BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan Pada bagian ini dijelaskan tentang, (a) hakikat naskah drama, (b) analisis struktural pada drama, (c) kajian strukturalisme genetik, (d) hakikat nilai pendidikan, (e) relevansi naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo dalam pembelajaran apresiasi drama dan penelitian yang relevan adalah sebagai berikut: 1. Hakikat Naskah Drama Pada hakikat naskah drama akan dijelaskan tentang pengertian drama dan pengertian naskah drama sebagai berikut: a. Pengertian Drama Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14) drama merupakan cerita yang dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan dihadapan penonton. Drama dapat disikapi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk karya sastra (text play) dan drama teater (pementasan). Naskah drama (text play) dapat diapresiasi melalui kegiatan-kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk teater dapat diapresiasi melaui kegiatan menonton atau menyaksikan drama. Selanjutnya Waluyo (2002: 2) berpendapat drama berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Terdapat istilah yang sangat terkait dengan drama, yaitu teater. Teater juga berasal dari bahasa Yunani theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukan. Kata teater mempunyai makna yang lebih luas karena dapat berarti drama, gedung pertunjukan, panggung, grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Istilah drama yang lain, yaitu sandiwara. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi yang berarti rahasia dan warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia karena dalam sandiwara mengandung pesan atau ajaran bagi penontonnya. Jika menyebut istilah drama, maka terdapat dua 7

2 8 kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Namun, dalam penelitian ini drama naskahlah yang menjadi objek kajian, drama naskah merupakan dasar dari drama pentas, naskah drama dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat dipentaskan, dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Senada dengan Wiyanto (2002: 2) bahwa kata teater berasal dari bahasa Inggris theatre yang berarti gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas dengan naskah cerita pendek atau novel berisi cerita lengkap dan langsung tentang peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya diganti dengan dialog para tokoh. Bahasa yang digunakan dalam drama juga lebih cair daripada prosa dan puisi karena bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari. Jadi, dapat diketahui bahwa naskah drama mengutamakan ucapanucapan atau pembicaraan para tokoh sehingga dari pembicaraan tersebut penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritanya. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi, drama sering dikombinasikan dengan musik dan tarian. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan sampai sekarang, paling tidak untuk orang Yunani, masih dianggap sebagai seni campuran karena drama yang bersifat sastra juga

3 9 terdiri atas tontonan yang harus memanfaatkan keahlian aktor, sutradara, penanggung jawab kostum, dan ahli listrik (Wellek dan Warren, 1995: 30). Jadi, drama merupakan suatu bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan memunculkan keasyikan bagi pemain dan penonton bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Drama yang dikenal masyarakat memiliki variasi dalam jalan ceritanya. Seperti yang dikemukakan Suroto (1989: 76 78), sebagai pertunjukan drama dibedakan menjadi drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional merupakan drama yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Drama tersebut juga memiliki unsur-unsur pembangun cerita seperti drama-drama yang lain. Drama modern berbeda dengan drama tradisional. Jika drama tradisional berkembang secara alamiah dan berkaitan dengan adat, maka drama modern merupakan drama yang sengaja dibuat oleh pengarang dan sutradara, membedakan drama jika dilihat dari penyajiannya, yaitu: (1) drama biasa; (2) opera; (3) operet; (4) pantomim; dan (5) sendratari. Selain itu, ia juga membedakan drama berdasarkan isi dan sifatnya, yakni: (1) drama absurd; (2) drama ajaran; (3) drama duka; (4) drama dukaria; (5) drama lirik; (6) drama liturgi; (7) drama ria; (8) drama puisi; serta (9) drama sejarah. b. Pengertian Naskah Drama Menurut Waluyo ( 2002: 2) menambahkan bahwa naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Berdasarkan pengertian diatas naskah drama dapat diartikan suatu karangan atau cerita. Dan berupa tindakan atau perbuatan yang masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan) dan akan diteliti dalam penelitian ini adalah naskah drama. Naskah drama (lakon) pada umumnya disebut skenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan -adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya. Hal ini senada dengan Kosasih (2003: 268) d rama yang

4 10 disebut juga sandiwara. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, sandi yang berarti tersembunyi, dan warah yang berarti ajaran. Dengan demikian, sandiwara adalah ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan. Naskah drama pada umumnya disebut skenario, berupa susunan atau komposisi dari adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya. Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 42 43), hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis naskah drama, yakni: (a) tema harus sesuai dengan tujuan pementasan; (b) konflik disusun dengan tajam menggunakan dialog yang mantap; (c) watak yang diciptakan harus memungkinkan terjadinya pertentangan antartokoh; (d) bahasa yang digunakan mudah dipahami dan komunikatif; serta (e) layak untuk dipentaskan. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa seharihari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa sehari-hari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Namun, ragam bahasa yang digunakan tetap harus mengacu pada konvensi sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Endraswara (2011: 13-14) muatan positif yang terdapat dalam drama, yaitu (a) drama agaknya merupakan sarana yang paling efektif dan langsung untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, dilema moral, dan problema personal tanpa menanggung konsekuensikonsekuensi khusus dari aksi-aksi kita, (b) aktor-aktor drama memaksa kita untuk memusatkan perhatian kita pada protagonis lakon, untuk merasakan emosi-emosinya, dan untuk menghayati konflik-konfliknya, justru untuk ikut sama-sama merasakan penderitaan yang mengurangi pembinaan dan ketidakadilan yang dialami pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh drama, (c) melalui tragedi, misalnya, dengan sedikit terluka di hati, dapat belajar bagaimana hidup dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu ketabahan dan dengan kemuliaan dapat menandinginya, (d) melalui komedi, kita

5 11 dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia mengenai untuk apa manusia menentang atau melawan dan untuk apa pula manusia mempertahankan atau membela sesuatu, (e) melodrama yang ditulis dengan baik, fantasi, atau farce, dapat mengusir keengganan ( skepticism), memperluas imajinasi kita, dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri kita sendiri, sehingga tak mengherankan jika drama telah pula dikenal berfungsi terapis, (f) para psikiatris telah dikenal tahu menggunakan psikodrama sebagai suatu sarana yang efektif yang dapat membuat pasien dapat mengingat kembali pengalaman masa lalunya, (g) sosiodrama telah pula dikenal dapat menampilkan suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, misalnya sebagai sarana yang membuat warga masyarakat itu menyimpulkan identitas fiksional yang sedang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi dalam keluarga dan kehidupan kelompok. 2. Struktur Naskah Drama Karya sastra merupakan sebuah struktur. Berstruktur yang dimaksud yaitu tersusun dari unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya memiliki hubungan timbal balik dan saling menentukan. Pendapat dari Pradopo (1993: 118). Ada beberapa ciri struktur karya sastra. Pertama, struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu unsur-unsur pembentuknya tidak dapat berdiri sendiri-sendiri di luar struktur. Kedua, struktur berisi gagasan transformasi yang bersifat dinamis. Ketiga, struktur tersebut mengatur diri sendiri, dalam arti struktur tersebut tidak membutuhkan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Setiap unsur dalam struktur karya sastra memiliki fungsi masing-masing. Pendekatan didefinisikan sebagai cara menghampiri suatu objek. Siswantoro (2010: 47) menyebutkan bahwa pendekatan adalah alat untuk menangkap fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya, sedangkan cara mengumpulkan dan menganalisis data disebut dengan metode. Namun, secara lebih luas, pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat ilmu tertentu. Jika dihubungkan dengan penelitian karya sastra di

6 12 Indonesia, dengan adanya pendekatan, peneliti diharuskan memiliki bekal dalam mengkaji sastra. Bukan hanya kajian yang bersifat praktis, melainkan juga teoretis. Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sumber sekunder sehingga peneliti dapat memprediksikan literatur yang harus dimiliki. Hal itu disebabkan karya sastra di Indonesia tidak pernah terlepas dari kebudayaan dan unsur-unsur lain di masyarakat. Nurgiyantoro (2007 : 36) mengungkapkan bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Pendekatan struktural mendapat pengaruh langsung dari perubahan studi linguistik. Studi linguistik tidak hanya menekankan pada sejarah perkembangannya, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antarunsurnya. Kaum srukturalisme menganggap karya sastra sebagai sebuah kesatuan yang dibangun oleh unsur-unsurnya. Hubungan antar unsur yang satu dengan lainnya bersifat timbal balik dan saling menentukan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Strukturalis merupakan cara pandang mengenai tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Struktur-struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks sehingga untuk memahami totalitas makna dari sebuah karya sastra harus mengkaji hubungan antarstruktur secara keseluruhan. Oleh karena itu, strukturalisme sering dianggap sebagai formalisme modern yang hanya mencari arti dari sebuah teks. Menurut Endraswara (2003: 49) bahwa pada dasarnya strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam hal ini karya sastra dipandang sebagai suatu fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Selanjutnya Ratna (2011: 90) mengatakan tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di balik karya sastra. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan fungsi dan keterkaitan antarunsur dalam sebuah karya sastra secermat mungkin untuk menghasilkan suatu keseluruhan dalam memahami sebuah karya sastra. Hidayat (2010: 2) berpendapat bahwa drama

7 13 dalam pengertiannya membutuhkan persyaratan ketat untuk dapat dikatakan sebagai drama. Secara prinsip, drama memiliki struktur pembangun seperti penonton ( audience), tempat ( stage), naskah ( dialogue), dan pemain ( actor). Adapun ketegori lain untuk dapat dikatakan drama adalah adanya gambaran tentang kehidupan, dan di dalamnya terdapat alur dan konflik dalam dialog meskipun ada juga drama bisu, tetapi tetap menghadirkan konflik, hal ini senada dengan pendapat Waluyo (2011: 6 28) bahwa enam unsur dalam struktur naskah drama, yakni: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) setting; (e) tema; dan (f) amanat. Namun menurut Tarigan (1993: 74) menyebutkan unsur-unsur drama, antara lain: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) aneka sarana kesastraan dan kedramaan. Struktur intrinsik pembangun drama yang akan dikaji, antara lain: tema, penokohan dan perwatakan, plot/alur, latar/setting, dialog petunjuk teknis, serta amanat. a. Tema Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra. Tema bisa dikatakan hampir sama dengan pondasi suatu bangunan. Apabila suatu karya sastra tidak mempunyai tema, itu berarti karya sastra tersebut akan mengambang karena tidak mempunyai dasar layaknya sebuah bangunan. Tema berhubungan dengan premis dan nada dasar yang dikemukakan pengarangnya. Premis dapat disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon, sedangkan nada dasar dapat disamakan dengan jiwa atau suasana yang mendasari sebuah lakon. Interpretasi penonton terhadap nada dasar suatu naskah drama dapat bervariasi. Oleh karena itu, naskah drama bersifat multi interpretable. Hal itu dapat disebabkan oleh latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda dari penonton. Drama yang besar adalah drama yang mengangkat tema abadi. Maksudnya, tema tersebut bersifat interpersonal dan dapat diterima di segala kurun waktu. Penentuan tema berdasar pada nurani pengarangnya. Banyak hal yang dapat memengaruhi pengarang dalam menentukan tema dari karya-karyanya. Latar

