RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA"

Transkripsi

1 RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA SKRIPSI JUSTIAN RENARDI LOUIS DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN JUSTIAN RENARDI LOUIS. D Ripitabilitas Sifat Kecepatan Lari dan Korelasi Fenotipiknya dengan Tinggi Badan pada Kuda Pacu Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Rini H. Mulyono, M.Si. Kuda Pacu Indonesia merupakan hasil grading-up kuda Sumba dengan kuda pacu Thoroughbred, membentuk bangsa baru yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia sehingga dianggap sebagai kuda lokal. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi sifat kecepatan lari adalah ripitabilitas. Penelitian ini diperlukan sebagai dasar pengembangan Kuda Pacu Indonesia (KPI). Perolehan informasi kecepatan lari sebagai data penelitian dilakukan dari koleksi data pada Buku Panduan Acara Kejurnas Pordasi tahun Data yang diperoleh merupakan data performa fenotipik kuda pacu yang dilombakan. Data yang diolah merupakan kecepatan lari, yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba, dan tinggi badan. Setiap individu kuda yang diamati memiliki jumlah catatan yang tidak sama satu sama lain. Data dari individu-individu kuda yang diamati dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Perhitungan ripitabilitas kecepatan lari dilakukan berdasarkan Becker (1968) dengan model statistik Y ik = µ + α i +e ik. Perhitungan nilai korelasi dilakukan dengan rumus korelasi regresi. Kecepatan lari KPI jantan dan betina pada umur dua tahun berbeda (P<0,05), berturut-turut sebesar 15,030±0,724 dan 15,203±0,634 m/detik. Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina tidak berbeda pada umur 3, 4, dan >4 tahun; berturut-turut sebesar 15,096±0,514; 15,244±0,704; dan 15,308±0,758 m/detik. Ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu jantan pada umur dua tahun (0,573±0,140) lebih tinggi daripada betina (0,315±0,206). Ripitabilitas kecepatan lari pada umur tiga tahun (0,278±0,138) dikategorikan sebagai ripitabilitas sedang. Ripitabilitas kecepatan lari tertinggi (0,737±0,042) ditemukan pada umur empat tahun, dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Ripitabilitas kecepatan lari umur diatas empat tahun (0,460±0,095) lebih rendah daripada umur empat tahun, tetapi masih tetap dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Pada umur dua tahun pengaruh genetis kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan lebih tinggi pada kedua jenis kelamin umur tiga tahun. Pada umur tersebut pengaruh lingkungan sementara, seperti pelatihan, masih lebih besar daripada pengaruh genetis. Kelompok kuda pacu umur empat tahun mampu mengekspresikan keunggulan sifat kecepatan lari; karena pengaruh genetis lebih tinggi daripada pengaruh lingkungan sementara. Pengaruh genetis dan lingkungan sementara diamati pada ripitabilitas kecepatan lari. Hasil uji-t menunjukkan bahwa secara umum tinggi badan KPI pada kisaran umur 2 >4 tahun tidak berbeda. Tinggi badan KPI pada umur 2 dan 3 tahun berturut-turut sebesar 151,143±4,949 dan 151,21±5,528 cm. Kuda pacu jantan dan ii

3 betina umur empat tahun memiliki tinggi badan berturut-turut sebesar 153,095±5,610 dan 149,811±5,394 cm; pada umur diatas empat tahun berturut-turut sebesar 151,626±8,219 dan 148,662±5,039 cm. Kelompok kuda pacu jantan umur empat tahun memiliki korelasi positif (koefisien korelasi 0,53) yang sangat nyata (P<0,01) antara kecepatan lari dan tinggi badan. Korelasi antara sifat kecepatan lari dan tinggi badan tidak ditemukan pada kuda pacu kelompok umur lain. Kata-kata kunci : kuda-pacu, kecepatan, ripitabilitas, korelasi fenotipik iii

4 ABSTRACT Repeatability of Racing Performance and Phenotypic Correlation Between Racing-Speed and Body Height in Indonesian Racehorse Louis, J. R., R. R. Noor, dan R. H. Mulyono The aims of this study were to estimate the repeatability of racing-speed and values of phenotypic-correlation between racing-speed and body-height in Indonesian racehorse; which are expected to be useful for a development of Indonesian racehorses performance through selection programs. The racing records used in the study were obtained from the Kejurnas Pordasi horseracing guidebook & registry The traits used in the study were racing-speed and body-height for ages of 2, 3, 4, and >4 years old. The data from each age were analyzed separately. Results showed that the racing-speed of 2 years old male and female Indonesian racehorses are significantly different (P<0.05). Mean of fastest racing-speed is shown by the group of above-four years old. Estimates of speed repeatability range from moderate to high (0,278±0,138 to 0,737±0,042); was highest for the group of four years old and lowest for the group of three years old. Group of two years old males shows higher estimates of speed repeatability than group of females for the same age. Results of t-test show that body-height of Indonesian racehorses in general for the age of 2 through >4 years old are not significantly different. Group of 4 years old males shows a very significant (P<0.01) phenotypic correlation between racingspeed and body-height. The results indicate that a moderate level of genetic progress might be possible for racing performance of Indonesian racehorse if selection is based on the phenotypic values of the horses, particularly on racing-speed and body height, above the age of four years old. Keywords: racehorse, speed, repeatability, phenotypic correlation iv

5 RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA JUSTIAN RENARDI LOUIS D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 v

6 Judul : RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA Nama : Justian Renardi Louis NIM : D Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc.) (Ir. Rini H. Mulyono, M.Si.) NIP: NIP: Mengetahui : Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: Tanggal Ujian: 20 Oktober 2010 Tanggal Lulus: vi

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 27 Januari Penulis adalah putra pertama anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hendy Louis dan Tririanti Suryabudhi. Penulis mengawali pendidikan dasar di Kota Bandung pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Santa Angela Bandung dan diselesaikan pada tahun Penulis kemudian melanjutkan mengambil pendidikan menengah pertama pada tahun 2000 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Santa Angela Bandung dan diselesaikan pada tahun Pendidikan menengah tingkat atas Penulis ditempuh pada tahun 2003 hingga tahun 2006 di SMU Santa Angela Bandung. Selama bersekolah penulis sempat aktif sebagai anggota dan pengurus Kelompok Sosial Serviam Santa Angela Bandung periode 2004/2005 dan 2005/2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan pada tahun Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB) sebagai anggota Biro Pendidikan dan Pembinaan (periode ), sebagai ketua Divisi Internal (periode ), dan sebagai koordinator Biro Pengembangan dan Pendidikan (periode ). Penulis pun sempat aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) periode Penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di PT. Obor Swastika yang berada di bawah naungan Koperasi Peternak Babi Indonesia pada tahun Penulis pun pernah menjadi Asisten mata kuliah Teknik Penanganan dan Pengolahan Hasil Ikutan Ternak pada tahun akademik 2009/2010. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun akademik 2009/2010. vii

8 KATA PENGANTAR Kuda Pacu Indonesia merupakan sebuah bangsa baru ternak kuda yang diharapkan dapat berkembang pada masa yang akan datang. Perkembangan ini dapat diraih melalui banyak cara, dan diantaranya ialah seleksi. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi genetis sifat kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia (KPI), yang akan bermanfaat bagi penetapan program seleksi yang tepat. Penelitian diawali dengan pengumpulan dan pentabulasian data catatan kecepatan lari kuda pacu menjadi sekumpulan data yang lebih mudah diolah. Proses penelitian dilakukan dengan mengevaluasi sifat kecepatan lari dan korelasi sifat tersebut dengan tinggi badan KPI. Hasil penelitian menjelaskan mengenai sifat kecepatan lari, ripitabilitas (daya pengulangan), dan korelasi fenotipik sifat tersebut dengan tinggi badan pada berbagai kelompok umur. Hasil ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan potensi kuda pacu Indonesia, ataupun penilitian lain yang mengarah pada tujuan yang sama. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan; tidak lupa kepada pembaca yang akan meluangkan waktu mempelajari dan memanfaatkan hasil tulisan ini. Tuhan memberkati. viii

9 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN. ii ABSTRACT.....iv LEMBAR PERNYATAAN. v LEMBAR PENGESAHAN...vi RIWAYAT HIDUP...vii KATA PENGANTAR...viii DAFTAR ISI...ix DAFTAR TABEL...xi DAFTAR LAMPIRAN...xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 1 TINJAUAN PUSTAKA... 2 Kuda... 2 Kuda Thoroughbred... 3 Kuda Pacu Indonesia (KPI) / Peranakan Thoroughbred... 4 Kuda Sandel... 4 Seleksi dan Persilangan... 5 Pelestarian Sumberdaya Genetik Kuda... 5 Sifat Kuantitatif... 6 Kecepatan Lari dan Performa Pacu... 7 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Performa Pacu Pertumbuhan dan Tinggi Badan... 8 Ripitabilitas... 9 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur dan Rancangan Prosedur Rancangan dan Analisis Data Nilai Ripitabilitas Uji-t 2 Sampel Korelasi Fenotipik Antara Kecepatan Lari dengan Tinggi Badan HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kecepatan Lari dan Ripitabilitasnya Sifat Kecepatan Lari ix

10 Ripitabilitas Sifat Kecepatan Lari Tinggi Badan Korelasi Sifat Kecepatan Lari dan Tinggi Badan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah Sampel Kuda yang Diamati Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tabel 2. Tabel Analisis Ragam Tabel 3. Rataan Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina Tabel 5. Nilai σ dan σ Sifat Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Tabel 6. Nilai Ripitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Tabel 7. Rataan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina Tabel 9. Korelasi antara Kecepatan Lari dan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Lampiran 3. Contoh Data Kecepatan Lari berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu Lampiran 4. Contoh Data Kecepatan Lari berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu Lampiran 5. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Jantan pada Umur Dua Tahun Lampiran 6. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Betina pada Umur Lebih dari Empat Tahun (lima tahun dan lebih) Lampiran 7. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan Umur Dua Tahun Lampiran 8. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Betina Umur Dua Tahun Lampiran 9. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Tiga Tahun Lampiran 10. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Empat Tahun Lampiran 11. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Lebih dari Empat Tahun xii

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Kuda Pacu Indonesia merupakan ternak lokal Indonesia yang telah beradaptasi baik di lingkungan Indonesia. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan sektor ekonomi dan budaya yang tidak dapat dilepaskan dari peran pemulia dalam proses pengembangannya. Kebijakan pemerintah mengenai pengembangan ternak lokal Indonesia, contohnya Permentan No.35/Permentan/OT.140/8/2006, diharapkan dapat menempatkan kuda pacu sebagai salah satu target utama sumber budaya lokal yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus daya tarik pariwisata bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Kuda pacu yang bermutu tinggi memiliki nilai ekonomi tersendiri karena peningkatan kecepatan pacu berkorelasi dengan harga jual. Kepemilikan kuda pacu bermutu tinggi juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi pemilik, disamping memberikan keuntungan nyata dalam bentuk perolehan hadiah karena prestasi yang berhasil diraih. Kuda Pacu Indonesia (KPI) merupakan kuda hasil grading-up kuda lokal Sumba dengan kuda pacu unggul Thoroughbred yang membentuk bangsa baru yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia sehingga dianggap sebagai kuda lokal. Metode seleksi merupakan upaya pemuliaan untuk meningkatkan kecepatan pacu kuda lokal Indonesia, sehingga karakteristik kuda lokal Indonesia dapat dipertahankan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi ke arah sifat kecepatan pacu kuda adalah ripitabilitas. Sejauh ini belum banyak penelitian yang membahas mengenai potensi genetis kecepatan lari kuda pacu Indonesia. Penelitian ini sangat diperlukan sebagai dasar pengembangan KPI. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sifat kecepatan lari dan mendapatkan informasi mengenai pewarisan sifat kecepatan lari KPI melalui perhitungan pendugaan nilai ripitabilitas. Penelitian ini pun memiliki tujuan untuk mengkaji korelasi antara sifat kecepatan lari dengan sifat tinggi badan KPI. Hasil yang didapatkan dari tujuan ini diharapkan dapat mempermudah penentuan strategi seleksi yang akan diterapkan. 1

14 TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra), dan hemione (Equus heminus). Food and Agriculture Organization (FAO) (2000) menyatakan bahwa sejarah berdasarkan pertimbangan arkeolog menunjukkan bahwa bangsa kuda telah didomestikasi di daerah Eurasian, negara bagian Ukraina pada tahun 4000 SM dimana kuda dimanfaatkan sebagai hewan tunggangan dan sumber daging. Terdapat juga beberapa daerah lain yang diduga telah mendomestikasi kuda seperti China, Mesopotamia, Turkistan, dan wilayah bagian Utara pegunungan Persia. Sementara itu, tempat dan waktu pertama kali kuda didomestikasi masih menjadi perdebatan diantara para arkeologis. Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) menurut Ensminger (1962) memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Perissodactyla Famili : Equidae Genus : Equus Spesies : Equus caballus Saat ini pengetahuan terkini tentang domestikasi kuda didasarkan pada material purbakala dari bagian Selatan Ukraina yang telah berusia SM (metode radiokarbon) (Anthony et al., 1991). Dikatakan bahwa terdapat paling kurang dua subspesies dari kuda liar yaitu Equus ferus ferus atau kuda Tarpan dan Equus ferus przewalksi yang dikenal sebagai kuda Mongolian. Kuda Tarpan terakhir dibunuh pada bulan Desember 1879, keturunan jenis ini masih dipelihara di kebun binatang Moskow sampai tahun 1880 dan di wilayah Poltava, Ukraina sampai tahun 1918 (Bannikov dan Flint, 1989), sedangkan kuda Przewalski keturunannya masih dapat dijumpai di alam liar di dataran Barat Daya China yang kemudian banyak berbaur dengan kuda domestik dari Barat. Populasi kuda di seluruh dunia mencapai kira-kira 62 juta ekor, yang terdiri dari 500 bangsa, tipe, dan varietas. Bangsa kuda 2

15 pada awalnya dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara khusus (Bowling dan Ruvinsky, 2004). Kuda dapat dikelompokkan menjadi tipe berat, tipe ringan, dan kuda poni sesuai dengan ukuran, bentuk tubuh, dan kegunaan. Kuda tipe berat memiliki tinggi badan 1,45-1,75 m saat berdiri, bobot badan lebih dari 700 kg, dan biasa digunakan sebagai kuda pekerja. Kuda tipe ringan memiliki tinggi badan 1,45-1,70 m saat berdiri, bobot badan kg, digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik, dan kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih lincah dibanding kuda tipe berat. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari 1,45 m dan bobot badan kg. Dijelaskan lebih lanjut bahwa beberapa kuda berukuran kecil biasa dibentuk dari keturunan kuda tipe ringan (Ensminger, 1962). Parakkasi (1986) menyatakan bahwa kuda berperanan penting dalam aktivitas kehidupan masyarakat sejak kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha berdiri yaitu sekitar abad ketujuh. Kuda berperanan sebagai alat transportasi, penarik bajak di sawah, berburu, dan penggunaan kuda dalam olahraga ketangkasan berkuda serta pacuan. Penggunaan kuda dalam olahraga ketangkasan berkuda dan pacuan banyak ditemukan di Nusa Tenggara Barat dan Timur. Peternakan tradisional telah melahirkan kuda pacu lokal seperti kuda Batak, Padang Mangatas, Priangan, Sumba, Minahasa, dan kuda Sandel, yang menurut Equestrian Indonesia (2008) berasal dari daerah-daerah yang dikenal memiliki ternak-ternak kuda tradisional seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat serta Nusa Tenggara Timur. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa di Indonesia juga ditemukan populasi kuda peranakan Thoroughbred yang merupakan persilangan antara kuda Thoroughbred dan kuda lokal Sumba (kuda Sandel) yang digunakan sebagai kuda pacu. Kuda Thoroughbred Food and Agriculture Organization atau FAO (2000) menyatakan bahwa kuda Thoroughbred merupakan bangsa kuda yang dibentuk dari induk-induk kuda bangsa lain yaitu : kuda Darley Arabian, Godolphin Arabian, dan Byerly Turki. Nama-nama tersebut diambil dari nama para pemilik kuda galur murni tersebut, masing-masing yaitu Thomas Darley, Lord Godolphin, dan Captain Robert Byerly. 3

16 Ketiga kuda stallions (pejantan) tersebut dibawa ke Inggris dari Wilayah Mediteranian Timur Tengah sekitar abad ke-17 yang disilangkan dengan kuda Eropa. Hasil persilangan dengan kuda betina lokal di Inggris tersebut kemudian menurunkan kuda pacu unggul yang dinamakan English Thoroughbred yang digunakan sebagai kuda pacu di seluruh dunia (Kidd, 1995). Dijelaskan lebih lanjut oleh FAO (2000) bahwa persilangan kuda unggul tersebut menghasilkan kuda persilangan yang memiliki kemampuan mengangkut beban sekaligus memiliki kecepatan lebih untuk jarak tempuh yang jauh. Kuda tersebut kemudian berkembang dalam ukuran yang lebih ramping, gagah, dan menarik sebagai kuda pacuan. Blakely dan Blade (1991) menyatakan bahwa selain kecerdasannya, karakteristik lari dan daya tahan kuda Thoroughbred telah terbukti selama ratusan tahun dalam arena perlombaan flat dan jumping seperti Kentucky Derby dan English Grand National Steeplechase. Kuda Pacu Indonesia (KPI) / Peranakan Thoroughbred Kuda Pacu Indonesia (KPI) merupakan peranakan Thoroughbred yang dibentuk melalui program grading-up dengan tujuan untuk memenuhi permintaan kuda pacu. Proses pembentukan kuda peranakan Thoroughbred dimulai dari kuda G1 yang merupakan hasil persilangan betina lokal dengan pejantan Thoroughbred, dengan darah lokal 50% dan darah Thoroughbred 50%. Kuda G2 merupakan hasil persilangan kuda betina G1 pada umur 3 atau 4 tahun dengan pejantan Thoroughbred. Kuda betina G2 yang disilangkan dengan pejantan Thoroughbred akan menghasilkan kuda G3, kuda dengan komposisi darah lokal 12,5% dan darah Thoroughbred 87,5%, yang dijadikan bibit pejantan (parent-stock). Kuda Pacu Indonesia merupakan hasil persilangan kuda betina G4 dengan kuda jantan G4 atau G3 (Soehardjono, 1990). Kuda Sandel Kuda Sandel (Sandalwood Pony) merupakan kuda pacu lokal Indonesia yang dikembangkan di Pulau Sumba. Kuda ini diduga memiliki moyang (leluhur) kuda Arab yang disilangkan dengan kuda poni lokal beberapa generasi (grading-up) untuk meningkatkan performa kuda tersebut. Nama Sandalwood sendiri dikaitkan dengan kayu cendana (Sandalwood) yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (Equestrian Indonesia, 2008). 4

17 Kuda ini memiliki pinggang agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah diintroduksi ke Pulau Sumba (Soehardjono, 1990). Meskipun demikian, kuda Sandel memiliki postur tubuh yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kuda ras dari Australia atau Amerika. Kuda Sandel memiliki tinggi punggung antara cm, kaki dan kuku yang kuat dengan leher yang besar serta memiliki daya tahan (endurance) yang tinggi sehingga banyak digunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang, dan bahkan kuda pacu (Equestrian Indonesia, 2008). Edwards (1994) menyatakan bahwa kuda lokal Indonesia (termasuk kuda Sumba) digolongkan sebagai kuda poni. Dijelaskan lebih lanjut bahwa konformasi tubuh kuda Sumba terlihat tidak sempurna, tetapi memiliki bagian punggung yang sangat kuat. Seluruh kuda poni (termasuk kuda Sumba) telah beradaptasi secara fisik dan merubah cara hidup mereka untuk dapat bertahan pada kondisi tempat mereka hidup (Roberts, 1994). Jenis kuda ini sampai sekarang masih diternakkan di Pulau Sumba dan diperdagangkan ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali sebagai kuda tarik, tunggang, dan kuda pacu (Equestrian Indonesia, 2008). Seleksi dan Persilangan Gatenby (1991) menyatakan bahwa perbaikan mutu ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan untuk membentuk bangsa baru dengan introduksi gen baru dari luar. Noor (2008) menyatakan pula bahwa persilangan merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan laju pertumbuhan ternak. Persilangan dan seleksi merupakan salah satu peran yang dapat dilakukan peternak dalam mengembangkan kualitas ternak (kuda), misalnya seleksi terhadap kecepatan dan stamina yang berkembang dengan cepat (Campbell dan Lasley, 1981). Seleksi kuda pacu dilakukan berdasarkan konformasi, silsilah keturunan, catatan pacuan, dan kesehatan terutama perototannya. Seleksi pada kelompok kuda sprinter (jarak pacu yang dekat) dipilih kuda yang umumnya memiliki perototan yang lebih banyak, sedangkan untuk pacuan yang jaraknya cukup jauh pemilihan kuda umumnya melihat panjang kaki (Worldiq, 2006). Pelestarian Sumberdaya Genetik Kuda Catatan oleh FAO (2001) menyatakan sedikitnya satu bangsa ternak asli punah setiap minggu dan lebih dari sepertiga dari bangsa ternak asli di Eropa dalam keadaan terancam punah. Lebih lanjut catatan FAO (2000) ini menambahkan bahwa 5

18 hilangnya bangsa-bangsa ternak lebih disebabkan oleh kecenderungan peternak untuk mengembangkan bangsa ternak eksotik. Keadaan ini banyak terjadi pada petani-peternak di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India akibat banyaknya persilangan yang meluas (Sodhi et al., 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar yang berlebih, penerapan mekanisasi pertanian yang tidak tepat, dan diversifikasi produk ternak menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besaran sumberdaya genetis ternak lokal melalui persilangan dan penggantian breed baru yang mengancam kelestarian plasma nutfah keragaman genetik ternak, yang sangat penting untuk dipertahankan sebagai konservasi sumberdaya genetik hewan. Hal ini pun akan berdampak pada kelangsungan ketersediaan sumber makanan asal hewan yang berkelanjutan (Subandriyo dan Setiadi, 2003; Sodhi et al., 2006). Konservasi sumberdaya genetik hewan lokal memainkan peranan penting dalam kelangsungan ketersediaan pangan dunia. Namun peranan ini masih sering kurang disadari, terlihat dari kenyataan bahwa (1) lebih dari 60% bangsa-bangsa ternak dunia berada di negara-negara berkembang; (2) mempertahankan potensi genetik ternak asli/ lokal bukan merupakan hal yang menguntungkan bagi peternak; (3) tidak adanya program pengawasan yang ketat dan ketersediaan informasi yang akurat terhadap sebagian besar bangsa ternak asli; dan (4) masih kurangnya pengembangan potensi genetik terhadap bangsa-bangsa ternak lokal (FAO, 2001). Jacoebs (1994) menambahkan bahwa bangsa kuda yang terdapat di Indonesia pemuliabiakannya dipengaruhi oleh iklim tropis serta lingkungannya. Tinggi badannya berkisar antara 1,15-1,35 m sehingga tergolong dalam jenis poni. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikapnya kurang serasi, karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan kaki bagian belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat pada berbagai jenis kuda di Asia Tenggara. Sifat Kuantitatif Setiap sifat kualitatif dan kuantitatif yang diekspresikan seekor hewan atau ternak disebut fenotip. Fenotip (P) atau disebut pula sebagai penampakan suatu ternak (Noor, 2008) merupakan hasil keseluruhan pengaruh-pengaruh gen atau genotip (G), lingkungan (E), dan interaksi antara pengaruh genotip dan lingkungan (G x E) (Martojo, 1992). Sifat-sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat 6

19 bertanduk, atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat-sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen. Sifat kualitatif biasanya bersifat tidak aditif (Noor, 2008). Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat produksi seperti ukuran morfologi tubuh, kecepatan lari, daya tahan, dan tenaga tarik juga untuk sifat reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi, dan produksi susu (Martojo, 1992). Noor (2008) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak pasangan gen yang bersifat aditif. Gen-gen tersebut terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali tubuh, maka tidaklah sulit membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo, 1992). Kecepatan Lari dan Performa Pacu Hintz (1980) menyatakan bahwa performa pacu dapat diukur melalui pendapatan (hadiah pada perlombaan), catatan pendapatan, indeks pendapatan ratarata, jarak dari juara, tingkatan performa, berat penyeimbang, waktu-tempuh, waktu rata-rata, urutan juara, lomba yang didiskualifikasi, dan sebagainya. Namun, waktutempuh dianggap sebagai parameter yang paling tepat untuk mengukur performa pacu, selain itu waktu-tempuh juga merupakan parameter yang paling sering digunakan. Hal serupa dinyatakan pula oleh Ekîz dan Koçak (2007) bahwa performa pacu kuda dapat diukur melalui waktu-tempuh atau urutan finish suatu jarak lomba, jumlah pendapatan dalam satu periode, dan berat penyeimbang. Namun waktutempuh merupakan sifat yang lebih mudah diwariskan dibanding posisi juara dan jumlah uang yang dimenangkan. Lebih jauh dijelaskan bahwa waktu-tempuh lomba dalam setiap pacuan merupakan satu-satunya ukuran langsung terhadap kecepatan dan juga merupakan sebuah ukuran kuantitatif yang paling tepat untuk mengevaluasi performa pacu pada kuda secara genetis. Nilai kecepatan lari seekor kuda dapat diperoleh dengan membagi jarak pacu terhadap waktu tempuh. Ekîz dan Koçak (2007) menyatakan bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi. Hintz (1980) menyatakan bahwa secara umum kuda Thoroughbred di Amerika mencapai puncak performa pacu pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut 7

20 bahwa puncak performa pacu kuda Thoroughbred di Amerika bermacam-macam, yakni 4 tahun pada pejantan; 2,5 tahun pada induk atau kuda betina; dan 5,5 tahun pada kuda jantan kastrasi. Thompson (1995) dan Quickness (2006) menyatakan bahwa keseluruhan kerangka kuda memiliki perototan yang terdiri atas tiga jenis urat syaraf utama, yaitu slow twitch fiber, intermediate twitch fiber, dan fast twitch fiber. Slow twitch fiber mempengaruhi kekuatan dan daya tahan otot, intermediate twitch fiber mempengaruhi kemampuan kedua urat syaraf lain, dan fast twitch fiber mempengaruhi kecepatan kontraksi otot. Otot dengan fast twitch fiber memberikan seekor kuda kecepatan, kegesitan, dan ketangkasan serta kekuatan saat berlari. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Performa Pacu. Hintz (1980) menyatakan bahwa faktor umur dan jenis kelamin mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Faktor lingkungan seperti umur pejantan (ayah), musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk, dan urutan kelahiran individu tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi. Pelatih yang berpengalaman memiliki kemampuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda. Pelatih kemudian akan menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi khusus kuda. Pertumbuhan dan Tinggi Badan Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa kelompok hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan karakteristik seks sekunder pada jantan, juga memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan tulang dan otot. Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa sekresi testosteron sebagai hormon utama androgen mempengaruhi pertumbuhan cepat yang terjadi menjelang dan selama pubertas. Individu jantan memproduksi testosteron lebih banyak dari individu betina. Hal ini menyebabkan individu jantan tumbuh lebih besar dan cepat. Hormon estrogen yang banyak diproduksi oleh individu betina ditemukan menghambat pertumbuhan jaringan otot pada beberapa spesies. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis kelamin memainkan peranan penting dalam 8

21 pertumbuhan seekor ternak. Kadar androgen yang tinggi pada ternak jantan akan meningkatkan perkembangan otot sehingga individu jantan memiliki pertumbuhan yang lebih besar dan cepat, terutama pada massa protein tubuh. Bowling dan Ruvinsky (2004) menyatakan bahwa ukuran tubuh kuda memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan akan semakin meningkat seiring pertambahan umur. Tinggi pundak (atau tinggi badan) kuda Thoroughbred memiliki nilai heritabilitas antara 0,33 hingga 0,88. Sebuah analisis hubungan antara konformasi dan karakteristik kecepatan lari pada anak kuda menjelaskan peningkatan kecepatan yang dihasilkan anak kuda disebabkan oleh pertambahan panjang langkah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ternyata anak kuda yang larinya cepat memiliki kaki yang lebih berat dengan frekuensi langkah lebih banyak dan tinggi; dan hal ini terjadi pada kuda yang relatif lebih tinggi. Hill et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan pada pertambahan massa tubuh kuda pacu Thoroughbred, beserta perototannya, dengan peningkatan tinggi badan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hubungan ini semakin nyata pada kuda jantan, yang memiliki massa tubuh (otot) yang lebih padat dan banyak. Ripitabilitas Ripitabilitas (r) merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor, 2008). Nilai ripitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan, dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya (Warwick et al., 1987). Noor (2008) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi nilai ripitabilitas adalah variasi lingkungan yang tetap, contohnya ialah penyakit dan kualitas makanan yang rendah selama ternak masih muda dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selamanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa besar nilai ripitabilitas suatu sifat dipengaruhi oleh besar nilai heritabilitas sifat yang sama. Semakin besar nilai ripitabilitas, semakin besar pula nilai heritabilitas untuk sifat yang sama. Nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1. Nilai ripitabilitas dapat digolongkan menjadi tiga 9

22 kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Nilai ripitabilitas suatu sifat dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0,0-0,2; dikatakan sedang jika berada di antara 0,2-0,4; dan dikatakan tinggi jika nilainya melebihi 0,4. Pallawaruka (1999) menyatakan bahwa ripitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa ripitabilitas suatu sifat berguna dalam memperkirakan produktivitas ternak pada masa yang akan datang berdasarkan satu atau lebih catatan produksi. Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa nilai ripitabilitas yang tinggi menandakan ternak tersebut mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama untuk setiap tahunnya, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai ripitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Maciejowski dan Zięba, 1982). 10

23 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan skripsi dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2010 di Laboratorium Genetika Kuantitatif Bagian Pemuliaan dan Genetika, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Pengambilan informasi kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia sebagai data penelitian dilakukan dari koleksi data atau catatan kecepatan pacu pada Buku Panduan Acara Kejurnas Pordasi Ke-32 Tahun 1998, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-34 Tahun 2000, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Tahun , Buku Panduan Pacuan Kuda dalam Rangka HUT Minahasa Ke- 576 Tahun 2004, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-39 Tahun 2005, Buku Panduan Acara Piala Jakarta Derby 2006, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-40 Tahun 2006, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-41 Tahun 2007, Buku Panduan Acara Lomba Pacuan Kuda Bendi Kalaper dan Perayaan Menyambut Natal Pordasi Tahun 2008, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-42 Tahun 2008, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-42 Tahun Jumlah sampel yang digunakan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Sampel Kuda yang Diamati Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Umur (Tahun) Jantan ( ) Kuda (Ekor) Betina ( ) Jumlah (Ekor) > Jumlah (Ekor)

24 Prosedur dan Rancangan Prosedur Data yang diperoleh merupakan data performa fenotipik kuda pacu yang dilombakan. Data meliputi nama kuda, nama induk pejantan, warna rambut, umur, tinggi badan, nama pemilik, event dan tahun lomba, jarak tempuh lomba, waktu tempuh lomba, waktu pelaksanaan lomba dan selisih jarak finish dengan kuda peserta sebelumnya. Data tersebut akan dirangkum dalam bentuk tabel yang lebih mudah untuk dipelajari. Data yang dapat diolah merupakan catatan kecepatan lari dan tinggi badan selama masa produktif sampai dengan tahun terakhir pencatatan dilakukan. Setiap individu kuda yang diamati memiliki jumlah catatan yang tidak sama satu sama lain. Data dari individu-individu kuda yang diamati dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur, kemudian ditabulasikan untuk mempermudah pengolahan data lebih lanjut. Data yang telah ditabulasikan digunakan dalam perhitungan ripitabilitas pada penelitian ini. Perhitungan nilai ripitabilitas kecepatan lari menggunakan data kecepatan lari yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba. Hintz (1980) menyatakan bahwa waktu tempuh mengindikasikan jumlah detik yang dibutuhkan seekor kuda untuk menyelesaikan lomba, dan merupakan parameter yang paling sering digunakan. Ekîz dan Koçak (2007) melaporkan bahwa waktu tempuh lomba dalam setiap pacuan merupakan satu-satunya pengukuran langsung pada kecepatan dan juga merupakan pengukuran kuantitatif yang tepat untuk mengevaluasi secara genetis performa pacu pada kuda. Nilai kecepatan lari seekor kuda diperoleh dengan membagi jarak lomba terhadap waktu tempuh. Pengujian rataan dilakukan dengan uji-t 2 sampel; jika uji-t antara kelompok jantan dan betina pada kelompok umur tertentu menunjukkan hasil tidak nyata, maka data yang digunakan merupakan data gabungan (kelompok jantan dan betina). Data yang telah ditabulasikan tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hubungan korelasi antara kecepatan lari dan tinggi badan. Perhitungan nilai korelasi dilakukan dengan rumus korelasi regresi. Hubungan korelasi ini disebut korelasi fenotipik pada penelitian ini. 12

25 Rancangan dan Analisis Data Data kecepatan lari yang telah ditabulasikan diolah menggunakan metode analisis ragam (ANOVA) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. dan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan nilai ripitabilitas. Data yang sama juga digunakan untuk mendapatkan nilai korelasi antara kecepatan lari dengan tinggi badan kuda yang diamati. Pengelompokan dan pentabulasian data dilakukan dengan menggunakan program Excell Microsoft Office. Pengolahan data dengan metode analisis ragam, analisis uji-t 2-sampel, dan perhitungan nilai korelasi dilakukan melalui program MINITAB14 dan Statistix8. Model rancangan percobaan berdasarkan Becker (1968) yaitu: Y ik = µ + α i +e ik Keterangan: Y ik = pengukuran ke-k pada individu ke-i µ = nilai tengah umum α i e ik = pengaruh individu ke-i = pengaruh lingkungan tidak terkontrol dan atribut deviasi genetik individu Tabel 2. Tabel Analisis Ragam Sumber Keragaman Derajat Bebas JK KT KT yang Diharapkan Antara Individu n- 1 JKw KTw σ + k 1 σ Antara Pengamatan dalam Individu Total m- 1 JKt m-n JKe KTe σ Keterangan : n= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, σ = KTw, σ = KTe, koefisien k 1 = (m. ), m ( ). = kuadratjumlah ulangan Nilai Ripitabilitas Pendugaan nilai ripitabilitas dihitung dengan menggunakan rumus (Becker, 1968): R = σ W 2 σ W 2 + σ e 2 σ = MS dan σ = 13

26 Keterangan : R = ripitabilitas k 1 = ragam kecepatan pacu antara individu-individu yang diamati = ragam kecepatan pacu berdasarkan pengukuran-pengukuran dalam individu yang diamati = kuadrat tengah kecepatan pacu = kuadrat tengah individu yang diamati = jumlah pencatatan atau ulangan Uji-t 2 Sampel Pengujian kesamaan antara dua populasi dihitung menggunakan rumus: t = ((X 1 - X 2 ) - 0 ) / s Keterangan : X 1 = rataaan populasi sampel 1 X 2 = rataan populasi sampel 2 s = standar deviasi sampel = perbedaan antara rataan populasi 0 Korelasi Fenotipik Antara Kecepatan Lari dengan Tinggi Badan Pendugaan koefisien korelasi antara dua parameter (kecepatan lari dan tinggi badan) dihitung dengan menggunakan rumus koefisien korelasi regresi (Maciejowski dan Zięba, 1982): ( x)( y) xy r = n 2 2 n 2 2 n Keterangan : r xy = koefisien korelasi untuk x (tinggi badan) dan y (keceptan lari) Σ xy = jumlah pengamatan nilai tinggi badan dan kecepatan lari Σ x = jumlah pengukuran nilai tinggi badan Σ y = jumlah pengukuran nilai kecepatan lari 2 Σ x = jumlah kuadrat nilai tinggi badan 2 Σ y = jumlah kuadrat nilai kecepatan lari (Σ x ) 2 = kuadrat jumlah nilai tinggi badan (Σ y ) 2 = kuadrat jumlah nilai kecepatan lari n = jumlah pasangan-data (individu) yang diamati 14

27 Sifat Kecepatan Lari HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kecepatan Lari dan Ripitabilitasnya Kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia (KPI) yang diamati pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, secara umum kecepatan lari KPI baik pada jantan maupun betina semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Hal ini didukung pernyataan Hintz (1980) bahwa pada kuda Thoroughbred di Amerika secara umum puncak performa pacu dicapai pada umur empat tahun. Performa pacu seekor kuda dinilai dari nilai kecepatan atau berapa cepat seekor kuda dapat berlari dan menyelesaikan pacuan. Tabel 3. Rataan Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Jenis Kelamin Umur (Tahun) > (m/detik) ,030 a ± 0,724 15,076 a ± 0,521 15,220 a ± 0,700 15,280 a ± 0,813 (4,82%) (n=38) (3,46%) (n=51) (4,6%) (n=40) (5,32%) (n=39) 15,203 b ± 0,634 15,118 a ± 0,509 15,271 a ± 0,718 15,349 a ± 0,675 (4,17%) (n=40) (3,37%) (n=48) (4,7%) (n=36) (4,4%) (n=27) Rataan 15,119± 0,686 (4,54%) (n=78) 15,096 ± 0,514 (3,41%) (n=99) 15,244 ± 0,704 (4,62%) (n=76) 15,308 ± 0,758 (4,95%) (n=66) Keterangan: persen dalam kurung menyatakan koefisien keragaman, n=jumlah individu, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05) Hasil dalam penelitian ini menyatakan bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina umur dua tahun berbeda, dan hal ini didukung oleh pernyataan Ekîz dan Koçak (2007) bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi. Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diamati bahwa secara statistik kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada kelompok umur 3, 4, dan >4 tidak berbeda. 15

28 Nilai rataan kecepatan lari kuda pacu betina pada umur tiga tahun relatif lebih rendah daripada umur dua tahun. Penurunan kecepatan lari ini kemungkinan karena waktu dan frekuensi latihan kuda pacu betina yang berkurang akibat penerapan program manajemen reproduksi. Peternak atau pemilik kuda memerlukan replacement-stock atau pengganti yang diturunkan dari kuda pacu unggul. Kuda pacu betina pada periode umur ini (tiga tahun) mendapatkan porsi dan waktu latihan yang lebih sedikit, karena dikonsentrasikan untuk persiapan memperoleh keturunan dengan mempertimbangkan masa bunting dan kondisi kesehatan kuda betina serta anak. Jumlah kuda pacu betina unggul yang mengikuti pacuan berkurang karena program tersebut. Damron (2006) menyatakan bahwa proses pengawinan kuda betina sebaiknya dilakukan pada umur diatas dua tahun meskipun pubertas atau dewasa kelamin dicapai pada umur 1,0 1,5 tahun. Manajemen reproduksi ini mencakup masa laktasi anak kuda, program latihan selama kebuntingan dan pasca kelahiran anak, pemenuhan kebutuhan pakan dan nutrisi. Penerapan aspek manajemen yang berbeda oleh masing-masing peternak akan memberikan hasil yang berbeda pula pada setiap individu kuda pacu betina, terutama pada sifat kecepatan lari. Koefisien keragaman terbesar pada sifat kecepatan lari kuda pacu betina (4,7%) dimiliki oleh kelompok kuda pacu betina umur empat tahun. Hal ini mungkin terjadi karena sifat pacu unggul dari kuda pacu betina telah terekspresi. Berdasarkan jumlah sampel yang diamati, secara umum kuda pacu pada umur tiga tahun meningkat (n=99). Kemungkinan hal ini terjadi karena cukup banyak peternak yang baru mulai menyertakan kuda mereka dalam pacuan saat kuda berumur tiga tahun. Pada umur tersebut banyak ditemukan kuda dengan performa yang layak untuk disertakan dalam pacuan; yang diperlihatkan dengan koefisien keragaman yang menurun (4,54% pada umur dua tahun menjadi 3,41% pada umur tiga tahun) atau keseragaman kecepatan lari yang meningkat. Keseragaman kecepatan lari ini menunjukkan bahwa baik kuda yang baru turut serta maupun kuda yang telah berpacu sebelumnya memiliki kecepatan lari yang tidak terlalu berbeda. Koefisien keragaman terkecil kuda pacu jantan (3,46%) ditemukan pada umur tiga tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir seluruh kuda pacu jantan berumur tiga tahun yang diamati dalam penelitian ini memiliki kecepatan yang hampir seragam. Koefisien keragaman yang sedikit lebih besar (4,82%) dimiliki oleh 16

29 kelompok kuda pacu jantan berumur dua tahun. Hal ini sangat mungkin terjadi karena banyak faktor, diantaranya pengalaman latihan setiap individu, program latihan dan pemeliharaan, proses perkembangan perototan setiap individu, program pemberian pakan dan manajemen, dan hubungan joki atau pelatih dengan individu. Penerapan manajemen pemeliharaan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Faris (2009) menyatakan bahwa aspek pemeliharaan kuda seperti perawatan kaki dan pemandian kuda berpengaruh terhadap kenyamanan kuda dan peningkatan penampilan kuda. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi, pelatih berpengalaman memiliki kemampuan menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda untuk kemudian menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi kuda. Faris (2009) menyatakan bahwa pelatih dan joki mempengaruhi mental kuda muda. Pola latihan kuda pacu secara umum terdiri dari kombinasi latihan berdasarkan gaya berjalan kuda yaitu walk, trot, dan canter yang diterapkan pada pagi dan sore hari. Kecenderungan peningkatan kecepatan lari kuda pacu pada umur di atas tiga tahun kemungkinan mempengaruhi keputusan peternak untuk menyertakan kuda mereka dalam pacuan, yang diperlihatkan dengan jumlah sampel yang lebih sedikit (n=99 pada umur tiga tahun, n=76 pada umur empat tahun) dengan kecepatan lari yang meningkat. Hal ini mungkin mengindikasikan kuda yang diikutsertakan dalam pacuan sudah merupakan hasil seleksi. Jumlah sampel yang semakin sedikit dengan umur yang bertambah, pada umur lebih dari tiga tahun, mengindikasikan bahwa sampel yang diamati merupakan individu-individu kuda terseleksi yang memiliki performa unggul atau berkecepatan lari tinggi. Tabel 4 menyajikan hasil uji-t kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina antara dua kelompok umur yang diamati pada penelitian ini. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan lari kuda pacu Indonesia secara umum tidak dipengaruhi oleh umur pada selang umur 2 4 tahun. Kecepatan lari kuda pacu mulai meningkat dari umur empat menuju diatas empat tahun. Kecepatan lari kuda pacu jantan pada penelitian ini ditemukan terbesar pada kelompok umur empat tahun, dan hal ini sesuai dengan pernyataan Hintz (1980) bahwa puncak performa pacu kuda jantan Thoroughbred di Amerika berada pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut bahwa puncak performa pacu kuda betina 17

30 Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari Antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina Umur (Tahun) Jenis kelamin Hasil uji-t Nilai P > >4 4 >4 tn 0,873 tn 0,113 tn 0,097 tn 0,806 tn 0,064 tn 0,334 tn 0,061 tn 0,196 * 0,029 ** 0,005 tn 0,919 tn 0,223 Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata Thoroughbred di Amerika dicapai pada umur 2 3 tahun. Pada penelitian ini kecepatan lari tertinggi kuda pacu betina (15,349 m/detik) baru dicapai pada umur diatas empat tahun. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor genetis maupun faktor lingkungan seperti manajemen reproduksi, program pelatihan, dan manajemen pakan. Hal ini dapat diamati pada Tabel 5 yang menyajikan nilai ragam genetis dan lingkungan untuk sifat kecepatan lari KPI pada berbagai kelompok umur. Faris (2009) menyatakan bahwa pemberian pakan pada kuda pacu sebaiknya memiliki rasio hijauan : konsentrat sebesar 30:70 dengan frekuensi pemberian 2 3 kali dalam sehari. Pemberian pakan kuda pacu sebaiknya mempertimbangkan bobot badan, skor tubuh, dan umur kuda; namun hal ini belum diterapkan dalam manajemen pemeliharan kuda pacu di Indonesia. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kuda muda memerlukan lebih banyak pakan (Faris, 2009), dengan kadar protein 2% 4% lebih tinggi untuk kegiatan latihan ringan, kerja menengah, dan kerja berat (Cunningham et al., 2005). Pada umur dua tahun pengaruh genetis kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan 18

31 sementara ditemukan tinggi pada kuda pacu betina. Pada umur tersebut potensi genetis kecepatan lari lebih tinggi ditemukan pada kuda pacu jantan. Pelatihan merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh besar terhadap kecepatan lari. Faktor lingkungan sementara pada kuda pacu betina lebih besar dibandingkan kuda pacu jantan, mengindikasikan bahwa kuda pacu betina lebih tidak mudah untuk mengadaptasikan diri sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Tabel 5. Nilai σ dan σ Sifat Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun) σ (σ + σ ) σ (σ ) 2 0,193 0,144 0,084 0,183 3 ( + ) 0,049 0,127 4 ( + ) 0,235 0,084 >4 ( + ) 0,126 0,148 Keterangan : σ =Kuadrat Tengah Antara Individu, σ = Kuadrat Tengah Antara Pengamatan dalam Individu, σ = Ragam Genetis, σ = Ragam Lingkungan Tetap, σ = Ragam Lingkungan Sementara Pada umur tiga tahun kuda pacu betina sudah mulai mampu beradaptasi diri sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi, hal ini diperlihatkan oleh kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina yang tidak berbeda. Pada umur tersebut, pengaruh lingkungan sementara ditemukan masih lebih tinggi dibandingkan pengaruh genetis pada kedua jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan sementara, seperti pelatihan, masih lebih besar dari pengaruh genetis. Pelatihan yang dilakukan secara terus menerus pada kuda pacu jantan dan betina menghasilkan individu yang telah beradaptasi untuk tampil sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Hal ini diperlihatkan dengan pengaruh genetis yang lebih besar dari pengaruh lingkungan sementara pada kelompok umur empat tahun. Pada kelompok umur ini kuda pacu yang telah dilatih dengan baik mampu mengekspresikan keunggulan sifat kecepatan lari. Faktor-faktor lingkungan lain berdasarkan Hintz (1980) meliputi umur pejantan (ayah), musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk, dan urutan 19

PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA

PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA 55 PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA Pendahuluan Kuda pacu Indonesia merupakan ternak hasil silangan antara kuda lokal Indonesia

Lebih terperinci

Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No 2: (Juli 2014) ISSN

Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No 2: (Juli 2014) ISSN RIPITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI PUNDAK ANAK KUDA PACU UMUR BERBEDA PADA KETURUNAN PEJANTAN MANGUNI MAKASIOW DENGAN METODE KORELASI DALAM KLAS (Intraclass corelation) Sitty Fatimah S. Ambo, S. Adiani,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Kuda TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) memiliki klasifikasi ilmiah yaitu kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mammalia (menyusui), ordo Perissodactylater

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di

I PENDAHULUAN. Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang dahulu merupakan bangsa dari jenis kuda liar, kini sudah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. alat transportasi aktivitas sehari-hari, bahkan sejauh ini kuda dijadikan hewan

PENDAHULUAN. alat transportasi aktivitas sehari-hari, bahkan sejauh ini kuda dijadikan hewan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda merupakan hewan yang memiliki cukup banyak manfaat untuk kehidupan manusia. Kuda sebagai sumber pangan daging dan susu, rekreasi dan alat transportasi aktivitas

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kuda Pony dengan tinggi pundak kurang dari 140 cm. dianggap sebagai keturunan kuda-kuda Mongol (Przewalski) dan kuda Arab.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kuda Pony dengan tinggi pundak kurang dari 140 cm. dianggap sebagai keturunan kuda-kuda Mongol (Przewalski) dan kuda Arab. 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Kuda Menurut Blakely dan Bade (1991) secara umum klasifikasi zoologis ternak kuda adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Sub Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading

PENDAHULUAN. atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda Sumba merupakan kuda poni yang kemudian diberi nama kuda Sandel atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading up) dengan kuda Arab

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu. Seiring

I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu. Seiring 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda Equus caballus telah dikenal banyak orang sebagai hewan yang memiliki banyak fungsi. Hubungan kuda dengan manusia sangat erat kaitannya seperti peranan kuda sebagai

Lebih terperinci

HERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR 2 TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION)

HERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR 2 TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION) Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No : 89-98 (Juli 014) ISSN 085-66 HERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kegunaan, Jenis, Tinggi, Bobot Badan dan Habitat Asli Kuda Tarik

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kegunaan, Jenis, Tinggi, Bobot Badan dan Habitat Asli Kuda Tarik TINJAUAN PUSTAKA diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (bertulang belakang), kelas mammalia (menyusui anak), ordo Perissodactyla yakni (tidak memamah biak) dan famili Equidae serta spesies Equus cabalus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang cukup besar dan memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Seiring dengan

PENDAHULUAN. yang cukup besar dan memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Seiring dengan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sudah sejak lama kuda dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia, zaman dahulu kuda digunakan untuk alat transportasi karena kuda mempunyai tenaga yang cukup besar dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Terdapat lima (5) macam hubungan yang penting antar a kuda dengan manusia yaitu: 1) Daging

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat di seluruh dunia berasal dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat di seluruh dunia berasal dari 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Asal Usul Kuda Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat di seluruh dunia berasal dari binatang kecil, oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai Eohippus atau Dawn horse yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon

Lebih terperinci

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom Bangsa Famili Subfamili Ordo Subordo Genus Spesies : Animalia : Caprini : Bovidae :Caprinae : Artiodactyla : Ruminansia : Capra : Capra sp.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati paling beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari keanekaragaman hewan yang dimiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perkembangan Domba Asia merupakan pusat domestikasi domba. Diperkirakan domba merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi oleh manusia kira-kira

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Asal Usul dan Klasifikasi Domba Garut Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyak daging atau wol, ada

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian dalam sistem pangan nasional. Industri peternakan memiliki peran sebagai penyedia komoditas pangan hewani. Sapi

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES Nico ferdianto, Bambang Soejosopoetro and Sucik Maylinda Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda Sumba atau lebih dikenal Sandal memiliki keistimewaan memiliki daya tahan tinggi terhadap iklim tropis dan juga memiliki kecepatan lari yang baik dengan warna bulu

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Domba Domba merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak ruminansia kecil, hewan pemamah biak dan merupakan hewan mamalia. Disamping sebagai penghasil daging

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Peranakan Etawah Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo Ruminansia, Famili Bovidae, dan Genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burns,

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DANKOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI YORKSHIRE

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DANKOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI YORKSHIRE PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DANKOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI YORKSHIRE SKRIPSI Oleh: EKANI PUTRI GURUSINGA 110306027 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman

Lebih terperinci

PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA

PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ANGGA. D14050172.

Lebih terperinci

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Zoologis Sapi Menurut blakely dan bade, (1998) Secara umum klasifikasi Zoologis ternak sapi adalah sebagai berikut Kingdom Phylum Sub Pylum Class Sub Class Ordo Sub

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP Baturraden

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Bovidae, dan genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burn, 1994). Kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kuda

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kuda 7 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kuda Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra) dan hemione (Equus heminus). Berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus TINJAUAN PUSTAKA Babi Yorkshire Klasifikasi zoologis ternak babi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing Kambing diklasifikasikan ke dalam kerajaan Animalia; filum Chordata; subfilum Vertebrata; kelas Mammalia; ordo Artiodactyla; sub-ordo Ruminantia; familia Bovidae; sub-familia

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA THE QUANTITATIVE OF LOCAL GOAT FEMALE AS A SOURCE OF BREED AT KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN.1. Sapi Perah Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi

Lebih terperinci

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA SKRIPSI MUHAMMAD VAMY HANIBAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa pulang anak kambing dari hasil buruannya. Anak-anak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang TINJAUAN PUSTAKA SistematikaTernak Kambing Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besarbagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba  Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Menurut Tomaszewska et al. (1993) domba berasal dari Asia, yang terdiri atas 40 varietas. Domba-domba tersebut menyebar hampir di setiap negara. Ternak domba merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR..... i ii iii iv vi vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO

SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian Menuju Bibit Ternak Berstandar SNI Jalan pintas program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) pada tahun 2014 dapat dicapai dengan melakukan pembatasan impor daging sapi dan sapi bakalan yang setara

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Sumba Timur terletak di antara 119 45 120 52 Bujur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN (Body Measurement Characteristics of Swamp Buffalo in Lebak and Pandeglang Districts, Banten Province) SAROJI, R.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang 1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kuda Kuda adalah mamalia ungulata (hewan yang berdiri pada kuku) yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang dahulu merupakan bangsa dari

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. laktasi 2 sebanyak 100 ekor, laktasi 3 sebanyak 50 ekor, dan laktasi 4 sebanyak 40

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. laktasi 2 sebanyak 100 ekor, laktasi 3 sebanyak 50 ekor, dan laktasi 4 sebanyak 40 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah data catatan produksi susu harian pagi, sore, dan total periode laktasi 1, 2, 3, dan 4 dari tahun 2009

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal.

Lebih terperinci

Evaluasi Konformasi Tubuh Menggunakan Rumus Thomas Pada Kuda Lokal Sumba. Evaluation Of Body Conformation Using Thomas Formula In Local Sumba Horse

Evaluasi Konformasi Tubuh Menggunakan Rumus Thomas Pada Kuda Lokal Sumba. Evaluation Of Body Conformation Using Thomas Formula In Local Sumba Horse Evaluasi Konformasi Tubuh Menggunakan Rumus Thomas Pada Kuda Lokal Sumba Evaluation Of Body Conformation Using Thomas Formula In Local Sumba Horse Vini Nur Alfiani*, Sri Bandiati Komar**, Nena Hilmia**

Lebih terperinci

RIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI

RIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI RIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI SKRIPSI VANIA DWI ASTUTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.

Lebih terperinci

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba sejak dahulu sudah mulai diternakkan orang. Ternak domba yang ada saat ini merupakan hasil domestikasi dan seleksi berpuluh-puluh tahun. Pusat domestikasinya diperkirakan berada

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda digolongkan kedalam filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui anaknya), ordo Perssodactyla (berteracak

TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda digolongkan kedalam filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui anaknya), ordo Perssodactyla (berteracak TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda digolongkan kedalam filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui anaknya), ordo Perssodactyla (berteracak tidak bermamahbiak), famili Equidae, dan spesies Equus

Lebih terperinci

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011) TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Sapi Perah di Indonesia Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini.

Lebih terperinci

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI VINDHA YULI CANDRAWATI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam dunia peternakan, program seleksi sangat penting sekali fungsinya, yaitu untuk memilih individu mana yang terbaik dan pantas untuk dikawinkan. Selain itu, seleksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang memadai, merupakan pilar utama dalam menyokong pengembangan ternak tanah air. Penyediaan domba yang berkualitas

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Tinjauan Umum Kerbau Kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3 5 m

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia untuk memproduksi daging, susu, kulit, dan serat (Gall, 1981). Kambing telah didomestikasi sejak

Lebih terperinci

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR STUDI APLIKASI RAPID SELECTION PADA DOMBA LOKAL SEBAGAI TERNAK CEPAT TUMBUH U Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc. Ir. Sri Rahayu, MS. Ir. Rini H. M., M.Si. Edit Lesa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa

Lebih terperinci

Penyimpangan Bobot Badan Kuda Lokal Sumba menggunakan Rumus Lambourne terhadap Bobot Badan Aktual

Penyimpangan Bobot Badan Kuda Lokal Sumba menggunakan Rumus Lambourne terhadap Bobot Badan Aktual Penyimpangan Bobot Badan Kuda Lokal Sumba menggunakan Rumus Lambourne terhadap Bobot Badan Aktual Deviation of Local Sumba Horse Body Weight Between Actual Body Weight Based on Lambourne Formula Nurjannah

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : RINALDI

SKRIPSI OLEH : RINALDI PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA (F2) BERDASARKAN BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN BOBOT UMUR 6 BULAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RINALDI 100306003 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT Erwin Jatnika Priyadi*, Sri Bandiati Komar Prajoga, dan Deni Andrian Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas

Lebih terperinci

PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB

PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB 1 Setelah menyelesaikan program studi ini, lulusan mampu : bidang ilmu dan

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba Garut merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu dilestarikan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas. Kelompok Ternak Palasidin sebagai Villa Breeding Center yang

PENDAHULUAN. Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas. Kelompok Ternak Palasidin sebagai Villa Breeding Center yang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas penghasil daging. Domba memiliki keuunggulan diantaranya yaitu memiliki daya adaptasi yang baik terhadap

Lebih terperinci