Rendah 2 Glei Humik Lempung hingga liat Rendah 3 Latosol Liat, tetap dari atas hingga Tinggi ke bawah 4 Andosol Lempung hingga debu Tinggi 5 Litosol Aneka Aneka 6 Regosol Pasir, kadar liat < 40% Tinggi Sumber: Soepraptohardjo (1961) Tabel 3 Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi Kelas Jenis Tanah Keterangan 1 Aluvial, Glei, Planosol, hidromorf kelabu Tidak peka 2 Latosol Kurang peka 3 Brown forest soil, non calcicbrown, mediteran Agak peka 4 Andosol, laterit, grumusol, podsol, podsolic Peka 5 Regosol, litosol, organosol, renzina Sangat peka Sumber: Rahim, (2000) 9

10 Tabel 4 Pembagian kelas jenis tanah Kelas Jenis Tanah Skor 1 Aluvial 1 2 Asosiasi latosol coklat latosol kekuningan, asosiasi latosol 2 merah latosol coklat kemerahan, kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol coklat latosol kemerahan 3 Asosiasi latosol coklat regosol 3 4 Andosol, podsolik merah kekuningan, asosiasi andosol 4 regosol, podsolik kekuningan dan podsolik merah 5 Regosol 5 Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006) Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam) (Subhan, 2006). Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gerakan tanah sehingga daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan Kelas Intensitas (mm / tahun ) Keterangan Skor Sangat Lembab Basah 2 3 > Sangat Basah 3 Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006) Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi dalam hal ini adalah pemetaan. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand, et al, 2004). Karena keterbatasan data maka pada penelitian ini digunakan data penutupan lahan. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya gerakan tanah longsor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan, dimana penutupan lahan yang langsung berhubungan dengan kemungkinan menyebabkan terjadinya tanah longsor diberikan nilai bobot yang paling tinggi sedangkan daerah yang masih tertutup oleh hutan bila terkena gerakan tanah akan memberikan bahaya yang paling rendah sehingga dalam pembobotannya diberikan nilai bobot yang paling rendah. Ada beberapa pustaka yang digunakan untuk menentukan skoring parameter penutupan lahan yaitu menurut Subhan (2006), Febriana (2004), Alhasanah (2006) dan hasil wawancara dengan beberapa ahli di Balai Penelitian Tanah (2006). Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai skoring dapat dilihat pada Tabel 6. 10

11 Tabel 6 Kelas penutupan lahan No Tipe penggunaan lahan Skor 1 Awan dan bayangan awan 0 2 Hutan / vegetasi lebat dan badan-badan air 1 3 Kebun campuran / semak belukar 2 4 Perkebunan dan sawah irigasi 3 5 Kawasan industri dan permukiman / perkampungan 4 6 Lahan-lahan kosong 5 Faktor geologi yang memicu terjadinya suatu longsor ditentukan oleh struktur batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor yang dicirikan dengan jenis batuan. Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan besar butirnya, batuan yang berbutir halus pada umumnya mempunyai bahaya terhadap gerakan tanah yang lebih tinggi, sedangkan bila dilihat dari kekompakannya maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terkena gerakan tanah. Pengkelasan jenis batuan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Pengkelasan jenis batuan No Jenis batuan Skor 1 Bahan Aluvial (Qav, Qa, a) 1 2 Bahan Volkanik-1 (Qvsl, Qvu, Qvcp, Qvl, Qvpo, Qvk, Qvba) 2 3 Bahan Sediment-1 (Tmn, Tmj) 3 4 Bahan Volkanik-2 (Qvsb, Qvst, Qvb, Qvt) dan bahan Sediment-2 (Tmb, Tmbl, Tmtb) 4 Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006) Cara untuk mengetahui sebaran daerah rawan tanah longsor dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SIG, seperti ArcView 3.3, ArcGIS, MapInfo. Dengan melakukan analisis tumpangsusun (map overlay) peta-peta tematik yang merupakan parameter fisik penentu daerah rawan longsor, yaitu peta kelas lereng, peta geologi, peta jenis tanah, peta curah hujan dan peta penutupan lahan. Penentuan tingkat daerah rawan longsor diperoleh dari pengolahan dan penjumlahan bobot nilai dari masing-masing parameter. Sehingga akan menghasilkan bobot nilai baru yang merupakan nilai potensi rawan longsor setelah parameter-parameter tersebut ditumpangsusunkan (overlay). Nilai skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor diperoleh melalui model pendugaan sedangkan pemberian bobot untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor disesuaikan dengan faktor dominan atau faktor terbesar penyebab terjadinya tanah longsor. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2004) Curah hujan merupakan faktor dominan penyebab terjadinya bencana longsor sehingga nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Curah hujan memiliki bobot sebesar 30% dari total pembobotan, sedangkan tanah dan geologi memiliki bobot yang sama yaitu 20% dan 15% merupakan bobot yang diberikan untuk faktor penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Model pendugaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2004): Skor Kumulatif = (30% x Faktor Curah Hujan) + (20% x Faktor Tanah) + (20% x Faktor Geologi) + (15% x Faktor Penggunaan Lahan + (15% x Faktor Kemiringan Lereng) 11

