KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2000 PADA SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2000 PADA SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT"

Transkripsi

1 KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2000 PADA SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati, Hadirin dan hadirat yang saya muliakan, Saudara sebangsa dan se-tanah Air, Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Hari ini, dengan rasa bahagia yang dalam, saya akan melaksanakan salah satu kewajiban konstitusional Presiden, yaitu menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2000 kepada Dewan yang terhormat. Oleh karena itu, saya mengajak Pimpinan Dewan dan anggota Dewan yang terhormat untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas terselenggaranya Sidang Paripurna Dewan hari ini. Selanjutnya sebelum saya masuk ke materi APBN, terlebih dahulu saya menyampaikan Selamat Natal dan Selamat Tahun Baru 2000, Selamat Hari Raya Galungan serta Selamat Idul Fitri 1420 Hijriyah. Pemerintah mengharapkan suasana Natal, bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri serta Hari Raya Galungan akan membawa kedamaian dan hubungan yang baik antarsesama kita. RAPBN Tahun 2000 ini merupakan rencana anggaran tahun pertama yang disusun berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara Sesuai dengan arahan dalam GBHN tersebut, RAPBN Tahun 2000 merupakan masa transisi tahun fiskal yang berlaku dari 1 April hingga 31 Maret menjadi tahun kalender. Walaupun RAPBN Tahun 2000 merupakan transisi, Pemerintah tidak meninggalkan mekanisme yang baik dalam penyusunan RAPBN bersama DPR. Ketentuan peralihan ini sungguh amat penting dan memang ada kebutuhan obyektif untuk itu. Baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat sendiri harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bekerja dalam tatanan baru kehidupan

2 berbangsa dan bernegara yang diatur dalam berbagai ketetapan Majelis dalam Sidang Umum yang lalu. Dalam tatanan baru ini, titik berat kewenangan legislatif telah dialihkan dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga-lembaga Negara Tinggi lainnya bukan saja berkewajiban untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi juga harus menyampaikan laporan pelaksanaannya dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pengalaman menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dirancang dalam rangka mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia 55 tahun yang lalu itu bukan saja mengandung hal-hal positif yang harus kita pelihara baik-baik, tetapi juga memerlukan perbaikan-perbaikan. Seperti telah disepakati dalam Sidang Umum Majelis yang lalu, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap harus kita pelihara. Namun tatanan pemerintahan yang mengatur hubungan antara berbagai lembaga penyelenggara negara, perlu kita tata kembali. Langkah itu kita lakukan untuk mencegah terjadinya kembali konsentrasi dan sentralisasi kekuasaan, serta untuk memberi peluang yang sebesarbesarnya kepada seluruh potensi yang dimiliki oleh bangsa kita. Seluruhnya itu masih berlangsung dalam suasana krisis pada berbagai bidang, yang masih belum sepenuhnya dapat kita atasi. Kita menghadapi pilihan-pilihan yang tidak mudah, yang perlu dipikirkan baik-baik sebelum diambil keputusan yang mengikat. Akumulasi masalah yang telah bertumpuk demikian lama jelas tidak bisa kita selesaikan secara serentak. Adalah jelas bahwa terlebih dahulu kita harus mengambil langkah-langkah penyelamatan berjangka pendek, bukan sekadar untuk mengatasi rangkaian krisis, tetapi juga sebagai tumpuan untuk dapat bergerak ke tahap lebih lanjut. Di tengah suasana keresahan dan kegelisahan dalam menghadapi demikian banyak masalah nasional dewasa ini, kita patut bersyukur bahwa terdapat indikasi awal yang meyakinkan bahwa sebagai bangsa kita masih mempunyai daya tahan dan potensi untuk bangkit kembali. Daya tahan dan potensi ini jelas merupakan efek sinergi yang tumbuh dari kombinasi keseluruhan kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang majemuk ini. Kita juga patut bersyukur bahwa negara-negara sahabat memahami beratnya masalah yang harus kita atasi, dan menyambut baik kebijakan nasional yang kita sepakati untuk menghadapi masa depan. Pemerintah menyadari sungguh-sungguh, bahwa masalah sosial politik dan keamanan juga merupakan prioritas nasional yang harus kita tangani, sebagai prakondisi yang diperlukan untuk memulihkan kembali kehidupan perekonomian kita. Berbagai kebijakan mendasar serta tindakan nyata berjangka pendek telah, sedang, dan akan diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Kebijakan mendasar serta tindakan nyata tersebut masih perlu dikembangkan dengan bekerja sama seerat-eratnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun dalam kesempatan menyampaikan keterangan tentang RAPBN Tahun 2000 ini, yang hanya akan berlaku selama sembilan bulan saja, yaitu dari tanggal 1 April sampai dengan 31 Desember 2000, izinkanlah Pemerintah memusatkan perhatian pada penanganan masalah ekonomi. Keterangan berikut ini secara berturut-turut mencakup

3 pokok-pokok keterangan mengenai kondisi umum perekonomian kita, visi Pemerintah tentang kerangka ekonomi jangka menengah, prakondisi yang diperlukan untuk pembangunan kembali ekonomi nasional, serta pokok-pokok kebijakan penyusunan RAPBN Tahun 2000 sebagai kerangka ekonomi jangka pendek. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati, Sebagai titik tolak dalam penyusunan RAPBN tahun ini, dapat dicatat bahwa perekonomian dunia dalam tahun 1999 diperkirakan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bila pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi dunia adalah sebesar 2,5 persen, dalam tahun 1999 diperkirakan tumbuh sebesar 3,0 persen. Dalam tahun 2000 perekonomian dunia diperkirakan bahkan tumbuh semakin baik menjadi 3,5 persen. Dalam pada itu, negara-negara Asia yang mengalami krisis ekonomi paling berat seperti Korea Selatan, Thailand, Indonesia, dan Malaysia, secara berangsur-angsur telah pulih kembali dan mulai mengalami pertumbuhan yang positif dalam tahun Perkembangan yang cukup baik dalam perekonomian nasional ditunjukkan dengan ekspansi sebesar 3,1 persen pada triwulan kedua tahun 1999, yang kemudian disusul dengan peningkatan 0,54 persen dalam triwulan ketiga. Dengan demikian dalam Tahun Anggaran 1999/2000, perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan antara 1 sampai 2 persen. Dalam Tahun Anggaran 2000, pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan akan lebih cepat, yaitu mencapai sekitar 3 sampai 4 persen. Sebagai hasil dari berbagai kebijakan Pemerintah, di antaranya pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati, cukup tersedianya pasokan kebutuhan pokok, lancarnya distribusi barang dan jasa, dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah, pertumbuhan indeks harga konsumen (IHK) di 43 kota (di luar kota Dili) selama sembilan bulan pertama Tahun Anggaran 1999/2000 cukup terkendali. Selama periode tersebut, terjadi inflasi sebesar minus 2,61 persen, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun anggaran sebelumnya yaitu sebesar 40,70 persen. Kebijakan moneter yang berhati-hati telah memperkuat nilai tukar rupiah dalam Tahun Anggaran 1999/2000 (sampai dengan November 1999) jika dibandingkan dengan akhir tahun anggaran sebelumnya. Nilai tukar rupiah tersebut dalam Tahun Anggaran 2000 (April-Desember 2000) diperkirakan sebesar Rp7.000,00 per US$ 1. Sejalan dengan mulai menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya laju inflasi, suku bunga perbankan juga mulai bergerak turun. Hal tersebut telah menyebabkan negative spread berangsur-angsur turun pula. Perkembangan pasar modal selama Tahun Anggaran 1999/2000 (sampai dengan Desember 1999) juga menunjukkan indikasi yang semakin meningkat, seiring dengan adanya tanda-tanda ke arah perbaikan dalam kegiatan perekonomian. Semakin

