KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1"

Transkripsi

1 KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan 2 A. PENGANTAR Sitem kewarisan Islam di Indonesia sebelum lahirnya KHI, menganut sistem kewarisan Jumhur yang oleh Hazairin dipandang sebagai sistem kewarisan patrilineal, sementara sistem kewarisan al-quran menurutnya berbentuk bilateral 3. Hazairin melalui penafsirannya terhadap beberapa ayat a-qur an menetapkan dua garis hukum dalam menentukan ahli waris, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan adalah suatu garis hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris atau yang menentukan urut-urutan keutamaan di antara keluarga pewaris. Sedangkan garis pokok penggantian adalah setiap orang dalam sekelompok keutamaan di mana antara dia dengan si pewaris tidak ada penghubung atau tidak ada lagi penghubung yang masih hidup atau telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. atau yang disebut dengan ahli waris pengganti 4. Sistem kewarisan Hazairin ini banyak mengilhami ketentuan hukum waris dalam Buku II yang berbeda dengan sistem kewarisan Jumhur maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), antara lain tentang keahliwarisan saudara. Tulisan ini mengetengahkan pembahasan tentang kedudukan saudara dengan beberapa permasalahan yang terkait dengannya melalui perbandingan antara sistem kewarisan Jumhur, Hazairin, KHI dan Buku II. B. KEDUDUKAN DAN BAGIAN SAUDARA Kewarisan saudara dalam al-qur an diatur dalam surah Nisa ayat 11, 12 dan 176. Ayat 11 menyatakan:... Jika orang yang meninggal tidak 1 Yang dimaksud Buku II adalah Buku tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung R.I. tahun Hakim PTAPontianak 3 Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur an dan Hadits, Tinta Mas, Jakarta, hal. 1 4 Hazairin, ibid. hal Page 1

2 mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.... Selanjutnya dalam ayat 12 Allah menyatakan: Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaaan kalalah, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3. Sedangkan ayat 176 menyebutkan: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.... Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami maksud kata akhun, ukhtun dan ikhwatun (saudara) yang ada pada ayat 12 dan 176 surah an- Nisa di atas. 1. Jumhur Fugaha dan Kompilasi Hukum Islam Jumhur 5 berpendapat bahwa yang dimaksud saudara dalam ayat 12 adalah saudara seibu, sedangkan yang dimaksud saudara dalam ayat 176 adalah saudara sekandung dan seayah. Pengertian saudara seibu pada ayat 12 ini didasarkan kepada petunjuk qira ah sebagian ulama salaf antara lain Sa ad bin Abi Waqqas dan juga penafsiran Abu Bakar Shiddiq yang dinukilkan oleh Qatadah, bahwa Abu Bakar menerangkan dalam salah satu khutbahnya: Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam surah an- Nisa dalam urusan pusaka mempusakai diturunkan oleh Allah mengenai pusaka anak dan orang tua (ayat 11). Ayat kedua diturunkan 5 Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta, hal Page 2

3 untuk menjelaskan pusaka suami, istri, dan saudara tunggal ibu (ayat 12). Ayat yang mengakhiri surah An Nisa (ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan pusaka-pusaka saudara kandung. Pengertian di atas dikuatkan oleh penjelasan Allah pada akhir ayat 11 yang menyatakan. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3. Oleh karena kedudukan saudara-saudara dalam ayat 12 bukan selaku ashabah, maka memberi pengertian bahwa yang dimaksud saudara adalah saudara seibu, sebab jika mereka itu saudara sekandung atau seayah tentulah berkedudukan selaku ashabah sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat 176: (.. Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan ). Pandapat Jumhur ini diikuti oleh KHI sebagaimana diatur dalam pasal 181 dan 182. Pasal 181 KHI menyebutkan: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam. Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga. Adapun pasal 182 berbunyi: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Menurut sistem kewarisan Jumhur, semua laki-laki dari jalur laki termasuk saudara laki-laki berkedudukan sebagai ashabah bi nafsih. Dasar hukum lembaga ashabah bi nafsih ini adalah hadits Ibnu Abbas : Alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin (Berikan saham itu kepada setiap ahli waris, dan sisanya untuk laki-laki yang dekat) 6. Berdasarkan hadits ini Jumhur menempatkan semua laki- 6 T.M. Hasby as-shiddiqie, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, hal.172 Page 3

4 laki dari jalur laki sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang dekat perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cicit laki-laki dari paman (ibnul-ibnil-ibnil- am), maka anak perempuan mendapat 1/2 dan sisanya untuk cicit laki-lkai paman. Bahkan jika ahli waris perempuan yang ada itu diturunkan dari garis perempuan (seperti cucu perempuan dari anak perempuan), mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali karena dipandang sebagai zawil arham, sehingga seluruh harta warisan pewaris jatuh ke tangan ahli waris ashabah. Kedudukan saudara sekandung, seayah dan seibu dalam pandangan Jumhur tidak sama. Saudara sekandung dipandang lebih utama daripada saudara seayah dan seibu, dan saudara seayah lebih utama dari saudara seibu. Kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah sehingga tidak bisa menghijab semua ahli waris zawil furudl dan tidak bisa menduduki kedudukan ashabah 7. Perbedaan derajat ini membawa konsekuensi terjadinya hijab-mahjub di antara mereka. a. Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara Laki-laki Seayah Jumhur menempatkan saudara laki-laki sekandung dan seayah selalu sebagai zawil ashabah (bi nafsih) sehingga mereka tidak mempunyai bagian tertentu. Mereka mendapatkan sisa setelah ahli waris zawil furudl mengambil bagain masing-masing. Sebagai konsekuensinya, mereka dapat memperoleh bagian yang besar, atau memperoleh bagian yang kecil tergantung sisa yang ada, bahkan bisa tidak memperoleh sama sekali jika harta warisan itu habis diberikan kepada ahli waris zawil furudl. Saudara laki-laki kandung yang kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-laki seayah, maka saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki kandung, namun saudara laki-laki seibu meskipun kedudukannya paling lemah, akan tetapi mereka tidak terhijab. Mengenai hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan saudara seibu. 7 Fatchur Raman, op cit. hal. 322 Page 4

5 b. Bagian Saudara Perempuan Kandung dan Saudara Perempuan Seayah Bagian saudara perempuan kandung menurut Jumhur adalah: 1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3 (dan dua pertiga) jika dua orang atau lebih, ushubah (bil ghair) apabila bersama mu ashibnya, dan ushubah (ma al ghair) apabila bersama anak perempuan dan/atau bersama cucu perempuan pancar laki-laki. Bagian saudara perempuan seayah mirip dengan saudara perempuan sekandung hanya ditambah dengan bagain 1/6 sebagai pelengkap dua pertiga apabila bersama seorang saudara perempuan kandung. Karena kedudukan saudara sekandung lebih utama daripada saudara seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apabila ada saudara laki-laki kandung, atau dua orang saudara perempuan kandung, atau seorang saudara perempuan kandung ketika berkedudukan selaku ashabah ma al ghair. c. Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu menerapkan asas 2:1 antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi khusus untuk saudara seibu prinsip tersebut ditiadakan karena telah bagian mereka telah ditentukan oleh Allah dalam surah an-nisa ayat 12. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu diberikan kedudukan dan bagian yang sama yakni 1/6 (seperenam) apabila seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang atau lebih. Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah sebagaimana dimaksud dalam ayat 12 surah an-nisa, sebab jika tidak dalam keadaan kalalah saudara seibu pasti terhijab oleh far ul-waris laki-laki maupun perempuan dan ashlul-waris laki-laki. Namun demikian, meskipun garis kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah dibanding dengan saudara sekandung dan saudara seayah, akan tetapi saudara seibu tidak terhijab oleh sekandung maupun saudara seayah. Ketentuan ini didasarkan kepada ayat 12 surah an-nisa yang memberikan bagian tetap bagi saudara seibu. Page 5

6 Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah ketika saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama saudara sekandung yang berkedudukan sebagai ashabah sedangkan bagiannya telah habis diberikan kepada zawil furudl, maka saudara kandung tidak mendapatkan bagian sama sekali. Untuk memecahkan permasalahan ini, maka timbullah apa yang disebut prinsip pembagian musyarakah, atau juga dikenal dengan kasus Umariyah, atau Minbariyah, atau Himariyah, atau Hajariyah atau Yammiyah 8. KHI tidak mengatur secara detail tentang bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan pasal 182, namun dengan memperhatikan beberapa pasal yang mengatur tentang saudara, antara lain pasal 174 ayat (1) huruf a yang menetapkan saudara termasuk kelompok ahli waris hubungan darah, pasal 178 yang mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat Jumhur. 2. Hazairin dan Buku II Hazairin 9 tidak sependapat dengan Jumhur dan menolak pembedaan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung, seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan sistem kewarisan bilateral menurut al-qur an. Argumentasi yang diajukan Hazairin, bahwa kata-kata yang digunakan dalam al-qur an tidak memberikan perincian tentang hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu. Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun adalah saudara dalam semua jenis hubungan persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan pertalian darah antara ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu), melainkan karena perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat Fatchur Rahman, op cit. hal Hazairin, op cit. hal Page 6

7 Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah masih hidup (bisa ibu sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya bersama ayah saja). Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan 1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada, mendapat bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang ayah mendapat sisa selaku zawil iqrabat. Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin dimaknai, seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal). Dalam keadaan ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan 2/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada misalnya ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya masing-masing. Hazairin juga menolak hadits Ibnu Abbas tentang ashabah. Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-laki tanpa batas seperti itu tidak sejalan dengan sistem kewarisan al-qura an yang berbentuk bilateral. Hazairin mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar penolakan hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula (yang lebih dekat atau utama)?. Kedua, benarkah hadits tersebut memberikan garis hukum yang berlaku umum, atau hanya menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?. Hazairin memberikan analisis bahwa kata aula pada hadits yang berbunyi : alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin. Pemberian makna laki-laki yang lebih utama/dekat dalam hadits itu harus diukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh al- Qur an, bukan oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan masyarakat. Al-Qur an telah menetapkan secara sistematis mengenai kedekatan hubungan kekerabatan dengan membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan. Menurutnya, kelompok keutamaan antara orang-orang yang sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauhdekatnya antara mereka (misalnya antara cucu dan anak,meskipun Page 7

8 cucu lebih jauh daripada anak tetapi keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan saudara, meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati, tetapi cucu lebih utama daripada saudara), dan tidak pula tergantung kepada jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan (misalnya antara cucu melalui anak perempuan dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama behak mewarisi). Hazairin juga memberikan analisis dari sudut pandang teori pertumbuhan garis hukum dalam penyelesaian kasus. Kasus menurutnya ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakim. Keputusan itu jika tidak ada cacatnya dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus lainnya sehingga akan menjadi yurisprudensi dan merupakan garis hukum ciptaan hakim yang berlaku umum. Dalam garis hukum Islam, Rasul mempunyai kewenangan menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan oleh Rasul wajib diikuti oleh umatnya. Akan tetapi kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila Allah belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan Rasul itu tidak boleh dan tidak mungkin berseberangan dengan kehendak Allah karena apa yang diputuskan oleh Rasul selalu didasarkan kepada wahyu (Q.S. an-najm:3). Jika ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari Rasul, melainkan orang yang mengatakan adanya ketatapan itulah yang bohong. Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin menyatakan perlu dihadapkan dengan ketentuan al-qur an yang berhubungan dengannya yaitu ayat 6 dari surah al-ahzab dan ayat 75 surah al-anfal dimana dalam kedua ayat tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi:. dan orang-orang yang sepertalian darah sebagiannya lebih dekat - lebih utama - dari yang lainnya menurut ketetapan Allah dalam al-qur an. Yang dimaksud pertalian darah menurut al-qur an, Hazairin memberikan pengertian pertalian darah menurut sistem bilateral, dan bukan menurut sistem patrilineal atau matrilineal atau yang lain. Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena hadits Ibnu Abbas di atas tidak memberikan penjelasan mengenai maksud dari orang laki-laki yang lebih dekat - utama - dari yang lain,, maka Page 8

9 keutamaan itu harus dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan al-qur an. Demikian pula yang dimaksud laki-laki dalam hadits itu haruslah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki-laki lebih dekat dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari pada paman dan seterusnya. Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan bahwa hadits Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan Nabi dalam menyelesaikan kasus dimana ada beberapa laki-laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl. Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa semua hadits tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan dengan al-qur an. Jika ada hadits yang bertentangan dengan al-qur an, maka orang yang mengkhabarkan hadits itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu merupakan kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki-laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lain. Berdasarkan pemikirannya itu Hazairin mengambil kesimpulan bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah mengenai kasus tertentu yang tunduk kepada sistimatika al-qur an tentang kelompok keutamaan, di mana beberapa laki-laki tampil ke depan berkonkurensi. Pendapat Hazairin yang tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu ini diikuti oleh Buku II sebagaimana disebutkan pada ketentuan huruf (a) angka (6) dan (7) halaman 240. Ketentuan angka (6) menyebutkan: Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu. Pada angka (7) menyatakan: Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu (teks aslinya tidak menyebut kata seibu) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak Page 9

10 bersama saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara lakilaki. Meskipun antara Hazairin dan Buku II sama-sama tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu, namun dalam menetapkan bagian terdapat perbedaan yang menyolok. Bagian saudara menurut Hazairin: - 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih ketika saudara bersama ayah, atau bersama ayah dan ibu berdasarkan an-nisa ayat 12, dan - 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih ketika saudara bersama ibu berdasarkan an-nisa ayat 176). Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih menurut ketika bersama ayah, bukan ketika bersama ibu seperti ketentuan Buku II angka (6). Bagian saudara ketika bersama ibu menurut Hazairin adalah 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih. Untuk bagian yang terakhir ini sama dengan Buku II angka (7). Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan kalalah. Meskipun dalam Buku II tidak menyebut secara khusus pengertian tentang kalalah, akan tetapi dengan mencermati ketentuan huruf (a) angka (6), dan ketentuan huruf (b) angka (3) (keduanya halaman 240), memberikan petunjuk bahwa makna kalalah adalah seorang meninggal dengan tidak mempunyai ayah dan anak sama dengan pengertian kalalah menurut Jumhur dan KHI. Pemberian makna kalalah seperti itu, mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan antara ketentuan huruf (a) angka (6) yang mengatur bagian saudara menurut an- Nisa ayat 12, dengan ketentuan huruf (a) angka (7) yang mengatur bagian saudara menurut an-nisa ayat 176. Ketentuan huruf (a) angka (7) menyebutkan: Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama Page 10

11 saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki. (teks aslinya tidak ada kata seibu yang bergaris bawah). Pengertian tidak bersama ayah berarti bersama ibu. Jika demikian berarti ketentuan huruf (a) angka (7) sama dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yakni sama-sama saudara bersama ibu. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti penjelasan berikut. Ketentuan huruf (a) angka (6) mengatur tentang saudara bersama ibu tanpa membedakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam kasus huruf (a) angka (6) ini kita ambil contoh ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Adapun ketentuan huruf (a) angka (7) mengatur tentang saudara perempuan tidak bersama ayah (berarti bersama ibu). Dalam untuk kasus huruf (a) angka (7) ini kita ambil contoh ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Dari dua contoh kasus di atas, nyatalah antara contoh kasus huruf (a) angka (6) dengan contoh kasus huruf (a) angka (7) tidak berbeda yaitu sama-sama ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Tentu saja tidak boleh terjadi adanya dua ketentuan yang berbeda mengatur kasus yang sama. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan huruf (b) angka (3) halaman 240 yang intinya menyatakan: Termasuk ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya adalah saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah. Ketentaun ini memberikan pengertian bahwa saudara laki-laki dan perempuan dalam kasus kalalah berkedudukan selaku zawil ashabah (bil-ghair). Penempatan saudara laki-laki bersama saudara perempuan selaku ashabah ini tidak sejalan dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yang menempatkan mereka selaku zawil furudl dengan bagian 1/3. Dalam ketentuan huruf (a) angka (6) dinyatakan: Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu. Ketentuan ini tidak membedakan apakah saudara yang Page 11

12 jumlahnya dua orang atau lebih itu semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan. Sepanjang jumlahnya dua orang atau lebih dan mewarisi bersama ibu, baik semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan, mereka mendapat 1/3 bagian. Dari penjelasan diatas tampak adanya ambiguitas kedudukan saudara dalam kasus kalalah. Menurut ketentuan huruf (a) angka (6) saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan ashabah bil-ghair, sedangkan menurut ketentuan huruf (b) angka (3) saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan zawil furudl. Permasalahan ini terjadi karena Buku II tidak istiqamah dalam mengikuti pendapat Jumuhur dan Hazairin dengan menerapkan dua pendapat yang berbeda dalam satu kasus (kalalah) sekaligus, padahal dua pendapat tersebut tidak mungkin dikompromikan (konvergensi). Di satu sisi, Buku II mengikuti pendapat Hazairin tentang kesederajatan saudara sekandung, seayah dan seibu, tetapi tidak mengikuti cara pembagianya, sedangkan di sisi lain mengiktui pendapat Jumhur dalam memberikan makna kalalah, tetapi tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu. Jika Buku II hendak memberikan kesamaan derajat antara saudara sekandung, seayah dan seibu sebagaimana pendapat Hazairin, maka sebagai konsekuensinya Buku II harus mengikuti cara pembagian yang dilakukannya, sebab antara kesamaan derajat dan penetapan bagian merupakan satu paket penafsiran makna kalalah yang tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya, jika Buku II hendak mengikuti pendapat Jumhur dalam memberikan makna kalalah, maka konsekuensinya harus membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu dengan cara pembagiannya sekaligus. C. KESIMPULAN Sistem kewarisan yang ada dalam Buku II edisi 2009 merupakan salah satu upaya pembaharuan sistem kewarisan Islam di Indonesia yang dilakukan oleh Mahkamah Agung R.I. Banyak pembaharuan hukum Page 12

13 kewarisan yang adai dalamnya, salah satu di antaranya adalah tentang kedudukan keahliwarsian saudara. Prinsip yang dibangun Mahkamah Agung dalam melakukan pembaharuan hukum kewarisan antara lain mengutamakan keluarga dekat dan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Orang yang kekerabatannya lebih dekat dengan pewaris diutamakan menjadi ahli waris daripada yang jauh kekerabatannya, tanpa membedakan keturunan lakilaki atau perempuan. Pengaturan demikian dipandang lebih adil dan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia yang bilateral. Pembaharuan sistem kewarisan dalam Buku II pada dasarnya merupakan pengembangan dari sistem kewarisan KHI melalui modifikasi sedemikian rupa yang lebih cenderung mengikuti pendapat Hazairin, namun demikian, dalam beberapa ketentuan masih mengikuti pendapat Jumhur fuqaha. Penggunaan dua rujukan dalam satu pengaturan mengakibatkan terjadinya ambiguitas atau ketidakselarasan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya seperti yang terjadi dalam pengaturan kalalah. D. DAFTAR PUSTAKA As-Shabuni, Muhammad Ali, 1984, al-mawarits fi Syari ah al-islamiah, Saudi Arabia, al-jamiah Makkah al Mukarramah. As-Shiddiqie, T.M.Hasby, 1973, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang. Departemen Agama RI, 1996, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI, 1999, Analisa Hukum Islam Bidang Waris, Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Jakarta, Bulan Bintang. Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas. Haryono, Anwar, 1968, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta, Bulan Bintang. Mughniy, Muhammad Jawad, 1988, Perbandingan Hukum Waris, Syiah dan Sunnah, al-ikhlas, Surabaya. Mahkamah Agung RI, 2009, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, Edisi Parman, Ali, 1995, Kewarisan dalam Al-Qur an, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Page 13

14 Ramulyo, M.Idris, 1976, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, Siddik, Abdullah, 1980, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Wijaya. Yusuf Musa, 1960, al-tirkah wa al-mirats fi al-islam, Kairo, Dar al-ma rifah. Zahari, Ahmad, 2006, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, (Syafi i, Hazairin dan KHI), Pontianak, Romeo Grafika. Page 14

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA A. Analisa Terhadap Pertimbangan Putusan Hakim Pengadilan Agama Bangil Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam 115 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari rumusan masalah ini, maka penyusun dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

Lebih terperinci

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI DOSEN Dr. Yeni Salma Barlinti, SH, MH Neng Djubaedah, SH, MH, Ph.D Milly Karmila Sareal, SH, MKn. Winanto Wiryomartani, SH, MHum. POKOK

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu: BAB IV ANALISIS A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin Dari penjelasan terdahulu dapat dikelompokkan ahli waris yang menjadi ahli waris pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam adanya asas-asas kewarisan islam yaitu asas ijbari (pemaksaan),

Lebih terperinci

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris 1 A. Pembagian Warisan Dalam

Lebih terperinci

HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS

HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS HUKUM PERDATA ISLAM NENG DJUBAEDAH & YENI SALMA BARLINTI 15 OKTOBER 2014 MATERI A. Penggolongan Ahli Waris: 1. Menurut Hazairin

Lebih terperinci

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Pengertian Mawaris Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

Lebih terperinci

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Vera Arum Septianingsih 1 Nurul Maghfiroh 2 Abstrak Kewarisan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah perkawinan. Islam

Lebih terperinci

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki - BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS A. Pengertian dan Sumber Hukum. Pakar Hukum waris mengklasifikasikan kakek kepada dua macam, yaitu kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM A. Hijab dan Bagiannya 1. Pengertian Menurut bahasa Arab, hijab artinya penghalang atau mencegah atau menghalangi. Dalam al

Lebih terperinci

WARIS ISLAM DI INDONESIA

WARIS ISLAM DI INDONESIA ISSN 2302-0180 8 Pages pp. 19-26 WARIS ISLAM DI INDONESIA Azharuddin 1, A. Hamid Sarong. 2 Iman Jauhari, 3 1) Magister Ilmu Hukum Program Banda Aceh e-mail : Budiandoyo83@yahoo.com 2,3) Staff Pengajar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 29 BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa. BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.Gs) A. Analisis Tentang Dasar Hukum Hakim Tidak Menerima Gugatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai permasalahan yang melingkupinya salah satu permasalahan yang sering muncul dalam kehidupan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kewenangan Pengadilan Agama Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Aturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan bagi muslim dan muslimah, salah satunnya adalah hukum kewarisan. Yang mana hukum kewarisan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 A B S T R A K Seiring dengan perkembangan zaman juga pola pikir masyarakat, hal ini menghasilkan adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Sesungguhnya yang demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT maupun terhadap sesama umat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS A. Analisis Pertimbangan Hukum dalam Putusan MA. No. 184 K/AG/1995 A. Mukti

Lebih terperinci

KRITIK PASAL DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WARISAN Oleh: Kaharuddin Adam, Syamsuddin, Katmono*

KRITIK PASAL DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WARISAN Oleh: Kaharuddin Adam, Syamsuddin, Katmono* KRITIK PASAL DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WARISAN Oleh: Kaharuddin Adam, Syamsuddin, Katmono* Abstrak Hukum merupakan tatanan kehidupan yang bertujuan menciptakan keadilan dan ketertiban masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya yang disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia.salah

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang

Lebih terperinci

ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI

ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI [UNIVERSITAS MATARAM] [Jurnal Hukum ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI Haeratun 1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK Hukum kewarisan Islam dan perkembangannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS A. Pengertian Waris Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM BAB II Z\ AWI>l furu>d} adalah gabungan dua kata, yaitu z\awi>l, adakalnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI A. Analisis Terhadap Deskripsi Pembagian Warisan Oleh Ibu Senen dan Bapak Kasiran Kepada Ahli Waris Pengganti Di Desa Kasiyan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013 HAK MEWARIS DARI ORANG YANG HILANG MENURUT HUKUM WARIS ISLAM 1 Oleh : Gerry Hard Bachtiar 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukkan bagaimana asas-asas kewarisan menurut hukum waris Islam serta Hak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS A. Pengertian Waris Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawarits, yang berarti harta warisan atau harta peninggalan mayyit. 1 Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL Penulis telah memaparkan pada bab sebelumnya tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, penghalang dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH A. Analisis Hak Kewarisan Ayah dalam Pasal 177 KHI ditinjau Menurut Perspektif

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH. A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam

BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH. A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam 91 BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Istilah Hukum Waris 1. Definisi Waris Kata wârits dalam bahasa Arab memiliki jama waratsah yang berarti ahli waris 25, ilmu waris biasa juga dikenal dengan ilmu

Lebih terperinci

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Materi : HUKUM KEWARISAN Oleh : Drs. H.A. Mukti Arto, SH, M.Hum. PENDAHULUAN Hukum Kewarisan Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK Salah satu asas kewarisan Islam adalah asas bilateral yang merupakan perpaduan dari dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di bidang Hukum Kewarisan, bahwa seorang cucu dapat menjadi ahli waris menggantikan ayahnya

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI A. Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ilmu faraidh atau fiqih mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pengalihan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia, siapa yang berhak menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Islam merupakan hukum Allah. Dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya kepada Allah

Lebih terperinci

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB) PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB) A. Definisi al-hujub Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman: "Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada

Lebih terperinci

TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010

TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010 TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010 Ahmad Zahari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura E-mail : ahmad_zahari17@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam BAB II Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam 1. Pengertian Hukum Waris Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA PERSPEKTIF IMAM SYAFI'I DAN HAZAIRIN

BAB III ANALISIS KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA PERSPEKTIF IMAM SYAFI'I DAN HAZAIRIN 93 BAB III ANALISIS KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA PERSPEKTIF IMAM SYAFI'I DAN HAZAIRIN A. Epistemologi Hukum Imam Syafi'i Dalam Menetapkan Kewarisan Kakek Bersama Saudara Seayah Masalah kewarisan saudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Proses perjalanan kehidupan manusia yang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, menimbulkan hak dan kewajiban serta hubungan antara keluarga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari

Lebih terperinci

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH NENG DJUBAEDAH, SH, MH, PH.D RABU, 26 MARET 2008, 18, 25 MARET 2009, 16 nov 2011, 28 Maret, 25 April 2012, 22 Mei 2013 KEDUDUKAN CUCU atau AHLI WARIS PENGGANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan merupakan salah satu tatanan hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia agar pasca meninggalnya seseorang tidak terjadi perselisihan

Lebih terperinci

Volume V, Nomor 1, Januari-Juni NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM. Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag.

Volume V, Nomor 1, Januari-Juni NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM. Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag. Volume V, Nomor 1, Januari-Juni 2017 109 NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag. Abstrak Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki

Lebih terperinci

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

HAK WARIS DZAWIL ARHAM Nama Kelompok : M. FIQHI IBAD (19) M. ROZIQI FAIZIN (20) NADIA EKA PUTRI (21) NANDINI CHANDRIKA (22) NAUFAL AFIF AZFAR (23) NOER RIZKI HIDAYA (24) XII-IA1 HAK WARIS DZAWIL ARHAM A. Definisi Dzawil Arham

Lebih terperinci

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan: PEMBAGIAN WARISAN Pertanyaan dari: EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi) (Disidangkan pada Jum at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M) Pertanyaan: Sehubungan kami sangat awam masalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 1685/PDT.G/2013/PA.SBY

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 1685/PDT.G/2013/PA.SBY BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 1685/PDT.G/2013/PA.SBY A. Analisis Pertimbangan Hakim Putusan Nomor 1685/Pdt.G/2013/PA.Sby Sebab Anak Perempuan Menghijab Saudara Kandung Ayah Hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N. NOMOR : 42/Pdt-G/2008/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. NOMOR : 42/Pdt-G/2008/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 42/Pdt-G/2008/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Kewarisan pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan manusia itu sendiri yang paling menarik dan tak akan ada habisnya untuk didiskusikan. Karena

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL Nurul Huda Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Menurut hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama,

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM 27 BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM A. Kerangka Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam literatur Indonesia sering menggunakan istilah kata waris atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN A. Pengertian Harta Warisan Warisan berasal dari kata waris, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu : warits, yang dalam bahasa Indonesia berarti ahli waris,

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu Syari ah

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu Syari ah STUDI ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA A. Analisis Terhadap Kebiasaan Pembagian Waris Di Kejawan Lor Kelurahan Kenjeran Kecamatan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Eddi Rudiana Arief, et. Al. (ED). Hukum Islam di Indonesia Pemikiran

DAFTAR PUSTAKA. Eddi Rudiana Arief, et. Al. (ED). Hukum Islam di Indonesia Pemikiran DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku A. Djazuli, Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al. (ED). Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Rosdakarya, Bandung,

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS A. Pengertian Waris Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawarits, yang berarti harta warisan atau harta peninggalan mayyit. 1 Ilmu

Lebih terperinci

Dr. H. A. Khisni, S.H., M.H. Hukum Waris Islam UNISSULA PRESS ISBN

Dr. H. A. Khisni, S.H., M.H. Hukum Waris Islam UNISSULA PRESS ISBN Dr. H. A. Khisni, S.H., M.H. Hukum Waris Islam UNISSULA PRESS ISBN. 978-602-8420-64-8 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN. 978-602-8420-64-8 Hukum Waris Islam Oleh: H. A. Khisni, S.H.,

Lebih terperinci

Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat)

Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat) Prosiding Peradilan Agama ISSN: 2460-6391 Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat) 1 Utari Suci Ramadhani, 2 Dr. Tamyiez Dery,

Lebih terperinci

PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI

PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI Gemala Dewi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok gemaladw@yahoo.co.id Abstract Legal pluralisme has shaped

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham 1 KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS Sarpika Datumula* Abstract Substitute heir is the development and progress of Islamic law that is intended to get mashlahah

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM Oleh: Ibnu Rusydi, S.H., M.Pd.I. *) ABSTRAK Pembagian waris Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga. Hukum waris erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah

Lebih terperinci

BAGIAN WARISAN YANG TELAH DI TENTUKAN DALAM AL-QURAN MENURUT FUQAHAK AHLI SUNAH

BAGIAN WARISAN YANG TELAH DI TENTUKAN DALAM AL-QURAN MENURUT FUQAHAK AHLI SUNAH BAGIAN WARIAN YANG TELAH DI TENTUKAN DALAM AL-QURAN MENURUT FUQAHAK AHLI UNAH I. ORANG-ORANG YANG BERHAK MENDAPAT BAGIAN ETENGAH (/) ADA GOLONGAN :. uami.. Cucu perempuan dari anak laki-laki (dan keterunan).

Lebih terperinci

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda ARTI FAROIDH FAROIDH adalah kata jamak dari FARIDHOH FARIDHOH diambil dari kata FARDH yg berari TAKDIR atau KETENTUAN. Syar I : Bagian yang sudah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana

Lebih terperinci

BAB III. A. Dasar dan Pertimbangan Hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo. tentang penetapan Ahli Waris Pengganti

BAB III. A. Dasar dan Pertimbangan Hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo. tentang penetapan Ahli Waris Pengganti 35 BAB III PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NOMOR: 2800/Pdt.G/2011/PA.Sda. DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR: 34/Pdt.G/2013/PTA.Sby. A. Dasar dan

Lebih terperinci

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto suryashmh@yahoo.com ABSTRAK Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli

Lebih terperinci

MTQ NASIONAL XXV TAHUN 2014 DI KOTA BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

MTQ NASIONAL XXV TAHUN 2014 DI KOTA BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU MTQ NASIONAL XXV TAHUN 2014 DI KOTA BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU CABANG FAHMIL QUR AN LF. 01 SOAL LONTARAN BABAK FINAL 1. Soal : Berkenaan dengan siapa dan mengenai peristiwa apa ayat al Qur'an surah

Lebih terperinci

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI A. Kewarisan dalam CLD KHI Dalam CLD KHI hukum kewarisan diatur pada buku II yang terdiri dari 42 pasal yaitu mulai Pasal 1 sampai dengan Pasal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABBAS TENTANG MAKNA WALAD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEWARISAN SAUDARA BERSAMA ANAK DALAM PROSES LEGISLASI NASIONAL

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABBAS TENTANG MAKNA WALAD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEWARISAN SAUDARA BERSAMA ANAK DALAM PROSES LEGISLASI NASIONAL BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABBAS TENTANG MAKNA WALAD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEWARISAN SAUDARA BERSAMA ANAK DALAM PROSES LEGISLASI NASIONAL A. Analisis Pendapat Ibnu Abbas Tentang Makna Walad Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya, baik

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya, baik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara yang

Lebih terperinci

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM 1 MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM Mashari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda,Samarinda.Indonesia ABSTRAK Masalah hak waris atas harta bersama

Lebih terperinci

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15 BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-quran yang memiliki beberapa arti yakni mengganti,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep waris sebagai kewenangan hukum pengadilan agama (PA) terbatas hanya pada konsep waris Islam. Selain itu, secara substansi hukum Islam di indonesia terangkum dalam Kompilasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam lingkup fiqh mawaris. 1 Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung

Lebih terperinci

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi 16 BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Sumber Hukum 1. Pengertian Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut

Lebih terperinci

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM Penulis : Agil Jaelani, Andri Milka, Muhammad Iqbal Kraus, ABSTRAK Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus

Lebih terperinci

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati ILMU FARAID 1 Firman Allah : "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka untuk) anakanakmu. Iaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu

Lebih terperinci

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM A. Pengertian Kewarisan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. 1 Di dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM 21 BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM A. Waris dalam pandangan Hukum Islam Pengertian waris dalam Buku Ensiklopedia Hukum Islam bahwa kata waris itu berasal

Lebih terperinci