BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 CORPUS LUTEUM Corpus Luteum berasal dari kata corpora (badan) dan lutea (kuning) yang dikemukakan oleh Marcello Malphigi ( ) dan pertama sekali dideskripsikan oleh Reignier de Graaf ( ).De Graaf mengemukakan bahwa setelah coitus,muncul badan globular di dalam ovarium kelinci dan bertahan di situ sampai persalinan, dan jumlah corpora lutea dihubungkan dengan jumlah keturunan yang selanjutnya dari hewan tersebut. Bahwa Corpus Luteum menghasilkan substansi yang meregulasi kehamilan dikemukakan oleh Prenant. Setelah beberapa eksperimen tersebut, Magnus meneliti mengenai Corpus Luteum sebagai asal muasal kehamilan. Ia melakukan ovariektomi pada kelinci dan mengambil ekstrak lutealnya dan mengidentifikasi faktor yang secara biologis aktif memproduksi Corpora Lutea. Faktor ini berlanjut menjadi hormon steroid,yang dikenal sebagai Progesteron. 2.2 TUMBUH KEMBANG CORPUS LUTEUM Proses perubahan dari Folikel menjadi Corpus Luteum Sebelum Ovulasi Antrum folikel merupakan lumen berisi cairan,dalam inti folikel, yang dikelilingi oleh lapisan sel Granulosa, dimana lapisan ini beserta oosit terpisah dari inti folikel tetapi masih di dalam membran dasar. Di luar membran dasar folikel ialah lapisan sel Theca interna dan lapisan sel Theca eksterna. Sel Granulosa dan lapisan sel Theca interna mensintesis dan mensekresikan hormon steroid, sedangkan lapisan sel Theca eksterna bukan merupakan jaringan steroidogenik. Kapiler kapiler rangkaian vaskularisasi pembuluh darah yang mengelilingi folikel dijumpai pada lapisan sel Theca interna dan Theca eksterna, namun tidak dijumpai pada lapisan sel Granulosa, karena membran dasar bertindak selaku barrier untuk vaskularisasi terhadap jaringan di luar membran dasar, sehingga lapisan sel Granulosa merupakan lapisan yang avaskuler. Eritrosit sering terlihat dalam lumen kapiler kapiler ini. Hormon LH menyebabkan hancurnya dinding folikel dan melepaskan oosit saat ovulasi. Setelah Ovulasi Lapisan sel Theca interna dan kapiler kapiler pembuluh darah yang berhubungan dengannya, bergerak melintasi membran dasar yang telah terdegradasi,dan kemudian

2 menginvasi lapisan sel Granulosa di dalam membran dasar yang pada mulanya avaskuler menjadi jaringan folikuler yang kemudian berkembang menjadi Corpus Luteum. Gambar 3. Sel Theca Lutein dan Sel Granulosa Lutein Corpus Luteum Corpus Luteum mengandung jaringan yang Heterogen, Sel yang berasal dari Granulosa dikenal sebagai Large steroidogenic Luteal Cells ( LLC ),dan sel yang berasal dari Theca dikenal sebagai Small steroidogenic Luteal Cells ( SLC ),yang seterusnya dipersiapkan menjadi sel Theca terluteinisasi dan sel Granulosa terluteinisasi. Demikian seterusnya, Semakin penuhnya kapiler kapiler menunjukkan tingginya tingkat vaskularisasi dalam Corpus Luteum. 2.3 PATHWAY STEROIDOGENIK LUTEAL ( BIOSINTESIS PROGESTERON ) Substrat Steroidogenik Substrat steroidogenesis adalah Kolesterol. Pada kondisi normal, mayoritas kolesterol disintesis dalam liver dan diangkut menuju jaringan steroidogenik seperti Corpus Luteum,dalam membentuk Lipoprotein. Di dalam lapisan sel Granulosa dan sel Theca interna,low Density Lipoprotein ( LDL ),High Density Lipoprotein ( HDL ) dan Hidrolisis cadangan ester kolesterol (oleh enzim kolesterol esterase), merupakan sumber utama Kolesterol untuk memproduksi hormon steroid oleh Corpus Luteum. 9 Transpor Kolesterol

3 Sintesis semua hormon steroid tergantung pada transport kolesterol bebas ke mitokondria dengan keterlibatan sitoskeletal. Stimulasi steroidogenesis oleh hormon regulator akut steroidogenik (StAR) meningkatkan transportasi kolesterol ke mitokondria.kolesterol memasuki membran mitokondria luar kemudian ke dalam, dimana kompleks enzim pembelahan rantai tepi kolesterol (sitokrom P450,adrenodoksin, adrenodoksin reduktase) melakukan pembelahan rantai tepi badan kolesterol untuk membentuk Pregnolon. Konversi Kolesterol menjadi Progesteron Sekali Kolesterol ditransport ke matriks mitokondria, kinerja sitokrom P-450scc, adrenodoksin, dan adrenodoksin reduktase membelah rantai tepi Kolesterol untuk membentuk Pregnolon. Pregnolon kemudian ditransport menuju retikulum endoplasma polos, yang berdekatan dengan mitokondria, dimana 3β-HSD mengkonversi Pregnolon menjadi Progesteron ( Hanukoglu dkk ). Progesteron kemudian berdifusi dari sel ke dalam sirkulasi jaringan luteal. 9 Fig. 1. Pathway for progesterone biosynthesis in a generic luteal cell. Three sources of cholesterol can be utilized for substrate: 1) low-density lipoprotein (LDL), 2) high-density lipoprotein (HDL), or 3) hydrolysis of stored cholesterol esters by cholesterol esterase. Free cholesterol is transported to mitochondria apparently with cytoskeletal involvement. Cholesterol is then transported from outer to inner mitochondrial membrane (4), which appears to involve steroidogenic acute regulatory protein (StAR). Cholesterol is converted to pregnenolone by cytochrome P-450 side-chain cleavage enzyme (P-450 scc ; 5), transported out of mitochondria, and converted to progesterone by 3 -hydroxysteroid dehydrogenase/ 5, 4 isomerase (3 -HSD; 6), which is present in smooth endoplasmic reticulum. Progesterone appears to diffuse from luteal cell (7). Gambar 5. Pathway Biosintesis Progesteron dalam Sel-sel Luteal 2.4 REGULASI FUNGSI LUTEAL

4 Hormon luteotropik adalah hormon yang menyokong pertumbuhan dan/atau fungsi Corpus Luteum. Selama fase Luteal normal, Corpus Luteum membesar dalam ukurannya dan meningkat dalam kemampuannya untuk mensekresi Progesteron. Saat Corpus Luteum memperoleh ukuran kematangannya dan memiliki potensi maksimal untuk mensekresi Progesteron, fungsi Luteal dipelihara selama beberapa hari, kemudian Regresi Luteal terjadi untuk proses re-ovulasi dan bisa pula memberikan untuk terjadinya kehamilan. 9 Konsentrasi serum Progesteron tergantung pada jumlah jaringan steroidogenik, aliran darah, dan kapasitas jaringan steroidogenik untuk mensintesis Progesteron. Besar jaringan steroidogenik tergantung kepada jumlahnya,ukuran yang sesuai, dari sel Luteal steroidogenik, keduanya meningkat selama perkembangan Luteal. Aliran darah menuju Corpus Luteum yang meningkat, juga meningkatkan konsentrasi Progesteron dalam serum. Hal ini dianggap sebagai reseptor kunci yang meregulasi uptake kolesterol atau memediasi efek positif dan negatif dari hormon hormon pada sekresi Luteal, yaitu Progesteron ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM PENDAHULUAN. Pembentukan Corpus Luteum Gambar 6 Siklus Hidup Corpus Luteum