8 14 belakang budaya, pendidikan, maupun pengetahuan dapat menjadi dasar pembentukan tema. Pendapat dari Putra (2010 : 98) bahwa tema juga dapat diidentifikasi, dinyatakan secara jelas-tegas, terselubung dalam cerita, dan diidentifikasi sebagai pesan utama dalam karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa tema bisa ditemui secara tersirat dalam suatu karya sastra maupun secara tersurat. Selanjutnya Wardani (2009: 38) menyebutkan tema dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan tingkatannya sebagai berikut: (1) tema divine artinya menampilkan problem manusia tingkat tinggi seperti masalah religiositas dan filosofis, (2) tema egoik yaitu menampilkan problem kemanusiaan sebagai individu atau problem humanisme, (3) tema sosial yaitu menampilkan problem hubungan antara manusia dalam kemasyarakatan, (4) tema organik yaitu tema yang memperbincangkan aspekaspek jasmaniah manusia seperti perbincangkan aspek-aspek jasmaniah manusia seperti kelahiran, balas dendam, seksualitas dan penghianatan, (5) tema fiksi yaitu tema yang hanya menampilkan aktivitas fisik manusia. Tema tertinggi adalah tema religius filosofis karena membawa para penikmat karya sastra atau pembaca merenungkan hakikat kehidupan dan ketuhanan. Stanton (2007: 36) juga mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Dalam hal ini berarti begitu banyak cerita yang menggambarkan kejadian yang benar-benar dialami oleh manusia, seperti patah hati karena putus cinta, kekecewaan, putus sekolah, perceraian orang tua, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti inilah yang disebut dengan tema Ada pula pendapat dari Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) yang mendefinisikan tema sebagai gagasan pokok yang mendasari terbentuknya cerita secara umum yang dapat terbangun dari subtema-subtema dalam sebuah cerita sehingga tema juga didefinisikan sebagai gagasan dasar sebuah karya sastra dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis serta yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan didalam suatu karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: ) tema

9 15 merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga dapat berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam menyampaikan pesan kepada pembaca lewat naskah drama yang ditulisnya atau dipentaskan. Pemahaman terhadap tema pementasan mutlak harus dilakukan karena tanpa memahami tema dalam suatu pementasan drama, baik sutradara, aktor, maupun penikmat pertunjukan drama. Tema sebuah pementasan bisa muncul lebih dari satu, tetapi pada hakikatnya hanya ada satu tema umum (mayor) yang diusung dalam suatu pertunjukan drama. Tema-tema lain yang muncul hanya menjadi pelengkap tema umum yaitu tema minor. Tema suatu pementasan dapat dipahami melalui kegiatan (1) interpretasi naskah sebelum kegiatan pementasan, (2) menghubungkan dialogdialog tematis yang tersebar pada dialog tokoh dan menyimpulkannya, (3) penadaan terhadap konflik dan perkembangan plot, (4) pemaham an terhadap setting pementasan (tempat, waktu, dan suasana). Waluyo (2002: 26-28) menyebutkan beberapa aliran filsafat yang mendasari penciptaan naskah drama, sebagai berikut. a) Aliran Klasik Naskah drama berwujud dialog yang panjang-panjang dan isi cerita yang bertema duka. Lakonnya bersifat statis dan diselingi dengan monolog. b) Aliran Romantik Naskah drama beraliran romantik ini seringkali berupa cerita-cerita yang tidak logis. Isi dramanya fantastis dan tokohnya bersifat sentimentil. c) Aliran Realisme Aliran ini menginspirasi terciptanya drama-drama realis yang isi ceritanya mirip dengan kehidupan sehari-hari. Ada dua macam aliran realisme, yaitu aliran realisme sosial dan aliran realisme psikologis. Realisme sosial menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikis pelaku. Sedangkan realisme psikologis menekankan pada unsur kejiwaan secara apa adanya. Rasa senang, sedih, kecewa, bahagia, dilukiskan dengan apa adanya.

10 16 d) Aliran Ekspresionisme Aliran ekspresionisme didasarkan pada perubahan sosial, pergantian adegan dilakukan dengan cepat, serta fragmen cerita disajikan secara filmis dan ekstrim. e) Aliran Eksistensialisme Naskah yang dilatarbelakangi aliran ini mendapat pengaruh yang besar dari filsafat eksistensialisme negara-negara barat. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok sebuah karya sastra yang bisa ditemukan baik secara tersirat maupun tersurat yang berupa pencerminan dari pengalaman yang dialami oleh manusia. Jadi, intisari dari uraian tersebut ialah memandang tema sebagai makna yang termuat secara implisit dalam sebuah karya sastra. b. Penokohan dan Perwatakan Menurut Wiyanto (2007: 27) perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa mempunyai watak yang sabar, ramah, dan suka menolong, atau sebaliknya, seorang tokoh bisa saja mempunyai watak yang pemberang, pemarah, ataupun pendendam. Istilah penokohan merujuk pada pelaku cerita, sedangkan perwatakan menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut yang kemudian membawakan tema dalam keseluruhan latar dan alur cerita. Untuk membuat tokoh yang meyakinkan, pengarang harus mengerti dengan benar tabiat manusia, serta kebiasaan bertindak dan berujar di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 166) menjelaskan istilah penokohan mempunyai pengertian yang paling luas daripada tokoh dan perwatakan karena dalam penokohan telah tercakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dalam pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan. Penokohan dan perwatakan adalah dua hal yang sangat penting dalam sebuah drama. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, tokoh cerita ialah