4 kondusifnya situasi sosial politik sebagai hasil pelaksanaan Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR yang berjalan lancar dan aman, telah memicu pelaku pasar untuk aktif berinvestasi di pasar modal. Jumlah perusahaan emiten di pasar modal bertambah 15 perusahaan, yaitu 9 perusahaan emiten saham dan 6 perusahaan emiten obligasi. Selain itu, kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga mencerminkan pulihnya kegiatan pasar modal. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp167,3 triliun menjadi Rp451,8 triliun atau meningkat sebesar 170,05 persen. Dalam Tahun Anggaran 1999/2000, nilai ekspor yang mencakup ekspor migas dan ekspor nonmigas diperkirakan mencapai US$ juta atau meningkat 12,0 persen dibandingkan nilai ekspor dalam tahun anggaran sebelumnya, yang hanya sebesar US$ juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 yang hanya 9 bulan itu, nilai ekspor diperkirakan akan mencapai US$ juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ juta dan ekspor nonmigas US$ juta. Sementara itu, nilai impor dalam Tahun Anggaran 1999/2000, yang terdiri dari impor migas dan impor nonmigas diperkirakan mencapai US$ juta. Angka tersebut menunjukkan peningkatan 7,3 persen dibandingkan dengan nilai impor dalam Tahun Anggaran 1998/1999 yang besarnya US$ juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 nilai impor diperkirakan mencapai US$ juta yang terdiri dari impor migas sebesar US$ juta dan impor nonmigas US$ juta. Dengan perkembangan ekspor dan impor yang membaik tersebut, neraca perdagangan dalam Tahun Anggaran 1999/2000, diperkirakan surplus US$ juta atau lebih tinggi 20,2 persen dibandingkan surplus dalam tahun anggaran sebelumnya yang hanya sebesar US$ juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 neraca perdagangan ini diperkirakan akan mengalami surplus sebesar US$ juta. Walaupun telah terdapat gejala perbaikan, kita tetap menghadapi masalah yang berat. Dalam Tahun Anggaran 1999/2000 lalu lintas modal, yang mencakup lalu lintas modal Pemerintah dan lalu lintas modal swasta, diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US$ juta. Dalam tahun anggaran tersebut, lalu lintas modal Pemerintah mengalami surplus US$ juta, sedangkan lalu lintas modal swasta mengalami defisit US$ juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 lalu lintas modal diperkirakan mengalami surplus US$ 214 juta. Adanya perbaikan dalam perdagangan luar negeri tersebut juga akan terlihat pada penurunan debt service ratio (DSR) nasional dalam Tahun Anggaran 1999/2000 yang diperkirakan sebesar 54,0 persen, bila dibandingkan dengan Tahun Anggaran 1998/1999 yang besarnya 57,4 persen. Dalam Tahun Anggaran 2000, DSR nasional diperkirakan sebesar 47,2 persen yang terdiri dari DSR Pemerintah sebesar 12,8 persen dan DSR swasta sebesar 34,4 persen. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,

5 Baik dalam penyusunan RAPBN Tahun 2000 ini maupun dalam mempertimbangkan PROPENAS dan REPETA, Pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi umum yang diuraikan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tentang latar belakang dan akar masalah dari berbagai krisis yang kita hadapi dalam tiga tahun belakangan ini. Seiring dengan itu Pemerintah menelaah dengan teliti visi, misi, dan arah kebijakan yang telah ditetapkan Majelis, yang meliputi bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial dan budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Tetapi dalam mengantarkan RAPBN Tahun 2000, perkenankan Pemerintah menitikberatkan bidang ekonomi, dan menyampaikan visi tentang kerangka ekonomi jangka menengah yang diperlukan dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah selanjutnya. Sebagai sikap dasar dan titik tolak, kita perlu mengembangkan kekuatan ekonomi kerakyatan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Perlu diupayakan agar tercipta peluang yang lebih adil dan merata bagi seluruh rakyat, dan sekaligus menciptakan perekonomian yang lebih efisien dan tahan goncangan. Dalam kaitan itu peran aktif masyarakat secara luas ditingkatkan, terutama dari anggota masyarakat yang sebagian besar masih tertinggal, melalui penciptaan peluang untuk maju dan berdaya. Kemajuannya dan keberdayaannya bukan saja bermanfaat bagi yang bersangkutan, melainkan juga akan lebih mampu menyumbang untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Dalam pembangunan nasional di masa depan, rakyat adalah pelaku utama pembangunan. Oleh karenanya akan dikembangkan rangkaian kebijakan yang dapat mendukung partisipasi masyarakat secara luas, seperti kebijakan ketenagakerjaan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kebijakan ketenagakerjaan ada tiga agenda pokok yang akan diberi perhatian: Pertama, mengurangi pengangguran dan memulihkan kegiatan dunia usaha. Upaya mendorong kegiatan dunia usaha terutama diarahkan pada aktivitas yang potensial bagi pemulihan ekonomi seperti peningkatan ekspor dan perdagangan. Khusus bagi usaha kecil dan menengah (UKM), yang banyak menyerap tenaga kerja, upaya yang akan ditempuh terutama dengan menghapuskan seluruh hambatan yang masih ada, serta dengan memberikan dukungan langsung jika hal itu benar-benar dibutuhkan dan dapat dilakukan secara efektif. Selanjutnya akan dilakukan penyempurnaan pelaksanaan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) padat karya dan pengatasan kemiskinan yang diarahkan untuk menyerap tenaga kerja setempat, termasuk mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis. Kedua, mendorong mobilitas tenaga kerja lintas kegiatan ekonomi, dengan pelatihan yang sistematis dan terarah. Berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai latihan kerja selama ini, program pelatihan sebaiknya dirancang dan dilakukan oleh sektor swasta. Peranan Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai katalisator bagi tercapainya realokasi sumber daya manusia.

6 Ketiga, pasar tenaga kerja diharapkan akan semakin luwes. Untuk mendukungnya, diperlukan pembenahan kembali berbagai peraturan ketenagakerjaan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) antara lain dilakukan melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan. Prioritas pembangunan kesehatan perlu dipertajam agar sasaran utamanya, yaitu kelompok masyarakat kurang mampu, mendapat porsi dana yang memadai. Dalam jangka menengah peranan dana kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan. Seiring dengan proses desentralisasi, kewenangan dalam menggunakan dana yang tersedia diserahkan kepada kabupaten/kotamadya sehingga kegiatan-kegiatan yang dikembangkan akan lebih mencerminkan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Nantinya, sejalan dengan meningkatnya pembangunan dan tersedianya dana yang memadai bagi program pembangunan kesehatan masyarakat, tarif bagi golongan masyarakat yang benar-benar tidak mampu perlu diturunkan. Rumah-rumah sakit perlu didorong untuk dapat membiayai kegiatannya sehingga dana yang terbatas dapat dialokasikan untuk meningkatkan program kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit menular. Peranan sektor swasta dalam pembangunan kesehatan juga perlu diperluas antara lain dalam pengembangan asuransi dan industri farmasi nasional. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah akan diusahakan penyempurnaan sistem pengembangan karir bagi guru dan peningkatan efektivitas penggunaan dana yang ada. Penyelesaian tumpang tindih kewenangan antara Departemen Pendidikan Nasional dengan Departemen Dalam Negeri, dan penyederhanaan peningkatan karir guru dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan, akan diberi perhatian. Dengan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah dalam rangka desentralisasi, masalah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan karir guru perlu diselesaikan. Selanjutnya keterkaitan antara program di dalam sektor pendidikan dan keluwesan dalam penggunaan dana juga perlu ditingkatkan. Dengan keterbatasan keuangan negara saat ini, sasaran dan jadwal program wajib belajar 9 tahun akan disesuaikan. Di samping itu perlu dilakukan pembenahan kurikulum pada pendidikan SD dan sekolah lanjutan. Masalah lain yang perlu dituntaskan adalah kaitan antara pembangunan pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja. Sasaran yang ingin kita capai adalah agar pendidikan dapat menghasilkan tenaga kerja yang terlatih dan profesional. Dalam rangka peningkatan keterampilan, peran lembaga pendidikan keterampilan oleh swasta perlu ditingkatkan. Peran swasta dalam pembangunan pendidikan tinggi perlu terus diperbesar. Otonomi pendidikan tinggi negeri perlu diperluas untuk menggali sumber dana pendidikan dan mengembangkan kurikulum, termasuk dengan membuka peluang untuk menyelenggarakan kerja sama dengan sekolah terkemuka di luar negeri. Demikian pula sistem insentif bagi tenaga pengajar di perguruan tinggi perlu disempurnakan, antara lain dalam pengangkatan guru besar dan penghargaan terhadap penelitian. Untuk memelihara kualitas perguruan tinggi serta untuk mencegah berkembangnya pemberian gelar-gelar akademik oleh lembaga-lembaga yang tidak jelas asal usulnya, pengawasan kualitas melalui Badan Akreditasi Nasional perlu diperkuat. Langkah-langkah ini akan

7 mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi yang saat ini dihadapkan pada keterbatasan dana dan rendahnya mutu tenaga pengajar. Kita sadar bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tidak saja ditentukan oleh ketersediaan faktor produksi yaitu modal dan tenaga kerja, tetapi lebih ditentukan oleh peningkatan produktivitas dalam perekonomian. Unsur yang sangat penting dalam mendorong produktivitas ini adalah penguasaan dan penerapan teknologi. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kapasitas penguasaan dan penerapan teknologi ini karena mekanisme pasar cenderung tidak menyediakan teknologi secara luas. Kerja sama antara lembaga riset dengan kalangan dunia usaha mutlak perlu ditingkatkan agar terjalin sinergi yang saling menguntungkan. Kerja sama dimaksud paling tidak mencakup pertukaran informasi mengenai teknologi yang dikembangkan oleh lembaga riset dan kebutuhan teknologi yang diperlukan oleh dunia usaha. Melalui penyebaran informasi ini, maka akses pada peningkatan dan penerapan teknologi di sektor usaha dapat ditingkatkan. Selain langkah-langkah untuk memperluas partisipasi rakyat dalam pembangunan seperti diuraikan di atas, ke depan juga perlu diupayakan untuk menarik investor lebih banyak lagi ke daerah-daerah. Hal ini tentunya akan sangat tergantung kepada iklim investasi di daerah dan ketersediaan prasarana ekonomi yang saat ini memang dirasakan masih belum mendukung. Konsentrasi kegiatan, terutama industri, sebagian besar masih berlokasi di dekat kota-kota besar di Jawa. Namun sejalan dengan semangat desentralisasi, perlu terus diupayakan agar daerah-daerah di luar Jawa dapat lebih berkembang dengan dukungan pemerintahan setempat yang andal. Langkah untuk itu sudah dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang bertujuan untuk mewujudkan desentralisasi secara nyata. Makna yang paling hakiki dari kebijakan desentralisasi pemerintahan yang akan memberi otonomi yang luas kepada daerah terletak pada kewenangan-kewenangan untuk mengambil keputusan dan memberi pelayanan. Dengan kewenangan itu, setiap Pemerintah Daerah diharapkan mengembangkan kreativitasnya, melahirkan berbagai kebijakan, memperbaiki kualitas pelayanan, menciptakan iklim yang kondusif bagi pemberdayaan masyarakat di berbagai lapangan kehidupan, serta membangun prasarana dan sarana sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa pembicaraan tentang otonomi daerah tidak seyogyanya terfokus hanya pada tema pembagian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pilihan tema yang terfokus pada masalah perimbangan keuangan saja bisa menggiring kita pada suasana kesenjangan secara terus menerus. Di satu pihak hal itu akan menciptakan ketidakpuasan pada daerah yang memiliki potensi pendapatan yang besar, karena tuntutan maksimal yang mereka ajukan akan sangat sulit dipenuhi oleh Pemerintah Pusat. Padahal pada saat yang sama Pemerintah Pusat bertanggung jawab mengelola administrasi pemerintahan negara serta melakukan kebijakan subsidi silang ke daerah-daerah yang berpendapatan kecil. Di lain pihak, tema itu juga akan menciptakan

8 kekhawatiran yang luas di daerah-daerah yang berpenghasilan kecil, yang dalam kenyataan merupakan bagian terbesar dari negeri kita. Harapan mereka untuk memperoleh subsidi dari Pemerintah Pusat bisa punah jika porsi pendapatan yang harus diberikan Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah yang kaya meningkat secara drastis. Berdasarkan pertimbangan itu, maka seraya melaksanakan kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah secara bertahap, Pemerintah mengharapkan agar Pemerintah Daerah dan masyarakat di daerah-daerah, khususnya yang tidak memperoleh pendapatan dari sumber daya alam, dapat mengoptimalkan upaya kreatifnya dalam melaksanakan dan memanfaatkan kewenangan-kewenangan yang akan diberikan oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan di berbagai sektor pemerintahan itu bisa dikelola sedemikian rupa antara lain untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, memudahkan proses perizinan usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan pelestarian lingkungan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu mempertimbangkan kebutuhan pengeluarannya secara realistis, sesuai dengan tugas-tugas fungsional dan kewenangan antara pusat dan daerah yang disepakati dan sumber-sumber penerimaan yang ada. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara penyerahan hak penerimaan dari Pemerintah Pusat dengan tanggung jawab pengeluaran dari Pemerintah Daerah. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang terhormat, Dampak negatif globalisasi terutama di sektor keuangan telah menjadi pemicu krisis ekonomi. Namun, harus berani diakui bahwa parahnya krisis ekonomi yang dialami juga disebabkan karena lemahnya institusi-institusi yang ada. Apabila institusi-institusi yang ada cukup kuat dan bebas dari benih-benih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta bekerja sesuai dengan standar manajemen modern, maka krisis tersebut sudah barang tentu tidak akan selama, seluas, dan sedalam seperti yang terjadi. Oleh karena itu, pembenahan institusi secara menyeluruh merupakan langkah utama dalam mengatasi krisis serta kunci dalam melanjutkan pembangunan yang berkesinambungan. Langkah ini sekaligus mencegah terjadinya krisis di masa datang. Kita harus selalu bersiap diri, karena sebagai konsekuensi globalisasi ancaman gejolak dari luar akan lebih sering ditemui. Dengan institusi-institusi yang berfungsi baik, ketahanan nasional akan meningkat. Bahkan kemajuan dan pembangunan akan lebih mudah diupayakan. Dalam jangka pendek upaya mendesak yang harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi adalah mempertahankan stabilitas ekonomi dan membenahi dunia perbankan dan dunia usaha yang dianggap menjadi akar penyebab krisis.

9 Selama dua tahun terakhir, 1998 dan 1999, untuk menstabilkan nilai rupiah dan menghindari hiperinflasi, telah ditempuh kebijakan moneter yang ketat dengan sangat membatasi pertumbuhan jumlah uang beredar. Sementara itu posisi penerimaan dan pengeluaran negara juga dirancang untuk memberikan stimulus fiskal agar perekonomian tidak merosot lebih jauh. Untuk itu dilakukan defisit anggaran negara. Namun, agar kebijakan fiskal tetap selaras dengan kebijakan moneter, pembiayaan defisit tidak dilakukan dengan menambah jumlah uang beredar tetapi dengan meminjam dari luar negeri. Seiring dengan tanda-tanda perbaikan ekonomi, untuk satu atau dua tahun ke depan stimulus fiskal tetap diperlukan, tetapi secara bertahap diturunkan. Sedangkan kebijakan moneter mulai dilonggarkan untuk mendongkrak aktivitas perekonomian. Dalam tahuntahun berikutnya diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat sudah pulih kembali sehingga tidak diperlukan lagi stimulus fiskal tersebut dan secara bertahap defisit anggaran negara dapat dihapuskan untuk mencapai keadaan fiskal yang kurang lebih seimbang sehingga dapat berkelanjutan. Dengan tercapainya kestabilan ekonomi makro secara umum, diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Khususnya perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor diharapkan dapat memanfaatkan momentum pemulihan yang mulai terasa. Bangkitnya kembali perekonomian nasional akan meningkatkan permintaan domestik dan daya beli masyarakat. Rasa percaya diri kita akan ikut pulih. Sama pentingnya dengan upaya untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, maka dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi, upaya mendesak yang harus dilakukan adalah mengatasi akar penyebab krisis, yaitu menuntaskan pembenahan kelembagaan ekonomi melalui upaya pemulihan dunia perbankan dan dunia usaha. Keduanya merupakan program dengan sasaran pemulihan ekonomi sekaligus sasaran meletakkan landasan pembangunan berkelanjutan. Upaya pemulihan dunia usaha dan perbankan ini terkait erat satu dengan lainnya dan harus dilaksanakan bersama-sama. Besarnya jumlah kredit macet dari perusahaan hampir menghapuskan ruang gerak perbankan. Tanpa aliran dana dari perbankan, perusahaan sulit bergerak kembali dan memenuhi kewajibannya kepada perbankan. Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukan restrukturisasi perbankan dan perusahaan sekaligus. Banyak pihak mempertanyakan besarnya biaya yang harus ditanggung negara. Pilihan tersebut memang harus ditempuh mengingat alternatif pilihan kebijakannya tidak banyak dan tidak lebih baik. Perlu ditegaskan bahwa program restrukturisasi perbankan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip menekan biaya sekecil-kecilnya dan sekaligus untuk tetap melindungi para penabung yang jumlahnya jutaan orang. Para pemilik bank menduduki urutan pertama yang harus menanggung biaya ini. Selain itu sedapat mungkin harus diupayakan untuk mendapatkan kembali aset-aset perbankan. Para pemilik bank dan pengelola bank serta debitur-debitur bank yang tidak kooperatif dan terbukti melakukan kecurangan-kecurangan akan diajukan ke pengadilan.

10 Secara keseluruhan dana rekapitalisasi saat ini sudah mencapai lebih dari Rp 500 triliun yang sebagian besar ditanggung oleh Pemerintah. Ini berarti beban anggaran Pemerintah di tahun-tahun mendatang akan sangat berat. Karena itu kita semua harus bersungguhsungguh melaksanakan program yang sangat penting ini. Dalam kaitan ini, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah diberi kewenangan sepenuhnya untuk melakukan restrukturisasi perbankan. Karena itu BPPN harus bersikap tegas dan mampu bekerja dalam kecepatan yang tinggi dan dengan hasil yang memadai. Pemerintah bertekad akan terus melakukan pembenahan untuk mewujudkan sistem perbankan nasional yang kuat dan sehat serta mampu beroperasi dengan standar internasional. Upaya pembenahan dunia usaha melalui restrukturisasi utang swasta dan sektor riil diarahkan untuk membangkitkan kembali dan sekaligus memperkokoh kemampuan dunia usaha nasional. Hingga kini secara keseluruhan baru sebagian kecil utang swasta yang telah berhasil direstrukturisasi melalui mekanisme Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta. Penyelesaian utang swasta ini perlu dipercepat untuk mengembalikan citra dan kepercayaan luar negeri terhadap kredibilitas usaha nasional. Sampai saat ini, restrukturisasi perbankan dirasakan lamban penanganannya yang antara lain disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang perusahaan. Program restrukturisasi utang perusahaan ini melibatkan ribuan perusahaan dalam negeri dan kreditur di banyak negara. Prinsip Pemerintah dalam penyelesaian masalah utang perusahaan adalah tidak mengambil alih beban perusahaan. Untuk itu Pemerintah secara terus-menerus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya kesepakatan yang menguntungkan baik bagi pihak debitur maupun kreditur. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan memastikan proses kepailitan agar berjalan dengan baik yaitu dengan meningkatkan fungsi peradilan niaga, mempermudah prosedur investasi, menyelesaikan kewajiban-kewajiban pajak yang berhubungan dengan penyitaan dan penggabungan usaha (merger) dan mengembangkan kebijakan nasional dalam pengelolaan perusahaan swasta (corporate governance). Untuk memacu proses penyelesaian utang perusahaan yang berarti pula mendukung proses restrukturisasi perbankan, bagi debitur yang kooperatif akan diberikan pemotongan utang. Langkah ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Debitur yang berhak adalah hanya yang tidak melakukan penyimpangan seperti mark up dan penyalahgunaan kredit. Di samping itu, yang dipotong hanya bunga atau denda dan bukan utang pokok. Dengan demikian, ada insentif untuk menyelesaikan restrukturisasi perbankan, tetapi dengan tetap menekan sekecil mungkin biayanya. Seperti disebutkan tadi, langkah-langkah reformasi dan pemulihan ekonomi memerlukan waktu. Sementara itu, dampak krisis sudah merupakan beban berat bagi sebagian besar rakyat. Dalam keadaan sektor swasta yang lemah, campur tangan Pemerintah diperlukan. Instrumennya adalah kebijakan fiskal dengan program utamanya adalah JPS. Karena itu dalam waktu satu atau dua tahun ke depan program JPS ini akan diteruskan. Segala kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan JPS di masa lalu diupayakan untuk terus

11 dihilangkan, berdasarkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk masukan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat pers. Dari uraian tersebut di atas, jelas terlihat bahwa kebijakan fiskal memang dirancang untuk meringankan beban rakyat, dan secara makro menahan merosotnya perekonomian. Dilema yang kita hadapi adalah kebutuhan yang meningkat ini justru dihadapkan pada sumber penerimaan yang terbatas. Karena itu pinjaman luar negeri masih diperlukan. Karena itu pula untuk tahun-tahun mendatang perlu dilakukan pergeseran titik berat kebijakan secara bertahap, yaitu dari kebijakan stimulus fiskal menuju kemampuan fiskal yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya peningkatan mobilisasi sumber daya dalam negeri serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana anggaran. Dengan demikian diharapkan akan ada pengurangan pinjaman terutama pinjaman luar negeri. Langkah-langkah tersebut telah dimulai. Berbagai peraturan perpajakan termasuk insentif perpajakan dikaji secara menyeluruh untuk memperkuat dan meningkatkan penerimaan pajak. Untuk memperingan beban anggaran dan sekaligus menjaga likuiditas neraca pembayaran perlu ditempuh berbagai upaya dalam pengelolaan utang luar negeri. Pembiayaan luar negeri bersih, yang merupakan selisih antara pencairan pinjaman baru dan pembayaran pokok utang, tidak mungkin terus dipertahankan pada tingkat sekarang ini. Cara pembiayaan yang meningkatkan stok utang seperti ini harus dihindari dengan mengupayakan pengeluaran anggaran yang disesuaikan dengan penerimaannya. Sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, tingkat pinjaman luar negeri diupayakan menurun setiap tahunnya. Jika hal ini dapat terlaksana, pada tahun 2004 pembayaran kembali utang luar negeri diperkirakan akan lebih besar dibandingkan pinjaman baru, sehingga stok utang luar negeri berangsur turun. Dalam hal negosiasi pinjaman luar negeri yang baru, perlu diupayakan persyaratan pinjaman (terms and conditions) yang memperingan beban pembayarannya. Sementara itu produk domestik bruto (PDB) terus meningkat sehingga rasio utang luar negeri terhadap PDB menurun. Dalam kaitan pemanfaatannya, pengeluaran anggaran, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari utang luar negeri, perlu dikaji secara menyeluruh dan prioritasnya perlu dipertajam. Jika proyek-proyek yang sudah disetujui didanai menunjukkan hambatan dalam persiapan pelaksanaannya ataupun kinerja pelaksanaannya sangat buruk, maka proyek-proyek tersebut dibatalkan. Selanjutnya, pinjaman baru, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran untuk membayar kembali dan penggunaannya untuk kegiatan ekonomi produktif dan dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien. Dalam kaitan itu pengelolaan pinjaman luar negeri dilakukan secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya lain untuk membantu program pemulihan ekonomi adalah dengan melakukan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Program ini bertujuan mendayagunakan BUMN-BUMN yang kinerjanya lemah dengan meningkatkan efisiensi, profitabilitas, dan mutu pelayanannya agar tercipta landasan untuk pertumbuhannya. Tujuan lainnya adalah

12 akan memperkuat keuangan negara, memperluas kepemilikannya, serta memperkuat sektor riil. Agenda pembangunan lainnya adalah reformasi ekonomi. Agar tercipta peluang yang lebih adil dan merata bagi seluruh rakyat, dan sekaligus menciptakan perekonomian yang lebih efisien dan tahan goncangan, maka secara sungguh-sungguh upaya untuk menghapuskan berbagai distorsi ekonomi harus ditingkatkan. Untuk itu, berbagai aturanmain diperbaiki. Dalam waktu dekat akan segera diterbitkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu juga akan dihapuskan berbagai tataniaga dan perlakuan khusus, serta berbagai peraturan yang membatasi perdagangan antarpropinsi dan antarpulau. Praktik-praktik dan peraturan-peraturan seperti itu, selain menghambat arus barang dan sumber daya ekonomi yang harus diperbolehkan untuk bergerak cepat untuk memulihkan kegiatan ekonomi, juga menjadi sumber KKN. Keberhasilan upaya-upaya ini menjadi kunci untuk peningkatan kualitas dan daya saing produk nasional, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Pelaksanaan program pemulihan dan reformasi ekonomi akan meletakkan landasan yang kuat bagi bekerjanya mekanisme pasar yang sehat, adil, dan beretika. Jika kesemuanya itu dapat terwujud, maka seluruh lapisan masyarakat akan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengembangkan usahanya. Reformasi di berbagai bidang, meskipun di sanasini masih ada kekurangan, telah menghasilkan sinergi dalam mengatasi krisis. Momentum ini harus dipertahankan di masa datang. Caranya hanya satu, yaitu meneruskan reformasi yang sudah dimulai. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati, Visi tersebut di atas hanya dapat terwujud secara berkelanjutan jika kita mampu menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk itu. Langkah utama dalam jangka menengah adalah mengembangkan dan memperkuat kelembagaan, khususnya dua pilar utama untuk tercapainya good governance, yaitu pengelolaan pemerintahan serta sistem hukum dan peradilan yang baik. Perubahan yang menjadi tuntutan masyarakat mencakup berbagai dimensi dan sisi, terutama mengenai sikap dan tanggung jawab dalam pengelolaan pemerintahan. Dalam era reformasi, keterbukaan (transparancy) dan kebertanggungjawaban (accountability) akan diwujudkan dan terus dikembangkan. Keterbukaan memungkinkan proses pengambilan keputusan dan kebijakan selalu dapat diawasi dan dimintakan pertanggungjawabannya. Kebijakan-kebijakan publik dituntut untuk transparan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk selalu menguntungkan rakyat banyak. Karena itu kebijakan publik yang berdampak luas pada rakyat akan terus dibahas secara terbuka sebelum ditetapkan. Pembahasan terbuka ini akan meningkatkan kualitas kebijakan, menghilangkan KKN, dan menjamin

13 dipenuhinya harapan masyarakat meskipun pada awalnya kadangkala mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang berat bagi rakyat. Keterbukaan yang lebih luas dimaksudkan untuk mendorong sikap aparatur negara agar lebih memihak dan melayani masyarakat. Di samping itu, langkah pembenahan mendasar akan diterapkan pada aparatur pemerintah karena sistem pemerintahan yang efektif sangat tergantung pada kinerja aparatur pemerintah. Rendahnya kinerja aparatur pemerintah terutama disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, sistem pengawasan yang lemah. Kedua, sistem penggajian yang kurang memadai. Ketiga, jumlah aparatur pemerintah yang berkelebihan. Ketiga faktor ini dapat menjadi pendorong bagi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sistem penilaian dan pengawasan merupakan hal yang sangat penting bagi peningkatan kinerja lembaga. Dewasa ini proses penilaian prestasi aparatur pemerintah sangat lemah, tingkat subyektivitas yang sangat tinggi, dan sangat kurangnya tindakan tegas yang diambil bagi mereka yang mempunyai kinerja buruk dan menyalahgunakan wewenang. Jika ini terjadi pada tingkat pimpinan, akibatnya adalah menurunnya semangat aparat di tingkat yang lebih bawah, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sistem penggajian yang ada secara tidak langsung mendorong aparatur pemerintah untuk tidak mengindahkan peraturan yang ada. Sistem penggajian tersebut mengakibatkan kurangnya insentif untuk meningkatkan prestasi dan karir, mengakibatkan ketergantungan Pemerintah pada hubungan paternal dan loyalitas pada individu, serta mendorong penyalahgunaan wewenang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dengan sistem pengawasan yang lemah, sering didapati perbedaan taraf kesejahteraan yang mencolok bahkan diantara aparatur pemerintah pada jenjang kepangkatan yang sama. Hambatan utama untuk meningkatkan gaji aparatur pemerintah adalah besarnya dana yang harus disediakan. Dalam jangka panjang, salah satu jalan keluarnya adalah mengurangi jumlah pegawai negeri yang berkelebihan. Namun, adalah jelas bahwa jalan keluar ini tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek karena dapat menimbulkan masalah sosial politik dan sosial ekonomi baru yang tidak kalah beratnya. Dalam jangka pendek, langkah yang dapat dilakukan meliputi empat hal. Pertama, memperbaiki sistem penggajian yang mengarah pada peningkatan produktivitas pegawai negeri dan pelayanan kepada masyarakat secara luas. Kedua, meningkatkan efektivitas pengawasan, termasuk dari masyarakat, terhadap tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Upaya tersebut disertai dengan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran. Ketiga, mempersiapkan penyaluran pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah termasuk penyusunan insentif yang dibutuhkan. Keempat, menyusun sistem rekrutmen bagi calon pegawai baru berdasarkan kebutuhan nyata dan dengan seleksi yang terbuka dan ketat.

14 Dalam jangka menengah, langkah yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan meliputi tiga hal. Pertama, mendorong pengurangan jumlah aparatur pemerintah secara bertahap dengan kompensasi yang memadai bagi yang mengundurkan diri secara sukarela atau memberikan pelatihan bagi yang ingin disalurkan ke sektor swasta. Kedua, secara berangsur-angsur mengurangi jumlah pegawai yang tugas dan fungsinya telah dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat; kepada mereka tetap diberikan gaji pokok sampai pensiun. Ketiga, menerapkan sistem kepegawaian yang baru untuk seluruh aparatur pemerintah yang didasarkan pada kinerja dan kebutuhan nyata, termasuk perlunya dipertimbangkan penerapan sistem kontrak kerja. Seperti disebutkan di atas, dua pilar utama untuk menciptakan good governance adalah mengembangkan dan memperkuat pengelolaan pemerintah termasuk reformasi aparatur pemerintah seperti yang baru saja diuraikan, serta mengembangkan dan memperkuat sistem hukum dan perundang-undangan. Reformasi di bidang hukum dan perundangundangan merupakan keharusan bagi pemulihan ekonomi dan kelangsungan pembangunan. Kepastian hukum akan menegakkan keadilan dan mengurangi risiko dalam berusaha, yang dewasa ini masih dirasakan belum memenuhi harapan. Untuk itu perlu dilaksanakan paling tidak tiga langkah perbaikan secara bersamaan. Pertama, menyempurnakan dan menjabarkan undang-undang yang ada. Sebagai contoh adalah Undang-Undang tentang Kepailitan dan Undang-Undang tentang Peradilan Niaga untuk memutuskan kasus-kasus perusahaan yang pailit. Di samping itu juga sedang dikembangkan sistem pencatatan aset dan undang-undang yang menjamin keberadaan agunan. Sistem pencatatan dan undang-undang ini akan mengurangi risiko yang dihadapi kreditur karena penggunaan jaminan yang sama untuk mendapatkan kredit yang berbeda, seperti yang dilakukan sebagian debitur di masa lalu yang mengakibatkan membengkaknya kredit macet. Kedua, melakukan reformasi pada sistem peradilan. Peradilan yang mandiri dan profesional merupakan prioritas utama di bidang ini. Ketiga, reformasi hukum administrasi pemerintahan yang diarahkan untuk menghindarkan tumpang-tindih antara peraturan yang diterbitkan suatu lembaga pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati, Setelah memaparkan kondisi perekonomian nasional kita dewasa ini, yang diikuti oleh visi Pemerintah tentang kerangka ekonomi jangka menengah serta prakondisi yang diperlukan untuk keberhasilan kembali ekonomi nasional, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan tentang dasar-dasar penyusunan RAPBN Tahun 2000 sebagai kerangka ekonomi jangka pendek. RAPBN Tahun 2000 ini disusun secara realistis agar dapat memberikan gambaran secara tepat, jelas, dan transparan kepada DPR, para pelaku pasar di dalam dan di luar negeri, dan masyarakat luas, mengenai arah, sasaran, dan strategi kebijakan fiskal di dalam mendukung program pembaharuan struktural menuju pemulihan ekonomi nasional.

15 Dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, mulai Tahun Anggaran 2000 akan dilakukan perubahan terhadap struktur dan format APBN, mendekati standar statistik keuangan pemerintah (Government Finance Statistics) yang berlaku secara internasional. Berdasarkan format baru tersebut, APBN yang sebelumnya disusun berdasarkan prinsip anggaran berimbang dan dinamis, diubah menjadi anggaran defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Dilakukannya perubahan struktur dan format RAPBN Tahun 2000 antara lain dimaksudkan untuk: a. Meningkatkan transparansi, mengingat dalam struktur baru tersebut secara jelas dapat tergambar besarnya defisit anggaran, kemampuan sumber pembiayaan dari dalam negeri, serta ketergantungan anggaran negara terhadap pembiayaan luar negeri. b. Mempermudah pelaksanaan analisis terhadap strategi kebijakan fiskal yang diterapkan beserta cara pembiayaannya, serta analisis perbandingan antara perkembangan operasi fiskal Indonesia dengan berbagai negara lainnya. Selain itu, dengan format baru APBN tersebut juga akan mempermudah pemantauan dan pengendalian dalam pelaksanaan serta pengawasan APBN. c. Mengantisipasi pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Format baru APBN dimaksud akan mempermudah perhitungan dana perimbangan, baik dana bagi hasil penerimaan sumber daya alam maupun dana alokasi umum. Secara garis besar, pengelompokan kembali pos-pos pendapatan dan belanja negara dalam format RAPBN Tahun 2000, adalah sebagai berikut: a. Pada sisi pendapatan, komponen pajak yang terdapat pada penerimaan migas direalokasikan kepada fungsi dan sifat dasarnya, yaitu pada penerimaan PPh sektor migas. Demikian pula, penerimaan yang merupakan komponen penerimaaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti pertambangan migas atau bagian Pemerintah atas pengusahaan (eksplorasi dan eksploitasi) pertambangan migas dikembalikan kepada pos PNBP. b. Pada sisi belanja, berbagai jenis pengeluaran yang selama ini masih menimbulkan kerancuan, seperti subsidi bunga kredit program, yang dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya

16 dikelompokkan pada belanja pembangunan, dalam RAPBN Tahun 2000 dialokasikan kembali ke belanja rutin. Demikian pula, pembayaran bunga obligasi bagi program penyehatan perbankan nasional yang selama ini dicatat pada pos belanja pembangunan, dalam RAPBN Tahun 2000 dibebankan ke dalam belanja rutin. Sebaliknya pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang selama ini dicatat pada pos belanja rutin, dalam RAPBN Tahun 2000 dialihkan menjadi komponen pengurang dalam bagian pembiayaan. c. Untuk lebih menjamin transparansi dalam penyusunan serta sekaligus mempermudah pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan dan perhitungan anggaran negara, juga dilakukan pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya dimasukkan ke dalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Berdasarkan perkembangan terakhir dan proyeksi pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1999/2000, serta memperhitungkan potensi dan keterkaitan dengan pendapatan beban anggaran belanja negara dalam tahun mendatang, keadaan ekonomi Indonesia pada tahun anggaran mendatang diperkirakan akan lebih baik, dan mulai memperlihatkan tandatanda pemulihan yang makin kuat. Beberapa indikator ekonomi makro yang menjadi asumsi di dalam penyusunan RAPBN Tahun 2000 antara lain sebagai berikut: a. Laju pertumbuhan ekonomi 3,8 persen; b. Tingkat inflasi 4,8 persen; c. Harga ekspor minyak mentah Indonesia US$ 18 per barel; d. Nilai tukar (kurs) rupiah Rp 7.000,- untuk setiap dolar Amerika. Secara umum struktur RAPBN Tahun 2000 terdiri dari penerimaan negara dan hibah, pengeluaran negara, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan dari surplus/defisit. Penerimaan negara adalah yang betul-betul dapat digalang dari dalam negeri dan bersifat berkesinambungan. Hibah adalah pemberian dari pemerintah lain atau lembaga internasional dan tidak menimbulkan kewajiban (misalnya, dalam bentuk pengembalian dana atau pembayaran bunga). Pengeluaran negara adalah seluruh belanja yang dilakukan oleh negara baik untuk kepentingan kegiatan rutin maupun untuk pembangunan. Jika pengeluaran melebihi penerimaannya maka terjadi defisit anggaran. Defisit ini harus ditutup dan dicarikan sumber pembiayaannya. Sebaliknya, kalau terjadi surplus anggaran berarti ada kelebihan dana yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembayaran pinjaman pokok Pemerintah atau menambah cadangan dana Pemerintah.

17 Berdasarkan jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diharapkan dapat dihimpun, serta seluruh beban anggaran belanja negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, maka dalam RAPBN Tahun 2000 diperkirakan terjadi defisit anggaran Rp 45,373 triliun atau sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Terjadinya defisit tersebut berkaitan dengan lebih rendahnya jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah yang direncanakan Rp 137,695 triliun (15,1 persen terhadap PDB), dibandingkan dengan jumlah anggaran belanja negara Rp 183,069 triliun (20,1 persen dari PDB). Jika dibandingkan dengan rasio defisit anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 1999/2000 mencapai 6,8 persen terhadap PDB, maka rasio defisit anggaran terhadap PDB pada RAPBN Tahun 2000 tersebut terjadi penurunan sebesar 1,8 persen. Dari jumlah anggaran belanja negara yang direncanakan Rp 183,069 triliun, sebagian besar yaitu Rp 143,682 triliun (78,5 persen) dialokasikan ke belanja rutin untuk mendukung kegiatan operasional pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk untuk biaya pemeliharaan kekayaan negara, pembayaran bunga utang, baik dalam negeri maupun luar negeri, serta penyediaan anggaran subsidi bagi beberapa jenis komoditi yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat. Selebihnya, yaitu Rp 39,386 triliun atau 4,3 persen dari PDB akan dialokasikan untuk belanja pembangunan, masing-masing terdiri dari pembiayaan pembangunan rutin Rp 23,356 triliun atau 2,6 persen dari PDB, dan pembiayaan proyek Rp 16,030 triliun atau 1,7 persen dari PDB. Pada anggaran belanja rutin, terdapat tiga jenis pengeluaran yang menyerap beban anggaran yang cukup besar, yaitu: (a) pembayaran bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp 58,989 triliun atau 6,5 persen dari PDB, (b) belanja pegawai pusat dan daerah yang diperkirakan mencapai Rp 45,709 triliun atau 5,0 persen dari PDB yang terdiri atas belanja pegawai pusat Rp 29,355 triliun atau 3,2 persen dari PDB dan belanja pegawai daerah sebesar Rp 16,354 triliun atau 1,8 persen dari PDB, serta (c) subsidi yang pada Tahun Anggaran 2000 direncanakan Rp 26,666 triliun atau 2,9 persen dari PDB untuk BBM dan non-bbm. Beban subsidi tersebut diusahakan akan dikurangi secara bertahap. Pada anggaran belanja pembangunan, dari anggaran pembangunan rupiah yang direncanakan sebesar Rp 23,356 triliun, yang akan dikelola oleh instansi Pemerintah Pusat berjumlah Rp 8,217 triliun atau 35,2 persen, sedangkan anggaran yang dikelola daerah mencapai Rp 15,139 triliun atau 64,8 persen. Sementara itu, pembiayaan proyek yang sumber dananya berasal dari pinjaman luar negeri (project loan) mencapai Rp 16,030 triliun atau 1,7 persen dari PDB. Dalam rangka implementasi awal dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, maka dalam RAPBN Tahun 2000 porsi alokasi anggaran pembangunan yang dikelola oleh daerah akan meningkat dari 50,8 persen terhadap total pembiayaan rupiah pada Tahun Anggaran 1999/2000 menjadi 64,8 persen pada RAPBN Tahun 2000, atau meningkat dari 1,3 persen menjadi 1,7 persen dari PDB.