5 Angiogenesis sangat penting pada pembentukan dan pengembangan Corpus Luteum dan untuk mempertahankan fungsi Luteal. Lapisan sel Granulosa dari suatu folikel merupakan lapisan yang avaskuler sampai pada saat Ovulasi dan juga saat lonjakan LH, dan kemudian sel endothelial vaskular dari lapisan sel Theca menginvasi lapisan sel Granulosa yang avaskuler tersebut yang kemudian menjadi langkah pertama dalam pembentukan Corpus Luteum. ( Gaede dkk,1985 ) Perkembangan Corpus Luteum Setelah itu, pembuluh darah terbentuk dengan cepat pada Corpus Luteum sehingga Corpus Luteum menjadi salah satu organ tervaskularisasi dalam tubuh dalam masa 7 hari setelah Ovulasi. Dalam kenyataannya, Corpus Luteum ini memiliki suplai darah yang tinggi per satuan massa jaringan dalam tubuh dan bahkan mencapai delapan kali lipat per satuan massa ginjal. Ferrara dkk (1998) mengemukakan bahwa proses angiogenesis disokong oleh adanya VEGF ( Vascular Endothelial Growth Factor ), yang juga memainkan peran sentral dalam angiogenesis pada berbagai organ, dan merupakan faktor penting bagi pembentukan Corpus Luteum. 7 Pematangan Corpus Luteum Untuk mempertahankan produksi Progesteron sebagai upaya demi keberhasilan kehamilan, khususnya ketika Corpus Luteum direscue oleh kehamilan, tidak hanya vaskularitas tinggi yang diperlukan, tetapi juga stabilisasi pembuluh darah dalam Corpus Luteum juga sangat penting untuk menyediakan sel Luteal dengan jumlah kolesterol yang besar yang dibutuhkan untuk sintesis Progesteron dan bahkan penting untuk menghasilkan Progesteron dalam sirkulasi.produksi serum Progesteron memuncak pada 6 sampai 8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya (Gaede dkk,1985) Oleh karena itu, pembuluh darah dalam Corpus Luteum perlu distabilkan dan dimatangkan sebagai pembuluh darah yang fungsional. Pembuluh darah fungsional sangat penting dalam mempertahankan aliran darah dalam Corpus Luteum dan merupakan faktor penting dalam pengaturan fungsi Luteal. Perbaikan vaskularisasi dari Corpus Luteum seperti imuno-netralisasi VEGF telah dinyatakan sebagai penyebab yang mungkin dari kejadian Defek Fase Luteal. 7

6 Regresi Corpus Luteum Regresi pembuluh darah, fenomena fisiologi penting lainnya dalam Corpus Luteum, berkaitan dengan proses involusi jaringan selama Luteolisis Struktural. Regresi Corpus Luteum didefinisikan sebagai proses dimana Corpus Luteum mengalami penurunan fungsi, penurunan dalam volume dan kemudian menghilang dari Ovarium. Regresi Corpus Luteum terdiri dari dua fase, yaitu Luteolisis Fungsional dan Luteolisis Struktural. Luteolisis Struktural didefinisikan sebagai involusi struktural (regresi pembuluh darah dan lepasnya sel sel endothelial) dari Corpus Luteum dan kemudian dibedakan dengan luteolisis fungsional yang secara umum mengkarakterisasi habisnya produksi Progesteron tanpa disertai adanya perubahan struktural, seperti kehilangan sel Luteal.(Azmi dan O Shea,1984 ;Jablonka-Shariff dkk,1993) FAKTOR-FAKTOR YG MEMPENGARUHI ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM PERUBAHAN JUMLAH PEMBULUH DARAH CORPUS LUTEUM Jumlah pembuluh darah meningkat secara signifikan dari tahapan awal hingga pada tahapan akhir dari Fase Luteal Awal dan kemudian meningkat hingga mencapai level yang sama seperti pada Fase Mid-Luteal, yang menyatakan bahwa angiogenesis telah terjadi selama Fase Luteal Awal dan dilanjutkan sampai Fase Mid-Luteal pada siklus menstruasi. Jumlah pembuluh darah dalam Corpus Luteum mengalami penurunan pada Fase Luteal Akhir, dan lebih lanjut mengalami penurunan dalam Fase Folikular siklus haid berikutnya (fase regresi), PERUBAHAN DALAM JUMLAH PERISIT Perisit dapat diidentifikasikan oleh adanya Actin otot polos-ɑ (α-sma). Jumlah perisit pada Corpus Luteum, dijumpai sedikit pada tahapan awal dari Fase Luteal Awal, yang kemudian jumlahnya terus meningkat hingga tahapan akhir selama Fase Luteal Awal, peningkatan jumlah terus bertambah selama fase Mid-Luteal dan setelah itu mengalami penurunan pada Fase Luteal Akhir dan fase Regresi STABILISASI PEMBULUH DARAH Stabilisasi pembuluh darah diatur oleh interaksi antara sel endothelial dan perisit. Pembuluh darah tidak distabilisasi pada Fase Luteal Awal namun hanya distabilisasi pada Fase Mid-Luteal dan pada awal masa kehamilan 7.

7 2.5.3 FAKTOR ANGIOGENIK FAKTOR PERTUMBUHAN ENDOTELIAL VASKULER ( VEGF = VASCULAR ENDOTELIAL GROWTH FACTOR ). Telah diketahui bahwa VEGF memainkan peranan penting dalam angiogenesis Corpus Luteum. VEGF diekspresikan pada tingkat m RNA pada sel-sel Luteal.. Ekspresi yang tetap dari m RNA VEGF pada Corpus Luteum dijumpai mulai dari Fase Luteal Awal sampai pada Fase Mid-Luteal, dan ekspresinya bergerak konsisten dengan aktivitas angiogenesis yang terjadi pada Corpus Luteum manusia. Mulai dari Fase Luteal Akhir sampai kepada Regresi,sel-sel Luteal berinvolusi. Perubahan pada sistem VEGF berkontribusi pada luteolisis struktural karena aktivitas kerja VEGF merupakan faktor penentu pada aktivitas sel-sel endothelial dan hilangnya kerja VEGF merupakan faktor yang berpengaruh pada apoptosis sel-sel endothelial ANGIOPOEITIN Peran faktor pertumbuhan yang lain, yaitu Angiopoeitin,berfungsi secara bersamaan dengan VEGF untuk pembentukan, stabilisasi dan regresi pembuluh darah. Ada 2 tipe Angiopoeitin, Angiopoeitin-1 dan Angiopoeitin-2. Angiopoeitin-1 bekerja pada sel endothelial vaskuler dan berkontribusi kepada stabilisasi pembuluh darah, melalui interaksi pembuluh darah dengan perisit maupun dengan sel sel endothelial. Sebaliknya, Angiopoeitin-2 merupakan antagonis alami pada Angiopoeitin-1 dan berkontribusi pada meniadakan interaksi antara pembuluh darah dengan perisit maupun dengan sel sel endothelial dengan memblok kerja Angiopoeitin-1. Lagipula, telah diketahui, bahwa dengan adanya sinyal VEGF, Angiopoeitin-1 merangsang pertumbuhan sel sel endothelial dan mengaktivasi Angiogenesis. Sedangkan, bila tiada sinyal VEGF, Angiopoeitin-2 akan merangsang regresi kapiler pembuluh darah dengan merangsang apoptosis sel sel endothelial dan perisit 7.

8 Gambar 7. Hipotesis Regulasi perubahan pembuluh darah oleh VEGF, Angiopoietin-1, dan Angiopoietin-2 selama perkembangan dan regresi Corpus Luteum REGULASI MOLEKULER ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM Pada Fase Luteal Awal, ekspresi VEGF tidak begitu kuat dan ekspresi Angiopoetin-2 cukup kuat. Angiogenesis dipicu oleh VEGF jika saat ekspresi Angiopoietin-2 tinggi selama Fase Luteal Awal. Jumlah dari perisit yang sedikit, memicu pembentukan pembuluh darah baru yang immatur. Angiogenesis pada Fase Luteal Awal berperan pada pembentukan dan perkembangan Corpus Luteum menjadi mature Pada Fase Mid-Luteal, ekspresi VEGF tidak begitu kuat dan ekspresi Angiopoietin-1 relatif kuat. Pada Fase Mid-Luteal, perisit dapat direkrut oleh Angiopoetin-1. Dan hasil Angiopoetin-1 yang tinggi menstabilkan pembuluh darah. Dari ekspresi VEGF yang menetap, angiogenesis terhenti dan diselesaikan oleh aktivitas Angiopoeitin-1. Stabilisasi pembuluh darah selama Fase Mid-Luteal berperan pada pemeliharaan fungsi luteal 7 Selama Fase Luteal Akhir sampai dengan fase Regresi, ekspresi VEGF sangat lemah dan ekspresi Angiopoietin-2 relatif kuat. Bila tiada sinyal VEGF, Angiopoeitin-2 akan merangsang regresi pembuluh darah dengan merangsang apoptosis sel sel endothelial dan perisit 7. Corpus Luteum pada awal kehamilan menunjukkan ekspresi VEGF yang tinggi dan ekspresi Angiopoeitin yang cukup kuat. Perubahan-perubahan ini, baik dalam faktor-faktor angiogenik, maupun yang diperoleh dari pembuluh darah dan perisit serta stabilisasi pembuluh darah dan perisit, menunjukkan mekanisme yang meregulasi proses angiogenesis pada Corpus Luteum selama siklus menstruasi dan pada awal kehamilan 7.

9 Gambar 8. Mekanisme biomolekuler Angiogenesis dalam Corpus Luteum selama siklus Menstruasi dan pada Awal Kehamilan ANGIOGENESIS DAN FUNGSI LUTEAL Angiogenesis dan stabilisasi pembuluh darah berperan dan terlibat dalam pemeliharaan fungsi luteal. Angiogenesis Luteal erat hubungannya dengan fungsi Luteal karena inhibisi kerja VEGF oleh antibodi anti-vegf dan sistem perangkap VEGF dapat merusak proses Angiogenesis pada Corpus Luteum dan berakibat pada penurunan fungsi Luteal. Sebaliknya, ekspresi Angiopoeitin-1 yang tinggi dan peningkatan jumlah perisit pada Corpus Luteum dalam Fase Mid-Luteal dan pada awal kehamilan menunjukkan kemungkinan bahwa pembuluh darah pada fase ini matur dan bermanfaat sebagai pembuluh darah fungsional. Penting untuk dicatat bahwa stabilisasi pembuluh darah pada Fase Mid-Luteal dapat dievaluasi dari aliran darah vaskuler Corpus Luteum yang dihubungkan dengan luaran Kadar Serum Progesteron. Pembuluh darah fungsional dibutuhkan untuk mempertahankan aliran darah pada Corpus Luteum. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa aliran darah pada Corpus Luteum, yang dinilai dengan ultrasonografi Doppler berwarna, dengan cepat meningkat setelah Ovulasi, selanjutnya meningkat sampai Fase Mid-Luteal dan menurun selama Fase Luteal Akhir. Perubahan dalam aliran darah selama Fase Luteal sepertinya mencerminkan perubahan vaskuler dalam Corpus

10 Luteum selama pembentukan dan regresi Corpus Luteum. Sebagai tambahan, aliran darah Corpus Luteum sangat signifikan berhubungan dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama Fase Mid-Luteal. Sesungguhnya, beberapa penelitian yang menggunakan ultrasonografi Doppler berwarna menunjukkan bahwa aliran darah Corpus Luteum berhubungan dengan vaskularisasi Luteal dan fungsi Luteal DETEKSI ALIRAN DARAH LUTEAL PADA CORPUS LUTEUM Pencitraan Doppler-berwarna Transvaginal telah lama digunakan untuk menunjukkan indeks echogenisitas dan aliran darah intrafollikuler ( Collins dkk, 1991 ) dan untuk mengevaluasi indeks serial dari echogenisitas, vascularitas dan aliran darah sepanjang umur hidup Corpus Luteum ( Bourne dkk, 1996 ). Lebih lanjut, aliran berwarna dari denyut aliran darah Doppler telah lama digunakan untuk memprediksikan adanya Defek Fase Luteal ( Tinkannen, 1994 : Glock dan Brumsted, 1995 ). Penelitian sebelumnya yang menggunakan pencitraan Doppler berwarna telah terbukti dapat mengukur indeks aliran darah pada Ovarium dan Corpus Luteum PENILAIAN ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM Ultrasonografi Doppler telah muncul sebagai media pendeteksi terjadinya Ovulasi dan menunjukkan fungsi Corpus Luteum yang akurat pada wanita. Perkembangan terakhir, ultrasonografi berwarna Doppler telah digunakan untuk menilai perubahan aliran darah disekitar Corpus Luteum VOLUME CORPUS LUTEUM (mm 3 ) : VOLUME CORPUS LUTEUM diperkirakan menggunakan rumus perkalian persamaan V = x A x B x C Diameter transversal maksimum (A) mm 3 Diameter antero posterior (B) mm 3 Diameter longitudinal (C) mm 3

11 Volume Corpus Luteum menggambarkan peningkatan aliran darah yang diiringi oleh peningkatan berat dan ukuran sel sel luteal ( Jablonka-Shariff dkk,1993 ) Peningkatan aliran darah Luteal dikaitkan dengan adanya pertumbuhan jaringan ( Bruce dan Moor,1976 ; Niswender dkk,1976 ) Volume meningkat pada Fase Luteal Awal, mencapai puncak pada saat Fase Mid-Luteal dan menurun seiring Fase Regresi Corpus Luteum yaitu pada Akhir Fase Luteal. Ukuran sel sel Luteal meningkat seiring dengan Fase pembentukan Corpus Luteum dan menurun seiring dengan Fase Regresi Corpus Luteum ( Singh dkk,1997 ) Aliran darah menuju Ovarium dan jumlah serta ukuran sel sel Luteal sangat penting dalam meregulasi produksi Progesteron di Ovarium. Aliran darah menuju ke Ovarium dengan Corpus Luteum meningkat tiga sampai tujuh kali lipat selama Fase Luteal dan kemudian menurun seiring Regresi Corpus Luteum ( Niswender dkk, 1976 ). Peningkatan Volume Corpus Luteum diiringi peningkatan jumlah dan ukuran sel sel Luteal dan Aliran darah Luteal dalam meregulasi produksi Progesteron Penurunan Volume Corpus Luteum diikuti penurunan jumlah dan ukuran sel sel Luteal dan Aliran darah Luteal dalam meregulasi produksi Progesteron PEAK SYSTOLIC VELOCITY ( PSV ) DAN EDV ( END DIASTOLIC VELOCITY ) ALIRAN DARAH CORPUS LUTEUM Corpus Luteum menjadi organ dengan vaskularisasi tertinggi dalam beberapa hari setelah Ovulasi, sehingga bila berdasarkan berat jumlah jaringan, dan aliran darah menuju Corpus Luteum, maka ia merupakan salah satu organ dengan jaringan yang terbesar dalam tubuh manusia ( Abdul Karim dan Bruce,1973 ). Peningkatan Aliran Darah,sebagai penyedia untuk mendukung pathway steroidogenik luteal menuju sirkulasi sistemik, juga penting untuk pengadaan substrat kolesterol, dalam membentuk Low Density Lipoprotein, untuk biosintesis Progesteron ( Carr dkk,1982 ) Oleh karena itu, Aliran Darah Corpus Luteum merupakan sesuatu yang sangat penting untuk meregulasi fungsi Luteal.

12 PEAK SYSTOLIC VELOCITY (PSV) Yaitu puncak tertinggi aliran darah sistolik pada tampilan berwarna gelombang aliran darah Corpus Luteum pada Fase Mid-Luteal tersebut. PSV menunjukkan fluktuasi tinggi rendahnya gelombang aliran darah yang mengalir pada Corpus Luteum untuk mendukung pathway steroidogenik Luteal dalam proses biosintesis Progesteron dan mengatur fungsi Luteal secara umum. Kenaikan PSV yang tinggi dianggap sebagai parameter yang baik untuk menilai baiknya aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung merefleksikan produksi Progesteron yang adekuat. Penurunan PSV yang rendah dianggap sebagai parameter yang kurang/tidak baik untuk menilai aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung menrefleksikan produksi Progesteron yang tidak adekuat. PSV dalam Corpus Luteum nilainya rendah pada Fase Luteal Awal kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada 8 sampai 6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya kemudian menurun seiring Regresi Corpus Luteum. END DIASTOLIC VELOCITY (EDV) Yaitu titik dasar terendah aliran darah diastolik pada tampilan berwarna gelombang aliran darah Corpus Luteum pada Fase Mid-Luteal tersebut. EDV menunjukkan fluktuasi tinggi rendahnya gelombang aliran darah yang mengalir pada Corpus Luteum untuk mendukung pathway steroidogenik Luteal dalam proses biosintesis Progesteron dan mengatur fungsi Luteal secara umum. Kenaikan EDV yang tinggi dianggap sebagai parameter yang baik untuk menilai baiknya aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung merefleksikan produksi Progesteron yang adekuat. Penurunan EDV yang rendah dianggap sebagai parameter yang kurang/tidak baik untuk menilai aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung menrefleksikan produksi Progesteron yang tidak adekuat.

13 EDV dalam Corpus Luteum nilainya rendah pada Fase Luteal Awal kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada 8 sampai 6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya kemudian menurun seiring seiring Corpus Luteum INDEKS PULSATILITAS ( PI = PULSATILITY INDEX ) Sudut independen PI dihitung secara elektronik dari kurva halus sampai pada gelombang yang paling berkwalitas selama tiga siklus kardiak dengan berdasarkan formula berikut : ( Pourcelot, 1974 ) PI = ( S-D ) / A Dimana : S adalah denyut aliran darah sistolik maksimum, D adalah denyut aliran darah diastolik minimum A adalah frekwensi pencitraan gelombang Doppler rata-rata selama melalui 1 siklus kardiak. PI mencerminkan tahanan peripheral pembuluh darah yang diukur ; dan PI juga menggambarkan vasomotor pembuluh darah yang bekerja pada Corpus Luteum saat pembuluh darah berdilatasi maksimal untuk penyediaan produksi Progesteron. Tingginya nilai PI dianggap sebagai ketidakmampuan vasomotorik karena pembuluh darah Corpus Luteum berdilatasi maksimal untuk memproduksi Progesteron. Rendahnya nilai PI dianggap sebagai kemampuan vasomotorik karena pembuluh darah Corpus Luteum tidak berdilatasi maksimal untuk memproduksi Progesteron. PI nilainya meningkat pada Fase Mid-Luteal dan menurun seiring Regresi Corpus Luteum dan Fase Luteal Akhir, nilainya serupa dengan pada saat Fase Luteal Awal. Rendahnya nilai PI dihubungkan dengan rendahnya nilai RI INDEKS RESISTENSI ( RI = RESISTANCE INDEX ) Indeks Resistansi ( RI = Resistance Index ) yang diambil dari selisih antara aliran darah sistolik maksimal ( S ) dan aliran darah diastolic minimal ( D ) dibagi dengan aliran darah sistolik puncak ( S-D / S ).Impedansi aliran darah dinilai dalam Corpus Luteum selama fase midluteal ( 6-8 hari setelah ovulasi ) : ( Gosling, 1976 )

