8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah"

Transkripsi

1 90 BAB VIII ANALISIS KONFLIK DAN KEKACAUAN WILAYAH DI ENAM DESA 8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah Wilayah enam desa dalam perspektif historis merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo yang merupakan raja Halmahera, namun wilayah ini kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Dimana dalam Jalil (2009), dijelaskan bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore pada masa kejayaannya menguasai kerajaan-kerajaan mini di Moloku Kie Raha. Kesultanan Ternate dan Tidore juga dikenal sangat berhasrat untuk melakukan ekspansi atas wilayah kekuasaannya. Upaya ekspansi ini didasari karena harga diri dan penguasaan atas sumberdaya alam, sehingga tetap mempertahankan eksistensinya. Secara sosial, masyarakat enam desa memiliki kedekatan hubungan emosional dengan masyarakat Jailolo (di wilayah Kabupaten Halmahera Barat), sehingga saat penggabungan mereka ke dalam wilayah Kecamatan Malifut yang nota-bene sebagian besar masyarakatnya berasal dari Kecamatan Makian Pulau memunculkan ketersinggungan nilai-nilai budaya. Ketersinggungan ini terjadi karena masyarakat Makian Pulau yang dalam sejarahnya merupakan Kerajaan Makian yang kemudian berpindah ke bacan dan menjadi Kerajaan Bacan. Selain itu, masyarakat Makian juga merupakan salah satu etnis non-austronesia atau etnis yang tidak termasuk dalam 9 (sembilan) etnis yang mendiami wilayah pulau Halmahera, sehingga penggabungan masyarakat enam desa menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut (Kabupaten Halmahera Utara), merupakan pencaplokan atas harga diri dan identitas wilayah masyarakat yang telah mereka tempati sejak lama. Secara budaya, sebenarnya masyarakat di enam desa masih memiliki kedekatan nilai-nilai kebudayaan dengan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara, karena realitas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di wilayah enam desa adalah masyarakat etnis Tobelo Boeng dan Kao Pagu selain

2 91 masyarakat Tobaru dan pendatang lainnya. Dari sisi kedekatan emosional masyarakat enam desa lebih dekat dengan masyarakat Jailolo, tetapi harus disadari bahwa batas administrasi wilayah tidak akan membatasi batas budaya, karena itu, tidak menjadi signifikan konflik perebutan wilayah oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara ini harus terjadi. Hal ini ditegaskan oleh seorang informan, sebagai berikut: Menurut, JB (50 tahun)., bahwa secara admnistratif wilayah enam desa dalam pendekatan historis adalah ex. Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Jailolo, namun dengan keluarnya PP No. 42 tahun 1999, maka wilayah enam desa menjadi bagian dalam wilayah Kecamatan Malifut, dengan demikian, wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayah administrtaif Kabupaten Halmahera Utara. Ditinjau dari aspek kebudayaan sebagain besar masyarakat di enam desa secara budaya, masih memiliki kedekatan nilai budaya di beberapa wilayah Kabupaten Halmahera Utara, karena sebagian besar penduduk di enam desa adalah masyarkat yang berasala dari suku Pagu dan Tobelo, selain suku Gorap dan Tobaru serta suku pendatang lainnya. Selain itu, bahwa masyarakat enam desa memiliki hubungan kedekatan emosional dengan Jailolo tidak dapat dipungkiri, hal itu karena masyarakat diwilayah ini sangat lama berhubungan dengan masyarakat di Jailolo saat masih menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Jailolo. Sehingga kalaupun terdapat keinginan bahwa masyarakat enam desa lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat ataupun sebaliknya, sesungguhnya tidak harus menjadi permasalahan signifikan. Akan tetapi harus disadari bahwa batas admnistratif tidak akan dapat membatasi batas budaya, karena nilai budaya akan menembus ruang dan waktu. Sehingga untuk konteks konflik perebutan wilayah enam desa, hanya dibutuhkan niat baik dari semua komponen terutama Pemerintah Provinsi untuk dapat segera menyelesaikan permasalahan ini Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Wilayah enam desa dengan dualisme status kewilayahan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, yaitu tambang emas. Wilayah konsesi PT. NHM yang juga meliputi sebagian wilayah enam desa sehingga sebagian masyarakat Maluku Utara menganggap bahwa konflik perebutan wilayah ini karena adanya sumberdaya alam yang di kelolah PT. NHM di kawasan ini. Namun argumentasi ini dibantah oleh masyarakat di wilayah enam desa sebagai berikut : 1. Penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung ke dalam wilayah Kecamatan Malifut dan kemudian ke Kabupaten Halmahera Utara adalah bukan persoalan penguasaan sumberdaya alam, terutama tambang emas. Persoalaan penguasaan sumberdaya hanya terjadi pada level pemerintah

3 92 daerah masing-masing karena untuk kepentingan pendapatan daerah. Di level masyarakat, penolakan terjadi karena menyangkut harga diri dan identitas wilayah yang ingin digabungkan dengan wilayah yang sejak awal telah dilakukan penolakan. Hal ini dinyatakan oleh seorang informan sebagai berikut: Menurut, MA (29 Tahun).., penolakan masyarakat enam desa, terutama pada masyarakat di Bobane Igo adalah penolakan yang berlangsung secara alamiah. Karena sejak awal ketika pembentukan Kecamatan Malifut melalui PP No. 42 Tahun 1999 penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat enam desa, namun penolakan ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, sehingga yang terjadi seperti saat ini. Mengaitkan penolakan masyarakat enam desa dengan kepentingan sumber daya alam sangat sulit, karena penolakan ini sudah berlangsung sejak lama. Kalaupun kepentingan SDA itu ada, maka hanya pada konteks antara Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. 2. Di wilayah Kecamatan Malifut, telah beroperasi sejak lama sebuah perusahaan tambang emas (PT.NHM), dengan wilayah konsesi meliputi wilayah enam desa. Sebagaimana lazimnya sebuah perusahaan yang harus membayar royalti kepada pemerintah daerah, maka sebagai pemilik wilayah yang legitimate pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang menerima dana royalti tersebut. Tetapi pada faktanya sejak berdirinya kabupaten, wilayah enam desa pelayanan pemerintahan dan publik dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Hal inilah yang juga turut menjadi alasan kuat bagi masyarakat enam desa melakukan penolakan bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Bahwa terdapat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara di wilayah enam desa adalah benar adanya, namun pelayanan ini berlangsung setelah pelayanan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat sudah dilaksanakan. Hal ini dijelaskan oleh informan sebagai berikut: Menurut, Zulkifli (32 tahun). Konflik perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara sesungguhnya adalah konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam yang dikelolah oleh salah satu perusahaan tambang emas (PT. Nusa Halmahera Minerals), yang eksistensinya berada dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara dengan wilayah konsesinya meliputi wilayah enam desa sengketa.bahwa terdapat issue tentang identitas wilayah dan lainnya, semua itu hanyalah issue ikutan dari kepentingan utama konflik perebutan wilayah enam desa tersebut.konflik perebutan wilayah ini juga terkait dengan perebutan royalty dari pihak PT. NHM untuk meningkatkan pendapatan dari daerah yang selama ini diperolah oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara sebagai pemilik wilayah eksplorasi tambang emas.

4 93 3. Secara subtantif penolakan masyarakat enam desa yang sesungguhnya bukan pada aspek penguasaan sumberdaya alam, juga bukan pada posisi enam desa dalam wilayah pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, namun penolakan itu lebih pada keengganan masyarakat enam desa untuk bergabung dalam wilayah Kecamatan Malifut. Penolakan ini menjadi meningkat saat keluarnya Undang- Undang No. 1 Tahun 2003 dengan posisi Kecamatan Malifut sebagai bagian dari Kabupaten Halmahera Utara yang secara otomatis wilayah enam desa menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini dijelaskan oleh informan sebagai berikut: Menurut, CU (49 Tahun), penolakan masyarakat enam desa sesungguhnya adalah menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut sebagai issue awal, penolakan bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara adalah merupakan penolakan dimana wilayah Kecamatan Malifut digabungkan dengan Kabupaten Halmahera Utara, sehingga secara otomatis wilayah enam desa yang secara administrative merupakan wilayah Kecamatan Malifut juga harus berada dalam wilayah administrasi pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Karenanya, konflik perebutan wilayah ini tidak akan terjadi, manakala enam desa tetap berada dalam wilayah Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, sebagaimana pada eksistensi awalnya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat lebih pada alasan menjembatani keinginan dan aspirasi masyarakat enam desa yang tetap berkeinginan diberikan pelayanan pemerintah oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Jika pada akhirnya kisruh atas enam desa ini berakhir dengan tetap berada dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara, pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dengan ikhlas melepaskan wilayah ini, tapi apakah masyarakat tidak lagi memprotes persoalan penggabungan wilayah enam desa ini? 4. Penolakan warga enam desa dikonstruksi karena berkaitan dengan sumber pembiayaan daerah dari usaha pertambangan PT. (NHM). dalam hal ini PT NHM/kawasan tambang emas itu di kehendaki oleh kedua pemerintah kabupaten, yakni pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara untuk dimiliki salah satu dari kedua kabupaten tersebut. Agar proses akuisisi kawasan itu terlihat berlangsung lancar, maka digunakan justifikasi konflik sosial berupa penolakan masyarakat di enam desa ke kedua kabupaten. Hal ini dinyatakan oleh seorang informan sebagai berikut: Menurut, ZA (54 tahun).penolakan warga enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara pada awalnya adalah keinginan masyarakat enam desa secara alamiah, namun bergabungnnya sebagian masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara adalah konstruksi elite, salah satunya melalui dan Community Development dari PT.NHM melalui Pemerintah Daerah

5 94 Kabupaten Halmahera Utara. Kalaupun terdapat konflik perebutan wilayah atas enam desa oleh Kabuapten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara yang menyangkut dengan sumberdaya alam, sebagaimana issue yang menjadi konsumsi masyarakat terdidik (Intelektual),maka hal tersebut hanya terjadi pada konflik Negara versus Negara dan bukan pada konflik masyarakat versus masyarakat Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Administrasi Wilayah Keluarnya PP No. 42 Tahun 1999 dengan menggabungkan enam desa wilayah Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Barat ke dalam wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Maluku Utara dan kemudian menjadi wilayah Kabupaten Halmahera Utara menyebabkan berbagai permasalahan kemudian terjadi, diantaranya sebagai berikut : 1. Penolakan warga enam desa yang berada di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara untuk menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara menyebabkan terjadinya identitas kependudukan ganda dari warga, yakni warga/penduduk setempat memiliki KTP dari Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. KTP Kabupaten Halmahera Barat diperoleh, karena Kabupaten Halmahera Barat mengklaim bahwa kawasan itu adalah bagian dari wilayahnya. Klaim ini dikarenakan, pemerintah Kabupaten Halmahera Barat menganggap bahwa secara historis wilayah enam desa yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara adalah bagian dari KPS ( Kepala Pemerintahan Setempat Jailolo). Selain itu, KTP diberikan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan alasan karena menjembatani aspirasi masyarakat enam desa yang tetap ingin menjadi bagian dan berkeinginan mendapatkan pelayanan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. 2. KTP Kabupaten Halmahera Utara diperoleh warga, karena secara peraturan, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara adalah pemerintah daerah yang legitimate menurut PP No. 42 Tahun 1999 yang menggabungkan wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut, dimana warga di enam desa sudah sejak awal menolak untuk bergabung, serta Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 yang memasukkan wilayah Kecamatan Malifut sebagai

6 95 bagian dari wilayah administratif Kabupaten Halmahera Utara. Sehingga secara otomatis enam desa kemudian sah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara. 3. Kepemilikan dua KTP oleh masyarakat enam desa juga mengakibatkan terjadinya double penyaluran aspirasi politik masyarakat enam desa, dimana sebagian masyarakat enam desa sebagaimana data keberpihakan politik diatas menunjukkan bahwa terdapat pilihan politik masyarakat enam desa di dua kabupaten pada tahun 2007 saat pemilihan Gubernur dan kondisi yang sama terjadi pada tahun 2009 saat pemilhan legislative dan pemilihan presiden. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan tata kehidupan politik dan demokrasi. Karena daftar pemilih dengan jumlah jiwa pilih mengalami pembengkakan, sebab secara politik tidak mungkin dihitung dengan pembagian berapa jumlah pemilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan berapa jumlah pemilih ke Kabupaten Halmahera Utara dari jiwa pilih tersebut. Sebagaimana data menunjukkan bahwa yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan 699 yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara. Melainkan jumlah pemilih yang sama digunakan oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara, sehingga dipastikan terjadi peningkatan jumlah jiwa pilih di wilayah enam desa pada setiap momentum politik lokal. Konsekuensi logis atas permasalahan yang menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan administrasi wilayah tersebut, maka mengakibatkan terjadinya kekacauan tata kehidupan demokrasi dan politik, karena seseorang dihitung ganda (memiliki dua suara) untuk Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat sekalipun warga hanya menggunakan hak suaranya hanya sekali pada/untuk satu TPS. 4. Pelayanan publik dilakukan oleh kedua kabupaten secara bersama-sama. Fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana ibadah dan infrastruktur lainnya (pembangunan fisik), bahkan fasilitas pelayanan pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa juga pembangunannya dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten. Sehingga yang terjadi adalah terdapat dualisme penguasaan wilayah yang terjadi di wilayah enam desa sengketa. Realitas menunjukkan

7 96 bahwa wilayah enam desa memiliki dua pusat pemerintahan, yakni Kantor Camat Kao Teluk dan Jailolo Timur. Pada tingkat desa juga terjadi hal yang sama, yakni setiap desa memiliki dua kepala desa yang mewakili masingmasing kabupaten Pemekaran dan Penggabungan Wilayah Enam Desa Menimbulkan Konflik Sosial. Realitas menunjukkan bahwa pemekaran dan penggabungan wilayah beberapa desa termasuk didalamnya adalah enam desa untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut pada akhirnya menimbulkan konflik sosial pada tahun Konflik ini bermula karena perebutan batas wilayah antara masyarakat kao (penduduk asli) dengan masyarakat makian (penduduk eksodus dari Pulau Makian). Perebutan batas wilayah ini dikarenakan beberapa desa digabungkan secara paksa oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara masih kabupaten) untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut. Akibat konflik perebutan wilayah yang tidak mendapat respon penyelesaian secara signifikan dari pemerintah daerah, maka konflik kemudian meningkat menjadi konflik antar etnis, yakni antara etnis Kao dan etnis Makian. Konflik kemudian berlanjut dengan issu agama, pada konflik dengan issu agama banyak jatuh korban akibat terjadinya perang berdarah pada penghujung tahun 1999 di Maluku Utara. (Data jumlah korban akibat konflik Horizontal tidak ditemukan) Kontroversi Pembentukan Kecamatan Malifut Pembentukan Kecamatan Malifut sesungguhnya berawal dari adanya trasmigrasi lokal masyarakat makian pulau akibat kebijakan bedol pulau Kecamatan Makian Pulau yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara pada Tahun 1975 dengan alasan ancaman gunung berapi Kie Besi (nama gunung Makian). Sebagaimana diketahui oleh sebagian besar masyarakat Maluku Utara bahwa program transmigrasi lokal ini dilaksanakan dengan cara-cara pemaksaan. Dalam mana masyarakat dipaksa naik ke kapal dengan todongan senjata dari aparat negara. Kondisi ini terjadi dikarenakan masyarakat Kecamatan

8 97 Makian Pulau sudah sejak awal menolak untuk dipindahkan dari tanah asal mereka di pulau makian ke daratah halmahera bagian utara yang belakangan menjadi Kabupaten Halmahera Utara. Selanjutnya, akibat cara-cara pemaksaan yang dilakukan oleh aparat negara (baca: pemerintah dan militer), maka masyarakat Kecamatan Makian Pulau pun kemudian di pindahkan secara total ke wilayah pe tuan an adat Kao Kecamatan Kao Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Utara. Sebagaimana lazimnya hubungan silaturrahmi antar sesama manusia, pada awalnya masyarakatk Kao dan Makian Pulau hidup rukun dan damai karena mereka diterima dengan baik oleh penduduk asli (suku Kao). Namun hubungan baik ini mengalami keretakan akibat munculnya gagasan untuk menjadikan wilayah tempatan masyarakat makian pulau sebagai sebuah kecamatan baru pada tahun Munculnya ide ini diakibatkan oleh tidak adanya kejelasan status kependudukan masyarakat makian pulau setelah dipindahkan ke daratan halmahera bagian utara pada tahun 1975 hingga Karena dengan kepindahan masyarakat Kecamatan Makian Pulau, maka bersamaan dengan itu Kecamatan Makian Pulau dinyatakan sebagai pulau tertutup/kosong. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa keinginan untuk membentuk Kecamatan Makian Malifut pada Tahun 1999 sudah sejak awal telah mendapat penolakan yang sangat kuat dari masyarakat, terutama masyarakat enam desa (eks Kecamatan Jailolo) dan lima desa (eks Kecamatan Kao) yang akan digabungkan sebagai bagian dari Kecamatan Makian Malifut. Namun penolakan ini sekali lagi tidak mendapat tanggapan yang signifikan dari pemerintah Kabupaten Maluku Utara, sehingga pada akhirnya melahirkan konflik sosial di penghujung tahun 1999 dengan berbagai alasan dan issu. Penolakan penggabungan wilayah enam desa dan lima desa oleh masyarakatnya tersebut pada awalnya berlangsung secara alamiah karena dengan alasan emosional dan historis serta alasan ikutan lainnya seperti dibesarkan oleh Kecamatan Jailolo oleh enam desa dan lima desa yang dibesarkan oleh Kecamatan Kao. Namun dalam perjalanannya, masyarakat di enam desa yang semula

9 98 menolak secara total bergabung dengan Kecamatan Malifut dan secara otomatis dengan Kabupaten Halmahera Utara, ternyata sebagian masyarakatnya belakangan memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Namun bergabungannya mereka ke Kabupaten Halmahera Utara tidak berada didalam wilayah atau sebagai bagian dari Kecamatan Malifut melainkan menjadi bagian dalam wilayah Kecamatan Kao Teluk sebuah kecamatan yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara setelah timbulnya kontroversi kepemilikan wilayah enam desa, sama halnya juga dengan Kecamatan Jailolo Timur yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat-. Keberpihakan sebagian masyarakat enam desa yang semula menolak bergabung, namun pada akhirnya ingin bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara disinyalir akibat dari iming-iming dana community development yang disiapkan atau diberikan oleh salah satu perusahaan asing besar PT. NHM ke Kabupaten Halmahera Utara Penolakan Masyarakat Enam Desa Yang di Klaim Sebagai Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Fakta menujukkan bahwa komunitas masyarakat yang berada di teluk kao, terdiri dari komunitas suku Tobelo (berada di desa Tetewang, Pasir Putih dan sebagian di Bobane Igo, sedangkan sebagian sisanya adalah masyarakat Bobane Igo yang berasal dari suku Gorap dan Makian). Komunitas suku Tobaru (berada di desa Akelamo Kao dan sebagian lagi berada di desa Tabobo dan Dum Dum Pantai), sedangkan Dum Dum Barat dan Akesahu/Gamsungi adalah komunitas suku Pagu (Kecamatan Kao). Sampai saat ini setiap acara adat, masyarakat yang ada di teluk kao tetap melaksanakan acaranya secara bersama sama dengan komunitas masyarakat suku pagu kao, tobelo boeng yang berada di wilayah Kecamatan Kao dan Tobelo. Dengan demikian maka wilayah dari desa Bobane Igo sampai Desa Dum Dum adalah wilayah adat Tobelo dan Galela/Tobaru atau dikenal dengan masyarakat Hibualamo yang berada di teluk kao. Walaupun demikian, sejak awal masyarakat enam desa secara emosional dan historis memiliki kedekatan dengan masyarakat Jailolo. Hal ini dikarenakan,

10 99 bahwa masyarakat dan wilayah enam desa adalah bagian dari KPS ( Kepala Pemerintahan Setempat) Jailolo. Sehingga pelayanan pemerintahan selama ini dilakukan oleh Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Masyarakat pesisir pantai teluk kao sebagaimana dikemukakan di atas, bukanlah sebuah masyarakat yang homogen secara sosial dan budaya. Mereka hidup di dalam keragaman etnik dan dengan demikian budaya. Masyarakat di kawasan ini terdiri atas orang Makian dan orang Kao serta diselingi etnik-etnik lainnya di Maluku Utara. Desa-desa di pesisir Kecamatan Kao Teluk dan/atau Kecamatan Jailolo Timur sekurangnya terdapat tiga bahasa yang digunakan oleh setiap warga tempatan sebagai bahasa pendukung, yaitu bahasa Tobelo, bahasa Modole, dan bahasa Makian. Sementara dari segi agama yang dianut adalah agama Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Dari sisi spatial wilayah atau geografis, masyarakat enam desa memiliki kedekatan interaksi spatial yang lebih dekat dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Barat di Jailolo apabila dibandingkan dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Utara di Tobelo. Bahkan sangat dekat jika dibandingkan dengan Ibukota Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini pada akhirnya mendorong mobilitas masyarakat di wilayah enam desa lebih banyak melalui Kota Sofifi. Untuk memberikan penjelasan atas hal tersebut, di bawah ini digambarkan tabel tentang waktu tempuh dari wilayah enam desa menuju beberapa kota, sebagai berikut : Tabel Waktu Tempuh Beberapa Kota ke Wilayah Enam Desa Desa Kota Ternate Ibukota Halbar (Jailolo) Ibukota Halut (Tobelo) Kota Sofifi (Ibukota Prov. Malut) Pasir Putih ± 1 ½ jam ± 2 jam ± 3 ½ jam ± 1 jam Bobane Igo ± 1 ½ jam ± 2 jam ± 3 ½ jam ± 1 jam Tetewang ± 2 jam ± 2 jam ± 3 ½ jam ± 1 jam Akelamo Kao/Raya ± 3 jam ± 2 ½ jam ± 3 jam ± 2 jam Gamsungi/Ake Sahu ± 3½ jam ± 2 ½ jam ± 3 jam ± 2 jam Dum-Dum ± 3½ jam ± 2 ½ jam ± 3 jam ± 2 jam Sumber : Data Primer

11 100 Dari data diatas dapat dikatakan bahwa secara realitas jarak interaksi spatial masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara lebih jauh bilamana dibandingkan dengan interaksi secara spatial masyarakat ke Kabupaten Halmahera Barat. Namun jika dibandingkan interaksi spatial masyarakat enam desa ke kedua kabupaten dengan Kota Sofifi ( Ibukota Provinsi Maluku Utara), maka lebih dekat interaksinya ke Kota Sofifi. Kondisi ini diasumsikan waktu tempuh dalam keadaan normal dengan menggunakan transportasi darat (mobil) dan transportasi laut (speedboat). Transportasi laut hanya untuk interaksi dari/dan dengan Kota Ternate. Dengan demikian, agar realistis diharapkan sebaiknya enam desa bergabung dan/atau digabungkan dengan Kota Sofifi ( tidak ke Halmahera Barat maupun ke Halmahera Utara). Realitas juga menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi atau mobilitas transaksi ekonomi, baik dalam memasarkan hasil-hasil sumberdaya alam maupun pemenuhan kebutuhan sumber bahan makanan pokok, masyarakat enam desa lebih banyak melakukan transaksi ekonomi di Kota Ternate. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan transportasi menuju Ternate lancar dengan biaya yang relatif terjangkau serta berbagai kebutuhan yang diiperlukan dapat dipenuhi. Dalam perspektif ekonomi wilayah, suatu daerah akan mengalami kemajuan bila terjadinya interaksi secara spatial yang signifikan dengan daerah sentral. Dengan lain perkataan, suatu daerah hinterland akan mengalami keberimbangan pembangunan antar wilayah, bilamana akses ke wilayah sentral hinterland mengalami peningkatan yang signifikan. Sementara dari sisi politik, masyarakat enam desa secara politik melakukan dan menentukakan sikap politiknya ke Kabupaten Halmahera Barat. Fakta ini tidak dapat dipungkiri, dalam mana dapat dilihat pada keberpihakan masyarakat enam desa pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2004 yang secara total menjadi bagian dari pemilih Kabupaten Halmahera Barat. Selanjutnya realitas juga menunjukkan bahwa pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2007 masyarakat enam desa melakukan hal yang sama yakni sebagian besar masyarakat masih tetap menjadi pemilih di Kabupaten Halmahera Barat, walaupun sebagiannya sudah menentukkan sikap

12 101 politiknya ke Kabupaten Halmahera Utara. Kondisi ini terus berlanjut hingga pada pemilihan legislatif pada tahun 2009, dimana masyarakat enam desa masih terpola keberadaan sikap politiknya, sehingga di wilayah enam desa terjadi pembagian dua TPS, yakni TPS untuk masyarakat yang memilih sebagai pemilih di Kabupaten Halmahera Barat dan TPS untuk Pemilih yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan kekacauan demokrasi yang sangat signifikan Dampak Pemekaran Wilayah Yang Sarat Dengan Konflik Sosial Realitas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah seringkali membawa akibat yang sangat signifikan. Akibat yang turut menghiasi pemekaran wilayah adalah konflik wilayah, bahkan dapat mengakibatkan konflik sosial. Salah satu daerah yang mengalami pemekaran dan/atau penggabungan wilayah dengan berakhir konflik sosial adalah pemekaran dan penggabungan wilayah lima dan enam desa di Provinsi Maluku Utara. Konflik ini terjadi karena masyarakat menganggap prosesnya tidak secara sistematis dan mengabaikan aspirasi masyarakat setempat. Beberapa hal yang juga mewarnai dinamika pemekaran wilayah adalah sebagai berikut : Identitas Wilayah Yang Hilang Sebagai konsekuensi dari lahirnya PP Nomor 42 tahun 1999, maka secara otomatis masyarakat Kecamatan Makian Pulau yang menunggu waktu kuranglebih 25 tahun pada akhirnya memiliki status kewargaan yang jelas. Namun dengan kehadiran Kecamatan Malifut, pada sisi yang lain di pandang oleh masyarakat di wilayah enam desa sebagai bentuk pencaplokan atas tanah miliknya yang sudah sejak lama ditempati dibawah wilayah pemerintah Kecamatan Jailolo. Sehingga mengakibatkan masyarakat enam desa melakukan protes, protes ini berlangsung karena eksistensi Kecamatan Malifut yang turut menggabungkan enam desa sebagai bagian dari kecamatan baru tersebut. Dalam pandangan masyarakat, bahwa sebagai penduduk asli dan yang memiliki wilayah adat, upaya menggabungkan mereka dalam Kecamatan Malifut

13 102 adalah sebuah pencerabutan nilai identitas mereka. Dengan demikian pemaksaan PP nomor 42 tahun 1999 dianggap tidak representatif, karena tidak mendengarkan aspirasi mereka. Karena itu, pemerintah diharapkan untuk melepaskan arogansinya untuk segera menyelesaikan sengketa wilayah ini, sehingga konflik yang terjadi di wilayah ini dapat dengan segera berakhir. Jika tidak, dapat dipastikan tuntutan atas hak tanah adat yang telah dicaplok akan terus dilakukan oleh masyarakat di wilayah enam desa dan lima desa. Dan bukan tidak mungkin akan mengantarkan pada konflik sosial yang jauh lebih besar. Hal ini dikarenakan masyarakat malifut adalah merupakan salah satu etnis terbesar di wilayah provinsi Maluku Utara Kekacauan Administrasi Wilayah Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dengan kehadiran Kecamatan Malifut yang melibatkan enam desa kedalam wilayahnya, maka sejalan dengan itu muncul berbagai permasalahan dalam pengelolaan administrasi wilayah. Hal ini dikarenakan, masyarakat enam desa sesuai PP Nomor 42 Tahun 1999 adalah bagian dari wilayah Kecamatan Malifut menolak untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut, yang selanjutnya bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Hal lainnya enam desa adalah bagian wilayah Kecamatan Malifut dan selanjutnya Kabupaten Halmahera Utara, namun pelayanan pemerintahan selama ini lebih dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Sebagaimana terlihat dalam pelayanan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan sarana pendukung pelayanan pemerintahan lainnya. Hal lainnya adalah pelayanan dalam bentuk pembuatan KTP (3000 blanko KTP), pengurusan akte kelahiran (3000 blanko akte kelahiran), dan masyarakat enam desa pun menerima jatah beras raskin dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Hal lainnya adalah, bantuan untuk pembangunan gereja di desa dum-dum. Selain karena alasan kesepakatan antara kedua kabupaten, pelayanan pemerintahan ini dilaksanakan karena aspirasi masyarakat sangat kuat untuk bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat, sehingga pemerintah Kabupaten Halmahera barat mengganggap penting untuk melakukan pelayanan. Bahkan dalam (MP, 27 Maret

14 ), Bupati Halmahera Barat mengatakan jika permasalahan enam desa tidak mengalami titik temu, maka dipersilahkan warga enam desa untuk memilih bergabung ke kabupaten mana antar dua kabupaten dimaksud. Dengan realitas ini, maka selanjutnya terjadi kekacauan pengelolaan administrasi pemerintahan. Dalam mana antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara menyepakati bahwa sebelum terselesaikannya masalah enam desa, maka pengelolaan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat, walaupun undang-undang mengisyaratkan bahwa wilayah ini adalah bagian dari kabuapaten Halmahera Utara. Namun sampai saat ini konflik perebutan wilayah antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara atas enam desa belum juga kunjung terselesaikan. Selanjutnya dengan tidak jelasnya proses penyelesaian permasalahan enam desa, maka dengan dasar arogansi masing-masing pemerintah daerah, maka dilahirkan PERDA masing-masing pemerintahan untuk pembentukan kecamatan. Ironi-nya, kecamatan yang dibentuk memiliki desa-desa yang sama. Sebagaimana terlihat jelas pada Kecamatan Jailolo Timur dengan Ibukota Kecamatan di desa Akelamo Kao (raya) dengan desa-desanya adalah enam desa dan Kecamatan Kao Teluk dengan desa-desanya adalah 5 (lima) desa Kecamatan Malifut dan enam desa eks. Kecamatan Jailolo. Tentunya, dengan kondisi ini pada akhirnya membuat ketimpangan pengelolaan wilayah yang sangat luar biasa, namun tragisnya belum ada respon yang signifikan atas penyelsaian sengketa wilayah ini, baik oleh pemerintah Provinsi Maluku Utara maupun pemerintah pusat. Berbagai spekulasi yang dialamatkan atas lambanya proses penyelesaian sengketa wilayah ini. Namun satu hal yang mencuat adalah kesulitannya pemrintah Provinsi Maluku Utara merumuskan strategi penyelesaian masalah ini. Hal ini dikarenakan begitu kompleksnya permasalahn ikutan dalam kasus perebutan wilayah ini. Diantaranya, telah terpolarisasinya pilihan masyarakat sebelumnya seluruh masyarakat enam desa berkeinginan bergabung ke Halbar -, akibat telah ada skenario dari masing-,masing pemerintah daerah, misalnya pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan iming-iming dana community

15 104 development yang memberikan bantuan SENG dan SEMEN, sementara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan cara meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di enam desa. Hal lainnya adalah adanya arogansi pemerintah daerah untuk mempertahankan eksistensi PP nomor 42 tahun 1999 dan Undangundang Nomor 1 tahun 2003 yang secara jelas telah ditolak oleh masyarakat enam desa dengan penggabungan mereka ke dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Alasan terakhir yang disebutkan itu tentunya sangat dipahami. Karena jika pemerintah Provinsi Maluku Utara berkeinginan untuk menggabungkan masyarakat enam desa ke dalam wilayah Kabupaten Halmahera Barat, maka jauh sebelumnya telah dilakukan, yakni sejak masyarakat belum mengalami polarisasi pilihan. Namun pada sisi yang lain, jika tetap memaksakan enam desa kedalam wilayah malifut dan selanjutnya menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, maka dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial baru. Asumsi yang digunakan adalah konflik di Maluku Utara tahun 1999 terjadi berawal dari konflik wilayah atau batas wilayah antara suku kao dan makian yang juga melibatkan wilayah enam desa yang diperebutkan hari ini Kekacauan Demokrasi dan Tata Kehidupan Politik Wilayah enam desa dalam berbagai momentum politik lokal, baik itu ditingkat kabupaten dalam konteks pemilihan bupati dan pemilihan anggota legislative, maupun di level provinsi, baik yang menyangkut pemilihan gubernur ataupun anggota legislatif selalu memunculkan permasalahan atas status pemilih masyarakat enam desa. Dalam mana masing-masing daerah mengklaim bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih pada Kabupaten Halmahera Barat, sementara pemerintah Kabupaten Halmahera Utara juga mengklaim bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih untuk wilayahnya. Kedua kabupaten ini memperebutkan pemilih enam desa dengan alasannya masing-masing. Baik alasan administratif maupun alasan keinginan masyarakat itu sendiri. Kasus pemilihan bupati dan wakil bupati pada tahun 2004 lalu, dimana masyarakat enam desa dimasukkan oleh KPUD sebagai pemilih untuk Kabupaten

16 105 Halmahera Barat, sekalipun pada faktanya wilayah enam desa adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Pada tahun 2004, aspirasi masyarakat enam desa secara total tersalurkan pada pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Halmahera Barat. Namun kondisi ini berubah ketika pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2007 serta pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009, dimana KPUD Kabupaten Halmahera Utara juga bersikeras bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih pada kabupaten Halmahera Utara. Polemik ini berakhir dengan penentuan 2 (dua) TPS di masing-masing desa, yakni 1 (satu) TPS untuk masyarakat yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara dan 1 (satu) TPS yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat. Jarak antar TPS hanya 300 meter, sehingga dengan kondisi ini sangat rentan atas terjadinya konflik antar masyarakat. Sebagai fakta bahwa masyarakat enam desa yang merupakan wilayah Kabupaten Halmahera Utara juga menjadi pemilih di Kabupaten Halmahera Barat adalah dengan data pada pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Tahun 2007 sebagai berikut : Tabel.8.2. Data keberpihakan masyarakat enam Desa berdasarkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2007 Pemerintahan yang di Jumlah Penduduk Inginkan No Nama Desa Jmlh Jmlh Hak L P KK Jiwa Pilih Halbar Halut Abstain 1 Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao Akesahu Dum-Dum Jumlah Sumber ; KODIM 1501/ Ternate Dengan realitas yang terjadi, maka berbagai pelanggaran atas demokarasi dan kehidupan berpolitik di level lokal sangat tidak sehat. Dalam mana, dapat dilihat dengan fenomena ini, dipastikan bahwa akan terjadi over jumlah jiwa pemilih di wilayah enam desa. Dimana diasumsikan, masyarakat enam desa yang

17 106 hanya memiliki pemilih sebesar 5-6 ribu jumlah jiwa pilih akan membengkak menjadi jumlah jiwa pilih. Karena tentunya akan terdistribusi sesuai jumlah pemilih yang terdapat pada DPT untuk Kabupaten Halmahera Utara dan jumlah yang sama juga untuk Kabupaten Halmahera Barat. Karena telah terjadi pembengkakan suara yang legal. Sungguh sebuah pelanggaran atas demokrasi Kekacauan Rentang Kendali Salah satu hakikat dari pemekaran dan/atau penggabungan wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Sehingga dalam kerangka mendorong ide dan gagasan pemekaran/penggabungan wilayah seyogyanya mempertimbangkan berbagai aspek. Salah satu diantaranya adalah aspek rentang kendali. Dari data yang ditemukan melalui wawancara mendalam disebabkan data riil tentang jarak belum tetrsedia penggabungan enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan konsekuensi keluarnya PP 42 tentang pembentukan Kecamatan Malifut dengan menggabungkan wilayah enam desa didalamnya dapat dikatakan sangat mengabaikan aspek rentang kendali, sehingga alasan ini juga yang kemudian mencuat ke permukaan dengan adanya resistensi penolakan untuk bergabung.

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan 74 BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH 7.1. Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan 7.1.1. Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan Pemekaran kecamatan di Kabupaten Maluku Utara, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 36 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Wilayah enam desa secara administratif berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara (Pemkab Halut). Di bagian utara, berbatasan

Lebih terperinci

BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa

BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa 45 BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA 5.1. Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa Pada zaman kerajaan sampai menjadi kabupaten, wilayah Maluku Utara memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi

Lebih terperinci

Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara :

Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara : ISSN : 1978-4333, Vol. 04, No. 01 2 Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara : Studi Kasus Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN

Lebih terperinci

KONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1

KONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1 KONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 1 Oleh : Jembris Mou 2 Nim : 100814017 ABSTRAKSI Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang lumrah terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan dan Pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan dan Pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan dan Pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah

Lebih terperinci

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 7 Mei 2009 PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA R. Didin Kusdian 1 dan Triwidodo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara-negara diseluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Pentingnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa

Lebih terperinci

Bab 3 METODE PENELITIAN

Bab 3 METODE PENELITIAN Bab 3 METODE PENELITIAN Pengantar Bab ini lebih banyak menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dan penjelasan tentang proses penelitian yang telah dilakukan. Lokasi Penelitian Kabupaten Halmahera

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA, PEMBENTUKAN DESA DARI WILAYAH KELURAHAN DAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sejak munculnya suatu aturan yang mengatur tentang kebijakan otonomi suatu daerah khususnya Indonesia, cenderung menyebabkan maraknya daerahdaerah melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1. Deskripsi Kabupaten Halmahera Selatan. Administratif dan Kondisi Fisik

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1. Deskripsi Kabupaten Halmahera Selatan. Administratif dan Kondisi Fisik BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN IV.1. Deskripsi Kabupaten Halmahera Selatan IV.1.1. Letak Geografis Kabupaten Halmahera Selatan Administratif dan Kondisi Fisik Secara geografis Kabupaten Halmahera Selatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan Propinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 11 TAHUN 1999 (11/1999) TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 11 TAHUN 1999 (11/1999) TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 11 TAHUN 1999 (11/1999) TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TERNATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PULAU MOROTAI DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGHAPUSAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGHAPUSAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGHAPUSAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan peruntukannya, demikian juga halnya dengan daerah Kota Batam. Berdasarkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. dan peruntukannya, demikian juga halnya dengan daerah Kota Batam. Berdasarkan Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sehubungan dengan pemberlakuan otonomi daerah saat ini, maka di berbagai daerah diberi kesempatan untuk melakukan pemekaran dan perluasan wilayah sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II HALMAHERA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II HALMAHERA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II HALMAHERA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan politik suatu negara, negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA

ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA ( STUDI KASUS : KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA BARAT DAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA TENTANG ENAM DESA ) AZIZ HASYIM SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (UU No. 32 tahun 2004) dengan persyaratan wilayah tersebut memiliki. penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. (UU No. 32 tahun 2004) dengan persyaratan wilayah tersebut memiliki. penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan 1 1.1. Latar Belakang Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Perubahan paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik dan otonomi daerah, hal ini mendorong pemekaran wilayah dan pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI GROBOGAN, Menimbang

Lebih terperinci

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEMEKARAN (TERBENTUKNYA) KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEMEKARAN (TERBENTUKNYA) KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEMEKARAN (TERBENTUKNYA) KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS Studi Kasus pada Kabupaten Kepulauan Anambas Propinsi Kepulauan Riau Disusun oleh: Nama : Henderiyana NIM

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan kasus konversi agama di Bukitsari maka dapat disimpulkan bahwa beberapa kepala keluarga (KK) di daerah tersebut dinyatakan benar melakukan pindah agama

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENATAAN BEBERAPA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MALUKU UTARA DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENATAAN BEBERAPA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MALUKU UTARA DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I MALUKU PRESIDEN,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT KEPUTUSAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 28 TAHUN 2002 T E N T A N G PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penilitian Sejarah Desa Bale Luas, Batas dan Topografi Wilayah

BAB IV ANALISIS DATA 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penilitian Sejarah Desa Bale Luas, Batas dan Topografi Wilayah BAB IV ANALISIS DATA 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penilitian 4.1.1 Sejarah Desa Bale Desa Bale terletak diwilayah timur Indonesia tepatnya di wilayah Maluku Utara. Pada tahun 1800an kesultanan ternate berkunjung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN DESA ELFANUN KECAMATAN PULAU GEBE KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN DESA ELFANUN KECAMATAN PULAU GEBE KABUPATEN HALMAHERA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN DESA ELFANUN KECAMATAN PULAU GEBE KABUPATEN HALMAHERA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HALMAHERA

Lebih terperinci

K E P E N D U D U K A N

K E P E N D U D U K A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG K E P E N D U D U K A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk kelancaran, ketertiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih dimana mereka tinggal dan tersebar diberbagai pulau-pulau di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. lebih dimana mereka tinggal dan tersebar diberbagai pulau-pulau di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang lebih dimana mereka

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak bulan Juni 2005 pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual

BAB III METODE PENELITIAN. dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam catatan sejarah maupun tidak, baik yang diberitakan oleh media masa maupun yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara

BAB I PENDAHULUAN. Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Transmigrasi merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengambil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Transmigrasi merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengambil BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Transmigrasi Transmigrasi merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengambil keputusan, guna tercapainya keseimbangan penyebaran penduduk, memperluas kesempatan kerja,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan pesatnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN, KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : 08 TAHUN 2000 TENTANG KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, tercatat beberapa daerah yang memiliki otonomi khusus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU www. luwukpos.blogspot.co.id I. PENDAHULUAN Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2001. Pada hakekatnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 16 TAHUN 2009 TLD NO : 15

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 16 TAHUN 2009 TLD NO : 15 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 16 TAHUN 2009 TLD NO : 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN RETRIBUSI PENGGANTIAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik I n d

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara universal (tanpa dipandang suku, etnis, stratifikasi sosial maupun agamanya) merupakan salah satu makhluk Tuhan yang paling sempurna di muka bumi

Lebih terperinci

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang

Lebih terperinci

OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA

OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA GAMBARAN UMUM PERKEBUNAN MALUKU UTARA Mencermati kondisi geografis Maluku Utara yang merupakan daerah kepulauan dengan berbagai keragaman potensi perkebunan pada setiap daerah,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA

HASIL PENELITIAN ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA Fitriani S. Rajabessy 1, Rieneke L.E. Sela 2 & Faizah Mastutie 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. IV.1. Letak Geografis Dan Batas Wilayah Administratif. sedangkan waktu tempuh menuju ibukota kabupaten sekitar 10

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. IV.1. Letak Geografis Dan Batas Wilayah Administratif. sedangkan waktu tempuh menuju ibukota kabupaten sekitar 10 BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN IV.1. Letak Geografis Dan Batas Wilayah Administratif Secara administratif Desa Gufasa termasuk dalam Wilayah Kecamatan Jailolo, kabupaten halmahera barat, dengan jarak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara dan Gereja dalam hal subjeknya mempunyai kesamaan yakni warganegara (Sulasmono, 2010:17). Hal ini sejalan dengan pendapat Darmaputera (1994:16) yang menyatakan

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA Nama : M. Akbar Aditya Kelas : X DGB SMK GRAFIKA DESA PUTERA Kerukunan Antar Umat Beragama. Indonesia adalah salah satu negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BATANG

PEMERINTAH KABUPATEN BATANG PEMERINTAH KABUPATEN BATANG PERATURAN DAERAH KABUPAT EN BAT ANG NOMOR 11 TAHUN 2008 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 7 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah

EXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah EXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring

Lebih terperinci