BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.2 Prosedur Percobaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.2 Prosedur Percobaan"

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Berikut ini merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum mengenai kinetika bahan pangan selama penggorengan Alat Alat yang digunakan dalam praktikum kinetika bahan pangan selama penggorengan yaitu sebagai berikut. 1. Deep fryer (panci penggorenegean rendam) 2. Termokopel sebagai alat pengukur suhu kontan penggorengan 3. Piring sterofoam sebagai alat meletakan/menyimpan sampel 4. Penetrometer kerucut sebagai alat pengukur kekeraan bahan 5. Pisau sebagai alat pemotong 6. Stopwatch sebagai alat pengukur waktu saat menggoreng 7. Alat tulis sebagai alat pencatat data hasil percobaan Bahan Bahan yang dipakai dalam pelaksanaan praktikum kinetika bahan pangan selama penggorengan melliputi : 1. Kentang sebagai bahan pengujian 2. Chicken Nugget sebagai bahan pengujian 3. Minyak goreng sebagai bahan penggoreng bahan uji 3.2 Prosedur Percobaan Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan praktikum mengenai kinetika bahan pangan selama penggorengan yaitu sebagai berikut. A. Mengukur perubahan kekerasan sampel selama penggorengan 1. Mengukur kekerasan satu buah sampel masing-masing bahan uji (kentang dan nugget) yang tidak digoreng menggunakan penetrometer kerucut

2 banyak 3 kali pengulangan. Bahan yang tidak digoreng tersebut sebagai bahan uji pada t = Menyiapkan dan memanaskan penggorengan berisi minyak goreng secukupnya hingga mencapai suhu konstan sebesar 180 o C. 3. Menyiapkan 6 sampel kentang dan nugget dengan menentukan masingmasing sampel pada t 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, 5 menit, 6 menit dan 7 menit. 4. Menggoreng setiap bahan uji selama waktu yang telah ditentukan pada masing-masing sampel. 5. Mengukur nilai kekerasan setiap sampel setelah selesai digoreng sesuai waktu yang telah ditentukan pada masing-masing sampel menggunakan piknometer kerucut. B. Mengukur pengaruh suhu terhadap laju perubahan Melakukan langkah-langkah percobaan seperti pada langkah kerja A namun menggunakan minyak goreng dengan suhu konstan 160 o C. C. Melakukan pengujian sensor kematangan sampel 1. Memberikan skor/nilai pada setiap sampel berdasarkan perubahan warna pada sampel t = 0 menit hingga sampel t = 7 menit. Range penilaian perubahan warna yaitu sebagai berikut. 1 : Putih 2 : Putih agak kuning 3 : Kuning 4 : Coklat muda 5 : Coklat tua 2. Memberikan skor/nilai pada setiap sampel berdasarkan tingkat kematangan pada sampel t = 0 menit hingga sampel t = 7 menit. Range penilaian tingkat kematngan yaitu sebagai berikut. 1 : Mentah 2 : Agak mentah 3 : Sedang

3 4 : Agak matang 5 : Matang 3. Memberikan skor/nilai pada setiap sampel berdasarkan tingkat kekerasan pada sampel t = 0 menit hingga sampel t = 7 menit. Range penilaian tingkat kekerasan yaitu sebagai berikut. 1 : Sangat keras 2 : Agak keras 3 : Sedang 4 : Agak lunak 5 : Lunak

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggorengan Menggoreng merupakan perlakuan panas terhadap bahan untuk mematangkan bahan. Proses utama yang terjadi selama proses penggorengan adalah perpindahan panas dan massa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas. Panas yang diterima bahan akan dipergunakan untuk berbagai keperluan antara lain: untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein, pencoklatan dan karamelisasi (Ratnaningsih et al., 2007). Penggorengan adalah suatu unit operasi yang digunakan untuk mengubah eating quality suatu makanan dan memberikan efek pengawetan akibat destruksi thermal mikroorganisme dan enzim, serta menurunkan aktivitas air. Umur simpan bahan gorengan hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah penggorengan. Tujuan dilakukannya penggorengan adalah untuk menghasilkan produk yang mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan cita rasa, warna, kandungan gizi dan daya awet produk (Ketaren, 1986). Suhu permukaan naik dengan cepat dan air menguap sebagai uap air ketika makanan dimasukkan ke dalam minyak panas. Bagian permukaan mulai mongering dan selanjutnya evaporasi masuk ke bagian dalam makanan, lalu terbentuklah crust. Suhu permukaan kemudian naik sampai ke suhu minyak dan suhu internal dengan lambat naik menjadi 100 o C (Fellows, 1990). Ada dua metode penggorengan yang dibedakan menurut metode transfer panasnya, yaitu pan frying (sistem gangsa) dan deep fat frying (sistem penggorengan biasa). Bahan yang digoreng dengan menggunakan metode pan frying tidak sampai terendam dalam minyak. Transfer panas ke makanan pada umumnya secara konduksi, yaitu dari permukaan wajan melalui lapisan tipis minyak. Penggorengan dengan metode deep fat frying, bahan yang digoreng terendam seluruhnya dalam minyak. Transfer panas pada metode ini merupakan kombinasi dari konveksi dalam minyak panas dan konduksi ke bagian dalam makanan, sehingga semua permukaan makanan menerima perlakuan yang sama untuk mencapai warna dan kenampakan yang seragam. Penggorengan dengan

5 metode deep fat frying, suhu minyak dapat mencapai 200 sampai 205 o C (Ketaren, 1986). Pemilihan suhu penggorengan merupakan faktor yang menentukan hasil gorengan yang dinilai berdasarkan kenampakan, flavor, lemak yang terserap dan stabilitas penyimpanan serta faktor ekonomi. Mutu hasil gorengan dengan stabilitas penyimpanan yang baik dihasilkan pada suhu penggorengan yang paling rendah. Walaupun penggunaan suhu rendah dapat memperbaiki mutu hasil gorengan, namun jarang diterapkan karena pertimbangan ekonomi. Hal ini disebabkan karena penggunaan suhu tinggi memerlukan biaya produksi yang lebih murah dan waktu penggorengan relatif lebih singkat. Suhu menggoreng yang optimum adalah sekitar F ( C). Salah satu pertimbangan digunakan suhu penggorengan yang optimum adalah pengaruhnya langsung terhadap warna bahan pangan yang digoreng. Proses penggorengan berlangsung dalam dua tahap pindah panas, yaitu constant rate period dan falling rate period. Tahap pertama, suhu permukaan naik hingga titik tertentu dimana air mulai menguap. Air bergerak dari bagian dalam bahan makanan pada kecepatan yang sama selama terjadi evaporasi pada permukaan, Oleh karena itu tahap ini disebut constant rate period. Tahap kedua terjadi pada saat kadar air dan suhu permukaan berada di atas 100 o C. Kecepatan pengeringan pada tahap ini menurun hingga mencapai nol pada equilibrium moisture content, yaitu kadar air bahan makanan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekelilingnya. Tahap pengeringan ini disebut falling rate period. Pada tahap ini mulai terbentuk crust pada bagian permukaan makan dan zone isotermal 100o C bergerak menuju bagian dalam produk, sehingga crust menjadi bagian luar zone isotermal tersebut. Tahap selanjutnya adalah penyeragaman suhu pada produk dan berakhir ketika suhu pusat produk mencapai suhu maksimum. Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi Maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan

6 pangan, sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna permukaan bahan pangan (Ketaren, 1986). Makanan gorengan hendaknya memiliki warna coklat yang baik dan absorbs minyak yang minimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi sifat sifat ini adalah suhu minyak goreng, penggunaan suhu minyak yang terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crust pada permukaan bahan makanan terlalu cepat sehingga pemasakan dan pengeringan pada bagian dalam bahan makanan tidak sempurna. Apabila suhu yang digunakan terlalu rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin banyak minyak terabsorbsi. Proses penggorengan selain menyebabkan perubahan kimia dalam bahan pangan juga pada minyak gorengnya. Kerusakan minyak goreng ini akan dapat mempengaruhi mutu bahan pangan dan bahkan dihasilkan produk-produk yang membahayakan. Degradasi komponen minyak antara lain mengakibatkan titik asap turun dan akan berlangsung lebih cepat apabila suhu penggorengan lebih tinggi daripada normal (lebih tinggi oC). Titik asap ini menunjukkan saat terbentuknya akrolein yang dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan (Ketaren, 1986). Menurut Ketaren (1986), kerusakan (oksidasi) yang lebih lanjut dari minyak akan menghasilkan alkohol, aldehid, asam dan hidrokarbon yang menyebabkan flavor dan warna minyak menjadi gelap. Oksidasi minyak juga dapat menghasilkan radikal bebas dan senyawa-senyawa yang bersifat karsinogen atau toksik. Kecepatan oksidasi minyak sejalan dengan derajat ketidak-jenuhan asam lemaknya. Semakin tidak jenuh asam lemak dalam minyak, maka akan semakin mudah minyak tersebut teroksidasi.

7 2.2 Deep Frying Deep frying adalah memasak dengan metode di mana makanan terendam panas lemak misalnya minyak. Hal ini biasanya dilakukan dengan penggorengan atau panci Chip, industri, sebuah penggoreng tekanan atau penggoreng vakum dapat digunakan. Deep frying diklasifikasikan sebagai metode memasak kering karena tidak ada air yang digunakan. Karena suhu tinggi yang terlibat dan konduksi panas tinggi minyak, memasak makanan yang sangat cepat. Gambar 1. Deep Frying Jika dilakukan dengan benar, deep-menggoreng tidak membuat makanan berlebihan berminyak, karena kelembaban dalam makanan repels minyak. Minyak panas memanaskan air dalam makanan, mengepul itu, minyak tidak bisa melawan arah aliran ini kuat karena (karena suhu tinggi) uap air mendorong gelembung ke permukaan. Selama minyak yang cukup panas dan makanan tidak tenggelam dalam minyak terlalu lama, penetrasi minyak akan terbatas pada permukaan luar. Namun, jika makanan dimasak dalam minyak terlalu lama, banyak air akan hilang dan minyak akan mulai menembus makanan. Menggoreng yang benar temperatur tergantung pada ketebalan dan jenis makanan, tetapi dalam banyak kasus itu terletak di antara C ( F).

8 DAFTAR PUSTAKA Anonim Laju Perubahan Suhu Terhadap Tekstur Pangan. Available at: B%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=6 Diakses pada Selasa, 26 Maret Haryanti, Pefita. Nilai Kualitas Minyak Selama Penggorengan. Available at : Diakses pada Selasa, 26 Maret Ketaren, S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press : Jakarta. Rusendi, Dadi., dkk Penuntun Praktikum MK. Teknik Peneangan Hasil Pertanian Agribisnis. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran. Zain, Sudryanto, dkk Teknk Penangan Hasil Pertanian. Bndung: Pustaka Giratuna, Universitas Padjadjaran.

9 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggorengan merupakan salah satu proses memasak bahan pangan secara cepat dan praktis, dengan menggunakan media minyak. Penggorengan dengan proses pencelupan bahan pangan ke dalam minyak panas (deep frying) sangat penting dan banyak dilakukan dalam industri makanan. Tujuan utama dari penggorengan bahan pangan adalah untuk membuat bahan pangan menjadi masak dan siap dikonsumsi. Selain itu juga bertujuan untuk memberi warna yang lebih merata dan tekstur bahan pangan yang menarik serta mengembangkan citarasa dan aroma pada bahan pangan. Selama proses penggorengan terjadi modifikasi karakteristik suatu bahan pangan baik secara fisika, kimia dan tanggapan panca indra atau sensorik. Dalam aspek fisik, tekstur merupakan salah satu parameter mutu makanan yang dapat dirasakan oleh tangan, jari, lidah, dan gigi. Nilai tekstur suatu bahan pangan dapat ditentukan melalui nilai gaya tekan bahan pangan. Dalam praktikum kali ini akan dilakukan percobaan mengenai kinetika bahan pangan berupa gaya tekan yang dimiliki setiap sampel dengan perlakuan yang berbeda. Gaya tekan yang diamati akan berkorelasi dengan keadaan teksur dan kenampakan sensorik lain pada bahan pangan itu sendiri. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dilakukannya percobaan kinetika bahan pangan selama proses penggorengan antara lain : 1. Mengetahui hubungan nilai gaya tekan suatu bahan pangan terhadap nilai teksturnya. 2. Mengetahui hubungan kualitas sensorik suatu bahan pangan terhadap waktu (lamanya) selama proses penggorengan. 3. Mengetahui perbedaan nilai kinetika suatu bahan pangan yang berbeda.

10 BAB IV HASIL PERCOBAAN 4.1 Hasil Pengukuran dan Pengamatan Berikut ini merupakan data hasil pengujian penggorengan pada bahan berupa nugget dan kentang. Tabel 1. Hasil Pengujian Nugget pada Suhu Penggorengan 160 C No. t (menit) Kematangan Kelunakan Perubahan Warna Uji Sensori Uji Tekan ,33 1, ,33 1, ,67 1, , ,33 1, , , ,97 Tabel 2. Hasil Pengujian Nugget pada Suhu Penggorengan 180 C No. t (menit) Kematangan Kelunakan Perubahan Warna Uji Sensori Uji Tekan , , ,67 1, ,33 1, ,67 1, ,2167

11 ,67 1, ,3267 Tabel 3. Hasil Pengujian Kentang pada Suhu Penggorengan 160 C No. t (menit) Kematangan Kelunakan Perubahan Warna Uji Sensori Uji Tekan ,33 0, ,67 1, ,67 1, ,33 1, ,67 1, ,67 1, ,67 1, ,67 2 Tabel 4. Hasil Pengujian Kentang pada Suhu Penggorengan 180 C No. t (menit) Kematangan Kelunakan Perubahan Warna Uji Sensori Uji Tekan ,67 0, ,33 1, , ,67 1, , , ,33 1, ,67 1,5

12 Uji Tekan (kg) Uji Sensori Uji Tekan (kg) Uji Sensori 4.2 Analisa Data Penggorengan Nugget pada Suhu 160 C Uji Tekan 30.9 Grafik 1. Hubungan Uji Sensoris dan Uji Tekan Rerata terhadap Waktu pada Penggorengan Nugget Suhu 160 C Waktu (menit) Uji Sensori Penggorengan Nugget pada Suhu 180 C Uji Tekan Uji Sensori Waktu (menit) Grafik 2. Hubungan Uji Sensoris dan Uji Tekan Rerata terhadap Waktu pada Penggorengan Nugget Suhu 180 C 0

13 Uji Tekan (kg) Uji Sensori Uji Tekan (kg) Uji Sensori Penggorengan Kentang pada Suhu 160 C Waktu (menit) Uji Tekan Uji Sensori Grafik 3. Hubungan Uji Sensoris dan Uji Tekan Rerata terhadap Waktu pada Penggorengan Kentang Suhu 160 C Penggorengan Kentang pada Suhu 180 C Waktu (menit) Uji Tekan Uji Sensori Grafik 4. Hubungan Uji Sensoris dan Uji Tekan Rerata terhadap Waktu pada Penggorengan Kentang Suhu 180 C

14 BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai uji kinetika bahan pangan yaitu nugget dan kentang selama proses penggorengan. Pengujian tersebut meliputi uji sensori dan uji tekan. Pelaksanaan penggorengan menggunakan meteode deep frying yaitu metode penggorengan dimana bahan yang digoreng terendam seluruhnya dalam minyak. Suhu yang diujikan saat penggorengan yaitu C dan 180 o C dalam pengujian sampel pada waktu (t) yang beragam yaitu t = 0 menit sampai t = 7 menit. Pengujian bahan yang digunakan (nugget dan kentang) meliputi uji sensori dan uji tekan. Uji sensori meliputi pengamatan perubahan warna, perubahan tingkat kekerasan, dan tingkat kematangan bahan, sedangkan uji tekan diukur menggunakan penetrometer kerucut. Berdasarkan data hasil percobaan pada nugget dan kentang pada suhu 160 o C, diketahui nilai uji sensori saat nugget belum digoreng (t = 0) adalah 3.33, pada t = 1 menit dan seterusnya (t = 7 menit) nilai uji sensori semakin besar yaitu 5 saat t = 7 menit. Nilai uji sensori 5 menunjukkan bahwa nugget yang awalnya berwarna putih agak kuning, agak mentah, dan keras, saat digoreng selama 7 menit nugget tersebut menjadi berwarna coklat tua, sangat matang, dan lunak. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama dilakukan proses penggorengan pada suhu 160 o C, maka secara seonsori bahan pangan nilainya akan meningkat hampir 2 kali dari kondisi sebelumnya. Berbeda hal dengan nilai uji tekan nugget. Pada t = 0 nilai uji tekan nugget yaitu 1.6, sedangkan pada saat setelah proses penggorengan selama 7 menit, nilai uji tekan semakin menurun hingga pada nilai hal tersebut menunjukkan semakin lama bahan pangan dilakukan proses penggorengan, maka teksturnya akan semakin mudah ditekan (lunak) sehingga nilai uji tekannya akan semakin kecil. Begitupun yang terjadi pada kentang yang digoreng pada minyak dengan suhu 160 o C. Uji sensori awal (t = 0) kentang dengan nilai 2.33 menyatakan bahwa kondisi awal kentang agak mentah, berwarna agak kuning, dan tingkat kekerasan sedang setelah dilakukan penggorenegan selama 7 menit nilai sensori kentang

15 menjadi 4.67 yang menunjukkan bahwa kondisi akhir kentang berwarna coklat tua, sangat lunak, dan sangat matang. Sedangkan dalam nilai uji tekan, berbeda hal dengan nugget. Semakin lama kentang digoreng, maka nilai uji tekan malah semakin membesar. Kentang pada kondisi awal memiliki uji tekan 0.7 setelah digoreng selama 7 menit nilai uji tekan menjadi 2. Hal tersebut menunjukkan semakin lama dilakukan penggorengan maka kentang akan semakin keras. Hal di atas (kondisi kentang dan nugget pada T = 160 o C) juga terjadi pada proses penggorengan bahan pangan pada suhu 180 o C. Diketahui berdasarkan data hasil yang diperoleh, pada nugget semakin lama digoreng maka nilai uji sensori semakin besar sedangkan uji tekannya semakin kecil. Sedangkan jika pada kentang, nilai uji sensori dan nilai uji tekan semakin lama digoreng maka akan semakin besar. Hal-hal yang membedakan dari proses penggorengan pada suhu 160 o C dan 180 o C juga dapat terlihat pada pengujian sensori dan uji tekannya. Faktor paling penting yang mempengaruhi pengujian ini adalah suhu minyak goreng. Penggunaan suhu minyak yang terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crust pada permukaan bahan makanan terlalu cepat sehingga pemasakan dan pengeringan pada bagian dalam bahan makanan tidak sempurna. Apabila suhu yang digunakan terlalu rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin banyak minyak terabsorbsi. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pula, tingkat tekstur dan perubahan warna terjadi pada kedua bahan pangan. Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi Maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan, sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna permukaan bahan pangan.

16 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam pelaksanaan praktikum kinetika bahan pangan selama proses penggorengan maka dpat disimpulkan beberap hal yaitu sebgai berikut. 1. Nilai uji sensori nugget yang digoreng selama 7 menit pada suhu 160 o C meningkat dari 3.33 menjadi 5, sedangkan nilai uji tekannya menurun dari 1.6 menjadi Nilai uji sensori nugget yang digoreng selama 7 menit pada suhu 180 o C meningkat dari 3 menjadi 5, dan juga nilai uji tekannya meningkat dari 1.13 menjadi Nilai uji sensori kentang yang digoreng selama 7 menit pada suhu 160 o C meningkat dari 2.33 menjadi 4.67, jug nilai uji tekannya meningkat dari 0.7 menjadi Nilai uji sensori kentang yang digoreng selama 7 menit pada suhu 180 o C meningkat dari 1.67 menjadi 4.67, juga nilai uji tekannya meningkat dari 0.67 menjadi Semakin lama bahan pangan dilkukan proses penggorengan maka bahan pangan tersebut warnanya berubah semakin tua, tingkat kekerasanny sangat keras, dan tingkat kematangannya sangat matang. 6. Semakin lama bahan pangan dilakukan proses penggorengan maka nilai uji tekan akan semakin besar. Hal tersebut menunjukkan lama penggorengan akan lebih membuat bahan pangan teksturnya semakin keras. 7. Semakin besar suhu yang digunakan maka tingkat uji sensori akan lebih besar (warna menjadi lebih tua, semakin matang, dan nilai uji tekan semakin kecil.

17 6.2 Saran Adapun beberapa saran yang dapat dijadikan masukan selama pelaksanaan praktikum kali ini antara lain sebagai berikut. 1. Sebaiknya tim asistensi memiliki alat cadangan (deep fryer) agar jika pada saat alat rusak dapat diganti dengan yang lain yang dapat berfungsi dengan baik sehingga semua shift prktikum dapat melakukan praktikum dengan baik. 2. Praktikan harus teliti dalam mengukur uji tekan agar perubahan sensor dan uji tekan dapat sesuai. 3. Sebaiknya praktikan hati-hati dalam menggunakan deep fryer agar kerusakan alat dikrenakan praktikum dapat dihindari.

18 LAPORAN PRAKTIKUM MESIN DAN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Kinetika Bahan Pangan Selama Penggorengan) Oleh : Nama : Sayyidatun Nisa NPM : Shift/Kelompok : 2/2 Hari, Tanggal Praktikum : Rabu, 20 Maret 2013 Co. Assisten : Hendina Pratiwi RIzky Patria Dewaner LABORATORIUM INSTRUMENTASI DAN ELEKTRONIKA JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTNIAN UNIVERSITAS PADJAADJARAN 2013

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada:

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada: Baking and roasting Pembakaran dan memanggang pada dasarnya operasi dua unit yang sama: keduanya menggunakan udara yang dipanaskan untuk mengubah kualitas makanan. pembakaran biasanya diaplikasikan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN PENGOLAHAN TERMAL II PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN TIM DOSEN TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 2 TUJUAN TUJUAN UTAMA: mendapatkan cita rasa produk TUJUAN SEKUNDER: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan

Lebih terperinci

Pengolahan dengan suhu tinggi

Pengolahan dengan suhu tinggi Pengolahan dengan suhu tinggi Kompetensi dasar Mahasiswa memahami teknologi pemanasan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pemanasan terhadap mutu pangan Indikator Setelah

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasapan Ikan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil

Lebih terperinci

Penggorengan. Penggorengan. Nur Hidayat Materi kuliah PTP Minggu ke 8.

Penggorengan. Penggorengan. Nur Hidayat Materi kuliah PTP Minggu ke 8. Penggorengan Nur Hidayat Materi kuliah PTP Minggu ke 8. Penggorengan Mengubah kualitas citarasa makanan Dapat mengawetkan sbg akibat destruksi termal thd mikrobia dan enzim Umur simpan hasil penggorengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

KERUSAKAN LEMAK DAN MINYAK

KERUSAKAN LEMAK DAN MINYAK TP LEMAK DAN MINYAK KERUSAKAN LEMAK DAN MINYAK INNEKE K PRINSIP PROSES PENGGORENGAN PENGGORENGAN pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas PEMASAKAN mutu makan (nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB XI MEDIA PENGHANTAR PANAS

BAB XI MEDIA PENGHANTAR PANAS SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB XI MEDIA PENGHANTAR PANAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

PENGGORENGAN (FRYING)

PENGGORENGAN (FRYING) PENGGORENGAN (FRYING) By WBS Proses pemasakan dengan menggunakan minyak atau lemak sebagai medium transfer panas (biasanya minyak/lemak nabati) Pemasakan dengan penggorengan cenderung lebih cepat daripada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Cassava stick adalah singkong goreng yang memiliki bentuk menyerupai french fries. Cassava stick tidak hanya menyerupai bentuk french fries saja, namun juga memiliki karakteristik

