Perubahan Kecepatan Pertumbuhan Larva Lalat Chrysomya sp. pada Bangkai Tikus yang Mengandung Berbagai Kadar Morfin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Perubahan Kecepatan Pertumbuhan Larva Lalat Chrysomya sp. pada Bangkai Tikus yang Mengandung Berbagai Kadar Morfin"

Transkripsi

1 Perubahan Kecepatan Pertumbuhan Larva Lalat Chrysomya sp. pada Bangkai Tikus yang Mengandung Berbagai Kadar Bayu Primahatmaja*, Teguh W Sardjono**, Ngesti Lestari*** ABSTRAK Penentuan waktu minimum sejak kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur larva lalat pada jenazah. Pertumbuhan larva lalat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk iklim, geografi, dan obat-obatan yang terkandung di tubuh jenazah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek berbagai dosis morfin terhadap pertumbuhan larva Chrysomya sp. Sampel penelitian adalah 4 ekor tikus (Rattus norvegicus) yang masing-masing diinjeksi dengan 5 mg, 10 mg, dan 20 mg morfin secara intraperitoneal serta 1 tikus sebagai kontrol. Dua jam kemudian keempat tikus dimatikan dengan cara membiusnya terlebih dulu dengan kloroform. Dinding perut tikus dibuka pada posisi terlentang dan organ dalamnya dibuka kemudian dimasukkan ke dalam kandang pertama yang berisi 120 ekor lalat Chrysomya sp. agar lalat meletakkan telurnya pada bangkai tikus tersebut. Setelah 12 jam bangkai tikus dikeluarkan dari kandang pertama dan dimasukkan ke dalam empat kandang lain yang terpisah. Lima larva diambil dari masingmasing perlakuan dan diukur panjang, keliling, dan berat tubuhnya setiap 12 jam, yaitu pagi (p) dan sore (s) hingga menjadi pupa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang maksimum larva lalat pada bangkai tikus yang mengandung morfin 5 mg, 10 mg, 20 mg dan kontrol masing-masing dicapai pada H6p, H4s, H4s, dan H5p. Keliling maksimal dicapai pada H5p, H4s, H5p dan H5p, berat maksimal dicapai pada H5s, H4s, H4s dan H4s. Sementara larva lalat menjadi pupa pada H6s, H6p, H5p dan H6p. Pengaruh paling nyata didapat pada dosis 20 mg (ANOVA, p < 0,05), yang mempercepat proses larva menjadi pupa. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan larva lalat Chrysomya sp. menjadi lebih cepat pada morfin dosis tinggi, sebaliknya akan timbul perlambatan pada morfin dosis rendah. Kata kunci : Larva Chrysomya sp.,, PMI (post mortem inteval). Changes in Growth Rate of Blow Flies (Chrysomya sp.) Larvae on Rats Carcasses Containing Morphine ABSTRACT The minimum post mortem interval can be determined by information about age of larvae on a corpse. However, it can be affected by climates, geographic, and drugs contained in the corpse. This study was to find out the effect of morphine on growth rate of blow flies (Chrysomya sp). Four rats (Rattus norvegicus) were injected with 5 mg, 10 mg, and 20 mg morphine intraperitoneally as a model and one rat as a control. Two hours later, all rats were simultaneously killed using chloroform and the abdominal was dissected on the supine position. The viscera were exposed out, then they were put into a cage containing 120 blow flies (Chrysomya sp.) to let the flies laying their eggs on the rat carcasses equally. After 12 hours, the caracasses were taken out and splitted into four separated cages. Then, five larvae were taken in the morning (p) and evening (s) from each cages to determine the length, circumference, weight and day of pupariation. The maximum length of larvae on carcasses containing morphine 5 mg, 10 mg, 20 mg and control were achieved on D6p, D4s, D4s, and D5p, respectively. Maximum circumference were achieved on D5p, D4s, D5p and D5p. Maximum weight of each group were reached on the D5s, D4s, D4s and D4s. The day of pupariation were achieved at D6s, D6p, D5p and D6p. The effect of morphine dosage is shown at 20 mg treatment (ANOVA, p < 0,05) that accelerate pupariation. It can be concluded that high dose of morphine can accelerate growth rate of blow flies (Chrysomya sp.) but slowing down at small dose of morphine. Keywords: Chrysomya sp. larvae, PMI (post mortem inteval), Morphine. * Program Studi Pendidikan Dokter, FKUB ** Lab Parasitologi, FKUB ***Lab Ilmu Kedokteran Forensik, RSSA-FKUB 190

2 PENDAHULUAN adalah opioid terpenting dalam keluarga opium yang ditemukan pada lebih dari 10 persen opium. 1 Selain khasiat analgetiknya yang kuat, morfin juga memiliki pengaruh di sistem saraf pusat lainnya yang berdasarkan supresi, sedatif, hipnotis, euphoria, penekanan refleks pernafasan dan batuk. Efek morfin yang menstimulasi sistem saraf pusat antara lain: miosis, eksitasi dan konvulsi. Pada sebagian pengguna morfin jangka panjang, ditemukan gejala ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Ketergantungan psikis terjadi akibat kebutuhan akan efek psikotropik, berupa euphoria, yang menjadi sangat kuat. Ketergantungan ini membuat proses penghentian obat sukar dilakukan dan dalam beberapa kasus membawa penderita pada kematian. 2 Kematian-kematian yang terjadi karena morfin merupakan salah satu kematian yang tidak wajar yang wajib diselidiki. Hal ini berdasarkan UU Kesehatan No. 36/2009 pasal 119 tentang bedah mayat untuk menegakkan diagnosis penyebab kematian. Pada kasus-kasus seperti ini penentuan post mortem interval (PMI) menjadi penting. Post mortem interval (PMI) adalah waktu sejak kematian terjadi pada seorang manusia ataupun hewan sampai dilakukannya pemeriksaan. Untuk penyelidikan mengenai PMI ini diperlukan ilmu forensik. Dalam dunia forensik, berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan saat kematian jenazah, antara lain dengan menentukan umur larva lalat yang terdapat pada jenazah. Salah satu prosedur tetap dalam pemeriksaan jenazah adalah dengan mengirimedia kulturan larva serangga yang ditemukan ke laboratorium parasitologi untuk mengetahui berapa umur larva sebagai penunjang dalam perkiraan waktu kematian. 3 Perkembangan larva lalat dipengaruhi oleh makanan baik saat stadium larva maupun saat dewasa, suhu lingkungan, panas yang dihasilkan dari pergerakan larva, kontaminan (racun) dan kelembaban. 4,5 Pengaruh morfin terhadap larva lalat berbeda-beda. Pertumbuhan larva lalat Calliphora vicina dan Lucilia sericata diperlambat oleh morfin, sedangkan pertumbuhan larva Boettcherisca peregrina menjadi lebih besar secara signifikan, 6 sebaliknya pertumbuhan larva lalat Calliphora stygia menunjukkan tidak ada pengaruh bermakna pada panjang dan keliling larva lalat yang diukur. 7 Penelitian yang dilakukan pada larva Musca domestica dan Sarcophaga sp. menunjukan bahwa larva yang diberi makan bangkai tikus dengan kandungan morfin dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan control. 8 Belum ada penelitian yang membahas pengaruh dosis terhadap pertumbuhan larva lalat. Penelitian kali ini akan mempergunakan larva lalat Chrysomya sp. karena larva lalat ini adalah jenis lalat yang paling banyak ditemukan pada segala jenis tempat kematian dan lingkungan hidupnya yang bervariasi seperti pegunungan, hutan, desa dan kota. Pada kasus-kasus forensik di Malang, ternyata penemuan larva serangga mengerucut pada empat spesies dari ordo Diptera, terutama spesies yang dapat menimbulkan myasis yaitu Chrysomya, Lucillia, Musca, dan Sarcophaga. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu pemecahan masalah dalam bidang kedokteran forensik terutama dalam mengusut kematian akibat penggunaan morfin. Pada penelitian ini akan digunakan bangkai tikus Rattus novergicus strain Wistar sebagai media tumbuh lalat Chrysomya sp. yang dianalogikan sebagai jenazah manusia yang mengalami kematian akibat over dosis morfin. 191

3 BAHAN DAN METODE Desain Penelitian Penelititan ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium, membandingkan perbedaan pengaruh berbagai dosis kandungan morfin pada media tumbuh berupa bangkai tikus (Rattus novergicus) strain Wistar terhadap panjang, lebar, berat, dan durasi pertumbuhan larva lalat Chrysomya sp. Definisi Operasional 1. Lalat Chrysomya sp. disebut juga blow fly, dengan ciri-ciri: kepala berbentuk oval, antena berbulu pada kedua sisi, bagian mulut disebut probobscis tipe sponging. Lalat berwarna hijau metalik, vertexnya berwarna kuning atau orange, dengan squama berbulu dan pada bagian posterior thoraksnya tidak banyak bristle. Lalat untuk penelitian ini ditangkap di lingkungan Universitas Brawijaya. 2. Media tumbuh yang dipakai adalah berupa bangkai tikus (Rattus novergicus) strain Wistar yang mempunyai berat ratarata 230 g. - Media 1 adalah bangkai tikus strain Wistar tanpa kandungan morfin, dibunuh dengan dibius dengan kloroform. - Media 2 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 5 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius dengan menggunakan kloroform. - Media 3 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 10 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius menggunakan kloroform. - Media 4 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 20 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius menggunakan kloroform. 3. Larva lalat - Diukur panjang dan kelilingnya dengan menggunakan penggaris dalam keadaan mati. - Ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan analitik dalam keadaan mati. - Larva lalat berwarna putih, bentuk lebih mirip kerucut daripada sosis. Tubuh larva ini terdiri dari 12 segmen dan antara segmen dibatasi dengan duri-duri kecil melingkar. Pada ujung posterior dari larva tersebut terdapat cekungan yang dalam dengan satu pasang spirakel posterior yang berbentuk khas untuk setiap spesies. Mulutnya terletak pada ujung anterior dan terdapat kait untuk menempel pada daging mayat. Kait juga digunakan untuk berpindah tempat, bergerak degan memanjangkan dan memendekkan segmen tubuh karena tidak memiliki kaki. Alur Kerja Penelitian Persiapan Lalat Chrysomya sp. ditangkap di lingkungan Universitas Brawijaya sebanyak 120 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam 1 buah kandang yang telah disediakan. Selama aklimatisasi, lalat diberi nutrisi larutan glukosa. Lalu, empat ekor tikus dengan berat rata-rata mg ditempatkan pada kandang yang sama dan diberi makan yang sama selama 3 hari untuk menyamakan media bangkai tikus yang akan digunakan nanti. Selanjutnya, menyiapkan kloroform sebagai alat untuk membius dan mematikan tikus. Persiapan Tikus Keempat tikus diberi tanda dengan spidol marker pada bagian tubuhnya untuk membedakannya. Masing-masing tikus diinjeksi sesuai dengan dosis perlakuannya. Setelah proses injeksi selesai, ditunggu selama 1 jam dan dianggap selama itu 192

4 morfin sudah terdistribusi sempurna ke seluruh tubuh. Setelah itu, semua tikus dibunuh dengan menggunakan kloroform. Kemudian semua bangkai tikus tersebut dibuat irisan pada garis tengah tubuh bagian ventral sepanjang leher sampai dekat anus sampai tampak organ dalam tubuh tikus dan dimasukkan dalam kandang yang sudah berisi lalat tadi. Kandang tersebut diletakkan dalam ruangan dimana suhunya berkisar antara 23 o C 26 o C. Setelah 24 jam, tikus dikeluarkan dari kandang yang berisi lalat dan dimasukan ke kandang masing-masing HASIL Hasil Pengukuran Panjang Tubuh Larva untuk mencegah lalat yang baru untuk masuk. Perlakuan Pada penelitian ini, berat rata-rata tikus adalah 230 mg. Pemeriksaan dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul dan sore hari pada pukul WIB. Diambil 5 larva dengan ukuran terbesar, diukur panjangnya dan kelilingnya, berat larva ditimbang, dan dicatat waktu pengambilannya. Larva yang tersisa dibiarkan hidup hingga stadium pupa dan menjadi lalat dewasa. Tabel 1. Rerata panjang tubuh larva lalat Chrysomya sp. pada setiap kelompok perlakuan Panjang (mm) + 1 SD Hari Ke- Kontrol 5 mg (p) 10 mg (p) 20 mg (p) 1p *) *) *) *) 1s *) *) 1,83 + 0,76 *) 2p 3,16 + 0,32 3,16 + 0,32 (1,00) 4,2 + 0,45 (0,015) 4,00 + 0,71 (0,57) 2s 4,00 2,00 (0,00) 4,6 + 0,55 (0,00) 4,2 + 0,45 (0,00) 3p 5,7 + 0, ,35 (0,00) 5,8 + 0,84 (0,990) 8,7 + 0,45 (0,00) 3s 9,6 + 0,34 4,3 + 0,45 (0,00) 9 + 0,71 (0,697) 9 + 0,71 (0,697) 4p 14,7 + 0,45 5,2 + 0,84 (0,00) 14,2 + 1,79 (0,874) 16,6 + 0,55 (0,05) 4s 14,8 + 2,59 5,6 + 0,82 (0,00) 17,4 + 0,89 (0,052)**) 18,2 + 0,45 (0,009)**) 5p 17,2+ 0,27**) 12,7 + 1,56 (0,00) 10,4 + 0,54 (0,014) 10,25 + 1,5 (0,00) ***) 5s ,00 12,8 + 1,09 13, p 8,2 + 0,84***) 13,3 + 0,71**) 9,1 + 0,55***) - 6s ,94***) - - Keterangan: p = pagi; s = sore; p = Perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) panjang maksimum untuk masing-masing dosis; ***) sudah menjadi pupa p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Kontrol 5 mg 10 mg 20 mg Gambar 1. Rerata panjang tubuh larva pada setiap kelompok perlakuan 193

5 Dari Gambar 1 dan Tabel 1, didapatkan data bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai panjang maksimal rata-rata 17,2 mm pada hari ke-5 pagi. Saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore, memiliki panjang rata-rata 8,2 mm. Kemudian menjadi rata-rata sepanjang 8,2 mm saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 13,3 mm pada hari ke-6 pagi. Ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa adalah sepanjang 8 mm pada hari ke-6 sore. Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 17,4 mm pada hari ke-4 pagi. Ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa adalah sepanjang 9,1 mm pada hari ke-6 pagi. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan rata-rata panjang maksimum 18,2 mm pada hari ke-4 sore dan menjadi pupa pada hari ke-5 pagi dengan panjang rata-rata 10,25 mm. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada data panjang tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok. Perbedaan yang bermakna (p < 0,05) mulai terlihat pada hari ke-2 sore. Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan 2 (morfin 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) hanya pada 2s, 3p, 3s, 4p, 4s, dan 5p. Perlakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 2p, 2s dan 5p. Perbedaan panjang perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) tercatat pada hari 2s, 3p, 4s dan 5p. Hasil Pengukuran Keliling Tubuh Larva Tabel 2 Rerata keliling tubuh larva lalat Chrysomya sp. pada setiap kelompok perlakuan Hari Keliling (mm) + 1 SD ke- Kontrol 5 mg (p) 10 mg (p) 20 mg (p) 1p *) *) *) *) 1s *) *) 0,52 + 0,18 *) 2p 2,89 + 0,34 2,89 + 0,34 (1,00) 3,77 + 0,86 (1,00) 3,14 (1,00) 2s 3,45 + 0,70 2,83 + 0,70 (0,556) 3,77 + 0,86 (0,908) 3,45 + 0,70 (1,00) 3p 3,27 + 0,28 3,45 + 0,70 (0,996) 5,34 + 2,63 (0,118) 6,28 (0,015) 3s 7,85 3,14 (0,00) 8,16 + 0,70 (0,509) 6,28 (0,00) 4p 8,16 + 0,70 3,14 (0,00) 9,11 + 1,31 (0,305) 10,68 + 0,70 (0,00) 4s 10,68 + 1,72 3,77 + 0,86 (0,00) 11,93 + 1,4 (0,482) **) 10,68 + 1,31 (1,00) 5p 12,25 + 1,72**) 9,73 + 1,31 (0,168) **) 6,91 + 1,40 (0,002) 13,34 + 2,72 (0,801) **)***) 5s 11,62 + 0,86 9,11 + 0,70 6,28 6p 8,79 + 1,40 ***) 8,83 + 0,89 3, ***) 6s 8,79 + 1,79 ***) Keterangan : p = pagi; s = sore; p = perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) keliling maksimum untuk masing-masing dosis; ***) sudah menjadi pupa 194

6 p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Kontrol 1/25mg 1 10mg 2 20mg Gambar 2. Rerata panjang tubuh larva pada setiap kelompok perlakuan Dari Gambar 2 dan Tabel 2, dapat diketahui bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai keliling maksimal rata-rata 12,25 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 pagi (6p), memiliki keliling 8,79 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan hasil bahwa keliling maksimal rata-rata yang dapat dicapai larva adalah 9,73 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Kemudian menjadi rata-rata 8,79 mm saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore (6s). Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan capaian maksimal rata-rata keliling tubuh larva sebesar 11,93 mm pada hari ke-4 sore (4s) dengan ukuran rata-rata keliling yang tercatat pada pupa 3,14 mm pada hari ke-6 pagi (6p). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan rata-rata keliling maksimum 18,2 mm pada hari ke-4 pagi (4p) dan menjadi 5mg pupa pada hari ke-5 pagi (5p) dengan keliling rata-rata 10,25 mm. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada data keliling tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok. Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan hasil dengan perbedaan antara perlakuan 2 (morfn 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) hanya pada 3s, 4p dan 4s. Pelakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 5p. Perbedaan perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) hanya tercatat pada hari 3p, 4p dan 4s. Hasil Pengukuran Berat Tubuh Larva Hari Ke- Tabel 3. Rerata pengukuran berat tubuh pada setiap kelompok perlakuan Kontrol 5 mg (p) Berat (mm) + 1 SD 10 mg (p) 20 mg (p) 1p 1s 0,0011 2p 1,04 +0,207 1,04 + 0,207 (1,00) 1,28 + 0,37 (0,787) 2,48 + 0,661 (0,00) 2s 1,94 + 0,754 0,34 + 0,152 (0,05) 3,9 + 0,778 (0,001) 1,44 + 0,539 (0,607) 3p 4,66 + 0,829 1,02 + 0,444 (0,016) 9,02 + 0,286 (0,004) 13,06 + 3,214 (0,00) 3s 25,46 + 2, ,56 + 0, (0,00) 30,76 + 3, (0,191) 22,3 + 5, (0,600) 4p 33, ,589 3,22 + 0,676 (0,989) 55,42 + 9,77 (0,102) 50,22 + 9,914 (0,998) 4s 70, ,209 **) 4,2 + 1,219 (0,345) 77,7 + 65,038 (0,00) **) 65,12 + 3,964 (0,00) **) 5p 61, ,57 59, ,226 (0,00) 77,44 + 5,313 (0,00) 20, ,043 (0,06) ***) 5s 29, ,56 61, ,859 **) 69,64 + 4,754 6p 36,84 + 5,018 ***) 56,7 + 7,29 59,88 + 5,204 ***) 6s 51, ,48 ***) Keterangan: p = pagi; s = sore; p = perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) berat maksimum untuk masingmasing dosis; ***) sudah menjadi pupa 195

7 5 mg 10 mg 20 mg Gambar 3. Rerata berat tubuh pada setiap kelompok perlakuan Dari Gambar 3 dan Tabel 3, didapatkan hasil bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai berat maksimal rata-rata 70,88 mg pada hari ke-4 sore (4s). Lalu, saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 pagi (6p), memiliki berat 36,84 mg. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan hasil bahwa rata-rata berat maksimal yang dapat dicapai larva adalah 61,62 mg pada hari ke-5 sore (5s). Kemudian pada hari ke-6 sore (6s), rata-rata berat menjadi 51,88 mg saat memasuki masa pupa. Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan maksimal ratarata berat tubuh larva sebesar 77,7 mg pada hari ke-4 sore (4s). Sementara rata-rata berat yang tercatat pada masa pupa adalah 59,88 mg pada hari ke-6 pagi (6p). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan ratarata berat maksimum 65,12 g pada hari ke-4 sore (4s). Kemudian menjadi pupa pada hari ke-5 pagi (5p) dengan berat rata-rata 20,425 g. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada berat tubuh dari masing-masing kelompok. Perbedaan yang bermakna (p < 0,05) mulai terlihat pada hari ke-3 pagi (3p). Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan perbedaan antara perlakuan 2 (morfn 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) pada 3p, 3s dan 5p. Pelakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 2s, 3p, 4s dan 5p. Perbedaan berat pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) hanya tercatat pada hari 2p, 3p, 4s dan 5p. PEMBAHASAN Pertumbuhan larva lalat dipengaruhi banyak faktor di antaranya makanan, musim, suhu lingkungan, panas yang dihasilkan dari pergerakan larva, letak geografis, kontaminan (racun), dan kelembaban. 6 Pertumbuhan larva lalat dapat dipantau lewat beberapa variabel, di antaranya ukuran panjang tubuh, keliling tubuh, berat tubuh, dan perubahan morfologi yang terjadi pada posterior spiracle. Pada penelitian ini, telah dilakukan pengamatan dan pengukuran panjang, keliling dan berat tubuh larva lalat Chrysomya sp. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa larva kontrol membutuhkan waktu 6 hari untuk tumbuh sampai menjadi pupa. Lamanya waktu ini sesuai dengan waktu yang dibutuhkan larva Chrysomya sp. menjadi pupa yang diketahui sampai saat ini, yaitu 5-7 hari. 6 Oleh karena itu, waktu pertumbuhan larva kontrol dapat diambil sebagai waktu kontrol yang dibutuhkan larva Chrysomya sp. untuk tumbuh sampai menjadi lalat dewasa. Waktu kontrol inilah yang akan dibandingkan dengan waktu pertumbuhan perlakuan lain. 196

8 Pada Gambar 1, kelompok kontrol mencapai panjang maksimal dengan ratarata 17,2 mm yang didapatkan pada hari ke- 5 pagi. Pada kelompok perlakuan 2 (morfin 5 mg), didapatkan panjang maksimal dengan rata-rata 13,3 mm pada hari ke-6 pagi. Pada kelompok perlakuan 3 (morfin 10 mg), panjang maksimal dengan rata-rata 17,4 mm pada hari ke-4 pagi. Pada kelompok perlakuan 4 (morfin 20 mg), rata-rata panjang maksimal adalah 18,2 mm didapatkan pada hari ke-4 sore. Dari sini dapat kita lihat bahwa perlakuan 4 memiliki panjang maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan pada Gambar 1. Hal yang pertama adalah penyusutan ukuran larva perlakuan 2 (morfin 5 mg), pada hari ke-2 sore. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak validnya pengukuran karena larva lalat yang diambil bukan yang paling besar. Selain ada kemungkinan larva lalat yang paling besar telah masuk lebih dalam ke tubuh tikus sehingga tidak dapat ditemukan lagi. Hal kedua adalah panjang maksimal larva pada (morfin 5 mg) perlakuan 2 yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 1 (kontrol). Sebaliknya, panjang maksimal dua perlakuan lainnya melebihi perlakuan 1 (kontrol). Hal ini mungkin karena: pertama, dosis morfin 5 mg pada perlakuan ke-2 mengakibatkan efek penghambatan, sebaliknya pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) dan 4 (morfin 20 mg) menimbulkan efek peningkatan. Kedua, nilai panjang yang didapatkan tidak sepenuhnya valid. Hal ini disebabkan oleh proses pengukuran yang menggunakan larva hidup. Pada Gambar 2, dapat kita lihat bahwa perlakuan kontrol mencapai keliling maksimalnya pada hari ke-5 pagi dengan keliling 12,25 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg), mencapai keliling maksimal 9,73 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Sementara pada perlakuan 3 (morfin 10mg) mencapai keliling maksimalnya pada hari ke-4 sore (4s) sebesar 11,93 mm. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) mencapai keliling maksimal 18,2 pada hari ke-4 pagi. Kesimpulannya, perlakuan 4 (morfin 20 mg) memiliki keliling maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada Gambar 2, dapat dilihat ukuran larva perlakuan 2 yang menurun pada hari ke-2 sore (2s) yaitu 2,89 mm menjadi 2,83 mm. Alasan hal tersebut terjadi masih mengacu pada pembahasan sebelumnya yaitu larva yang diambil bukan yang paling besar. Penyebab yang lain adalah tidak serempaknya waktu pencapaian ukuran keliling dan panjang terbesar. Kecuali perlakuan 1 (kontrol) dan 3 (morfin 10 mg) yang mencapai panjang dan keliling terbesar pada hari ke-5 pagi (5p) dan ke-4 sore (4s), sedangkan perlakuan 2 (morfin 5 mg) dan 4 (morfin 20 mg) tidak mecapainya pada waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan bukanlah sebuah peningkatan ukuran melalui satu atau dua dimensi melainkan tiga dimensi. Pengukuran panjang atau keliling saja hanya mencatat satu atau dua dimensi dari pertumbuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disertakan pengukuran berat yang mencakup ketiga dimensi. Perbandingan berat tubuh pupa dapat kita lihat pada Gambar 3. Meski pengukuran berat dilakukan pada saat larva masih hidup, nilai berat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan-pergerakan larva ketika ditimbang. Pada perlakuan 1 (kontrol) rata-rata berat tubuh maksimal 70,88 mg pada hari ke-4 sore (4s). Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan data bahwa rata-rata berat maksimal larva adalah 61,62 mg pada hari ke-5 sore (5s). Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan rata-rata berat maksimal sebesar 77,7 mg pada hari ke-4 sore (4s). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapakan rata-rata berat maksimal 65,12 mg pada hari ke-4 sore (4s). Dari sini dapat dilihat bahwa 197

9 perlakuan 3 memiliki berat maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa larva yang diambil dari perlakuan 2 (morfin 5 mg) pada hari ke-2 sore (2s) bukan larva dengan berat paling besar. Berat yang menurun menutup kemungkinan bahwa pengukuran panjang tidak valid dan semakin memperbesar kemungkinan bahwa larva yang diambil bukan yang paling besar. Pada Gambar 3, berat maksimal perlakuan 2 (morfin 5 mg) bukan yang terkecil sebagaimana pada Gambar 1. Berat maksimal pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) adalah yang terbesar, kemudian perlakuan 1 (kontrol), perlakuan 4 (morfin 20 mg) dan terakhir perlakuan 2 (morfin 5 mg). Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa berat perlakuan 1 (kontrol) yang menempati posisi kedua terbesar. Hal ini mungkin disebabkan sebagian larva terbesar pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) sudah mulai memasuki tahap pupa. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) adalah yang paling cepat mencapai tahap pupa, yakni pada hari ke 5 pagi (5p), atau setengah hari setelah panjang dan berat maksimal. Proses membentuk pupa mungkin mempengaruhi penurunan berat perlakuan 4 (morfin 20 mg). Sehingga diharapkan pada penelitian berikutnya, waktu pengamatan lebih diperpendek lagi yaitu selang waktu kurang dari 12 jam. Pada Gambar 1, 2, 3, dapat dilihat bahwa perlakuan 1 (kontrol) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 pagi (6p). Perlakuan 2 (morfin 5 mg) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 sore (6s). Perlakuan 3 (morfin 10 mg) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 pagi (6p). Sementara pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) mencapai bentuk pupa pada hari ke-5 pagi (5p). Jika waktu munculnya larva disamakan, maka perlakuan 1 (kontrol) membutuhkan 4,5 hari, perlakuan 2 (morfin 5 mg) memerlukan waktu 5 hari, perlakuan 3 (morfin 10 mg) memerlukan 5 hari sedangkan perlakuan 4 (morfin 20 mg) membutuhkan waktu 3,5 hari. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa larva perlakuan 4 (morfin 20 mg) yang paling cepat perkembangannya. Ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama, perlakuan 4 yang mencapai tahap pupa lebih cepat daripada perlakuan lain menyebabkan waktu pengukuran hari ke 4 sore (4s) menjadi tidak seragam, sehingga tidak bisa menentukan ukuran terbesar pada perlakuan 4 (morfin 20 mg). Kedua, ada korelasi antara dosis dengan perubahan menjadi pupa. Pertumbuhan larva Boettcherisca peregnina (Diptera, Sarcophagidae) yang diberi makan dengan jaringan yang mengandung morfin dengan dosis yang berbeda-beda akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dari larva control. 6 Pertumbuhan larva Musca domestica dan Sarcophaga sp. yang diberi makan bangkai tikus dengan kandungan morfin akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. 8 Pertumbuhan larva lalat Calliphora stygia menunjukkan tidak ada pengaruh bermakna pada panjang dan keliling larva lalat yang diukur. 7 Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian kali ini tidak ditemukan linearisasi, baik dalam satu kelompok maupun antar kelompok. KESIMPULAN Pengaruh morfin terhadap pertumbuhan larva Chrysomya sp. pada media tumbuh tikus (Rattus novergicus) strain Wistar tidak menunjukkan linearisasi karena didapatkan efek percepatan pertumbuhan pada dosis tinggi dan perlambatan pertumbuhan terjadi pada dosis rendah. SARAN Perlu dikaji ulang jumlah sampel agar mendapatkan linearisasi. 198

10 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan dosis morfin yang dapat mempercepat perkembangan larva Chrysomya sp. menjadi fase pupa. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari metode yang tepat dalam pengukuran larva sehingga menghasilkan data yang lebih akurat. Larva. Malaysian Society of Parasitology and Tropical Medicine: 45th Annual Scientific Seminar, Impact of Animal Host on Disease Transmission and Public Health. Kuala Lumpur Malaysia DAFTAR PUSTAKA 1. Dehghan M. The Effect of Morphine Administration on Structure and Ultrastructure of Uterus in Pregnant Mice. Iranian Journal of Reproductive Medicine. 2011; 8(3): Shin SW, Eisenach JC. Intrathecal Morphine Reduces the Visceromotor Response to Acute Uterine Cervical Distension in An Estrogen -Independent Manner. J Anesthesiology. 2003; 98: Anderson GS. Forensic Entomology: the Use of Insects in Death Investigations. Dalam: Fairgreave S (Editor). Case Studies in Forensic Anthropology, Toronto: Charles C.T. 1999; Cowan FA. A Study of Fertility in the Blowfly. Phormia Regina Meigen, (Online). am/_389.pdf Hall M, Brandt. Forensic Entomology. Issue ; Goff ML. Estimation of the Postmortem Interval Using Arthropoda Development and Successional Patterns. Forensic Science Review. 1993; 5: George KA, Melanie SA, Lauren MG, Xavier AC, Tes T. Effect of Morphine on the Growth Rate of Calliphora stygia (Fabricius) (Diptera: Calliphoridae) and Possible Implications for Forensic Entomology. Forensic Science International ; Sardjono TW dkk. Morphine Can Precipitate the Growth Rate of Fly 199

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lalat adalah salah satu jenis serangga, yang mendekomposisi komponen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lalat adalah salah satu jenis serangga, yang mendekomposisi komponen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat adalah salah satu jenis serangga, yang mendekomposisi komponen organik pada hewan, dan juga bagi mayat manusia. Oleh karena itu, serangga dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

Paparan Morfin Dosis Letal pada Bangkai Tikus terhadap Pertumbuhan Larva Sarcophaga Sp.

Paparan Morfin Dosis Letal pada Bangkai Tikus terhadap Pertumbuhan Larva Sarcophaga Sp. Paparan Morfin Dosis Letal pada Bangkai Tikus terhadap Pertumbuhan Larva Sarcophaga Sp. The Exposure of Lethal Dose Morphine to Rat Carrion Mouse on the Growth of Fly Bow Sarcophaga Sp. 1 2 3 Dicky Faizal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seluruh makhluk biologis akan mengalami kematian. dengan cara yang bermacam macam yang pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seluruh makhluk biologis akan mengalami kematian. dengan cara yang bermacam macam yang pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seluruh makhluk biologis akan mengalami kematian dengan cara yang bermacam macam yang pada dasarnya akibat dari berhentinya suplai oksigen ke otak (Indriati,

Lebih terperinci

Pengaruh Amitriptyline Dosis Lethal pada Bangkai Tikus Rattus Norvegicus strain Wistar terhadap Pertumbuhan Larva Musca Sp.

Pengaruh Amitriptyline Dosis Lethal pada Bangkai Tikus Rattus Norvegicus strain Wistar terhadap Pertumbuhan Larva Musca Sp. Pengaruh Amitriptyline Dosis Lethal pada Bangkai Tikus Rattus Norvegicus strain Wistar terhadap Pertumbuhan Larva Musca Sp. The Effect of Lethal Dosage Amitriptyline in Dead Rat Rattus Norvegicus strain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kematian merupakan hal yang pasti akan dialami. setiap makhluk hidup. Kematian menurut ilmu kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. Kematian merupakan hal yang pasti akan dialami. setiap makhluk hidup. Kematian menurut ilmu kedokteran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kematian merupakan hal yang pasti akan dialami setiap makhluk hidup. Kematian menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan

Lebih terperinci

Kata kunci : genus, familia, instar, Lucilia, Calliphora, Sarcophaga

Kata kunci : genus, familia, instar, Lucilia, Calliphora, Sarcophaga Abstrak GAMBARAN PANJANG LARVA DAN GENUS LALAT PADA BANGKAI TIKUS WISTAR DENGAN PERBEDAAN LETAK GEOGRAFIS DI BALI Kasus pembunuhan sering menjadi penyebab kematian tidak wajar. Pada kasus pembunuhan masalah

Lebih terperinci

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PANJANG LARVA LALAT DENGAN LAMA WAKTU KEMATIAN TIKUS WISTAR YANG DIDISLOKASI TULANG LEHER DI SEMARANG

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PANJANG LARVA LALAT DENGAN LAMA WAKTU KEMATIAN TIKUS WISTAR YANG DIDISLOKASI TULANG LEHER DI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PANJANG LARVA LALAT DENGAN LAMA WAKTU KEMATIAN TIKUS WISTAR YANG DIDISLOKASI TULANG LEHER DI SEMARANG Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat menempuh Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kematian merupakan proses alamiah dan pasti. Penyebab kematian pada manusia sendiri sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kematian merupakan proses alamiah dan pasti. Penyebab kematian pada manusia sendiri sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian merupakan proses alamiah dan pasti terjadi. Penyebab kematian pada manusia sendiri sangat bervariasi, dapat terjadi karena proses patologis dari dalam tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Ilmu forensik merupakan penerapan ilmu. pengetahuan tertentu yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Ilmu forensik merupakan penerapan ilmu. pengetahuan tertentu yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu forensik merupakan penerapan ilmu pengetahuan tertentu yang digunakan untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kriminal, diperlukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK

ABSTRAK. PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK Nathania Gracia H., 2016, Pembimbing 1 Pembimbing 2 : Hendra Subroto, dr., SpPK.

Lebih terperinci

ENTOMOLOGI FORENSIK. Oleh Maria Krishanta Manek : Rico Rotinggo : Roman Rolanda Mesada :

ENTOMOLOGI FORENSIK. Oleh Maria Krishanta Manek : Rico Rotinggo : Roman Rolanda Mesada : ENTOMOLOGI FORENSIK Oleh Maria Krishanta Manek : 0808013578 Rico Rotinggo : 0808013590 Roman Rolanda Mesada : 0808013592 Pembimbing : Dr. Denny Mathius Konsulen : Dr. Cahyono Kaelan, Sp.PA (K), Sp.S, Ph.D

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG. Oleh

KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG. Oleh KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG Oleh Pipi Yuliana Putri, Jasmi, Armein Lusi Zeswita Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr.) MUDA DAN TUA TERHADAP JUMLAH JANIN MATI MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER BUNTING AWAL DAN AKHIR Naurah Alzena Hana Dhea, 1210005

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN GENUS LARVA LALAT PADA BANGKAI TIKUS WISTAR DILETAKAN DI DARAT, AIR TAWAR DAN AIR LAUT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN GENUS LARVA LALAT PADA BANGKAI TIKUS WISTAR DILETAKAN DI DARAT, AIR TAWAR DAN AIR LAUT LAPORAN AKHIR PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN GENUS LARVA LALAT PADA BANGKAI TIKUS WISTAR DILETAKAN DI DARAT, AIR TAWAR DAN AIR LAUT Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat menempuh

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL LDL PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL LDL PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR ABSTRAK EFEK EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL LDL PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR Theresia Vania S S, 2015, Pembimbing I : Lusiana Darsono, dr.,

Lebih terperinci

UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR

UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SUCI TRIWIJAYANTI 2443005086 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2010 ABSTRAK UJI EFEK

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga RINGKASAN. Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga RINGKASAN. Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel 57 RINGKASAN Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel Piramid Cerebrum pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Galur Wistar Setelah Pemberian Ekstrak Etanol Daun Pegagan (Centella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan bantuan kepada penyidik untuk mendapatkan salah satu alat bukti baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest - posttest control group design (Campbell & Stanly, 1996). Skema

Lebih terperinci

EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK KULIT BATANG SAGA TELIK (ABRUS PRECATORIUS LINN.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI DENGAN ALLOXAN

EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK KULIT BATANG SAGA TELIK (ABRUS PRECATORIUS LINN.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI DENGAN ALLOXAN EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK KULIT BATANG SAGA TELIK (ABRUS PRECATORIUS LINN.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI DENGAN ALLOXAN INTAN PERMATASARI SUPRAPTO 2443005002 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS

ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP JUMLAH SEL SERTOLI DAN LEYDIG TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR Penyusun NRP Pembimbing I Pembimbing II : Alvian Andriyanto

Lebih terperinci

Musca domestica ( Lalat rumah)

Musca domestica ( Lalat rumah) PARASITOLOGI LALAT SEBAGAI VEKTOR PENYAKT Musca domestica ( Lalat rumah) Oleh : Ni Kadek Lulus Saraswati P07134013007 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK SEDUHAN TEH HITAM, TEH HIJAU DAN TEH PUTIH TERHADAP KADAR LOW DENSITY LIPOPROTEIN

ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK SEDUHAN TEH HITAM, TEH HIJAU DAN TEH PUTIH TERHADAP KADAR LOW DENSITY LIPOPROTEIN ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK SEDUHAN TEH HITAM, TEH HIJAU DAN TEH PUTIH TERHADAP KADAR LOW DENSITY LIPOPROTEIN (LDL) TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN WISTAR YANG DIINDUKSI PAKAN TINGGI LEMAK Stella

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK LARVISIDA INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth) TERHADAP Aedes sp. Pembimbing II : Dra. Rosnaeni, Apt.

ABSTRAK. EFEK LARVISIDA INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth) TERHADAP Aedes sp. Pembimbing II : Dra. Rosnaeni, Apt. ABSTRAK EFEK LARVISIDA INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth) TERHADAP Aedes sp Irvan Amadeo Tarigan, 2010 Pembimbing I : Dr. Susy Tjahjani. dr,m.kes Pembimbing II : Dra. Rosnaeni, Apt. Pengendalian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 42 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen murni (True Experimental). Penelitian eksperimen murni bertujuan untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK Andry Setiawan Lim, 2012, Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes. Pembimbing II: Sijani

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only with control group

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest control group design. Postest untuk menganalisis perubahan ukuran miokardium. B. Populasi

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK RIMPANG JAHE (Zingiberis rhizoma) SEBAGAI ANALGETIK PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS-WEBSTER

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK RIMPANG JAHE (Zingiberis rhizoma) SEBAGAI ANALGETIK PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS-WEBSTER ABSTRAK EFEK EKSTRAK RIMPANG JAHE (Zingiberis rhizoma) SEBAGAI ANALGETIK PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS-WEBSTER Vanny Aprilyany, 2006, Pembimbing I : Jo.Suherman, dr., MS., AIF Pembimbing II : Rosnaeni,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Farmakologi. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, Gizi dan 4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN YOGHURT TERHADAP PERTUMBUHAN GIG1 TlKUS PUTlH (RATTUS NORVEGICUS GALUR WISTAR)

PENGARUH PEMBERIAN YOGHURT TERHADAP PERTUMBUHAN GIG1 TlKUS PUTlH (RATTUS NORVEGICUS GALUR WISTAR) Boletin Kimia (2001) i,87-91 SSN 085-25X 87 PENGARUH PEMBERAN YOGHURT TERHADAP PERTUMBUHAN GG1 TlKUS PUTlH (RATTUS NORVEGCUS GALUR WSTAR) Maria Bintang1.2 2Jurusan Kimia FMlPA - PB ABSTRACT The purpose

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK INFUSA DAUN GANDARUSA

ABSTRAK EFEK INFUSA DAUN GANDARUSA ABSTRAK EFEK INFUSA DAUN GANDARUSA (Justicia gendarussa Burm. f.) TERHADAP CACING Ascaris suum SECARA IN VITRO Manasye Jutan, 2014 ; Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr.,m.sc Askariasis adalah infeksi

Lebih terperinci

PENGARUH INJEKSI LEPTIN JANGKA PENDEK TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN DALAM SERUM Rattus norvegicus STRAIN WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

PENGARUH INJEKSI LEPTIN JANGKA PENDEK TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN DALAM SERUM Rattus norvegicus STRAIN WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK PENGARUH INJEKSI LEPTIN JANGKA PENDEK TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN DALAM SERUM Rattus norvegicus STRAIN WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK Dian Prawibawa 1, M Rasjad indra 2, Bambang Prijadi 3 1 2 3 Mahasiswa

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN Dyota Sulia Mutiari, 2014 Pembimbing I : Dr. Sugiarto Puradisastra dr., M. Kes.

Lebih terperinci

: Minyak Buah Merah, Panjang Badan Janin, Mencit

: Minyak Buah Merah, Panjang Badan Janin, Mencit ABSTRAK MINYAK BUAH MERAH ( Pandanus conoideus Lam. ) TERHADAP PENURUNAN PANJANG JANIN MENCIT Balb/C Febriana Kurniasari, 2011. Pembimbing I : Sri Utami Sugeng, Dra., Mkes. Pembimbing II : Sijani Prahastuti,

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KAYU MANIS

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KAYU MANIS PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmanii) TERHADAP KADAR KOLESTEROL LDL DARAH PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL HIPERLIPIDEMIA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP PENGHAMBATAN KENAIKAN BERAT BADAN TIKUS GALUR WISTAR JANTAN YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP PENGHAMBATAN KENAIKAN BERAT BADAN TIKUS GALUR WISTAR JANTAN YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP PENGHAMBATAN KENAIKAN BERAT BADAN TIKUS GALUR WISTAR JANTAN YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK Dina Asri Dianawati, 2012, Pembimbing I : Dr.Meilinah Hidayat, dr.,m.kes. Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK UJI EFEK TEMPE TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TOTAL TIKUS WISTAR

ABSTRAK UJI EFEK TEMPE TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TOTAL TIKUS WISTAR ABSTRAK UJI EFEK TEMPE TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TOTAL TIKUS WISTAR Aditya Arifianto, 2006 Pembimbing I : Endang Evacuasiany, Dra., Apt., Msi., AFK Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. Dislipidemia

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI NIMBA (Azadirachta indica A. Juss) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP NYAMUK AEDES AEGYPTI

ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI NIMBA (Azadirachta indica A. Juss) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP NYAMUK AEDES AEGYPTI ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI NIMBA (Azadirachta indica A. Juss) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP NYAMUK AEDES AEGYPTI Evelyn Susanty Siahaan, 2009 Pembimbing I : Endang Evacuasiany, Dra., Apt., MS.,

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK LARVASIDA INFUSA DAUN GANDARUSA (Justicia gendarussa Burm. f.) TERHADAP Aedes sp. SEBAGAI VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE

ABSTRAK. EFEK LARVASIDA INFUSA DAUN GANDARUSA (Justicia gendarussa Burm. f.) TERHADAP Aedes sp. SEBAGAI VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE ABSTRAK EFEK LARVASIDA INFUSA DAUN GANDARUSA (Justicia gendarussa Burm. f.) TERHADAP Aedes sp. SEBAGAI VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE Selly Laurencia Rudolfo, 2014 ; Pembimbing : Rita Tjokropranoto, dr.,m.sc.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre and post test with control group

Lebih terperinci

PREDIKSI LAMA KEMATIAN BERDASARKAN KEBERADAAN SERANGGA GENUS LUCILIA (CALLIPHORIDAE) PADA BANGKAI MENCIT (Mus musculus) DI LOKASI HUTAN MANGROVE

PREDIKSI LAMA KEMATIAN BERDASARKAN KEBERADAAN SERANGGA GENUS LUCILIA (CALLIPHORIDAE) PADA BANGKAI MENCIT (Mus musculus) DI LOKASI HUTAN MANGROVE Jurnal Biologi XVII (1) : 1-5 ISSN : 1410 5292 PREDIKSI LAMA KEMATIAN BERDASARKAN KEBERADAAN SERANGGA GENUS LUCILIA (CALLIPHORIDAE) PADA BANGKAI MENCIT (Mus musculus) DI LOKASI HUTAN MANGROVE THE ESTIMATION

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK LARVISID INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecollobium lobatum Benth) TERHADAP Culex sp

ABSTRAK. EFEK LARVISID INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecollobium lobatum Benth) TERHADAP Culex sp ABSTRAK EFEK LARVISID INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecollobium lobatum Benth) TERHADAP Culex sp Amanda Caesaria, 2010, Pembimbing I : Dr. Susy Tjahjani, dr.m.kes Pembimbing II : Dra. Rosnaeni, Apt. Pengendalian

Lebih terperinci

EFEK ANALGESIK INFUS DAUN TEKI (Cyperus rotundus L.) PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus L.)

EFEK ANALGESIK INFUS DAUN TEKI (Cyperus rotundus L.) PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus L.) EFEK ANALGESIK INFUS DAUN TEKI (Cyperus rotundus L.) PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus L.) (ANALGESIC EFFECT OF TEKI LEAVES INFUSE (Cyperus rotundus L.) ON MALE MICE (Mus musculus L.)) ERNA CAHYANINGSIH*,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP KADAR ALKALI FOSFATASE PLASMA DARAH TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus L.) YANG DIINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA (CCl 4 ) Adiatma

Lebih terperinci

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI ABSTRAK EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI (Glycine max L.merr) DETAM-1 DAN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia) TERHADAP UREUM DAN KREATININ TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PAKAN TINGGI LEMAK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING PENETAPAN PANITIA PENGUJI PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ABSTRAK ABSTRACT RINGKASAN SUMMARY KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING PENETAPAN PANITIA PENGUJI PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ABSTRAK ABSTRACT RINGKASAN SUMMARY KATA PENGANTAR DAFTAR ISI SAMPUL DALAM PERSETUJUAN PEMBIMBING PENETAPAN PANITIA PENGUJI PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ABSTRAK ABSTRACT RINGKASAN SUMMARY KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR SINGKATAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PARE ( Momordica charantia ) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP AEDES AEGYPTI

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PARE ( Momordica charantia ) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP AEDES AEGYPTI ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PARE ( Momordica charantia ) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP AEDES AEGYPTI Dwi Iriani Sutami, 2007 Pembimbing I : Budi Widyarto Lana, dr. Pembimbing II: Lusiana darsono, dr.,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Biomedik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Biomedik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan 30 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah dalam bidang ilmu Gizi Biomedik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK Ivanna Valentina, 2012; Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M. Kes. Pembimbing II

Lebih terperinci

Kata kunci: salep ekstrak herba meniran, triamcinolone acetonide, penyembuhan luka

Kata kunci: salep ekstrak herba meniran, triamcinolone acetonide, penyembuhan luka ABSTRAK Luka di dalam rongga mulut dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan pembedahan. Proses penyembuhan luka dapat secara alami, dan dapat dipercepat dengan bantuan obat-obatan, dalam bidang kedokteran

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan. Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan. Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas 15 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Bulan April

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.), larvisida, Aedes aegypti

ABSTRAK. Kata kunci : Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.), larvisida, Aedes aegypti ABSTRAK EFEK INFUSA DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) SEBAGAI LARVISIDA NYAMUK AEDES AEGYPTI Karlina Jayalaksana, 2008, Pembimbing I : Meilinah Hidayat,dr.,M.Kes Pembimbing II : Susy Tjahjani,dr.,M.Kes

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN Linda Lingas, 2016 ; Pembimbing I : Lusiana Darsono, dr., M.Kes Pembimbing II

Lebih terperinci

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SKRIPSI

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SKRIPSI UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT

ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT (Curcuma domestica Val.) DAN EKSTAK ETANOL KENCUR (Kaempferia galanga Linn.) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN DENGAN METODE HOT PLATE Thomas Utomo, 1210023,

Lebih terperinci

Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Hj. Sri Utami, Dra., M.Kes., PA(K)

Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Hj. Sri Utami, Dra., M.Kes., PA(K) ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) TERHADAP BERAT BADAN, PANJANG BADAN, DAN PANJANG KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN TIKUS WISTAR Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT KULIT MANGGIS TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT YANG DINOKULASI Plasmodium berghei

ABSTRAK. EFEKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT KULIT MANGGIS TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT YANG DINOKULASI Plasmodium berghei ABSTRAK EFEKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT KULIT MANGGIS TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT YANG DINOKULASI Plasmodium berghei Yonathan Leonardo Vincensius Biantoro, 2014 Pembimbing I : Khie Khiong, dr., S.Si.,M.Si.,

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus Conoideus Lam.) TERHADAP KADAR BILIRUBIN TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus L.) YANG DIINDUKSI CCL 4 Andre Setiawan Iwan, 2009. Pembimbing I : Hana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian 31 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian Post Test Controlled Group Design. III.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRACT THE EFFECT OF OLIVE OIL ADDITION INTO OATMEAL IN LOWERING BLOOD TOTAL CHOLESTEROL AND LDL (LOW DENSITY LIPOPROTEIN) IN WISTAR STRAIN RAT

ABSTRACT THE EFFECT OF OLIVE OIL ADDITION INTO OATMEAL IN LOWERING BLOOD TOTAL CHOLESTEROL AND LDL (LOW DENSITY LIPOPROTEIN) IN WISTAR STRAIN RAT ABSTRACT THE EFFECT OF OLIVE OIL ADDITION INTO OATMEAL IN LOWERING BLOOD TOTAL CHOLESTEROL AND LDL (LOW DENSITY LIPOPROTEIN) IN WISTAR STRAIN RAT Sebastian Hadinata, 2014, 1 st Tutor : Heddy Herdiman,

Lebih terperinci

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN LEMBAYUNG (Vigna unguiculata) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS DENGAN INDUKSI ALOKSAN

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN LEMBAYUNG (Vigna unguiculata) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS DENGAN INDUKSI ALOKSAN UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN LEMBAYUNG (Vigna unguiculata) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS DENGAN INDUKSI ALOKSAN Tia Afelita 1, Indah Permata Sari 1, Rizki Chairani Zulkarnain

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA INSISI DENGAN PEMBERIAN VITAMIN C DAN EKSTRAK BUAH MORINDA CITRIFOLIA

PERBANDINGAN KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA INSISI DENGAN PEMBERIAN VITAMIN C DAN EKSTRAK BUAH MORINDA CITRIFOLIA ABSTRAK PERBANDINGAN KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA INSISI DENGAN PEMBERIAN VITAMIN C DAN EKSTRAK BUAH MORINDA CITRIFOLIA L. (MENGKUDU) SECARA ORAL PADA MUKOSA LABIAL TIKUS WISTAR Luka adalah hal yang wajar

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS INFUSA DAUN ZODIA (Evodia suaveolens S.) SEBAGAI REPELEN TERHADAP

EFEKTIVITAS INFUSA DAUN ZODIA (Evodia suaveolens S.) SEBAGAI REPELEN TERHADAP ABSTRAK EFEKTIVITAS INFUSA DAUN ZODIA (Evodia suaveolens S.) SEBAGAI REPELEN TERHADAP NYAMUK Aedes sp. BETINA Paulus Ruben Christy, 1210242, Pembimbing I : Winsa Husin, dr., MSc., MKes., PA(K) Pembimbing

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA 2443005113 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2010 ABSTRAK PENGARUH

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing II: Lusiana Darsono, dr., M.Kes

ABSTRAK. Pembimbing II: Lusiana Darsono, dr., M.Kes ABSTRAK EFEK ANTIPIRETIK INFUSA CACING TANAH (Lumbrofebrin Lumbricus terrestris) TERHADAP MENCIT JANTAN GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI VAKSIN CAMPAK Daniel Saputra, 2007; Pembimbing I : Meilinah Hidayat,

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK EKSTRAK KULIT MANGGIS TERHADAP MOTILITAS DAN JUMLAH SPERMATOZOA MENCIT SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI LATIHAN FISIK BERAT

ABSTRAK EFEK EKSTRAK KULIT MANGGIS TERHADAP MOTILITAS DAN JUMLAH SPERMATOZOA MENCIT SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI LATIHAN FISIK BERAT ABSTRAK EFEK EKSTRAK KULIT MANGGIS TERHADAP MOTILITAS DAN JUMLAH SPERMATOZOA MENCIT SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI LATIHAN FISIK BERAT Ardi Prawira, 2014. Pembimbing I : Sylvia Soeng, dr., M.Kes. Pembimbing

Lebih terperinci

NOVIANA SYLVIA CHRISTY FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA

NOVIANA SYLVIA CHRISTY FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH EKSTRAK DAUN JAMBU METE (ANACARDIUM OCCIDENTALE L.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE UJI TOLERANSI GLUKOSA NOVIANA SYLVIA CHRISTY 2443005014 FAKULTAS

Lebih terperinci

EFEK DAGING BUAH NAGA

EFEK DAGING BUAH NAGA ABSTRAK EFEK DAGING BUAH NAGA (Hylocereus undatus) TERHADAP LOW DENSITY LIPOPROTEIN (LDL) DARAH PADA MENCIT (Mus musculus) JANTAN GALUR SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI KOLESTEROL Billie Sancho Thea, 2010

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kematian menurut World Health Organization (WHO) merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kematian menurut World Health Organization (WHO) merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kematian menurut World Health Organization (WHO) merupakan hilangnya tanda kehidupan secara permanen yang terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ABATE (TEMEFOS) PADA LARVA NYAMUK CULEX DI DALAM DAN DI LUAR RUANGAN

ABSTRAK PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ABATE (TEMEFOS) PADA LARVA NYAMUK CULEX DI DALAM DAN DI LUAR RUANGAN ABSTRAK PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ABATE (TEMEFOS) PADA LARVA NYAMUK CULEX DI DALAM DAN DI LUAR RUANGAN Fanny Wiliana, 2006. Pembimbing : Susy Tjahjani, dr., M.Kes Meilinah Hidayat, dr., M.Kes

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL HERBA JOMBANG (Taraxacum officinale Weber et Wiggers) TERHADAP MENCIT BETINA GALUR Swiss Webster

ABSTRAK. EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL HERBA JOMBANG (Taraxacum officinale Weber et Wiggers) TERHADAP MENCIT BETINA GALUR Swiss Webster ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL HERBA JOMBANG (Taraxacum officinale Weber et Wiggers) TERHADAP MENCIT BETINA GALUR Swiss Webster R. Suci Indra Purnama, 2007 Pembimbing I : Diana K Jasaputra, dr.,

Lebih terperinci

2. Memberikan label pada masing-masing bahan dimana T0 sebagai control, 3. Masing-masing pati ubi kayu dan jagung dibuat dengan konsentrasi 10%

2. Memberikan label pada masing-masing bahan dimana T0 sebagai control, 3. Masing-masing pati ubi kayu dan jagung dibuat dengan konsentrasi 10% 31 2. Memberikan label pada masing-masing bahan dimana T0 sebagai control, sedangkan T1 dan T2 diberikan perlakuan. 3. Masing-masing pati ubi kayu dan jagung dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v) dalam larutan

Lebih terperinci

OLEH: VEROS ALVARIS YUSTAKI FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA

OLEH: VEROS ALVARIS YUSTAKI FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN EKSTRAK ETANOL BIJI KELABET (TRIGONELLA FOENUM-GRAECUM LINN.) DAN DAUN MURBEI (MORUS ALBA LINN.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN OLEH: VEROS ALVARIS

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER

ABSTRAK. PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER ABSTRAK PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Dimpuulina Erna M, 2011 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng Dra., M.kes. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan Post Test Only Control Group Design. Pengambilan data

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK ANTIDEPRESI COKLAT HITAM (Theobroma cacao) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN

ABSTRAK EFEK ANTIDEPRESI COKLAT HITAM (Theobroma cacao) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN ABSTRAK EFEK ANTIDEPRESI COKLAT HITAM (Theobroma cacao) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN Stefanus Santoso, 2011 Pembimbing Utama : Rita Tjokropranoto, dr, M.sc Pembimbing Pendamping : Dr. Sugiarto Puradisastra,dr,

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG

PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG (Pimpinella alpina ) TERHADAP PERILAKU SEKSUAL MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN Cindy Caroline, 2011; Pembimbing I : Dr. Sugiarto Puradisastra, dr., M.Kes ; Pembimbing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen murni dengan menggunakan design Pretest postest with control group

Lebih terperinci

RINGKASAN. (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang. Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).

RINGKASAN. (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang. Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). RINGKASAN Dodik Prasetyo. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Meigi Suwarto, 2013 : dr. Kartika Dewi, M.Kes. Sp.Ak.PA (K) : dr. Jeanny Ervie Ladi, M.Kes., PA

ABSTRAK. Meigi Suwarto, 2013 : dr. Kartika Dewi, M.Kes. Sp.Ak.PA (K) : dr. Jeanny Ervie Ladi, M.Kes., PA ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL KEDELAI DETAM I (Glycine max (L.) Merr.), DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk) DAN KOMBINASINYA TERHADAP KADAR LDL SERUM TIKUS JANTAN GALUR WISTAR Meigi Suwarto, 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat merupakan salah satu serangga ordo Diptera yang berperan dalam masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan sebagai vektor

Lebih terperinci

ABSTRAK. KONSENTRASI OPTIMAL EKSTRAK ETANOL DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) SEBAGAI LARVISIDA TERHADAP Aedes sp.

ABSTRAK. KONSENTRASI OPTIMAL EKSTRAK ETANOL DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) SEBAGAI LARVISIDA TERHADAP Aedes sp. ABSTRAK KONSENTRASI OPTIMAL EKSTRAK ETANOL DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) SEBAGAI LARVISIDA TERHADAP Aedes sp. Falensia Mose, 2016, Pembimbing I Pembimbing II : dr. Sijani Prahastuti,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Aedes sp., soybean oil,eucalyptus oil, repelen.

ABSTRAK. Kata kunci : Aedes sp., soybean oil,eucalyptus oil, repelen. ABSTRAK DAYA REPELEN EUCALYPTUS OIL (Oleum eucalypti) DAN SOYBEAN OIL (Glycine max) TERHADAP NYAMUK Aedes aegypti Andreas Wijaya, 2009, Pembimbing I : Dr,dr Susy Tjahjani, M.Kes Pembimbing II : dr Sylvia

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEK DIURETIK SARI WORTEL (Daucus carota L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

PENGUJIAN EFEK DIURETIK SARI WORTEL (Daucus carota L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) PENGUJIAN EFEK DIURETIK SARI WORTEL (Daucus carota L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) Mery A. R. Sinaga, Widdhi Bodhi, Paulina V. Y. Yamlean Program studi Farmasi FMIPA UNSRAT

Lebih terperinci

PENGARUH DIET TINGGI FRUKTOSA RENDAH MAGNESIUM TERHADAP HISTOPATOLOGI JARINGAN ADIPOSA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR

PENGARUH DIET TINGGI FRUKTOSA RENDAH MAGNESIUM TERHADAP HISTOPATOLOGI JARINGAN ADIPOSA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR PENGARUH DIET TINGGI FRUKTOSA RENDAH MAGNESIUM TERHADAP HISTOPATOLOGI JARINGAN ADIPOSA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR KORSINI YULIANI LUHU 2443011205 PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

PENGARUH PARASETAMOL DOSIS ANALGESIK TERHADAP KADAR SERUM GLUTAMAT OKSALOASETAT TRANSAMINASE TIKUS WISTAR JANTAN

PENGARUH PARASETAMOL DOSIS ANALGESIK TERHADAP KADAR SERUM GLUTAMAT OKSALOASETAT TRANSAMINASE TIKUS WISTAR JANTAN PENGARUH PARASETAMOL DOSIS ANALGESIK TERHADAP KADAR SERUM GLUTAMAT OKSALOASETAT TRANSAMINASE TIKUS WISTAR JANTAN LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang keilmuan mikrobiologi, imunologi, farmakologi, dan pengobatan tradisional. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. F. Inez Felia Yusuf, Pembimbing I : Dra. Rosnaeni, Apt. Pembimbing II: Penny Setyawati M., dr., Sp.PK.,M.Kes.

ABSTRAK. F. Inez Felia Yusuf, Pembimbing I : Dra. Rosnaeni, Apt. Pembimbing II: Penny Setyawati M., dr., Sp.PK.,M.Kes. ABSTRAK EFEK JUS BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP KADAR LOW DENSITY LIPOPROTEIN (LDL) DAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) TIKUS JANTAN GALUR Wistar F. Inez Felia Yusuf, 2012. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012).

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). Pemeliharaan dan perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di rumah hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan Post

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan Post BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Control Group Design. Pengambilan data akan dilakukan pada akhir penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. eksperimen Posttest-Only Control Design, yaitu dengan melakukan observasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. eksperimen Posttest-Only Control Design, yaitu dengan melakukan observasi 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain eksperimen Posttest-Only Control Design, yaitu dengan melakukan observasi pada mencit

Lebih terperinci