EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG KEBUMEN JAWA TENGAH FAHMA WIJAYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG KEBUMEN JAWA TENGAH FAHMA WIJAYANTI"

Transkripsi

1 EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG KEBUMEN JAWA TENGAH FAHMA WIJAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2011 Fahma Wijayanti NRP: G

3 EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG KEBUMEN JAWA TENGAH FAHMA WIJAYANTI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

4 Penguji pada Ujian Tertutp: Prof. Dr. Ani Mardistuti, MSc (Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan IPB) : Prof. Wasmen Manalu, PhD (Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH, IPB). Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Henry Bastaman MES. (Deputi Kemeterian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknik Lingkungan Dan Peningkatan Kapasitas) : Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, MSi. Direktur Konservasi Dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan RI)

5 ABSTRACT The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside the cave as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats, to identify physical factors which influenced the preference roosting place, to determine the prey preference of cave dwelling bats, to observe structural and physiological adaptation of the cave dwelling bats and to propose the karst management strategy based on the conservation status of bats. This study was conducted from September 2008 to July 2010 in twelve caves in Gombong karst area, Central Java. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October Stomach gut content was collected and dissolved in aquadest. The material of insect were sorted and identified under microscope and compare to the insects that were collected by light trap in bat foraging area. The polen were collected from the intestine of fruit bats. Blood was taken from the interfemoral vein of bats. Lungs removed from body and were made preparations for histology. The diameter of alveoli was observed under the microscope. Then the amount of erythrocyte was counted by using hemocytometer and hemoglobin content was measured using Sahli s method. The data was analyzed by ANOVA, Principle Component Analysis (PCA), Redundancy Analysis (RDA), Canonical Correspondence Analysis (CCA), Hybrid Canonical Correspondence Analysis (HCCA) and multiple regression. The result showed: 1) Fifteen spesies (eleven spesies of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The microclimate factors which influenced the preference roosting place were the sound intensity, the distance from the cave mouth, the temperature, the humidity and the light intensity. The insects in gut content of insectivorous bats belong to 10 orders, distributed into 29 families. Otherwise pollen in gut content of frugivorous bats belong to 9 families, distributed into 33 spesies of plant. The niche overlap index between spesies of bats that occupy in one cave was less than 30%. The diameter of alveoli significantly correlated with humidity, temperature and ammonia levels. The amount of erythrocyte increased by the increase of humidity, decrease in the temperature and the increase of ammonia level. This tendency also revealed in hemoglobin change. Gombong karst area proposed as a karst region class I based on Kepmen ESDM No K/20/MEM/2000 Key words: conservation. bats. Karst Gombong, roost preference, diet, adaptation,

6

7 RINGKASAN FAHMA WIJAYANTI. Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tegah. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, HADI SUKADI ALIKODRA, dan IBNU MARYANTO Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst dapat menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik. Penelitian ini menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua di Karst Gombong. Aspek-aspek tersebut meliputi: biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua; pola pemilihan sarang; relung pakan; serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan. Hasil penelusuran gua menunjukkan dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh gua dihuni kelelawar, dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Hasil Redundancy Analysis (RDA) menunjukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis kelelawar. Sebaliknya, jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berkorelasi nyata. Gua dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya, gua dengan lorong lebar, dapat dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sevcik (2003) pada Plecotus auritus dan P. austriacus yang membuktian P. auritus lebih unggul mengeksploitasi habitat, karena lebih mampu melakukan manuver terbang. Semakin panjang, tinggi dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan dan keanekaragaman jenis kelelawar yang dapat bersarang didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (1988) bahwa semakin luas habitat, semakin banyak jumlah dan jenis biota yang dapat hidup di dalamnya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan ketika terbang menuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung menggunakan jalur yang sama. Hal ini menyebabkan jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berpengaruh pada struktur komunitas kelelawar. Hasil Canonical Component Analysis (CCA) menunjukkan lima parameter yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar berturut-turut dari yang paling kuat sampai yang paling lemah pengaruhnya adalah: intensitas suara, jarak dari pintu gua, suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Berikut adalah beberapa alasan mengapa faktor faktor tersebut berpengaruh. 1) Hasil penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan bahwa di ruang tertutup kelelawar lebih sulit menganalisis gelombang pantul (ekolokasi). Oleh kerena itu, di ruang tertutup seperti di dalam gua, gangguan suara sedikit saja akan menyebabkan kelelawar gagal menganalisis gelombang pantul. 2) Kelelawar yang mampu terbang dengan

8 manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang pada jarak yang jauh dari lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia. Sebaliknya kelelawar yang tidak mampu melewati lorong gua yang panjang memilih sarang di lokasi yang dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar tersebut keluar atau masuk ke dalam sarang. 3) Kelelawar merupakan homoikiloterm (suhu tubuh konstan) yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dan jenis lainnya, sehingga kelelawar memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya. 4) Membran petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering. 5) Megachiroptera cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada ruang. Oleh karena itu jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih lokasi di dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenisjenis Microchiroptera lebih menggunakan kemampuan ekolokasinya untuk berorientasi pada ruang sehingga tidak memerlukan cahaya. Berdasarkan faktor mikroklimat yang berpengaruh tersebut, terdapat lima kelompok kelelawar. Setiap kelompok memiliki pola pemilihan sarang yang spesifik. Kelelawar insektivora di Karst Gombong memangsa 29 famili serangga yang termasuk ke dalam 10 ordo, sedangkan kelelawar frugivora di Karst Gombong memakan polen 33 species tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili. Berdasarkan pemilihan pakannya tersebut, kelelawar Microchiroptera berkelompok menjadi lima kelompok, masing masing kelompok memangsa serangga dengan karakteristik berbeda. Kelelawar Megachiroptera mengelompok menjadi tiga kelompok, masing masing kelompok memilih ukuran polen berbeda dan berasal dari bunga dengan tipe tertentu. Hasil penghitungan indeks kesamaan relung pakan menunjukkan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama memiliki nilai indeks kesamaan relung pakan kecil (< 30%). Hal ini membuktikan bahwa jenis-jenis yang berasosiasi tersebut tidak berkompetisi memperebutkan makanan. Hal ini menjawab pertanyaan, mengapa satu gua dapat dihuni oleh beberapa jenis kelelawar dengan jumlah populasi yang sangat tinggi. Hasil penelusuran sarang kelelawar membuktikan beberapa jenis-jenis kelelawar mampu bertahan hidup dalam sarang dengan kondisi dingin, lembap, rendah oksigen, dan tinggi kadar amonia. Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi hewan mamalia. Penelitian ini menunjukkan adanya adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar yang bersarang pada kondisi suhu rendah, lembap, dan kadar amonia tinggi, yaitu dengan diameter alveolus sempit, rasio jumlah eritrosit/bobot tubuh tinggi dan rasio kadar hemoglobin/bobot tubuh tinggi. Pada kondisi udara dingin, lembap dan tinggi kadar amonia kelelawar membutuhkan lebih banyak energi untuk menghangatkan tubuh dan memproduksi zat antibodi. Oleh karenanya, sel tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen. Diameter alveolus yang menyempit diperlukan agar absorbsi oksigen oleh pembuluh darah efektif. Jumlah eritrosit dan hemoglobin yang tinggi diperlukan agar kebutuhan sel akan oksigen segera terpenuhi akibat meningkatnya laju respirasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Karst Gombong perlu dilindungi karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh spesies yang terancam punah,

9 memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki fungsi perlindungan hidrologi dan potensial untuk wisata alam. Upaya perlindungan di Karst Gombong ini dapat dicapai dengan strategi konservasi. Konservasi sumber daya alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian yang akurat. Agar dapat dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong sesuai dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan temuan pada penelitian ini kawasan Karst Gombong dapat diusulkan sebagai Kawasan karst kelas I sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11. Hal ini karena kawasan Karst Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah tanah, merupakan ekosistem unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah, serta berpotensi wisata. Gua Macan, Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah dan Gua Petruk berfungsi menyimpan air bawah tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif, habitat fauna khas/ unik, dan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya untuk mempertahankan fungsi ekologis gua dan komunitas biota yang dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu ditetapkan sebagai gua konservasi dan ditetapkan sebagai zona inti/zona perlindungan. Zona inti merupakan zona atau kawasan yang dilindungi dan kegiatan manusia dikendalikan secara ketat. Gua-gua yang ditetapkan sebagai zona inti tersebut dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan persyaratan khusus, yaitu dikelola sesuai dengan kebutuhan anatomi dan fisiologis kelelawar yang menghuni di dalamnya. Untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar dan juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua kawasan hutan dan semak sekitar lima kilometer di luar zona inti perlu diusulkan sebagai zona penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Pada zona penyangga kegiatan manusia diperkenankan tetapi, dengan pengendalian dan memenuhi ciri berkelanjutan. Kata kunci : Kelelawar, gua karst, relung pakan, adaptasi, strategi konservasi.

10

11 HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah : Fahma Wijayanti : G : Biologi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MSc Anggota Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc Agr Tanggal Ujian : 24 Mei 2011 Tanggal Lulus:

12

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1969 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. Hadjid Harna Widagdo dan Sudarsini. Menikah pada tahun 1993 dengan Nur Muhammad Busro, SE dan dikaruniai tiga orang putri : Iftina Amalia (16 tahun), Adelia Khairunnisa (10 tahun), dan Alysa Ilmi Aulia (4 tahun). Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun Pendidikan Pascasarjana ditempuh di Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun Kesempatan melanjutkan program doktor pada Program Studi Biologi IPB diperoleh pada tahun 2006 dengan bantuan biaya pendidikan Program Doktor dari Departemen Agama RI. Penulis pertama kali bekerja sebagai dosen pada Universitas Muhammadiayah Hamka (UHAMKA) pada tahun 1994 dan pernah menjabat sebagai ketua Program Studi Pendidikan Biologi pada tahun 1999 s/d Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen PNS di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pada tahun 2004 s/d 2006 pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Biologi. Selama mengikuti program S3 di IPB karya ilmiah berjudul Komunitas fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Biologi Indonesia di Malang pada tahun 2009, dan karya ilmiah berjudul Biodiversity and Pattern of Roosting Preference of Cave Dwelling Bats: Case Study at Several Caves in Gombong Karst Area, Kebumen, Central Java telah disajikan pada International 2nd South East Asian Bats Conference pada tanggal 6 Juni 2011 di Bogor. Tiga artikel telah diterbitkan yaitu: 1) Pengaruh Fisik Gua Pada Struktur Komunitas Kelelawar di Jurnal Biologi Lingkungan Volume 4 Nomor 1, April 2010; 2) Keanekaragaman Jenis Kelelawar serta Kondisi Mikroklimat Habitatnya pada Beberapa Gua di Kabupaten Kebumen di Jurnal Biologi Lingkungan Volume 4 Nomor 2, Oktober 2010; dan 3) Eritrosit dan Hemoglobin pada Kelelawar Gua di Kawasan Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah di Jurnal Biologi Indonesia Volume 7 Nomor 11, Juni Sementara satu karya ilmiah lain sedang dalam proses penerbitan berjudul The Diet of Insectivorous Cave Dwelling Bats Based on Stomach Content di Journal of Tropical Biology yang akan terbit pada 2012.

14

15 KATA PENGANTAR Berkat rahmat dan hidayah Allah yang maha pemurah, penyusunan disertasi berjudul Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof.Dr. H.S.Alikodra MSc, dan Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan motivasi sejak penyusunan proposal penelitian sampai pada penyempurnaan disertasi ini. Banyak pihak telah ikut dalam pelaksanaan penelitian ini dan membantu penyelesaian disertasi baik di lapangan (Karst Gombong), di Jakarta, maupun di Bogor. Segala bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, dengan segala kerendahan hati penulis berkenan mengucapkan terima kasih. Kiranya segala bantuan tersebut tercatat sebagai ibadah, dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Dalam melaksanakan penelitian maupun penulisan disertasi ini, apabila terdapat tingkah laku, tutur kata, sikap, maupun perbuatan penulis yang tidak berkenan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis menyadari bahwa disertasi ini mungkin masih mengandung kekurangan atau kesalahan, meskipun penulis sudah berusaha sedimikian rupa untuk menyempurnakannya. Dengan berlapang dada kepada semua pihak yang mengetahui kekurangan atau kesalahan dalam disertasi ini, penulis sangat mengharapkan, menghormati, dan menghargai segala saran, kritikan, dan masukan-masukan untuk penyempurnaannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Bogor, Mei 2011 Penulis

16 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis Penelitian... 4 Ruang Lingkup Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 7 BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Saran ANALISIS RELUNG PAKAN KELELAWAR INSEKTIVORA (Subordo: Microchiroptera) DAN KELELAWAR FRUGIVORA (Subordo: Megachiroptera) YANG BERSARANG DI GUA-GUA KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Saran ADAPTASI STRUKTURAL DAN FISIOLOGI PERNAPASAN KELELAWAR PENGHUNI GUA: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode ix

17 Hasil Pembahasan Kesimpulan Saran PEMBAHASAN UMUM Pentingnya Upaya Konservasi bagi Ekosistem Karts Gombong Perhatian Pemerintah terhadap Ekosistem Karts Gombong Usulan Strategi Konservasi Ekosistem Karts Gombong KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

18 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar Struktur komunitas kelelawar di setiap gua Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang Hasil analisis isi perut kelelawar Microchiroptera Karakteristik serangga pakan: bobot tubuh, panjang tubuh (berdasarkan serangga pembanding) dan kekerasan eksoskeleton (berdasarkan Aguirre et al. 2003) Nilai kesamaan relung pakan (Morsita index) antarjenis kelelawar pada semua gua Nilai kesamaan relung pakan (niche overlap) dan nilai uji chi square antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama Persentase polen pada saluran pencernaan tiap jenis kelelawar Jenis tanaman berdasarkan tipe bunga Jenis tanaman berdasarkan ukuran polen Nilai kesamaan relung pakan dan uji chi square antarjenis kelelawar Megachiroptera Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin dengan kelembapan, suhu, kadar oksigen, dan kadar amonia Hasil pengukuran mikroklimat sarang, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan diameter alveolus kelelawar xi

19 17. Hasil uji Tukey perbandingan diameter alveolus antarkoloni kelelawar Hasil uji Tukey perbedaan rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan antarkoloni kelelawar Hasil uji Tukey perbedaan rasio kadar hemoglobin per gram bobot badan antarkoloni kelelawar Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 ( IUCN 2001) Pedoman pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karts Gombong Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan xii

20 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema kerangka pemikiran Formasi awal terbentuknya karst Geomorfologi karst Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar Suplai energi ke dalam gua Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia Struktur rangka kelelawar Organ pernapasan mamalia Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida Struktur kimia hemoglobin Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua Pemetaan gua dengan metode foreward Pengukuran kadar amonia udara Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang Pengambilan sampel kelelawar Jenis-jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua Redundancy Analysis (RDA) hubungan kelimpahan (N), kekayaan jenis (S), keanekaragaman jenis (H), dan kemerataan jenis (E) kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua (V) Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat sarang xiii

21 20. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan serangga pakannya Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan polen yang dimakan Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan jenis kelelawar Frugivora berdasarkan bentuk mahkota bunga Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan jenis kelelawar Frugivora berdasarkan ukuran polen Proses pembedahan dan perendaman paru-paru dalam laritan Bouin Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di lorong Gua Jatijajar Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen xiv

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambar jenis-jenis kelelawar penghuni gua Karst Gombong Peta sebaran sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong Serangga pakan kelelawar insektivora/microchiroptera Polen tumbuhan sumber pakan kelelawar Gambar penampang melintang sayatan histologi alveolus kelelawar Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasrkan jenis serangga pakannya dengan tiga komponen utama Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan polen tumbuhan pakannya xv

23 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes (sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999). Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut BAPPENAS (2003), terdapat sekitar 15.4 juta hektar kawasan karst di wilayah Indonesia atau sekitar 10% dari seluruh luas daratan Indonesia. Selama ini, pemerintah dan masyarakat memanfaatkan ekosistem karst tersebut sebagai sumber pendapatan, di antaranya untuk kegiatan pertambangan dan obyek wisata. Namun, pemanfaatan dua sektor ini belum didukung oleh dasar ilmu pengetahuan (technopreunership) yang kuat, sehingga pemanfaatannya sering kali menimbulkan persoalan. Menurut Ko (1999), persoalaan utama yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst adalah : 1) Adanya perubahan bentang alam (landscape) dan struktur geologi karst akibat penambangan batu gamping; 2) Menurunnya debit air bawah tanah akibat berkurangnya porositas batuan karst; dan 3) Hilangnya keanekaragaman biota khas gua, akibat habitatnya rusak atau terganggu. Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst tersebut dapat menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik.

24 2 Penelitian untuk mendukung pemanfaatan ekosistem karst secara lestari masih sangat sedikit. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan karst di Indonesia terutama hanya terfokus pada struktur geologi karst saja. Penelitian mengenai komunitas biologi belum banyak dilakukan, padahal komunitas biologi memegang peran penting dalam keseimbangan ekosistem karst. Atas dasar alasan tersebut, penelitian mengenai komunitas biologi pada ekosistem karst mutlak diperlukan. Salah satu komunitas biologi yang berperan penting dalam ekosistem karst adalah fauna troglozene, yaitu fauna yang bersarang di dalam gua, tetapi mencari makan di luar gua (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut Whitten et al. (1999), hewan troglozene utama pada gua-gua karst di Indonesia adalah kelelawar. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem gua dengan guano (feses kelelawar) dan bangkainya. Tanpa kehadiran kelelawar, aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota gua akan hilang. Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Peran kelelawar bagi ekosistem luar gua adalah sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al. (1998) membuktikan kelelawar Cynopterus brachyotis (Subordo: Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17 famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al. (2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera yang bersarang di gua (Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua. Potensi ekonomi ekosistem karst menyebabkan eksploitasi ekosistem karst tidak dapat dihindari. Akibat eksploitasi untuk tujuan ekonomi ini, ekosistem karst menanggung risiko yang cukup tinggi, salah satunya adalah

25 3 sarang kelelawar di gua yang telah dipertahankan dari generasi ke generasi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini karena kondisi fisik gua telah berubah, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kelelawar. Oleh karena itu, agar keberadaan kelelawar di gua dapat dipertahankan, diperlukan informasi yang akurat mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kelelawar gua. Penelitian ini akan menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua. Aspek-aspek tersebut meliputi biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua, pola pemilihan sarang, relung pakan, serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan. Rumusan Masalah Ekosistem karst berperan penting sebagai reservoar air dan habitat fauna khas gua (Samodra 2006; Epsinasa & Vuong 2008). Akibat eksploitasi dan pemanfaatan gua untuk kepentingan ekonomi yang kurang berwawasan lingkungan, keberadaan dan peran ekosistem karst menjadi terancam. Salah satu ancaman dari pemanfaatan ekosistem gua adalah rusaknya struktur gua (Ko 1999). Di samping permasalahan struktur gua, terdapat permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya akibat pemanfaatan gua. Permasalahan tersebut adalah permasalahan komunitas biologi. Eksploitasi gua dengan kegiatan pertambangan dan pengambilan guano sudah pasti merusak fisik gua dan mengancam komunitas fauna gua. Demikian pula dengan pemanfaatan gua karst sebagai objek wisata. Walaupun secara fisik tidak merusak struktur gua, kedatangan pengunjung dan fasilitas wisata yang dibangun dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan fauna gua. Salah satu fauna gua yang terancam akibat pemanfaatan gua tersebut adalah kelelawar. Untuk meminimalisir dampak pemanfaatan gua karst pada komunitas kelelawar, diperlukan penelitian mengenai ekologi, relung pakan, strategi adaptasi dan strategi konservasinya. Luaran penelitian ini adalah 1) biodiversitas kelelawar gua, 2) pola pemilihan sarang kelelawar gua, 3) kesamaan relung pakan kelelawar gua, 4) strategi adaptasi struktural dan fisilogi pernapasan

26 4 kelelawar gua, dan 5) strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Apabila luaran di atas berhasil dicapai dengan baik, maka dapat dibuat pola pemanfaatan gua yang tepat, yang dapat mempertahankan komunitas kelelawar dan ekosistemnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Mengkaji biodiversitas kelelawar penghuni gua berdasarkan faktor-faktor fisik gua di beberapa gua Karst Gombong. b. Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar gua. c. Mengidentifikasi pakan kelelawar gua dan menentukan kesamaan relung (niche overlap) pakan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama. d. Mengkaji adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. e. Merancang strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Hipotesis penelitian Hipotesis penelitian ini adalah : a. Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi secara nyata oleh panjang lorong, lebar lorong, tinggi lorong, serta jumlah pintu, dan jumlah ventilasi gua. b. Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari mulut gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang. c. Asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat dilakukan oleh jenis-jenis kelelawar yang memiliki indeks kesamaan relung pakan yang kecil (< 50%). d. Adaptasi kelelawar terhadap kondisi ruang gua yang dingin, lembap, rendah oksigen, dan kadar amonia tinggi menentukan struktur dan fisiologi organ pernapasan, yaitu diameter alveolus sempit (< 100µm), rasio jumlah

27 5 eritrosit/ bobot badan tinggi ( > 0.3 juta/ml /gr bobot badan) dan rasio kadar hemoglobin/bobot badan tinggi ( > 0.9 g/ml /gr bobot badan). Ruang Lingkup Penelitian Secara sistematik, ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Namun, tahapan penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari penelitian tentang biodiversitas kelelawar, hingga strategi konservasi ekosistem karst dilakukan secara rinci melalui beberapa topik penelitian sebagai berikut : Penelitian 1 : Biodiversitas dan pola pemilihan sarang kelelawar penghuni gua: Studi kasus di gua-gua Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan a, b, dan e. Penelitian 2 : Analisis relung pakan kelelawar insectivora ( Subordo Microchiroptera) dan kelelawar frugivora (Subordo: Megachiroptera) yang bersarang di Gua Karst Gombong. Penelitian ini untuk mencapai tujuan c dan e. Penelitian 3 : Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar penghuni gua di Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan d dan e. Penelitian 4 : Strategi konservasi ekosistem gua Karst Gombong. Penelitian ini untuk mencapai tujuan e dan tertuang dalam pembahasan umum.

28 6 Gambar 1 Skema kerangka pemikiran PERAN DAN FUNGSI KAWASAN KARST DI PANTAI SELATAN JAWA - Sebagai reservoar air terutama untuk wilayah Jawa bagian selatan - Sebagai habitat biota khas gua PERMASALAHAN KOMUNITAS BIOLOGI: 1. Kurangnya informasi fauna gua karst 2. Pemanfaatan gua karst yang tidak lestari PERMASALAHAN STRUKTUR GUA KARST: 1. Pemanfaatan gua sebagai tambang batu gamping dan guano ANCAMAN BAGI KOMUNITAS FAUNA GUA STATUS FAUNA GUA DAN SARANGNYA - Keanekaragaman dan struktur komunitas kelelawar gua - Pola pemilihan sarang kelelawar STRATEGI ADAPTASI FAUNA GUA - Pemilihan relung pakan - Adaptasi struktur organ pernapasan - Adaptasi fisiologi pernapasan 1. Karakteristik gua sebagai sarang kelelawar 2. Pola pemilihan sarang kelelawar 3. Pola asosiasi dalam komunitas (Sharing resources) 4. Strategi adaptasi kelelawar gua Strategi konservasi kelelawar gua Action plan yang ramah lingkungan : - Pemanfaatan berdasarkan persyaratan - Pemilihan gua sebagai objek Pertambangan atau objek ekotourisme - Zonasi kawasan karst

29 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Karst Karstifikasi Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006; Samodra 2006). Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut menyebabkan lempeng saling bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut antara lain, koral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa, ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen), Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut. Gaya-gaya tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini merupakan area yang sangat potensial untuk masuknya aliran air dan terbentuknya perangkap-perangkap air (Eberhard 2006). Formasi awal terbentuknya karst tersaji pada Gambar 2.

30 8 karen Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004) Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO 2 ) di udara dengan air hujan (H 2 0) menghasilkan H 2 CO 3 yang bersifat asam lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah sebagai berikut : H 2 O + CO 2 H 2 CO 3 H 2 CO 3 HCO 3 + H + HCO 3 + CaO CaCO 3 + H 2 O CaCO 3 + H 2 O + CO 2 CaH 2 C 2 O 6 Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole (lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

31 9 batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya. Geomorfologi karst Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan: 1) adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar berlubang-lubang membentuk dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu gamping (Samodra 2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu. Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil pengendapan kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang sebelumnya terlarutkan oleh peristiwa karstifikasi. FINSPAC (1993) membagi ornamen-ornamen dalam gua menjadi: 1) stalaktit, yaitu endapan kapur yang menggelantung pada langit-langit gua, 2) stalakmit, yaitu endapan kapur yang terdapat pada lantai gua, 3) tiang (column), yaitu pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang membentuk tiang, 4) tirai (drip curtain/drapery), yaitu endapan yang berbentuk lembaran tipis vertikal, pada atap gua yang miring, dan 5) teras (travertin), yaitu endapan kalsium karbonat pada lantai gua yang bertingkat sehingga membentuk terrasering. Geomorfologi karst tersaji pada Gambar 3.

32 10 Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993) Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih dipengaruhi oleh iklim luar gua, 2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar gua. Menurut Samodra (2006) mikroklimat dalam gua cenderung lebih dingin dan lebih lembap. Hal ini karena 1) adanya aliran sungai di lantai gua; 2) adanya air rembesan di atap gua; 3) tidak ada sinar matahari, dan 4) sirkulasi udara terbatas. Selain itu menurut Russo et al. (2003) mikroklimat tersebut dapat berbeda antara satu zona (mintakat) dan zona lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengaruh sinar matahari, formasi gua, dan keberadaan mahluk hidup di dalamnya. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua

33 11 Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3 o C. Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi) Tipe-tipe gua Aliran air merupakan faktor utama dalam pembentukan gua karst. Karenanya menurut Hamilton & Smith (2006), berdasarkan penetrasi air pada dinding dan atap gua, dapat dibedakan tiga-tipe gua karst, yaitu 1) gua fosil, adalah gua karst yang pada dinding dan atapnya tidak ada lagi penetrasi air. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ornamen-ornamen gua terhenti dan mikroklimat gua cenderung lebih kering dibandingkan tipe gua karst lainnya; 2) gua vedosa: gua karst yang berada pada sarang air (water table) yang datar. Tipe gua ini ditandai dengan sedikitnya penetrasi air pada atap gua sehingga tidak banyak ditemukan ornamen gua. Oleh karena berada pada sarang air datar, maka banyak terbentuk mata air di dinding gua. Banyaknya mata air tersebut menyebabkan mikroklimat di dalam gua cenderung dingin dan lembap; 3) gua pheartic adalah gua karst yang berada pada bidang miring, yang penetrasi air pada atap gua berlangsung sangat efektif. Tipe gua ini ditandai dengan banyaknya tetesan air

34 12 pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006). Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakatmintakat. Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua, banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua. Gua tipe pheartic memiliki formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006). Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak dipengaruhi suhu luar gua. Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004) terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakatmintakat seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang kompleks. Komunitas fauna gua karst Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari

35 13 hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene). Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 5. Gambar 5 Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004) Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas :

36 14 kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida), semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan labalaba (Arachnidae: Decapoda). Dunn (1978) mendapatkan rantai makanan di dalam Gua Anak Takun Malaysia seperti pada Gambar 6. KELELAWAR (CHIROPTERA) ular (Boidae) semut (Formicidae) kala jengking (Scorpionodae) laba-laba (Arachnidae) kodok (Anura) GUANO kecoa (Blattidae ekor Pegas/ Collembola lalat (Muscoidae) kumbang (Lathridiidae) jangkerik (Gryllidae) Gambar 6 Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978) Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat. Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi : 1) Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih

37 15 berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros: Insecta). 2) Troglozene, yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).

38 16 3) Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa. Kelelawar sebagai Kelompok Fauna Troglozene Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia (Whitten et al.1999; dan Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan (metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis (petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Nowak (1994) menggambarkan struktur rangka kelelawar seperti terlihat pada Gambar 7. digiti 2 digiti 3 digiti 1 digiti 4 digiti 5 petagium Gambar 7 Struktur rangka kelelawar (Sumber : Nowak 1994)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001) Status Konservasi

PEMBAHASAN UMUM. Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001) Status Konservasi 104 PEMBAHASAN UMUM Pentingnya upaya konservasi bagi ekosistem Karst Gombong Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di gua-gua Karst Gombong hidup lima belas jenis kelelawar, yang terdiri atas empat jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Karst. Karstifikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Karst. Karstifikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Karst Karstifikasi Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS SPESIES KELELAWAR DENGAN FAKTOR FISIK GUA: STUDI DI GUA WILAYAH SELATAN PULAU LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS SPESIES KELELAWAR DENGAN FAKTOR FISIK GUA: STUDI DI GUA WILAYAH SELATAN PULAU LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2016 Vol. 2 No. 1, p. 78-83 ISSN: 2442-2622 HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS SPESIES KELELAWAR DENGAN FAKTOR FISIK GUA: STUDI DI GUA WILAYAH SELATAN PULAU LOMBOK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Salah satu dari sekian banyak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.640, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ESDM. Kawasan Bentang Alam Karst. Penetapan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed

BAB I PENDAHULUAN. siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales), biasa disebut gulma siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed merupakan gulma padang rumput

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Sumatera Barat banyak ditemukan kawasan berkapur (karst) dengan sejumlah goa. Goa-goa yang telah teridentifikasi di Sumatera Barat terdapat 114 buah goa (UKSDA, 1999

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Laporan Pendataan Gua, Mata Air dan Telaga di Karst Malang Selatan Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang 19-20 September 2015 A. Latar Belakang Karst adalah bentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

2) Komponen Penyusun Ekosistem

2) Komponen Penyusun Ekosistem EKOSISTEM 1) Pengertian Habitat dan Relung Ekologi Hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara mahluk hidup dengan lingkungannya dipelajari dalam cabang ilmu yang disebut ekologi. Ekologi berasal

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

Curah hujan tinggi, tanah masam & rawa bergambut. Curah hujan mm/tahun, dataran bergunung aktif. Dataran tinggi beriklim basah

Curah hujan tinggi, tanah masam & rawa bergambut. Curah hujan mm/tahun, dataran bergunung aktif. Dataran tinggi beriklim basah Diskusi selanjutnya dibatasi pada wilayah tropika Indonesia, yaitu negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan terbagi menjadi 34 wilayah provinsi dengan jumlah penduduk 251.857.940 jiwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

JAWABAN PERTANYAAN EVOLUSI TUGAS

JAWABAN PERTANYAAN EVOLUSI TUGAS JAWABAN PERTANYAAN EVOLUSI TUGAS disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Evolusi Oleh: Kelompok 10 Pendidikan Biologi A 2014 Ane Yuliani 1400537 Hanifa Ahsanu A. 1403883 Meilinda Alfiana 1403318

Lebih terperinci

Udang Stenasellus dari Sukabumi.

Udang Stenasellus dari Sukabumi. Udang Stenasellus dari Sukabumi. Louis Deharveng tak banyak bicara. Ahli biologi sekaligus penelusur gua asal Prancis ini tengah sibuk mengeluarkan barang-barang, sendok plastik kecil, penyaring teh, dan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

Keyword : Local wisdom, diversity, nesting patterns,

Keyword : Local wisdom, diversity, nesting patterns, 1 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT CIBALONG DALAM MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN DAN POLA BERSARANG KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KAWASAN KARST CIBALONG KABUPATEN TASIKMALAYA Mohammad Fahmi Nugraha, Purwati K. Suprapto

Lebih terperinci

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Kuliah ke-2 R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Spektrum Biologi: KOMPONEN BIOTIK GEN SEL ORGAN ORGANISME POPULASI KOMUNITAS berinteraksi dengan KOMPONEN ABIOTIK menghasilkan

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim Balai Penelitian Kehutanan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gulma siam (Chromolaena odorata) tercatat sebagai salah satu dari gulma tropis. Gulma tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP

CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP Kegiatan yang dilakukan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan tidak sama. Tetapi gejala yang ditunjukkan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan sama. Gejala atau ciri yang ditunjukkan oleh

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bentang alam karst merupakan suatu bentang alam yang memiliki bentukan yang sangat unik dan khas. Bentang alam karst suatu daerah dengan daerah yang lainnya

Lebih terperinci

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan Rantai Makanan Rantai makanan adalah perpindahan materi dan energi dari suatu mahluk hidup ke mahluk hidup lain dalam proses makan dan dimakan dengan satu arah. Tiap tingkatan dari rantai makanan disebut

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAMPAK DAN KERUSAKAN KAWASAN KARST CIBINONG AKIBAT AKTIVITAS PENAMBANGAN DI DESA LEUWIKARET OLEH PT INDOCEMENT

IDENTIFIKASI DAMPAK DAN KERUSAKAN KAWASAN KARST CIBINONG AKIBAT AKTIVITAS PENAMBANGAN DI DESA LEUWIKARET OLEH PT INDOCEMENT 1 IDENTIFIKASI DAMPAK DAN KERUSAKAN KAWASAN KARST CIBINONG AKIBAT AKTIVITAS PENAMBANGAN DI DESA LEUWIKARET OLEH PT INDOCEMENT Syafitri Hidayati, Domi Suryadi, Feni Dwi Kasih, Hireng Ambaraji Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA Materi Penyebaran Komunitas Fauna di Dunia Keadaan fauna di tiap-tiap daerah (bioma) tergantung pada banyak kemungkinan yang dapat diberikan daerah itu untuk memberi

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH 30 BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ABSTRACT The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved,

Lebih terperinci

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si Apa yang dimaksud biodiversitas? Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah : keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

Tinjauan Mata Kuliah. Materi pengembangan bahan ajar mata kuliah ini akan disajikan dalam 9 (sembilan) modul sebagai berikut.

Tinjauan Mata Kuliah. Materi pengembangan bahan ajar mata kuliah ini akan disajikan dalam 9 (sembilan) modul sebagai berikut. ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini memberikan dasar pengetahuan tentang serangga dan manusia. Selain itu, juga memberikan pengetahuan tentang struktur, anatomi, dan perkembangan serangga, serta siklus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Intisari... Abstact... i ii ii iv x xi xvi xviii xix BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM 1. Interaksi antar Organisme Komponen Biotik Untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan, setiap organisme melakukan interaksi tertentu dengan organisme lain. Pola-pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bentang alam yang beragam. Salah satu bentang alam (landscape) yang memiliki potensi dan nilai strategis adalah

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversity yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut Asti, (2010, hlm. 1) bahwa Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia

Lebih terperinci

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1 Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Peta Konsep Ciri khusus mahkluk hidup 1. Mencari makan 2. Kelangsungan hidup 3. Menghindari diri dari Hewan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH 1127020048 Abstrak Data keragaman jenis, persebaran dan data ekologi dari Begonia liar di kawasan remnant forest (hutan restan)

Lebih terperinci

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Laksito Nugroho M 0401037 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING IV.1 Pendahuluan Batuan Karbonat Klastik Terrigenous Sedimen yang global dan tak terbatas dengan iklim. Suplai sedimen berasal dari kontinen dan laut. Ukuran dari butiran

Lebih terperinci

Contoh Soal Try Out IPA Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 7 SMP/MTs. Hindayani.com

Contoh Soal Try Out IPA Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 7 SMP/MTs. Hindayani.com Hindayani.com Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat! 1. Wahyu naik mobil yang sedang bergerak lurus. Pernyataan yang benar a. Wahyu bergerak terhadap mobil b. Wahyu tidak bergerak terhadap rumah

Lebih terperinci