14 RI = S D / S Dimana : S adalah denyut aliran darah sistolik maksimum, D adalah denyut aliran darah diastolik minimum RI menggambarkan tingginya tahanan pembuluh darah selama dilatasi maksimal pembuluh darah pada saat Aliran Darah meningkat saat Fase Mid-Luteal. RI dijumpai terendah nilainya pada Fase Mid-Luteal,dan tinggi nilainya pada Fase Luteal Awal kemudian menurun pada Fase Mid-Luteal dan meningkat seiring Regresi Corpus Luteum Peningkatan nilai RI dianggap sebagai tahanan yang tinggi yang terjadi saat dilatasi maksimal aliran darah Corpus Luteum untuk meyediakan produksi progesteron. Penurunan nilai RI dianggap sebagai tahanan yang tidak tinggi yang terjadi saat rendahnya dilatasi aliran darah Corpus Luteum untuk meyediakan produksi progesteron.

15 Gambar. Aliran Darah ( Angiogenesis ) Corpus Luteum Di Dalam Ovarium Pada USG Doppler Transvaginal Gambar. Hasil Scaning Aliran darah Corpus Luteum dalam Ovarium

16 Gambar 18. Interpretasi Hasil Scanning Aliran Darah ( Angiogenesis ) Corpus Luteum Dalam Ovarium Pada USG Doppler Transvaginal 2.8. KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Corpus Luteum merupakan sumber utama penghasil Progesteron, dan juga menghasilkan hormon- hormon esensial untuk implantasi dan memelihara kehamilan awal. 23 Regulasi sintesis dan sekresi Progesteron diatur oleh Corpus Luteum.Target utama Progesteron adalah saluran Reproduksi dan sumbu Hipotalamus Hipofisis. Secara umum, kerja Progesteron pada saluran Reproduksi adalah untuk maturasi endometrium dan untuk mempersiapkan inisiasi dan memelihara kehamilan PERAN PROGESTERON PADA SUMBU HIPOTHALAMUS - HIPOFISIS Konsentrasi sirkulasi Progesteron bernilai rendah selama Fase Folikuler. Selama periode ini, peningkatan konsentrasi Estradiol bekerja pada Hipotalamus dan Hipofisis untuk menstimulasi amplitudo yang rendah dan frekuensi pulse yang tinggi dari hormon LH, yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sirkulasi LH yang mengatur perkembangan folikel sampai ke saat Ovulasi ( Lucy dkk ). Setelah Ovulasi, seiring perkembangan Corpus Luteum, konsentrasi sirkulasi Progesteron yang tinggi, membatasi sekresi LH sampai menjadi frekuensi pulse yang rendah dan amplitudo tinggi, yang menyebabkan penurunan konsentrasi rata rata dari sekresi hormon LH.

17 Gambar. Gambaran Mekanisme Hipothalamus Hipofisis Ovarium dalam Mempengaruhi Corpus Luteum Memproduksi Progesteron Value of Progesterone for Implantation and Pregnancy Development 1. Preparation of the endometrium for implantation ( secretory changes ) 2. Endometrial decidualization 3. Production of a number of endometrial proteins such as uteroglobin, PAPP and PP14 4. Regulation of the Cellular immunity 5. Stimulation of Prostaglandin E2 production which supresses a number of T-cell reactions. 6. Stimulation of Lymphocyte proliferation at the fetomaternal interphase. 7. Suppression of the Interleukin 2 increased cellular toxicity 8. Suppression of T-cell- and killer-cell-activity 9. Shift from the TH-1 to TH-2 cells. 10. Synthesis of the Progesterone-Induced Blocking Factor ( PIBF ) 11. Suppression of Matrix Metalloproteinases Tabel 1. Peran Progesteron untuk Implantasi dan Perkembangan Kehamilan. Efek Progesteron ini disebabkan oleh kinerja pada Hipotalamus dan Hipofisis. Progesteron memblok lonjakan GnRH dari Hipotalamus. Dalam Hipofisis, Progesteron menurunkan jumlah reseptor GnRH dengan mengatur regulasi m RNA mengkode reseptor untuk GnRH. Progesteron menurunkan banyaknya Hormon LH yang dilepaskan dalam merespon GnRH,sebagian disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor GnRH dalam Hipofisis.

18 Kadar Progesteron yang tinggi juga menyebabkan penurunan ekspresi gen mengkode subunit-subunit β, baik yang berasal dari LH maupun dari FSH dan dari subunit yang umum oleh Gonadothropin PERAN PROGESTERON DALAM SISTEM REPRODUKSI Secara umum, kerja Progesteron pada Traktus Reproduksi adalah untuk mempersiapkan inisiasi dan memelihara kehamilan.. 9 Secara khusus : Dalam uterus, Progesteron bekerja pada endometrium sebagai faktor diferensiasi. Selama Fase Folikuler, estrogen menginduksi proliferasi sel-sel endometrium,dan meningkatkan konsentrasi Progesteron selama Fase Luteal pada siklus reproduksi, menghambat mitosis dalam endometrium. Progesteron juga menginduksi diferensiasi stroma, menstimulasi sekresi glandular dalam hubungannya dengan akumulasi vakuola basal dalam kelenjar epitel, dan perubahan pola protein yang disekresikan oleh sel endometrium.. 9 Dalam uterus, Progesteron menginduksi miometrium agar tidak bergerak. Efek ini bermanifestasi dengan peningkatan resting potensial dan pencegahan elektrikal coupling diantara sel sel miometrial. Sebagai tambahan, Progesteron menurunkan uptake kalsium ekstraseluler yang dibutuhkan untuk kontraksi sel-sel miometrial dengan mengatur regulasi ekspresi gen yang mengkode subunit-subunit channel kalsium bergantung-voltage. Progesteron juga mencegah kontraksi uterus dengan memblok kemampuan Estradiol untuk menginduksi reseptor -adrenergik, aktivasi yang menyebabkan kontraksi. 9 Lama siklus reproduksi juga diatur, sebagian, oleh Progesteron DEFEK FASE LUTEAL Defek Fase Luteal terjadi pada 10% pasangan infertil dan dikarakterisasi sebagai abnormalitas fungsi Corpus Luteum antara lain: insufisiensi produksi Progesteron. Abortus spontan dan kehamilan ektopik pun juga dilaporkan meningkat angka kejadiannya pada pasien dengan Defek Fase Luteal. Sejak neovaskularisasi tumbuh kembang Corpus Luteum

19 diperkirakan dibutuhkan untuk suplai substrat, sebagaimana produk transport pada sirkulasi sistemik, angiogenesis luteal yang inadekuat dapat menjadi penyebab penurunan konsentrasi progesteron sistemik pada Defek Fase Luteal. Demikian, inadekuasi luteal diyakini terjadi sebagai akibat adanya defek pada proses angiogenesis dan proses netralisasi VEGF PENENTUAN DEFISIENSI SEKRESI PROGESTERON OLEH CORPUS LUTEUM PADA FASE LUTEAL SAAT OVULASI DAN PEMBENTUKAN CORPUS LUTEUM Pada saat Ovulasi, yaitu pada saat folikel berkonversi menjadi Corpus Luteum,perubahan jaringan vaskuler disekeliling folikel matang menjadi sangat luar biasa. Pembuluh kapiler Theca menginvasi lapisan Granulosa avaskuler pada hari ke 2 setelah Ovulasi dan seterusnya menuju kavitas sentral pada hari ke 4. Pada hari ke 6 setelah Ovulasi, pembuluh kapiler mengelilingi sel-sel Granulosa, dan dilatasi kapiler terjadi. Pada hari ke 7, pembuluh vena muncul di sepanjang batas kavitas yang seterusnya menuju ke kanal vena yang mengalir kembali melewati jaringan luteal ke vena yang lebih besar di luar Corpus Luteum. 3 Gambar 11. Representasi Skematik perubahan vaskularisasi selama hidup Folikel tunggal yang diseleksi untuk menjadi matang dan ber-ovulasi. Corpus Luteum diperkirakan berada pada aktivitas puncak pada hari ke 7 setelah Ovulasi, ditandai dengan meningkatnya jumlah vena di sepanjang kavitas yang mana telah mengandung jaringan ikat definitif. Vaskulogenesis Luteal sangat meluas dan menjadi hal yang penting pada hiperplasia seluler yang dapat dikesan pada tumbuh kembang Corpus Luteum. Lei dkk melakukan determinasi bahwa ruang vaskuler ( sel-sel endothelial ) pada Corpus Luteum manusia meningkat mulai dari fase mid-luteal awal, dengan jumlah sel sel nonsteroidogenik terus meningkat jumlahnya sampai ke fase luteal akhir.

20 PENGUKURAN SUHU BASAL BADAN (BBT = BASAL BODY TEMPERATURE) Gambar 12. Rekaman Suhu Basal Badan Ideal Metode yang tidak mahal untuk mendeteksi Defisiensi Progesteron Fase Luteal pasca Ovulasi adalah dengan cara merekam temperatur tubuh pasien setiap pagi pada Chart Suhu Basal Badan ( BBT Chart ). Pengukuran BBT dikerjakan setiap hari pada saat terjaga pagi hari,sebelum matahari terbit,saat kondisi basal yaitu kondisi istirahat, sebelum bangkit dari tempat tidur, ataupun sebelum makan dan minum. BBT dikerjakan setiap pagi,saat kondisi basal yaitu kondisi istirahat, sebelum matahari terbit dan pada keadaan badan sedang tidak sakit (demam). Alat yang diperlukan adalah sebuah thermometer Celcius ( khusus ), alat tulis dan kertas Chart BBT yang disiapkan. Thermometer diletakkan di bawah lidah selama 4 menit. Nilai yang tertera pada thermometer ditandai ( beri tanda silang pada suhu yang tertera pada thermometer ) dengan ballpoint pada kertas Chart BBT yang telah disiapkan.pengukuran BBT dimulai pada hari pertama haid dan dikerjakan setiap hari sampai haid berikutnya ( siklus klasik biasanya 28 hari,namun tergantung kondisi individu, antara 25 sampai 35 hari ). Jika wanita siklus haidnya berovulasi, maka grafik akan memperlihatkan gambaran bifasik, sedangkan pada siklus haid yang tidak berovulasi, gambaran grafiknya monofasik. Chart BBT harian menghasilkan karakteristik pola bifasik pada wanita yang memiliki siklus Ovulatoar. Secara teratur, titik nadir ( < 36 o C ) pada Chart BBT dinyatakan yaitu pada saat lonjakan LH.Hari ke 14 siklus haid dinyatakan sebagai hari terjadinya Ovulasi. Setelah Ovulasi ( Lonjakan LH = suhu berada pada titik nadir < 36 C ),Rekaman Chart BBT harian didasarkan kepada thermogenik Progesteron, saat kadarnya meningkat setelah

21 Ovulasi, BBT meningkat pula. Sekresi Progesteron yang signifikan oleh Ovarium lazimnya terjadi setelah ovulasi. Fase Luteal siklus haid yang normal dikarakterisasi sebagai kenaikan rekaman temperatur ( dari titik nadir < 36 C saat Ovulasi,kemudian meningkat selama Fase Luteal ) yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 10 hari dari total 14 hari panjang Fase Luteal normal. Fase Mid-Luteal ialah fase dimana Progesteron dihasilkan dalam kadar yang paling tinggi ( 6-8 hari setelah ovulasi ). 26,27,28 Chart BBT umumnya bernilai rendah dan fluktuatif antara 36,0 C dan 36,5 C selama Fase Folikuler siklus haid, kemudian menurun sampai ke titik nadir di bawah 36 C pada saat terjadinya Ovulasi, lalu meningkat secara perlahan ( 0,4 C - 0,8 C diatas rata-rata temperatur Fase Folikuler) selama Fase Luteal siklus haid, yang merefleksikan adanya produksi Progesteron oleh Corpus Luteum yang distimulasi oleh hormon hcg ( human Chorionic Gonadothropin ) 26,27, dan menurun kembali ke dasar sesaat sebelum onset menstruasi berikutnya. Pada wanita yang Ovulatoar, pola bifasik biasanya langsung terlihat. Jika tidak dijumpai adanya peningkatan temperatur, maka diperkirakan tidak merefleksikan adanya produksi Progesteron yang adekuat PENENTUAN PANJANG FASE LUTEAL Chart BBT ini dibuat untuk memperkirakan Panjang Fase Luteal dan menentukan Defek Fase Luteal (Down and Gibson,USA,1983, Lenton and colleagues,usa,1984, Smith et al,usa,1984). Panjang Fase Luteal normal adalah 14 hari dimulai dari hari terjadinya Ovulasi. Diklasifikasikan sebagai penderita Defek Fase Luteal ialah wanita dengan Panjang Fase Luteal 11 hari ( Jordan and colleagues, USA,1994 ) PEMERIKSAAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON FASE LUTEAL Metode lain yang umum digunakan untuk menilai Kadar Progesteron Fase Luteal pasca Ovulasi ialah dengan mengukur Konsentrasi Serum Progesteron. Corpus Luteum merupakan sumber utama penghasil Progesteron 23 Kadarnya biasanya berada di bawah 1 ng/m L selama Fase Folikuler,meningkat tipis pada hari terjadinya lonjakan LH ( 1-2 ng/m L) dan demikian seterusnya, mencapai puncaknya pada 7 sampai 8 hari setelah Ovulasi, dan kemudian menurun

22 pada saat beberapa hari menjelang menstruasi berikutnya. Pada umumnya, kadar diatas 3 ng/m L yang menunjukkan bahwa Ovulasi telah terjadi. Kapankah waktu yang paling baik untuk mengukur kadar serum Progesteron jika ditentukan dari adanya suatu Ovulasi? Satu rekomendasi populer untuk melakukan uji tersebut ialah pada hari ke 21. Pada siklus haid ideal 28 hari yang mana Ovulasi biasanya terjadi pada hari ke 14, hari ke 21 diperkirakan sebagai Fase Mid-Luteal, setidaknya 1 minggu setelah Ovulasi atau pula 1 minggu sebelum onset periode menstruasi berikutnya, yaitu sesaat ketika kadar serum Progesteron mencapai puncaknya. ( Jordan and colleagues,usa,1994 ) Kadar serum Progesteron telah pula digunakan untuk menentukan kualitas fungsi luteal. Jumlah dan durasi produksi Progesteron menggambarkan kapasitas fungsional dari Corpus Luteum;. Pemeriksaan tunggal kadar serum Progesteron Fase Mid-Luteal bernilai rendah merupakan suatu kriteria popular untuk mendiagnosa defisiensi atau defek fase luteal, suatu kelainan yang menunjukkan gambaran mengenai Disfungsi Ovulasi. Dikategorikan sebagai Defek Fase Luteal bila ditemukan Kadar Serum Progesteron < 10 ng/ml pada 7 hari setelah Lonjakan LH atau 7 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Beberapa penulis melaporkan bahwa 5 ng/ml adalah batas terendah dari fase mid luteal yang normal, dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa level Fase Mid-Luteal dari 10 ng/ml ( Hansleigh dan Fainstadt, 1979 ), ada pula yang mengemukakan bahwa 15 ng/ml ( Radwanska dan Swyer, 1974 ) merupakan nilai diskriminan antara siklus normal dan siklus Defek Fase Luteal PEMANTAUAN DENGAN ULTRASONOGRAFI Defisiensi produksi Progesteron dapat pula dideteksi dengan menentukan terjadinya Ovulasi melalui pantauan Ultrasonografi. Ovulasi ditentukan dengan pemantuan perkembangan folikel dominan dengan menggunakan ultrasonografi sampai terjadinya Ovulasi. Ovulasi dikarakterisasi oleh baik dengan adanya penurunan ukuran folikel Ovarium yang dipantau,

23 maupun dengan munculnya cairan pada daerah cul-de-sac. Sering terjadi ketika ukuran folikel mencapai sekitar 21 sampai 23 mm, atau sekurang-kurangnya ukuran folikel sekecil 17 mm, atau sebesar-besarnya ukuran folikel sebesar 29 mm. Metode ini merupakan observasi langsung dari karakteristik sekuensi perubahan yang terjadi sebelum dan segera setelah pelepasan Ovum. Walaupun masih tidak memberikan bukti yang positif bahwa Ovulasi sebenarnya terjadi, penentuan dengan ultrasonografi transvaginal serial memberikan informasi terperinci mengenai ukuran dan jumlah folikel preovulasi dan menunjukkan estimasi yang paling akurat kapan terjadinya Ovulasi. 26,27,28 Hari saat ovulasi ditandai dengan adanya sekurang-kurangnya dua dari temuan berikut : didapati penurunan diameter folikel secara akut, peningkatan tiba-tiba dari isi cairan intraperitoneal. Ukuran rata-rata folikel pre-ovulasi < 17 mm menandai adanya suatu Defek Fase Luteal. (Geisthoval et al,usa,1983, Checkk and colleagues,usa,1983, Jordan and colleagues, USA,1994) BIOPSI ENDOMETRIUM Defisiensi produksi Progesteron dapat dideteksi dengan pemeriksaan Biopsi Endometrium. Ketepatan alamiah dari perubahan histologik yang terjadi dalam sekresi endometrium berhubungan dengan lonjakan LH memudahkan untuk memantau normalitas perkembangan Endometrium.Dengan mengetahui bahwa pasien secara kronologis berada pada keadaan pasca Ovulasi, sangat mudah untuk mengambil sampel Endometrium dengan melakukan Biopsi Endometrium dan mengukur apakah kondisi Endometrium berhubungan dengan fase fase siklus haid. Untuk melakukan uji diagnostik ini,target utama ialah untuk menentukan kapan terjadinya Ovulasi. Apabila waktu Ovulasi dapat ditegakkan, investigator pada awalnya secara tradisional memilih 10 sampai 12 hari pasca Ovulasi sebagai waktu yang paling tepat untuk melakukan Biopsi Endometrium. Pengambilan dilakukan pada daerah fundus bagian anterior,karena bagian ini sangat responsif terhadap perubahan siklus hormonal Ovarium. Namun, direkomendasikan pengambilan sampel Endometrium pada saat implantasi (6 sampai 8 hari pasca Ovulasi) memberikan hasil yang lebih akurat. ( Jordan and colleagues,usa,1994) 26,27,28

24 Dikatakan sebagai Defek Fase Luteal jika ditemukan sebarang ketidaksesuaian ( lebih dari 2 hari keterlambatan), dianggap berkaitan dengan terjadinya kedua-dua kegagalan,baik kegagalan implantasi maupun kegagalan yang berakibat keguguran pada awal kehamilan HUBUNGAN ALIRAN DARAH CORPUS LUTEUM DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Corpus Luteum menjadi sangat tervaskularisasi dalam beberapa hari setelah Ovulasi sehingga bila didasarkan kepada besarnya aliran darah,maka aliran darah ke Corpus Luteum merupakan salah satu yang terbesar dari semua jaringan dalam tubuh ( Abdul Karim dan Bruce,1973 ). Peningkatan vaskularisasi ini, disamping memberikan saluran untuk produksi steroid luteal ke sirkulasi sistemik, ia juga penting untuk penyediaan substrat kolesterol dalam bentuk Low Density Lipoprotein untuk Biosintesis Progesteron ( Carr dkk,1982 ). Oleh karena itu, terbukti bahwa aliran darah ke Ovarium dan khususnya ke Corpus Luteum merupakan hal yang sangat penting dalam pengaturan fungsi Luteal, khususnya fungsi Corpus Luteum. 1 Konsentrasi serum Progesteron mencapai puncaknya pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Fase Luteal Awal ditunjukkan oleh adanya proliferasi cepat dari sel-sel endotelial dan invasi kapiler-kapiler dari inti jaringan luteal, yang mengandung jaringan ikat dan pembuluh darah yang diperoleh dari sel Theca menuju ke area perifer yang mengandung sel sel Luteal yang diperoleh dari sel Granulosa (Gaede dkk., 1985). Fase Mid-Luteal digambarkan oleh dengan adanya pembentukan jaringan mikrovaskular yang rapat yang disusun secara primer oleh kapiler-kapiler. Fase Luteal Akhir ditandai oleh adanya regresi kapiler-kapiler, peningkatan jaringan ikat dan peningkatan yang pesat dari pembuluh darah halus yang lebih besar, regresi dan kehilangan sel-sel parenkim luteal (Azmi dan O Shea, 1984; Jablonka Shariff dkk., 1993).. Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, menemukan kadar serum Progesteron secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan wanita dengan siklus normal. Dan Panjang Fase Luteal ditemukan lebih pendek pada wanita Defek Fase Luteal dibandingkan dengan wanita siklus normal.

25 Penelitian Kupesic dan Kurjak di Zagreb, Croatia, 1996, menemukan kadar serum Progesteron rata-rata secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan kelompok kontrol ( p < 0.01 ) HUBUNGAN PEAK SYSTOLIC VELOCITY (PSV) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya dijumpai PSV pada Corpus Luteum mencapai puncak pada 8-6 hari sebelum onset mentruasi berikutnya dan menurun sampai pada akhir Fase Luteal. Konsentrasi Serum Progesteron memperlihatkan perubahan yang sama, meningkat dari hari sebelum onset menstruasi berikutnya dan memuncak pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Walaupun PSV pada Corpus Luteum tidak berkorelasi dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada penelitian ini,tetapi ianya menunjukkan pola perubahan yang sama dengan Konsentrasi Serum Progesteron sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Bourne dkk., Bourne dkk 1996, pada penelitiannya mengemukakan korelasi yang erat antara PSV aliran darah yang mengelilingi Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada siklus spontan. Niswender dkk 1976, Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa Aliran darah menuju ke Ovarium beserta jumlah dan ukuran dari sel-sel Luteal merupakan sesuatu yang penting dalam pengaturan produksi Progesteron oleh Ovarium. Aliran darah menuju ke Ovarium yang mengandung Corpus Luteum meningkat 3-7 kali lipat selama fase Luteal dan menurun secara pesat pada regresi Corpus Luteum. Hong-Ning Xie dkk., Jepang tahun 2001 mengemukakan bahwa aliran darah intra- Ovarial secara jelas menunjukkan velositas yang tinggi Penelitian Hong-Ning Xie dkk. ini menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah Luteal merupakan akibat dari dilatasi vaskularisasi pada Awal fase Luteal. Ditemukan PSV berkorelasi positif dengan Konsentrasi Serum Progesteron. Hal ini mendukung konsep bahwa velositas aliran darah Luteal merupakan parameter komplementer yang menggambarkan fungsi Luteal pada kejadian infertilitas. Dalam hubungan PSV dengan Defisiensi Fase Luteal,Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, menemukan bahwa PSV pada Fase Mid-Luteal wanita dengan Defek Fase Luteal lebih rendah bila dibandingkan dengan PSV pada wanita dengan siklus

26 normal. Dan dijumpai korelasi signifikan antara PSV dengan kadar serum Progesteron pada wanita Defek Fase Luteal ( r = 0,36 ) HUBUNGAN END DIASTOLIC VELOCITY (EDV) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Ottander dkk., Swedia tahun 2004 mengemukakan End Diastolic Velocity (EDV) menurun secara signifikan pada fase Luteal Akhir dibandingkan dengan fase Mid-Luteal. Hal ini juga ditemukan pada pola perubahan PSV, dimana PSV memperlihatkan pola perubahan yang sama dengan pola perubahan EDV. Dalam hubungan EDV dengan Defisiensi Fase Luteal,Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, dalam penelitiannya tidak menemukan perbedaan antara Velositas diastolik nadir aliran darah intra ovarial pada wanita dengan Defek Fase Luteal bila dibandingkan dengan wanita dengan siklus ovulatoar biasa HUBUNGAN PULSATILITY INDEX (PI) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya menemukan bahwa Pulsatility Index (PI) pada arteri Ovarium mencapai titik nadir pada fase Mid-Luteal (3-8 hari sebelum onset menstrusi berikutnya.konsentrasi serum Progesteron memperlihatkan perubahan yang sama, meningkat dari hari sebelum onset menstruasi berikutnya dan memuncak pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Dalam penelitian ini, PI intra-luteal ditemukan tidak berkorelasi dengan kadar serum Progesteron. Pada studi Miyazaki dkk. ini Konsentrasi Serum Progesteron mencapai puncaknya pada fase Mid-Luteal (8-6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya), sementara PI intra-luteal mulai menurun pada Awal fase Luteal (11-9 hari sebelum onset menstruasi berikutnya) kemudian meningkat sampai pada onset menstruasi berikutnya. Peningkatan kadar Progesteron ini terjadi pada saat peningkatan aliran darah menuju ke Corpus Luteum, ditandai dengan penurunan PI pada aliran darah tersebut. Diskrepansi antara periode konsentrasi serum Progesteron maksimum dengan periode PI terendah memperlihatkan

27 fakta bahwa peningkatan pada Hormon yang bersirkulasi berbanding terbalik dengan peningkatan struktural vaskularisasi Corpus Luteum Hata dkk., 1990; Glock dkk., 1995 mengemukakan hasil penelitiannya bahwa nilai PI yang rendah dihubungkan oleh adanya RI yang rendah. Suplai darah menuju Ovarium yang mengandung Corpus Luteum meningkat selama fase Luteal khususnya pada fase Mid-Luteal seiring dengan peningkatan asupan Low-Density Lipoprotein menuju sel-sel Luteal untuk memproduksi Progesteron dalam Corpus Luteum. Tinkanen dkk., Finlandia, 1994 dalam penelitiannya tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal Pulsatility Index (PI) intra-ovarial dengan Kadar Serum Progesteron. Walau bagaimanapun, jumlah pasien yang inadekuat dan metode yang insufisien yang digunakan untuk evaluasi fungsi Luteal pada penelitian ini, merupakan keterbatasan pada penelitian ini Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, yang mengevaluasi Indeks Resistensi aliran darah intra-ovarial dengan Velositas aliran darah intra ovarial pada siklus haid yang distimulasi FSH. Dari 76 sampel, dijumpai 15 wanita dengan Defek Fase Luteal,tidak ditemukan perbedaan antara Indeks Pulsatility aliran darah intra ovarial pada wanita dengan Defek Fase Luteal bila dibandingkan dengan wanita dengan siklus ovulatoar biasa HUBUNGAN RESISTANCE INDEX (RI) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Pada penelitian Kupesic dan Kurjak di Croatia tahun 1996, dalam penelitiannya dijumpai nilai RI terendah pada fase Mid-Luteal (RI = 0.42 ± 0.06), yang kemudian mengalami peningkatan ke nilai yang lebih tinggi (RI = 0.50 ± 0.04) pada akhir Fase Luteal. Kadar Progesteron rata-rata secara signifikan lebih rendah (P < 0.001) pada grup Defek Fase Luteal (6.9 ± 2.3 ng/ml) dibandingkan dengan kelompok kontrol (24.1 ± 11.4 ng/ml). Glock dan Brunsted, 1995, memperlihatkan korelasi yang signifikan antara RI intra- Ovarial dengan Kadar Plasma Progesteron pada Fase Luteal. Serupa dengan penelitian Kupesic dan Kurjak di Universitas Zagreb 1996 menunjukkan perbedaan yang bermakna antara RI intra- Ovarial pada kelompok dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan kelompok kontrol. Nilai RI terendah dideteksi pada fase Mid-Luteal seiring dengan puncak Angiogenesis Corpus

28 Luteum. Peningkatan RI ditunjukkan pada akhir Fase Luteal seiring dengan regresi Corpus Luteum. Pada penelitian Tamura dkk. di Jepang tahun 2008, dalam penelitiannya didapati hasil bahwa RI Luteal pada fase Mid-Luteal pada wanita dengan Defek Fase Luteal secara signifikan meningkat dibandingkan pada wanita dengan fungsi Luteal normal. RI Luteal secara signifikan berkorelasi dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada fase Mid-Luteal. Pada penelitian Tamura dkk. ini, diperlihatkan bahwa RI Luteal menurun sepanjang Awal Fase Luteal dan meningkat sepanjang Fase Regresi Luteal. Lebih lanjut lagi penelitian ini menunjukkan RI Luteal yang tinggi dan kadar serum Progesteron yang rendah dijumpai selama Fase Luteal. Penelitian oleh Takasaki dkk. di Jepang tahun 2009 yang melakukan penelitian mengenai aliran darah Corpus Luteum yang dihubungkan dengan fungsi Luteal menemukan korelasi negatif yang signifikan antara RI Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama fase Mid- Luteal. Dalam kaitannya dengan Defek Fase Luteal, baik penelitian sebelumnya maupun penelitian Takasaki dkk. mendukung bahwa Defek Fase Luteal dihubungkan dengan adanya RI yang tinggi pada Corpus Luteum karena RI Luteal pada wanita dengan Defek Fase Luteal selama fase Mid-Luteal meningkat secara signifikan dibandingkan dengan wanita dengan fungsi luteal normal, dan RI Corpus Luteum berkorelasi negatif dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama fase Mid-Luteal wanita dengan siklus normal. Glock dan Brumsted melakukan penelitian pada sekelompok kecil wanita infertil dan menemukan bahwa tiga wanita dengan defek fase luteal memiliki RI yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien normal HUBUNGAN VOLUME CORPUS LUTEUM DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON. Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya diperlihatkan gambaran Corpus Luteum dengan pencitraan USG Doppler sepanjang fase Luteal. Area yang mengalami vaskularisasi terlihat meningkat dari saat periovulasi sampai pada fase Mid-Luteal dan menurun sampai onset menstruasi berikutnya. Volume Corpus Luteum memperlihatkan pola perubahan yang sama seperti pada perubahan Konsentrasi Serum Progesteron.Walaupun perubahan pada

29 Volume Corpus Luteum sebanding dengan perubahan pada Konsentrasi Serum Progesteron, namun tidak dijumpai korelasi bermakna antara Volume Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron. Namun Konsentrasi Serum Progesteron berkorelasi positif dengan Volume Corpus Luteum. Volume Corpus Luteum menggambarkan sebagian sel-sel Luteal dan menggambarkan vaskularitas Corpus Luteum yang menunjukkan aliran darah ke Corpus Luteum untuk mengatur produksi Progesteron. Miyazaki dkk. menggunakan Volume Corpus Luteum sebagai parameter pengaturan produksi Progesteron. Jablonka Shariff dkk., 1993 pada penelitiannya menemukan Pertumbuhan yang cepat dari vaskularisasi luteal diiringi oleh peningkatan yang cepat dalam berat dan ukuran Corpus Luteum. Bruce dan Moor, 1976; Niswender dkk., 1976 menemukan Aliran darah fase Luteal meningkat secara dramatis sehubungan dengan peningkatan pertumbuhan jaringan Corpus Luteum Bourne dkk., 1996 menemukan Korelasi signifikan antara ukuran Corpus Luteum dengan produksi Progesteron ditunjukkan pada penelitian yang dilakukannya. Jokubkiene dkk.,swedia tahun 2006 dalam penelitiannya tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara Volume dan Vaskular dari Ovarium atau dari Corpus Luteum pada hari ke-7 dengan level Progesteron hari ke-7 setelah Ovulasi. Penelitian ini tidak menemukan korelasi antara Kadar Serum Progesteron dengan aliran darah pada Corpus Luteum pada fase Mid-Luteal. Kadar progesteron merupakan gambaran dari fungsi Corpus Luteum, tetapi aliran darah tidak menggambarkan produksi progesteron dalam Corpus Luteum. Volume Corpus Luteum tertinggi dijumpai pada fase Luteal awal dan menurun secara signifikan pada fase Luteal akhir.

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual

Lebih terperinci

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN LEMBAR INFORMASI PASIEN

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN LEMBAR INFORMASI PASIEN LAMPIRAN I LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN LEMBAR INFORMASI PASIEN ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

... Tugas Milik kelompok 8...

... Tugas Milik kelompok 8... ... Tugas Milik kelompok 8... 6. Siklus menstruasi terjadi pada manusia dan primata. Sedang pada mamalia lain terjadi siklus estrus. Bedanya, pada siklus menstruasi, jika tidak terjadi pembuahan maka lapisan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN.... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...... ABSTRACT... ii iii v vii viii ix x xii xiii BAB I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menstruasi A. Pengertian Menstruasi Menstruasi merupakan keadaan fisiologis, yaitu peristiwa keluarnya darah, lendir ataupun sisa-sisa sel secara berkala. Sisa sel tersebut

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (Karli,2012). Sebagai contoh, 18% wanita memiliki migren sedangkan pria hanya 6%. Wanita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Jumlah penduduk merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh setiap negara, karena membawa konsekuensi di segala aspek antara lain pekerjaan,

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara KORELASI ANTARA ALIRAN DARAH CORPUS LUTEUM DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA WANITA INFERTIL Siregar B R P, Halim B, Rusda M Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran / RSUP

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi Estrus dan Waktu Ovulasi Folikel Untuk sinkronisasi estrus dan induksi ovulasi dilakukan pemberian PGF 2α sebanyak 2 ml i.m dan hcg 1500 IU. Hasil seperti tertera pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ASI Eksklusif 1. Pengertian Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif yaitu pemberian ASI tanpa cairan atau makanan lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik atau buruknya pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. INFERTILITAS Sebelum pemeriksaan apapun dimulai, penyebab utama ketidaksuburan dan komponen dasar evaluasi infertilitas yang dirancang untuk mengidentifikasi penyebab tersebut

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Terdiri dari beberapa proses seperti: 1. Perubahan anatomis dan fisiologis miometrium Pertama, terjadi pemendekan otot polos miometrium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uterus 2.1.1. Anatomi dan Histologi Uterus Uterus berbentuk seperti buah pir dan berdinding tebal. Yang terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, cavum uteri. Ukuran dari fundus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kontrasepsi Kontrasepsi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk pengaturan kehamilan dan merupakan hak setiap individu sebagai makhluk seksual, serta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pubertas 2.1.1. Definisi Pubertas Pubertas adalah masa dimana ciri-ciri seks sekunder mulai berkembang dan tercapainya kemampuan untuk bereproduksi. Antara usia 10 sampai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2016.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2016. A. HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian yang mengenai hubungan status gizi dengan siklus menstruasi pada remaja putri yang dilakukan di SMP N 2 Gamping Sleman Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam. zat-zat gizi lainnya (Almatsier, 2010; Supariasa, 2012).

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam. zat-zat gizi lainnya (Almatsier, 2010; Supariasa, 2012). digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Status Gizi a. Pengertian Status gizi adalah suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari

Lebih terperinci

HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS

HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS Hipotalamus merupakan bagian kecil otak yang menerima input baik langsung maupun tidak dari semua bagian otak. Hipofisis adalah kelenjar endokrin kecil yang terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sindroma Ovarium Polikistik Sejak 1990 National Institutes of Health mensponsori konferensi Polikistik Ovarium Sindrom (PCOS), telah dipahami bahwa sindrom meliputi suatu spektrum

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dikatakan istemewa karena jumlah populasinya yang lebih besar dari pada

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dikatakan istemewa karena jumlah populasinya yang lebih besar dari pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wanita merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang istimewa. Wanita dikatakan istemewa karena jumlah populasinya yang lebih besar dari pada laki-laki. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Haid ( Menstruasi ) 2.1.1 Definisi Menstruasi adalah perdarahan uterus yang terjadi secara siklik dan dialami oleh sebagian besar wanita usia produktif (Norwitz dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. endometrium yang terjadi secara rutin setiap bulan (Ayu dan Bagus, 2010).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. endometrium yang terjadi secara rutin setiap bulan (Ayu dan Bagus, 2010). 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menstruasi 2.1.1 Pengertian Menstruasi Mentruasi adalah pendarahan periodik pada uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi (Bobak, dkk, 2005). Menstruasi adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi Menstruasi adalah suatu keadaan fisiologis atau normal, merupakan peristiwa pengeluaran darah, lendir dan sisa-sisa sel secara berkala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditunjukkan oleh adanya keinginan untuk. untuk mengembangkan budidaya dan produksi tanaman obat (Supriadi dkk,

BAB I PENDAHULUAN. yang ditunjukkan oleh adanya keinginan untuk. untuk mengembangkan budidaya dan produksi tanaman obat (Supriadi dkk, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Data menunjukkan bahwa sekitar 80 % penduduk dunia memanfaatkan obat tradisional yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Hal ini timbul sebagai

Lebih terperinci

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Tumor jinak pelvik Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Definisi Massa pelvik merupakan kelainan tumor pada organ pelvic yang dapat bersifat jinak maupun ganas Tumor jinak pelvik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini telah diketahui banyak metode dan alat kontrasepsi meliputi suntik, pil, IUD, implan, kontap dan kondom. Metode KB suntik merupakan salah satu metode

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium (Guyton dan Hall, 2006). Ovum merupakan oosit

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menstruasi merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap perempuan sebagai tanda bahwa organ reproduksi sudah berfungsi matang (Kusmiran, 2014). Menstruasi adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE

HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus seksual wanita usia 40-50 tahun biasanya menjadi tidak teratur dan ovulasi sering gagal terjadi. Setelah beberapa bulan, siklus akan berhenti sama sekali. Periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci

dr. Supriyatiningsih, M.Kes., SpOG

dr. Supriyatiningsih, M.Kes., SpOG dr. Supriyatiningsih, M.Kes., SpOG 1 Fisiologi Kehamilan 2 Fertilisasi Pembuahan terjadi umumnya di ampula tuba. Ovum dibuahi dalam 12 jam setelah ovulasi, atau bila tidak akan segera mati dalam 24 jam.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap satu diantara enam penduduk dunia adalah remaja. Sedangkan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus pada masa remaja yang dimana terjadi proses pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus pada masa remaja yang dimana terjadi proses pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja putri merupakan salah satu bagian dalam program kesehatan reproduksi yang dicanangkan Departemen Kesehatan RI, oleh karena itu harus mandapatkan perhartian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mengeluarkan hormon estrogen (Manuaba, 2008). Menarche terjadi di

BAB II LANDASAN TEORI. mengeluarkan hormon estrogen (Manuaba, 2008). Menarche terjadi di 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Menarche a. Pengertian menarche Menarche adalah pengeluaran darah menstruasi pertama yang disebabkan oleh pertumbuhan folikel primodial ovarium yang mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan bersifat monoklonal. 1,2 Prevalensi mioma uteri di Amerika serikat sekitar 35-50%. 1

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infertilitas 1. Definisi Infertilitas atau kemandulan adalah penyakit sistem reproduksi yang ditandai dengan ketidakmampuan atau kegagalan dalam memperoleh kehamilan, walaupun

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah kelenjar endometrium Pengamatan jumlah kelenjar endometrium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sekitar 85-90% dari pasangan muda yang sehat akan hamil dalam waktu 1 tahun. Evaluasi dan pengobatan infertilitas telah berubah secara dramatis selama periode waktu

Lebih terperinci

Folikulogenesis. Oleh: Dr. Wiryawan Permadi, dr., Sp.OG(K)

Folikulogenesis. Oleh: Dr. Wiryawan Permadi, dr., Sp.OG(K) Folikulogenesis Oleh: Dr. Wiryawan Permadi, dr., Sp.OG(K) BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/ RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG 2012 Disampaikan pada IVF Nurse Training

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada ibu maupun bayi. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas secara umum didefinisikan sebagai hubungan seksual tanpa proteksi selama 1 tahun yang tidak menghasilkan konsepsi. Dalam satu tahun, konsepsi terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya prevalensi obesitas merupakan masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Menopause merupakan salah satu proses dalam siklus reproduksi alamiah yang akan dialami setiap perempuan selain pubertas, kehamilan, dan menstruasi. Seorang perempuan

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar Endokrin Kelenjar endokrin merupakan sekelompok susunan sel yang mempunyai susunan mikroskopis sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menopause (Kuncara, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA. menopause (Kuncara, 2007). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause 2.1.1 Definisi Menopause Menoupase didefinisikan oleh WHO sebagai penghentian menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas folikular ovarium. Setelah 12 bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang. Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan.

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang. Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan. Penggunanya bukan hanya ibu-ibu rumah

Lebih terperinci

Gangguan Hormon Pada wanita

Gangguan Hormon Pada wanita Gangguan Hormon Pada wanita Kehidupan reproduksi dan tubuh wanita dipengaruhi hormon. Hormon ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Ada tiga hormon panting yang dimiliki wanita, yaitu estrogen, progesteron,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama kehamilan, wanita dihadapkan pada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah abortus. Abortus adalah kejadian berakhirnya kehamilan secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause Seiring dengan bertambahnya usia, banyak hal yang terjadi dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada manusia. Namun, pada suatu saat perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

Pend h a uluan Etiologi PUD B l e dik um t e h a i u t pas iti Beberapa pilihan terapi

Pend h a uluan Etiologi PUD B l e dik um t e h a i u t pas iti Beberapa pilihan terapi TERAPI HORMONAL & NONHORMONAL DALAM PENATALAKSANAAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI (PUD) Pendahuluan Etiologi PUD Belum diketahui i pasti Beberapa pilihan terapi Pendahuluan Pembagian : PUD akut kronis Perimenarcheal

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL

SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang berarti apabila istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan ini tidak diperiksa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi yang meningkat. Secara umum sekitar 5 10% dari pasien tersebut berkembang menjadi Hipertensi Arteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Berencana (KB) 2.1.1 Pengertian Keluarga Berencana Berdasarkan UU no 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

Proses kehamilan: Fertilisasi Nidasi (Implantasi) Plasentasi. Proses Kehamilan - 2

Proses kehamilan: Fertilisasi Nidasi (Implantasi) Plasentasi. Proses Kehamilan - 2 Proses kehamilan: Fertilisasi Nidasi (Implantasi) Plasentasi Proses Kehamilan - 2 Kehamilan peristiwa yang terjadi mulai dari fertilisasi (konsepsi) hingga bayi lahir. Proses kehamilan meliputi : Fertilisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi dengan matang (Kusmiran, 2011). Menstruasi adalah siklus discharge

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi dengan matang (Kusmiran, 2011). Menstruasi adalah siklus discharge BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menstruasi sebagai proses alamiah yang akan terjadi pada setiap remaja, dimana terjadinya proses pengeluaran darah yang menandakan bahwa organ kandungan telah berfungsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Primatexco Batang Jawa Tengah, perusahaan ini merupakan pabrik yang memproduksi kain mori untuk bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman merupakan guru yang baik, yang menjadi sumber pengetahuan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman merupakan guru yang baik, yang menjadi sumber pengetahuan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Menurut kamus besar bahasa indonesia (2005) pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah (dijalani, dirasakan, ditanggung). Menurut Notoatmodjo (2005) pengalaman

Lebih terperinci