12 Berdasarkan hasil skor kumulatif maka daerah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; dan (iii) kurang rawan. Dengan skor kelas kerawanan: 1. Kurang rawan ( 2,5) 2. Rawan ( 2,6 3,6) 3. Sangat rawan ( 3,7) Jika hasil analisis tersebut ditumpangsusunkan pada Peta Administrasi, maka akan diperoleh informasi lokasi rawan longsor pada masing-masing kecamatan beserta luasnya. Informasinya dapat disajikan dalam bentuk tabel, sedangkan distribusinya secara spasial dapat disajikan pada Peta Lokasi Rawan Longsor. Dalam kaitannya dengan mitigasi bencana tanah longsor, maka setelah diperoleh Peta Lokasi Rawan Longsor tersebut, maka langkah selanjutnya adalah: 1. Menyebarluaskan peta tersebut pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan memberikan penyuluhan dan penjelasan tentang kemungkinan bahaya yang terjadi dan pemberian saran-saran tindakan untuk mengurangi dampaknya. Termasuk mengadakan pelatihan penanggulangan bencana kepada warga di wilayah rawan bencana. PENUTUP Peranan Sistem Informasi Geografis dalam mitigasi bencana sangatlah besar. SIG berperan baik pada saat sebelum, selama atau sesudah terjadinya bencana. Dengan SIG analisis pemodelan yang terkait dengan penyediaan peta dan informasi secara digital dapat dilakukan secara cepat, efektif dan efisien. Dengan SIG penanganan bencana akan dapat lebih terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Alhasanah Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Aronoff, Stanley Geographic Information Systems, A Management Perspective. Ottawa Canada. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air, IPB Press Balai Penelitian Tanah Penyusunan Decision Support System (DSS), Laporan akhir (tidak dipublikasikan). BNPB, 2016, Data dan Informasi Bencana Indonesia, diakses pada 17 Maret 2016 BNPB Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta. Burrough, P.A Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Oxford University Press, New York. Demers, Michael N Fundamental of Geographic Information Systems. John Wiley & Sons, Inc. 12

13 Departemen Pertanian Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Jakarta Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Manajemen Bencana Tanah Longsor. /0802.htm. diakses 17 Maret 2016 Effendi, R. S Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup, Bumi Aksara. Jakarta. Febriana, I Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Lepore, C., Arnone, E., Noto, L. V., Sivandran, G., & Bras, R. L. (2013). Physically based modeling of rainfall-triggered landslides: a case study in the Luquillo forest, Puerto Rico. Hydrology and Earth System Sciences, 17(9), Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., and Chipman, J., 2004, Remote Sensing ang Image Interpretation (5 ed.), John and Wiley Sons, New York Martin R. Degg A Database of Historical Earthquake Activity in the Middle East. Transactions of the Institute of British Geographers, New Series, Vol. 15, No. 3. Great Britain: Blackwell Publishing Martin, David Geographic Information Systems, Sosioeconomic Applications. Routledge, London and New York. Mendagri, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana Ponziani, F., Pandolfo, C., Stelluti, M., Berni, N. Brocca, L. & Moramarco, T. (2012). Assessment of rainfall thresholds and soil moisture modeling for operational hydrogeological risk prevention in the Umbria region (Central Italy). Landslides, 9(2), Purnamasari. D. C Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Evaluasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Banjarnegara (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Short, N.M., The Landsat Tutorial Workbook, NASA, Washington, DC Soepraptohardjo, M Jenis-jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Subhan Identifikasi dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebab Tanah Longsor di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Sulistyo, B., 2011, Pemodelan Spasial Lahan Kritis Berbasis Raster di DAS Merawu Kabupaten Banjar Negara melalui Intergrasi Citra Landsat ETM+ dan Sistem Informasi Geografis, Disertasi pada Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Suratman, 2012, Manajemen Bencana Berbasis Informasi Geografis Untuk Mewujudkan Kehidupan Masyarakat Yang Harmonis Dengan Alam Di Indonesia, Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis 13

