DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F"

Transkripsi

1 DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desain dan Uji Penggoreng Open Deep Frying dengan Perubahan Posisi Elemen Pemanas adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 26 Agustus 2008 Harsman Tandilittin NRP F ii

3 ASBTRACT HARSMAN TANDILITTIN. Design and Performance Test of Open Deep Frying with Different Heating Element Positions. Under direction of SUROSO and I DEWA MADE SUBRATA. Deep frying is one of the oldest ways in food cooking. Everyone is like deep frying product because it has a color, taste, and typical flavor. Fat content and acrylamide in food is the problem of deep frying product which depends on frying time. Reduce frying time will reduce fat content, arylamide in food, and energy consumption. Frying time depend on the height of oil frying in fryer and heating element position. This new fryer design aimed to reduce frying time through the partly change of heating element position to the top of fryer. The result from calculation in this design have provided minimum of oil height in fryer 35 cm, power of fryer 6 kw, fryer diameter 34 cm, volume of oil frying 33 l, and total height of fryer 50 cm. Power of heating element on the top of fryer 1,5 kw and at the bottom of fryer 4,5 kw. There are two kind of heating element which used in this new fryer design i.e. 3 kw and 1.5 kw with Watt density 3,1 W/cm 2 and 6,28 W/cm 2 respectively, both of the values were met the requirement of low Watt density less from 10 W/cm 2. Fryer performance test divided into three stages. Potato is used as a material fry test of this new fryer design. The result of the preliminary test showed that the vertically temperature differential is higher on new fryer design than old fryer design. The higher of vertically temperature differential cause the increase of the Rayleigh number. First performance test showed that the center temperature of product in new fryer design is faster 2 minutes in reach 105 c o from the old fryer design. Second performance test showed that the frying time on new fryer design is shorter in 2 minutes from the old fryer design. Fat content in french fries from new fryer design is lower 5.78 % from the fat content in french fries from old fryer design. We save 0.2 kwh in used of the new fryer design in one frying process. iii

4 RINGKASAN HARSMAN TANDILITTIN. Desain dan Uji Penggoreng Open Deep Frying dengan Perubahan Posisi Elemen Pemanas, di bawah bimbingan Dr. Ir. Suroso, M.Agr sebagai ketua dan Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr sebagai anggota. Produk penggorengan mempunyai warna, aroma, serta rasa yang khas sehingga disukai oleh setiap orang. Produk penggorengan mengandung minyak dan akrilamida yang merugikan kesehatan. Waktu penggorengan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kandungan minyak, kandungan akrilamida dalam produk dan tingkat konsumsi energi. Waktu penggorengan tergantung pada proses pindah panas dari minyak goreng ke produk. Pindah panas dari minyak ke produk tergantung pada suhu minyak di sekitar produk. Suhu minyak disekitar produk dipengaruhi oleh desain penggoreng yaitu tinggi minyak dalam penggoreng dan desain elemen pemanas. Penempatan sebagian elemen pemanas di bagian atas penggoreng akan mempengaruhi pergerakan minyak dalam penggoreng. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penempatan sebagian elemen pemanas di bagian atas penggoreng (desain baru) terhadap kecepatan penggorengan. Tinggi minimal minyak (H = 35 cm) dihitung dengan menggunakan rumus bilangan Rayleigh (Ra) dengan Ra pada kondisi laminar yaitu Ra > 10 5 yaitu Ra=10 6. Daya penggorengan (q = 6 kw) berdasarkan kapasitas desain yaitu 3 kg. Volume minyak goreng (V = 33 liter) dihitung berdasarkan energi yang diperlukan pada awal penggorengan agar suhu minyak di sekitar produk tidak turun tajam. Diameter penggoreng (d = 34 cm) ditentukan oleh volume minyak dan tinggi minyak dalam penggoreng. Kriteria desain elemen pemanas yaiu Watt density < 10 W/cm 2. Elemen pemanas yang digunakan mempunyai Watt density sebesar 3,1 W/cm 2 dan 6,28 W/cm 2. Daya pada elemen pemanas di dasar penggoreng lebih besar yaitu q = 4,5 kw dari daya pada elemen pemanas di bagian atas penggoreng yaitu 1,5 kw karena pindah panas dalam minyak goreng berlangsung akibat perbedaan densitas (bouyancy force). iv

5 Pengujian penggoreng dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pendahuluan untuk membandingkan distribusi suhu vertikal antara penggoreng desain baru dengan desain lama. Tahap pertama untuk membandingkan kenaikan suhu produk antara penggorengan desain baru dengan penggoreng desain lama. Tahap kedua untuk membandingkan kecepatan penggorengan berdasarkan kecepatan pencapaian warna yang disukai antara penggoreng desain lama dengan pengggoreng desain baru. Hasil pengujian menunjukkan beda suhu vertikal pada penggoreng desain baru ( T = 2-4 o C) lebih besar dari penggoreng desain lama ( T = 1-2 o C) sehingga kenaikan suhu minyak dalam penggoreng desain baru lebih cepat. Pencapaian suhu 105 o C (menit ke 3) di pusat produk pada penggoreng desain baru lebih cepat dua menit dari penggoreng desain lama (menit ke 5). Waktu penggorengan lebih singkat 2 menit pada penggoreng desain baru dengan kualitas warna yang sama yaitu golden brown dengan nilai kecerahan lebih dari 61 yaitu L* = 62,18 pada penggoreng desain baru dengan waktu penggorengan 17 menit dan L* = 62,04 pada penggoreng desain lama dengan waktu penggorengan 19 menit. Mutu hasil penggorengan dari peggoreng desain baru lebih baik karena kandungan minyaknya lebih rendah yaitu desain baru 27,4% dan desain lama 32.3%. Konsumsi energi lebih hemat 0,2 kwh pada penggoreng desain baru untuk satu kali penggorengan. v

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vi

7 DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknik Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 vii

8 HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis Nama NRP : Desain dan Uji Penggoreng Open Deep Frying dengan Perubahan Posisi Elemen Pemanas : Harsman Tandilittin : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Suroso, M.Agr Ketua Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Prof. Dr. Ir. A.H Tambunan, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 26 Agustus 2008 Tanggal Lulus: viii

9 PRAKATA Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kasih-nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2007 ialah open deep frying dengan judul Desain dan Uji Penggoreng Open Deep Frying dengan Perubahan Posisi Elemen Pemanas. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suroso, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr selaku anggota komisi pembimbing dan Bapak Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP M.Si selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staff dan teknisi Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam studi penulis. Akhirnya penulis mengungkapkan rasa cinta yang dalam kepada istri tersayang dan kepada seluruh keluarga. Bogor, Agustus 2008 Harsman Tandilittin ix

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tana Toraja pada tanggal 2 Mei 1971 dari ayah Mangala dan ibu Ludia Posi. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun Kesempatan melanjutkan studi ke program magister pada tahun 2005 di Program Studi Keteknikan Pertanian pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Samarinda pada Jurusan Teknik Mesin sejak tahun Mata kuliah yang diasuh oleh penulis adalah Mekanika Teknik dan Praktek Pengelasan. Selama mengikuti program S2, penulis telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Pemodelan Pindah Panas dan Massa pada Open Deep Frying. x

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesa... 4 TINJAUAN PUSTAKA Penggorengan... 5 Jenis-jenis Penggoreng... 9 Warna Kentang Goreng Kandungan Minyak Pindah Panas Pada Produk Parameter dalam Desain DESAIN ALAT PENGGORENG Perhitungan Dimensi Penggoreng Tinggi Minyak Dalam Penggoreng Daya Penggorengan Volume Minyak Goreng Diameter Penggoreng Tinggi penggoreng Elemen Pemanas Gambar Desain Penggoreng BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pembuatan Penggoreng Bahan dan Metode Pengujian Penggoreng Pengujian Pendahuluan Pengujian Tahap Pertama Pengujian Tahap Kedua HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tahap Pendahuluan Pengujian Tahap Pertama Pengujian Tahap Kedua Halaman xi

12 Halaman SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Parameter yang digunakan dalam desain alat penggoreng Tabel 5.1 Kandungan air dan minyak kentang goreng dari pengujian pertama Tabel 5.2. Kadar air dan kandungan minyak hasil pengujian tahap kedua xiii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. Perbedaan suhu dalam minyak goreng karena letak elemen... 4 Gambar 2.1. Buoyancy force akibat gradien temper7ure... 8 Gambar 2.2. Pindah panas pada produk deep-fat frying Gambar 2.3. Diskretisasi produk.. 13 Gambar 3.1. Bentuk dan dimensi wadah penggoreng Gambar 3.2. Elemen pemanas dengan daya 3 kw Gambar 3.3. Elemen pemanas dengan daya 1,5 kw Gambar 3.4. Foto penggorengan hasil desain Gmbar 4.1 Letak termokopel untuk mengukur distribusi suhu Gambar 4.2. Letak termokopel pada produk Gambar 4.3. Letak termokopel selama penggorengan Gambar 4.4. French Fries Color Card Gambar 5.1 Disrtibusi suhu pada 5 menit dan 15 menit pemanasan Gambar 5.2. Disrtibusi suhu pada 20 menit dan 25 menit pemanasan Gambar 5.3. Disrtibusi suhu pada 30 menit dan 35 menit pemanasan Gambar 5.4. Kenaikan suhu pada 7 cm Gambar 5.5. Kenaikan suhu pada 14 cm Gambar 5.6. Kenaikan suhu pada 21cm 30 Gambar 5.7. Kenaikan suhu pada 28 cm.. 30 Gambar 5.8. Kenaikan suhu pada 35 cm Gambar 5.9. Keadaan suhu dalam produk pada penggoreng desain baru Gambar Distribusi suhu dalam produk pada penggoreng desain lama Gambar Keadaan suhu di sekitar Gambar Suhu di permukaan produk. 34 Gambar Keadaan suhu pusat produk selama penggorengan Gambar Foto hasil pengujian penggoreng desain baru dan desain lama Gambar Nilai L* dari warna kentang goreng Gambar Nilai a* kentang goreng Gambar Nilai b* kentang goreng xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Distribusi suhu dalam minyak goreng penggoreng desain lama Lampiran 2. Distribusi suhu dalam minyak goreng penggoreng desain baru Lampiran 3. Kadar air kentang sebelum digoreng Lampiran 4. Kadar air kentang goreng hasil penggoreng desain baru pengujian pertama (ukuran sampel (50x40x10)mm 3 ) Lampiran 5. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggoreng desain baru pengujian pertama (ukuran sampel (50x40x10)mm 3 ) Lampiran 6. Suhu minyak goreng di sekitar produk pada pengujian penggoreng desain baru Lampiran 7. Suhu di permukaan bahan pada pengujian pertama penggoreng desain baru Lampiran 8. Suhu 3 mm dari permukaan bahan pada pengujian penggoreng desain baru Lampiran 9. Suhu pusat produk pada pengujian penggoreng desain baru Lampiran 10. Kadar air kentang goreng hasil penggoreng desain baru pengujian pertama (ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 11. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggorengan desain baru pengujian pertama (ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 12. Kadar air kentang goreng hasil penggoreng desain lama pengujian pertama (ukuran sampel (50x40x10)mm 3 ) Lampiran 13. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggoreng desain lama pengujian pertama (ukuran sampel (50x40x10)mm 3 ) xv

16 Halaman Lampiran 14. Suhu minyak goreng di sekitar produk pada pengujian penggoreng desain lama Lampiran 15. Suhu di permukaan bahan pada pengujian penggoreng desain lama Lampiran 16. Suhu 3 mm dari permukaan bahan pada pengujian penggoreng desain lama Lampiran 17. Suhu pusat produk pada pengujian penggoreng desain lama Lampiran 18. Kadar air dan minyak kentang goreng hasil penggorengan desain lama pengujian pertama (ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 19. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggorengan desain lama pengujian pertama (ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 20. Nilai L*, a*, dan b* warna kentang goreng hasil penggorengan desain baru. 55 Lampiran 21. Kadar air kentang goreng hasil penggorengan desain baru pengujian kedua (hanya ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 22. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggorengan desain baru pengujian kedua (hanya ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 23. Nilai L*, a*, dan b* warna kentang goreng hasil penggorengan desain lama Lampiran 24. Kadar air kentang goreng hasil penggorengan desain lama pengujian Kedua (hanya ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 25. Kandungan minyak kentang goreng hasil penggorengan desain lama pengujian kedua (hanya ukuran komersial(10x10)mm 2 ) Lampiran 26. Program basic untuk menghitung suhu produk dan minyak xvi

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Deep-fat frying adalah proses pengolahan pangan yang lazim dilakukan seharihari yang menghasilkan produk dengan warna, aroma serta rasa yang khas sehingga digemari oleh hampir setiap orang. Sebelum bahan digoreng terlebih dahulu minyak dipanaskan sampai mencapai suhu penggorengan agar bahan tidak terlalu lama terendam dalam minyak, dimana minyak akan meresap ke dalam bahan. Pada proses penggorengan kadar air produk menurun akibat penguapan selama penggorengan. Produk hasil penggorengan juga mengandung minyak yang sebagian besar meresap setelah penggorengan (Bouchon et al, 2005). Produk penggorengan sebaiknya disantap dalam keadaan hangat karena rasa dan aromanya masih sangat terasa. Suhu penggorengan biasanya o C (Tangduangdee et al, 2003). Sedangkan menurut Weiss (1983) suhu penggorengan harus di atas titik didih air yaitu 163 o o C. Tetapi bila suhu minyak goreng melewati suhu 200 o C maka minyak goreng akan cepat terurai menjadi asam lemak bebas dan sebagaimana diketahui bahwa asam lemak bebas dapat merusak kesehatan. Pada suhu tinggi densitas dan viskositas akan turun sehingga meningkatkan kecepatan pergerakan minyak (Przybylski, 2002) yang mempengaruhi laju pindah panas dari minyak goreng ke produk. Menurut Farkas (1996) semakin tinggi suhu minyak goreng, koefisien pindah panas dari minyak ke bahan juga semakin tinggi akibat adanya boiling heat transfer secara konveksi dari minyak goreng ke produk. Hal-hal yang mempengaruhi mutu produk penggorengan kentang antara lain warna, kandungan air, kandungan minyak akibat resapan, ketebalan kerak (crust), dan kandungan acrylamide yang bersifat karsinogen (Loon, 2005). Parameter mutu tersebut pada umumnya tergantung pada waktu penggorengan atau lamanya produk tersebut digoreng dan suhu minyak goreng. Waktu penggorengan dipengaruhi oleh laju pindah panas dari minyak goreng ke produk yang digoreng. Laju pindah panas dari minyak goreng ke produk dipengaruhi oleh suhu minyak di sekitar produk dan ketebalan kerak. Keadaan suhu minyak goreng disekitar produk dipengaruhi oleh desain penggoreng. Parameter desain yang paling berpengaruh adalah tinggi minyak goreng dan elemen pemanas dalam wadah penggoreng.

18 2 Penggoreng (fryer) yang menggunakan electric heater pada umumnya meletakkan elemen pemanas hanya di dasar penggoreng. Pada saat boiling heat transfer terjadi, minyak goreng di sekitar produk yang suhunya sudah turun seharusnya bergerak ke dasar penggoreng akibat perbedaan densitas tetapi sebaliknya bergerak ke atas permukaan penggoreng mengikuti aliran uap air yang keluar dari produk sehingga akan mempengaruhi waktu temperature recovery di sekitar produk. Waktu yang diperlukan untuk temperature recovery disekitar produk rata-rata 250 detik menurut pengujian yang dilakukan FSTC (2002) pada kategori efisiensi tinggi dan selama selang waktu tersebut suhu minyak goreng turun sampai 30 o C. Sedangkan menurut Tangduangdee, et al (2003) toleransi penurunan suhu hanya sekitar ±10 o C. Salah satu parameter penting yang diukur pada pengujian kinerja open deep fryer adalah keadaan suhu di sekitar produk selama penggorengan berlangsung menurut standar ASTM (1999). Untuk mengatasi masalah tersebut di atas dalam penelitian ini dilakukan penempatan sebagian elemen pemanas pada bagian atas penggoreng. Penempatan sebagian elemen pemanas di bagian atas penggoreng bertujuan untuk mempercepat pindah panas dari elemen pemanas ke minyak goreng yang sudah turun suhunya saat boiling heat transfer terjadi sehingga suhu minyak goreng di sekitar produk cepat naik kembali. Perpindahan panas yang terjadi dalam minyak goreng pada open deep frying berlangsung secara konveksi yang dipengaruhi oleh bilangan Rayleigh. Bilangan Rayleigh sangat dipengaruhi oleh tinggi minyak goreng dalam penggoreng dan beda suhu secara vertikal. Tinggi minyak goreng yang rendah dalam penggoreng akan memperlambat pergerakan minyak goreng khususnya pada saat beda suhu sangat kecil sehingga pindah panas terjadi secara konduksi sedangkan konduktivitas minyak goreng sangat kecil, tetapi bila tinggi minyak goreng memberikan bilangan Rayleigh di atas 10 5 maka pindah panas tetap berlangsung secara konveksi sekalipun beda temperatur sangat kecil. Oleh sebab itu dalam penelitian ini didesain penggoreng dengan menempatkan sebagian elemen pemanas di bagian atas penggoreng dan menghitung tinggi minimal minyak goreng dalam penggoreng. Suhu yang tetap tinggi di sekitar produk dan koefisien pindah panas yang tinggi karena bilangan Rayleigh yang besar akan meningkatkan pindah panas dari minyak

19 3 goreng ke produk sehingga mempercepat kenaikan suhu dalam produk yang digoreng. Peningkatan pindah panas ini akan mengurangi waktu penggorengan. Pengurangan waktu penggorengan berarti menghemat energi yang digunakan. Selain menghemat energi juga mengurangi kandungan minyak dan kandungan acrylamide dalam produk. Kandungan minyak dan kandungan acrylamide dipengaruhi oleh suhu penggorengan dan waktu penggorengan, semakin tinggi temperatur dan atau semakin lama waktu penggorengan akan meningkatkan kandungan minyak dan kandungan acrylamide dalam produk (TSFF, 2002 dan Tran, 2006). Acrylamide adalah senyawa karsinogen yang dapat menyebabkan kanker dan merusak syaraf manusia. Produk yang digunakan dalam pengujian penggoreng hasil desain ini adalah produk yang telah diketahui sifat-sifat fisik dan termalnya melalui penelitian yang telah ada dan bernilai ekonomi tinggi karena penelitian ini merupakan penelitian aplikasi teknologi pada industri makanan sehingga produk yang dipakai dalam penelitian ini adalah kentang sebagai bahan yang digoreng. Untuk akurasi pengukuran suhu dalam produk, slab tak hingga dipilih sebagai bentuk sampel produk yang diukur suhunya dalam pengujian penggoreng yang dapat dianggap sebagai satu dimensi dan simetris. Daya yang diperlukan oleh penggorengan hasil desain ini tergantung pada hasil perhitungan yang didasarkan pada tebal dan luas permukaan pindah panas pada kentang. Tebal dan luas permukaan pindah panas pada kentang ditentukan oleh ukuran kentang. Pada awal penggorengan dibutuhkan energi yang sangat besar karena perbedaan suhu antara permukaan produk dan minyak goreng khususnya pada 10 detik pertama (Bouchon et al, 2005 dan Supriyanto et al, 2006) tetapi setelah suhu permukaan produk mendekati suhu minyak goreng maka daya yang diperlukan menjadi turun karena beda suhu antara permukaan produk dengan minyak goreng menjadi kecil. Oleh karena itu daya penggorengan adalah daya rata-rata yang diperlukan selama penggorengan berlansung.

20 4 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah perbaikan desain alat penggoreng khususnya posisi elemen pemanas untuk mengurangi waktu penggorengan, sedangkan tujuan khusus adalah : 1. Membandingkan distribusi suhu dalam minyak goreng secara vertikal antara penggoreng desain baru dengan penggoreng desain lama. 2. Membandingkan kecepatan kenaikan suhu dalam produk antara penggoreng desain baru dengan penggoreng desain lama. 3. Membandingkan kecepatan penggorengan antara penggoreng desain baru dengan penggoreng desain lama melalui kecepatan pencapaian parameter warna yang disukai oleh konsumen. Hipotesa Hipotesa yang mendasari penelitian ini adalah : 1. Menempatkan sebagian elemen pemanas pada bagian atas penggoreng akan mempengaruhi distribusi suhu dalam minyak goreng sehingga tercipta beda suhu yang lebih besar secara vertikal dalam penggoreng seperti pada Gambar Terpeliharanya beda suhu (ΔT) secara vertikal dalam minyak goreng akan menghasilkan bilangan Rayleigh yang tetap tinggi sehingga pergerakan minyak goreng tetap terjaga. Elemen pemanas Garis beda distribusi suhu Gambar 1.1. Perbedaan suhu dalam minyak goreng karena letak elemen

21 TINJAUAN PUSTAKA Penggorengan Penggorengan merupakan salah satu cara memasak makanan yang tertua (Varela, 1988). Proses penggorengan meliputi mencelupkan bahan ke dalam minyak yang panas dalam selang waktu tertentu, diangkat lalu ditiriskan, dan dinginkan. Kecepatan penggorengan tergantung besarnya pindah panas dari minyak goreng ke produk. Besarnya pindah panas (q) tergantung pada luas permukaan produk (A), koefisien pindah panas konveksi (h), dan beda suhu antara produk dengan minyak goreng (ΔT) seperti pada persamaan 1 (Holman, 1980) berikut ini: q = h. A.( ΔT ) (1) dimana : q = laju aliran panas (W) h = koefisien konveksi (W/m 2 ) ΔT = beda suhu antara produk dengan minyak goreng (K) A = luas permukaan produk (m 2 ) Laju pindah panas dari permukaan produk ke pusat produk menggunakan persamaan 1a (Holman, 1980) yaitu : dt q = k. A. (2) dx dimana : k = konduktivitas produk (W/m.K) dt = beda suhu antara permukaan dengan pusat produk (K) dx = jarak dari permukaan ke pusat produk (m) Beda suhu antara produk dengan minyak goreng (ΔT ) merupakan salah satu faktor yang juga memepengaruhi kecepatan penggorengan, sehingga fluktuasi suhu di sekeliling produk selama penggorengan akan mempengaruhi pindah panas. Fluktuasi suhu yang besar sesaat setelah produk digoreng akan memperlambat penggorengan karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai suhu penggorengan.

22 6 Faktok-faktor yang mempengaruhi fluktuasi suhu di sekeliling produk menurut FSTC (2002) adalah : 1. Desain penggoreng (dimensi penggoreng dan elemen pemanas) 2. Beban penggorengan (jumlah produk yang dimasukkan sekaligus ke dalam penggoreng). Jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu minyak goreng dari suhu awal ke suhu penggorengan (preheat) menggunakan rumus (Holman, 1990): Q = m. Cp. ΔT (3) dimana : Q = jumlah aliran panas yang diperlukan (kj) m = massa minyak goreng (kg) Cp = panas spesifik minyak goreng (kj/kg.c) ΔT = kenaikan suhu minyak goreng (C) Menurut Ong et al (1984) nilai Cp tergantung pada suhu ( o C) seperti rumus berikut: Cp = 1,97 + 0,00306.T kj/kg.c (4) Dalam mendesain penggoreng perlu memperhatikan preheat time yaitu waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan minyak goreng sampai suhu penggorengan yang dipengaruhi input energy rate dari elemen pemanas dan koefisien konveksi. Preheat time yang baik menurut standar pengujian kinerja penggorengan dari ASTM (1999) adalah menit. Semakin besar preheat time yang diperlukan oleh penggoreng, maka penggorengan tersebut seharusnya dioperasikan lebih dari 8 (delapan) jam secara terus menerus supaya tidak terjadi pemborosan energi. Untuk menjaga stabilitas suhu minyak goreng menurut Tangduangdee, et al (2003), pengontrolan suhu dapat dilakukan secara on/off dengan interval suhu ±10 o C. Interval suhu sebesar ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan suhu pusat bahan. Pengendalian suhu ini juga dilakukan untuk mengurangi laju kerusakan minyak goreng karena minyak goreng lebih cepat terurai saat suhunya mencapai lebih dari 200 o C. Perpindahan panas dari elemen pemanas ke minyak goreng terjadi secara konveksi bebas karena adanya gaya apung (buoyancy force) akibat beda suhu secara vertikal dalam minyak goreng. Beda suhu secara vertikal menyebabkan densitas minyak berbeda-beda secara vertikal sehingga tercipta pergerakan minyak goreng 6

23 7 karena gravitasi. Mekanisme pergerakan minyak goreng sebagai akibat dari gaya apung seperti pada Gambar 2.1 di bawah ini. Dingin Buoyancy force Gradien suhu Gravitasi Panas Gambar 2.1. Buoyancy force akibat beda suhu vertikal Kecepatan pergerakan minyak ditentukan oleh besarnya bilangan Rayleigh, sehingga dimensi penggoreng khususnya tinggi minyak dalam penggoreng dipengaruhi bilangan Rayleigh. Untuk menghitung tinggi minyak goreng dalam penggoreng digunakan rumus bilangan Rayleigh menurut Lienhard IV (2006) yaitu : 3 gβ ( ΔT ) H Ra = (5) να dimana : Ra = bilangan Rayleigh g = gravitasi (m/s 2 ) β = koefisien ekspansi (K -1 ) T = perbedaan suhu (K) H = tinggi minyak dalam penggorengan (m) ν = Viskositas kinematik (m 2 /s) α = difusivitas panas (m 2 /s) Pergerakan minyak goreng pada saat penggorengan berlangsung harus bergerak dengan baik agar suhu disekitar produk pada awal penggorengan cepat naik kembali. Pada perencanaan ini menggunakan batasan laminar menurut Lienhard IV (2006) pada kriteria plat horizontal yang dipanaskan dari bawah yaitu 10 5 <Ra<10 11, sehingga dalam perencanaan ini digunakan Ra =

24 8 Menurut FSTC (2002) tinggi minyak goreng dalam penggoreng harus memperhitungkan cold zone yaitu bagian yang berada dibawah elemen pemanas yang mempunyai suhu yang lebih dingin supaya sisa-sisa penggorengan (debris food) jatuh ke dasar penggoreng. Bila sisa-sisa penggorengan ini berada pada suhu penggorengan akan mempercepat kerusakan minyak goreng menjadi asam lemak bebas karena adanya korbonisasi dari debris food. Tinggi cold zone dipengaruhi oleh suhu penggorengan dan volume sisa-sisa penggorengan. Pindah panas yang terjadi pada cold zone dari elemen pemanas berlansung secara konduksi bukan secara konveksi sehingga suatu saat akan tercapai keadaan steady state, hal ini akan mempengaruhi dimensi penggoreng. Kawat pemanas (resistance wire) yang digunakan dalam elemen pemanas pada umumya paduan nikel (Ni), krum (Cr) dan sedikit besi (Fe). Daya atau tenaga kawat pemanas tergantung pada besarnya tahanan kawat (Rt) dan tegangan listrik yang dipergunakan seperti rumus berikut dari Kanthal AB (2003) yaitu : P = V (6) 2 R t dimana : P = daya listrik (W) V = tegangan listrik (V) R t = tahanan kawat pemanas pada temperatur operasi (Ω) Tahanan kawat akan naik bila suhu naik sehingga tahanan kawat pemanas yang digunakan disesuaikan dengan temperatur operasinya (Kanthal AB, 2003) sehingga : R = R t t 20 (7) Ct dimana : R t20 = tahanan kawat pada suhu kamar (Ω) R t = tahanan yang diperlukan pada kawat pemanas (Ω) C t = faktor temperatur (dari tabel kawat pemanas) Densitas daya (Watt density) pada kawat pemanas menurut Kanthal AB (2003) dua sampai empat (2-4) kali lebih tinggi dari densitas daya pada pipa pemanas, sehingga perbandingan antara luas permukaan kawat dan tahanan kawat (cm 2 /Ω) merupakan parameter yang penting agar densitas daya pada pipa pemanas tidak terlalu besar. Densitas daya pada pipa pemanas untuk pemanasan fluida menurut Kanthal AB (2003) yaitu Watt/cm 2 tetapi untuk minyak goreng densitas daya 8

25 9 pada pipa pemanas harus lebih rendah dari 10 Watt/cm 2 untuk mengurangi laju kerusakan minyak goreng. Pipa pemanas dengan densitas daya yang rendah bertujuan meningkatkan luas permukaan pindah panas dari pipa pemanas ke minyak goreng selain mempercepat pindah panas juga mengurangi kerusakan minyak goreng (FSTC, 2002). Jenis-Jenis Penggoreng (Fryer) Jenis-jenis penggoreng menurut FSTC (2002) antara lain : 1. Open Deep-Fat Fryer adalah jenis penggoreng yang paling umum digunakan. 2. Pressure Dee-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada tekanan lebih dari 1 atm. Penggunaan tekanan dimaksudkan untuk mengurangi resapan minyak ke dalam produk dan mengurangi kehilangan air dari produk. 3. Vacuum Deep-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada tekanan di bawah 1atm. Jenis ini digunakan untuk produk yang tidak tahan pada suhu tinggi. Teknologi pemanasan minyak goreng khususnya pada penggoreng komersial pada dasarnya menggunakan pipa panas (heat pipe). Sumber panas yang digunakan untuk memanaskan pipa pemanas antara lain : 1. Panas listrik melalui kawat pemanas 2. Panas uap yang dibangkitan lewat boiler 3. Panas gas lewat pembakaran bahan bakar gas atau minyak. Posisi atau letak pipa panas dalam wadah penggoreng pada umumnya terletak di dasar sehingga minyak goreng menerima panas dari bawah. Perpindahan panas dari pipa panas ke minyak goreng berlangsung secara konveksi natural akibat bouyancy force. Kapasitas wadah penggorengan berkisar antara 7 kg sampai 90 kg minyak goreng dengan daya listrik berkisar antara (2 27) kva untuk penggorengan komersial (FSTC, 2002). 9

26 10 Parameter-parameter yang diuji dalam pengujian penggoreng menurut standar pengujian dari Cowen (2004) dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari desain penggoreng adalah : 1. Laju pindah panas yang optimal dari elemen pemanas ke minyak goreng dan dari minyak goreng ke produk sehingga penggorengan dapat berlangsung dengan cepat dan konsumsi energi yang lebih sedikit. 2. Mengurangi laju kerusakan minyak goreng 3. Mengurangi resapan minyak ke dalam produk Warna Kentang Goreng Warna adalah salah satu parameter yang paling berpengaruh pada kualitas kentang goreng karena memberikan kesan pertama bagi konsumen (Fennema, 1996), sehingga warnalah yang menentukan waktu penggorengan kentang. Menurut Wibowo (2006) warna kuning coklat cerah (golden brown) adalah warna yang paling disukai oleh konsumen. Suhu penggorengan dan tebal produk adalah faktor yang paling mempengaruhi perubahan warna selama penggorengan (Krokida et all, 2001). Warna kentang goreng terjadi karena reaksi maillard yaitu reaksi antara gula reduksi dengan asam amino akibat adanya suhu yang tinggi pada kadar air yang rendah (Fennema, 1996). Warna kentang goreng diukur dalam skala Hunter yaitu L *, a *, dan b * yang merupakan standar internasional untuk pengukuran warna yang ditetapkan oleh Commission International d Eclairage pada tahun Parameter L * adalah komponen kecerahan dengan skala 0 sampai 100, parameter a * adalah komponen yang menunjukkan tingkat warna dari hijau ke merah dengan skala -120 sampai 120, dan b adalah komponen yang menunjukkan tingkat warna dari biru ke kuning dengan skala -120 sampai 120. Perubahan nilai L *, a *, dan b * selama penggorengan dipengaruhi oleh suhu dan waktu penggorengan. Nilai L * mengalami penurunan nilai dan nilai a * mengalami kenaikan selama penggorengan (Sahin, 2000). Sedangkan nilai b* membentuk kurva parabolik selama penggorengan (Tran, 2006). Parameter warna yang dipakai untuk menentukan kualitas warna penggorengan adalah parameter kecerahan (L*) sesuai dokumen FAO (2007). L* dengan nilai lebih dari 61 merupakan kategori yang sangat baik, nilai L* = termasuk kategori baik, dan nilai L* < 58 termasuk kategori 10

27 11 apkir. Parameter a* atau tingkat kemerahan merupakan parameter yang penting karena semakin lama waktu penggorengan semakin besar nilai a* dan warna kentang kentang semakin tidak disukai ( Krokida et al, 2001) karena warna kentang semakin coklat tua. Parameter a* juga merupakan indikator kandungan akrilamida dalam kentang goreng (Tran, 2006). Parameter b* atau tingkat kekuningan warna merupakan parameter yang disenangi karena semakin tinggi nilai b* warna kentang goreng semakin keemasan (Krokida et al, 2001). Kandungan Minyak Kandungan minyak merupakan parameter penting dalam menentukan kualitas produk yang digoreng. Kandungan minyak dalam produk sudah mulai diperhatikan oleh masyarakat karena alasan kesehatan. Menurut Bouchon et all (2003) sebagian besar penyerapan minyak goreng terjadi setelah produk diangkat dari penggorengan, hal ini terjadi karena selama penggorengan tekanan uap air lebih besar dari pada tekanan minyak sehingga menghalangi minyak meresap ke dalam produk. Jumlah minyak goreng yang meresap ke dalam produk dipengaruhi oleh suhu penggorengan dan waktu penggorengan (Firdaus, et al. 2001). Menurut Mallikarjunan dalam Ballard (2003) untuk mengurangi dehidrasi dan penyerapan minyak maka produk bisa lapisi dengan edible coating. Pelapisan ini akan menghambat penguapan dari produk yang digoreng karena edible coating yang akan terlebih dahulu mengalami dehidrasi dan membentuk kerak sebagai penghambat dehidrasi sehingga penyerapan minyak oleh produk menjadi berkurang. Penyerapan minyak goreng oleh produk dipengaruhi oleh beberapa hal menurut Moreira dan Barrufet (1998) yaitu kandungan air awal, suhu udara pendingin setelah penggorengan dan ukuran produk. Sehingga secara keseluruhan faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak goreng ke dalam kentang adalah : 1. Kadar air produk sebelum dan sesudah penggorengan 2. Waktu pengggorengan (tebal kerak yang terbentuk selama penggorengan) 3. Pelapisan (edible coating) 4. Ukuran produk (luas permukaan) 5. Suhu udara pendingin 11

28 12 Kadar air dalam produk yang digoreng mempengaruhi penyerapan minyak goreng karena kadar air akan mempengaruhi pembentukan pori-pori dan tebal kerak akibat dehidrasi melalui penguapan. Pori-pori dan tebal kerak berbanding lurus dengan penyerapan minyak goreng ke dalam produk. Tebal kerak tergantung pada lama penggorengan dan suhu penggorengan, semakin lama dan semakin tinggi suhu penggorengan akan menghasilkan kerak yang semakin tebal (Moirera dan Barrufet, 1998). Ukuran produk menentukan luas permukaan produk yang akan menyerap minyak goreng. Semakin luas permukaan produk maka semakin tinggi minyak yang dapat diserap oleh produk dan sebaliknya. Suhu udara pendingin akan menentukan laju pendinginan produk sehingga mempengaruhi laju penyerapan minyak. Pendinginan yang cepat akan menaikkan viskositas minyak dan pori-pori tetap besar sehingga minyak terperangkap dalam kerak pada permukaan produk (Moirera dan Barrufet, 1998; dan Kassama, 2003). Berbagai perubahan fisik dan kimia yang terjadi dalam minyak goreng selama penggorengan berlangsung karena minyak goreng terpapar pada suhu yang tinggi ( ) o C. Penurunan kualitas minyak goreng pada umumnya disebabkan oleh oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi (Sangdehi, 2005; dan Gupta, 2005). Pindah Panas Pada Produk Skema perpindahan panas dalam deep-fat frying seperti pada Gambar 2.2 mengenai pindah panas dari minyak goreng ke produk dan dari permukaan ke pusat produk. Pada skema perpindahan panas, produk dibagi menjadi dua bagian yaitu crust (δ(t)) dan core. Pada crust diasumsikan terdiri dari bahan padatan produk dan uap air sedang pada daerah core terdiri dari air dan bahan padatan produk sehingga densitas dan konduktivitas kedua daerah ini berbeda. Ketebalan crust setiap saat berubah (S(t) atau moving boundary sehingga akan mempengaruhi pindah panas selama penggorengan. Crust merupakan hambatan bagi pindah panas karena konduktivitas panasnya lebih rendah dari bagian core dari produk. 12

29 13 Vapor Konveksi Product Core Konduksi Crust Frying Oil (180 o C) Gambar 2.2. Pindah panas pada produk deep-fat frying Proses pemanasan yang terjadi selama deep-fat frying dibagi dalam dua tahap yaitu: 1. Pemanasan awal (heating-up) dimana permukaan produk dipanasi sampai mencapai titik didih air. 2. Pemanasan untuk evaporasi dimana pindah panas dari minyak goreng ke produk sebagian besar digunakan untuk evaporasi dan perpindahan panas dari minyak ke produk berubah dari natural convection menjadi boiling heat transfer. Sistem koordinat atau diskretisasi satu dimensi yang berhubungan dengan persamaan-persamaan yang digunakan dalam analisis pindah panas pada produk yang digoreng digambarkan seperti pada Gambar 2.3. Center X=0 T c t T b+1 t Interface X=δ(t) T b-1 t Surface X=L/2 ΔX n t T oil T m t T m-1 t T b T S+1 t T S t Gambar 2.3. Diskretisasi produk 13

30 14 Tahap pemanasan menggunakan persamaan dengan difusifitas panas konstan pada kondisi unsteady (Holman,1980): 2 T T = α 2 t x (8) Persamaan (8) menggunakan kondisi batas dan kondisi awal berikut ini : T k = ho ( Toil Ts ( t)), x = L/2, t >0 (8a) x dimana : h o = f(gr, Pr) (8b) k cr T x 1 = k co T x 11, x = δ(t ), t >0 (8c) T x T = T = = 0, x = 0, t >0 (8d) T 0, 0< x < L/2, t = 0 (8e) dimana: α = difusivitas panas (m 2 /s), δ(t) = tebal crust (m), h 0 = koefisien pindah panas konveksi (W/m 2 K) T 1 & T 11 = masing-masing suhu crust dan core (K) Gr = bilangan Grashoff Pr = bilangan Prandtl T 0 = suhu awal produk (C) T S (t) = Suhu permukaan produk (C) Tahap evaporasi awal, daerah pindah panas terbagi dua yaitu daerah crust dan core, untuk daerah crust digunakan persamaan Laplace dengan asumsi pseudo-state: 2 T 2 x dengan kondisi batas 1 = 0, δ(t) < x < L/2 (9) 1 T ( x, t) = T ( t), x = L/2, t > 0 (9a) s T 1 ( δ, t) =, x = δ(t), t > 0 (9b) T b 14

31 15 Untuk daerah core digunakan persamaan : dimana : T t 11 Dengan kondisi batas : T N T = α + x, (10) 2 x ρ x T 11 = suhu pada bagian core (K) N x = fluks laju pindah massa (kg/m 2 s) ρ = massa jenis produk (kg/m 3 ) 11 T = T b, x = δ t), t > 0 (10a) k cr T x 1 = k co T x 11 + m wo δ λ, x = δ(t), t > 0 (10b) t 11 T = 0, x = 0, t > 0 (10c) x dimana : λ = panas laten penguapan (kj/kg K) k cr = konduktivitas panas crust (W/m K) k co = konduktivitas panas core (W/m K) m wo = konsentrsi awal air dalam produk (kg air/m 3 produk) δ/ t = tebal crust setiap selang waktu (m) Suhu minyak di sekitar prosuk turun tajam saat awal penggorengan karena suplai daya terbatas sedangkan daya yang diperlukan sangat besar. Besarnya penurunan suhu minyak tergantung pada daya penggorengan dan volume minyak yaitu selisih antara daya penggorengan yang disuplai (q s ) dengan daya yang terpakai oleh produk (q in ). Daya yang terpakai oleh produk seperti pada Persamaan 10b yang digunakan untuk penguapan dan menaikkan suhu produk yaitu : T δ qin = hb ( Toil Ts ( t)) = k + mwoλ (11) x t dimana : h b = koefisien boiling heat transfer (W/m 2 K) Sedangkan daya dari elemen pemanas (q s ) ke minyak goreng yang diserap oleh permukaan produk adalah : q s = P / A (12) 15

32 16 dimana : P = daya pada elemen pemanas (W) A = luas permukaan produk (m 2 ) Pindah massa yang terjadi selama evaporasi berlangsung menggunakan persamaan hukum Fick yang kedua dengan difusivitas massa yang konstan : m t d m = Dm x 2 d 2 (13) Dengan kondisi batas dan kondisi awal: m d = 0, x = δ(t), t > 0 (13a) m d = 0 x, x = 0, t>0 (13b) m = 1 11 d ( x,0) = md ( x,0) md 0 Nilai N x dalam persamaan 10 dapat di hitung dengan : dimana : N x m = D w m m x w md = ρ ( 1+ md ), t = 0 (13c) m w = konsentrasi air dalam produk (kg air/m 3 produk) D m = difusivitas massa efektif (m 2 /s) m d = kandungan air basis kering (kg air/kg padatan) ρ = massa jenis produk (kg/m 3 ) (14) (14a) 16

33 17 Parameter dalam Desain Parameter-parameter yang akan digunakan dalam mendesain alat penggorengan adalah seperti pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. Parameter yang digunakan dalam desain alat penggorengan Parameter (Kentang) Nilai Keterangan Massa jenis produk (ρ) 1100 kg/m 3 Yaniv (2006) Konduktivitas rata-rata (k) 0,33 W/m.K Arifin (1993) dalam Yaniv (2006) Konduktivitas crust (k cr ) 0,119 W/m.K Arifin (1993) dalam Yaniv (2006) Panas spesifik core (Cp) 3,45 kj/kg.k Arifin (1993) dalam Yaniv (2006) Panas spesifik crust (Cp 1 ) 3,05 kj/kg.k Arifin (1993) dalam Yaniv (2006) Panas spesifik rata-rata (C p3 ) 3,25 kj/kg.k Arifin (1993) dalam Yaniv (2006) Panas laten penguapan (λ) 2257 x 10 3 J/kg Incrovera and Dewit (2003) dalam Yaniv (2006) Koefisien konveksi (h o ) 350 W/m 2 K Farkas et al (1996) dalam Tangduangdee et al (2003) Koefisien konveksi boiling (h b ) 500 W/m 2 K Farkas et al (1996) dalam Tangduangdee et al (2003) Ukuran kentang goreng 10 mm x 10 mm Ukuran yang digunakan di KFC Temperatur Penggorengan 180 o C Tangduangdee et al, 2003 Titik didih 105 o C Yaniv (2006) Massa jenis minyak (ρ) 900 kg/m 3 Ong et al (1984) Panas jenis minyak 180 o C (Cp) 2,53 kj/kg.c Kurt Berger (2005) Konduktvitas minyak (180 o C) 0,142 W/mK Kurt Berger (2005) Viskositas kinematik minyak (180 o C) (2,5.-5).10-6 m 2 /s Przybylski R (2002) Viskositas kinematik minyak (40 o C) 4, m 2 /s Kurt Berger (2005) Koefisien pemuaian 7, C -1 Kurt Berger (2005) Difusivitas panas minyak goreng 7, m 2 /s Kurt Berger (2005) 17

34 DESAIN ALAT PENGGORENG Perhitungan Dimensi Penggoreng Hal-hal yang mempengaruhi dimensi penggoreng adalah : 1. Bilangan Rayleigh (Ra) 2. Kapasitas penggorengan Bilangan Rayleigh seperti pada persamaan (5) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara gaya apung dengan gaya gesekan akibat kekentalan minyak goreng yang merupakan indikator pindah panas pada konveksi bebas yang dipanaskan dari bawah. Bahan standar yang digunakan untuk membuat wadah penggoreng adalah stainless steel tetapi dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah aluminium dengan tebal plat 0,8 mm. Tinggi Minyak Dalam Penggoreng Penentuan tinggi minimal minyak goreng dalam penggoreng pada suhu penggorengan seperti pada tinjauan pustaka di atas yaitu didasarkan pada bilangan Rayleigh pada daerah laminar 10 5 < Ra<10 11 pada kriteria plat yang dipanaskan dari bawah (Lienhard IV dan Lienhard V, 2006) agar perpindahan panas secara konveksi bebas dapat terjadi dengan baik sekalipun pada beda suhu yang kecil secara vertikal dalam minyak goreng. Beda suhu yang dimaksud adalah beda suhu yang kecil dalam minyak goreng secara vertikal antara suhu di dasar dan di bagian atas penggoreng. Beda suhu yang digunakan dalam desain ini dipilih T = 1 o C. Tinggi minimal minyak goreng dihitung menggunakan persamaan (5) dengan data teknis dari Tabel 2.1 sebagai berikut Ra = 10 6, ν = m 2 /s, β =7, K -1, T=1 o C, dan α=7, m 2 /s, adalah: H 3 = Ra.α.ν/ β.g. T = , /7, ,81.1 = 0,043 m 3 H =( 0.043) 0,333 = 0,35 m = 35 cm Adanya zona dingin (cold zone) di dasar penggoreng (Hc) untuk mencegah sisa-sisa penggorengan (food debris) mempercepat kerusakan minyak goreng karena pemanasan yang berlebihan sehingga terjadi karbonisasi (FSTC, 2002). Bila suhu

35 19 penggorengan 180 o C dan udara luar 30 o C, pada keadaan steady state daerah yang mempunyai temperatur dibawah titik didih air dalam produk 105 o C (Yaniv, 2006) harus mampu menampung food debris selama penggorengan. Pada desain ini digunakan cold zone sebesar 5 cm dimana 2-3 cm dari dasar penggorengan merupakan daerah yang aman untuk debris food, sehingga tinggi minimal minyak goreng (Hm) pada penggoreng ini adalah : Hm = H + Hc = = 40 cm Daya Penggorengan Penentuan diamater penggoreng ditentukan oleh kapasitas penggoreng atau sebaliknya. Kapasitas penggoreng ditentukan oleh volume dan bentuk produk yang digoreng, sedangkan jumlah energi yang diperlukan oleh produk yang digoreng dipengaruhi oleh luas permukaan produk, koefisien konveksi minyak goreng dan beda temperatur antara minyak goreng dengan permukaan produk seperti pada persamaan (1). Persamaan (1) menunjukkan bahwa beda suhu permukaan produk dengan suhu minyak goreng sangat menentukan laju pindah panas selama penggorengan sehingga daya yang diserap bervariasi selama penggorengan berlangsung. Pada 1-10 detik awal penggorengan energi yang diserap oleh produk sangat besar karena beda suhu antara permukaan produk dan minyak goreng yang besar yaitu rata-rata T = 100 o C menurut Farinu (2006) dan Supryanto et al (2006). Hal ini yang menyebabkan suhu minyak goreng di sekitar produk turun tajam pada awal penggorengan. Sedangkan suhu permukaan produk naik tajam pada 10 detik pertama penggorengan (Bouchon et al, 2005 dan Farinu, 2006). Daya yang dibutuhkan pada 10 detik pertama tersebut sangat besar yaitu: q = h b.a.(δt) = 500.1,5.100 = 75 kw Selama penggorengan berlangsung tebal crust (δ) bertambah seiring waktu penggorengan. French fries yang berkualitas baik harus mempunyai yang tebal crispy crust (1-2) mm (Loon,2005). Crust mempunyai konduktivitas panas (k cr ) yang kecil sehingga menghambat pindah panas dari minyak goreng ke produk seperti yang ditunjukkan oleh bilangan Biot (B i ) dan bilangan Stefan (S t ). B i = h b.δ/k cr = ,001/0,119 = 4,2 19

36 20 S t = C p1 (T s -T b )/λ = 3040( )/ = 0,081 Bilingan Biot yang jauh lebih besar dari 0,1 (B i = 4,2) menunjukkan bahwa crust merupakan penghambat pindah panas dari minyak ke produk sekalipun tebalnya hanya 1 mm. Bilangan Stefan yang jauh lebih kecil dari 1 (S t = 0,081) menunjukkan bahwa sebagian besar panas yang diterima oleh produk digunakan untuk penguapan dan hanya sebagian kecil yang digunkan untuk menaikan suhu produk. Oleh karena itu daya penggorengan adalah daya rata-rata yang diperlukan oleh produk seteleh suhu permukaan mendekati suhu minyak goreng. Suhu permukaan produk rata-rata lebih rendah (10-20) o C pada suhu penggorengan ( ) o C setelah detik penggorengan sedangkan suhu pusat produk juga mulai konstan pada o C (Farinu, 2006 dan Gokmen et al, 2006) pada detik penggorengan sehingga beda suhu rata-rata antara permukaan produk dengan pusat produk sebesar T = 60 o C. Luas permukaan produk dari 3 kg kentang dengan potongan penampang berukuran (10 x 10)mm 2 dan panjang rata-rata 80 mm adalah sekitar A = 1,5 m 2. Laju pindah panas dari permukaan ke pusat produk dihitung menggunakan persamaan (2) dengan data teknis dari Tabel 2.1 yaitu: k = 0,33 W/m. o C, A = 1,5 m 2 (3 kg), T = 60 o C, dan x = m (setengah dari tebal produk 10 mm) adalah : q = k.a.( T/ x) = 0,33.1,5.(60/0,005) = 5,94 kw = 6 kw Jadi daya yang digunakan adalah: q = 6 kw Volume Minyak Goreng Penentuan volume minyak goreng berdasarkan besarnya energi yang diperlukan oleh produk pada awal penggorengan agar suhu minyak goreng tidak turun melampaui perubahan suhu yang diinginkan yaitu T = 10 o C (Tangduangdee et al, 2003). Pada 10 detik pertama penggorengan membutuhkan energi yang besar (Supryanto et al, 2006). Beda suhu rata-rata selama 10 detik tersebut antara permukaan produk dengan minyak goreng sebesar T = 100 o C. Energi yang dibutuhkan produk selama 10 detik pertama penggorengan dihitung menggunakan persamaan (1) dengan data teknis dari Tabel 2.1 yaitu: h = 500 W/m 2o C, A = 1,5 m 2 (3 20

37 21 kg ), T = 100 o C, dan t = 10 detik sehingga energi yang dibutuhkan selama 10 detik pertama adalah: Q = h.a.( T).t = 500.1, = 750 kj Maka volume minyak goreng yang diperlukan dengan data teknis dari Tabel 2.1 yaitu :Cp = 2,53 kj/kg. o C, ρ = 900 kg/m 3, dan T = 10 o C adalah : V = Q/(Cp. T. ρ) = /( ) = 0,033 m 3 V = 33 liter Diameter Penggoreng Diameter penggoreng ditentukan oleh volume minyak goreng yang dipakai dengan tinggi minyak goreng dalam penggorengan (H = 35 cm) : d = (0,03/(0,785. 0,35)) 0,5 = 34 cm Tinggi penggoreng Tinggi total penggoreng (Ht) harus mampu menampung volume produk yang digoreng yaitu peningkatan ketinggian minyak goreng saat produk dimasukkan(hm) dan juga aman terhadap semburan minyak goreng akibat adanya uap dari produk yang digoreng. Tinggi semburan (Hs) biasanya 10% dari tinggi minyak goreng (Hs = 0,1Hm). Peningkatan tinggi minyak goreng oleh kapasitas rencana 3 kg setara 2,7 liter dan diameter penggorengan 34 cm maka penambahan tinggi penggoreng adalah : Hk = V/A = 0,0027/0,785.(0,34) 2 = 0,03 m Hk = 3 cm Tinggi total penggorengan (Ht) adalah Ht = Hm + Hk + 0,1Hm = = 47 = 50 cm (digenapkan) Elemen Pemanas Elemen pemanas terdiri dari dua bagian yaitu kawat pemanas (wire resistant) dan pipa pemanas yang terbuat dari incoloy. Kawat pemanas adalah paduan dari nikel (Ni 80%) dan krom (Cr 20%) tahan sampai suhu 1200 o C sedangkan incoloy adalah 21

38 22 paduan nikel (Ni 32,5%), krom (Cr 21%), dan besi (Fe 46%) serta karbon (C 0,05%) tahan sampai suhu 650 o C (Smith, 1981) Ukuran elemen pemanas disesuaikan dengan daya dan dimensi penggoreng. Pada penelitian ini, elemen pemanas ditempatkan di dasar dan bagian atas penggoreng seperti Gambar 3.1. Daya yang digunakan pada elemen pemanas bagian dasar didasarkan pada asumsi bahwa bouyancy force terjadi lebih besar sehingga daya yang digunakan akan lebih besar, dalam penelitian ini ditetapkan 3/4 (tiga per empat) dari daya total sehingga daya elemen pemanas bagian dasar (Pb) adalah : Pb = 0,75. 6 = 4,5 kw Daya elemen pemanas pada bagian atas (Pu) adalah: Pu = 6-4,5 = 1,5 kw Diameter pipa elemen pemanas yang tersedia di pasaran dan akan digunakan dalam desain ini adalah 8 mm dengan daya 1500 W dan 3000 W dengan panjang masing-masing 100 cm dan 300 cm. Kerapatan daya pada masing-masing elemen pemanas tersebut adalah 6,28 Watt/cm 2 dan 3,1 W/cm 2 termasuk kategori low watt density yaitu kurang dari 10 W/cm 2 (Khantal AB, 2002). Gambar Desain Penggoreng Elemen pemanas Gambar 3.1. Bentuk dan dimensi wadah penggoreng (dalam mm) 22

DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F

DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F151050061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ΔT = beda suhu antara produk dengan minyak goreng (K)

ΔT = beda suhu antara produk dengan minyak goreng (K) TINJAUAN PUSTAKA Penggorengan Penggorengan merupakan salah sau cara memasak makanan yang erua (Varela, 1988). Proses penggorengan melipui mencelupkan bahan ke dalam minyak yang panas dalam selang waku

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE... JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv... vi DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR GRAFIK...xiii DAFTAR TABEL... xv NOMENCLATURE... xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan

Lebih terperinci

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving PERPINDAHAN PANAS Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving force/resistensi Proses bisa steady

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola Perpindahan Panas Konveksi Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola Pengantar KONDUKSI PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI RADIASI Perpindahan Panas Konveksi Konveksi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian serta di dalam rumah tanaman yang berada di laboratorium Lapangan Leuwikopo,

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Sebuah modul termoelektrik yang dialiri arus DC. ( https://ferotec.com. (2016). www. ferotec.com/technology/thermoelectric)

Gambar 2.1 Sebuah modul termoelektrik yang dialiri arus DC. ( https://ferotec.com. (2016). www. ferotec.com/technology/thermoelectric) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Modul termoelektrik adalah sebuah pendingin termoelektrik atau sebagai sebuah pompa panas tanpa menggunakan komponen bergerak (Ge dkk, 2015, Kaushik dkk, 2016). Sistem pendingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penggunaan energi surya dalam berbagai bidang telah lama dikembangkan di dunia. Berbagai teknologi terkait pemanfaatan energi surya mulai diterapkan pada berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING REKAYASA LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING PENINGKATAN EFISIENSI SISTEM PEMANAS AIR KAMAR MANDI MENGGUNAKAN INJEKSI GELEMBUNG UDARA Peneliti : Ir. Sartono Putro, M.T. Ir. H. Sarjito, M.T. Ir. Jatmiko,

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN.

BAB III PERANCANGAN. BAB III PERANCANGAN 3.1 Beban Pendinginan (Cooling Load) Beban pendinginan pada peralatan mesin pendingin jarang diperoleh hanya dari salah satu sumber panas. Biasanya perhitungan sumber panas berkembang

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA Disusun Sebagai Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA

PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA DIKTAT KULIAH PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DARMA PERSADA 009 DIKTAT KULIAH PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA Disusun : ASYARI DARAMI YUNUS Jurusan Teknik Mesin,

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI Oleh : ASKHA KUSUMA PUTRA 0404020134 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA

ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN

Lebih terperinci

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN 4.1. Hot Water Heater Pemanasan bahan bakar dibagi menjadi dua cara, pemanasan yang di ambil dari Sistem pendinginan mesin yaitu radiator, panasnya di ambil dari saluran

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN KAJIAN KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI ALAMIAH PADA SALURAN PERSEGI EMPAT BERBELOKAN TAJAM OLEH Prof. DR. Ir. Ahmad Syuhada, M.

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI Oleh ILHAM AL FIKRI M 04 04 02 037 1 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB Pasteurisasi susu, jus, dan lain sebagainya. Pendinginan buah dan sayuran Pembekuan daging Sterilisasi pada makanan kaleng Evaporasi Destilasi Pengeringan Dan lain

Lebih terperinci

SUHU DAN KALOR DEPARTEMEN FISIKA IPB

SUHU DAN KALOR DEPARTEMEN FISIKA IPB SUHU DAN KALOR DEPARTEMEN FISIKA IPB Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak didapati penggunaan energi dalambentukkalor: Memasak makanan Ruang pemanas/pendingin Dll. TUJUAN INSTRUKSIONAL

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN OVEN UNTUK MENGERINGKAN TOKEK DENGAN SUMBER PANAS UDARA YANG DIPANASKAN KOMPOR LPG

RANCANG BANGUN OVEN UNTUK MENGERINGKAN TOKEK DENGAN SUMBER PANAS UDARA YANG DIPANASKAN KOMPOR LPG RANCANG BANGUN OVEN UNTUK MENGERINGKAN TOKEK DENGAN SUMBER PANAS UDARA YANG DIPANASKAN KOMPOR LPG Oleh: ANANTA KURNIA PUTRA 107.030.047 Dosen Pembimbing: Ir. JOKO SASETYANTO, MT D III TEKNIK MESIN FTI-ITS

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda BAB II DASAR TEORI 2.1 Benih Kedelai Penyimpanan benih dimaksudkan untuk mendapatkan benih berkualitas. Kualitas benih yang dapat mempengaruhi kualitas bibit yang dihubungkan dengan aspek penyimpanan adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F 351040121 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Heat Transfer Nur Istianah-THP-FTP-UB-2016

Heat Transfer Nur Istianah-THP-FTP-UB-2016 Heat Transfer Unsteady-state heat transfer Temperature is changing with time, it is a function of both location and time It was in such as process: food pasteurization, sterilization, refrigeration/chilling/cooling

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan 134 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan Prinsip dasar proses pengeringan adalah terjadinya pengurangan kadar air atau penguapan kadar air oleh

Lebih terperinci

KALOR SEBAGAI ENERGI B A B B A B

KALOR SEBAGAI ENERGI B A B B A B Kalor sebagai Energi 143 B A B B A B 7 KALOR SEBAGAI ENERGI Sumber : penerbit cv adi perkasa Perhatikan gambar di atas. Seseorang sedang memasak air dengan menggunakan kompor listrik. Kompor listrik itu

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA

TUGAS AKHIR PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama

Lebih terperinci

III. METODE PENDEKATAN

III. METODE PENDEKATAN III. METODE PENDEKATAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini akan dilaksanakan di PT. Triteguh Manunggal Sejati, Tangerang. Penelitian dilakukan selama 2 (dua) bulan, yaitu mulai dari bulan Oktober

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-204 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi

RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik TYSON MARUDUT MANURUNG NIM

Lebih terperinci

PENGANTAR PINDAH PANAS

PENGANTAR PINDAH PANAS 1 PENGANTAR PINDAH PANAS Oleh : Prof. Dr. Ir. Santosa, MP Guru Besar pada Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang, September 2009 Pindah Panas Konduksi (Hantaran)

Lebih terperinci

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2011 SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLIN FILM EVAPORATOR DENAN ADANYA ALIRAN UDARA Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP Jl. Prof H. Sudharto, SH, Tembalang,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

Scale-Up of Food Process

Scale-Up of Food Process Scale-Up of Food Process Ahmad Zaki Mubarok Materi: ahmadzaki.lecture.ub.ac.id Kajian Peningkatan Skala studi yang mengolah dan memindahkan data hasil percobaan laboratorium untuk merancang proses alat

Lebih terperinci

PENDINGIN TERMOELEKTRIK

PENDINGIN TERMOELEKTRIK BAB II DASAR TEORI 2.1 PENDINGIN TERMOELEKTRIK Dua logam yang berbeda disambungkan dan kedua ujung logam tersebut dijaga pada temperatur yang berbeda, maka akan ada lima fenomena yang terjadi, yaitu fenomena

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum di pabrik untuk produk minuman cup diproduksi hanya dua jenis produk yaitu jelly drink dan koko drink. Untuk produk jelly drink memiliki beberapa rasa yaitu apel, jambu,

Lebih terperinci

SIFAT SIFAT TERMIS. Pendahuluan 4/23/2013. Sifat Fisik Bahan Pangan. Unit Surface Conductance (h) Latent heat (panas laten) h =

SIFAT SIFAT TERMIS. Pendahuluan 4/23/2013. Sifat Fisik Bahan Pangan. Unit Surface Conductance (h) Latent heat (panas laten) h = /3/3 Pendahuluan SIFAT SIFAT TERMIS Aplikasi panas sering digunakan dalam proses pengolahan bahan hasil pertanian. Untuk dapat menganalisis proses-proses tersebut secara akurat maka diperlukan informasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MEKANIK INDUSTRI PROGRAM DIPLOMA-IV FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MEKANIK INDUSTRI PROGRAM DIPLOMA-IV FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008 KARYA AKHIR ANALISA STUDY TENTANG MESIN PENGGORENGAN DENGAN MENGGUNAKAN THERMOSIPHON REBOILER PADA PABRIK MIE INSTANT DENGAN KAPASITAS OLAH PABRIK 4. BUNGKUS /HARI LAMHOT AMRIS SAGALA 546 KARYA AKHIR YANG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN PATI DARI UBI KAYU SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING UNTUK MEMBUAT KERIPIK NENAS RENDAH LEMAK

KAJIAN PENGGUNAAN PATI DARI UBI KAYU SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING UNTUK MEMBUAT KERIPIK NENAS RENDAH LEMAK Volume 16, Nomor 2, Hal. 11 16 Juli Desember 2014 ISSN:0852-8349 KAJIAN PENGGUNAAN PATI DARI UBI KAYU SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING UNTUK MEMBUAT KERIPIK NENAS RENDAH LEMAK Fortuna, D,. F. Tafzi dan A.

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE

TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Kurikulum Sarjana Strata Satu (S-1)

Lebih terperinci

PERMASALAHAN. Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air

PERMASALAHAN. Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air Pengaruh inputan daya heater beban pada kapasitas pendinginan, koefisien konveksi, dan laju alir massa refrigeran.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI LAJU PERPINDAHAN KALOR DAN PENURUNAN TEKANAN AKIBAT PENGARUH LAJU ALIRAN UDARA PADA ALAT PENUKAR KALOR JENIS RADIATOR FLAT TUBE SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA

PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon) TIFF WAY 146 I PUTU SURYA WIRAWAN PROGRAM STUDI ILMU KETEKNIKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam

EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam EKSPERIMEN 1A WACANA Setiap hari kita menggunakan berbagai benda dan material untuk keperluan kita seharihari. Bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar BAB NJAUAN PUSAKA Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar 150.000.000 km, sangatlah alami jika hanya pancaran energi matahari yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM. Oleh: ASEP SUPRIATNA F

SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM. Oleh: ASEP SUPRIATNA F SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM Oleh: ASEP SUPRIATNA F14101008 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR UJI PERFORMANSI DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA 37 BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA Pada bab ini dijelaskan bagaimana menentukan besarnya energi panas yang dibawa oleh plastik, nilai total laju perpindahan panas komponen Forming Unit

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI RASIO UDARA-BAHAN BAKAR (AIR FUEL RATIO) TERHADAP GASIFIKASI BIOMASSA BRIKET SEKAM PADI PADA REAKTOR DOWNDRAFT SISTEM BATCH

PENGARUH VARIASI RASIO UDARA-BAHAN BAKAR (AIR FUEL RATIO) TERHADAP GASIFIKASI BIOMASSA BRIKET SEKAM PADI PADA REAKTOR DOWNDRAFT SISTEM BATCH PENGARUH VARIASI RASIO UDARA-BAHAN BAKAR (AIR FUEL RATIO) TERHADAP GASIFIKASI BIOMASSA BRIKET SEKAM PADI PADA REAKTOR DOWNDRAFT SISTEM BATCH Oleh : ASHARI HUTOMO (2109.105.001) Pembimbing : Dr. Bambang

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR MODEL WATER HEATER KAPASITAS 10 LITER DENGAN INJEKSI GELEMBUNG UDARA

STUDI EKSPERIMENTAL KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR MODEL WATER HEATER KAPASITAS 10 LITER DENGAN INJEKSI GELEMBUNG UDARA TUGAS AKHIR STUDI EKSPERIMENTAL KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR MODEL WATER HEATER KAPASITAS 10 LITER DENGAN INJEKSI GELEMBUNG UDARA Disusun: SLAMET SURYADI NIM : D 200050181 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS

Lebih terperinci

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada:

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada: Baking and roasting Pembakaran dan memanggang pada dasarnya operasi dua unit yang sama: keduanya menggunakan udara yang dipanaskan untuk mengubah kualitas makanan. pembakaran biasanya diaplikasikan pada

Lebih terperinci

Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian Bab III Metode Penelitian III.1 Flowchart Penelitian Tahap-tahap dalam penelitian ini dijelaskan pada flowchart Gambar III.1. Hasil Uji Struktur Mikro dan Uji Keras Hasil Uji Struktur Mikro dan Uji Keras

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU ALIRAN PANAS PADA REAKTOR TANKI ALIR BERPENGADUK DENGAN HALF - COIL PIPE

ANALISIS LAJU ALIRAN PANAS PADA REAKTOR TANKI ALIR BERPENGADUK DENGAN HALF - COIL PIPE ANALISIS LAJU ALIRAN PANAS PADA REAKTOR TANKI ALIR BERPENGADUK DENGAN HALF - COIL PIPE Ir.Bambang Setiawan,MT 1. Chandra Abdi 2 Lecture 1,College student 2,Departement of machine, Faculty of Engineering,

Lebih terperinci

Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data

Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data 4.1 Data Percobaan Parameter yang selalu tetap pada tiap percobaan dilakukan adalah: P O = 1 atm Panci tertutup penuh Bukaan gas terbuka penuh Massa air pada panci

Lebih terperinci

PENGARUH KOEFISIEN PERPINDAHANKALOR KONVEKSI DAN BAHAN TERHADAP LAJU ALIRAN KALOR, EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI SIRIP DUA DIMENSI KEADAAN TAK TUNAK

PENGARUH KOEFISIEN PERPINDAHANKALOR KONVEKSI DAN BAHAN TERHADAP LAJU ALIRAN KALOR, EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI SIRIP DUA DIMENSI KEADAAN TAK TUNAK i PENGARUH KOEFISIEN PERPINDAHANKALOR KONVEKSI DAN BAHAN TERHADAP LAJU ALIRAN KALOR, EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI SIRIP DUA DIMENSI KEADAAN TAK TUNAK TUGAS AKHIR Untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat III. MEODE PENELIIAN A. Waktu dan empat Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi Surya Leuwikopo, serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen eknik Pertanian, Fakultas eknologi

Lebih terperinci

MODIFIKASI MESIN PEMBANGKIT UAP UNTUK SUMBER ENERGI PENGUKUSAN DAN PENGERINGAN PRODUK PANGAN

MODIFIKASI MESIN PEMBANGKIT UAP UNTUK SUMBER ENERGI PENGUKUSAN DAN PENGERINGAN PRODUK PANGAN MODIFIKASI MESIN PEMBANGKIT UAP UNTUK SUMBER ENERGI PENGUKUSAN DAN PENGERINGAN PRODUK PANGAN Ekoyanto Pudjiono, Gunowo Djojowasito, Ismail Jurusan Keteknikan Pertanian FTP, Universitas Brawijaya Jl. Veteran

Lebih terperinci

Konduksi Mantap Satu Dimensi (lanjutan) Shinta Rosalia Dewi

Konduksi Mantap Satu Dimensi (lanjutan) Shinta Rosalia Dewi Konduksi Mantap Satu Dimensi (lanjutan) Shinta Rosalia Dewi SILABUS Pendahuluan (Mekanisme perpindahan panas, konduksi, konveksi, radiasi) Pengenalan Konduksi (Hukum Fourier) Pengenalan Konduksi (Resistensi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem merupakan sekumpulan obyek yang saling berinteraksi dan memiliki keterkaitan antara satu obyek dengan obyek lainnya. Dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F14101107 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Termodinamika. Energi dan Hukum 1 Termodinamika

Termodinamika. Energi dan Hukum 1 Termodinamika Termodinamika Energi dan Hukum 1 Termodinamika Energi Energi dapat disimpan dalam sistem dengan berbagai macam bentuk. Energi dapat dikonversikan dari satu bentuk ke bentuk yang lain, contoh thermal, mekanik,

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah

Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah Fluida adalah zat aliar, atau dengan kata lain zat yang dapat mengalir. Ilmu yang mempelajari tentang fluida adalah mekanika fluida. Fluida ada 2 macam : cairan dan gas. Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae)

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Oleh : PERI PERMANA F14102083 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUDUT ATAP CEROBONG TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA RUANG PENGERING BERTINGKAT DAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS

PENGARUH SUDUT ATAP CEROBONG TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA RUANG PENGERING BERTINGKAT DAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PENGARUH SUDUT ATAP CEROBONG TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA RUANG PENGERING BERTINGKAT DAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS Nawawi Juhan 1 1 Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe *Email:

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perancangan 4.1.1 Gambar Rakitan (Assembly) Dari perancangan yang dilakukan dengan menggunakan software Autodesk Inventor 2016, didapat sebuah prototipe alat praktikum

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI

PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Termal Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Riau (Juni Oktober 2016). 3.2 Jenis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan

Lebih terperinci

Heat Transfer Nur Istianah-THP-FTP-UB-2015

Heat Transfer Nur Istianah-THP-FTP-UB-2015 Heat Transfer Heat transfer by convection Rate of heat tranfer q = h (T T 2 ) q = heat transfer rate (W) = luas permukaan (m 2 ) T = suhu permukaan padatan (K) T 2 = suhu bulk dari fluida (K) h = koefisien

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI Oleh IRFAN DJUNAEDI 04 04 02 040 1 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN 0 o, 30 o, 45 o, 60 o, 90 o I Wayan Sugita Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta e-mail : wayan_su@yahoo.com ABSTRAK Pipa kalor

Lebih terperinci

BAB II Dasar Teori BAB II DASAR TEORI

BAB II Dasar Teori BAB II DASAR TEORI II DSR TEORI 2. Termoelektrik Fenomena termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 82 oleh ilmuwan Jerman, Thomas Johann Seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian. Di antara kedua

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN INTISARI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN i ii iii iv v vi viii x xii

Lebih terperinci

KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN

KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKING AND ROASTING

RINGKASAN BAKING AND ROASTING RINGKASAN BAKING AND ROASTING Bab I. Pendahuluan Baking dan Roasting pada pokoknya merupakan unit operasi yang sama: keduanya menggunakan udara yang dipanaskan untuk mengubah eating quality dari bahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.2 Prosedur Percobaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.2 Prosedur Percobaan BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Berikut ini merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum mengenai kinetika bahan pangan selama penggorengan. 3.1.1 Alat Alat yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sejarah Termoelektrik Fenomena termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh ilmuwan Jerman, Thomas Johann Seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian.

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM PENDINGIN TRANSFORMATOR FREKUENSI TINGGI PADA MESIN BERKAS ELEKTRON 300 kev/20 ma

DESAIN SISTEM PENDINGIN TRANSFORMATOR FREKUENSI TINGGI PADA MESIN BERKAS ELEKTRON 300 kev/20 ma DESAIN SISTEM PENDINGIN TRANSFORMATOR FREKUENSI TINGGI PADA MESIN BERKAS ELEKTRON 300 kev/20 ma Mukhammad Cholil, Suprapto, Suyamto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN Jl. Babarsari Kotak

Lebih terperinci

T P = T C+10 = 8 10 T C +10 = 4 5 T C+10. Pembahasan Soal Suhu dan Kalor Fisika SMA Kelas X. Contoh soal kalibrasi termometer

T P = T C+10 = 8 10 T C +10 = 4 5 T C+10. Pembahasan Soal Suhu dan Kalor Fisika SMA Kelas X. Contoh soal kalibrasi termometer Soal Suhu dan Kalor Fisika SMA Kelas X Contoh soal kalibrasi termometer 1. Pipa kaca tak berskala berisi alkohol hendak dijadikan termometer. Tinggi kolom alkohol ketika ujung bawah pipa kaca dimasukkan

Lebih terperinci

MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA

MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik JUNIUS MANURUNG NIM.

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TUGAS AKHIR PENGUJIAN MODEL WATER HEATER FLOW BOILING DENGAN VARIASI GELEMBUNG UDARA Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Mesin Fakultas Teknik Univesitas

Lebih terperinci

komunikasi penulis, -

komunikasi penulis,   - Jurnal Teknik Pertanian Lampung Vol. 2, No. 3: 173-184 PENGARUH PENAMBAHAN SERAT TEMBAGA PADA SUMBU KOMPOR TERHADAP KINERJA KOMPOR MINYAK JELANTAH [EFFECTS OF COPPER WIRE ADDED WICK ON THE PERFORMANCE

Lebih terperinci