11 17 orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki ciri khas dalam mengekspresikan wataknya dalam tindakan-tindakannya. Penggambaran watak pelaku melaui tiga dimensi yaitu (1) dimensi psikis, artinya watak secara batin atau kelakuan (misalnya, sombong, pendendam, romantis, penipu atau culas), (2) dimensi fisik yaitu ciri fisik misalnya usia, kecantikan, cacat tubuh, warna rambut, (3) dimensi sosiologis artinya status kedudukan pekerjaan atau peran dalam masyarakat seperti kaya, miskin, priyayi, rakyat jelata, konglomerat, pegawai bank, polisi atau gelandangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Satoto (2012: 41-42) tokoh memiliki watak dan kepribadian, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensional, yaitu dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis Pengertian tokoh juga diambil dari pendapat Kosasih (2003: 270) yang menyebutkan bahwa tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama. Kosasih juga membedakan tokoh menjadi tiga golongan berdasarkan perannya dalam jalan cerita. a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita. b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis. Pratiwi dan Siswiyanti (2014 : 36-40) mengemukakan berdasarkan ada tidaknya tokoh dalam hubungannya dengan tema, tokoh dapat diklasifikasikan, sebagai berikut. a) Tokoh Utama, yaitu tokoh yang diposisikan sebagai pusat dalam pengembangan cerita, sehingga ia dihadapkan pada permasalahan utama menentukan gerak dan alur cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan tema cerita b) Tokoh pembantu, yaitu pembaca mengidentifikasi tokoh utama dalam cerita. Cara menandai tokoh utama pada kutipan naskah dram tersebut mengamati tokoh yang selalu hadir pada setiap tahapan plot dan mampu bertahan hingga klimaks cerita

12 18 Klasifikasi tokoh juga dapat didasari dari sikap tokoh terhadap tema. Berdasarkan sikap tokoh terhadap tema tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis. a) Tokoh protagonis adalah diwujudkan dalam bentuk cita-cita dan prinsip hidup tokoh. Prisip tokoh akan menjadi obsesi yang ingin dipaparkan kepada pembaca. b) Tokoh antagonis adalah tokoh melawan cita-cita tokoh protagonis. Tokoh ini mengemban misi tidak baik dan menentang tokoh protagonis dan diproyeksikan dengan watak kurang baik (jahat) karena selalu menghalanghalangi. Berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (a) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (b) tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (c) tokoh pembantu, yaitu tokoh tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rantai cerita. Waluyo (2002: 16) membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung c erita), tokoh antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (1) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2) tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (3) tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rantai cerita.

13 19 Harymawan (dalam Dewojati, 2010: 169) menyatakan bahwa karakter mempunyai sifat multidimensional. Dimensi yang dimaksud meliputi dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psiologis. Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 56 57) juga mengungkapkan tentang cara melukiskan watak tokoh, yaitu dengan cara: a) melukiskan bentuk fisik tokoh secara langsung, b) melukiskan jalan pikiran tokoh, c) melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa yang terjadi, d) melukiskan keadaan di sekitar tokoh, dan e) melukiskan anggapan tokoh tersebut terhadap tokoh lain. Dari pendapat-pendapat tersebut, maka pengertian penokohan ialah penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita naskah drama. Sedangkan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-tokoh tersebut. Yustinah dan Iskak (2008: 28) memiliki pandangan yang tak jauh berbeda. Mereka menyebutkan bahwa tokoh dalam drama terdiri atas: (a) protagonis, tokoh yang berperan utama sebagai tokoh idaman; (b) antagonis, tokoh yang berperan menentang tokoh utama; dan (c) figuran/pemeran pembantu, tokoh yang mendampingi tokoh utama dan dapat sebagai sumber konflik dalam drama. Tarigan (1993: 76) membagi jenis tokoh dalam drama menjadi empat, yakni: (a) the foil/tokoh pembantu; (b) the type character/tokoh serba bisa; (c) the static character/tokoh statis; serta (d) the character who develops in course of the play/tokoh berkembang. Sedangkan mengenai perwatakan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita memiliki watak atau karakter masing-masing. Watak para tokoh ini digambarkan dalam tiga dimensi, yaitu keadaan fisik, psikis, dan sosial. c. Plot atau Alur Menurut Suroto (1989: 89 90) plot merupakan suatu jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Suroto menyampaikan urutan pola plot secara tradisional, yaitu: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) perumitan; (d) klimaks; dan (e) pelarian. Hal ini senada dengan pendapat Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) bahwa

14 20 alur adalah rangkaian cerita yang merupakan jalinan konflik antartokoh yang berlawanan. Alur drama terdiri atas: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) klimaks; (d) peleraian; dan (e) penyelesaian. Semi (1993: 163) berpendapat bahwa kekhususan tersebut, yaitu (a) alur drama mestilah merupakan alur cerita yang dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka publik penonton, (b) alur drama mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti oleh penonton, (c) alur drama mestilah sederhana dan singkat, dalam arti terpusat pada suatu peristiwa tertentu. Terdapat tiga unsur yang dipentingkan dalam pengembangan sebuah plot cerita, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Dalam berkreativitas, pengarang memiliki kebebasan, namun juga mempunyai batasan-batasan. Batasan batasan inilah yang biasa disebut dengan kaidah pemplotan. Seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:38) plot merupakan bagian penting dalam fiksi. Plot merupakan rangkaian kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat unsur sebab akibat sangat penting dalam plot. Plot dimulai dari eksposisi (perkenalan), dilanjutkan dengan konflik, komplikasi, puncak pada klimaks cerita. Setelah berpuncak pada klimaks, maka ada falling action, yaitu penurunannya kadar cerita dan diakhiri dengan denouement (penyelesaian) yang disebut pula catastrophe. jenis plot ada tiga yaitu: a) Plot garis lurus atau progresif Plot garis lurus adalah cerita berjalan seperti lazimnya orang bercerita yaitu mulai dari awal hingga akhir cerita. b) Plot sorot balik atau flashback Plot sorot balik atau flashback cerita diawali dengan dari bagian akhir cerita dan kemudian baru mulai dari awal cerita, dilanjutkan menjelang akhir (bagian dari cerita yang dikisahkan di depan). Dalam plot sorot balik diceritakan seperti orang melamun atau menceritakan kembali sesuatu yang terjadi. c) Plot gabungan Plot gabungan merupakan plot dalam cerita di mana pengarang menggabungkan antara plot lurus cerita yang di dalamnya terdapat plot sorot balik.

15 21 Yustinah dan Iskak (2008: 28) mengemukakan plot dalam sebuah drama meliputi sebagai berikut: (a) pemaparan/eksposisi; (b) komplikasi; (c) klimaks; (d) peleraian/antiklimaks; dan (e) penyelesaian. Waluyo (2002: ) berpendapat dalam menyampaikan plot sebagai kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antartokohnya. Ia membagi tahapan plot menjadi tujuh, yaitu (1 ) eksposisi; (2 ) inciting moment (saat perkenalan); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; dan (7) denonement (penyelesaian). Tahap situation, berarti tahap penyituasian menyebutnya sebagai eksposisi, yang berarti paparan awal cerita. Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, pengenalan tokoh, watak, dan latar cerita. Di tahap ini pembaca dapat mengetahui bentuk cerita tersebut termasuk novel, cerpen, atau naskah drama. Tujuan dari adanya tahap ini adalah untuk memberikan gambaran awal kepada pembaca sehingga pembaca tidak bingung mengikuti cerita. Selain itu, juga menjadi landas tumpu cerita untuk memasuki tahap selanjutnya. Tahap generating circumstances, disebut juga inciting moment. Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan konflik. Pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik. Peristiwa-peristiwa tersebut dihadirkan berdasarkan kebutuhan konflik yang akan ditimbulkan. Semakin banyak peristiwa atau masalah yang dihadirkan, semakin rumit dan kompleks konflik yang akan timbul. Konflik-konflik yang timbul tersebut akan semakin berkembang dan ruwet atau kompleks hingga akhirnya mencapai puncak. Tahap rising action atau disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini, konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan terus-menerus muncul. Konflik-konflik tersebut semakin tak terkendali dan tak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa dalam cerita semakin

16 22 mencekam dan menegangkan, keadaan konflik yang semakin ruwet disebut complication. Tahap climax merupakan puncak penggawatan. Pada tahap ini semua konflik mencapai puncaknya. Klimaks ini dilihat dari sudut tokoh utama yang menjadi pelaku atau penderita konflik utama cerita. Apabila yang mengalami puncak konflik adalah tokoh pembantu maka ini bukan disebut klimaks cerita. Pada tahap klimaks, ketegangan cerita mencapai puncak. Puncak ketegangan atau klimaks ini dapat saja terjadi lebih dari satu kali, namun klimaks utama tetaplah satu. Jumlah klimaks tersebut tergantung dari cerita yang dihadirkan. Tahap denoument (denonement) disebut juga tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai puncak tersebut menurun dan mengalami penyelesaian. Termasuk dalam tahap ini adalah falling action atau penurunan ketegangan yang dapat juga disebut antiklimaks. Ketegangan mengendor dan emosi yang telah mencapai puncak berangsur-angsur turun untuk mencapai batas bawah. Berdasarkan pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot dalam drama terdiri atas: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) penyelesaian atau falling action; dan (5) keputusan atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran. Bahwa plot/alur adalah kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat. d. Dialog Dialog merupakan dominasi dari sebuah naskah drama. Suroto (1989: 94) mengungkapkan bahwa dialog ialah ujaran yang diucapkan tokoh dalam cerita. Dialog berperan penting dalam cerita karena dapat membantu pembaca maupun penonton untuk mengetahui karakter tokoh dan tema cerita. Dialog juga dapat membantu menggambarkan setting yang digunakan. Tarigan (1993: 77) menyebutkan syarat dialog dalam lakon drama, yaitu dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak, baik, dan bernilai tinggi. Dialog yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama

17 23 sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para tokoh tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) menyatakan bahwa dialog merupakan percakapan yang dilakukan para pelaku dalam drama. Menurut Semi (1993: ) ujaran mestilah menarik dan ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari. Menurutnya, fungsi dialog dalam drama antara lain: (a) merupakan wadah penyampaian informasi kepada penonton; (b) menggambarkan watak dan perasaan tokoh; (c) menunjukkan alur cerita; (d) menggambarkan tema atau gagasan pengarang; dan (e) mengatur suasana dan tempo jalannya cerita. Putra (2012: 68) menjelaskan bahwa melalui dialog, penonton dapat mengetahui isi cerita, mengetahui hubungan antartokoh, dan memahami watak para tokoh. Oleh karena itu, dialog juga harus ditunjang dengan penjiwaan emosional tokohnya. Selain itu, kejelasan dari pelafalan dialog juga menjadi aspek penting karena akan mendukung seberapa besar dialog dapat dicerna oleh penonton. Dialog yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para tokoh tersebut. Dialog merupakan hal yang sangat penting dalam pementasan drama. Berdasar pada uraian tersebut, dialog adalah percakapan antartokoh dalam naskah drama yang memuat isi cerita. Dialog dalam naskah drama dapat menggunakan bahasa sehari-hari maupun bahasa kiasan sesuai dengan keinginan pengarang. e. Petunjuk Teknis Petunjuk teknis disebut juga teks samping. Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping biasanya ditulis dengan huruf yang berbeda dari teks dialog. Teks samping ini berfungsi sebagai petunjuk kapan tokoh harus diam, berpindah tempat atau posisi, pembicaraan pribadi, dan sebagainya. Selain itu, manfaat adanya teks samping yaitu untuk mempermudah

18 24 sutradara dalam menafsirkan naskah drama pendapat dari Waluyo (2002: 29). Sebuah naskah drama juga memerlukan adanya petunjuk teknis, yang sering pula disebut dengan teks samping. Petunjuk teknis ini berguna untuk mempermudah pembaca ataupun sutradara dalam memahami naskah. Petunjuk teknis yang semakin lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan naskah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa petunjuk teknis merupakan teks petunjuk bagi tokoh dalam drama untuk memainkan perannya, dapat berupa posisi tubuh, ekspresi, maupun pekerjaan yang sedang dilakukan. f. Amanat Menurut Suroto (1989: 135) pengertian amanat sebagai sikap penulis terhadap persoalan yang terdapat dalam naskah drama yang ingin disampaikannya kepada penikmat. Amanat dari sebuah naskah drama akan lebih mudah dipahami jika naskah tersebut dipentaskan. Amanat biasanya bertujuan untuk memberikan manfaat bagi para penikmat karya sastra tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Kosasih (2012: 137) bahwa amanat tersimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan cerita. Antara amanat dan tema memiliki hubungan yang erat. Nurgiyantoro (2007 : ) mengungkapkan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat membodohkan pembaca. Amanat dalam sebuah drama tidak dapat diketahui secara langsung. Pembaca atau penonton harus mencari sendiri amanat yang terdapat dalam drama tersebut. Wiyanto (2002: 23) mengemukakan amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama. Amanat merupakan pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita. Amanat dalam sebuah drama akan lebih tersampaikan kepada penikmat karya sastra apabila drama tersebut dipentaskan. Pesan yang terdapat dalam drama tersebut secara praktis akan lebih mudah diterima oleh penikmat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca baik secara tersurat maupun tersirat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah

19 25 pesan dari pengarang yang tersirat dari jalannya cerita. Amanat tersebut memberikan manfaat bagi penikmat karya sastra dalam kehidupan nyata. g. Setting atau Latar Setting sering disebut juga dengan latar cerita. Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 85) setting adalah suatu tempat, waktu dan suasana saat berlangsungnya suatu peristiwa dalam drama. Setting bersifat fisik dan psikologis. Latar tempat dan waktu merupakan setting bersifat fisik karena wujud yang pasti serta kasatmata. Sementara itu, setting yang bersifat psikologis berupa suasana atmosfer psikologis yang menuansakan makna tertentu serta mampu memengaruhi emosi atau kejiwaan pembaca. Latar memberikan informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh. Dalam mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Penggambaran setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis oleh karena itu, imajinasi dari seorang penulis karya sastra sangat menentukan bagaimana atau apa yang akan menjadi latar atau setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:42) setting atau latar dinyatakan sebagai tempat, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun dan lingkungan. Fungsi dari latar dapat melukiskan setting secara realistis, ada setting yang benar-benar dialami oleh pengarang namun ada pula hasil dari imajinasi pengarang dan digambarkan setelah menghayatinya melalui film, dokumen, buku, foto atau dari internet. Nurgiyantoro (2007: 216) menyebutkan setting sebagai landasan tumpu, mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Setting atau latar adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Mengenai pengertian latar, yaitu gambaran tempat, waktu, dan keadaan jalannya cerita, pengertian yang serupa disampaikan oleh Kosasih (2003: 273), yaitu latar merupakan keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah

20 26 drama. Latar waktu biasanya berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa dalam karya fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, apalagi jika latar waktu tersebut berhubungan dengan sejarah. Penggarapan unsur sejarah menjadi sebuah karya fiksi menyebabkan waktu yang diceritakan bersifat khas, tipikal, dan menjadi sangat fungsional. Nurgiyantoro (2007: ) menyatakan unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. (1) latar tempat adalah latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra unsur ini digunakan sebagai tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan lokasi tanpa penjelasan; (2) latar waktu adalah berhubungan dengan dengan kapan terjadinya peristiwaperistiwa penting yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial adalah latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Penggarapan latar waktu haruslah sesuai dengan waktu nyata. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi maka akan menyebabkan cerita tak wajar, bahkan apabila cerita tersebut tidak masuk akal pembaca akan merasa dibohongi. Inilah yang dalam fiksi disebut anakronisme, yaitu waktu dalam fiksi tidak cocok dengan urutan waktu atau sejarah dalam dunia nyata. Satoto (2012: 55) membagi setting ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ruang, aspek waktu, dan aspek suasana. Aspek suasana ini, misalnya suasana gembira, berkabung, hiruk-pikuk, sepi mencekam, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa setting adalah suatu keadaan yang memberi gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya, yaitu tempat atau ruang, waktu, dan sosial. Unsur-unsur dalam setting mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam mendukung keterjalinan cerita secara keseluruhan dalam drama.

21 27 Dengan demikian, yang dimaksud dengan setting atau latar yaitu pelukisan keadaan tempat, ruang, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita di naskah drama. 3. Kajian Strukturalisme Genetik Pada bagian kajian strukturalisme genetik di bawah ini dijelaskan tentang hakikat teori strukturalisme genetik adalah sebagai berikut: a. Hakikat Teori Strukturalisme Genetik Menurut Endaswara (2003: 55) st rukturalisme genetik adalah penelitian sastra secara struktural yang tidak murni, maksud dari struktural yang tak murni adalah penelitian ini tetap menggunakan kajian struktural otonom sebagai dasar kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah serta latar belakang yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna ( 2006: 120) strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik. Secara definitif, menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Pencetus teori ini percaya bahwa sebuah karya adalah struktur yang hidup, merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal sebuah karya. Senada dengan pendapat dari Iswanto (2003: 60) strukturalisme genetik disebut dengan pendekatan obyektif, yakni pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra pada eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan unsur yang ada diluar strukturnya. Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur instrinsik. Ratna (2006: 121)

