PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA
|
|
- Suhendra Wibowo
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 55 PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA Pendahuluan Kuda pacu Indonesia merupakan ternak hasil silangan antara kuda lokal Indonesia dengan kuda pacu Thoroughbred yang telah beradaptasi dengan baik di lingkungan Indonesia. Banyak dipelihara dan dikembangbiakkan untuk dilombakan. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi berupa keuntungan nyata dalam bentuk perolehan hadiah karena prestasi yang berhasil diraih dan telah menjadi budaya sebagian masyarakat pecinta kuda di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam Permentan No.35/Permentan/OT.140/8/2006 (Pordasi 2003), mengenai pengembangan ternak lokal Indonesia menempatkan kuda pacu sebagai salah satu target utama sumberdaya lokal yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus daya tarik pariwisata bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Upaya pemuliaan untuk meningkatkan kemampuan berlari kuda lokal Indonesia perlu ditingkatkan melalui metode seleksi yang tepat dan terarah sehingga karakteristik sifat kecepatan yang dimiliki kuda lokal Indonesia dapat dipertahankan atau lebih ditingkatkan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi performa kuda pacu adalah repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari. Kecepatan lari adalah sifat yang dominan untuk kuda pacu yang secara kuantitatif menurut Martojo (1992) dapat diukur pada seekor ternak yang dapat dimanfaatkan untuk menyelidiki apakah sifat tersebut memiliki kecenderungan untuk berulang pada pengukuran berikutnya dimasa yang akan datang. Perulangan sifat dapat menggambarkan apakah sifat yang diamati merupakan suatu ekspresi genetik atau bukan. Analisis pendugaan nilai repitabilitas dilakukan untuk menduga adanya kecenderungan pengulangan suatu sifat yaitu pengukuran perbedaan keragaman antar data yang berulang dari setiap catatan produksi setiap individu kuda yang sama. Keragaman suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas sifat tersebut, semakin beragam data maka semakin rendah nilai repitabilitas dan sebaliknya. Noor (2008) menyatakan, bahwa repitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama, sedangkan menurut Tolley et al. (1983), Pallawaruka (1999) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran
2 56 kekuatan hubungan yang konsisten dan realistis antara nilai ukuran fenotipik yang berulangulang dari suatu sifat dalam populasi. Pendugaan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan sifat ketahanan berlari dilakukan pada populasi kuda pacu yang ada di Minahasa dengan menggunakan data performa fenotipik perlombaan berupa catatan waktu lari dari kuda pacuan selama 11 tahun (1998 s/d 2009) dari perlombaan yang diselenggarakan oleh organisasi berkuda Indonesia atau disingkat PORDASI. Data dari individu-individu kuda dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Perhitungan nilai repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari menggunakan data kecepatan yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba. Nilai kecepatan lari seekor kuda diperoleh dengan membagi jarak lomba terhadap waktu tempuh. Hintz (1980) menyatakan bahwa waktu tempuh mengindikasikan jumlah detik yang dibutuhkan seekor kuda untuk menyelesaikan lomba, dan merupakan parameter yang paling sering digunakan. Menururt Ekiz dan Kocak (2007) menyatakan bahwa waktu tempuh adalah satu-satunya pengukuran kecepatan dan ukuran kuantitatif yang tepat untuk mengevaluasi secara genetik performa lari pada kuda. Materi dan Metode Analisis Data Data yang telah ditabulasikan tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hubungan korelasi fenotipik dengan menggunakan rumus Pearson (Steel & Torrie 1995) antara kecepatan lari dan ketahanan berlari. Nilai repitabilitas diperoleh dari hasil analisis ragam (ANOVA) yang diolah lebih lanjut berdasarkan metode analisis ragam melalui program SAS 9.1, sedangkan pendugaan nilai repitabilitas dilakukan dengan model rancangan percobaan berdasarkan rumus Becker (1985) yaitu: Y ik = µ + α i +e ik Keterangan: Y ik = pengukuran ke-k pada individu ke-i µ = nilai tengah umum α i = pengaruh individu ke-i e ik = pengaruh lingkungan tak terkontrol dan atribut deviasi genetik individu
3 57 Tabel 19 Tabel analisis ragam Sumber Keragaman Derajat Bebas JK KT KT yang Diharapkan AntarIndividu n- 1 JKw KTw + k 1 Antar Pengamatan dalam Individu m-n Jke Kte Total m- 1 JKT Keterangan : n= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, = KTw, = KTe, koefisien k 1 =, = kuadratjumlah ulangan Pendugaan nilai repitabilitas dihitung dengan rumus (Becker 1985): = e dan Keterangan : R k 1 = repitabilitas = ragam kecepatan pacu/ ketahanan berlari antara individu-individu yang diamati = ragam kecepatan pacu/ ketahanan lari berdasarkan pengukuranpengukuran dalam individu yang diamati = kuadrat tengah kecepatan pacu/ ketahanan berlari = kuadrat tengah individu yang diamati = jumlah pencatatan atau ulangan Pengujian kesamaan antara dua populasi dihitung dengan Uji-t (2 sampel) menggunakan rumus: t = ((X 1 - X 2 ) - 0) / s Keterangan : X 1 = rataan populasi sampel 1 X 2 = rataan populasi sampel 2 s = standar deviasi sampel 0 = perbedaan antara rataan populasi
4 58 Keragaman Sifat Kecepatan Lari Hasil dan Pembahasan Kecepatan lari kuda pacu baik pada jantan maupun betina yang dijelaskan pada Tabel 20 menunjukan kecenderungan peningkatan kecepatan seiring pertambahan umur kuda. Hasil ini didukung oleh pernyataan Hintz (1980) yang menyatakan bahwa bahwa umur puncak performa pacu pada kuda Thoroughbred di Amerika umumnya setelah mencapai usia dewasa. Performa pacu seekor kuda menurut Ojala et al. (1987) dinilai dari seberapa cepat seekor kuda mampu berlari pada jarak tertentu yang diukur berdasarkan waktu yang dibutuhkan (detik) sejak start sampai mencapai garis finish pada jarak yang ditentukan, seperti 600 m, 800 m, 1000 m dan seterusnya. Tabel 20 Rataan kecepatan lari (m/detik) kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Jenis Kelamin Umur (tahun) >4 Kecepatan (m/det) ± sd a ± ± ± ± cv (%) , individu Kecepatan (m/det) ± sd b ± ± ± ± cv (%) individu Rataan Kecepatan (m/det) ± sd ± ± ± cv (%) individu Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.05); cv= koefisien keragaman. Kuda pacu betina umur empat tahun memiliki koefisien keragaman tertinggi walaupun secara keseluruhan koefisien keragaman baik kuda jantan maupun betina masih dalam kategori rendah yaitu: %. Hasil uji-t pada Lampiran 6a dan 6b, menunjukkan
5 59 bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada umur empat tahun tidak berbeda kemungkinan disebabkan sifat kecepatan pada kuda tidak banyak dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin ataupun umur, melainkan oleh ekspresi genotip akibat adanya seleksi. Kuda yang dilombakan pada setiap umur adalah hasil silangan bertingkat sampai generasi ketiga (G-3) dan keempat (G-4), diduga terdapat pengaruh tekanan silang dalam yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan keragaman genotip. Faktor lain yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah penggunaan jumlah pejantan yang relatif sedikit sehingga gen-gen yang mengekspresikan sifat kecepatan semakin terfiksasi pada gen-gen yang berasal dari sumber yang sama. Kemungkinan adanya pengaruh lingkungan yang semakin kecil, karena setiap kuda yang dipacu pada umur tiga tahun telah memasuki umur dewasa dan telah menjalani jenis latihan yang hampir seragam, sehingga rataan kecepatan berlari yang semakin seragam merupakan bentuk dari ekspresi genotip setiap kuda. Umumnya kuda pacu baru mulai disertakan dalam pacuan ketika berumur dua tahun dimana banyak ditemukan kuda dengan performa keragaman kecepatan lari yang baik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi, karena pada usia tersebut menurut Baker (2002) setiap kuda umumnya baru melewati program pelatihan, perkembangan perototan yang optimum, pemberian pakan dan manajemen yang sempurna dengan adanya pengaruh emosional antara individu kuda dengan joki atau pelatih. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi. Pelatih berpengalaman memiliki kemampuan menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda untuk kemudian menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi kuda. Adanya perbedaan performa pacu antara kuda jantan dan betina pada umur dua tahun didukung oleh Ekiz dan Kocak (2007) yang menyatakan bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina umur dua tahun berbeda. Dijelaskan oleh Hintz (1980) bahwa faktor umur dan jenis kelamin mempengaruhi penampilan lari kuda pacu Thoroughbred, sedangkan faktor lingkungan lainnya seperti umur pejantan, musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk dan urutan kelahiran tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Perbedaan performa puncak kuda pacu dalam penelitian ini diduga karena kuda pacu Indonesia merupakan hasil persilangan kuda Sumba dengan kuda Thoroughbred, yang telah
6 60 beradaptasi membentuk bangsa baru berdasarkan analisis keragaman yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata serta nilai koefisien keragaman yang rendah. Kecenderungan peningkatan kecepatan lari kuda pacu pada umur diatas tiga tahun menyebabkan semakin sedikit individu kuda yang mampu berkompetisi sehingga hanya kuda yang memiliki penampilan kecepatan yang tinggi yang terseleksi untuk disertakan dalam perlombaan pacuan. Kuda-kuda yang berpenampilan kurang baik dengan sendirinya tidak dapat lolos kualifikasi lomba dan tidak diminati sehingga hanya kuda juara saja yang terseleksi dan bernilai tinggi atau layak untuk dijadikan pejantan atau induk betina. Kecepatan lari kuda pacu jantan ditemukan terbesar pada kelompok umur empat tahun, dan hal ini sesuai dengan pernyataan Hintz (1980) bahwa puncak performa pacu kuda jantan Thoroughbred di Amerika berada pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut bahwa puncak performa pacu kuda Thoroughbred betina di Amerika dicapai pada umur 2 3 tahun. Kecepatan lari tertinggi kuda pacu betina pada penelitian ini baru tercapai pada umur empat tahun. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor genetik maupun faktor lingkungan seperti manajemen reproduksi, program pelatihan dan manajemen pakan. Hal ini dapat diamati pada Tabel 21 yang menyajikan nilai ragam genetik dan lingkungan untuk sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia pada berbagai kelompok umur. Tabel 21 Nilai dan sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Umur (Tahun) ( ) ( ) ( + ) ( + ) >4 ( + ) Keterangan: =Kuadrat Tengah antara Individu, = Kuadrat Tengah antara Pengamatan dalam Individu, = Ragam Genetik, = Ragam Lingkungan Tetap, = Ragam Lingkungan Sementara Pada umur dua tahun pengaruh genetik kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan tinggi pada kuda pacu betina. Pada umur tersebut walaupun rataan kecepatan lari kuda betina
7 61 lebih tinggi, ditemukan bahwa kuda pacu jantan memiliki potensi genetik kecepatan lari lebih besar dibanding kuda betina. Hasil ini membuktikan bahwa kuda jantan yang memiliki kecepatan lari yang tinggi adalah bentuk ekspresi gen-gen dominan dari sifat kecepatan yang berpotensi untuk dijadikan pejantan unggul (Tolley et al. 1983). Menurut Baker (2002), tidak semua kuda dapat menurunkan sifat-sifat unggulnya pada keturunannya, hanya kuda yang memiliki potensi genetik unggul yang dapat dijadikan pejantan. Pengaruh lingkungan sementara pada kuda pacu betina lebih besar dibandingkan kuda pacu jantan, mengindikasikan bahwa kuda pacu betina akan lebih menunjukkan penampilan terbaiknya apabila dilatih dan dipelihara pada lingkungan yang mendukung seperti manajemen pemberian pakan yang optimal saat menjelang lomba (Parakkasi 1986). Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Kontinuitas pacuan merupakan salah satu faktor yang menunjang kemampuan kuda pacuan untuk beradaptasi dan tampil sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Repitabilitas Kecepatan Lari Berdasarkan Tabel 22 diperoleh nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu yang diturunkan dari kelompok kuda pacu umur 3, 4 dan lebih dari 4 tahun yang berdasarkan hasil statistik uji-t menunjukkan perbedaan yang tidak nyata untuk jenis kelamin kecuali pada umur dua tahun. Tabel 22 Nilai Repitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun) Jenis Kelamin R ± S.E ± > ± ± ± ± Keterangan : R= nilai repitabilitas, S.E.= standard error
8 62 Nilai repitabilitas suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik (aditif, dominan dan epistasis) dan faktor lingkungan baik permanen maupun sementara (Noor 2008). Kisaran nilai repitabilitas kecepatan lari pada kelompok kuda pacu umur empat tahun dan kelompok kuda pacu jantan umur dua tahun yang diperoleh mendekati pernyataan Martojo (1992) yaitu 60 80% yang oleh Noor (2008) bahwa nilai repitabilitas diatas 40% termasuk dalam kategori tinggi. Secara umum nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini berkisar antara sedang sampai tinggi. Repitabilitas kecepatan lari tertinggi ditemukan pada umur empat tahun mengindikasikan bahwa pada umur tersebut daya pengulangan sifat kecepatan lari berkorelasi tinggi satu sama lain dengan kata lain pada umur tersebut kuda pacu telah dapat mengekspresikan potensi genetik dengan baik sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Daya pengulangan sifat kecepatan lari ditemukan lebih tinggi pada kuda jantan umur dua tahun yang menunjukkan bahwa kuda jantan dapat mengekspresikan potensi genetiknya lebih cepat daripada kuda betina (Tolley et al. 1983). Diduga faktor fisiologis hormonal perbedaan jenis kelamin dan pertumbuhan memberikan pengaruh terhadap perbedaan penampilan lari (Ojala 1987). Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa hormon androgen bertanggungjawab terhadap perkembangan tulang dan otot pada ternak jantan secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan lari. Daya pengulangan sifat kecepatan lari kelompok kuda pacu umur lebih dari empat tahun cenderung menurun walaupun masih dikategorikan tinggi. Penurunan ini kemungkinan disebabkan mulai berkurangnya pengaruh lingkungan sementara yang ditandai juga dengan besar pengaruh genetik dan lingkungan yang hampir seimbang dan menghasilkan ekspresi sifat kecepatan lari yang lebih stabil Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya. Noor (2008) menyatakan bahwa contoh variasi lingkungan tetap akan mempengaruhi nilai repitabilitas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkungan tetap ini dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selama ternak hidup. Pada penelitian ini, lingkungan tetap yang dapat mempengaruhi kecepatan lari kuda pacu adalah latihan dan pacuan. Perolehan nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini sedikit diatas dari pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) pada kuda Thoroughbred di Turki ( ). Hal ini mengindikasikan bahwa kuda pacu Indonesia memiliki daya pengulangan dan pewarisan sifat kecepatan lari yang lebih tinggi daripada kuda Thoroughbred, meskipun kecepatan lari kuda pacu Indonesia lebih rendah.
9 63 Noor (2008) menyatakan bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama setiap tahun, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982). Keragaman Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Hasil uji-t (Lampiran 7a dan 7b) untuk penurunan dan peningkatan nilai kecepatan antara kuda jantan dan betina pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini karena diduga kuda yang dipacu berada pada kelompok umur, ukuran tubuh yang seragam serta jarak tempuh lari dalam kategori pendek sampai sedang sehingga perbedaan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Umumnya saat berada di lintasan pacuan, baik kuda jantan maupun betina tidak dipisahkan dan berlari secara bersamaan. Jarak tempuh yang diambil sebagai data adalah 800, 1000, 1200, 1400, dan 1600 m yang oleh Moritsu et al. (1994) menyatakan bahwa jarak-jarak ini dikategorikan sebagai jarak tempuh sedang dan lebih lanjut dikatakan bahwa tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata pada kuda Thoroughbred yang berada di Jepang yang lari pada jarak tempuh 1200 m, kecuali pada jarak 1800 m. Hal yang sama didukung oleh hasil penelitian Polak (2008) dan Richard dan Touvais (2007) yang tidak mendapatkan adanya perbedaan yang nyata dari faktor jenis kelamin. Tabel 23 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami peningkatan kecepatan atau percepatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 23 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter No Nomor Kuda Jarak Tempuh m m Detik Rataan Rataan (sd)
10 64 Peningkatan nilai kecepatan berlari atau nilai percepatan yang diperlihatkan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 meter pada penelitian ini belum menggambarkan kemampuan optimal kuda. Nilai peningkatan kecepatan berlari pada tiga jarak (1200, 1400 dan 1600 m) yang berbeda dari delapan ekor kuda yang diukur memiliki nilai paling tinggi detik oleh kuda no:8 dan yang terendah oleh kuda no:5. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sebesar 200 meter. Semakin besar nilai peningkatan kecepatan berlari, menunjukkan bahwa kemampuan kuda tersebut semakin baik untuk pacuan jarak jauh. Peningkatan nilai kecepatan yang terjadi disebabkan kuda tersebut diduga masih mampu meningkatkan kecepatan berlarinya dengan jarak tempuh yang lebih jauh lagi. Peningkatan nilai kemampuan mempertahankan kecepatan berlari pada empat jarak yang berbeda (800,1200,1400 dan 1600 m) yang dijelaskan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 m pada penelitian ini memiliki nilai peningkatan kecepatan tertinggi sebesar detik oleh kuda no:2 dan yang terendah oleh kuda no:4. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sejauh 200 meter. Tabel 24 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600m No Nomor Kuda Jarak Tempuh Detik Rataan Rataan (sd) Hasil pengamatan terhadap peningkatan kecepatan lari kuda yang dipacu pada berbagai jarak lintasan dengan penambahan jarak yang sama (200 m) menunjukkan bahwa kelompok kuda yang lari pada jarak lintasan sedang ( m) cenderung memiliki kemampuan mempertahankan kecepatan dua kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kuda yang dipacu pada jarak lintasan pacuan dari rendah sampai sedang ( m). Terdapat berbagai
11 65 macam kemungkinan untuk menjelaskan keadaan ini, salah satunya adalah faktor kelelahan (fatique) yang dipengaruhi oleh aspek nutrisi dan genetik tiap jenis atau bangsa kuda (Parakkasi 1986; Frape 2004). Tabel 25 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami penurunan kecepatan atau perlambatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 25 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter No Nomor Kuda Jarak Tempuh (m) Detik Rataan Rataan (sd) Nilai negatif menunjukkan bahwa kuda pacu mengalami penurunan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh atau kuda mengalami perlambatan dalam berlari. Nilai rataan penurunan kecepatan lari terkecil ( detik) dimiliki oleh individu kedelapan. Nilai ini menunjukkan bahwa kuda ini memiliki nilai penurunan kecepatan berlari sebesar 0.6 per 1000 detik untuk setiap peningkatan jarak sebesar 200 m. Kuda pertama memiliki nilai penurunan kecepatan yang terbesar yaitu ( ) atau 0.45 per 100 detik sedangkan rataan kecepatan untuk kelompok kuda tersebut adalah: detik atau terjadi perlambatan sebesar 2.2 per 1000 detik. Rataan nilai kemampuan dalam mempertahankan kecepatan yang meurun atau perlambatan pada empat jarak lintasan (800, 1200, 1400 & 1600 m) disajikan pada Tabel 26.
12 66 Tabel 26 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600 meter No Nomor Kuda Jarak Tempuh Detik Rataan Rataan (sd) Kuda yang mengalami penurunan kecepatan berlari pada lintasan berjarak 800, 1200, 1400 dan 1600 m. Rataan kecepatan penurunan kemampuan berlari pada kelompok kuda yang dipacu pada empat lintasan dengan jarak yang berbeda adalah atau terjadi perlambatan sebesar 1.2 per 1000 detik. Rataan nilai penurunan kecepatan terkecil pada kuda no: 2 ( ), sedangkan nilai penurunan terbesar pada kuda no: 9 ( ). Dari kedua data penurunan kecepatan berlari pada tiga dan empat jarak lintasan yang tertera pada Table 25 dan 26, terlihat bahwa ada kecenderungan kelompok kuda yang menempuh empat lintasan mengalami perlambatan hampir dua kali lebih rendah dibandingkan penurunan kecepatan pada kelompok kuda yang menempuh tiga lintasan. Fenomena ini memiliki kesamaan pola pada kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan yang memperkuat asumsi terjadinya kelelahan apabila jenis atau bangsa kuda tertentu dipacu pada jarak tempuh yang lebih jauh. Penurunan nilai kecepatan berlari seiring bertambahnya jarak tempuh sudah lazim terjadi pada kuda pacu. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisiologi dari masing-masing kuda. Richard et al. (2000) menyatakan bahwa faktor pembatas dari performa berlari kuda tergantung pada panjang lintasan yang ditempuh kuda. Pada saat berlari, energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot berasal dari perombakan glukosa dimana perombakan tersebut terbagi menjadi dua tahap yaitu anaerobik dan aerobik. Kemampuan berlari kuda juga dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah lingkungan. Menurut Buttram et al.
13 67 (1988) pengaruh lingkungan permanen pada performa berlari adalah faktor nutrisi, cidera, pemilik dan pelatih. Repitabilitas Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Keragaman nilai suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas, semakin beragam data, maka nilai repitabilitas semakin rendah dan sebaliknya. Nilai pendugaan repitabilitas kemampuan mempertahanklan kecepatan berlari dijelaskan pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai repitabilitas kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan kecepatan berlari pada selisih jarak yang berbeda Sifat Berlari R ± SE Selisih Jarak (meter) Penurunan Kecepatan Peningkatan Kecepatan 0.77 ± ± ± ± ,1400 dan , 1200,1400 dan , 1000,1200 dan ,1400 dan 1600 Keterangan: R= nilai repitabilitas; SE= standard error Nilai repitabilitas untuk sifat kemampuan mempertahankan kecepatan berlari yang diperlihatkan pada Tabel 27 tergolong dalam ketegori sedang hingga tinggi. Pada kuda yang mengalami penurunan kecepatan, pendugaan nilai repitabilitasnya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 0.77, 0.59 dan 0.63 masing-masing untuk jarak lintasan yang berbeda. Nilai tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik lebih banyak memberikan pengaruh dibandingkan dengan faktor lingkungan, walaupun nilai dari kemampuan mempertahankan berlari bernilai negatif (kuda mengalami perlambatan) (Tolley et al. 1983). Nilai repitabilitas peningkatan kecepatan kuda berlari termasuk dalam repitabilitas sedang yaitu ± Nilai ini menunjukkan bahwa pada sifat peningkatan kecepatan berlari, pengaruh dari lingkungan masih cukup tinggi dibandingkan dengan pengaruh genetiknya (Tolley et al. 1983). Buttram et al. (1988b) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengaruh dari lingkungan permanen sangat nyata terjadi pada jarak tempuh yang semakin jauh. Galat baku untuk estimasi repitabilitas kuda yang mengalami
14 68 penurunan kecepatan memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan standar eror kuda yang mengalami peningkatan kecepatan. Nilai standar eror yang cukup tinggi untuk kuda yang mengalami peningkatan kecepatan menunjukkan estimasi repitabilitas yang kurang akurat. Hal ini diduga terjadi akibat jumlah sampel kuda yang mengalami peningkatan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh hanya sedikit, untuk itu perlu dilakukan penelitian berikutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar dapat mewakili sebuah populasi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi sifat mempertahankan kecepatan berlari antara lain lingkungan dari dalam tubuh ternak. Lingkungan dalam tubuh ternak meliputi kemampuan kuda dalam mempergunakan cadangan energinya pada saat berlari, dan mental dari masing-masing individu kuda. Cadangan energi berkaitan dengan pakan yang diberikan sebelum kuda pacu berlomba (Parakkasi 1986; Frape 2004). Menurut McBane (1993) kuda pacu membutuhkan kurang lebih 14% kandungan protein untuk memenuhi kecukupan energinya. Kuda pacu dapat juga diberikan supplement seperti minyak jagung yang kaya akan sumber energi untuk mensuplai kebutuhan saat berada di arena pacuan (Vogel 1995; Frape 2004). Faktor lingkungan eksternal meliputi manejemen pemeliharaan, iklim, pola latihan serta joki dan pelatih. Menurut hasil penelitian Wilson (1991), berat badan joki juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan kuda untuk mencapai garis finish. Islami (2007) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu yang berprestasi. Pelatih yang baik dan berpengalaman akan sangat mengenali kuda yang akan dilatih dan menetapkan pola latihan yang tepat bagi kuda tersebut. Hal ini akan mempengaruhi kondisi kuda pada saat di arena pacuan. Nilai repitabilitas dapat ditingkatkan, menurut Martojo (1992) untuk meningkatkan nilai repitabilitas dapat dilakukan dengan mengupayakan lingkungan (manajemen pemeliharaan, kandang, pemberian pakan) yang seseragam mungkin antar individu. Simpulan 1. Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan umur dimana rataan kecepatan tertinggi ditemukan pada kelompok umur empat tahun. 2. Kemampuan dalam mempertahankan kecepatan lari kuda pacu lebih dipengaruhi oleh pengaruh genetik, yaitu terdapat kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan
15 69 yang baik digunakan sebagai kuda pacuan jarak jauh dan kelompok kuda yang mengalami penurunan kecepatan lari, lebih tepat untuk diseleksi menjadi kuda pacu jarak dekat atau sprinter. 3. Repitabilitas sifat kecepatan lari kuda pacu pada berbagai tingkatan umur dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas kecepatan lari tertinggi (0.74) ditemukan pada umur empat tahun sebagai ekspresi potensi genetik kuda pacu berkecepatan tinggi. 4. Repitabilitas sifat mempertahankan kecepatan lari kuda pacu pada berbagai jarak lintasan dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas yang tinggi (> 0.5) didapati pada sifat penurunan kecepatan, sedangakan sifat peningkatan kecepatan termasuk dalam kategori sedang ( 0.2 s/d 0.4).
Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No 2: (Juli 2014) ISSN
RIPITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI PUNDAK ANAK KUDA PACU UMUR BERBEDA PADA KETURUNAN PEJANTAN MANGUNI MAKASIOW DENGAN METODE KORELASI DALAM KLAS (Intraclass corelation) Sitty Fatimah S. Ambo, S. Adiani,
Lebih terperinciPEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik
Lebih terperinciRIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA
RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA SKRIPSI JUSTIAN RENARDI LOUIS DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih
Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam dunia peternakan, program seleksi sangat penting sekali fungsinya, yaitu untuk memilih individu mana yang terbaik dan pantas untuk dikawinkan. Selain itu, seleksi
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal
Lebih terperinciPENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian dalam sistem pangan nasional. Industri peternakan memiliki peran sebagai penyedia komoditas pangan hewani. Sapi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan
Lebih terperinciHERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR 2 TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION)
Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No : 89-98 (Juli 014) ISSN 085-66 HERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION)
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. laktasi 2 sebanyak 100 ekor, laktasi 3 sebanyak 50 ekor, dan laktasi 4 sebanyak 40
III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah data catatan produksi susu harian pagi, sore, dan total periode laktasi 1, 2, 3, dan 4 dari tahun 2009
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Agustus 2012 sampai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang
TINJAUAN PUSTAKA SistematikaTernak Kambing Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besarbagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Terdapat lima (5) macam hubungan yang penting antar a kuda dengan manusia yaitu: 1) Daging
Lebih terperinciLABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009
ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciNILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak
Suhardi, S.Pt.,MP NILAI PEMULIAAN Dalam pemuliaan ternak, pemilihan ternak ternak terbaik berdasarkan keunggulan genetik, karena faktor ini akan diturunkan pada anak anaknya.? Nilai Pemuliaan (NP) merupakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Detaseman Kavaleri Berkuda (Denkavkud) berada di Jalan Kolonel Masturi, Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi saudara tiri dan regresi anak-induk berturut turut 0,60±0,54 dan 0,28±0,52. Nilai estimasi heritabilitas
Lebih terperinciIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati
III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati Sistem perkandangan menggunakan kandang panggung terdiri atas dua sistem, yaitu kandang individu (individual system)
Lebih terperincibeban maupun angkutan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat dahulu. Bahkan di kota-kota tertentu sampai saat ini masih mengandalkan ternak kuda seba
1 PENDAHULUAN Pemanfaatan ternak sebagai tenaga kerja dan transportasi sudah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Akan tetapi, saat ini penggunaan ternak sebagai tenaga kerja telah tersaingi oleh peralatan
Lebih terperinciANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO
BAB 11 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa Klambir Lima Kampung, kecamatan Hamparan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan
8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN.1. Sapi Perah Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus
TINJAUAN PUSTAKA Babi Yorkshire Klasifikasi zoologis ternak babi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus,
Lebih terperinciANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO
BAB 10 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Panjang Baku Gambar 1. menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyortiran pada bulan pertama terjadi peningkatan rata-rata panjang baku untuk seluruh kasus dan juga kumulatif.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinci( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan
PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP Baturraden
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kambing adalah salah satu jenis ternak penghasil daging dan susu yang sudah lama dikenal petani dan memiliki potensi sebagai komponen usaha tani yang penting
Lebih terperinciIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini yaitu catatan kadar lemak susu sapi perah FH laktasi 1
19 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Peralatan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini yaitu catatan kadar lemak susu sapi perah FH laktasi 1 dan laktasi tahun 016 dan 017 di
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
II. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan di Desa Koto Perambahan Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar Provinsi Riau, pada bulan Oktober sampai November 2014. 3.2.
Lebih terperinciPeking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.
23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan
19 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pusat Pembibitan Puyuh Penelitian ini telah dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Pusat pembibitan ini terdiri atas
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciIII MATERI DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitan ini menggunakan catatan produksi susu 305 hari dari
III MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Objek penelitan ini menggunakan catatan produksi susu 305 hari dari ternak sapi perah yang terdapat di BBPTU HPT Baturraden.
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik
21 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik Rambon Jantan dan 20 ekor Itik Cihateup Betina, 4 ekor
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba Garut merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu dilestarikan sebagai sumber
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg
TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom Bangsa Famili Subfamili Ordo Subordo Genus Spesies : Animalia : Caprini : Bovidae :Caprinae : Artiodactyla : Ruminansia : Capra : Capra sp.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,
1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Manajemen Pemeliharaan dan Pakan Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi, yang berbatasan dengan desa teras bendung di sebelah utara dan desa jeruk
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Defenisi Analisis Regresi dan Korelasi 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin
15 Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Karo pada bulan Juli 2016 Bahan dan
Lebih terperinciIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini menggunakan catatan reproduksi sapi FH impor
III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 2.1. Objek dan Peralatan Penelitian 2.1.1. Objek Penelitian Objek penelitian ini menggunakan catatan reproduksi sapi FH impor periode pertama tahun 2009. Sapi yang diamati
Lebih terperinciPENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman
Lebih terperinci2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60
BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Lokasi penelitian dilakukan di Nusantara Polo Club bertempat di kawasan
24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Tempat Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Nusantara Polo Club bertempat di kawasan Jagorawi Golf & Country Club, Jalan Karanggan Raya, Kampung Kranji
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas. Kelompok Ternak Palasidin sebagai Villa Breeding Center yang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas penghasil daging. Domba memiliki keuunggulan diantaranya yaitu memiliki daya adaptasi yang baik terhadap
Lebih terperinciPENDAHULUAN. atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda Sumba merupakan kuda poni yang kemudian diberi nama kuda Sandel atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading up) dengan kuda Arab
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada
Lebih terperinciPENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tabel.1 Data Populasi Kerbau Nasional dan Provinsi Jawa Barat Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2008
I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu jenis ternak kerja yang masih digunakan di Indonesia, walaupun saat ini telah muncul alat teknologi pembajak sawah yang modern yaitu traktor,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Keadaan Umum Balai Pengembangan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang dahulu merupakan bangsa dari jenis kuda liar, kini sudah
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu. Seiring
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda Equus caballus telah dikenal banyak orang sebagai hewan yang memiliki banyak fungsi. Hubungan kuda dengan manusia sangat erat kaitannya seperti peranan kuda sebagai
Lebih terperinciPENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak
I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.
Lebih terperinciRerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2
II. KOMPONEN VARIAN SIFAT KUANTITATIF Kuswanto, 2012 1.Statistik sifat kuantitatif Karena sifat kuantitatif akan membentuk distribusi kontinyu dari penotip, maka sifat-sifat tersebut dianalisis dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan
Lebih terperinciRipitabilitas dan MPPA Sapi Perah FH di BBPTU HPT Baturraden...Deriany Novienara
RIPITABILITAS DAN MPPA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH) YANG DIHASILKAN DARI KETURUNAN PEJANTAN IMPOR DI BBPTU HPT BATURRADEN REPEATABILITY AND MPPA 305 DAYS MILK YIELD ON CATTLE
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Itik Rambon Ternak unggas yang dapat dikatakan potensial sebagai penghasil telur selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, melihat
Lebih terperinciPOKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja
Tatap muka ke : 13 POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA Tujuan Instruksional Umum : Memberikan pengetahuan tentang penggunaan energi mekanik yang dihasilkan dari proses metabolisme
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua
6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam
Lebih terperinciBAB II METODE ANALISIS DATA. memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu model regresi.
10 BAB II METODE ANALISIS DATA 2.1 Pengertian Regresi Berganda Banyak data pengamatan yang terjadi sebagai akibat lebih dari dua variabel, yaitu memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Puyuh ( Coturnix Coturnix Japonica) Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan terus berkembang hingga ke penjuru dunia, dikenal dengan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis
TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba lokal dapat didefinisikan sebagai domba hasil perkawinan murni atau silangan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan diketahui sangat produktif
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. digunakan sebagai konsep statistik pada tahun 1877 oleh Sir Francis Galton. Dia
10 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Regresi Dalam ilmu statistika teknik yang umum digunakan untuk menganalisa hubungan antara dua variabel atau lebih adalah analisa regresi linier. Regresi pertama
Lebih terperinciRIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI
RIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI SKRIPSI VANIA DWI ASTUTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut
Lebih terperinciPENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban
TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kuda
TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) memiliki klasifikasi ilmiah yaitu kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mammalia (menyusui), ordo Perissodactylater
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station
29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada
Lebih terperinciVIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA
Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano
23 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano 4.1.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat sebelah selatan, di antara 6
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di
6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di seluruh daratan, kecuali Amerika. Awalnya puyuh merupakan ternak
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Sumba Timur terletak di antara 119 45 120 52 Bujur
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kementerian Pertanian menetapkan itik Rambon yang telah dibudidayakan dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik Tegal dengan itik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi
Lebih terperinciL a j u P e r t u m b u h a n D o m b a L o k a l 1
L a j u P e r t u m b u h a n D o m b a L o k a l 1 PERSAMAAN LAJU PERTUMBUHAN DOMBA LOKAL JANTAN DAN BETINA UMUR 1-12 BULAN YANG DITINJAU DARI PANJANG BADAN DAN TINGGI PUNDAK (Kasus Peternakan Domba Di
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan
Lebih terperinciEVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER
EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER NURGIARTININGSIH, V. M. A. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ABSTRAK Penelitian tentang potensi genetik galur murni Boer dilaksanakan di Laboratorium Lapang
Lebih terperinciPENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS)
PENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS) REPEATABILITY ESTIMATES AND MOST PROBABLE PRODUCTION ABILITY OF FRIES
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Analisis Deskriptif Tinggi Pundak dan Panjang badan dengan panjang langkah Trot kuda delman.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Deskriptif Tinggi Pundak dan Panjang badan dengan panjang langkah Trot kuda delman. Tabel 2. Hasil analisis Tinggi Pundak dan Panjang Badan dengan panjang langkah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Fase Grower Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh disilangkan
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah
24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Peranakan Etawah Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo Ruminansia, Famili Bovidae, dan Genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burns,
Lebih terperinciGambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Sapi Perah di Indonesia Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini.
Lebih terperinciIV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi
25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Tabel 2. Jumlah Kuda yang Diamati Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Lebih terperinci