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25 C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI Afifa Ayu, Farida Rahmawati, Saifudin Zukhri INTISARI Makanan jajanan sudah menjadi bagian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan mie gembili adalah sebagai berikut: 1. Alat yang digunakan: a. Panci b. Slicer c. Pisau d. Timbangan e. Screen 80 mesh

Lebih terperinci

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++) V. HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Pola Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna (++) Aroma Khas jeruk Khas jeruk Khas jeruk - - (++) Tekstur (++) Berat (gram) 490 460 451 465,1 450

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN 4.1.1 Fenomena dan Penyebab Terjadinya Water Front Fenomena lain yang terjadi pada saat penulis mengeringkan tapel parem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ikan Tongkol Ikan tongkol adalah jenis ikan pelagis yang merupakan salah satu komoditas utama ekspor Indonesia. Akan tetapi akibat pengelolaan yang kurang baik di beberapa perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran terbesar di Provinsi Lampung. Terdapat 4 kecamatan yang merupakan penghasil sayuran

Lebih terperinci

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP Pendinginan dan Pembekuan Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pendinginan dan pembekuan, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pendinginan dan pembekuan terhadap mutu pangan Indikator

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Buah-buahan merupakan komoditas pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah-buahan banyak mengandung vitamin, mineral, dan serat yang bermanfaat bagi tubuh.

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Lemak dan minyak digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. tubuh untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Lemak dan minyak digolongkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi tubuh untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Lemak dan minyak digolongkan menjadi dua, yaitu lemak

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I. ACARA II Pemanggangan (Baking)

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I. ACARA II Pemanggangan (Baking) LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I ACARA II Pemanggangan (Baking) KELOMPOK 3 Penanggung jawab: Nadhila Benita Prabawati A1M013040 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5)

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II

MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA I. PENGERINGAN A. PENDAHULUAN Pengeringan adalah proses pengeluaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku 4.1.1. Analisis Proksimat Granda et al. (2005) menyatakan bahwa komposisi bahan pangan mempengaruhi jumlah pembentukan senyawa akrilamid. Komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. efisien dalam mengkonversikan sumber daya alam, tenaga kerja dan modal menjadi

I. PENDAHULUAN. efisien dalam mengkonversikan sumber daya alam, tenaga kerja dan modal menjadi I. PENDAHULUAN Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman yang paling efisien dalam mengkonversikan sumber daya alam, tenaga kerja dan modal menjadi bahan pangan berkualitas tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM Penyusun: Haikal Atharika Zumar 5404416017 Dosen Pembimbing : Ir. Bambang Triatma, M.Si Meddiati Fajri Putri S.Pd, M.Sc JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratorium. Faktor perlakuan meliputi penambahan pengembang dan pengenyal pada pembuatan kerupuk puli menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan

I. PENDAHULUAN. keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, suku, dan agama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hall, 2008). Kolestrol telah terbukti mengganggu dan mengubah struktur

BAB I PENDAHULUAN. Hall, 2008). Kolestrol telah terbukti mengganggu dan mengubah struktur BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hiperkolestrolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya konsentrasi kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal (Guyton dan Hall, 2008). Kolestrol

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Pisang Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan yang lain. Pisang kaya mineral seperti

Lebih terperinci

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN Souvia Rahimah Jatinangor, 5 November 2009 Pengertian PENGERTIAN UMUM : PROSES PENGURANGAN AIR DARI SUATU BAHAN SAMPAI TINGKAT KEKERINGAN TERTENTU. Penerapan panas dalam

Lebih terperinci

Pengasapan pangan. Kuliah ITP

Pengasapan pangan. Kuliah ITP Pengasapan pangan Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengasapan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengasapan terhadap mutu pangan Indikator Setelah

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU DAN SUHU PADA PEMBUATAN KERIPIK WORTEL DENGAN VACCUM FRYING

PENGARUH WAKTU DAN SUHU PADA PEMBUATAN KERIPIK WORTEL DENGAN VACCUM FRYING TUGAS AKHIR PENGARUH WAKTU DAN SUHU PADA PEMBUATAN KERIPIK WORTEL DENGAN VACCUM FRYING (The Effect of Time and Temperature on the Manufacture of Carrot Chips with Vaccum Frying) Diajukan sebagai salah

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

KONDUKTIVITAS PANAS DAN LAJU PINDAH PANAS PASIR PADA PROSES PENYANGRAIAN KERUPUK

KONDUKTIVITAS PANAS DAN LAJU PINDAH PANAS PASIR PADA PROSES PENYANGRAIAN KERUPUK Konduktivitas Panas dan Laju Pindah Panas Pasir Pada Proses Penyangraian Kerupuk 547 KONDUKTIVITAS PANAS DAN LAJU PINDAH PANAS PASIR PADA PROSES PENYANGRAIAN KERUPUK Jamaluddin 1), Husain Syam 2) dan Kadirman

Lebih terperinci

PERUBAHAN MASSA AIR, VOLUME, DAN UJI ORGANOLEPTIK KERIPIK BUAH DENGAN BERBAGAI VARIASI WAKTUPADA PENGGORENGAN TEKANAN HAMPA UDARA

PERUBAHAN MASSA AIR, VOLUME, DAN UJI ORGANOLEPTIK KERIPIK BUAH DENGAN BERBAGAI VARIASI WAKTUPADA PENGGORENGAN TEKANAN HAMPA UDARA 1 PERUBAHAN MASSA AIR, VOLUME, DAN UJI ORGANOLEPTIK KERIPIK BUAH DENGAN BERBAGAI VARIASI WAKTUPADA PENGGORENGAN TEKANAN HAMPA UDARA Yahya Zeth Ponno 1), Andi Sukainah 2), Jamaluddin 2) 1 Alumni Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak merupakan medium penggoreng bahan pangan yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Minyak merupakan medium penggoreng bahan pangan yang banyak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan medium penggoreng bahan pangan banyak dikonsumsi masyarakat luas. Kurang lebih 90 juta ton minyak dikonsumsi tiap tahun. Banyaknya permintaan akan bahan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun.

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum) merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai kandungan kalori dan mineral penting bagi kebutuhan manusia (Dirjen Gizi, 1979). Meskipun kentang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAGING NUGGET. Materi 6b TATAP MUKA KE-6 Semester Genap

PENGOLAHAN DAGING NUGGET. Materi 6b TATAP MUKA KE-6 Semester Genap PENGOLAHAN DAGING NUGGET Materi 6b TATAP MUKA KE-6 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman REFERENSI

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak goreng merupakan kebutuhan masyarakat yang saat ini harganya masih cukup mahal, akibatnya minyak goreng digunakan berkali-kali untuk menggoreng, terutama dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu Penelitian. (Canavalia ensiformis L.). Koro pedang (Canavalia ensiformis), secara luas

I PENDAHULUAN. Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu Penelitian. (Canavalia ensiformis L.). Koro pedang (Canavalia ensiformis), secara luas I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Tujuan Penelitian, (3) Identifikasi Masalah, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu

Lebih terperinci

Dewi Maya Maharani, STP, MSc

Dewi Maya Maharani, STP, MSc PENGENALAN MESIN PENGERING Dewi Maya Maharani, STP, MSc Page 1 Page 2 1 PENGERINGAN : Pengurangan / Penurunan kadar air dalam bahan sampai batas tertentu yang diperlukan untuk proses lanjutan, dengan penerapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci,

PENDAHULUAN. yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci, 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerupuk adalah bahan cemilan bertekstur kering, memiliki rasa yang enak dan renyah sehingga dapat membangkitkan selera makan serta disukai oleh semua lapisan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGOLAHAN NUGGET

TEKNOLOGI PENGOLAHAN NUGGET TEKNOLOGI PENGOLAHAN NUGGET REFERENSI Barbut, S. 2012. Convenience breaded poultry meat products New developments. Trends in Food Science & Technology 26: 14-20. 1 PRODUK PENGERTIAN DAN ISTILAH Nugget:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gaya hidup serta pola konsumsi makanan pada masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, terhadap selera produk pangan yang cenderung lebih menyukai sesuatu yang

Lebih terperinci