18 Defisit anggaran pada RAPBN Tahun 2000 diharapkan dapat dibiayai dengan sumbersumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 22,189 triliun atau 2,5 persen dari PDB. Jumlah tersebut diharapkan berasal dari sektor nonperbankan, berupa hasil divestasi saham Pemerintah pada BUMN (privatisasi) sebesar Rp 5,939 triliun atau 0,7 persen dari PDB, dan penjualan (pemilikan) aset perbankan dalam program restrukturisasi (penyehatan) oleh BPPN yang berupa assets recovery sebesar Rp 16,250 triliun atau 1,8 persen dari PDB. Selebihnya, yaitu Rp 23,184 triliun atau 2,5 persen dari PDB diharapkan dapat ditutup dengan sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri. Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati, Sudah barang tentu dalam suasana perekonomian yang masih sulit sekarang ini kita harus bekerja keras sebelum dapat mengharapkan membaiknya keadaan. Upaya menggalang penerimaan negara menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Sekitar 71 persen dari penerimaan negara adalah dari penerimaan pajak. Dari jumlah tersebut, pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai mencapai sekitar 81 persen. Basis kedua jenis pajak ini relatif menyempit dibanding dengan keadaan sebelum krisis. Pajak penghasilan menurun seiring dengan menurunnya pendapatan perorangan dan perusahaan. Sementara itu, kegiatan ekonomi yang masih dalam tahap awal pemulihan dan sebagian belum terjangkau administrasi pajak, menyebabkan basis pajak pertambahan nilai juga terbatas. Upaya meningkatkan penerimaan pajak, dimulai dengan pembenahan administrasi pajak. Untuk itu dilakukan pengelompokan wajib pajak perorangan dan perusahaan agar penetapan sasaran pemungutan pajak terutama untuk wajib pajak yang besar dan audit pajak dapat dilakukan dengan lebih baik. Di samping itu, peraturan mengenai yayasan akan ditata kembali agar benar-benar mencapai tujuan sosial yang ingin dicapai dan bukan sebagai alat untuk menghindarkan diri dari kewajiban pajak. Basis pajak juga diperluas. Berbagai ketentuan mengenai keringanan termasuk pengecualian terhadap kewajiban pajak akan dikaji kembali. Namun hal ini tidak berarti semua insentif pajak untuk merangsang investasi dihapuskan. Misalnya, untuk investasi masih disediakan tax allowances untuk menggantikan tax holidays. Langkah ini juga sesuai dengan kesepakatan antara negara-negara ASEAN. Upaya lain adalah dengan menyederhanakan proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dengan berbagai langkah seperti diuraikan di atas, penerimaan pajak diharapkan dapat mencapai sekitar 10,7 persen dari PDB, sementara penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp 137,7 triliun atau 15,1 persen dari PDB. Tingginya penerimaan ini juga tidak terlepas dari perkiraan harga ekspor minyak bumi yang cukup menggembirakan. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 yang lalu, harga tersebut masih diperkirakan sekitar US$ 10,5 per barel. Namun dalam kenyataannya, harga terus meningkat dan mencapai harga rata-rata tertinggi pada bulan November 1999, yaitu US$

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 74/DPD RI/IV/2012 2013 PERTIMBANGAN TERHADAP KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL SERTA DANA TRANSFER DAERAH DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2002 2004 Bab perkembangan ekonomi makro tahun 2002 2004 dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2002 dan dua tahun berikutnya.

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR II/MPR/2002 TENTANG REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK MEMPERCEPAT PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA Definisi Krisis ekonomi : Suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan akibat krisis keuangan Krisis keuangan/ moneter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI REFORMASI, GLOBALISASI DAN ERA PERDAGANGAN BEBAS

EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI REFORMASI, GLOBALISASI DAN ERA PERDAGANGAN BEBAS EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI REFORMASI, GLOBALISASI DAN ERA PERDAGANGAN BEBAS Oleh: Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Bogor, 29 Agustus 1998 I. SITUASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya 1. Pendahuluan - Pengantar - Tujuan - Definisi 2. Ketentuan Pengelolaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan tersebut

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016

Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016 Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENYAMPAIAN KETERANGAN PEMERINTAH ATAS RANCANGAN

Lebih terperinci

hendrikoeswara@fisip.unand.ac.id Kunci dari pencapaian target defisit 1 persen tahun 2004 adalah reformasi perpajakan dan kepabeanan. Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, mobilisasi penerimaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang akan dicapai dalam tahun 2004 2009, berdasarkan

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Keynote Speech APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja Disampaikan oleh: Menteri Keuangan Republik Indonesia Yth. Pimpinan Badan Anggaran DPR-RI, Yth. Wakil Menteri Keuangan dan Para Pejabat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN PEMBUKAAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute

ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute Kinerja dunia perbankan dalam menyalurkan dana ke masyarakat dirasakan masih kurang optimal.

Lebih terperinci

Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia pada Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2006 Kepada Semua Provinsi

Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia pada Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2006 Kepada Semua Provinsi Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia pada Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2006 Kepada Semua Provinsi Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 110, 2005 APBN. Pendapatan. Pajak. Bantuan. Hibah. Belanja Negara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK TAHUN 2005 Meskipun secara umum pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2004 relatif terkendali,

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi Modul ke: 04Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1 MANAJEMEN Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia Periode Revormasi Krisis ekonomi di Indonesia Fundamental ekonomi nasional pengaruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR... i iii iv vi vii BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF... I-1 A. PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003... I-1 B. TANTANGAN DAN

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Dalam tahun 2000 pemulihan ekonomi terus berlangsung. Namun memasuki tahun

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan kebijakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2009 Ekonomi. Lembaga. Pembiayaan. Ekspor. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Selasa, 20 Mei 2014 INDEF 1 Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR. (Ditetapkan di Bandung 19 November 1960)

Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR. (Ditetapkan di Bandung 19 November 1960) Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR I. Periode 1960 1965 1. Ketetapan MPRS No. I/MPRS 1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis

Lebih terperinci

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Kerangka Ekonomi Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah merupakan kerangka implementatif atas pelaksanaan RKPD Kabupaten Sijunjung Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X ekonomi BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami fungsi serta peranan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan

Lebih terperinci

Perekonimian Indonesia

Perekonimian Indonesia Perekonimian Indonesia Sumber : 2. Presentasi Husnul Khatimah 3. Laporan Bank Indonesia 4. Buku Aris Budi Setyawan 5. Sumber lain yg relevan (Pertemuan 1-11) Peraturan Perkuliahan Hadir dengan berpakaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2003 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2003 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2003 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 Bab ini membahas prospek ekonomi Indonesia tahun 2004 dalam dua skenario, yaitu skenario dasar dan skenario dimana pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat. Dalam skenario

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2004 2006 Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2004 2006 merupakan kerangka ekonomi makro (macroeconomic framework) yang dimaksudkan untuk memberi gambaran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2002 (1/2002) TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARATAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia pernah mengalami krisis pada tahun 1997, ketika itu nilai tukar rupiah merosot tajam, harga-harga meningkat tajam yang mengakibatkan inflasi yang tinggi,

Lebih terperinci

perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.

perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia Penerapan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Di tahun 1959 pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 250, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4052) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1, 2001 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4167) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara Keuangan Negara dan Perpajakan Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA SUMBER PENERIMAAN Pajak Retribusi Keuntungan BUMN/BUMD

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

UU 1/2002, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARATAHUN ANGGARAN 2001

UU 1/2002, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARATAHUN ANGGARAN 2001 Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/2002, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARATAHUN ANGGARAN 2001 *12925 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum 1. Kebijakan Perbankan Pasca Krisis 1998 Krisis keuangan yang terjadi di Asia mulai pertengahan tahun 1997 telah memicu krisis perbankan di beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Modul ke: Cecep Winata FEB Fakultas Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA Periode Reformasi Masa Orde Baru Orde Reformasi -Sejarah Perekonomian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini diuraikan perihal mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci