EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI"

Transkripsi

1 TESIS EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI PRATIWI DEVI GM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i

2 TESIS EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATA ISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI PRATIWI DEVI GM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i

3 EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana PRATIWI DEVI GM NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii

4 Lembar pengesahan TANGGAL.. TESIS INI TELAH DISETUJUI Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MSProf.Dr.Nyoman Sadra Dharmawan,MS NIP NIP Mengetahui Ketua Program StudiKedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP NIP iii

5 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal. Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No 3437/a/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 21 Desember 2013 Ketua : Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS. Anggota : 1. Prof. Dr.drh. Nyoman Sadra Dharmawan,MS. 2. Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP. 3. Prof.Dr.drh. I Ketut Berata, M.Si. 4. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes. iv

6 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Pratiwi Devi GM NIM : Program Studi : Ilmu Kedokteran Hewan Judul Tesis/Disertasi :Evaluasi uji ELISA dengan crude antigencysticercustaenia saginataisolat lokal pada serum lapangan sapi bali. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi * ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 21 Desember 2013 Yang membuat pernyataan *Coret yang tidak perlu Pratiwi Devi GM v

7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandar pasir Mandogepada tanggal 23 Juli Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, putri dari pasangan Bapak Alm. A.Ginting, S.Pd. dan ibu A.br. Tampubolon, S.Pd.Penulis memulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN Bandar pasir Mandoge (Kelas 1 SD), kemudian pada tahun di SDN Bandar pasir Mandoge (kelas 2 hingga 6 SD), Tamat Sekolah Menengah Pertama tahun 2004 dari SMP Swasta Methodist-2 Kisaran dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN-2 Tebing Tinggi tamat pada tahun Selanjutnyapenulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan tahun Pada tahun 2011 penulis menempuh Pendidikan Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana. vi

8 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan kehendak dan kasih-nya, tesis dengan judul EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS selaku pembimbing I yang telah membagi pengetahuan dan banyak memberi masukan kepada penulis; Prof. Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan,MS selaku pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan arahan, masukan, dukungan serta dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini; Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi. Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana, Universitas Udayana atas segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana; Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kesselaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta meluangkan waktu sebagai penguji dan memberikan masukan demi menyempurnakan tulisan ini; Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP dan Prof. Dr.drh. I Ketut Berata, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk menguji tesis ini dan memberikan banyak masukan untuk menyempurnakannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil,Ph.D. yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan masukan dan arahan kepada penulis, terutama dalam pemeriksaan sampel di laboratorium. Kepada para dosen di Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, penulis ucapkan terima kasih atas masukan dan bimbingannya.penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayahanda Alm. A. Ginting, S.Pd. yang terkasih. Terima kasih sudah membesarkan, membimbing, memberi nasehat, mendoakan, mencurahkan kasih sayang yang tiada henti; ibunda A. br Tampubolon, S.Pd. yang saya banggakan, vii

9 terimakasih telah menjadi ibu terhebat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang Jimmi Ricardo GM, adek Sonia Sinalsal GM, Rehjorena Ivana GM dan H. Rahmadhan Samuel GM yang telah memberikan motivasi dan dukungan guna terselesaikannya studi di Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan tesis ini.namun dengan adanya bimbingan, saran, serta dorongan dari semua pihak, maka tulisan ini dapat diselesaikan.akhirnya penulis mengucapkan selamat membaca, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi berbagai pihak.segala saran dan kritik guna perbaikan tulisan di masa depan, sangat penulis harapkan. Denpasar, 21 Desember 2013 Penulis viii

10 ABSTRAK EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI Tujuan penelitianini adalah untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigenisolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali serta untuk mengetahui kejadian sistiserkosis Taenia saginata di Bali. Sampel serum diperoleh dari sapisapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dan sapi yang dipelihara peternak. Hasil pemeriksaan menunjukkan 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T.saginata. Selanjutnya, sebanyak 90 (33,33%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Hasil pemeriksaan feses menunjukkan sebanyak 80 (88,9%) terinfeksi trematoda dan 14 (15,5%) terinfeksi campuran trematoda dan nematoda. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2, hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Dengan demikian, masih diperlukan upaya-upaya pemurnian antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal yang dipakai, agar uji lebih sensitif dan spesifik hanya untuk Cysticercus T. saginata. Kata Kunci: Sapi bali, ELISA, crude antigenisolat lokal, Cysticercus T. saginata ix

11 ABSTRACT ELISA EVALUATION WITH TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (LOCAL ISOLATE)OF FIELD SERUM BALI CATTLE The purpose of this study was to evaluate the ELISA test with crude antigen local isolate using field serum in Bali as well as to determine the incidence ofcysticercosis T. saginata in Bali. Serum s sample obtained from bali cattles that slaughtered at the abattoir and bali cattle that are raised by farmer at the field. The result of sera examination showed that 237 (87,7%) detected antibodies of Cystisercus T. saginata. Furthermore, as many as 90 (33,33%) of the 270 bali cattle, their feces were also taken for examination of worm eggs. Results of stool examination showed 80 (88,9%) infected with trematodes and 14 (15,5%) infected with a mixture of trematodes and nematodes. By comparing the results of ELISA serology and the resultsof stool examination on 90 samples using the test of sensitivity and specificity approach or Table 2 x 2, the results of this study showed a cross-reaction between Cysticercus T. saginata and trematode. Further efforts are still needed for purification of CysticercusT. saginatalocalantigen isolates for more sensitive and specific just to Cysticercus T. saginata. Keywords: Bali cattle, ELISA, crude antigen local isolate, Cysticercus T. saginata. x

12 RINGKASAN EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI Sampai saat ini data mengenai kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali belum pernah dilaporkan. Hal ini disebabkan karena diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup memiliki sensitifitas yang rendah.diagnosis sistiserkosis biasanya dilakukan dengan carapost mortem, yakni dengan pemeriksaan kesehatan daging. Dengan telah dikembangkannya metode pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen isolat lokal oleh Lubis et al. (2013), penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi uji ELISA tersebut, menggunakan serum lapangan di Bali. Mengingat uji serologi ini baru diperkenalkan, perlu dilakukan evaluasi terhadap sensitifitas dan spesifisitasnya dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses. Sampel serum diperoleh dari sapi baliyang dipotong di dan dari sapi bali yang dipelihara peternak di lapangan. Pemeriksaan serum dilakukan dengan uji ELISA menggunakan antigen isolat lokal CysticercusT. saginatadari hasil penelitian sebelumnya.feses diperiksa dengan metode apung dan sedimen. Evaluasi antigen yang digunakan dalam uji ELISA ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses dengan menerapkan uji sensitifitas dan spesifisitas menggunakan Tabel 2 x 2. Dari 270 sampel serum yang diperiksa, 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T.saginata. Sebanyak 90 (33,3%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya untuk uji ELISA, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Dari uji sedimentasi dan uji apung yang dilakukan, ditemukan telur cacing trematoda sebanyak 80 (88,9%) sampel; telur nematoda pada 1 (1,1%) sampel; dan campuran antara telur trematoda dan nematoda pada 14 (15,5%) sampel. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2, diketahui adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa uji serologi ELISA dengan antigen isolat lokal yang dipakai mendeteksi antibodi Cysticercus T. saginata pada sapi bali, masih memberikan reaksi silang dengan cacing trematoda. Oleh karena itu, ke depan masih diperlukan upaya-upaya pemurnian antigen isolat lokal tersebut, agar lebih sensitif dan spesifik hanya untuk Cysticercus T. saginata. xi

13 DAFTAR ISI xii Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii ABSTRAK... ix ABSTRACT... x RINGKASAN... xi DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB IIKAJIAN PUSTAKA Sapi Bali T. saginata Prevalensi T. saginata... 8 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Bahan Penelitian Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Pemilihan dan Pengambilan Sampel Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan Feses Pemeriksaan Konsentrasi Pengendapan Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan Analisis Data

14 BAB V HASIL PENELITIAN Uji Serologi Pemeriksaan Feses BAB VI PEMBAHASAN BAB VII SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 5.1 Hasil Uji ELISA Serum Sapi bali di Bali terhadap Antibodi CysticercusT. saginata Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Trematoda Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Nematoda Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi campuran Trematodadan Nematoda xiv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar Siklus Hidup T. saginata... 6 Gambar Konsep Penelitian xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Feses di Mikroskop Pembesaran Objektif 40 x Lampiran 4. Alat dan Bahan Penelitian xvi

18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit hewan yang dapat menular ke manusia masih merupakan masalah besar di hampir semua negara baik pada negara berkembang maupun negara maju.penyakit ini dikenal dengan zoonosis.zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung kontak antara hewan dengan manusia, secara tidak langsung misalnya melalui hewan perantara. Salah satu zoonosis yang dapat ditularkan melalui pangan adalah infeksi Taenia saginata (Suharsono, 2002; Nichlos dan Smith, 2003). Cacing T. saginata berparasit pada usus manusia, sementara bentuk larvanya yang dikenal dengan Cysticercus T. saginata menginfeksi otot-otot sapi.manusia terinfeksi taeniasis bila mengkonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau kurang matang yang mengandung sistiserkosis T. saginata. Sebaliknya sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan melalui feses manusia (Dharmawan et al., 2012). Kasus sistiserkosis pada sapi di Provinsi Bali belum pernah dilaporkan oleh instansi resmi pemeriksaan daging maupun peneliti.itu tidak berarti bahwa kasus tidak ada karena kasus taeniasis pada manusia masih sering dilaporkan. Menurut Wandra et al., (2007) kasus taeniasis dilaporkan di empat kabupaten di Bali (Gianyar, Badung, Denpasar, Karangasem) sejak tahun Dari 540 orang yang disurvei, prevalensi taeniasis T. saginata berkisar antara 1,1%-27,5%. Prevalensi taeniasis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan 1999 (1,3%) (Simanjuntak et al., 1997; Sutisna et al., 2000) sedangkan hasil survei yang dilakukan di Bali pada tahun menemukan 80 kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011). 1

19 2 Tingginya kasus taeniasis di Bali diduga karena masih banyak ditemukan keluarga yang gemar mengkonsumsi daging sapi mentah berupa lawar.lawar merupakan makanan khas Bali yang dibuat dari daging babi atau daging sapi mentah yang dicampur bumbu, sayuran dan parutan kelapa. Di sisi lain, ternak terinfeksi saat memakan rumput yang tercemar telur cacing yang terkandung dalam kotoran manusia. Sampai saat ini data mengenai kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali belum pernah dilaporkan. Hal ini disebabkan karena diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup memiliki sensitifitas yang rendah. Saat ini biasanya diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan cara post mortem yakni dengan melakukan pemeriksaan kesehatan daging dengan menemukan parasit. Dengan adanya metode pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen isolat lokal yang dikembangkan oleh Lubis et al. (2013), penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi uji ELISA tersebut dengan menggunakan serum lapangan di Bali. Uji serologi terhadap kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan, karena itu dilakukan juga evaluasi terhadap sensitifitas dan spesifisitas uji dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini maka permasalahan yang diangkat adalah; a. apakah uji ELISA dengan antigen isolat lokal tersebut dapat diterapkan/ cukup valid? b. dengan menggunakan metode yang dikembangkan tersebut, berapa prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali?

20 3 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: a. mengevaluasi uji ELISA yang dikembangkan oleh Lubis et al. (2013). b. mengetahui kejadian sistiserkosis T. saginata di Bali. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan ilmu tentang potensi antigen isolat lokal Cysticercus T. saginata yang dipakai uji ELISA dan sekaligus mengetahui kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali.

21 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sapi bali merupakan kekayaan plasma nutfah Indonesia yang perlu dipertahankan kelestariannya (Wiryosuhanto, 1996). Tempat dimulainya domestikasi sapi bali masih terdapat perbedaan pendapat, dimana Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun Payne dan Rollinson (1973) menduga bahwa asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia. Nozawa (1979) menduga gen asli sapi bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi bali adalah di Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990). Menurut Wiliamson dan Payne (1993), ciri-ciri fisik sapi bali adalah berukuran sedang, berdada dalam dengan kaki yang bagus. Warna bulu merah bata dan coklat tua.bibir, kaki, ekor berwarna hitam, kaki berwarna putih dari lutut ke bawah (white stocking), ditemukan warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantat.pada punggung ditemukan garis hitam di sepanjang garis punggung yang disebut garis belut.pada waktu lahir, baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki.warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa dan jantan lebih gelap daripada betina.warna hitam menghilang dan warna bulu merah bata kembali lagi jika sapi jantan dikebiri.bulu pendek, halus dan licin.kulit berpigmen dan halus.kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan berdiri. Sapi bali jantan 4

22 5 maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut. Panjang tanduk sapi jantan biasanya cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mulamula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada sapi betina, bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi mengarah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam). 2.2 T. saginata Taenia saginata merupakan cacing pita pada sapi.manusia berperan sebagai hospes definitif sedangkan sapi maupun kerbau berperan sebagai hospes perantara (Wandra et al., 2006).Skoleks T. saginata berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker).tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher T. saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008).Segmen T. saginata dapat mencapai 2000 buah. Segmen mature mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai cabang di setiap sisi segmen.segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus.segmen gravid T. saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005). Fase larva dari T. saginata disebut Cysticercus bovis.cysticercus bovis terdapat di dalam tubuh hospes perantara (sapi) terdiri dari kantong tipis yang dindingnya mengandung skoleks dan rongga ditengahnya berisi sedikit cairan jernih (Iskandar, 2005).Penyakit parasitik yang disebabkan oleh Cysticercusdisebut

23 6 Sistiserkosis.Sistiserkosis ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes.kista juga sering dijumpai pada otot masseter, jantung dan diafragma.kista Cysticercus bovis berukuran 6-9 mm, diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna (Pustekkom, 2005). Gambar Siklus hidup T. saginata Sumber: CDC, Center for Disease Control and Prevention, Department of Health and Human Services ( Dalam usus manusia terdapat proglotid gravidyang mengandung banyak telur Bila telur atau proglotid gravid yang keluar termakan sapi, akan berkembang menjadi larva onkosfer. Larva onkofter menembus usus dan masuk kedalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot lurik dan membentuk kista Cysticercus bovis. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding Cysticercus bovisakan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada

24 7 usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh membentuk proglotid yang dapat menghasilkan telur. Proglotid dewasa akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya proglotid gravid dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkosfer. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti Gambar diatas (CDC, 2011). Diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan cara post mortem yakni dengan melakukan pemeriksaan kesehatan daging dengan menemukan parasit. Selain itu metode diagnosa yang dipakai untuk mendiagnosa sistiserkosis adalah palpasi. Diagnosa sistiserkosis dengan cara palpasi pada hewan telah dilaporkan sangat spesifik, tetapi sensitifitasnya rendah terutama pada hewan dengan infeksi sedang (Gonzales et al., 2001). Oleh sebab itu dikembangkan metode diagnosa yang mudah dan dapat dipercaya, salah satu metode yang dikembangkan adalah uji imunodiagnostik ELISA. Menurut da Silva et al. (2000) uji ELISA terhadap kasus neurocysticerkosis pada manusia memiliki tingkat sensitifitas 95%, sementara Pinto et al. (2000) mengatakan bahwa diagnosis sistiserkosis pada babi dengan menggunakan uji ELISA menggunakan sampel antigen cairan vesikel memiliki tingkat sensitifitas % dan spesifisitas 97,5-100%. Husain et al.(2001) menggunakan ekstrak membrane cysticercus fasciolaris untuk imunodiagnostik neurocysticercosis, tes ini memiliki sensitifitas secara keseluruhan 93,54% dan spesifisitas 84,2% dengan nilai prediksi positif 93,54% dan nilai prediksi negatif 84,2%. Das et al. (2002) mengatakan bahwa ELISA memiliki tingkat sensitifitas yang baik terhadap diagnostik neurocysticercosis. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan dan teknik ini umumnya memberi hasil yang baik. Menurut Ito et al. (2002) bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis. Sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi T. saginata, sapi dikandangkan sehingga kontak langsung antara sapi dengan feses manusia dapat diminimalisir. Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole,

25 8 febantel dan fenbendazole.demikian juga untuk pengobatan taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus (OIE, 2005). 2.3 Prevalensi T. saginata Taenia saginata merupakan penyakit parasitik zoonosis di seluruh dunia dengan perkiraan sekitar 50 juta kasus infeksi (Wanzala et al., 2003).Selanjutnya Wanzala (2003) melaporkan bahwa orang meninggal akibat infeksi T. saginata. Endemitas taeniasis dan sistiserkosis di suatu wilayah dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yaitu: (1) pembuangan kotoran manusia yang tidak memenuhi syarat kesehatan, misalnya kebiasaan buang air besar disembarang tempat sehingga telur taenia menyebar melalui air, lalat dan mobilitas manusia; (2) pemeliharaan sapi dan babi yang tidak dikandangkan, sehingga memungkinkan sapi dan babi memakan feses manusia; (3) hygiene-sanitasi individu yang rendah, misalkan kebiasaan tidak membersihkan tangan sebelum makan; dan (4) kebiasaan tertentu sehubungan dengan makanan, misalnya hidangan yang mengandung daging sapi atau daging babi mentah ( Batero, 1989). Infeksi T. saginata ditemukan di Afrika, Timur Tengah dan beberapa bagian dari Eropa.Infeksi jarang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia (J, Howell dan Brown G, 2008).Prevalensi infeksi T. saginata berbeda disetiap negara, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).

26 9 Tiga provinsi di Indonesia yang merupakan daerah endemis taeniosis/sistiserkosis adalah Bali (T. solium) dan (T. saginata), Sumatera Utara (T. asiantica), dan Papua (T. solium). Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa diempat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karangasem) pada tahun , tingkat prevalensi taeniosis T. saginata 1,1%-27,5%. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), dibandingkan dengan survey sebelumnya pada tahun 1977(2,1%) dan tahun 1999 (1,3%) (Wandra et al., 2006, Dharmawan et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan Sutisna tahun 2000 di Br. Pamesan, Desa Ketewel, Gianyar (penduduk sebanyak 765 orang), dari 156 feses yang diperiksa 2 mengandung Taenia (Prevalensi1,3%). Kedua kasus tersebut ternyata disebabkan oleh T. saginata. Dari 115 serum yang diperiksa, 6 menunjukkan seropositif (5,2%). Kasus tersebut terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan, berumur tahun.di samping kelompok penelitian, 13 orang mengeluh mengeluarkan proglotida juga diperiksa, dan ternyata mengandung infeksi Taenia, terdiri dari T. saginata dan T. solium.dua diantaranya menunjukkan hasil seropositif, seorang terinfeksi T. solium dan yang lainnya T. saginata.hal tersebut menunjukkan bahwa taeniosis dan sistiserkosis memang endemis pada penduduk Pulau Bali (Sutisna et al.,2000). Kasus sistiserkosis pada sapi ditemukan hampir diseluruh dunia, dengan kategori prevalensi rendah di negara maju, moderat di negara-negara Asia selatan, dan tinggi di negara-negara sedang berkembang dan di Sub Sahara Afrika (Taresa et. al., 2011; Dharmawan et. al., 2012).Data kejadian sistiserkosis karena Cystiserkus T. saginata di beberapa negara kebanyakan diambil dari laporanlaporan pemeriksaan kesehatan daging (Dharmawan, 1995).Sementara untuk kasus Cystiserkus T. saginata di Bali belum pernah secara resmi dilaporkan.

27 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sistiserkosis dan taeniasis selain merupakan masalah kesehatan masyarakat, juga menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.sistiserkosis dapat menurunkan nilai jual daging karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan (Flisser et al., 2006).Seperti yang dilaporkan angka prevalensi penyakit ini tersebar diberbagai wilayah Indonesia dengan tingkat prevalensi yang bervariasi. Namun data tentang prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sampai saat ini belum tersedia. Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit, namun di Indonesia penyakit ini masih terabaikan.salah satu metode penanggulangan yang efisien terhadap sistiserkosis dan taeniasis adalah dengan memutus rantai daur hidup parasit tersebut.manusia terinfeksi taeniasis bila mengkonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau kurang matang yang mengandung sisitiserkosis T. saginata. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan melalui feses manusia (Dharmawan et al., 2012). Kendalanya sampai saat ini adalah kurangnya data tentang keberadaan sistiserkosis tersebut pada sapi bali di Bali. Ketiadaan informasi ini, disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap pemeriksaan kesehatan daging baik di RPH maupun di tempat-tempat pemotongan sapi tradisional.selain itu, teknik diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada hewan lebih banyak menggunakan uji-uji yang dilakukan post mortem. Hal ini juga menyebabkan upaya untuk mengetahui prevalensi kejadian sistiserkosis pada sapibali di Bali tidak optimal. Dengan adanya teknik diagnostik yang dipermudah, misalnya dengan menggunakan antigen isolat lokal yang 10

28 11 dikembangkan Lubis et al. (2013), dapat di deteksi keberadaan antibodi Cysticercus T. saginata. Akan tetapi, dari beberapa laporan tentang pengembangan uji diagnostik serologi untuk sistiserkosis dan taeniasis, diketahui bahwa uji serologi sering kali belum optimal, karena hasil yang diperoleh masih menunjukkan reaksi silang (cross reaction) dengan parasit lain. Kumar dan Tadesse (2011) melaporkan bahwa uji serologi dengan menggunakan crude antigen yang dipakai untuk mendeteksi antibodi cysticercus/taenia sering bermasalah dari segi spesifisitasnya, terutama bila diterapkan pada ternak yang terpapar oleh parasit lain yang mengakibatkan timbulnya reaksi silang. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ito (2013), yang menyatakan bahwa dari hasil penelitian dan pengamatannya menemukan bahwa penggunaan crude antigen untuk uji serologi terhadap infeksi cestoda, sering memberi hasil positif palsu (false positives). Tingginya persentase kejadian sistiserkosis pada sapi yang ditunjukkan dari hasil pemeriksaan serologi, oleh Kandil et al. (2012) dilaporkan juga dapat disebabkan oleh adanya reaksi silang dengan parasit lain. Sementara itu, Oliveira et al. (2007) secara spesifik melaporkan bahwa penggunaan antigen Cysticercus T. saginata untuk uji serologi, memperlihatkan reaksi silang antara infeksi Taenia sp, Hymenolepis nana dan infeksi Echinococcus granulosus.hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya variasi dari antigenic epitopes masing-masing spesies.reaksi silang yang terjadi di antara Taenia sp. dan Hymenolepis sp. sangat terkait dengan hubungan filogenetiknya, kedua sepesies cacing pita tersebut berasal dari Family Taeneiidae (Oliveire et al., 2007). Saat ini, ELISA sebagai uji serologi telah digunakan secara ekstensif dan universal untuk diagnosis sistiserkosis, dan tidak jarang memiliki nilai sensistifitas dan spesifisitas yang tinggi (dari 90% sampai 100%), tergantung dari antigen spesifik yang digunakan (Cai et al., 2006).

29 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi kepustakaan dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut. Sapi bali dan daerah endemis Daerah endemis Serum Feses ELISA, antigen isolat lokal Pemeriksaan feses, sedimentasi dan pengapungan Hasil uji serologi, Prevalensi Hasil pemeriksaan telur cacing Evaluasi Antigen uji ELISA Uji sensitifitas dan spesifisitas hasil uji serologi dan pemeriksaan feses Gambar 3.2.1: Konsep Penelitian

30 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian obervasional untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum sapi lapangan di Bali dan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis T. saginata di Bali. Oleh karena uji serologi dengan menggunakan antigen isolat lokal ini baru pertama kali diterapkan di lapangan, evaluasi sensitifitas dan spesifisitas uji dilakukan dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses. Angka prevalensi ditetapkan menggunakan point prevalence-rate. 4.2 Lokasi dan waktu penelitian Pengambilan sampel serum sapi bali dan pengambilan sampel feses di lapangan dilakukan di beberapa daerah di Bali (Gianyar, Karangasem,, Badung, dan Klungkung) secara purposive. Sampel serum juga diambil pada sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran.Penelitian laboratorium dikerjakaan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar.Penelitian dilakukan pada bulan Mei September Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah evaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali dan penetapan prevalensi sistisserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali. Sampel serum sapi bali diperoleh dari beberapa daerah dan dari sapi-sapi yang disembelih di dan di daerah endemis taeniasisis-sistiserkosis. Teknik diagnostik dengan uji ELISAmenggunakan antigen lokal berupa crude antigencysticercust. saginata hasil penelitian sebelumnya.untuk mengevaluasi uji serologis dilakukan perbandingan hasil pemeriksaan ELISA dan hasil pemeriksaan feses. 13

31 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: antigen Cysticercus T. saginata, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit(sigma), substrat ABTS mengandung 2,2 azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid) hydrogen peroxydase (BIORAD), skim milk 5%, serum sapi bali, feses sapi bali, PBS, PBS-Tween, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan karbonat ph 9,6), Alkohol 70 %, aquadest, formalin dan NaCl. 4.5 Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spuit, stiker kertas, tabung sentrifuge, sentrifugator, inkubator (37ºC), komputer, ELISA reader (mikroplate reader Bio-Rad model 550), ELISA washer (Imunowash Biorad model 1575), shaker (Tirtex), multichannel pippet, tip, plate ELISA, kulkas 4 o C, magnetic stirrer, rak shaker, gelas beker, saringan teh, objek gelas, gelas penutup, mikroskop, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet Pasteur. 4.6 Prosedur Penelitian Pemilihan dan pengambilan sampel Target populasi dalam penelitian ini adalah sapi bali yang dipotong di dan daerah endemis. Dipilihnya sapi bali yang dipotong di rumah potong hewan karena daging sapi tersebut sangat potensial dalam penularan zoonosis tersebut ke manusia, sedangkan sampel daerah endemis dipilih untuk pencegahan/pemutusan siklus hidup T. saginata. Sampel yang diambil berupa darah sapi bali dan beberapa sampel feses. Sampel darah yang diperoleh disentrifius untuk memperoleh serum. Serum yang didapat disimpan pada suhu - 20 o C sampai akan digunakan. Sesuai dengan Thrusfield (2007) penentuan jumlah sampel dilakukan dengan rumus: n=1,96 2 P exp (1-P exp), d 2

32 15 Dimana n = Jumlah sampel P exp = Prevalensi yang diperkirakan d = Selang kepercayaan Diketahui, P exp = 20% d = 0,5 n = 1,96 2 x 0, 2 (1-0,2) 0,25 = 246 sampel Pemeriksaan Serologi Deteksi antibodi terhadap Cysticercus T. saginata serum sapi bali yang diperoleh dari peternak maupun rumah potong hewan dilakukan dengan uji ELISA. Tahapan pemeriksaan antibodi dengan uji ELISA dilakukan dengan mempersiapkan 96-well polystyrene ELISA plates dilapisi dengan crude antigen, kemudian diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4 o C dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah inkubasi dicuci 3 kali dengan PBS-0,5 yang mengandung 0,1% Tween 20 (PBS-0,5 Tween). Sampel serum diencerkan PBS- 0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi sampel kemudian diinkubasikan selama 1 jam pada temperatur kamar. Setelah inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi. Setelah dilakukan pencucian 3 kali dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung o-phenylenediamine dihydrochloride (Sigma) dan 0,0012% hydrogen peroxydase. Reaksi dihentikan dengan penambahan asam sulfat 0,5 M setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 490 nm. Dari hasil pembacaan tersebut kemudian ditentukan index OD (OD sampel-od Kontrol negatif: OD Kontrol positif OD Kontrol negatif).

33 Pemeriksaan feses Pemeriksaan konsentrasi pengendapan (sedimentasi) Feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian ditambahkan aquades sampai konsentrasi kira-kira 10%.Larutan kemudian diaduk sampai homogen.lalu disaring memakai saringan teh untuk menghilangkan bagian yang berukuran besar.hasil saringan masukkan kedalam tabung sentrifuge sampai volume ¾.Sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit.kemudian tabung sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, sepernatan dibuang lalu sedimen yg ada didasar tabung diaduk sampai homogen. Bahan tersebut dibuat preparat dan dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop pembesaran objektif 40 x Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan Feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian ditambahkan aquades sampai konsentrasi kira-kira 10%.Larutan kemudian diaduk sampai homogen, lalu disaring memakai saringan teh untuk menghilangkan bagian yang berukuran besar.hasil saringan kemudian dimasukkan kedalam tabung sentrifuge sampai volume ¾.Sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, sepernatan dibuang kemudian ditambahkan larutan pengapung NaCl jenuh ¾ volume, diaduk hingga homogen. Tabung dimasukkan kembali kedalam sentrifugator dan selanjutnya ditaruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus. Tetesi tabung reaksi dengan larutan NaCl jenuh dengan menggunakan pipet Pasteur secara perlahan sampai permukaan cairan cembung (penambahan cairan pengapung tidak boleh sampai tumpah). Ditunggu 1-2 menit, ambil gelas penutup kemudian disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan setelah itu ditempelkan diatas gelas obyek. Diperiksa dengan menggunakan mikroskop pembesaran objektif 40 x.

34 Analisa data Data pemeriksaan serologi berupa nilai optical density (OD) dari serum yang dinyatakan positif dicatat, lalu ditabulasi dalam bentuk tabel sesuai asal sampel. Penetapan angka prevalensi dilakukan sesuai dengan metode point prevalence rate dengan membagi jumlah sampel positif dengan jumlah sampel yang diperiksa, dikalikan 100% (Thrusfield, 2007).Untuk evaluasi antigen yang digunakan dalam uji ELISA, hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses dianalissis dengan uji sensitifitas dan spesifisitas menggunakan Tabel 2 x 2 (Thrusfield, 2007).

35 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Serologi Untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal telah diperiksa 270 sampel serum sapi yang berasal dari beberapa kabupaten. Serum tersebut diperoleh dari sapi-sapi bali yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Gianyar, Karangasem,, Badung, dan Klungkung, dengan jumlah berturut-turut: 10 (3,7%), 30 (11,1%), 52 (19,3%), 30 (11,1%), dan 25 (9,3%). Selain itu, sampel serum juga diperoleh dari sapi bali yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Pesanggaran sebanyak 123 (45,5%). Dari hasil uji ELISA yang dilakukan terhadap semua serum, ditemukan 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T. saginata. Uji ELISA dinyatakan positif, bila hasil pembacaan menunjukkan nilai yang sama atau di atas Selengkapnya data hasil uji ELISA dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Hasil Uji ELISA Serum Sapi Bali di Bali Terhadap Antibodi Cysticercus T. saginata Jumlah Hasil Pemeriksaan ELISA Asal Sampel Sampel Positif (%) Negatif (%) Gianyar Karangasem ,3 5 16, ,3 4 7,7 Badung Klungkung , ,1 Total , ,3 18

36 19 Dari Tabel 5.1, diketahui bahwa 237 (87,7%) serum postif terdeteksi antibodi Cysticercus T. saginata dan 33 (12,3%) negatif. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dinyatakan bahwa prevalensi kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sebesar 87,7%. 5.2 Pemeriksaan Feses Sebanyak 90 (33,3%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya untuk uji ELISA, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Sampel feses ini diambil bersamaan saat pengambilan sampel serum sapi-sapi tersebut di lapangan.sampel feses tersebut berasal dari Kabupaten Gianyar, Karangasem dan. Dari uji sedimentasi dan uji apung yang dilakukan, ditemukan telur cacing sebagai berikut: 1) hanya telur trematoda pada 80 (88,9%) sampel; hanya telur nematoda pada 1 (1,1%) sampel; dan campuran antara telur trematoda dan nematoda pada 14 (15,5%) sampel. Data lengkap hasil pemeriksaan feses dapat dilihat pada Lampiran 2. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2 (Thrusfield, 2007), diketahui bahwa kemungkinan cacing dari golongan trematoda mempunyai kecenderungan mengaburkan tingginya prevalensi sistiserkosis yang diperoleh.hal ini terlihat dari hasil sensitifitas dan spesifisitas uji serologi (uji diagnostik ELISA) bila dipasangkan dengan hasil pemeriksaan feses. Secara lengkap hasil pendekatan dari masing-masing Tabel 2 x 2 tersebut, dapat dilihat pada Tabel 5.2, Tabel 5.3, dan Tabel 5.4. Dengan berasumsi bahwa antigen yang digunakan pada uji ELISA juga mendeteksi adanya antibodi cacing lainnya, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda.

37 20 Tabel 5.2 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Trematoda Hasil Uji ELISA Positif Trematoda Negatif Trematoda Total Positif Negatif Total Sensitifitas: 80/(80+0) = 80/80 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(1+9) = 9/10 = 0,9 (90%) Tabel 5.3 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Nematoda Hasil Uji ELISA Positif Nematoda Negatif Nematoda Total Positif Negatif Total Sensitifitas: 15/(15+0) = 15/15 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(66+9) = 9/75 = 0,12 (12%)

38 21 Tabel 5.4 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Campuran Trematoda dan Nematoda Hasil Uji Positif Trematoda Negatif Trematoda Total ELISA dan Nematoda dan Nematoda Positif Negatif Total Sensitifitas: 14/(14+0) = 14/14 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(67+9) = 9/76 = 0,11 (11%)

39 BAB VI PEMBAHASAN Dari hasil evaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali, diketahui bahwa seroprevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sebesar 87,7%. Secara rinci kejadiannya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Pada Tabel 5.1. tersebut dapat diketahui bahwa 237 (87,7%) serum postif terdeteksi antibodi Cysticercus T. saginata dan 33 (12,3%) negatif. Tingginya angka prevalensi ini bisa dikaitkan dengan tinggi kejadian taeniasis pada penduduk di Bali. Menurut Wandra et al. (2007) dari hasil penelitian kejadian taeniasis pada masyarakat di empat kabupaten di Bali, yaitu Gianyar, Badung, Denpasar dan Karangasem, pada kurun waktu , diketahui di antara 540 orang yang diperiksa, prevalensi taeniasis akibat T. saginata berkisar antara 1,1% (di Badung dan di Karangasem) sampai 27,5% (di Gianyar). Prevalensi kejadian ini dilaporkan meningkat secara drastis di Gianyar, menjadi 25,6% (pada 2002) dan 23,8% (pada 2005), dibandingkan dengan penelitian sebelumnya 2,1 % (pada tahun1977) dan 1,3% (pada tahun 1999) (Simanjuntaket al, 1997; Sutisnaetal,2000; Wandra et al., 2007). Tingginya kejadian ini diduga karena meningkatnya jumlah keluarga yang mengkonsumsi daging mentah berupa lawar sapi (Wandra et al., 2006; 2007). Wandra et al (2013) kembali melaporkan hasil penelitiannya yang dilakukan pada , di sembilan kabupaten (Gianyar, Badung, Denpasar, Bangli, Tabanan,, Klungkung, Buleleng dan Karangasem). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa 123 (8,24%) dari 1492 orang yang diperiksa terinfeksi cacing T. saginata. Pemeriksaan dilakukan dengan metode kuesioner, pemeriksaan feses (Kato-Katz), serologi (ELISA) dan analisis mitochondria DNA.Infeksi taeniasis T. saginata tersebut ditemukan di empat kabupaten yaitu Gianyar (107 kasus), Badung (1 kasus), Denpasar (14 kasus) dan Karangasem (1 kasus). Pada 22

40 23 penelitian yang kami lakukan, prevalensi kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Gianyar, Badung, dan Karangasem berturut-turut adalah 100%; 90% dan 83,3%. Prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan laporan kejadian yang sama di negara-negara lain. Garedaghi et al. (2011) yang melakukan penelitian di Rumah Potong Hewan Meshkinshahr, Iran pada September 2010 Agustus 2011, melaporkan dari 500 ekor sapi yang diperiksa secara acak dengan pemeriksaan kesehatan daging menemukan 15 (3%) terinfeksi Cysticercus T. saginata. Kandil et al. (2012) yang melakukan penelitian dengan mengamati sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan El-Basateen, Kairo secara serologi dan pemeriksaan kesehatan daging, melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis T. saginata berturut-turut adalah 29,3% dan 4%. Kumar dan Tadesse (2011) melaporkan prevalensi Bovine cysticercosis (sistiserkosis T. saginata) di wilayah Ethiopia bervariasi, dengan kisaran 2,2% sampai 26,25%. Angka ini dinilai masih rendah dari perkiraan, karena metode yang digunakan hanya mengandalkan hasil pemeriksaan kesehatan daging.di samping itu, perkiraan tadi juga diperkuat dari kebiasaan penduduk Ethopia yang sangat gemar mengkonsumsi daging sapi mentah, rendahnya tingkat penggunaan jamban, rendahnya sanitasi lingkungan, dan terbatasnya ketersediaan taenicides (Kumar dan Tadesse, 2011). Sementara itu, menurut Taeresa et al. (2011) yang melakukan penelitian cross sectional mulai Oktober 2010 hingga Maret 2011 di Kota Jimma Ethiophia, melaporkan bahwa dari 520 karkas yang diamati dengan cara pemeriksaan kesehatan daging, menemukan 19 (3,65%) terinfeksi sistiserkus. Pada penelitian yang kami lakukan, dari 270 sapi bali yang serumnya diuji ELISA, 90 (33,3%) diantaranya dilakukan pemeriksaan feses. Hasil pemeriksaan menunjukkan infeksi trematoda yang cukup tinggi. Sebanyak 80 (88,9%) terinfeksi trematoda dan 14 (15,5%) terinfeksi campuran trematoda dan nematoda. Dengan berasumsi bahwa antigen untuk uji ELISA yang dipakai juga

41 24 menimbulkan antibodi terhadap infeksi cacing lain, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Menurut Dharmawan (2009) uji serologi untuk deteksi sistiserkosis memiliki kendala dalam hal terjadinya reaksi silang dengan parasit lain, seperti dengan kista hydatida, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. El-Moghazy dan Abdel-Rahman (2012), menyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi pada spesies dalam satu filum, seperti antara T. solium, Hymenolepis nana, dan Echinococcus granulosus; tetapi juga dapat diperluas pada infeksi cacing dari filum yang berbeda, seperti pada infeksi Fasciola gigantica, T. spiralis, dan E. granulosus (El-Moghazy dan Abdel- Rahman, 2012). Pada studi yang dilakukan dalam rangka pengembangan dan evaluasi uji serologi terhadap Cysticercus bovis, Kabede (2004) melaporkan uji ELISA untuk deteksi C. bovis pada sapi menunjukkan reaksi silang dengan cacing lain. Dinyatakan bahwa lewat pemeriksaan feses yang dilakukan dengan teknik apung dan sedimentasi, sapi yang diamati terinfeksi trematoda (Fasciola sp. dan Parmphistomum sp.).pendapat seperti ini sebelumnya telah dinyatakan Lightowlers (1990), yang melaporkan bahwa penggunaan antigen cestoda pada uji serologi untuk deteksi cacing pita pada ruminansia, memperlihatkan reaksi silang antara Taenia spp. dan Fasciola hepatica.ridwan (2008) yang juga melakukan evaluasi terhadap crude antigencysticercus bovis yang digunakan untuk mendiagnosis Cysticercosis bovis pada sapi, melaporkan antigen ini memberi reaksi silang, diantaranya dengan Fasciola gigantica. Dengan demikian, crude antigen yang digunakan dalam penelitian ini sudah bersifat antigenik, namun masih dikenali oleh parasit lain yang bukan menjadi sasaran. Dengan kata lain, protein yang digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA ini masih perlu dimurnikan, sehingga spesifik dan hanya dikenal oleh Cysticercus T. saginata saja.berdasarkan pengalaman, penggunaan crude antigencysticercus T. saginata memiliki kelemahan, karena saat ekstraksi

42 25 kemungkinan protein pada daging juga terikut, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya positif palsu.white (1997) menyatakan bahwa uji serologi dengan menggunakan antigen yang tidak terfraksi dapat menyebabkan terjadinya positif dan negatif palsu.beberapa peneliti yang membandingkan penggunaan ekstrak kista, cairan kista dan ekstrak cacing pita sebagai antigen uji ELISA, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik (Dharmawan, 2009).

43 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 1. Uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal yang digunakan untuk mendeteksi antibodi Cysticercus T. saginata pada sapi bali, menunjukkan adanya reaksi silang (crossreaction) antara Cysticercus T. saginatadengan cacing trematoda. 2. Dengan menggunakan crude antigen isolat lokal tersebut, diketahui prevalensi Cysticercus T. saginata pada sapi bali di Baliadalah 87,7%. 3. Diperlukan upaya-upaya pemurnian crude antigenisolat lokal agar lebih sensitif dan spesifik, hanya mendeteksi Cysticercus T. saginata. 26

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 31-38 Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli ANAK AGUNG ISTRI AGUNG MIRAH DWIJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS

TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i CRUDE ANTIGEN

Lebih terperinci

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denapasar pada tanggal 20 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 13-21 Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Crude Antigen of Taenia saginata Cysticercus

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya melakukan pemeriksaan parasit cacing pada ternak sapi dan melakukan observasi lingkungan kandang

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

VERMISIDAL DAN OVISIDAL GETAH BIDURI (Calotropis spp.) TERHADAP FASCIOLA GIGANTICA SECARA IN VITRO SKRIPSI

VERMISIDAL DAN OVISIDAL GETAH BIDURI (Calotropis spp.) TERHADAP FASCIOLA GIGANTICA SECARA IN VITRO SKRIPSI VERMISIDAL DAN OVISIDAL GETAH BIDURI (Calotropis spp.) TERHADAP FASCIOLA GIGANTICA SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

INFEKSI COCCIDIA DAN STRONGYLOIDES PADA SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL SKRIPSI. Oleh Komang Yogie Suryana Putra NIM

INFEKSI COCCIDIA DAN STRONGYLOIDES PADA SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL SKRIPSI. Oleh Komang Yogie Suryana Putra NIM INFEKSI COCCIDIA DAN STRONGYLOIDES PADA SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Oleh Komang

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TINGKAT AUTOLISIS ANTARA OTOT DAN HATI SAPI BALI PADA BEBERAPA PERIODE WAKTU PENGAMATAN SKRIPSI

PERBANDINGAN TINGKAT AUTOLISIS ANTARA OTOT DAN HATI SAPI BALI PADA BEBERAPA PERIODE WAKTU PENGAMATAN SKRIPSI i PERBANDINGAN TINGKAT AUTOLISIS ANTARA OTOT DAN HATI SAPI BALI PADA BEBERAPA PERIODE WAKTU PENGAMATAN SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI PROTOZOA SALURAN CERNA ANAK BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DI WILAYAH PROVINSI BALI SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI PROTOZOA SALURAN CERNA ANAK BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DI WILAYAH PROVINSI BALI SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI PROTOZOA SALURAN CERNA ANAK BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DI WILAYAH PROVINSI BALI SKRIPSI Oleh: Ni Made Ayudiningsih Astiti Sudewi NIM.1009005033 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 31 Mei 1993, merupakan putra pertama dari tiga bersaudara pasangan I Wayan Ariana dan Ni Kadek Sri Anggreni. Penulis menempuh pendidikan di TK

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

PREVALENSI TELUR CACING Taenia Saginata PADA FESES SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN. Agus Evendi

PREVALENSI TELUR CACING Taenia Saginata PADA FESES SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN. Agus Evendi PREVALENSI TELUR CACING Taenia Saginata PADA FESES SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN Agus Evendi Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Kaltim, Jl. Kurnia Makmur No.64 Abstract Taeniasis and Cysticercosis is

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian ini termasuk jenis explanatory research atau penelitian penjelasan. Penelitian ini menguji hipotesis yang menyatakan hubungan

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Novese Tantri 1, Tri Rima Setyawati 1, Siti Khotimah 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING TREMATODA PADA TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI.

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING TREMATODA PADA TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI. HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING TREMATODA PADA TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI Oleh: Ni Made Ayu Sukarmi Mega 0609005016 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BENTUK KELAINAN KUKU SAPI BALI KEREMAN YANG DI PELIHARA DI TANAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN UMUR SKRIPSI. Diajukan oleh. Ida Yuni Erdia Reni

BENTUK KELAINAN KUKU SAPI BALI KEREMAN YANG DI PELIHARA DI TANAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN UMUR SKRIPSI. Diajukan oleh. Ida Yuni Erdia Reni BENTUK KELAINAN KUKU SAPI BALI KEREMAN YANG DI PELIHARA DI TANAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN UMUR SKRIPSI Diajukan oleh Ida Yuni Erdia Reni NIM. 0909005079 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi

Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi DISTRIBUTION AND NUMBER OF CYSTICERCUS BOVIS ON BALI CATTLE OF EXPERIMENTALLY INFECTED

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, 13 Desember 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Made Wirtha dan Ibu dr. Ni Putu Partini Penulis menyelesaikan

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gianyar, 11 Nopember 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Ketut Ardika dan Ibu Ni Wayan Suarni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

PENILAIAN PENERAPAN ANIMAL WELFARE PADA PROSES PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN MAMBAL KABUPATEN BADUNG SKRIPSI

PENILAIAN PENERAPAN ANIMAL WELFARE PADA PROSES PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN MAMBAL KABUPATEN BADUNG SKRIPSI PENILAIAN PENERAPAN ANIMAL WELFARE PADA PROSES PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN MAMBAL KABUPATEN BADUNG SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI BALI DAN WAGYU SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI BALI DAN WAGYU SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI BALI DAN WAGYU SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Oleh Ni Nyoman Citra Susilawati NIM.

Lebih terperinci

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh Abdi Jauhari NIM 032010101009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik karena dengan perlakuan berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam pemeriksaan metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

TESIS ANGKA KEJADIAN DAN FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGITAN ANJING RABIES DI PROPINSI BALI TAHUN 2013

TESIS ANGKA KEJADIAN DAN FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGITAN ANJING RABIES DI PROPINSI BALI TAHUN 2013 TESIS ANGKA KEJADIAN DAN FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGITAN ANJING RABIES DI PROPINSI BALI TAHUN 2013 I GEDE GILANG IKRA RADITYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAN UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN PADA INDUK SAPI BALI TERHADAP UKURAN DIMENSI PANJANG PEDET

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN PADA INDUK SAPI BALI TERHADAP UKURAN DIMENSI PANJANG PEDET PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN PADA INDUK SAPI BALI TERHADAP UKURAN DIMENSI PANJANG PEDET SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP Perbandingan Jumlah Bakteri Coliform Pada Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan Dan Tipe Pemeliharaannya

RIWAYAT HIDUP Perbandingan Jumlah Bakteri Coliform Pada Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan Dan Tipe Pemeliharaannya RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangli pada tanggal 20 Desember 1993. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak I Nengah Wardana dan Ibu I Ketut Sulendri. Penulis memulai pendidikan

Lebih terperinci

PADA SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN MAMBAL, BADUNG DAN PESANGGARAN, DENPASAR

PADA SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN MAMBAL, BADUNG DAN PESANGGARAN, DENPASAR TESIS PREVALENSI BAKTERI Mycobacterium bovis DAN Klebsiella Pneumoniae PADA SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN MAMBAL, BADUNG DAN PESANGGARAN, DENPASAR I GEDE OKA DARSANA NIM 1392361002 PROGRAM

Lebih terperinci

RASIO PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN PESANGGARAN SKRIPSI. Diajukan oleh I Made Fajar Swanditha

RASIO PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN PESANGGARAN SKRIPSI. Diajukan oleh I Made Fajar Swanditha RASIO PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN PESANGGARAN SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Diajukan oleh I Made Fajar

Lebih terperinci

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar (THE PREVALENCE OF HELMINTH INFECTION IN CATTLE GASTROINTESTINAL NEMATODES BALI IN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara beriklim tropis, penyakit akibat parasit masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Salah satu di antaranya adalah infeksi protozoa yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi bali merupakan

Lebih terperinci

Kata kunci : Prevalensi, infeksi cacing Toxocara canis, Anjing Kintamani Bali.

Kata kunci : Prevalensi, infeksi cacing Toxocara canis, Anjing Kintamani Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 16 Desember 1993, merupakan putra Kedua dari dua bersaudara pasangan I Made Suwija dan Ni Nyoman Supariani. Penulis menempuh pendidikan di TK Putra

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP Prevalensi Benda Asing pada Rumen Sapi Bali yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Kota Denpasar Periode Mei-Juni 2015

RIWAYAT HIDUP Prevalensi Benda Asing pada Rumen Sapi Bali yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Kota Denpasar Periode Mei-Juni 2015 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ni Made Dwi Indahyani dilahirkan pada tanggal 4 September 1993 di Denpasar, Bali. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak I Ketut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan bangunan atau kompleks bangunan yang dibuat menurut bagan tertentu di suatu kota yang digunakan sebagai tempat

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR SKRIPSI

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR SKRIPSI PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali

Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali Buletin Veteriner Udayana Volume 8 No. 1: 59-64 p-issn: 2085-2495; e-issn: 2477-2712 Pebruari 2016 Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali (BIOLOGICAL STUDIES OF Taenia Saginata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN ANGGOTA KOPERASI UNIT DESA SURABERATA KECAMATAN SELEMADEG BARAT

KUALITAS PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN ANGGOTA KOPERASI UNIT DESA SURABERATA KECAMATAN SELEMADEG BARAT TESIS KUALITAS PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN ANGGOTA KOPERASI UNIT DESA SURABERATA KECAMATAN SELEMADEG BARAT NI WAYAN ELIYAWATI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS KUALITAS PELAYANAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan 32 III. BAHAN DAN METODE 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. 3. 2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS THELAZIASIS PADA SAPI BALI SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS THELAZIASIS PADA SAPI BALI SKRIPSI GAMBARAN KLINIS THELAZIASIS PADA SAPI BALI SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Oleh Mochamad Arafi NIM. 0909005066 FAKULTAS

Lebih terperinci