22 28 mengemukakan strukturalisme genetik ini merupakan gerakan penolakan strukturalisme murni, yang hanya menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa mengindahkan hal-hal di luar teks sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Pendapat ini juga diperkuat oleh Wardani (2009:47) strukturalisme genetik memandang karya sastra karena memiliki kekzaini sechara sosiologis, dapat dianalisis berdasarkan struktur karya sastra dan pandangan dunia pengarang serta berdasarkan srtuktur eksternalnya contohnya sosial budaya, ekonomi atau politik yang menyebabkan hadirnya karya sastra tersebut. Strukturalisme genetik mencari perpaduan antara struktur teks dan struktur sosial karena pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor sosial jadi bila perubahan struktur sosial dalam masyarakat akan mempengaruhi pula isi karya sastra. Pada prinsipnya strukturalisme genetik mamandang karya sastra tidak hanya dari strukturanya yang statis saja melainkan memiliki hubungan dengan makna struktur global atau sosial. Suyitno (2009:26 ) berpendapat bahwa pendekatan genetic strukturalism merupakan pendekatan yang paling kuat. Ini terbukti oleh suatu teori dan tidak ada pada pendekatan lain. Pendekatan ini akan berusaha mengungkapkan pendangan dunia dari pengarang yang mencerminkan pandangan duania kelompoknya. Pendapat dari Winarni (2013:111) strukturalisme genetik adalah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistori dan kasual. Pendekatan ini juga disebut pendekatan objektif karena penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada diluar struktur signifikansinya. Genetik pada karya sastra artinya asal-usul karya sastra yaitu faktor yang terkait dengan asalusul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Keberadaan pengarang dalam kehidupan masyarakat turut mempengaruhi karyanya. Seperti yang diungkapkan oleh Faruk (2010: 12) bahwa karya sastra merupakan sebuah karya yang terstruktur. Artinya, ia tidak berdiri sendiri, melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga ia menjadi satu bangunan

23 29 yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Darmono (2001: 39) karya sastra disebut karya yang lengkap jika memiliki makna totalitas yang memberikan lukisan yang lengkap dan padu mengenai keseluruhan makna karya sastra tersebut. Endaswara (2011 :60) mengemukakan strukturalisme genetik merupakan embiro penelitian dari aspek sosial kelas disebut sosiologi sastra, namun strukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra. Jadi sekurang-kurangnya penelitian strukturalisme genetik meliputi tiga hal: (1) aspek intrinsik karya sastra, (2) latar belakang pencipta dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakat. Jadi strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek kesejarahan lahirnya karya sastra. Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian intrinsik (kesatuan dan koherensinya) s ebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian, akan menghubungkan berbagai unsur dengan realistas masyarakat. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Strukturalisme genetik mencoba mengkaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial. Ratna (2006: 122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya.

24 30 b. Unsur Strukturalisme Genetik Goldmann (1978: ) berpendapat bahwa strukturalisme genetik memiliki tiga unsur antara lain fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia sebagai berikut. 1) Fakta Kemanusiaan Menurut Faruk (2010: 56) f akta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat, manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan. Sejalan dengan Faruk, Ratna (2003:360) menyatakan dalam masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan komposisinya. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antara hubungannya dengan fakta sosial yang lain, menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Endraswara (2003: 55) mengemukakan semua aktivitas manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial. Hal ini sejalan dengan pandapat Damono (200 1:43) bahwa untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang konkret membutuhkan sutau metode yang serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian yang dilakukan oleh Maimun Ladiku (2008) Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Karya Sastra Drama a. Pengertian Karya Sastra Drama Pada hakikatnya karya sastra merupakan cerminan dari realitas kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy sesuai dengan tinjauan terhadap penelitian sebelumnya yaitu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek, tegasnya dan kata kerja Dran yang berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan pada hasil temuan penelitian dan analisis data mengenai struktur, pandangan dunia pengarang, struktur sosial pengarang, nilai edukatif, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya sastra. Beberapa diantaranya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya sastra. Beberapa diantaranya adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan temuan penulis, teori struktural genetik ini, sudah digunakan oleh beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya

Lebih terperinci

Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi

Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan menulis naskah drama berdasarkan unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga Mendeskripsikan Alur Novel Remaja Terjemahan Tahun Ajaran 2013 belum ada. Namun, ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni yang kolektif, pertunjukan drama memiliki proses kreatifitas yang bertujuan agar dapat memberikan

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori 1. Kedudukan Pembelajaran Mengidentifikasi Konflik Teks Drama dengan Menggunakan Metode Numbered Head Together dalam Kurikulum 2013 Mata Pelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Dalam bab ini peneliti akan memaparkan tentang peneliti penelitian sebelumnya, konsep dan landasan teori. Peneliti penelitian sebelumnya berisi tentang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan aspek penting dalam penelitian. Konsep berfungsi untuk menghindari kegiatan penelitian dari subjektifitas peneliti serta mengendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini 12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sandiwara Radio Profesor. Dr. Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa dalam Bahasa Indonesia terdapat istilah sandiwara. Sandiwara diambil dari bahasa jawa sandi dan warah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tetapi penelitian yang di fokuskan pada plot masih jarang dilakukan. Adapun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tetapi penelitian yang di fokuskan pada plot masih jarang dilakukan. Adapun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kajian Yang Relevan Penulusuran pustaka yang telah dilakukan, diketahui bahwa penelitian tentang perbandingan dalam novel sudah ada, antara lain tokoh, latar dalam novel. Tetapi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi penelitian, maka harus memiliki konsep-konsep yang jelas.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Selain berfungsi untuk menyusun landasan atau kerangka teori, kajian pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Selain berfungsi untuk menyusun landasan atau kerangka teori, kajian pustaka BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian Pustaka di dalam sebuah penelitian penting untuk dideskripsikan. Selain berfungsi untuk menyusun landasan atau kerangka teori,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ketoprak atau dalam bahasa Jawa sering disebut kethoprak adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ketoprak atau dalam bahasa Jawa sering disebut kethoprak adalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesenian ketoprak atau dalam bahasa Jawa sering disebut kethoprak adalah sebuah kesenian rakyat yang menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan yang merupakan kisah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Pada bab ini penulis akan memaparkan beberapa penelitian sebelumnya,konsep dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama-tama penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa yang dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk mengungkapkan diri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan proses kreatif seorang pengarang melalui daya imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam sifat yaitu, karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non imajinasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN ENCEP KUSUMAH MENU UTAMA PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN UNSUR PROSA FIKSI CERPEN NOVELET NOVEL GENRE SASTRA SASTRA nonimajinatif Puisi - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

B. Unsur-unsur pembangun drama Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam cerpen, novel, maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama

B. Unsur-unsur pembangun drama Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam cerpen, novel, maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama DRAMA A. Definisi Drama Kata drama berasal dari kata dramoi (Yunani), yang berarti menirukan. Aristoteles menjelaskan bahwa drama adalah tiruan manusia dalam gerak-gerik. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental yang prima,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental yang prima, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kemampuan Kemampuan menyimak manusia sangat terbatas. Manusia yang sudah terlatih baik dan sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Ide Mayumi merupakan seorang penulis Kodansha Komik Nakayoshi di

Bab 5. Ringkasan. Ide Mayumi merupakan seorang penulis Kodansha Komik Nakayoshi di Bab 5 Ringkasan Ide Mayumi merupakan seorang penulis Kodansha Komik Nakayoshi di Jepang. Wanita kelahiran 26 Februari 1961 mengawali karir sebagai penulis komik sejak umur tujuh belas tahun. Setelah mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Drama adalah salah satu bentuk sastra yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Drama Pendek a. Pengertian Drama Kata drama berasal dari kata Yunani draomai (Haryamawan, 1988, 1) yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Terhadap pentas drama Drakula intelek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Drama adalah salah satu genre karya sastra yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi sastra dan pementasan, Sastra berupa teks naskah sedangkan pementasan berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk institusi sosial dan hasil pekerjaan seni kreatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hubungan antara sastra, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES A.Pengertian Drama atau Bermain Peran Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan bentuk lain (prosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI Ma mur Saadie SASTRA GENRE SASTRA nonimajinatif - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan harian Puisi imajinatif Prosa Fiksi Drama GENRE SASTRA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

NASKAH DRAMA KAPAI-KAPAI KARYA ARIFIN C. NOER: TINJAUAN STRUKTURAL, NILAI EDUKATIF, DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SMA

NASKAH DRAMA KAPAI-KAPAI KARYA ARIFIN C. NOER: TINJAUAN STRUKTURAL, NILAI EDUKATIF, DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SMA NASKAH DRAMA KAPAI-KAPAI KARYA ARIFIN C. NOER: TINJAUAN STRUKTURAL, NILAI EDUKATIF, DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SMA SKRIPSI Oleh: NIKEN YUNINDAR KUNCORONINGRUM K1208033 PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam kebudayaannya. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang dianyam

Lebih terperinci

d. bersifat otonom e. luapan emosi yang bersifat tidak spontan

d. bersifat otonom e. luapan emosi yang bersifat tidak spontan 1. Beberapa pengertian sastra menurut Wellek dan Austin Warren dapat dilihat pada pernyataan di bawah ini, kecuali: a. sebuah ciptaan, kreasi, bukan hanya imitasi b. menghadirkan sintesa antara hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drama merupakan karya sastra yang dalam penulisan teksnya berisikan dialog-dialog dan isinya membentangkan sebuah alur. Seperti fiksi, drama berpusat pada satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Drama merupakan karya yang memiliki dua dimensi karakter (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penokohan, plot/alur, latar/setting, sudut pandang dan tema. Semua unsur tersebut

BAB I PENDAHULUAN. penokohan, plot/alur, latar/setting, sudut pandang dan tema. Semua unsur tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang keduanya saling berhubungan karena berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu genre sastra yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi drama

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu genre sastra yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi drama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbagi menjadi tiga genre, yaitu puisi, prosa dan drama. Salah satu genre karya sastra yang dijadikan objek penelitian ini adalah drama. Drama merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN Pada bab ini akan diuraikan empat hal pokok yaitu: (1) kajian pustaka, (2) landasan teori, (3) kerangka berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra pada dasarnya adalah seni bahasa. Perbedaan seni sastra dengan cabang seni-seni yang lain terletak pada mediumnya yaitu bahasa. Seni lukis menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata. Karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil cipta, kreasi, imajinasi manusia yang berbentuk tulisan, yang dibangun berdasarkan unsur ekstrinsik dan unsur instrinsik. Menurut Semi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, tra artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan

Lebih terperinci

MODUL BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK

MODUL BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A Jl. Merdeka No. 24 Bandung 022. 4214714 Fax.022. 4222587 http//: www.smasantaangela.sch.id, e-mail : smaangela@yahoo.co.id 043 URS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Seorang pengarang bebas untuk mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan imajinasinya untuk dituangkan dalam sebuah karya sastra. Karya sastra lahir karena adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian yang berhubungan dengan karya sastra drama pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang antara lain sebagai berikut. 1) Rahmi Samalu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya. Bahasa yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya. Bahasa yang dipakai dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ide, gagasan, pendapat serta perasaan kepada orang lain. Sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat, bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Karya satra merupakan hasil dokumentasi sosial budaya di setiap daerah. Hal ini berdasarkan sebuah pandangan bahwa karya sastra mencatat kenyataan sosial budaya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu: a. psikosastra b. kesepian c. frustasi d. kepribadian a. Psikologi Sastra

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka mempunyai peranan penting dalam melakukan penelitian karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci