REINTERPRETASI MAKNA NGABEN MASSAL DI DESA PAKRAMAN SUDAJI: SUATU KAJIAN BUDAYA Oleh I Nyoman Sukraaliawan 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REINTERPRETASI MAKNA NGABEN MASSAL DI DESA PAKRAMAN SUDAJI: SUATU KAJIAN BUDAYA Oleh I Nyoman Sukraaliawan 1"

Transkripsi

1 REINTERPRETASI MAKNA NGABEN MASSAL DI DESA PAKRAMAN SUDAJI: SUATU KAJIAN BUDAYA Oleh I Nyoman Sukraaliawan 1 Abstrak: Menurut ajaran Agama Hindu, melaksanakan Upacara Ngaben untuk para leluhur adalah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali. Dalam praktiknya tidak semua masyarakat bisa menjalankan kewajiban tersebut karena berbagai faktor. Salah satu dari faktor tersebut adalah mahalnya biaya Upacara Ngaben, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Sudaji. Mahalnya biaya Upacara Ngaben di sini tidak terlepas dari adanya hegemoni yang dilakukan oleh golongan masyarakat kaya, melalui tradisi Ngaben secara besar-besaran. Perubahan tradisi dalam hal pelaksanaan Upacara Ngaben, yang telah diterima oleh masyarakat adalah ketika Desa Pakraman, melakukan Ngaben Massal sebagai alternatif untuk menanggulangi mahalnya biaya Ngaben tersebut. Fenomena tradisi baru dalam cara Ngaben ini, secara sosiologis menjadi menarik untuk dilakukan penelitian guna memperoleh jawaban terhadap reinterpretasi makna Ngaben Massal bagi masyarakat di Desa Pakraman Sudaji dalam perkembangannya saat ini. Beberapa reinterpretasi makna Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, adalah: a) reinterpretasi makna secara filosofis, b) makna dekonstruksi wacana hegemonik, d) makna pelayanan Prajuru Desa Pakraman kepada masyarakat, e) makna sebagai media pendidikan masyarakat, f) makna ekonomi. Kata kunci: Agama, upacara, yajña, dan ngaben. Pendahuluan Secara umum dalam pemikiran masyarakat awam, pelaksanaan upacara Ngaben, sebagai salah satu upacara keagamaan, memerlukan biaya yang sangat besar pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Berdasarkan pengamatan penulis, terutama besarnya dana Ngaben yang diperlukan berkisar antara seratus lima 1 I Nyoman Sukraaliawan adalah staf edukatif pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unipas Singaraja. 120

2 puluh juta sampai dua ratusan juta rupiah. Mengingat besarnya biaya upacara seperti itu, pada sebagian besar masyarakat terdapat anggapan bahwa untuk bisa Ngaben harus mempunyai dana ngabehin (melebihi). Dengan pemahaman seperti itu, Ngaben menjadi label atau cap bagi masyarakat kaya secara harta. Dengan cap atau label seperti itu, tentunya masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, tidak akan pernah bisa melakukan kewajiban Ngaben untuk para leluhurnya, karena biaya upacara Ngaben yang dilakukan secara pribadi sangat besar. Kalaupun misalnya, masyarakat bisa melakukannya tetapi harus mengorbankan dengan cara menjual harta benda yang dimilikinya seperti tanah warisan. Cara melakukan yadnya dengan cara seperti itu terutama bagi masyarakat yang belum berkecukupan secara ekonomi, dengan menjual tanah warisan hanya untuk kepentingan yadnya (ngaben), apa lagi sampai memiskinkan masyarakat yang melakukannya sebenarnya tidak sesuai menurut ajaran sastra Agama Hindu yang mengajarkan ambeg parama arta dan Ahara legawa, yaitu menggunakan keuangan sesuai dengan skala prioritas dan prinsip kesederhanaan. Akhir-akhir ini sebuah solusi bagi masyarakat untuk meringankan beban dari biaya upacara Ngaben yang sangat besar tersebut adalah melalui Ngaben massal, yang difasilitasi oleh Prajuru Desa Pakraman. Ngaben Massal sebagai sebuah praktik, adalah relatip baru dalam tradisi penyelenggaraan upacara Ngaben di Desa Pakraman Sudaji. Awalnya upacara Ngaben massal belum bisa diterima secara meluas oleh masyarakat karena beberapa faktor seperti faktor gengsi, sugesti, dan faktor-faktor sosio-kultural lainnya. Pada saat sekarang di Desa Pakraman Sudaji, telah terjadi perubahan dalam pelaksanaan upacara Ngaben dengan diterimanya cara Ngaben massal oleh masyarakat luas. Penerimaan masyarakat terhadap Ngaben massal ini, dapat dilihat dari suksesnya pelaksanaan Ngaben massal yang ke pertama pada tahun 2004 yang melibatkan 14 dadia dari 20 dadia yang ada di Desa Pakraman Sudaji, dengan jumlah sawa sebanyak 337 sawa. Dalam konteks perubahan seperti itu, dapat diduga adanya cara penginterpretasian kembali (reinterfretasi) oleh masyarakat, baik secara teosofis maupun sosio-kultural sehingga sangat menarik untuk diteliti dengan judul Reinterpretasi Makna Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji: Sebuah Kajian Budaya. Dari uraian yang sudah dikemukakan, dapat diajukan rumusan masalah penelitian, yaitu: bagaimanakah masyarakat memberikan re-interpretasi makna pada pelaksanaan upacara Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng? 121

3 Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat dipahami adanya beberapa re-interpretasi makna dari pelaksanaan Upacara Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, seperti pada uraian berikut. 1. Reinterpretasi Makna Filosofi Agama Secara filosofis, makna Upacara Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, termasuk Upacara Ngaben Massal adalah sebagai proses untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya atau ke sumbernya masing-masing. Upacara Ngaben juga mempunyai makna sebagai membantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan kembalinya unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk Sthula Sarira maka Atman telah meningkatkan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam Bhuwah Loka ini Atman masih berbadankan Suksma Sarira. Dengan demikian Upacara Ngaben itu adalah upacara penyucian Pitara tahap pertama, yaitu dengan melepaskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta. Terkadang di tengah masyarakat terdapat pemahaman yang kurang sesuai dengan sastra agama, mengenai hakikat dan tujuan dari Upacara Ngaben tersebut. Sering pelaksanaan Ngaben diinterpretasi secara keliru, yaitu untuk mencarikan tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan roh leluhur menuju sorga, memerlukan bekal atau beya yang banyak dalam bentuk banten yang besar. Dengan adanya interpretasi masyarakat seperti ini, maka terutama masyarakat yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara Ngaben dengan sarana banten yang besar (ngabehin) agar roh para leluhurnya dapat mencapai Sorga. Jika dikembalikan kepada hakikat Ngaben secara filosofisnya, seperti diuraikan di atas, maka sebenarnya Upacara Ngaben tidak bisa dikaitkan dengan pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah sorga dan neraka adalah persoalan lain dari Upacara Ngaben. Sebab itu ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu hidupnya (karma wasana) seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan Agama Hindu menggariskan bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa dikurangi, dan harus diterima seutuhnya (Cudamani,1998 dalam Atmadja, 2001: 142). Dari hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan, dapat dijelaskan bahwa masyarakat Desa Pakraman Sudaji, melalui Ngaben Massal, telah melakukan reinterpretasi secara filosofis, menyangkut keyakinan sorga dan neraka. Beberapa responden mengatakan kalaupun dengan upacara besar, upacara kecil tidak akan menentukan roh itu mencapai sorga. Konon yang menentukan kedudukannya di 122

4 akhirat nantinya adalah baik buruknya perbuatan yang dilakukan semasih hidupnya Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya Hadiwijono dalam Atmadja (2001: 142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu tidak mengenal ritual penebusan dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan agama tertentu. Dosa seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan, semasa hidupnya. Kalau orang sudah mati, maka yang bersangkutan akan membawa karma pada perbuatannya di dunia (Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001: 143). Adanya re-interpretasi secara filosofis terhadap hakikat Upacara Ngaben, seperti itu mengindikasikan adanya pemahaman masyarakat yang lebih jelas terhadap Ngaben berdasarkan ajaran (sastra) agama. Dengan pemahaman ini, berarti telah timbul pencerahan masyarakat, yang tidak lagi memandang bahwa Ngaben itu harus dilakukan dengan ngabehin (biaya besar) sehingga masyarakat dapat menerima cara Ngaben massal dengan biaya yang lebih ringan. 2. Reinterpretasi Makna Sebagai Dekonstruksi Wacana Hegemoni Kultural Tradisi Upacara Ngaben yang dilakukan dengan menonjolkan aspek seremonial yang megah dan meriah, sebenarnya dalam perkembangan situasi saat ini, sudah tidak cocok untuk dilaksanakan, apalagi dilakukan dengan cara memaksakan diri secara ekspresif hanya untuk sebuah kesan bahwa seseorang bisa atau mampu mengikuti tradisi yang ada, sehingga dapat memberikan suatu kebanggaan tersendiri untuk suatu prestise secara sosial bagi mereka yang melakukannya. Jika misalnya masyarakat berusaha untuk mengikuti tradisi upacara dalam takarannya yang lebih besar, hal itu disebabkan karena adanya suatu kekhawatiran terhadap gunjingan atau penilaian masyarakat melalui cap-cap sosial seperti kikir, pelit (demit) dan ungkapan-ungkapan lainnya yang dinilai dapat menganggu citra atau nilai sosial terhadap pelaksanaan Upacara Ngaben tersebut. Terjadinya kekhawatiran masyarakat seperti itu, disebabkan pula oleh karena pada masyarakat lokal terdapat wacana kultural yang hegemonik, terhadap cara pelaksanaan upacara yang lebih kecil (sederhana). Wacana kultural hegemonik seperti itu, seolah-olah memberikan legitimasi yang kuat terhadap cara pelaksanaan upacara yang dilakukan secara besar-besaran, sehingga dapat mensubordinasikan cara pelaksanaan Ngaben yang sederhana atau yang kecil. Wacana kultural hegemonik secara struktur kebahasaan, yang hidup dan sering diucapkan oleh masyarakat setempat, adalah misalnya dalam ungkapan kalimat yen ngelah gae sing dadi demit artinya jika orang mempunyai upacara (yajña) tidak boleh pelit atau kikir. Ungkapan sing dadi demit yang ditujukan kepada orang yang mela- 123

5 kukan yajña adalah menjadi belenggu tradisi, yang menghegemoni masyarakat yang berkeinginan untuk menggelar upacara dengan lebih sederhana, sehingga di sini masyarakat akan merasa malu (lek) jika ia melakukannya. Rasa malu (lek) bagi masyarakat tersebut, menjadi kecenderungan masyarakat untuk selalu melakukan upacara secara besar-besaran walaupun dengan cara memaksakan diri hanya untuk selamat dari gunjingan masyarakat tersebut. Menurut Sutarya (Bali Post, 29 Oktober 2005), adanya kecenderungan masyarakat untuk menggelar upacara yajña secara berlebihan yang terkadang diluar kemampuannya, disebabkan karena adanya keterplesetan tradisi dalam pelaksanaan upacara yajña. Hal ini berawal dari tradisi upacara yajña yang bersumber dari filosofi pembebasan atau pelepasan kepemilikan, yang pada zaman dahulu biasanya dilakukan oleh para pertapa. Secara agama, mereka yang tinggal bertapa dengan kesederhanaannya, memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain. Sebab mereka adalah calon orang yang akan duduk pada singgasana yang disediakan Tuhan, yaitu pembebasan. Seberapa besar seseorang berani melepaskan atau membebaskan kepemilikannya, makin bernilai orang itu secara spiritual. Ajaran ini kemudian berkembang menjadi yajña yang diinterpretasi secara keliru. Ketika doktrin pembebasan atau pelepasan kepemilikan berkembang menjadi tradisi upacara, maka kebesaran upacara, kemudian mendapatkan nilai di mata masyarakat. Makin besar upacara maka makin besar rasa kepemilikan yang dikorbankan. Makin besar rasa kepemilikan yang dikorbankan, makin tinggi status orang yang melakukan pengorbanan tersebut di mata masyarakat, demikianlah penilaian masyarakat pada awalnya. Di sinilah letak mis-interpretasi masyarakat tentang konsep pembebasan tersebut, sehingga diterjemahkan ke dalam ungkapan lokal yang masih hidup di tengah masyarakat yaitu yen ngelah gae sing dadi demit seperti disebutkan di atas. Dalam konteks pemikiran seperti itu menurut Wiana (2002: 171) diperlukan adanya suatu reformasi pemikiran dan tindakan. Di sini, konsep reformasi Hindu dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan upacara yajña pada umumnya termasuk Upacara Ngaben. Konsep reformasi Hindu itu adalah Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya harus selalu dapat mengembangkan cara-cara berupacara yajña yang baik dan benar sesuai dengan sastra agama Hindu agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Stithi artinya harus selalu konsisten memelihara nilai-nilai yang paling substantif dari upacara yajña tersebut. Hal-hal yang masih sesuai dengan perkembangan zaman harus dipertahankan dengan baik. Sedangkan Pralina artinya tradisi-tradisi yang sudah usang, apalagi bertentangan dengan sastra agama Hindu haruslah dengan besar hati ditinggalkan. 124

6 Praktik Ngaben Massal seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dari sudut wacana, dapat memperlihatkan makna dekonstruksi terhadap tradisi upacara yajña secara besar-besaran, seperti yang dilakukan pada zaman Brahmana, yang lebih menonjolkan kuantitas dalam pelaksanaannya yang dilakukannya bak festival. Dengan cara upacara seperti itu akan dapat menggeser makna upacara itu sendiri ketingkat makna dengan maksud terselubung untuk menegakkan status simbol dalam kedudukan sosial di dalam masyarakat ketimbang makna filosofis dan teosofis upacara itu sendiri. Pemikiran-pemikiran peodal dalam cara pelaksanaan upacara Ngaben seperti disebutkan di atas, telah dilakukan reformasi, dengan mereinterpretasikan makna Ngaben Massal sebagai dekonstruksi terhadap tradisi hegemonik dalam wacana Ngaben, melalui bangkitnya kesadaran masyarakat dalam memahami makna Ngaben sesuai sastra agama. Terjadinya perubahan terhadap pola pikir masyarakat seperti itu, sangat beralasan, karena saat ini, masyarakat mempunyai akses yang luas ke pusat-pusat pertumbuhan yang disebabkan oleh makin lancarnya sarana perhubungan dan komunikasi dengan lingkungan luar yang berakibat pada makin intensifnya kontakkontak dengan unsur-unsur modernisasi. Perubahan pemikiran seperti itu, didukung pula makin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dan juga makin meluasnya institusi sosial-keagamaan yang telah melakukan misi pencerahan agama kepada masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Desa Pakraman. Secara kebahasaan, pemikiran yang dekonstruktif terhadap tradisi Upacara Ngaben secara besar-besaran, tampak dari pernyataan-pernyataan masyarakat seperti berikut. Cara janine, ede suba iraga lek ngae upacara ane cenik, yan jani iraga ngae upacara ngaben, mituutin anak sugih ulihan maksaang dewek, peragatne iraga masih lakar ngerasaang baatne. Paling melah suba jani bareng-bareng ngemiluin ngaben massal, medasar baan keeningan keneh. (Zaman seperti sekarang, jangan kita merasa gengsi untuk melakukan upacara secara sederhana. Jika sekarang, kita mengikuti seperti orang kaya, dengan cara memaksakan diri, toh juga akibatnya yang berat kita rasakan sendiri, sekarang lebih baik pakai kemampuan kita sendiri berdasarkan pada ketulusikhlasan dengan cara ikut Ngaben massal). Dari pandangan di atas, ada rei-nterpretasi bahwa praktik ritual Ngaben Massal yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dalam tatanan sebuah diskursus, telah mendekonstruksi tradisi upacara secara besar-besaran yang 125

7 terasa sangat hegemonik. Hal ini juga dapat dimaknai adanya kebangkitan kesadaran masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dalam memaknai upacara Ngaben dengan lebih mendekatkannya kepada sastra agama. Sehingga masyarakat tidak lagi memaknai Ngaben sebagai ngabehin dari segi biaya yang diperlukan. Ngaben Massal, yang telah diterima oleh sebagian besar kelompok masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, berdasarkan teori dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida, dalam Piliang (2003: 126) adalah bentuk penyangkalan akan oposisi biner antara ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar, moral/amoral dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri. Dalam relasi oposisi biner tersebut, istilah-istilah yang pertama dianggap lebih superior dibanding yang kedua. Demikian pula dalam cara berupacara Ngaben di Desa Pakraman Sudaji, dengan lebih menempatkan tradisi upacara secara besar-besaran sebagai yang lebih superior, lebih bermoral/bermartabat bagi yang melaksanakannya. Sedangkan istilah kedua, yaitu tradisi upacara yang kecil hanya tampak sebagai sesuatu yang nista dalam pengertian kurang bermoral atau kurang berbakti kepada para leluhur, padahal rasa hormat dan bhakti itu tidak bisa ditetapkan dengan besar kecilnya suatu upacara dalam Ngaben. Dalam praktik seperti itu menurut Derrida, disebut sebagai logosentrisme (logocentrism) yang telah menjadi tradisi dalam filsafat Barat dan menjadi penolakan Derrida. Berdasarkan teori Dekonstruksi, istilah logosentrisme digunakan Derrida untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang oleh istilah pertama (speech) dan pelecehan istilah kedua (writing), yang dianggap tak lebih dari bentuk yang sudah tercemar, yang ada di luar kawasan kebenaran (speech). Melalui penerimaan masyarakat terhadap Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, merupakan suatu bentuk penolakan terhadap oposisi biner seperti dipikirkan Derrida, karena di sini masyarakat tidak lagi melihat secara logosentrisme daripada cara upacara dengan tradisi secara besar-besaran tersebut. Di sini ada yang lain (the others), yaitu Upacara Ngaben yang dapat dilakukan secara kolektif dengan biaya yang lebih hemat. Dekonstruksi yang dilakukan terhadap tradisi yang hegemonik dalam wacana Ngaben secara besar-besaran di Desa Pakraman Sudaji, dilakukan terhadap struktur bahasa, yang terdapat pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Dekonstruksi yang dilakukan di sini sebagai upaya dalam membongkar struktur bahasa dalam kerangka memberikan pemahaman dan membangkitkan kesadaran masyarakat pada makna upacara yang sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Kesadaran di sini adalah kesadaran yang dapat menumbuhkan kesucian hati 126

8 dalam melakukan upacara yajña yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu, yaitu Trikaya parisudha. Reinterpretasi makna Ngaben Massal sebagai dekonstruksi wacana hegemoni kultural, dalam tatanan praktik Ngaben Massal yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, merupakan sebuah cara yang adaptif dalam perkembangan dan perubahan masyarakat saat ini. Cara Ngaben Massal, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara lebih efisien dari segi biaya, adalah merupakan wacana penting yang mampu melakukan suatu pendobrakan terhadap tradisi Upacara Ngaben sebelumnya, yang dilakukan secara besar-besaran yang sangat berkonotasi dengan pengertian ngabehin. Dapat dikemukakan di sini, bahwa hakikatnya pula yang dilakukan oleh masyarakat adalah suatu penolakan terhadap tatanan oposisi biner yang menempatkan tradisi Upacara Ngaben secara besar-besaran adalah lebih bermoral dan juga lebih memiliki perasaan bhakti kepada leluhur dibandingkan dengan cara Upacara Ngaben yang lebih kecil. Sebab dengan cara manapun (nista, madhya, utama) yang dipergunakan dalam cara berupacara Ngaben itu dilakukan asalkan didasari dengan suatu keikhlasan itulah yang mulia. Dengan demikian, dekonstruksi yang terjadi adalah pada aras pemikiran masyarakat dengan menempatkan makna Ngaben bukan sebagai ngabehin yang artinya melebihi dari segi biaya. Tetapi masyarakat menyadarinya bahwa Ngaben itu adalah sebagai suatu kewajiban moral yang harus dilakukan kepada leluhur sebagai pembayaran utang (rnam). Dari kesadaran akan kewajiban itu muncul pemikiran masyarakat, agar Ngaben itu dapat dilaksanakan seringan-ringannya, dengan tidak lagi berorientasi pada kebiasaan upacara secara besar-besaran dalam hal penyelenggaraan Upacara Ngaben. Supaya dapat melaksanakan kewajibannya seringan mungkin, maka muncul pola pikir masyarakat untuk melaksanakannya secara bersama-sama, yaitu dengan Ngaben Massal. Dengan praktik Ngaben Massal, yang sebagian besar diikuti oleh masyarakat menengah ke bawah ini, menunjukkan adanya suatu gerakan kontra hegemoni terhadap cara penyelenggaraan Upacara Ngaben secara besar-besaran di Desa Pakraman Sudaji. 3. Reinterpretasi Makna Solidaritas Kelompok Dimensi terpenting dari suatu yajña adalah memberikan makna sosial religius kepada umat atau masyarakat yang melangsungkan Upacara Ngaben tersebut. Aspek religiusitas dari suatu upacara, hendaknya dapat diserap oleh umat sehingga dapat berdaya guna untuk menimbulkan perubahan sosial ke arah yang 127

9 makin baik, yaitu terciptanya suatu kebersamaan dan kekompakan yang dalam istilahnya Durkheim, disebut dengan solidaritas, sehinnga akan dapat menuntun jalannya yajña yang lebih berkualitas (satwika). Kekompakan dari masyarakat dalam pelaksanaan Upacara Ngaben Massal pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dapat memberikan makna tersendiri dalam menciptakan atmosfir kebersamaan dalam meningkatkan keeratan sosial di tengah kehidupan masyarakat yang makin individualis dalam kehidupan masyarakat global. Secara sosial upacara yajña tersebut dapat makin meningkatkan dinamika umat dalam keakraban sosial yang makin produktif. Keakraban sosial yang dinamis itu dapat menumbuhkan kondisi sosial yang kondusif untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran, wacana dan perilaku sosial yang dapat menciptakan integrasi sosial yang makin meningkat, baik dalam lingkungan masyarakat kecil seperti keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh salah seorang informan dalam pernyataannya sebagai berikut. Sebenarnya pelaksanaan Upacara Ngaben yang dilakukan secara Massal tersebut dapat juga memberikan makna yang sangat besar bagi diri saya untuk meningkatkan keeratan tali persaudaraan, paling tidak di lingkungan kelompok keluarga besar saya. Ngaben Massal seperti yang pernah saya ikuti, dapat pula berfungsi sebagai media penyelesaian konflik dalam keluarga. Seperti misalnya, dulunya, sebelum diadakan Ngaben Massal, ada keluarga saya yang datang ke rumah saja ia tidak mau, tetapi dengan melakukan Upacara Ngaben Massal ia menjadi sadar dan rujuk. Karena ia merasakan dan menyadari bahwa orang tua yang dibuatkan upacara itu, juga leluhurnya yang patut juga ia hormati, dan ini diyakini adalah untuk keselamatan atau kerahayuan bersama. Berdasarkan pernyataan informan tersebut, makna Ngaben massal dapat diberikan reinterpretasi sebagai media untuk mewujudkan solidaritas sosial. Hal ini, dapat dipahami, karena menurut Teori Interaksi Sosial seperti dikemukakan oleh Gillin dan Gillin, (dalam Soekanto, 1981: 55) tingkat interaksi sosial pada proses-proses sosial yang merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan (baca: sebagai anggota keluarga yang terlibat dalam Ngaben massal), antara kelompok-kelompok yang melibatkan berbagai soroh (clan), maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Dengan mengacu pada keadaan seperti itu, Young (dalam Soekanto, 1981: 68) menyebutnya dengan akomodasi (accommodation) yang diper- 128

10 gunakannya dalam dua arti, yaitu sebagai suatu proses dan sebagai suatu keadaan. Akomodasi sebagai suatu proses adalah menunjuk pada usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, atau usaha untuk mencapai kestabilan, yang dalam hal ini dilakukan dengan saling menumbuhkan saling pengertian bersama (compromise). Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1981: 65), mengemukakan bahwa kerjasama sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang asosiatif akan dapat berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semuanya. Adanya unsur kerekatan sosial di dalam keluarga, secara nyata tampak dari adanya etika dalam ritual pemerasan sebagai bagian dari Upacara Ngaben. Etika pamerasan yang secara sosial dapat bermakna untuk menjalin dan meningkatkan suatu persaudaraan di dalam sebuah keluarga besar. Pemerasan ini disampaikan oleh pihak keluarga yang melakukan Upacara Ngaben kepada para cucu-cucu atau cicit pada keluarga ke samping. Penerima pamerasan akan tergelitik hatinya, bahwa ia mempunyai tugas moril untuk memberikan salam terakhir dengan pelbagai cara kepada mendiang, pada saat pembakaran jenazah dari mendiang yang dibuatkan upacara. Di sinilah tampak makna dari Upacara Ngaben melalui etika pemerasan sebagai yang dapat mengukuhkan solidaritas keluarga. Dampak pelaksanaan Ngaben Massal, di samping sebagai media untuk menumbuhkan solidaritas keluarga secara internal, tetapi juga dapat memupuk rasa solidaritas pada lingkungan masyarakat yang lebih luas, yaitu di antara kelompok-kelompok clan (soroh) peserta Ngaben Massal itu sendiri. Dalam Upacara Ngaben tersebut, masing-masing kelompok warga peserta Ngaben Massal merasa berada dalam satu kategori sosial yang sama sebagai masyarakat kurang mampu, yaitu dengan memiliki latar belakang kehidupan sosial ekonmi yang relatif sama (kesetaraan) sehingga di sini muncul suatu perasaan bersama (sense of belonging) dengan dasar simpati dan semangat yang besar untuk mensukseskan pelaksanaan Ngaben Massal tersebut. 4. Reinterpretasi Makna Media Pendidikan Masyarakat Adanya reinterpretasi makna pendidikan bagi masyarakat, pada Upacara Ngaben Massal tersebut, karena di sini masyarakat melakukannya secara bersamasama secara gotong royong. Pada aktivitas bersama ini, secara struktural melibatkan berbagai kecakapan dan kemampuan dari orang-orang yang terlibat dalam Ngaben Massal tersebut, untuk mempersiapkan perlengkapan Upacara Ngaben, sampai pada pelaksanaan prosesi upacaranya. Melalui interaksi dalam aktivitas 129

11 bersama ini, masyarakat melakukan saling tukar pengalaman dan pengetahuannya (social experience). Dalam aktivitas bersama tersebut, juga dapat terjadi proses transfer pengalaman dan keterampilan dari masyarakat yang telah memahami dengan baik tatanan Upacara Ngaben, kepada masyarakat yang masih awam pengetahuannya tentang Upacara Ngaben. Dalam setiap upacara (Ngaben), ada proses transformasi berbagai keterampilan kepada generasi penerus. Misalnya pengetahuan dan keterampilan membuat banten atau sesaji, tata bhoga, dan juga perlengkapan upacara lainnya. Semua keterampilan tersebut dapat ditransformasi dari generasi ke generasi atau disampaikan kepada masyarakat yang masih awam tentang suatu sarana dan prasarana upacara (Ngaben). Hal penting yang dapat ditumbuhkan dalam pelaksanaan Upacara Ngaben Massal, sebagai media pendidikan, adalah munculnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai yang bersifat esensial dari suatu upacara yajña seperti Upacara Ngaben itu sendiri. Sehingga nilai esensi dari suatu upacara yajña (Ngaben) tidak lagi terkubur oleh rutinitas suatu tradisi, yang tidak lebih dari suatu kewajiban tradisional semata yang dapat menimbulkan kesan bahwa upacara yajña seperti halnya Ngaben dengan tradisi hegemonik hanyalah beban tradisi yang lepas dari hakikat dan makna suatu yajña. 5. Reinterpretasi Makna Ekonomi Berdasarkan ungkapan beberapa informan, reinterpretasi makna secara ekonomi dari upacara Ngaben massal, dapat dipahami dari rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk Upacara Ngaben jika dibandingkan dengan pelaksanaan Ngaben secara pribadi (niri). Jika dianalisis dengan mempergunakan Teori Praktik menurut Bourdieau, dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, adalah suatu praksis yang tereproduksi dari habitus. Habitus, dalam pikiran Bourdieau adalah satu kata bahasa Latin yang mengacu kepada kondisi, penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual (Jenkins dalam Nurhadi, 2004: 107). Suatu praksis yang merupakan produk dari habitus di dalamnya mengandung suatu pengertian adanya suatu penyesuaian dengan kondisi objektif, dan terdapat hubungan resiprokal atau dialektis di antara mereka. Praksis ritual Ngaben yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat Desa Pakraman Sudaji, dalam konteks interaksi antara habitus dan disposisinya, di satu sisi, dan kendala, permintaan dan kesempatan arena sosial atau pasar yang disesuaikan dengan habitus atau tempat pergerakan aktor di sisi yang lain, se- 130

12 hingga habitus ekonomi akan mereproduksi sebuah praksis upacara Ngaben Massal dengan suatu tatanan yang lebih sederhana dan praktis, sebagai produk dari interaksi habitus sosial, ekonomis dan teologis. Reproduksi tindakan dalam bentuk ngaben massal, adalah sebagai bentuk penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat saat ini yang makin terdiferensiasi terhadap kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam pemenuhannya. Sehingga hal ini dapat juga dipahami dari logika tindakan menurut Michel Lallement, yang gagasan umumnya adalah untuk menampilkan alasan-alasan bertindak individu dengan memperhitungkan keragaman pendorong dan rasionalitasnya termasuk rasionalitas ekonominya suatu tindakan (Giddens, dalam terjemahan Ninik Rochani Sjams, 2004: 283), hal seperti ini merupakan pertimbangan ekonomi dalam pelaksanaan Ngaben massal, dan ini adalah merupakan roh yang dapat menjiwai dan menggerakkan kerjasama masyarakat di Desa Pakraman Sudaji untuk melangsungkan Upacara Ngaben Massal. Memang pada zaman sebelumnya, masyarakat melakukan Upacara Ngaben selalu secara besar-besaran. Hal ini dapat dipahami karena keadaan atau kondisi ekonomi masyarakat ketika itu masih memungkinkan dilihat dari sebaran penduduk yang masih sedikit dengan jumlah lahan yang masih sangat luas sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk melakukan upacara secara besar. Berbeda keadaannya seperti sekarang di mana jumlah penduduk sudah sangat padat, dan juga makin didesak oleh kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi yang lainnya. Sehingga di sini masyarakat perlu melakukan perubahan tradisi menyangkut dari cara penyelenggaraan upacara ke arah yang lebih ekonomis tanpa ada maksud untuk mengurangi makna upacara tersebut. Simpulan dan Saran Hakikat pelaksanaan upacara Ngaben Massal, merupakan dekonstruksi wacana hegemonik pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Dekonstruksi terhadap tradisi hegemonik dalam wacana Ngaben, dimulai dari bangkitnya kesadaran masyarakat secara filosofis yang dimulai dari makin jelasnya pemahaman masyarakat secara sastra agama. Dari pemahaman ini muncul rei-nterpretasi-re-interpretasi yang lain seperti re-interpretasi makna ekonomi, solidaritas sosial maupun pendidikan. Re-interpretasi makna upacara Ngaben seperti ini, menjadi dasar apresiasi yang sangat penting sehingga Ngaben massal dapat diterima secara meluas pada sebagian besar kelompok masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. 131

13 Berpijak atas simpulan yang sudah dikemukakan, dapat diajukan saran sebagai berikut. 1. Upacara Ngaben Massal perlu dilaksanakan secara berkelanjutan jika mungkin dapat dilaksanakan secara lebih sederhana dalam hal penggunaan sarana dan prasarana dan juga dari segi penampilan upacara yang terkesan megah. 2. Untuk dapat memberikan rasa kebersamaan yang lebih besar pada peserta Ngaben Massal, untuk selanjutnya tidak perlu ada Wadah/Bade milik pribadi. Daftar Pustaka Atmadja, Nengah Bawa Reformasi ke Arah Kemajuan yang Sempurna dan Holistik: Gagasan Perkumpulan Surya Kanta Tentang Bali di Masa Depan. Surabaya: Paramita. Jenkins, Richard Pierre Bourdieau Routledge. Terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Nasution Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nawawi, Hadari H Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pidarta, Made Hindu Untuk Masyarakat Umum pada Zaman Pasca Modern. Surabaya: Paramita. Pudja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta Mānava Dharmaśāstra. Surabaya: Paramita. Setia, Putu Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Ngaben Sederhana. Bali Post 27 Oktober, hal: 13, kol Singgin, Wikarman Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama. Surabaya: Paramita. Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Suandra, I Ketut Ngaben Beya Alit di Desa Adat Jegu, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan Ditinjau dari Pendidikan Agama Hindu (Skripsi) Denpasar : Universitas Hindu Indonesia Sudarsana, Putu Ida Bagus Ajaran Agama Hindu Upacara Pitra Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sugiarta, Wayan Dinamika Manggala Upacara Beya Alit: Pergulatan Tradisi Kecil dan Tradisi Besar di Desa Pakraman Jegu, Tabanan, Bali ( ) (Tesis) Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. 132

14 Suhardana, K.M Memaknai Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT Empat Warna Komunikasi. Sumatika, W Mentradisikan Ngaben Massal, Meneguhkan Semangat Kebersamaan. Bali Post 27 Oktober, hal: 13, kol Syani, Abdul Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung: Pustaka Jaya. Wiana, I Ketut Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita Memelihara Tradisi Veda. Denpasar: BP. Wibawa, A Butir Butir Reformasi Hindu ke Depan. Denpasar: Deva. Wijayananda, Mpu Jaya Ida Pandita Makna Filosopis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita Pitra Pakerti : Berbakti Kepada Leluhur disaat Beliau Meninggal Dunia. Surabaya: Paramita. 133

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain sehingga timbul

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar UPACARA NILAPATI BAGI WARGA MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI DI BANJAR ROBAN DESA TULIKUP KECAMATAN GIANYAR KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut

Lebih terperinci

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Dosen : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H OLEH: I PUTU CANDRA SATRYASTINA 15.1.2.5.2.0800 PRODI

Lebih terperinci

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) Oleh I Wayan Agus Gunada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstrak Ngaben merupakan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

PELUANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TABANAN BERDASARKAN KONDISI EKSISTING, KUALITAS SDM, PELUANG KERJA, DAN KEBUTUHAN SDM YANG SESUAI*)

PELUANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TABANAN BERDASARKAN KONDISI EKSISTING, KUALITAS SDM, PELUANG KERJA, DAN KEBUTUHAN SDM YANG SESUAI*) PELUANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TABANAN BERDASARKAN KONDISI EKSISTING, KUALITAS SDM, PELUANG KERJA, DAN KEBUTUHAN SDM YANG SESUAI*) I. Pengantar Oleh : I Ketut Suda**) Sejak diperkenalkannya

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

BAB IV. Kesimpulan. positif terhadap pulau Bali seperti yang telah di paparkan di atas, telah dikaji

BAB IV. Kesimpulan. positif terhadap pulau Bali seperti yang telah di paparkan di atas, telah dikaji 82 BAB IV Kesimpulan Komersialisasi seni pertunjukan yang menurut para tokoh sosiologis maupun antropologis yang lebih menekankan bahwa komersialisasi seni pertunjukan di Bali telah memberikan banyak dampak

Lebih terperinci

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Dewa Ayu Putu Warsiniasih Institut Hindu Dharma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6

LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6 LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6 Abstrak: Kearifan lokal berkaitan erat dengan manajemen sumber daya manusia. Dewasa ini, kearifan lokal mengalami tantangan-tantangan,

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL DALAM PELAKSANAAN RITUAL KEAGAMAAN MASYARAKAT HINDU-BALI (Studi Pada Ritual Ngaben di Krematorium)

INTERAKSI SOSIAL DALAM PELAKSANAAN RITUAL KEAGAMAAN MASYARAKAT HINDU-BALI (Studi Pada Ritual Ngaben di Krematorium) INTERAKSI SOSIAL DALAM PELAKSANAAN RITUAL KEAGAMAAN MASYARAKAT HINDU-BALI (Studi Pada Ritual Ngaben di Krematorium) I Putu Suadityawan, Ni Luh Nyoman Kebayantini, I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa Fakultas

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dan pada dasarnya upacara tradisional disebarkan secara lisan. Upacara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Tesis ini menjelaskan tentang perubahan identitas kultur yang terkandung dalam Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu Negeri

Lebih terperinci

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. a. Upaya pemertahanan bahasa Bali dalam keluarga. Hal ini tampak dalam situasi

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. a. Upaya pemertahanan bahasa Bali dalam keluarga. Hal ini tampak dalam situasi 126 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1). Upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar adalah sebagai berikut.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa merupakan terjemahan harfiah dari

BAB II LANDASAN TEORI. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa merupakan terjemahan harfiah dari BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Psikologi Sosial Kata psikologi mengandung kata psyche yang dalam bahasa Yunani berarti jiwa dan kata logos yang dapat diterjemahkan dengan kata ilmu. Dengan demikian, istilah

Lebih terperinci

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstract Every human being is obliged to pay the debt

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi tidak akan pernah bisa lepas dari adanya visual dan verbal. Visual ditandai dengan gambar, verbal ditandai dengan lisan maupun tulisan. Antara visual dengan

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6 SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. memelihara nilai-nilai budaya yang diperolehnya dari para karuhun mereka.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. memelihara nilai-nilai budaya yang diperolehnya dari para karuhun mereka. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi yang dirumuskan dari deskripsi dan pembahasan hasil penelitian. A. Kesimpulan Umum Masyarakat Desa Cisaat Kecamatan Ciater Kabupaten

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Upacara adat Belian merupakan suatu bentuk kebudayaan asli Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan terlaksana di masyarakat Dayak Paser, Kalimantan Timur. Sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang dan akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Mustopo Habib berpendapat bahwa kesenian merupakan jawaban terhadap tuntutan dasar kemanusiaan yang bertujuan untuk menambah dan melengkapi kehidupan. Namun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berisi mengenai simpulan yang dikemukakan penulis sebagai analisis hasil temuan dalam permasalahan yang di kaji.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari I Ketut Sudarsana > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari Ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dilaksanakan dengan cara memberikan arahan

Lebih terperinci

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tabut di Bengkulu semula merupakan ritual yang sakral penuh dengan religius-magis yaitu merupakan suatu perayaan tradisional yang diperingati pada tanggal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji sastra maka kita akan dapat menggali berbagai kebudayaan yang ada. Di Indonesia

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Bali sebelum adanya LPD telah banyak terbentuk kelompok sekeha-sekeha yang intinya

Lebih terperinci

BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA BULAN JULI 2011 KABUPATEN KULONPROGO Wates, 18 Juli 2011

BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA BULAN JULI 2011 KABUPATEN KULONPROGO Wates, 18 Juli 2011 BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA BULAN JULI 2011 KABUPATEN KULONPROGO Wates, 18 Juli 2011 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang saya hormati, Para Pimpinan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Seperti halnya Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja Upacara pemakaman yang dilangsungkan saat matahari tergelincir ke barat. Jenazah dimakamkan di gua atau rongga di puncak tebing batu. Sebagai tanda

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisi penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan preposisi-preposisi

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PERINGATAN HARI BATIK NASIONAL DI MUSEUM TEKSTIL JAKARTA, 2 OKTOBER 2015

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PERINGATAN HARI BATIK NASIONAL DI MUSEUM TEKSTIL JAKARTA, 2 OKTOBER 2015 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PERINGATAN HARI BATIK NASIONAL DI MUSEUM TEKSTIL JAKARTA, 2 OKTOBER 2015 Yang Saya Hormati Ibu Negara Republik Indonesia Ibu Hj. Iriana Joko Widodo Yth. Para Menteri

Lebih terperinci

2. Kesimpulan Khusus Adapun kesimpulan secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut:

2. Kesimpulan Khusus Adapun kesimpulan secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut: BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Kesimpulan Umum Upacara adat nyangku merupakan upacara adat warisan dari raja-raja Panjalu yang masih menjadi tradisi turun temurun masyarakat desa Panjalu. Dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi sekarang ini terlihat sangat pesat. Perkembangan ini tidak hanya melahirkan era informasi global tetapi

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

Lebih terperinci

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI H A R Y A T M O K O DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali Tradisional yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Setiap pupuh

Lebih terperinci

8.1 Temuan Penelitian

8.1 Temuan Penelitian BAB VIII PENUTUP Bab Penutup ini berisi tiga hal yaitu Temuan Penelitian, Simpulan, dan Saran. Tiap-tiap bagian diuraikan sebagai berikut. 8.1 Temuan Penelitian Penelitian tentang relasi kuasa dalam pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah banyak ungkapan yang dilontarkan bertalian dengan hubungan antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai aspek kebudayaan Bali,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk cara bertindak, berbicara, berfikir, dan hidup. Daerah kebudayaan Kalimantan

Lebih terperinci

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Luh Setiani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar niluhsetiani833@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran sebagai aktor, sebagimana manusia itu dapat memberikan sumbangan dan memfasilitasi kehidupan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prinsipnya, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Undang-Undang,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, beribu-ribu suku bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata Tahlil secara etimologi dalam tata bahasa Arab membahasnya sebagai sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti mengucapkan

Lebih terperinci

PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS

PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS Oleh Ni Nengah Selasih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Email : nghselasih@gmail.com Abstrak Transformasi sosial sebagai

Lebih terperinci

Profil Lulusan Program Studi Sosiologi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA LAPORAN

Profil Lulusan Program Studi Sosiologi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA LAPORAN Profil Lulusan Program Studi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA LAPORAN BADAN PENJAMIN MUTU UNIVERSITAS UNIVERSITAS UDAYANA 2012 KATA PENGANTAR Atas berkah dan rahmat-nya, Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. media bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari kejayaan masa lalu. Hal ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. media bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari kejayaan masa lalu. Hal ini menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sangat kaya dengan limpahan budaya yang bernilai tinggi, beraneka ragam dan unik. Budaya yang menyatu membentuk suatu kearifan manusia dalam mengolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci