BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)"

Transkripsi

1 29 BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. 32 Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguhsungguh. 33 Menurut Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadist, beliau menulis fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan suatu norma dengan berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Namun karena fiqh sebagai hasil pemikiran manusia, tentunya mengenal batas-batas tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran itu berada dalam batas-batas 32 M.Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana, Medan : 2011, hal.1 33 Syafi i Karim, Fiqh Ushulul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung : 2001, hal.11 29

2 30 disiplinnya, yaitu dengan metode dan sumber di atas maka tidak setiap hasil pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh. 34 A. Hanafi, M.A. mengutip kata-kata Jurjani tentang Fiqh, yaitu: Fiqh menurut bahasa (luqhah) ialah memahami pembicaraan seseorang yang berbicara. Menurut istilah ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dia suatu ilmu yang diistimbathkan (diambil) dengan jalan pemikiran dan ijtihad. Dia memerlukan pemikiran dan renungan. Oleh karena itu, tidak boleh dinamakan Allah dengan Faqih, karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-nya. 35 Fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Fiqh mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah : ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya. Karena ada beberapa istilah, pembahasan selanjutnya pada penelitian ini akan memakai istilah Hukum Kewarisan Islam, karena istilah tersebut lebih dapat diterima dan dipahami dalam mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan pembagian harta waris terutama pada pembagian kewarisan munasakhah ini. Al-Munasakhat dalam bahasa Arab berarti memindahkan dan menghilangkan, contohnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba bermakna kita menukil (memindahkan) 34 Hazairin, Op.cit.hal Ahmad Hanafi, Op.cit. hal. 7

3 31 kepada lembaran lain; nasakhat asy-syamsu azh-zhilla berarti sinar matahari menghilangkan bayang-bayang. Makna yang pertama, sesuai dengan firman Allah yang artinya : Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Jatsiyah: 29) Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut yang terjemahannya yaitu : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al-Baqarah: 106) Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraidh ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta warisan sehingga bagiannya berpindah kepada ahli waris lain bila ahli waris tersebut tidak terhijab. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak waris (karena memang belum dibagikan), maka haknya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya disini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan sebutan al-jami ah 36 Menurut As-Sayyid Asy-Syarif, munasakhah adalah pemindahan bagian warisan dari sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan. Beliau menta rifkan demikian, karena arti lafadh munasakhah tersebut berasal dari suku kata naskh yang menurut 36 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta: 1996, hal.132

4 32 pengertian bahasa berarti naqlu atau tahwil, yakni memindahkan. Misalnya: A mati meninggalkan dua orang ahli waris, yang bernama B dan C. kemudian sebelum harta peninggalan tersebut dibagi-bagikan kepada B dan C, B menyusul meninggal, dengan tidak meninggalkan ahli waris seorangpun selain C saja. Atau seperti contoh tersebut tetapi B mempunyai ahli waris yang mewarisi B, yaitu D (cucu dari A). maka dengan kematian B tersebut, berpindah bagian B kepada C atau C dan D. Tentu saja disini ahli waris yang menggantikan (C dan D) yang tidak terhijab oleh ahli waris lainnya. 37 Ibnu Umar Al-Baqry mendefinisikan munasakhah sebagai kematian seseorang sebelum harta dibagi-bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya menyusul meninggal dunia. Kedua pengertian munasakhah ini pada dasarnya sama saja karena sudah mengandung unsur-unsur penting dari munasakhah sebagai berikut: Harta pusaka si pewaris belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka. 2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya. 3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang pertama harus dengan jalan mempusakai. Kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan maupun hadiah, hal itu di luar pembahasan munasakhah. 37 Ibid. 38 Fatur Rahman, Op.cit. hal.460

5 33 4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya Unsur-unsur penting yang terkait dengan kasus kewarisan munasakhah ini, menimbulkan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kewarisan munasakhah ini, keadaan yang dimaksud, yaitu : Apabila ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama (selain yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga tidak terjadi perubahan dalam pembagian. Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan lima orang anak laki-laki atau lima orang anak perempuan dan tidak ada ahli waris selain mereka. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka wafat meninggalkan keempat saudaranya. Jika hal itu terjadi, warisan dibagikan kepada empat orang itu sebagai pengganti lima orang. Maksudnya adalah sebagai berikut : a. Seseorang wafat meninggalkan lima anak laki-laki. Warisan dibagikan sesuai dengan jumlah ru us mereka, yaitu lima. b. Kemudian salah seorang dari para ahli waris yang lima itu wafat meninggalkan empat saudaranya. Warisan tetap dibagikan sesuai dengan jumlah ru us mereka, yaitu empat melalui furudh dan radd. Misalnya lagi, andaikata seorang laki-laki mati meninggalkan tiga saudara perempuan seayah seibu, kemudian mati salah seorang saudara perempuannya meninggalkan dua saudara perempuannya tanpa ada 39 terakhir kali diakses tanggal 10 Mei 2012

6 34 pewaris selain keduanya. Sehingga dalam kedua keadaan diatas itu memiliki hukumnya sama. 2. Apabila para pewaris mayit kedua adalah juga pewaris mayit pertama disertai perbedaan nisbah mereka kepada mayit. Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dari istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua, tiba-tiba salah seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-saudaranya (dua saudara kandung perempuan dan satu saudara seayah). Jika ini terjadi maka: 40 a. Pada perhitungan pertama (ketika si ayah wafat) : para ahli waris disatukan oleh hubungan anak (banuwwah) karena mereka semua adalah anak si ayah. Warisan dibagikan antara mereka sebagai ashabah, dengan mengikuti prinsip untuk laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Bentuk ashabah mereka adalah ashabah bil ghair; b. Pada perhitungan kedua (ketika salah seorang anak perempuan wafat) : para ahli waris disatukan dengan hubungan persaudaraan (ukhuwwah) sehingga terjadi perbedaan pembagian menurut furudh dan ashabah yang mengikuti jenis kelamin masing-masing dan hubungan kedekatan dengan mayit kedua karena dua saudara kandung perempuan akan mewarisi melalui furudh dan saudara seayah akan mewarisi melalui ashabah ( ashabah bin nafsi). Atau dengan kalimat pendek dapat 40 Ibid.

7 35 dikatakan bahwa ahli waris mayit kedua adalah ahli waris mayit pertama dengan perubahan bagian warisan untuk mereka yang masih hidup. Oleh karena itu, pembagiannya disini berubah dan dalam keadaan seperti ini harus ada tindakan baru dan pengeluaran masalah yang bernama Al-Jaamiah (kewarisan berganda), yaitu yang menggabungkan dua masalah. 3. Apabila para ahli waris mayit kedua lain dari pada pewaris mayit pertama atau sebagian dari mereka mewarisi dari dua jalur, yaitu dari jalur mayit pertama dan dari jalur mayit kedua. Dalam keadaan ini haruslah dikeluarkan Al-Jaami ah, karena pembagiannya berbeda terhadap para pewaris. Misalnya, jika seorang istri (mayit pertama) pertama wafat meninggalkan suami, anak perempuan dan ibu. Tiba-tiba si suami (mayit kedua) wafat meninggalkan seorang istri kedua, ayah dan ibu. Setelah itu, si anak perempuan (mayit ketiga anak mayit pertama) juga wafat meninggalkan dua anak laki-laki, seorang anak perempuan dan nenek ( ibu dari mayit pertama) ini wafat. Sehingga dalam keadaan ini, kewarisan berganda yang ada harus dipisah terlebih dahulu, karena pembagiannya berbeda terhadap para pewaris. 41 Munasakhah menurut hukum kewarisan Islam, dalam menentukan ahli waris pengganti, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama 41 Ibid.

8 36 Syafi i yaitu penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Selain dalam pandangan hukum kewarisan Islam (fiqh mawaris), munasakhah ini juga berkembang sebagai bagian bentuk dari ahli waris pengganti yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni dan Keputusan Menteri Agama tanggal 22 Juli 1991 Nomor 154, Pengadilan Agama di Indonesia dalam memutus dan menyelesaikan perkara kewarisan, berpedoman pada hukum kewarisan madzhab Syafi i. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735. Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan asabah saja sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan. Ciri dari hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i adalah pertama adanya diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua pada penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas. 42 Akibat dari ketentuan tersebut, banyak kasus kewarisan yang penyelesaiannya kurang dapat diterima paling tidak oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia, karena dipandang tidak adil dan diskriminatif. Sebagai contoh, jika dalam suatu kasus 42 Ahmad Zahari, Op.cit. hal.67

9 37 kewarisan ahli warisnya terdiri dari cucu yang berasal dari anak laki-laki dan cucu yang berasal dari anak perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya cucu yang berasal dari anak laki-laki saja, cucu yang berasal dari anak perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham. Demikian pula jika ahli warisnya terdiri dari keponakan laki-laki dan keponakan perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya keponakan laki-laki saja, keponakan perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham. 43 Cara pembagian yang demikian itu dipandang janggal, tidak adil dan diskriminatif, sehingga sulit diterima. Betapa tidak, karena bagi seorang paman semua anak dari saudara-saudaranya adalah keponakannya sendiri, yaitu darah daging dari saudara-saudaranya yang laki-laki maupun perempuan. Demikian pula bagi seorang kakek, semua anak dari anak-anaknya adalah cucu-cucunya sendiri, yaitu darah daging dari anak-anak yang telah meninggal dunia yang berarti pula darah dagingnya sendiri, tidak peduli apakah cucunya itu laki-laki atau perempuan, dan juga tidak peduli apakah cucunya itu berasal dari anaknya yang laki-laki ataupun yang perempuan. Dengan demikian berarti semua keponakan atau semua cucu layaknya akan menempati posisi yang sama atau hak yang sama untuk mendapatkan warisan dari harta peninggalan paman atau kakeknya, betapapun kecilnya bagian yang akan mereka terima. Namun dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i tidaklah demikian karena bercorak patrilineal, hukum kewarisan patrilineal menurut 43 Ibid

10 38 ulama Syafi i menempatkan keponakan perempuan sebagai dzawil arham, dan akibatnya mereka tidak mendapat bagian apa-apa dari harta warisan paman dan kakeknya. Kejanggalan, kepincangan dan ketidakadilan menjadi semakin dirasa tatkala mereka berhadapan dengan kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari dzawil arham semuanya seperti cucu laki-laki dan perempuan yang berasal dari anak perempuan dan seterusnya, karena menurut kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i harta warisan harus diserahkan kepada Baitulmal untuk diwariskan kepada umat Islam lainnya, sementara keluarga pewaris sendiri yang dzawil arham itu tidak mendapat apa-apa. Memperhatikan ketentuan kewarisan yang dipandang tidak adil dan diskriminatif tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam dengan mengambil pengembangan dari kewarisan munasakhah dicantumkan Pasal 185 yang ayat (1) nya menyebutkan bahwa, ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Anak yang menggantikan kedudukan orang tuanya tersebut selanjutnya disebut sebagai ahli waris pengganti. 44 Dengan waris pengganti yang rumusannya seperti itu maka sanak keluarga yang semula digolongkan sebagai dzawil arham kecuali bibi tidak hanya sekedar dapat lebih diutamakan haknya untuk mendapat warisan dibandingkan dengan baitulmal, akan tetapi ia juga dapat tampil sebagai ahli waris yang berhak mendapat warisan sekalipun ahli waris dzawil furudl dan asabah ada bersama-sama dengan 44 Ibid. hal.69

11 39 mereka. Dengan demikian maka kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan waris penggantinya telah mengurangi sifat diskriminasi yang selama ini terjadi dalam pembagian warisan dan sekaligus telah memberikan rasa keadilan kepada sanak keluarga dari pewaris, kecuali bibi dan keturunannya. Jika dipahami secara tekstual redaksi dari Pasal 185 tersebut, maka makna yang terkandung didalamnya adalah : 1. Penggantian dalam Pasal 185 itu mencakup penggantian tempat, derajat dan hak-hak, tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. a. Penggantian tempat artinya cucu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya. b. Penggantian derajat artinya ahli waris pengganti yang menggantikan anak laki-laki memperoleh derajat yang sama dengan derajat anak laki-laki, ahli waris pengganti yang menggantikan anak perempuan memperoleh derajat yang sama dengan derajat anak perempuan dan seterusnya. c. Penggantian hak artinya, jika orang yang digantikan oleh ahli waris pengganti itu mendapat warisan, maka ahli waris pengganti juga berhak mendapatkan warisan, dan jika orang yang digantikan itu menghijab ahli waris yang lain maka ahli waris pengganti juga menghijab ahli waris tersebut, dan seterusnya.

12 40 d. Tanpa batas artinya, penggantian itu berlaku bagi cucu pewaris meskipun pewaris mempunyai anak laki-laki lain atau dua orang anak perempuan lainnya yang masih hidup. e. Tanpa diskriminasi artinya yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah semua keturunan baik laki-laki maupun perempuan, baik keturunan digaris laki-laki maupun perempuan, kecuali yang tidak disebut dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a. Dengan demikian, maka yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan saudara laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan paman dan keturunan dari ahli waris pengganti tersebut Ahli waris pengganti akan mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang ia gantikan, artinya jika ahli waris pennganti itu menggantikan kedudukan anak laki-laki maka ia akan mendapatkan bagian sebesar bagian anak laki-laki, jika ia menggantikan kedudukan anak perempuan maka bagiannya adalah sebesar anak perempuan tersebut, dan jika ahli waris pengganti itu ada dua orang atau lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas bagain ahli waris yang mereka gantikan, dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan. Yang dimaksud dengan sederajat dalam Pasal 185 ayat (2) yang berbunyi bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang 45 Ibid.hal. 73

13 41 sederajat dengan yang diganti yaitu sederajat misalnya antara anak laki-laki dan anak laki-laki, bukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dimana Al-Quran Surat An-Nisaa ayat 11, KHI Pasal 176 dan 182 membedakannya. Dengan demikian, bagian ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak laki-laki tidak boleh melebihi atau tidak boleh lebih besar dari pada bagian anak laki-laki pewaris yang masih hidup, namun bisa lebih besar dari bagian anak perempuan pewaris, tergantung posisi kasusnya seperti apa. Sedangkan pada munasakhah menurut bahasa yaitu memindahkan / menyalin dan menghapus. Menurut istilah yaitu sebagian ahli waris ada yang mati sebelum diadakan pembagian harta pusaka/harta waris dengan meninggalkan perolehan waris dan ahli waris atau perpindahan hak waris seorang yang belum diterima oleh ahli warisnya. Jadi pada dasarnya antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang munasakhah maupun ahli waris pengganti ini. Bedanya dalam hukum waris Islam adanya hijab dan mahjub pada ahli waris pengganti tapi maksudnya sama yaitu meninggalnya ahli waris sebelum dia mendapatkan bagiannya. B. Penetapan Ahli Waris Dalam Kasus Kewarisan Munasakhah Perpindahan hak waris seseorang yang belum diterima kepada ahli warisnya atau pindah dari satu masalah ke masalah yang lain yang dimaksud dari kasus kewarisan munasakhah. Dengan kata lain, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, tetapi berhubung karena satu dan lain hal salah seorang dari

14 42 ahli waris tersebut meninggal dunia sebelum warisan pertama dan meninggalkan ahli waris yang lain pula. Maka dalam hal ini pula terdapat dua kasus. Kasus pertama dan kasus kedua dan tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya kasus ketiga dan seterusnya. 46 Sebenarnya dalam hal tersebut masing-masing kasus dapat diselesaikan satusatu. Tetapi tidak lazim hal demikian dalam pembagian pusaka yang terjadi di masyarakat. Yang lazim adalah kedua kasus tersebut diselesaikan sekaligus dan inilah yang disebut dengan munasakhah. Munasakhah dalam pandangan hukum kewarisan Islam disini, dalam menetapkan ahli waris, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i. 47 Hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan asabah saja, sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan. 48 Dalam garis besarnya, ahli waris yang termasuk dalam kasus munasakhah dapat dijelaskan sebagai berikut: Ahli waris yang terdiri dari asabah saja 2. Ahli waris yang terdiri dari shahibul fard/ dzu fardlin ditambah asabah. 46 Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), Fakultas Hukum, Medan : 2002, hal Ahmad Zahari, Op.cit. hal Ibid. 49 Pahing Sembiring, Loc.cit.

15 43 Adapun maksud asabah pada ahli waris dalam kasus munasakhah ini yaitu ahli waris yang tidak ditentukan berapa besar bagiannya, namun ia berhak menghabisi semua harta jika mewaris seorang diri, atau semua sisa harta jika mewaris bersama dengan ahli waris dzawil furudl. 50 Ahli waris yang terdiri dari ashabah menerima harta warisan salah satu diantara 2 (dua) yaitu menerima seluruh harta warisan atau menerima sisa dari harta warisan. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, maka ia menerima seluruh harta warisan, akan tetapi kalau ada dzul fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya. 51 Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i mengenal tiga macam asabah yaitu asabah bin nafsi, asabah bilghairi dan asabah ma al ghairi. Asabah bin nafsi adalah ahli waris (laki-laki) yang sejak semula berkedudukan sebagai asabah. Asabah bin nafsi ini terdiri dari : 52 a. Anak laki-laki b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah c. Ayah d. Kakek dari pihak ayah dan seterusnya keatas e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki seayah g. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 50 Ahmad Zahari, Op.cit. hal terakhir kali diakses tanggal 28 Juni Ahmad Zahari, Op.cit. hal. 109

16 44 h. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah i. Paman yang sekandung dengan ayah j. Paman yang seayah dengan ayah k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah l. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah Asabah bil ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki, sehingga ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan bersamasama manjadi asabah, dan mereka berhak menghabisi semua harta atau semua sisa harta dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah: 53 a. Anak perempuan menjadi asabah karena tertarik oleh anak laki-laki b. Cucu perempuan menjadi asabah karena tertarik oleh cucu laki-laki c. Saudara perempuan sekandung menjadi asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki yang sekandung d. Saudara perermpuan seayah menjadi asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki seayah Asabah ma al ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi asabah karena mewarisi harta bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pewaris. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah : 53 Ibid. hal. 110

17 45 a. Saudara perempuan sekandung jika pewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris b. Saudara perempuan seayah jika mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris Sedangkan yang dimaksud dengan dzu fardlin adalah seseorang yang mempunyai pembagian tertentu (sudah ditentukan). Adapun pembagian tertentu menurut Al-qur an ada 6 (enam) yaitu : ½ (setengah) 2. ¼ (seperempat) 3. 1/8 (seperdelapan) 4. 1/3 (sepertiga) 5. 2/3 (duapertiga) 6. 1/6 (seperenam) Ahli waris yang mendapatkan bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut dinamakan ahli waris dzu fardlin. Pembagian tertentu (sudah ditentukan) bagi ahli waris, disini yang dimaksudkan adalah dzawil furudl. Adapun ahli waris yang mendapat ½ (seperdua) terdiri dari : a. Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa ayat 11) b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (Qiyas) c. Saudara perempuan tunggal yang sekandung (QS. An-Nisa ayat 176) 54 Ibid.

18 46 d. Saudara perempuan tunggal yang seayah jika yang sekandung tidak ada (QS. An-Nisa ayat 176) e. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat seperempat terdiri dari : 55 a. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) b. Istri atau janda jika suaminya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat 1/8 (seperdelapan) hanya satu orang saja yaitu istri atau janda jika suaminya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12). Ahli waris yang mendapat 2/3 (dua pertiga) terdiri dari : a. Dua orang perempuan atau lebih, jika anak laki-laki tidak ada (QS. An-Nisa ayat 11) b. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika anak perempuan tidak ada (Qiyas) c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (QS. An-Nisa ayat 176) d. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika yang sekandung tidak ada (QS. An-Nisa ayat 176) 55 Ibid.

19 47 Ahli waris yang mendapat 1/3 (sepertiga) terdiri dari : a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa ayat 11) b. Dua orang saudara atau lebih yang seibu (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat 1/6 (seperenam) terdiri dari : 56 a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak, atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa ayat 11) b. Ayah jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 11) c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai ibu (HR. Zaid) d. Cucu perempuan seorang atau lebih dari anak laki-laki, jika pewaris mempunyai satu orang anak perempuan (HR. Bukhari) e. Kakek dari pihak ayah jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak lakilaki sedangkan ayahnya tidak ada (Ijma ulama) f. Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan (QS. An-Nisa ayat 12) 56 Ibid. hal 108

20 48 g. Seorang atau lebih saudara perempuan seayah jika pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung (Ijma ulama). Dalam hal ini, apabila ahli waris yang terdiri dari asabah semuanya dan ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin tidak ada, maka cara membagi pusakanya (warisan) dilakukan dengan menjadikan asal masalahnya jumlah ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin tersebut dan dipandang kasus (masalah) pertama (kematian pada si pewaris) ataupun kasus (masalah) kedua (kematian pada ahli warisnya) didalam kewarisan munasakhah ini dianggap tidak ada. 57 Contohnya : seorang meninggal, yang meninggalkan 5 orang anak laki-laki, sebelum pusaka dibagikan mati pula salah seorang anak laki-laki tersebut dengan meninggalkan 4 orang anak laki-laki. Dalam masalah ini, dikatakan saja seorang yang meninggal, meninggalkan 4 orang anak lakilaki, maka asal masalahnya 4 menurut jumlah manusianya (mereka). Sedangkan apabila mati seorang lagi anak tersebut maka asal masalahnya 3 yang sesuai dengan jumlah manusianya. Apabila ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin ditambah dengan ahli waris dari asabah, maka lebih dahulu dibuat perhitungan masalah pertama atau pada kematian yang pertama pada kasus munasakhah ini dan kemudian dibuat perhitungan pada masalah kedua atau pada kematian ahli waris selanjutnya pada kasus munasakhah ini, dan harus ditentukan tiga angka yaitu : Angka asal masalah pertama atau aulnya (ami/aul) 57 Pahing Sembiring, Op.cit. hal Ibid.

21 49 2. Angka asal masalah kedua/ aulnya (amii/aul) 3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan dari mayat pertama) (pmii). Contohnya : Istri meninggal, dengan meninggalkan ahli waris yaitu suami, ibu, dan bapak. Kemudian sebelum pusaka dibagikan meninggal pula suami dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sehingga penyelesaian dari kasus munasakhah ini yaitu : 1. Ahli waris istri (Angka asal masalah pertama atau aulnya (ami/aul)) a. Suami : ½ = 3/6 = 3 b. Ibu : 1/6 = 1/6 = 1 c. Bapak : 1/3 ( asabah bin nafsi) = 2/6 = 2 Sehingga ami/aul nya yaitu = 6 2. Ahli waris suami (Angka asal masalah kedua/ aulnya (amii/aul)) a. Seorang anak laki-laki : 2/3 b. Seorang anak perempuan : 1/3 ( asabah bilghair) 3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan dari mayat pertama) (pmii) yaitu 3. Jadi pendapatan suami dari warisan istrinya diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2: 1. Sehingga seorang anak laki-laki mendapat 2/3 3 = 2 dan seorang anak perempuan mendapat 1/3 3 = 1 Penetapan ahli waris dalam kasus munasakhah ini, adalah dengan menempatkan setiap ahli waris yang berhak menerima warisan (pusaka) dari setiap

22 50 pewarisnya baik pusaka yang berasal dari bagian ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si pewarisnya maupun yang meninggal tetapi belum adanya pembagian pusaka dari si pewaris sebelumnya. C. Penggantian Tempat (Ahli Waris Pengganti) Sebagai Pengembangan Dari Munasakhah Ayat-ayat Al-Quran terutama pada bidang kewarisan, yang mengatur akan kedudukan cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagiannya atas warisan. Dalam Al-Quran, ahli waris yang bagiannya atas warisan dirinci dengan jelas ialah anak, orang tua (bapak dan ibu), saudara, janda, dan duda. Tiga ahli waris yang disebut pertama adalah ahli waris karena hubungan darah, sedangkan dua ahli waris yang disebutkan kemudian adalah ahli waris karena perkawinan. Sehingga pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya atau cucu dari sipewaris tidak dirinci bagiannya atas warisan yang diterimanya. Sebagai hukum setelah Al-Quran, As-Sunnah merupakan petunjuk apabila suatu persoalan tidak diatur oleh Al-Quran atau diatur secara garis besar saja. Ternyata, As-Sunnah tidak merinci secara jelas bagian cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi. Sehingga kajian tentang ahli waris pengganti (plaatsvervulling) di dalam hukum kewarisan Islam merupakan kajian baru dan tidak dikenal sebelumnya oleh para fuqaha dalam literatur fikih klasik, ketentuan ini merupakan terobosan baru dalam hal penyelesaian kewarisan anak (cucu) dari ahli waris (ayah) yang terlebih dahulu meninggal dari pewaris (kakek), menurut fuqaha mazhab anak tersebut

23 51 digolongkan dalam posisi dzawil arham yang menurut ketentuan syara (dalam hal ini fikih dari ulama Syafi i) bahwa anak (cucu) yang ayahnya meninggal terlebih dahulu dari pewaris (kakeknya) tersebut tidak dapat memperoleh dan menerima harta warisan. 59 Di dalam kenyataannya terlihat sering anak-anak yang kematian ayahnya lebih dahulu dari kakeknya tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya hidup dalam kecukupan. Anak yatim tersebut menderita karena kehilangan ayah dan sekaligus kehilangan hak (terhijab) dari kewarisan karena kewarisan ayahnya diambil oleh saudara-saudara ayahnya. Melihat kenyataan tersebut, perundang-undangan di beberapa negara muslim tidak lagi mengikuti aturan-aturan fikih klasik mazhab tersebut, tetapi disana telah diadakan beberapa perubahan terutama menyangkut hak anak (cucu) yang kematian ayahnya terlebih dahulu dari kakeknya tersebut. Hukum kewarisan di Mesir (1946) telah memperkenalkan lembaga alwassiyah al-wajibah (wasiat wajib) yang secara serta merta seorang pewaris dianggap telah berwasiat untuk anak (cucu) yang kematian ayahnya terlebih dahulu dari kakeknya itu tadi, dan hak yang diberikan adalah sebanyak hak yang seharusnya diterima ayahnya atau maksimal 1/3 harta. Ketentuan tentang wasiat wajibah ini juga 59 terakhir kali diakses pada tanggal 28 Juni 2012.

24 52 telah menjadi perundang-undangan di beberapa negara muslim lainnya seperti Tunisia (1959), Iraq (1964) dan Pakistan (1961). 60 Karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak menegaskan bagian cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka persoalan itu dicari jalan keluarnya melalui ijtihad. Salah satu ijtihad untuk menentukan bagian cucu adalah ijtihad yang dilakukan Zaid bin Tsabit. 61 Pada saat itu, ijtihad Zaid bin Tsabit mendapat pembenaran, sebab jalan pikiran tersebut sesuai dengan alam pikiran masyarakat Arab pada saat ijtihad tersebut dilakukan. Penonjolan kedudukan laki-laki maupun keturunan lewat garis laki-laki, merupakan sesuatu yang sangat logis, sebab alam pikiran patrilineal sangat mempengaruhinya. Keturunan lewat orang perempuan sama sekali tidak disinggung-singgung, sebab mempersoalkannya justru dianggap sangat tidak logis oleh alam pikiran patrilineal. Tidak mewarisnya orang dari garis perempuan, bukan merupakan persoalan dan juga tidak menyinggung rasa keadilan. Yang perlu dicari pemecahannya adalah keturunan lewat garis laki-laki. 62 Oleh karena itu, pikiran-pikiran kearah sistem penggantian tempat tidak dijumpai. Dalam kaitan ini Tahir Mahmood berkata : Doktrin representasi tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam dimana para keluarga yang lebih dekat 60 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab, INIS, Jakarta : 1998, hlm Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta : 2009, hal Ibid

25 53 menyingkirkan yang lebih jauh dalam golongan yang sama. Cara pemecahannya dengan memperkenalkan prinsip wasiat wajibah. 63 Dari pernyataan Tahir Mahmood tampak bahwa ajaran tentang penggantian tempat tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam. Sebagai gantinya, diperkenalkan wasiat wajibah. Pranata wasiat wajibah, yang memberikan jalan keluar bagi cucu yang tidak mewaris, memperluas pengertian cucu sampai derajat yang tidak terbatas jika cucu tersebut lewat garis laki-laki dan satu derajat jika lewat garis perempuan. Jika hanya dilihat dari segi ini, sesungguhnya masalah cucu dalam wasiat wajibah amat mirip dengan penggantian tempat. Sesungguhnya masalah cucu merupakan waris pengganti ayahnya yang mati terlebih dahulu. Pemikiran seperti ini tidak diakui oleh golongan Ahlussunnah. Di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa penggantian tempat dikenal dalam hukum kewarisan Islam. Dengan pemikiran yang amat logis dan analitis, beliau memaparkan bahwa pemikiran kearah sistem penggantian tempat lebih logis jika dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran dalam bidang kewarisan jika dibandingkan dengan pemikiran kearah lainnya. Dalam melakukan analisis ayat-ayat Al-Quran bidang kewarisan, metode yang beliau pergunakan adalah metode perbandingan langsung, yaitu perbandingan antara segala ayat yang ada sangkut pautnya dengan pokok persoalan, yaitu persoalan kewarisan. Karena dasar pikiran ini, beliau 63 Abdullah Siddik, Op.cit. hal.223

26 54 berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan bagi suatu ayat Al-Quran untuk memasukkan ayat yang lain. 64 Anak laki-laki mewaris dari bapak maupun ibunya. Anak perempuan mewaris dari bapak maupun ibunya. Bapak mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan. Ibu mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 11, yang artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan apabila anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya, seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, makanya ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 65 Ayat ini tidak menunjukkan bahwa pengertian anak diperluas menjadi cucu dan seterusnya dalam garis lurus, tetapi ayat ini jelas menunjukkan bahwa hak mewaris orang laki-laki dan orang perempuan sama. Artinya, baik laki-laki atau perempuan mewaris tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki atau perempuan. Ini jelas menunjukkan bahwa Al-Quran menghendaki sistem bilateral dalam bidang 64 Hazairin, Op.cit. hal Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal.150

27 55 kewarisan, apalagi jika ayat tersebut dikaitkan dengan Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 7. Jika kemudian dalam praktik timbul persoalan mengenai cucu, konsistensi terhadap ayat tersebut tetap perlu. Pendapat Zaid bin Tsabit mengenai cucu menunjukkan bahwa beliau tidak konsisten. Tidak konsistennya terlihat mengapa cucu dari garis laki-laki saja yang mungkin mewaris. Disini ditegaskan kata mungkin, sebab cucu dari anak laki-laki pun tidak akan mewaris jika ada anak lakilaki. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, cucu terhijab oleh anak laki-laki. Cucu dari anak perempuan sama sekali tidak disebutkan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam alam pikiran patrilineal, cucu lewat garis perempuan hanya dipandang sebagai ahli waris dzul arham. Bertolak dari pikiran yang sangat sederhana, tetapi sangat logis itu, beliau menguraikan bagaimana kemungkinan yang terjadi dalam hukum kewarisan Islam jika terdapat ahli waris pengganti atau penggantian tempat 66. Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 12 menjelaskan bagian suami, istri dan saudara atas warisan. Selengkapnya arti ayat tersebut adalah: Dan bagian kamu (kamu-kamu) laki-laki seperdua dari harta peninggalan istri-istri kamu (kamu-kamu) apabila mereka tidak mempunyai anak (walad), maka jika ada bagi meeka itu anak (walad), maka bagi kamu (kamu-kamu) seperempat dari harta peninggalan mereka, sesudah pengeluaran wasiat yang diwasiatkan atau utang; dan bagi mereka seperempat dari harta peninggalan kamu kalau tidak ada anak (walad) bagi kamu, maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalan kamu sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu wasiatkan, atau utang; dan jika ada seorang laki-laki diwarisi secara punah (kalalah) atau seorang perempuan, sedang baginya ada seorang 66 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit, hal 157

28 56 saudara laki-laki atau perempuan, setiap mereka itu memperoleh seperenam, maka jika mereka itu lebih banyak daripada demikian, maka mereka itu bersekutu (syurakaa ). Untuk sepertiga, sesudah di keluarga wasiat yang diwasiatkannya atau utang, pengeluaran yang tidak mendatangkan kemudaratan (kesempitan), demikianlah ketentuan Allah; dan Allah itu mengetahui lagi penyantun. 67 Apabila sebelum Islam datang, seorang perempuan tidak mungkin mewaris dalam keadaan apa pun, apalagi seorang janda. Setelah Islam datang, seorang perempuan sama haknya dengan seorang laki-laki dalam mewaris. Seorang janda pada masa sebelum Islam datang telah dijadikan objek kewarisan, artinya ia dijadikan seolah-olah suatu barang yang dapat dialihkan kepemilikannya. Dalam hukum kewarisan Islam, kedudukan seorang janda sangat kuat. Sebab ia tidak mungkin terhijab hirman oleh siapapun. Ia hanya mungkin ter-hijab nuqshan, yaitu dengan tampilnya keturunan. 68 Disamping itu, dalam ayat Al-Quran di atas juga ditegaskan bahwa saudara juga mewaris. Saudara laki-laki dan saudara perempuan mewaris dari saudaranya yang meninggal dunia. Artinya, tidak memperhatikan berkelamin apa saudara yang meninggal dunia, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan dapat mewaris. Selanjutnya, bagian saudara tersebut diatur dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 176, yang artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta 67 Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit. hal.158

29 57 saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua kali bagian saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Kedua ayat Al-Quran ini, yakni Surah An-Nisaa ayat 12 maupun 176, mengatur bagian saudara atas warisan. Karena adanya perbedaan itu, golongan Ahlussunnah menafsirkan bahwa saudara dalam ayat 12 merupakan saudara seibu, sedangkan saudara dalam ayat 176 merupakan saudara kandung atau saudara sebapak. 69 Dari ayat-ayat Al-Quran diatas, jelas sekali bagian kemenakan tidak diatur. Yang jelas diatur adalah bagian saudara, baik saudara laki-laki maupun perempuan. Pada waktu membicarakan bagian kemenakan, golongan Ahlussunnah hanya mambahas kemenakan dari garis laki-laki saja, yaitu kemenakan dari saudara kandung dan sebapak. Itupun hanya sebatas pada kemenakan laki-laki, sedangkan kemenakan perempuan, hanya dipandang sabagai ahli waris dzul arham, kemenakan laki-lakipun, kalau ia berasal dari saudara perempuan, baik kandung maupun sebapak atau kemenakan itu berasal dari saudara seibu maka kemenakan tersebut hanya dipandang sebagai ahli waris dzul arham. Sama seperti pada waktu analisis mengenai bagian cucu, Hazairin sangat tidak sependapat dengan keadaan seperti itu. Menurut beliau, sistem penggantian tempat merupakan jalan yang sangat tepat untuk mengatasi kekusutan itu. Contoh sederhana, 69 Ibid

30 58 seorang meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang kemenakan laki-laki, yang seorang berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara perempuan. Menurut golongan Ahlussunnah, anak dari saudara perempuan sama sekali tidak mewaris, karena terhalang oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki. Dalam keadaan seperti ini, seluruh warisan diterima oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki, yang disebut terakhir ini berkedudukan sebagai ashabah binafsihi. Dalam contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian tersebut, kedua kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari anak laki-laki memperoleh sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari saudara laki-laki memperoleh dua pertiga bagian. 70 Setelah Hazairin membuktikan adanya penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam, baik dalam garis lurus kebawah, ke atas, dan garis ke samping. Beliau berusaha merumuskan pengertian penggantian tempat tersebut menurut hukum kewarisan Islam. Menurut beliau, yang dimaksud dengan garis pokok penggantian adalah suatu cara untuk menentukan siapa-siapa ahli waris. Tiap-tiap ahli waris berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan menggantikan ahli waris yang lain. Jika seseorang meninggal dunia, yang tampil sebagai ahli waris terdiri atas anak, cucu, saudara, bapak, ibu, dan kakek serta nenek. Dari sekian ahli waris yang ada, perlu diadakan penyaringan atau penentuan siapa yang berhak memperoleh bagian warisan. Jika antara pewaris dengan ahli waris tidak ada penghubung, bisa 70 Ibid. hal.159

31 59 dikatakan orang tersebut mewaris langsung. Misalnya, seorang anak mewaris dari orang tuanya. Jika antara pewaris dengan ahli waris tersebut mewaris karena penggantian tempat, misalnya seorang cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Menentukan siapa ahli waris dari keseluruhan ahli waris yang ada inilah yang dimasudkan oleh Hazairin dengan garis pokok penggantian. Pada pemikiran Hazairin mengenai dikenalnya penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam apabila diuji dengan As-Sunnah dalam bidang kewarisan, sehingga ada beberapa hadis yang perlu diutarakan dalam kaitan ini, yakni sebagai berikut. Ibnu Abbas telah berkata : Apakah Zaid bin Tsabit tidak takut akan Allah dengan menjadikan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki dari anak lakilaki) seperti anak laki-laki, tetapi ia tidak menjadikan bapaknya bapak sebagai bapak. Maksudnya, jika seseorang mati dengan tidak meninggalkan bapak, bapaknya bapak mestinya dianggap seperti bapak, sebagaimana anak dianggap sebagai anak. Ini pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bercerita bahwa Rasulullah berkata, Bayarkanlah faraidh kepada yang berhak menerimanya, dan sisanya (yaitu setelah dibagi untuk ahli waris dzul faraidh) untuk orang laki-laki yang terdekat (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist yang pertama menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak setuju dengan pendapat Zaid bin Tsabit yang menyamakan kedudukan cucu dari anak laki-laki dengan anak laki-laki, baik dalam mewaris maupun menghijab. Dalam phadis yang kedua, sangat penting

32 60 jika dikaitkan dengan ijtihad Hazairin tentang penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam. 71 Penggantian tempat ini yang merupakan ajaran Hazairin juga telah diatur dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pengembangan dari kasus munasakhah yang lebih cenderung dengan hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi i, yang masih tetap di pergunakan tidak hanya oleh masyarakat Islam, melainkan juga oleh para Hakim di lingkungan Peradilan Agama sendiri. Pelembagaan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) dalam KHI tersebut dilakukan dengan cara modifikasi. Artinya: Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nilai-nilai hukum Eropa. 2. Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negara, seperti Mesir. Tapi langsung secara tegas menerima kompromi yuridis waris pengganti baik bentuk dan perumusan. 3. Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi dalam acuan penerapan: a. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 71 Ibid. 72 Departemen Agama RI, Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, no. 44 thn.1999, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, hal

33 61 b. Apabila waris pengganti seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua antara waris pengganti dengan bibinya. Motivasi pelembagaan hukum waris pengganti (plaatsvervulling) dalam hukum waris KHI tersebut, didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Oleh karena tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi menghukum seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya, hanya karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dahulu dari kakek. Apalagi jika faktanya, pada saat kakek meninggal dunia, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan, sebaliknya si cucu oleh karena ditinggal menjadi yatim, melarat dan miskin dan dilenyapkan pula haknya untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi hak bapaknya karena bapaknya meninggal terlebih dahulu dari kakeknya tersebut. Dengan demikian pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang termuat dalam KHI tersebut kelihatannya memberikan keadilan di Indonesia yang sangat tinggi terutama terhadap anak yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dari kakeknya yang dalam sistem kewarisan Islam (syara ) ia tidak akan mendapatkan harta waris. Pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KHI masih berbentuk law in book dan tentunya belumlah sepenuhnya sesuai dengan kenyataan (penerapan) yang ada di dalam masyarakat (law in action). Dalam teorinya, sebuah sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila hukum tersebut sudah dapat dipatuhi masyarakat, dan masyarakat akan mematuhi hukum jika mereka

34 62 mengetahui ketentuan-ketentuan kaedah hukum (aspek kognitif) sehingga timbul sikap akan sadar hukum (aspek afektif), 73 dengan ini hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum) terhadap hukum yang sedang berlaku (ius constitum). 74 Dari segi praktis, kewarisan menurut KHI berfungsi sebagai hukum terapan, sedangkan hukum kewarisan menurut ulama Syafi i dan Hazairin dapat merupakan doktrin-doktrin yang dapat dipilih guna mengisi kekosongan (rectsvacuum) terhadap KHI yang secara normatif belum membahas tuntas semua permasalahan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia. 73 Abd Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1986, hlm Ibid. hal. 126

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris 1 A. Pembagian Warisan Dalam

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam 115 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari rumusan masalah ini, maka penyusun dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 A B S T R A K Seiring dengan perkembangan zaman juga pola pikir masyarakat, hal ini menghasilkan adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu: BAB IV ANALISIS A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin Dari penjelasan terdahulu dapat dikelompokkan ahli waris yang menjadi ahli waris pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut

Lebih terperinci

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI DOSEN Dr. Yeni Salma Barlinti, SH, MH Neng Djubaedah, SH, MH, Ph.D Milly Karmila Sareal, SH, MKn. Winanto Wiryomartani, SH, MHum. POKOK

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam adanya asas-asas kewarisan islam yaitu asas ijbari (pemaksaan),

Lebih terperinci

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Vera Arum Septianingsih 1 Nurul Maghfiroh 2 Abstrak Kewarisan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah perkawinan. Islam

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM 27 BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM A. Kerangka Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam literatur Indonesia sering menggunakan istilah kata waris atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA A. Analisa Terhadap Pertimbangan Putusan Hakim Pengadilan Agama Bangil Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki - BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS A. Pengertian dan Sumber Hukum. Pakar Hukum waris mengklasifikasikan kakek kepada dua macam, yaitu kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Aturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kewenangan Pengadilan Agama Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2, Pasal

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa. BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.Gs) A. Analisis Tentang Dasar Hukum Hakim Tidak Menerima Gugatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM A. Hijab dan Bagiannya 1. Pengertian Menurut bahasa Arab, hijab artinya penghalang atau mencegah atau menghalangi. Dalam al

Lebih terperinci

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Pengertian Mawaris Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

Lebih terperinci

MUNASAKHAH DALAM SISTEM KEWARISAN ISLAM. Oleh: MUH. SUDIRMAN Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

MUNASAKHAH DALAM SISTEM KEWARISAN ISLAM. Oleh: MUH. SUDIRMAN Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar 129 MUNASAKHAH DALAM SISTEM KEWARISAN ISLAM Oleh: MUH. SUDIRMAN Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Email: sumantri123@yahoo.com ABSTRAK: Tulisan ini menguraikan masalah sistim Munasakhah

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham 1 KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS Sarpika Datumula* Abstract Substitute heir is the development and progress of Islamic law that is intended to get mashlahah

Lebih terperinci

KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1

KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1 KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan 2 A. PENGANTAR Sitem kewarisan Islam di Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI

ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI [UNIVERSITAS MATARAM] [Jurnal Hukum ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI Haeratun 1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK Hukum kewarisan Islam dan perkembangannya,

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB) PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB) A. Definisi al-hujub Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman: "Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada

Lebih terperinci

SISTEM MUNASAKHAH DALAM KEWARISAN

SISTEM MUNASAKHAH DALAM KEWARISAN Rukiah, Sistim Munasakhah dalam Kewarisan... 138 SISTEM MUNASAKHAH DALAM KEWARISAN Rukiah Sekolah Tinggi Agama Islam Ngeri (STAIN) Parepare Email:rukiah_stainparepare@yahoo.co.id Abstract: This article

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan manusia itu sendiri yang paling menarik dan tak akan ada habisnya untuk didiskusikan. Karena

Lebih terperinci

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi 16 BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Sumber Hukum 1. Pengertian Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut

Lebih terperinci

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Pendahuluan Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. 1 Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-qur'an dan Hadist Rasulullah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH A. Analisis Hak Kewarisan Ayah dalam Pasal 177 KHI ditinjau Menurut Perspektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari

Lebih terperinci

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung?

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Hukum Waris: Auwloh Matematikanya Jeblok! HUKUM WARISAN: Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Oleh Ali Sina Satu kesalahan hitungan yang paling jelas dalam Qur an dapat ditemukan dalam penjelasan tentang

Lebih terperinci

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

HAK WARIS DZAWIL ARHAM Nama Kelompok : M. FIQHI IBAD (19) M. ROZIQI FAIZIN (20) NADIA EKA PUTRI (21) NANDINI CHANDRIKA (22) NAUFAL AFIF AZFAR (23) NOER RIZKI HIDAYA (24) XII-IA1 HAK WARIS DZAWIL ARHAM A. Definisi Dzawil Arham

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI A. Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI Hukum

Lebih terperinci

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH NENG DJUBAEDAH, SH, MH, PH.D RABU, 26 MARET 2008, 18, 25 MARET 2009, 16 nov 2011, 28 Maret, 25 April 2012, 22 Mei 2013 KEDUDUKAN CUCU atau AHLI WARIS PENGGANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Sesungguhnya yang demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI A. Analisis Terhadap Deskripsi Pembagian Warisan Oleh Ibu Senen dan Bapak Kasiran Kepada Ahli Waris Pengganti Di Desa Kasiyan

Lebih terperinci

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk beragama Islam telah menganut adanya sistem hukum nasional. Dalam upaya menjamin adanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Wasiat 1. Pengertian Wasiat Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat merupakan pesan terakhir dari seseorang yang mendekati

Lebih terperinci

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati ILMU FARAID 1 Firman Allah : "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka untuk) anakanakmu. Iaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu

Lebih terperinci

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI A. Kewarisan dalam CLD KHI Dalam CLD KHI hukum kewarisan diatur pada buku II yang terdiri dari 42 pasal yaitu mulai Pasal 1 sampai dengan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang mempunyai aturan yang lengkap dan sempurna, yang dalam ajarannya mengatur segala aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan bagi muslim dan muslimah, salah satunnya adalah hukum kewarisan. Yang mana hukum kewarisan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013 HAK MEWARIS DARI ORANG YANG HILANG MENURUT HUKUM WARIS ISLAM 1 Oleh : Gerry Hard Bachtiar 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukkan bagaimana asas-asas kewarisan menurut hukum waris Islam serta Hak

Lebih terperinci

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 1 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 B. DESKRIPSI MATA KULIAH Mata kuliah ini mempelajari hukum waris

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH Untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata, maka pada bab ini akan di berikan contoh - contoh permasalahan pembagian warisan berdasarkan ketentuan ketentuan yang

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Proses perjalanan kehidupan manusia yang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, menimbulkan hak dan kewajiban serta hubungan antara keluarga,

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang

Lebih terperinci

TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010

TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010 TELAAH TERHADAP PEMBATASAN LINGKUP AHLI WARIS PENGGANTI PASAL 185 KHI OLEH RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI DI BALIKPAPAN OKTOBER 2010 Ahmad Zahari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura E-mail : ahmad_zahari17@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL Penulis telah memaparkan pada bab sebelumnya tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, penghalang dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Istilah Hukum Waris 1. Definisi Waris Kata wârits dalam bahasa Arab memiliki jama waratsah yang berarti ahli waris 25, ilmu waris biasa juga dikenal dengan ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya,

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT maupun terhadap sesama umat

Lebih terperinci

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15 BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-quran yang memiliki beberapa arti yakni mengganti,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS 64 BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS A. Implikasi Yuridis Pasal 209 KHI Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hokum kewarisan menurut KHI secara

Lebih terperinci

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM 1 AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Pendahuluan Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil

Lebih terperinci

WARIS ISLAM DI INDONESIA

WARIS ISLAM DI INDONESIA ISSN 2302-0180 8 Pages pp. 19-26 WARIS ISLAM DI INDONESIA Azharuddin 1, A. Hamid Sarong. 2 Iman Jauhari, 3 1) Magister Ilmu Hukum Program Banda Aceh e-mail : Budiandoyo83@yahoo.com 2,3) Staff Pengajar

Lebih terperinci

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan: PEMBAGIAN WARISAN Pertanyaan dari: EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi) (Disidangkan pada Jum at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M) Pertanyaan: Sehubungan kami sangat awam masalah

Lebih terperinci

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM Hak Anak Angkat terhadap Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut Hukum Islam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Susiana No. 55, Th. XIII (Desember, 2011), pp. 139-148. HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG

Lebih terperinci

HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS

HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS HUKUM PERDATA ISLAM NENG DJUBAEDAH & YENI SALMA BARLINTI 15 OKTOBER 2014 MATERI A. Penggolongan Ahli Waris: 1. Menurut Hazairin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda ARTI FAROIDH FAROIDH adalah kata jamak dari FARIDHOH FARIDHOH diambil dari kata FARDH yg berari TAKDIR atau KETENTUAN. Syar I : Bagian yang sudah merupakan

Lebih terperinci

Ahli Waris Pengganti dalam Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Indonesia: Kajian Sosiologis dan Yuridis. Oleh: Fatimah Zuhrah

Ahli Waris Pengganti dalam Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Indonesia: Kajian Sosiologis dan Yuridis. Oleh: Fatimah Zuhrah Ahli Waris Pengganti dalam Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Indonesia: Kajian Sosiologis dan Yuridis Oleh: Fatimah Zuhrah Abstrak Di dalam kenyataannya sering terlihat bahwa anak-anak yang kematian ayahnya

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI A. Kewarisan dalam KHI Dalam KHI hukum kewarisan diatur pada buku II yang terdiri dari 43 pasal yaitu mulai Pasal 171 sampai dengan Pasal 214. 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak sering dimaknai sebagai karunia Tuhan untuk membahagiakan dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga merupakan amanat Tuhan kepada ayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya yang disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia.salah

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH. A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam

BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH. A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam 91 BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum

Lebih terperinci

Spirit Keadilan Dalam Warisan :Dirasah Hadis Edisi 37

Spirit Keadilan Dalam Warisan :Dirasah Hadis Edisi 37 Membaca hadis-hadis Nabi tentang hak waris bagi perempuan adalah membaca sebuah episode sejarah perubahan sosial yang revolusioner terhadap hak dan akses perempuan atas harta peninggalan keluarga. Betapa

Lebih terperinci

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry : Article Review Judul Artikel : Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam Penulis Artikel : Zulham Wahyudani Reviewer : Anna Rizki Penerbit : Jurnal Ilmiah

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI

PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI Gemala Dewi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok gemaladw@yahoo.co.id Abstract Legal pluralisme has shaped

Lebih terperinci

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL Nurul Huda Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Menurut hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA A. Analisis Terhadap Kebiasaan Pembagian Waris Di Kejawan Lor Kelurahan Kenjeran Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga. Hukum waris erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah

Lebih terperinci

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM BAB II Z\ AWI>l furu>d} adalah gabungan dua kata, yaitu z\awi>l, adakalnya

Lebih terperinci

Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam

Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam Asni Zubair * dan Lebba ** Abstrak: Penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan untuk memberi jalan keluar bagi cucu yang terhalang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara beraneka ragam adat dan budaya. Daerah yang satu dengan daerah yang lainnya memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Demikian juga

Lebih terperinci

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM Penulis : Agil Jaelani, Andri Milka, Muhammad Iqbal Kraus, ABSTRAK Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan merupakan salah satu tatanan hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia agar pasca meninggalnya seseorang tidak terjadi perselisihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Mereka saling tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan

Lebih terperinci

MAKALAH PESERTA. Hukum Waris dalam Konsep Fiqh. Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I

MAKALAH PESERTA. Hukum Waris dalam Konsep Fiqh. Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015 MAKALAH PESERTA Hukum Waris dalam Konsep Fiqh Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I Hukum Waris dalam Konsep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep waris sebagai kewenangan hukum pengadilan agama (PA) terbatas hanya pada konsep waris Islam. Selain itu, secara substansi hukum Islam di indonesia terangkum dalam Kompilasi

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA USWATUN HASANAH / D 101 10 062 Pembimbing: I. ABRAHAM KEKKA, S.H, M.H., II. MARINI CITRA DEWI, S.H, M.H., ABSTRAK Menurut pasal 832 KUH

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam BAB II Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam 1. Pengertian Hukum Waris Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 HAK WARIS ANAK KANDUNG DAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM 1 Oleh : Budi Damping 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana asas-asas dalam Hukum Kewarisan menurut

Lebih terperinci

BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM Oleh: Ibnu Rusydi, S.H., M.Pd.I. *) ABSTRAK Pembagian waris Islam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN A. Pengertian Harta Warisan Warisan berasal dari kata waris, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu : warits, yang dalam bahasa Indonesia berarti ahli waris,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 4.

BAB I PENDAHULUAN. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 4. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia di dalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa yang penting diantaranya, waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, waktu ia meninggal dunia, semua ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap pasangan (suami-istri) yang telah menikah, pasti berkeinginan untuk mempunyai anak. Keinginan tersebut merupakan naluri manusiawi dan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Islam merupakan hukum Allah. Dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya kepada Allah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan dari si mayat kepada ahli waris yang masih hidup sudah terlaksana. Allah SWT sebagaimana termaktub dalam al-qur an.

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan dari si mayat kepada ahli waris yang masih hidup sudah terlaksana. Allah SWT sebagaimana termaktub dalam al-qur an. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak zaman sebelum Islam datang, kebiasaan saling mewarisi harta peninggalan dari si mayat kepada ahli waris yang masih hidup sudah terlaksana. Ketika Islam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS A. Sebab-Sebab Terjadinya Penguasaan Tirkah Al-Mayyit Yang Belum Dibagikan Kepada Ahli Waris Harta peninggalan

Lebih terperinci