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A714 Pembuatan Peta Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor dengan Menggunakan Metode Fuzzy logic (Studi Kasus: Kabupaten Probolinggo) Arief Yusuf Effendi, dan Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI TANAH LONGSOR DI KECAMATAN DLINGO, KABUPATEN BANTUL MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) TAHUN 2016

ANALISIS POTENSI TANAH LONGSOR DI KECAMATAN DLINGO, KABUPATEN BANTUL MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) TAHUN 2016 ANALISIS POTENSI TANAH LONGSOR DI KECAMATAN DLINGO, KABUPATEN BANTUL MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) TAHUN 2016 Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1 Pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

STUDI PEMANTAUAN LINGKUNGAN EKSPLORASI GEOTHERMAL di KECAMATAN SEMPOL KABUPATEN BONDOWOSO dengan SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

STUDI PEMANTAUAN LINGKUNGAN EKSPLORASI GEOTHERMAL di KECAMATAN SEMPOL KABUPATEN BONDOWOSO dengan SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI PEMANTAUAN LINGKUNGAN EKSPLORASI GEOTHERMAL di KECAMATAN SEMPOL KABUPATEN BONDOWOSO dengan SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ALDILA DEA AYU PERMATA - 3509 100 022 JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LAHAN KRITIS DAN EROSI (SILKER) MENGGUNAKAN FREE OPEN SOURCES SOFTWARE FOSS-GIS ILWIS Tahun ke 1 dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomi berada pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis Indonesia terletak di antara

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan peneliti dalam menggunakan data penelitiannya (Arikunto, 2006). Sedangkan menurut Handayani (2010), metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78 Identifikasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) Dr. Ir. M. Taufik, Akbar Kurniawan, Alfi Rohmah Putri Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di. Letak geografis Kecamatan Maja adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukahaji, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Longsor 2.1.1 Definisi Tanah Longsor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO Iqbal L. Sungkar 1, Rieneke L.E Sela ST.MT 2 & Dr.Ir. Linda Tondobala, DEA 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta lokasi penelitian

Gambar 3 Peta lokasi penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian mengenai kajian penentuan rute kereta api yang berwawasan lingkungan sebagai alat transportasi batubara di Propinsi Kalimantan Selatan ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana BAB II DISASTER MAP 2.1 Pengertian bencana Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yang dimaksud dengan bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana, termasuk bencana alam. Bencana alam merupakan fenomena alam yang dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangka dan wilayah

BAB II KAJIAN TEORITIS. kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangka dan wilayah 8 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Bencana Ada beberapa pengertian atau definisi tentang bencana, beberapa definisi cenderung merefleksi karakteristik berikut ini (Carter, 1991; UU No 24, 2007) : a. Gangguan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Disampaikan pada Workshop Mitigasi dan Penanganan Gerakan Tanah di Indonesia 24 Januari 2008 oleh: Gatot M Soedradjat PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI Jln.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB atau Badan Nasional

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI 1) Ika Meviana; 2) Ulfi Andrian Sari 1)2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) imeviana@gmail.com;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai karakteristik alam yang beragam. Indonesia memiliki karakteristik geografis sebagai Negara maritim,

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³ PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³ 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh Catur Pangestu W 1013034035 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015 ABSTRACT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekritisan Daerah Resapan Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB 1 Sari Mulyaningsih, 2 Tedy Setiadi (0407016801) 1,2 Program Studi Teknik Informatika Universitas Ahmad

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia terletak di daerah rawan bencana. Berbagai jenis kejadian bencana telah terjadi di Indonesia, baik bencana alam, bencana karena kegagalan teknologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik serta alatalat tertentu(surakhmad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Menurut Asdak (2010), daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Oleh : Baba Barus Ketua PS Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Diskusi Pakar "Bencana Berulang di Jabodetabek:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci