BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa
|
|
- Yanti Chandra
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 45 BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA 5.1. Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa Pada zaman kerajaan sampai menjadi kabupaten, wilayah Maluku Utara memiliki 4 (Empat) KPS 1, yakni KPS Bacan, KPS Sanana, KPS Jailolo dan KPS Tobelo. Sebagimana diketahui bahwa batas KPS Tobelo dan Jailolo adalah Tanjung Tabobo Loloda. Dengan demikian maka wilayah enam desa adalah merupakan bagian dari KPS Jailolo. Sebelum PP 42 tahun 1999 di keluarkan oleh pemerintah, di era tahun 1970-an, tepatnya pada tahun 1975 di wilayah Kabupaten Maluku Utara di adakan trasmigrasi lokal, yaitu penduduk dari berapa desa di Kecamatan Makian Pulau, yakni (1. Desa Ngofakiaha; 2. Desa Ngofagita; 3. Desa Samsuma; 4. Desa Tahane; 5. Desa Matse; 6. Desa Tiowor; 7. Desa Bobawa; 8. Desa Talapao; 9. Desa Tafasoho; 10. Desa Sabale; 11. Desa Ngofabobawa; 12. Desa Malapa; 13. Desa Mailoa; 14. Desa Peleri; 15. Desa Tagono; 16. Desa Soma) yang dipindahkan ke wilayah Kecamatan Kao, sebagai akibat bahaya meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara. Perpindahan ini dilakukan secara bedol kecamatan atau mengangkat semua sarana dan prasarana baik perangkat pemerintahan maupun masyarakat untuk dipindahkan ke daratan Halmahera yang merupakan bagian dari tanah adat masyarakat Kao secara total. Sejak mendiami wilayah baru di daratan Halmahera masyarakat Makian Pulau telah menjalin hubungan baik dengan warga disekitarnya, termasuk dengan masyarakat Kao, kondisi ini terpelihara dengan baik karena diantara masyarakat sudah ada ikatan kekeluargaan akibat perkawinan yang terjalin antar komunitas. Selain itu masyarakat Makian yang terkenal dengan keuletannya dalam bekerja di sektor pertanian memanfaatkan lahan pertanian yang ada di sekitar, sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun kondisi yang sudah terjalin secara baik ini pada akhirnya harus sirna ditelan zaman akibat kepentingan 1 Kepala Pemerintahan Setempat (KPS)/Pembantu Bupati yang membawahi beberapa Kecamatan pada zaman dulu
2 46 elite politik lokal untuk kekuasaan dan penguasaan dengan mendorong sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kecamatan Malifut dan selanjutnya akan diperjuangankan menjadi Kabupaten Malifut masa depan. Selanjutnya dalam rangka pembentukan dan penataan beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara, maka Kecamatan Malifut di bentuk dengan jumlah 27 (dua puluh tujuh) desa yang berasal dari desa-desa transmigrasi lokal Kecamatan Makian Pulau, sebagian desa dari Kecamatan Kao serta sebagian desa dari Kecamatan Jailolo. Desa-desa yang merupakan desa dari Kecamatan Makian Pulau adalah, desa Ngofakiaha, Ngofagita, Samsuma, Tahane, Matse, Tiowor, Bobawa, Talapao, Tafasoho, Sabale, Ngofabobawa, Malapa, Mailoa, Peleri, Tagono dan Desa Soma. Sementara desa yang merupakan desadesa Kecamatan Kao adalah Desa Tabobo, Balisosang, Sosol/Malifut, Wangeotak dan desa Gayok. Sementara desa yang merupakan desa dari Kecamatan Jailolo adalah desa Bobane Igo, Tetewang, Pasir Putih, Akelamo Kao, Gamsungi/Ake Sahu dan Desa Dum-Dum. Dengan terbentuknya Kecamatan Malifut, maka secara otomatis penantian panjang selama kurang lebih 25 tahun tidak memiliki status penduduk yang tidak jelas pun ikut berakhir. Namun berakhirnya ketidakjelasan status masyarakat malifut dengan hadirnya PP No. 42 Tahun 1999, justru memunculkan polemik berkepanjangan, yakni penolakan masyarakat enam desa (eks. Kecamatan Jailolo) untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut. Hal yang sama pula ditunjukkan oleh masyarakat lima desa (eks. Kecamatan Kao). Penolakan ini dilakukan dengan alasan proses penggabungan wilayah enam dan lima desa tidak melalui sebuah mekanisme pemekaran dan atau penggabungan wilayah yakni jaring aspirasi masyarakat. Bahkan jauh sebelum itu, penolakan masyarakat untuk bergabung ke Kecamatan Makian Malifut sudah dilakukan dan sampai mengirimkan delegasinya untuk melakukan konsultasi ke Jakarta pada tahun 1998, namun tidak membuahkan hasil yang signifikan, melainkan pemerintah memaksakan mengeluarkan PP No. 42 tahun 1999 dengan memasukkan desa-desa yang dimaksudkan diatas.
3 47 Alasan lain dilakukannya penolakan adalah terjadi pencaplokan ganda tanah masyarakat Kao. Artinya sebagai masyarakat tempatan masyarakat Malifut harus menjadi bagian dari Kecamatan Kao dan/atau Kecamatan Jailolo, bukan menjadi wilayah otonom baru untuk menancapkan kekuasaannya di tanah yang bukan miliknya dan kemudian memerintah penduduk asli setempat. Alasan ini berkaitan erat dengan rencana menjadikan Kecamatan Malifut sebagai kabupaten di masa mendatang. Berbagai permasalahan inilah yang pada akhirnya menambah potensi skala penolakan sehingga tepatnya di penghujung tahun 1999 terjadi konflik komunal di Provinsi Maluku Utara dengan mengusir secara paksa penduduk Makian Malifut keluar dari daratan Halmahera. Karena langkah untuk meredam konflik terlambat dilakukan oleh aparat keamanan dan negara, maka konflik-pun kemudian berlanjut menjadi konflik dengan tidak lagi membawa isu teritorial melainkan isu etnis dan pada akhirnya agama. Dan tak dapat dielakkan bahwa banjir darahpun kemudian mengaliri daratan Halmahera dan seluruh pelosok desa di Jazirah Almamlakatul Mulkiyah (negeri para raja-raja) Issu Penolakan/Konflik Masyarakat Enam Desa Pelayanan Publik Dengan melakukan wawancara dan observasi lapang ditemukan berbagai data bahwa sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara, maka kedua pemerintah daerah yakni pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat membangun kesepakatan secara tertulis namun tidak dalam bentuk PERDA tentang pengelolaan wilayah enam desa. kesepakatannya adalah sebelum permasalahan tapal batas enam desa antara pemerintah daerah Kabupaten Hamahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara terselesaikan, maka pengelolaan wilayah enam desa dikendalikan sebagaimana biasa, artinya pengelolaannya tetap dipercayakan kepada kabupaten induk, yakni Kabupaten Halmahera Barat. Dengan demikian, maka segala bentuk pelayanan pemerintahan dilaksankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat.
4 48 Kondisi ini dapat dilihat pada akses pembuatan KTP oleh masyarakat di enam desa yang hampir kurang lebih 80 % (hasil wawancara) memiliki KTP domisili Kabupaten Halmahera Barat, walaupun terdapat sebagian masyarakat yang juga memiliki KTP Kabupaten Halmahera Utara, tetapi hal itu lebih karena untuk akses pelayanan kesehatan di Kabupaten Halmahera Utara dan juga bantuan-bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara melalui dana community development dari PT. NHM berupa, seng rumah, semen dan beras. Sikap dari pemerintah Kabupaten Halmahera Utara inilah yang kemudian dinyatakan membuat polarisasi pilihan masyarakat enam desa yang semula secara total berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat atau Jailolo. Sebagai manifestasi pelayanan pemerintahan di enam desa, maka pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat membangun sebuah kantor camat di Jailolo Timur dengan ibukotanya di desa Akelamo Kao, dan membangun SD, SMP dan SMA di Bobane Igo. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara yang membangun Kantor Camat Kao Teluk di Dum-Dum yang juga adalah ibukota kecamatannya. Selain itu berbagai pelayanan pemerintahan dilakukan juga oleh kedua kabupaten, diantaranya pelayanan kesehatan, pendidikan dan sarana fasilitas publik lainnya Fasilitas Kesehatan Sarana kesehatan merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk. Karena disadari begitu pentingnya aspek kesehatan, maka pemerintah pada berbagai level selalu memberi perhatian khusus pada dimensi ini. Tak terkecuali kedua pemerintah daerah, yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat di enam desa. Pelayanan dalam bidang kesehatan ini dilakukan sebagai bagian dari perwujudan keberpihakan kedua pemerintah daerah Kabupaten atas masyarakat di wilayah enam desa sengketa. Pelayanan kesehatan yang dilakukan kepada masyarakat dengan membangun berbagai sarana infrastruktur di wilayah enam desa. Realitas ini mencerminkan adanya ketimpangan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat.
5 49 Hal ini dikarenakan, Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat juga turut memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat enam desa melalui pembangunan fasilitas kesehatan. Padahal faktanya wilayah ini adalah bagian dari wilayah administratif pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sehingga alokasi dana-dana perimbangan dari pusat sudah tentu terdistribusi kepada pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Data-data dibawah memberikan penjelasan atas ketimpangan pelayanan tersebut, sebagai berikut : Tabel.5.1. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Utara, 2007 No Kecamatan Rumah Poliklinik Puskesmas Puskesmas Posyandu Sakit Pembantu 1 Tobelo Tobelo Tengah Tobelo Utara Tobelo Selatan Tobelo Timur Tobelo Barat Galela Galela Utara Galela Selatan Galela Barat Kao Kao Utara Kao Barat Kao Teluk Malifut Loloda Utara Loloda Kepulauan Morotai Selatan Morotai timur Morotai selatan Barat Morotai Utara Morotai Jaya Jumlah Sumber : Dinas Kesehatan Halmahera Utara, 2007 Penyediaan dan penyebaran fasilitas kesehatan di wilayah Kabupaten Halmahera Utara diperlukan guna menunjang pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan wilayah Kabupaten Halmahera Utara cukup luas, sehingga akses
6 50 pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah enam desa sengketa sangat jauh. Fasilitas-fasilitas tersebar dengan jumlah sarana kesehatan yang terdapat di Kabupaten Halmahera Utara adalah 10 unit puskesmas, 51 unit puskesmas pembantu, 268 unit Posyandu,3 unit poliklinik/balai pengobatan dan 2 unit rumah sakit. Fasilitas Rumah sakit terdapat 2 buah, 1 di Kecamatan Tobelo dan 1 di Kecamatan Morotai Selatan. Tabel Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat 2008 No Kecamatan Puskesmas Pustu BKIA Posyandu 1 Jailolo Jailolo Selatan Jailolo Timur Sahu Sahu Timur Ibu Utara Ibu Ibu Selatan Loloda Jumlah Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat,2008 Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa presentase keberpihakan pelayanan kesehatan di enam desa lebih tinggi dilaksankan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan banyaknya fasilitas 14 yang terbagi dari 1 puskesmas, 1 pustu dan 12 posyandu, sementara Kabupaten Halmahera Utara dengan jumlah 8 unit yang terbagi 2 puskesmas pembantu dan 6 posyandu Fasilitas Pendidikan Pendidikan merupakan sektor yang memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan. Pendidikan yang bermutu merupakan jaminan atas terbentuknya kualitas generasi mendatang yang handal dan berkualitas, sehingga mampu melaksanakan program pembangunan yang memiliki konsep dan target untuk mensejahterakan masyarakat seutuhnya. Upaya untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, maka pemerintah dituntut untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang signifikan sehingga mampu membiayai pembangunan
7 51 fasilitas pendidikan dan juga para tenaga pengajarnya, serta memberikan penguatan kapasitas para staf pengajar. Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan keberpihakan kedua pemerintah kabupaten dalam dunia pendidikan di wilayah enam desa sengketa. Tabel Jumlah Guru Kabupaten Halmahera Barat Untuk Enam Desa No Kecamatan SD MI SLTP MTs 1 Jailolo Jailolo Selatan Jailolo Timur Sahu Sahu Timur Ibu Utara Ibu Ibu Selatan Loloda Jumlah Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008 Tabel Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Halmahera Barat No Kecamatan TK SD SLTP SLTA 1 Jailolo Jailolo Selatan Jailolo Timur Sahu Sahu Timur Ibu Utara Ibu Ibu Selatan Loloda Jumlah Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008
8 52 Tabel Fasilitas Pendidikan Kab. Halmahera Utara Untuk Enam Desa No Kecamatan Jenis Fasilitas Pendidikan SD/MI SMP/MTs SMA/K/MA Poltek/PT N S N S N S N S 1 Tobelo Tobelo Tengah Tobelo Utara Tobelo Selatan Tobelo Timur Tobelo Barat Galela Galela Selatan Galela Barat Galela Utara Kao Kao Utara Kao Barat Kao Teluk Malifut Morotai Selatan Morotai Timur Morotai Selatan Brt Morotai Utara Morotai Jaya Loloda Utara Loloda Kepulauan Jumlah Sumber :Dinas Pendidikan Kab. Halmahera Utara, 2007 Ket : N = Negeri; S = Swasta Dari data diatas dapat dikatakan bahwa keberpihakan atas dunia pendidikan di enam desa lebih signifikan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Hal ini dapat dilihat dengan sebaran fasilitas pendidikan yang ada di lokasi penelitian sebagaimana secara jelas termaktub dalam data diatas.
9 Pandangan Masyarakat Enam Desa Dengan Penggabungan Wilayah Menjadi Bagian Kecamatan Malifut. Dari data lapang yang ditemukan melalui wawancara, dari 108 responden masyarakat enam desa yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian, terlihat semua responden berpandangan bahwa pemekaran dan/atau penggabungan wilayah penting dilakukan karena untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, namun harus melalui tahapan-tahapan terutama mendengarkan aspirasi masyarakat. Terlebih untuk penggabungan dan/atau pemekaran wilayah dalam lingkup enam desa. Karena dalam rangka mengantisipasi gejolak sosial yang ditimbulkan akibat pemekaran dan/atau penggabungan yang mengabaikan aspirasi masyarakat setempat. Selanjutnya dari data yang diambil melalui wawancara mendalam dengan para responden terutama dengan para tokoh perjuangan pembebasan enam desa di simpulkan bahwa dari jumlah enam desa yang berada di Kecamatan Kao Teluk dan Kecamatan Jailolo Timur, dapat diklasifikasikan bahwa 4 desa memiliki kecenderungan lebih besar bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat dan 2 desa bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Tabel dibawah ini dapat menjelaskan kondisi dimaksud. Tabel Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kedua Kabupaten Desa Perkiraan Jumlah KK Jumlah KK Yang Pro Halbar Yang Pro Halut Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao/Raya Ake Sahu/Gamsungi Dum-Dum Jumlah Total Sumber : Hasi FGD, 2009 Asumsi : setiap saat bisa berubah pilihan masyarakat enam desa ke kedua kabupaten dan cenderung memiliki data yang berbeda-beda antara yang pro dan kontra.
10 54 Dari data diatas, dibawah ini digambarkan grafik keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing kabupaten. Yang Pro Halbar Yang Pro Halut jumlah KK Nama-Nama Desa di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Gambar Enam Desa di Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara yang Mengalami Dualisme Orientasi dan Membentuk Kecamatan Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara dan Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat yang Realitas Menunujukkan Secara Fisik Masih Tetap Berada di Wilayah Kecamatan Malifut. Dari data diatas menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam pengelolaan administratif wilayah, tata kehidupan demokrasi dan politik serta pelayanan publik antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini dikarenakan wilayah enam desa secara administratif adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara, namun keberpihakan masyarakat enam desa lebih banyak ke Kabupaten Halmahera Barat. Pada sisi yang lain pelayanan pemerintahan juga dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Penolakan masyarakat enam desa sesungguhnya pada penggabungan wilayah enam desa menjadi bagian Kecamatan Malifut dengan alasan bahwa penggabungan enam desa hanyalah kepentingan elite politik lokal dan penguasaan sumberdaya alam serta alasan ikutan lainnya seperti kedekatan emosional dan harga diri serta masa depan generasi. Isu yang juga menjadi alasan kuat bagi
11 55 masyarakat enam desa dan terutama lima desa eks wilayah Kecamatan Kao yang menolak bergabung ke Kecamatan Malifut tetapi menerima bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara adalah isu atas identitas wilayah yang dianggap oleh mereka sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh pemerintah. Data diatas apabila di persentasikan maka keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing Kabupaten sebagai berikut : Gambar.5.2. Persentase Keberpihakan Masyarakat Masing-Masing Desa di Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Adapun sebaran masyarakat yang memilih untuk bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat maupun yang berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara sebagaimana data diatas dilandasi oleh berbagai alasan, namun alasan-alasan penolakan tersebut lebih dialamatkan pada keengganan masyarakat untuk tidak menjadi bagian dari Kecamatan Malifut. Alasan-alasan dimaksud diantaranya sebagai berikut : Emosional, yakni karena dibesarkan oleh Jailolo, maka ingin tetap bergabung di Kecamatan Jailolo Alasan Historis, yakni karena merupakan bagian dari Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Jailolo.
12 56 Pencaplokan ganda, yakni sebagai penduduk asli mereka telah kehilangan identitas wilayah juga kehilangan identitas harga diri. Skenario pembentukan Kabupaten Malifut, yakni adanya upaya pemerintah dengan memindahkan Kecamatan Makian Pulau ke daratan halmahera adalah merupakan langkah awal untuk selanjutnya mendirikan sebuah abupaten baru dengan nama malifut Sosio-Kultural, yakni masih kuatnya sentimen etnis dan masa depan generasi ( adanya kekhawatiran adanya hegemoni atas suku asli) Tuntutan PP No. 42 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 Selain data diatas terdapat data sekunder yang diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat tentang keberpihakan masyarakat enam desa yang berkeinginan menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, tetapi berada dalam wilayah Kecamatan Kao Teluk. Data dimaksud, sebagai berikut : Tabel Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Utara Desa Jumlah KK Laki-Laki Perempuan Jumlah Jiwa Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao Ake Sahu/Gamsungi Dum Dum Jumlah Sumber : Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2008 Data diatas menunjukkan terjadinya peningkatan keberpihakan masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbeda dengan data yang didapatkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Realitas tersebut menunjukkan terjadinya ketimpangan yang sangat signifikan, terutama dalam proses pendataan penduduk.
13 Derajat konflik dan resistensi penolakan masyarakat enam desa Penelitian yang berkaitan dengan konflik, sangat menjadi penting untuk mengkaji berbagai aspek yang dipandang menjadi variabel penentu dalam mendorong terjadinya konflik, sehingga dapat merumuskan berbagai langkah konkrit dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan pertarungan wilayah di kawasan studi. Salah satu diantaranya yang harus dikaji adalah derajat konflik itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, sehingga dapat mengetahui secara jelas variabelvariabel dari derajat konflik seperti demonstrasi, provokasi, huru-hara dan perang sudah berlangsung sejauhmana. Pada konteks, konflik perebutan wilayah enam desa yang disengketakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, derajat konfliknya meliputi aksi-aksi yang mengarah pada kekerasan, sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ekonomi, serta aspek-aspek lainnya. Sebagaimana kasus pemblokiran jalan di wilayah dum-dum yang mengakibatkan terjadinya kemandekan aktivitas masyarakat yang menuju dan keluar dari kota Tobelo ibukota Kabupaten Halmahera Utara, serta aksi pemogokan para sopir angkutan umumtobelo dengan terminal pertama di wilayah Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat berpindah ke Terminal Kota Sofifi Ibukota Provinsi Maluku Utara. Pemogokan ini diawali dengan sikap perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh sebagian sopir di sidangoli kepada para sopir angkutan umum dari tobelo cerita seorang informan-. Dimana perlakuan ini juga terkait dengan konflik perebutan wilayah enam desa antara kedua kabupaten. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes sipil masyarakat kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang dianggap tetap berjuang mempertahankan wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayahnya. Selain itu disinyalir bahwa bentuk-bentuk perlakuan tidak adil juga datang dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Dampak dari konflik perebutan wilayah atas enam desa, sesungguhnya sangat signifikan walaupun hanya berlangsung sesuai dengan momentum -. Dengan demikian, agar konflik perebutan wilayah dan penolakan warga diwilayah enam desa sengketa dapat berakhir, maka dibutuhkan solusi strategis guna
14 58 menjembatani proses penyelesaian konflik ini. Karena di khawatirkan, apabila konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak segera diselesaikan, maka akan berimplikasi secara signifikan pada aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi, politik, keamanan serta aspek sosial. Terutama pada aspek pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya pemerintah Provinsi Maluku Utara memfasilitasi kedua pemerintah kabupaten untuk membicarakan solusi penyelesaian konflik perebuatan wilayah ini, namun belum menghasilkan keputusan yang dapat menghentikan aksi-aksi penolakan masyarakat enam desa. Tabel Derajat Konflik/Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa,2009 Tahun Demonstrasi Provokasi Huru-Hara Perang 1999 Protes masyarakat enam & lima desa atas penggabungan ke Kec. Malifut Antar masyarakat Asli sendiri saling memprovokasi untuk menolak bergabung ke kec. Malifut Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (masih secara total) Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut mengalami polarisasi pilihan) Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (sudah mengalami polarisasi pilihan) Sumber : Data Primer, 2009 Antar sesama masy. Saling provokasi utk menggunakan pilihan politik pada pemilu Gubernur tahun 2007 Antar sesama masy. Saling provokasi menggunakan pilihan politik pada pemilu legislatif dan melalui dana Comdev oleh Pemda Halut Pemblokiran jalan utama menuju Tobelo (Halut) dilakukan masyarakat, sehingga terjadi ketegangan antar warga yg berdemo dengan masy, yang ke Tobelo dan keluar dari Tobelo Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan yang menetukan pilihan utk ke Halut Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan untuk ke Halut. Jarak antar TPS hanya 300 meter Suku Kao Melawan Suku Makian dan Ummat Islam Melawan ummat Kristen
15 Demonstrasi Demonstrasi masyarakat enam desa dengan tuntutan menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut telah berlangsung lama, yakni dimulai sejak adanya upaya paksa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memasukkan enam desa ke Kecamatan Malifut melalui PP No 42 Tahun 1999, gerakan ini berlangsung mulai dari tahun 1998 dan tidak hanya dilakukan dalam wilayah enam desa, melainkan aksi demonstrasi juga dilakukan di depan kantor Bupati Maluku Utara dan selanjutnya sampai ke pemerintah pusat. Namun upaya keras ini tidak membuahkan hasil yang signifikan. Walaupun demikian upaya-upaya kritis terus dilakukan oleh masyarkat enam desa untuk tetap menolak bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat setelah adanya polarisasi pilihan masyarakat -, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 2003 tentang pemekaran kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara Provokasi Permasalahan enam desa tak lepas dari upaya-upaya provokatif yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu tokoh kunci perjuangan enam desa (baca: bendahara tim perjuangan enam desa) mengatakan bahwa bentuk-bentuk provokasi yang dilakukan adalah dengan caracara memberikan bantuan ke masyarakat enam desa sebagai bentuk menarik perhatian masyarakat untuk bergabung dengan kabupaten tertentu. Kondisi ini cenderung dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan memanfaatkan dana commdev dari NHM, selanjutnya di level masyarakat terdapat tokoh-tokoh tertentu yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat, baik dengan cara-cara yang sedikit memaksa sampai pada cara-cara persuasif Huru-Hara Derajat konflik dan/atau resistensi penolakan ini juga terjadi pada wilayah enam desa. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pemisahan perkampungan yang
16 60 semula satu perkampungan atau desa kemudian harus berpisah karena perbedaan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Misalnya pada desa Akelamo Kao, telah terjadi dua perkampungan yakni masyarakat Akelamo Kao yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan desa Togosi perkampungan masyarakat yang memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Hal yang sama juga terjadi pada desa Dum-dum. Dimana sebagian masyarakat yang memilih bergabung ke Kabuapetn Halmahera Barat dan masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara pemetaan domisilinya sangat jelas. Juga yang terjadi di desa Tetewang adanya pemisahan perkampungan yang walaupun tidak berjauhan, tetapi lebih untuk memberikan kejelasan bahwa wilayah ini adalah masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halamhera Barat dan pada wilayah lainnya masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai bentuk pemisahan ini terjadi bermula dari terjadinya huru-hara, baik yang menyangkut dengan pilihan untuk bergabung maupun saat terjadi pembagian bantuan. Sehingga cara ini ditempuh guna memberikan kejelasan keberpihakan masyarakat Perang/Pemberontakan Derajat konflik dan/atau penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa terkait dengan keengganan bergabung dengan Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke kedua kabupaten ini juga berbuntut pada konflik. Halmana kondisi ini dapat dilihat pada konflik komunal yang terjadi di Provinsi Maluku Utara tahun 1999, dimana konflik terjadi akibat dari keengganan digabungkannya masyarakat lima desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Kao dan enam desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Jailolo ke Kecamatan Malifut. Bahkan dalam hasil wawancara ditemukan bahwa konflik di Provinsi Maluku Utara yang berawal dari wilayah ini telah diskenariokan. Hal ini karena dalam pertemuan para tokoh tidak diketahui dari mana saja asal para tokoh-tokoh dimaksud - di enam desa melahirkan perjanjian bahwa dari enam desa hanya empat desa yang harus dikorbankan 2 desa diantaranya akan dilindungi yakni desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dan hal ini terbukti
17 61 ketika konflik menerjang wilayah Maluku Utara kawasan utara dan barat halmahera, hampir semua perkampungan muslim diratakan dengan tanah kecuali kedua desa tersebut diatas. Skenario ini dilakukan dalam kerangka mengukuhkan kenginan masyarakat untuk tetap tidak mau bergabung dengan Kecamatan Malifut karena dianggap sebagai kecamatan yang lahir dengan membawa sebuah persoalan besar yakni konflik komunnal di Maluku Utara. Oleh karena itu, maka persoalan enam desa proses penyelesaiannya tidak mesti dengan cara cara pemaksaan karena akan menimbulkan konflik babak baru di Maluku Utara. Dapat dikatakan bahwa dengan memaksakan enam desa yang dari sisi prosentase 4 (empat) desa lebih besar masyarakatnya memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara yang secara otomatis memaksa mereka untuk mengakui untuk menjadi bagian dari desa-desa Kecamatan Malifut, maka akan sangat berpotensi untuk terjadinya gesekan dan gejolak sosial yang dapat mengantarkan pada konflik komunnal. Selain itu jika dipaksakan untuk menggabungkan dengan Kabupaten Halmahera Barat, maka hal ini akan bersentuhan dengan wibawa pemerintah yang telah memproduk 2 (dua) keputusan yakni PP No. 42 dan UU No. 1. Sehingga akan sangat sulit untuk merumuskan langkah solutifnya ditengah arogansi masingmasing pemerintah di berbagai level pemerintahan daerah dewasa ini. Dalam pada itu dibutuhkan sebuah kajian mendalam guna merumuskan sebuah kebijakan yang strategis dan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama kepentingan masyarakat di enam desa. Karena fakta lapangan menunjukkan bahwa sangat sulit memaksakan wilayah enam desa untuk bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara, karena wilayah lima desa yang notabene adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara sendiri-pun pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak mampu mempengaruhi masyarakatnya untuk bersedia bergabung dengan Kecamatan Malifut Skala Konflik Resistensi penolakan masyarakat enam desa dan konflik perebutan wilayah enam desa sudah mencapai skala konflik yang tidak sekedar konflik antar desa
18 62 saja, tetapi sudah pada level konflik desa dan kabupaten bahkan yang lebih tragis adalah konflik antar kabupaten. Hal mana konflik masyarakat dengan masyarakat dapat terlihat dengan hadirnya perkampungan baru dan juga adanya dua pemerintahan desa di masing-masing desa dalam wilayah enam desa. Pada level konflik desa (masyarakat) dan kabupaten adalah dapat dilihat pada polarisasi keberpihakan masyarakat untuk bergabung dengan kedua kabupaten. Selanjutnya konflik dalam skala kabupaten dengan kabupaten dalam hal ini konflik di level pemerintahan dapat dilihat pada ketiadaan keinginan kuat menyelesaikan permasalahan enam desa dengan landasan an-sich memikirkan kepentingan rakyat. Melainkan hal yang terjadi adalah arogansi masing-masing pemerintahan untuk tetap mempertahankan wilayah enam desa masuk menjadi bagian dari wilayahnya. Dalam mana dapat terlihat pada upaya pemerintah provinsi dalam memfasilitasi permasalahan ini, dihadiri oleh salah satu pemerintah kabupaten, maka pemrintah kabupaten lainnya tidak hadir. Dapat dikatakan (melalui hasil wawancara) bahwa konflik di level kabupaten dengan kabupaten adalah pertentangan (perebutan) sumberdaya alam pertambangan yang dikelolah oleh PT. NHM, dengan sebagian wilayah konsesinya adalah wilayah enam desa yang merupakan bagian dari teluk kao Kabupaten Halmahera Utara. Tetapi konflik ini tidak terjadi untuk konflik di level masyarakat. Sebab, konflik yang terjadi di level masyarakat merupakan konflik dengan alasan identitas wilayah yang dicaplok oleh masyarakat eks eksodus dan alasan historis maupun kedekatan emosional serta berbagai alasan lainnya seperti eks KPS Jailolo Aktor Konflik Setiap konflik atau gejolak sosial yang muncul seringkali ditimbulkan oleh tidak terakomodasinya kepentingan berbagai pihak yang berkonflik atau yang lebih dikenal dengan aktor konflik. Dalam konteks konflik wilayah enam desa aktor konflik yang dikaji dalam penelitian ini adalah masyarakat dan negara. Dengan sedikit melibatkan aktor konflik swasta secara tidak langsung (baca: perusahaan NHM). Jadi konflik wilayah antara Pemerintah Kabupaten Halmahera
19 63 Barat dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sebenarnya adalah konflik multi-level. Artinya, sebab-musabab konflik di level pemerintah daerah dan di level masyarakat, berbeda dan seringkali tidak saling berhubungan satu sama lain Negara Secara teoritik konflik memiliki aktor konflik dan dalam berbagai konflik kecederungan negara dalam menjadi aktor konflik sangat signifikan. Dalam konteks perebuatan wilayah enam desa, aktor konflik di level negara adalah pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melawan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kedua pemerintah kabupaten, baik melalui pertemuan yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara, maupun pertemuan yang diinisiasi oleh kedua kabupaten sendiri untuk proses penyelesaian permasalahan ini, namun hingga kini tak kunjung selesai. Kondisi ini kemudian memunculkan berbagai pernyataan di level masyarakat bahwa baik pemerintah provinsi maupun kedua kabupaten tidak memiliki keinginan kuat untuk segera menyelesaikan permasalahan ini, bahkan cenderung menjadikan wilayah ini (baca: enam desa) sebagai wilayah yang ditinggalkan sebagai Bom Waktu yang dalam waktu tertentu dapat meledak dan memunculkan gejolak sosial. Hingga kini belum ada satu penelitian pun yang dapat secara jelas menemukan motif inti dari permasalahan konflik kepentingan kedua kabupaten ini, tapi kecenderungan besarnya adalah eksistensi PT. NHM dengan wilayah konsensinya yang terletak di sebagian wilayah enam desa, sehingga membuat kedua pemerintah kabupaten bersikeras untuk mengambil alih pengelolaan pemerintahan wilayah tersebut. Dengan kondisi seperti diatas, maka sepatutnya segera dirumuskan sebuah langkah solusi guna mengantisipasi berbagai gejolak sosial yang ditimbulkan akibat berlarutnya penyelasaian masalah enam desa. Perumusan strategi penyelesaian konflik perebutan wilayah enam desa ini sangatlah penting, mengingat konflik di Maluku Utara yang kemudian mengakibatkan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, baik dikalangan kaum muslim maupun nasrani berawal dari konflik wilayah yang juga melibatkan enam desa didalamnya.
20 Masyarakat Masyarakat enam desa dalam kasus konflik perebuatan wilayah enam desa oleh kedua kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara adalah aktor konflik yang hanya bermain pada level tuntutan pengembalian harga diri sebagai penduduk setempat dan juga pada aspek kedekatan emosional dan historis. Karena itu dapat dilihat pada materi tuntutan masyarkat enam desa yang hanya memiliki tuntutan untuk tidak bergabung dengan Kecamatan Malifut sebagaimana yang dipaksakan melalui PP No. 42 tahun Masyarakat enam desa tidak pernah menyentuh wilayah sumberdaya alam yang di kelolah oleh PT. NHM, karena dari sisi mata pencaharian masyarakat hanya sebagian masyarakat Akelamo Kao yang menjadi buruh tambang di PT. NHM, itu pun hanya menjadi buruh liar. Upaya masyarakat atas tuntutan mereka tidak bergabung ini nampak jelas dengan tuntutan mereka pada tahun 1998 di pemerintah Kabupaten Maluku Utara dan pemerintah pusat, tahun 2004 dengan pemerintah pusat dan tahun 2007 juga dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2007 juga tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bertemu dengan tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Utara di Jakarta. Namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang maksimal, karena oleh pemerintah pusat isyu konflik tersebut dikembalikan ke daerah dengan alasan bahwa hal ini adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh pemerintah daerah yakni pemrintah Provinsi Maluku Utara. Namun hal dan perlakuan yang sama juga ditemukan oleh masyarkat enam desa ketika bertemu dengan pemerintah provinsi, dimana argumentasinya adalah nanti disampaikan ke pemerintah pusat. Alasan-alasan inilah yang pada akhirnya membuat permasalahan konflik wilayah enam desa oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara hingga detik ini belum terselesaikan dengan baik Keadaan Pasca konflik Konflik yang melanda Maluku Utara di penghujung tahun 1999, perlahan mulai mengalami situasi yang kondusif. Halmana dinamika konflik yang terjadi
21 65 dalam perebutan wilayah enam desa juga mengalami hal yang sama. Namun kondisi ini belum sepenuhnya dapat dikatakan normal, manakala perebutan wilayah ini tidak dengan segera terselesaikan secara bijaksana. Walaupun demikian, kesadaran masyarakat mulai tumbuh, bahwa konflik yang terjadi beberapa waktu lalu adalah bagian dari design elite lokal yang tak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan perang antar agama. Keraguan akan issu perang antar agama dan justifikasi bahwa konflik ini di design adalah dapat dilihat, pada kondisi 2 (dua) desa muslim yang berada di wilayah enam desa yang abai dari amukan massa. Desa yang dimaksud adalah desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dari hasil observasi lapang, ditemukan bahwa jauh sebelum konflik ini terjadi telah terjadi pertemuan beberapa elite lokal di wilayah enam desa untuk menskenariokan konflik di wilayah utara Halmahera. Pertemuan itu menemukan kesepakatan bahwa 2 (dua) desa muslim diatas akan dilindungi. Hal mana, kondisi ini diciptakan untuk membangun gugatan kolektif masyarkat bahwa dampak dari hadirnya Kecamatan Malifut melahirkan konflik di Maluku Utara, sehingga masyarakat tidak respek dan memprotes eksistensi Kecamatan Malifut. Skenario ini didasari kecurigaan adanya kecenderungan untuk membentuk Kabupaten Malifut di masa depan, sehingga oleh penduduk setempat dianggap sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh masyarakat pendatang/tempatan. Pada konteks itu, maka menjadi penting untuk dirumuskan strategi penyelesaian konflik wilayah enam desa secara segera. Karena walaupun protes dan gejolak sosial belum mencuat secara jelas letupannya masih dalam skala yang relatif kecil-, namun dapat dikatakan bahwa bukan tidak mungkin konflik sebagaiman terjadi pada penghujung tahun 1999 tidak akan terjadi kembali. Realitas itu dapat dilihat pada tingginya polarisasi masyarakat dalam menentukan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Data lapang menunjukkan bahwa dari 6 (enam) desa yang diperebutkan oleh dua kabupaten terdapat 2 (dua) desa yang sebagian masyarakatnya memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara dan 4 (empat) desa sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Bahkan dari hasil investigasi Badan Intelejen
22 66 Negara (BIN) menunjukkan bahwa 85% masyarakat memilihi ke Kabupaten Halmahera Barat dan 15 % masyarakat memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara.
BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan
74 BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH 7.1. Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan 7.1.1. Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan Pemekaran kecamatan di Kabupaten Maluku Utara, sebagaimana
Lebih terperinci8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah
90 BAB VIII ANALISIS KONFLIK DAN KEKACAUAN WILAYAH DI ENAM DESA 8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah Wilayah enam desa dalam perspektif historis merupakan
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
36 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Wilayah enam desa secara administratif berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara (Pemkab Halut). Di bagian utara, berbatasan
Lebih terperinciAnalisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara :
ISSN : 1978-4333, Vol. 04, No. 01 2 Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara : Studi Kasus Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENATAAN BEBERAPA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MALUKU UTARA DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENATAAN BEBERAPA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MALUKU UTARA DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I MALUKU PRESIDEN,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perencanaan dan Pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan dan Pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian
Lebih terperinciBAB VI SIMPULAN DAN SARAN
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa
Lebih terperinciPERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA
Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 7 Mei 2009 PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA R. Didin Kusdian 1 dan Triwidodo
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228
Lebih terperinciKONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1
KONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1 Oleh : Jembris Mou 2 Nim : 100814017 ABSTRAKSI Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang lumrah terjadi dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 januari 2001, pemekaran daerah kabupaten dan kota dan juga propinsi menjadi suatu
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN
Lebih terperinci- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG
- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN KELURAHAN SERTA PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara-negara diseluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Pentingnya
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa kerjasama
Lebih terperinciHalmahera Utara Data Agregat Per Kecamatan
Jumlah Penduduk Halmahera Halmahera Utara Data Agregat Per Kecamatan Utara berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 161.581 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 5,70 persen per tahun BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak lepas dari Konflik yang terjadi di Maluku Utara. Konflik Maluku utara telah mengakibatkan perpecahan
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami
BAB VI KESIMPULAN Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami perubahan. Pada awalnya strategi perlawanan yang dilakukan PPLP melalui tindakan kolektif tanpa kekerasan (nonviolent).
Lebih terperinci2008, No Mengingat : 1. c. bahwa pembentukan Kabupaten Pulau Morotai bertujuan untuk meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.190, 2008 PEMERINTAH DAERAH. Wilayah. Provinsi Maluku Utara. Kabupaten/Kota. Pulau Morotai. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4937)
Lebih terperinciKEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 08 TAHUN 2000 TENTANG KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KEPALA BADAN
Lebih terperinciBAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. IV.1. Letak Geografis Dan Batas Wilayah Administratif. sedangkan waktu tempuh menuju ibukota kabupaten sekitar 10
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN IV.1. Letak Geografis Dan Batas Wilayah Administratif Secara administratif Desa Gufasa termasuk dalam Wilayah Kecamatan Jailolo, kabupaten halmahera barat, dengan jarak
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. menyuarakan penolakannya. Penolakan yang didasari atas kearifan lokal terhadap
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Kemenangan yang diraih masyarakat kontra semen terhadap PT. Semen Gresik, tidak terlepas dari peran penting masyarakat Sedulur Sikep dalam menyuarakan penolakannya. Penolakan
Lebih terperinciMEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN
Lebih terperinciBAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada
BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada Proses peralihan kepemilikan lahan kosong terjadi sejak akhir 2004 dan selesai pada tahun 2005, dan sejak
Lebih terperinciBab Tiga Belas Kesimpulan
Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan aktor yang menarik dalam pemerintahan, menarik dalam hal status, fungsi, dan koordinasi partai terhadap aktor-aktor lainnya. Peran partai
Lebih terperinciyang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan
Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam fungsi pelayanan publik, yaitu fungsi pelayanan masyarakat (public service function),
Lebih terperinciBab 3 METODE PENELITIAN
Bab 3 METODE PENELITIAN Pengantar Bab ini lebih banyak menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dan penjelasan tentang proses penelitian yang telah dilakukan. Lokasi Penelitian Kabupaten Halmahera
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciPemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun
Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam
1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Mereka bersih seperti kertas putih ketika
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN ALOR
PEMERINTAH KABUPATEN ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang: a. bahwa untuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan
16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa
Lebih terperinciOLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA
OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA GAMBARAN UMUM PERKEBUNAN MALUKU UTARA Mencermati kondisi geografis Maluku Utara yang merupakan daerah kepulauan dengan berbagai keragaman potensi perkebunan pada setiap daerah,
Lebih terperinciEXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
EXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan investasi yang dilakukan pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan
Lebih terperinciBUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran
Lebih terperinciBAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak ada masyarakat yang tidak berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Tidak jarang dalam perubahan tersebut terdapat nilai yang ditransformasikan. Bahkan, seiring
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang ditempuh oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciLAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 08 TAHUN 2000 TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 08 TAHUN 2000 TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000 KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
Lebih terperinciBAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah
BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah Kabupaten Nagekeo dalam pembangunan saluran irigasi Mbay kiri dipicu oleh masalah ketidakadilan
Lebih terperinciKabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011
DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten
Lebih terperinciLEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N
PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 1 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DATA 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penilitian Sejarah Desa Bale Luas, Batas dan Topografi Wilayah
BAB IV ANALISIS DATA 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penilitian 4.1.1 Sejarah Desa Bale Desa Bale terletak diwilayah timur Indonesia tepatnya di wilayah Maluku Utara. Pada tahun 1800an kesultanan ternate berkunjung
Lebih terperinciPERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001
PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228 dan
Lebih terperinciV. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Kementerian melaksanakan kebijakan
156 V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Kementerian melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO
PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciLampiran: Pengumuman Nomor: 145/PP.08-PU/1503/KPU-Kab/III/2018 Tentang Pendaftaran Kursus SIngkat Kepemiluan (Election Shortcourse)
Lampiran: Pengumuman Nomor: 145/PP.08-PU/1503/KPU-Kab/III/2018 Tentang Pendaftaran Kursus SIngkat Kepemiluan (Election Shortcourse) PETUNJUK PELAKSANAAN KEGIATAN KURSUS SINGKAT KEPEMILUAN (ELECTION SHORTCOURSES)
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LAHAT
PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa
Lebih terperinci2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA ATAU KELURAHAN, PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DAN PEMEKARAN KELURAHAN MENJADI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu pulau yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 88 TAHUN 2000 TENTANG KEADAAN DARURAT SIPIL DI PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PRESIDEN
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepariwisataan, bagi Sumatera Barat, merupakan sektor andalan dalam pembangunan ekonomi daerah di masa datang.
Lebih terperinciBIAYA PANJAR PERKARA NO RADIUS KECAMATAN NAMA DESA KETERANGAN. dari satu orang WARI Rp ,- pada alamat yang MKCM Rp. 65.
Lampiran : Surat Keputusan Bersama ( Ketua Pengadilan Negeri Tobelo dan Ketua Pengadilan Agama Morotai di Tobelo) Nomor : W28-U4/ 29 /HK.02/ I /2017 dan W29-A4/ 100 /HK.05 / I /2017 Tanggal : 09 Januari
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciBAB V POLA KOMUNIKASI ANTARA FORUM JURNALIS SALATIGA DENGAN PEMERINTAH KOTA SALATIGA Pola Komunikasi FJS dan Pemerintah Kota Salatiga
BAB V POLA KOMUNIKASI ANTARA FORUM JURNALIS SALATIGA DENGAN PEMERINTAH KOTA SALATIGA 5. 1. Pola Komunikasi FJS dan Pemerintah Kota Salatiga Kebebasan Pers secara subtansif tidak saja dijadikan indikator
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari permasalahan konflik dalam
Lebih terperinciBUPATI MAMUJU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MAMUJU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMUJU UTARA, Menimbang : a. bahwa Desa merupakan entitas
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LINGGA
PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN BUPATI LINGGA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Republik Indonesia adalah sebuah negara yang besar dengan luas sekitar 2/3 bagian (5,8 juta Km 2 ) adalah lautan, dan sekitar 1/3 bagian (2,8 juta km 2 ) adalah daratan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik (Kornblurn,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. satu pemicu konflik. Sebelum Yaman Unifikasi mereka terbelah menjadi dua
BAB V KESIMPULAN Yaman merupakan sebuah negara yang terletak di jazirah arab dengan segala sumberdayanya yang melimpah. Namun hal itu tidak dapat membuat Yaman menjadi negara maju, bahkan melah menjadikan
Lebih terperinciBAB V PENYAJIAN DATA. 5.1 Strategi Komunikasi Tokoh Rekonsiliasi dalam menjaga stabilitas keamanan di Halmahera Utara
BAB V PENYAJIAN DATA 5.1 Strategi Komunikasi Tokoh Rekonsiliasi dalam menjaga stabilitas keamanan di Halmahera Utara Responden Persuasif Edukatif Adat Responden 1 1. Sesudah 1. PEMDA (Bupati Halut) Konflik,Hein
Lebih terperinciPenguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik
Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinci