ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN"

Transkripsi

1 ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PENYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2006 WULANING DIYAH NIM A ii

3 ABSTRAK WULANING DIYAH. Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan ERNAN RUSTIADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Ketidaktegasan hak pemilikan dan ketidakseimbangan akses terhadap sumberdaya hutan antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan (pemanfaatan) hutan di Provinsi Sumatera Selatan, menimbulkan ketimpangan kesejahteraan, deforestasi dan degradasi hutan. Pemberdayaan masyarakat di dalam/sekitar hutan melalui kemitraan dalam mengelola hutan (MHBM) adalah salah satu kebijakan untuk mengatasinya. Penelitian ini menganalisis manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang diterima masyarakat peserta kemitraan MHBM, tingkat keberhasilan tanaman dan peran kelembagaan kemitraan MHBM. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, kesediaan membayar (willingness to pay), pembuatan petak contoh seluas 0,1 ha dan Teori Permainan (Game Theory). Temuan studi menunjukkan, bahwa pelaksanaan kemitraan MHBM masih lebih menguntungkan pihak perusahaan HTI daripada masyarakat peserta kemitraan. Agar kemitraan MHBM dapat terus berkelanjutan, maka perlu diupayakan sedemikian sehingga manfaat yang diterima masyarakat dapat lebih meningkat secara proporsional. Kata kunci : Sumberdaya hutan, masyarakat di dalam/sekitar hutan, MHBM, kelembagaan iii

4 Hak cipta milik Wulaning Diyah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya iv

5 ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 v

6 vi

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2005 ini adalah pengelolaan hutan tanaman, dengan judul Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan Penulis menyadari, bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dan membiayai penulis dalam melaksanakan pendidikan 2. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Dosen Pembimbing. 3. Pimpinan dan staf PT. Musi Hutan Persada yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data 4. Teman-teman PWD 03 sebagai teman seperjuangan 5. Mas Bambang, Mbah Mulyadi, Neneng, Pak Salman, Mbak Titin, Mas Mul, Tanti dan teman-teman di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang membantu dalam pengumpulan data Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, eyang, suami dan anak-anak tercinta (mas Tiyok, Yayas, dan Tata) serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Semoga tesis ini bermanfaat Bogor, Juni 2006 WULANING DIYAH vii

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1967 dari ayah Soepardi K (Alm) dan ibu Tuginah. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1994, penulis menikah dengan Ir. Setyo Yuwono dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Saraswati Widyasari dan Satyaning Widyarini. Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Gunung 02 Jakarta dan lulus tahun 1980, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 11 Jakarta dan lulus tahun Setelah lulus dari SMA Negeri 6 Jakarta tahun 1986 penulis pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK. Penulis memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada pergurunan tinggi yang sama pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui Proyek PKMDP BAPPENAS. Penulis bekerja sebagai staf Sub Dinas Inventarisasi dan Tata Guna Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Seksi yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengolahan Data dan Sistem Informasi Kehutanan. viii

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..... DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN..... ix xi xii I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian. Batasan Operasional II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya Pembangunan Hutan Tanaman Masyarakat Desa Hutan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Kelembagaan Pengelolaan Hutan Kesediaan Membayar (Willingness to Pay).. 31 III METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran.. Model/Hipotesis Metode Penelitian IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Pembangunan HTI PT. Musi Hutan Persada Pelaksanaan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) V HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peserta MHBM 64 ix

10 5.2. Peranan Kehutanan terhadap Aspek Ekonomi dan Pengembangan Wilayah Manfaat Ekonomi.. Manfaat Sosial... Manfaat Lingkungan. Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman.. Kelembagaan MHBM VI IMPLIKASI KEBIJAKAN MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) Substansi Program Mengelola Hutan Bersama 6.2. Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat VII SIMPULAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN x

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsinya Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Fungsinya Daftar Perusahaan Pelaksana Pembangunan Hutan Tanaman dan Realisasi Tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan Tahun Realisasi Penanaman HTI Sesuai Kelas Perusahaan sampai dengan Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan Konsekuensi Pahala (Payoff) dari Permainan Pertukaran (Jasa) 30 6 Matrik Pembahasan dalam Penelitian Luas Penebangan Tanaman HTI dan Jumlah Produksi Hasil Hutan Tahun Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) dari Tahun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Sub Sektor Kehutanan dan Industri Pengolahan Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Tahun Tingkat Kepadatan dan Distribusi Penduduk di Lokasi Penelitian Tingkat Kesejahteraan Penduduk di Lokasi Penelitian Luas Areal Pencadangan PT. Musi Hutan Persada Berdasarkan Wilayah Administratif dan Penataan Ruang Sesuai Peruntukkan (Fungsi) Jumlah Responden Berdasarkan Umur Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Menurut Harga Berlaku (jutaan Rp) Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ) Penerimaan PSDH Kabupaten Muara Enim Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sebelum MHBM Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sesudah MHBM Perubahan Tingkat Pendapatan Respoden Sebelum dan Sesudah MHBM Hasil Penyesuaian dan Pengujian Tingkat Pendapatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah MHBM Hasil Pengujian Tingkat Pendapatan dengan Adanya MHBM Hasil Wawancara Responden mengenai Manfaat Sosial MHBM Hasil Analisa Regresi Berganda dari Peubah Penduga Kesediaan 82 Membayar (Willingness to pay = WTP) Manfaat Sosial. 26 Banyaknya Responden yang Bersedia Membayar Kesediaan Membayar Berdasarkan Tingkat Pendapatan Total Kesediaan Membayar Responden Surplus Konsumen Responden Curahan Tenaga Kerja dalam Program HTI MHBM xi

12 31 Rata-rata Peningkatan Pendapatan Desa Peserta MHBM Perkembangan Kejadian Kebakaran pada Hutan Tanaman PT. Musi Hutan Persada Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Masyarakat Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Pemerintah Matrik Payoff Interaksi antara Pemerintah dengan Masyarakat. 101 xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur Pikir Penelitian Bagan Organisasi Kelompok Tani MHBM Peta Lokasi Penelitian MHBM PT. Musi Hutan Persada 63 4 Kurva Permintaan Kegiatan MHBM. 86 xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Pengujian Pengaruh Kegiatan MHBM terhadap Pendapatan Masyarakat Hasil Analisa Regresi Kesediaan Membayar (WTP) Terhadap Manfaat Sosial Tabel PDRB Kab. Muara Enim Tahun atas Dasar Harga Berlaku (jutaan rupiah) Besar Payoff Masing-masing Pihak yang Terlibat dalam MHBM Rekapitulasi Prosentase Tumbuh Tanaman pada Tiap Lokasi Sampel Rekapitulasi Data Responden dalam Rangka Analisis MHBM HTI PT. Musi Hutan Persada xiv

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebagai negara dengan potensi sumber daya hutan yang sangat besar dan menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan hutan Indonesia tahun 2005, luas kawasan hutan Indonesia seluas 133,574 juta hektar yang terbagi dalam Hutan Konservasi seluas 19,876 juta hektar, Hutan Lindung seluas 30,052 juta hektar, Hutan Produksi Tetap seluas 35,259 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas 25,656 juta hektar, dan Hutan Produksi Konversi seluas 22,732 juta hektar. (Departemen Kehutanan 2005). Sumber daya hutan tersebut sangat vital bagi perekonomian Indonesia, baik dalam penyediaan kayu untuk keperluan domestik maupun untuk ekspor yang memberikan konstribusi 3,8-5,95 milyar US dollar per tahun (Departemen Kehutanan 2003a) Namun demikian, paradigma pembangunan kehutanan masa lalu yang bersifat timber oriented itu dan telah memberikan pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), menyebabkan pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang ditunjukkan dengan kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari. Fenomena yang ada saat ini adalah deforestasi dan degradasi hutan telah terjadi di semua fungsi kawasan hutan. Berdasarkan data hasil Inventarisasi Hutan Indonesia (National Forest Inventory) tahun , total deforestasi hutan Indonesia adalah 22,46 juta hektar, yang berarti rata-rata per tahun mencapai 1,6 juta hektar. Bahkan dalam 10 tahun terakhir kerusakan hutan tersebut diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahunnya. Menurut hasil tata batas pengukuhan kawasan hutan sampai dengan tahun 2000, luas hutan di Provinsi Sumatera Selatan adalah hektar atau 37,34% dari luas daratan. Selain itu, berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2000 ternyata luas lahan kritis (penutupan lahan non hutan) dalam kawasan hutan tetap telah mencapai hektar. Lahan kritis itu tampak lebih jelas pada areal HPH yang telah habis masa berlaku konsesinya (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002). xv

16 Tabel 1 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya Kondisi Penutupan Vegetasi HL KSA- KPA Kawasan Hutan (ribu ha) Hutan Tetap HP HPT Jumlah HPK Total Hutan , , , , , , ,2 63,02 Non hutan 4.748, , , , , , ,4 24,00 Tdk ada 4.359, , , , , , ,5 12,98 data Jumlah , , , , , , ,1 Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2003) (Data digital penutupan lahan skala 1: Hasil penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 Keterangan : HL = ha; KSA-KPA = ha; HP = ha; HPT = ha; HPK= ha Tabel 2 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsinya Kawasan hutan (ha) Kondisi Penutupan Hutan Tetap HPK Total % vegetasi HL KSA-KPA HP Jumlah Hutan ,19 Non hutan ,61 Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan (2002) Keterangan : HL = ha; KSA-KPA = ha; HP = ha; HPK= ha % Masalah lain yang timbul dalam pengelolaan hutan adalah kurang memperhatikan hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sumberdaya alam (hutan). Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh akses masyarakat kepada sumberdaya alam (hutan) dan selanjutnya berakibat kepada munculnya ketimpangan kesejahteraan antara masyarakat lokal yang hidup di dalam atau sekitar hutan dengan pihak pengelola hutan. Hal ini mudah dipahami, misal dalam pembangunan HTI, karena HTI dari sejak awal akan berhadapan dengan masyarakat karena untuk memulai kegiatan penanaman HTI perusahaan harus melakukan penyiapan lahan untuk penanaman sesuai sistem silvikultur HTI, yaitu Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Dengan demikian, jika terjadi tumpang tindih dengan lahan hutan masyarakat, maka akan habislah tanam tumbuh milik masyarakat, habislah hutan milik masyarakat, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat desa di dalam atau sekitar hutan. Masyarakat tersebut umumnya memiliki ketergantungan xvi

17 yang tinggi terhadap hutan, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dari aktifitas di dalam hutan dengan keanekaragaman sumber daya hayati yang menjadi sumber kehidupan mereka. Padahal masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan termasuk untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan budaya. Pada gilirannya, ketimpangan kehidupan dalam masyarakat tersebut menjadi potensi meledaknya kekecewaan dan keresahan masyarakat dan mengarah pada terjadinya kekerasan. Selain itu, sumberdaya hutan yang dikuasai oleh pihak pengelola hutan tidak sepenuhnya dimanfaatkan sehingga menimbulkan inefisiensi sekaligus menutup akses kelompok masyarakat yang lemah terhadap sumberdaya hutan tersebut dan menimbulkan kerugian sosial yang tinggi (Anwar 2005). Sebagai respon atas perubahan dan perkembangan tatanan sosial kemasyarakatan saat ini, telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuju ke arah pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan kapasitas masyarakat lokal (masyarakat sekitar hutan). Pada paradigma yang baru ini, masyarakat tidak hanya sebagai obyek dalam pembangunan kehutanan, namun juga dilibatkan sebagai subyek pembangunan kehutanan. Atas dasar paradigma tersebut, salah satu solusi yang diambil untuk mengurangi dan menyelesaikan konflik dan ketimpangan yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan adalah menyempurnakan program kegiatan dalam pembangunan hutan tanaman melalui redistribusi lahan (dalam hal ini pengelolaan lahan) dengan memberi kesempatan masyarakat atau kelompok masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 68 mengenai Peran serta masyarakat dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry. Selain itu dari hasil Rumusan Rapat Kerja Nasional tahun 2002 di Jakarta tanggal Juli 2002, dalam era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan bahwa program-program kehutanan harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan perhutanan sosial yang berorientasi pada xvii

18 pelestarian hutan. Lestari hutan itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Haryadi 2002) Tabel 3 Daftar perusahaan pelaksana pembangunan HTI dan realisasi tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan tahun 2002 No. Nama perusahaan Luas konsesi HTI (ha) Realisasi tanaman 1. PT. Musi Hutan Persada PT. Pakerin PT. Waihijau Hutani PT. Tunas Bentala PT. SBA Wood Industries PT. Inhutani V (Persero) - Eks HPH Eks HTI PT. Rimba Jaya Borang PT. Ciptamas Bumisubur Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002 Salah satu pengelola hutan (perusahaan HTI) yang melakukan redistribusi lahan di Provinsi Sumatera Selatan adalah PT. Musi Hutan Persada melalui kegiatan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM), yang dilaksanakan mulai tahun yang meliputi beberapa lokasi di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) nya. Tujuan dilakukannya MHBM dalam pembangunan hutan tanaman adalah untuk (PT. MHP 2004): 1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan 3. Menyelaraskan kegiatan pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial masyarakat sekitar hutan 4. Meningkatkan mutu sumber daya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah 5. Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan secara simultan xviii

19 Penerapan MHBM itu ditujukan untuk mengurangi konflik lahan dengan masyarakat, dan dalam pelaksanaan MHBM itu masing-masing pihak baik perusahaan maupun masyarakat sekitar hutan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, yang ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi sumber daya hutan serta peningkatan kesejahteraan mayarakat. Hak-hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam Akta Kesepakatan MHBM antara perusahaan dan masyarakat. Saat ini PT. MHP telah membuat 27 (duapuluh tujuh) Akta Kesepakatan dengan masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar areal HPHTI PT. MHP sebanyak 25 (duapuluh lima) desa pada 12 (duabelas) kecamatan yang meliputi areal hutan seluas ,536 Ha. Salah satu kegiatan yang paling penting dalam program MHBM ini adalah kegiatan pengelolaan pembangunan HTI dengan membangun kemitraan bersama kelompok masyarakat. Apabila sebelumnya komponen pekerjaan dalam pembangunan HTI dilaksanakan oleh perusahaan, maka dengan adanya MHBM komponen-komponen pekerjaan itu diserahkan pada kelompok masyarakat. Komponen pekerjaan tersebut adalah persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, perlindungan dari api, dan penebangan (pemanenan). Dalam beberapa tahun terakhir ini, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jatah produksi hasil hutan kayu nasional yang berasal dari hutan alam produksi, sehingga memberi kesempatan hutan produksi alam mampu untuk melakukan regenerasi (suksesi) alami. Departemen Kehutanan mengharapkan kekurangan bahan baku ini dapat dipenuhi dari produksi hutan rakyat, HTI, kayu dari rehabilitasi kebun dan kayu impor. Dengan adanya kebijakan itu, maka pembangunan HTI berpotensi besar untuk dapat mendukung dan berperan dalam memasok kebutuhan bahan baku industri perkayuan lokal dan nasional, yang pada akhirnya apabila industri kehutanan mampu berkembang akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Perumusan Masalah Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan dan mengurangi konflik dan ketimpangan dalam xix

20 pemanfaatan sumberdaya hutan dengan masyarakat adalah dengan melakukan MHBM. Pembangunan hutan tanaman dengan menerapkan MHBM tersebut diharapkan dapat : (1) Menunjang supply kebutuhan bahan baku yang berkesinambungan, (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (3) Menunjang aspek konservasi dan perlindungan hutan, (4) Meningkatkan produktifitas lahan, dan (5) Meningkatkan peran serta masyarakat Program MHBM yang merupakan salah satu model perhutanan sosial dan baru 3-4 tahun dikembangkan oleh pihak HPHTI PT. MHP di Provinsi Sumatera Selatan, belum tersedia informasi yang lengkap menggambarkan bagaimana pelaksanaan MHBM, antara lain menyangkut seberapa besarnya keterlibatan atau peran serta masyarakat atau kelompok masyarakat di dalam atau sekitar hutan dan pemerintah atau instansi terkait dalam MHBM dan apakah MHBM yang telah diterapkan oleh perusahaan tersebut bermanfaat oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya serta mampu untuk mengurangi deforestasi atau luas lahan yang tidak produktif dalam mencapai kelestarian hutan. Padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk dapat menggambarkan keberhasilan MHBM. Oleh sebab itulah penelitian ini perlu dilakukan. Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah : 1. Bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah? 2. Seberapa besar manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari pelaksanaan MHBM yang diterima masyarakat? 3. Bagaimana tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM? 4. Bagaimana peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI? 1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji manfaat dari penerapan MHBM dalam pembangunan HTI bagi masyarakat dan mengkaji bagaimana peranan kelembagaan MHBM untuk mengurangi luas lahan tidak produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. xx

21 Sedangkan tujuan operasionalnya adalah : 1. Mengetahui bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah 2. Mengetahui berapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat dari pelaksanaan MHBM 3. Mengetahui besarnya manfaat sosial dan manfaat lingkungan yang diterima oleh masyarakat dari pelaksanaan MHBM 4. Mengetahui tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM 5. Mengetahui peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi, sumbangan pemikiran dan masukan kepada pemerintah daerah, perusahaan swasta dan masyarakat mengenai pembangunan hutan tanaman dengan menerapkan MHBM sebagai salah satu bentuk upaya meningkatkan produktifitas hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan 2. Memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan perusahaan dalam pengambilan keputusan pada kegiatan pembangunan hutan tanaman untuk dapat mengurangi ketimpangan penghasilan antara pihak pengelola hutan dan masyarakat setempat 1.4. Batasan Operasional Beberapa batasan (definisi) operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan b. Hutan alam adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya xxi

22 c. Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif d. Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat e. Masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan (profesi), kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya f. Social forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan g. Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) adalah konsep pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilaksanakan bersama-sama (kemitraan) antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar, atau yang terkait dengan lahan atau areal pengusahaan HTI, dengan prinsip saling menguntungkan h. Areal kerja MHBM adalah areal yang terdapat pada/atau dalam kawasan HPHTI perusahaan pengelola HTI dalam luasan tertentu untuk dikelola oleh kelompok i. Jasa Kerja adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak perusahaan atau pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan atas hasil pelaksanaan dari setiap komponen pekerjaan pengelolaan HTI berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) j. Jasa Manajemen adalah sejumlah uang yang disepakati berdasarkan besaran prosentase tertentu dari jasa kerja kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM xxii

23 k. Jasa produksi adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atas hasil panen kayu tanaman daur kedua. l. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. xxiii

24 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya Sumberdaya alam dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat pula diartikan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Rees (1990) dalam Fauzi (2004a) menyatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu: (1) Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya, (2) Harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Selain itu Fauzi (2004a) menyebutkan bahwa selain dua kriteria di atas, sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan, dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan. Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang ditanggung. Pada dasarnya masalah ini timbul karena beberapa sumberdaya dikategorikan sebagai barang publik (public goods) dimana konsumsi yang berlebihan (over consumption) akan dapat terjadi. Pemanfaatan sumberdaya terkait dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Yakin (1997), menyebutkan bahwa hak pemilikan atau status penguasaan sumberdaya sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien. Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya alam atau lingkungan tergantung pada hak pemilikan (pengelolaan) yang mengatur sumberdaya tersebut. Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004a) dan Tietenberg (1992) dalam Yakin (1997) menyebutkan bahwa struktur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya yang bisa menghasilkan alokasi yang efisien harus mempunyai empat karakteristik penting, yaitu : (1) Universalitas (universality) bahwa semua sumberdaya adalah dimiliki secara pribadi dan seluruh hak-haknya dirinci dengan jelas dan lengkap xxiv

25 (2) Eksklusivitas (exclusivity) bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain (3) Bisa dipindah-tangankan (transferability) bahwa seluruh hak pemilikan itu bisa dipindah-tangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas (4) Bisa dipertahankan (enforcebility) bahwa hak pemilikan tersebut harus aman (secure) dari perampasan atau pengambil-alihan secara tidak baik dari pihak lain. Jika hak kepemilikan sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak ada hak yang sah memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumber daya tersebut. Menurut Gibb dan Bromley (1989) dalam Fauzi (2004a) ada beberapa hak pemilikan terhadap sumberdaya alam yang umumnya terdiri dari : (1) State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah, (2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi) (3) Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Dalam pemanfaatan sumberdaya, terdapat dua tipe akses yang berbeda, yaitu akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access). Berkaitan dengan hak pemilikan, maka Fauzi (2004a) menyatakan bahwa secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, yaitu : (1) Tipe pertama dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari (2) Tipe kedua dimana sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan teridentifikasi dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari xxv

26 (3) Tipe ketiga dimana terdapat kombinasi antara hak pemilikan komunal dengan akses yang terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin akan melahirkan the tragedy of the common. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna. (4) Tipe keempat dimana kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumber daya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis. The tragedy of the common terjadi pada sumber daya bersama (common resources) biasanya mengarah sebagai a common pool resources yang dimanfaatkan (diakses) oleh banyak pihak. Sumber daya itu bisa berupa ekosistem laut yang diambil hasilnya berupa ikan, atmosfir dengan pelepasan gas-gas ke udara atau hutan yang diambil hasilnya berupa kayu. Penggunaan (pemanfaatan) yang berlebihan memunculkan permasalahan yang sering mengancam kelestariannya (sustainability). Jika setiap pihak yang memanfaatkannya dapat mengendalikan pemanfaatannya, maka sumber daya dapat lestari (Hardin 1968 dalam Ostrom et al. 2001). Lloyd (1977) dalam Ostrom et al. (2001), menyatakan bahwa pada sumberdaya yang bersifat a common pool resources akan terjadi penggunaan yang berlebihan, karena penggunaan saat ini akan memberikan keuntungan yang besar daripada biaya potensial yang akan ditanggung di masa yang datang dengan penggunaan yang tidak dibatasi, terutama saat para pengguna hanya menanggung sebagian biaya tetapi mengambil seluruh keuntungan saat ini. Sedangkan menurut Yakin (1997), keberadaan penggunaan sumber daya bersama (common resources) tidak memenuhi prinsip-prinsip pemilikan sumber daya yang bisa mendorong ke arah alokasi yang efisien. Oleh karena itu pihakpihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki kendali untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Sumber daya jenis ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen xxvi

27 ekonomi tertentu sehingga akses terhadap sumber daya ini tidak dibatasi, sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus keuntungan yang masih bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Rappaport (1984) dalam Ostrom et al. (2001) menyatakan bahwa the tragedy of the common dapat dicegah melalui suatu mekanisme penggunaan sehingga tindakan yang diambil oleh para pengguna lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi merupakan motivator dan mekanisme sosial berfungsi untuk mengontrol kepentingan pribadi tersebut, seperti komunikasi, kepercayaan dan kemampuan untuk menjalin kerjasama serta peraturan (rules) akan dapat mengendalikan (mengurangi) terjadinya tragedi. Menurut Wade (1988) dalam Agrawal (2001), menyebutkan ada 14 (empatbelas) kondisi penting yang dapat memfasilitasi keberhasilan pengelolaan sumber daya bersama (common resources), yaitu : 1. Sistem karakteristik sumber daya a. Berukuran kecil b. Ditetapkan batasnya secara baik 2. Karakteristik kelompok masyarakat a. Berukuran kecil b. Ditetapkan batasnya secara jelas c. Pengalaman keberhasilan masa lalu kapital sosial (1 dan 2) Hubungan antara sistem karakteristik sumber daya dan karakteristik kelompok masyarakat (1) Overlap antara kelompok masyarakat lokal dan lokasi sumber daya (2) Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sistem sumber daya oleh anggota kelompok masyarakat 3. Pengaturan kelembagaan a. Merencanakan akses kelompok masyarakat lokal dan ketentuan pengelolaan xxvii

28 b. Mudah dalam penerapan ketentuan (peraturan) c. Pengelompokan sanksi-sanksi (1 dan 3) Hubungan antara sistem sumber daya dan pengaturan kelembagaan yaitu penyesuaian dalam pembatasan pemanfaatan/pengambilan sumber daya untuk regenerasi sumber daya 4. Lingkungan eksternal a. Teknologi : pengeluaran teknologi biaya rendah b. Negara : Pemerintah pusat seharusnya tidak mengurangi hak (kewenangan) masyarakat lokal 2.2. Pembangunan Hutan Tanaman Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, karena hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Mengingat begitu besarnya manfaat dan peranan hutan maka harus dijaga kelestariannya. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa sumber daya hutan di Indonesia mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi, maka dalam penyelenggaraan (pengelolaan dan pemanfaatan) hutan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. Selain itu disebutkan juga bahwa penyelenggaraan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; xxviii

29 c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/1997 disebutkan bahwa hutan tanaman industri (HTI) merupakan hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan dan diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi deforestasi; yang bertujuan untuk : a. menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa b. meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan hidup c. memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha HTI merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan asas manfaat yang lestari dan asas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts-II/1997 tanggal 1 Agustus 1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman maka sistem silvikultur yang dapat diterapkan, yaitu: (1) sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaaan Buatan (THPB) utamanya untuk jenis tanaman pokok, dan (2) Sistem Tebang Tanam Jalur (TPTJ) dengan berbagai modifikasi. Kartini (2002), menyatakan jika dilihat dari sistem silvikultur yang digunakan yaitu THPB, maka sistem ini mempunyai peranan yang tinggi dari dua aspek yaitu : 1. Aspek produksi atau industri, karena : (a) operasi pemanenan terkonsentrasi pada areal yang relatif kecil dan produksinya tinggi; (b) kualitas kayu mudah ditingkatkan sesuai dengan permintaan industri; (c) peremajaan hutan dilakukan setelah pemanenan; (d) bersifat terpusat dan menghasilkan xxix

30 tegakan seumur, murni (sejenis), teratur dan relatif cepat tumbuh, sehingga memperoleh kualitas kayu yang relatif seragam dan cepat dipungut hasilnya. 2. Aspek sosial, karena : (a) pelaksanaan peranannya dapat dilakukan dengan sistem tumpangsari sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat; (b) kegiatan yang harus dilakukan dalam sistem THPB cukup banyak sehingga memerlukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaannya. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam pembangunan HTI dengan sistem silvilultur THPB sesuai Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, yaitu : 1. Tanaman pokok yang dibudidayakan adalah jenis tanaman yang cepat tumbuh, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan memiliki prospek pasar nasional dan regional 2. Tanaman unggulan setempat; dikembangkan untuk areal-areal tertentu dalam rangka upaya konservasi tanah maupun jenis (misalnya jenis Meranti) 3. Tanaman campuran; dapat dikembangkan dari jenis tanaman unggulan atau andalan dan tanaman pohon kehidupan atau serba guna. Tanaman kehidupan atau unggulan ditanam pada areal yang berbatasan/ (berdekatan) dengan pemukiman, berfungsi sebagai pengamanan sekaligus sebagai media pengembangan ekonomi rakyat setempat Gagasan pembangunan hutan tanaman (HTI) yang pada awalnya ditujukan untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam prakteknya pembangunan HTI tidak berjalan mulus Menurut Anwar (2000) bahwa dalam pelaksanaan HTI, permasalahan yang timbul sama dengan permasalahan pada hutan secara umum, yaitu permasalahan dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern), sebagai berikut : 1. Permasalahan teknis; meliputi kesulitan dalam pengadaan bibit unggul yang teruji, land clearing tanpa pembakaran sulit dilakukan 2. Permasalahan sosial budaya seperti adanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan pelaksana HTI, hilangnya mata pencaharian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan akibat kebiasaaan pembukaan lahan dengan membakar xxx

31 3. Permasalahan finansial, karena sistem pendanaan HTI yang sebelumnya dilakukan yaitu melalui pinjaman Dana Reboisasi (DR) saat ini tidak lagi diberikan kepada perusahaan pelaksana HTI 4. Permasalahan lingkungan, seperti berkurangnya keragaman hayati berupa habitat satwa dan tumbuhan 5. Permasalahan politik, seperti terjadinya gejolak politik membuat kekacauan kebijaksanaan kehutanan terutama dalam pengelolaan hutan tanaman; dan adanya sorotan dari LSM dan lembaga pencinta lingkungan terhadap kebijakan pembangunan HTI Perusahaan HTI dalam melakukan pembangunan HTI di lapangan mengalami benturan-benturan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan seperti (Kanwil Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 1998) : a. Adanya perambahan oleh masyarakat baik untuk motivasi untuk dapat menuntut ganti rugi ataupun untuk tujuan menguasai lahan tersebut b. Adanya klaim dari masyarakat yang menyebutkan bahwa didalam areal pencadangan HPHTI terdapat hak ulayat atau tanah adat mereka yang tidak boleh diganggu Tabel 4 menunjukkan realisasi penanaman HTI di Provinsi Sumatera Selatan yang mulai dilakukan tahun 1990 sampai dengan 2002 sesuai dengan kelas perusahaan masing-masing pelaksana HTI. Tabel 4 Realisasi penanaman HTI sesuai kelas perusahaan sampai dengan tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan Nama Perusahaan HTI Luas HPHTI Realisasi penanaman Keadaan perusahaan HTI Kayu Pulp/Serat PT. Musi Hutan Persada Aktif PT. Ciptamas Bumisubur Aktif PT. Pakerin Tidak aktif PT. SBA Wood Industries Aktif HTI Kayu Pertukangan PT. Inhutani V - Eks PT. Rimba Jaya Borang Tidak aktif - Eks HPH Tidak aktif PT. Waihijau Hutani Tidak aktif PT. Tunas Bentala Aktif Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002 xxxi

32 Selain itu menurut Muhshi (1999), berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan LATIN, jumlah konflik yang terjadi dalam areal HPH dan HTI dari tahun masing-masing berjumlah 8741 dan Secara umum hambatan yang dihadapi dalam pembangunan HTI disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu : 1. Sebagai usaha komersial belum layak secara finansial terutama oleh investor yang tidak terikat pada investasi industri. Pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah karena dipasok dari kayu hasil illegal logging yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Oleh sebab itu perhitungan kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya; 2. Konflik penggunaan lahan dengan masyarakat lokal (sekitar hutan) sebagai akibat dari peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir sistem dan praktek penguasaan serta pengelolaan hutan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan nomor 177/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman, maka agar pengelolaan hutan dapat secara lestari maka pengelolaan hutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara lain meliputi: (a) kawasan hutan yang mantap; (b) produksi yang berkelanjutan; (c) manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan; dan (d) lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan. Pesan itu semakin menegaskan paradigma penyelenggaraan kehutanan secara benar dalam hal (Sutisna 2004) : 1. Hutan fungsi manapun harus bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok masyarakat kaya atau sedang berkuasa, sesuai fungsi hutan tersebut (lindung, produksi, konservasi) 2. Manfaat hutan bukan hanya dapat dinikmati masyarakat yang ada saat ini melainkan harus berkelanjutan, baik dalam hal nilai ekonomis maupun nilai-nilai lainnya (estetika, ilmiah, budaya). Artinya bila ada kawasan hutan xxxii

33 yang rusak, maka generasi sekarang berkewajiban memperbaikinya sampai menjadi produktif kembali dalam fungsi utamanya 3. Penyelenggaraan kehutanan tidak dapat ditentukan dan atau dilakukan sepihak oleh pemerintah seperti masa lalu, melainkan harus bersama masyarakat secara berkeadilan dan terpadu. Begitupun anggota masyarakat yang menguras manfaat hutan secara sewenang-wenang untuk kepentingan sendiri harus dihentikan demi hukum, karena manfaat hutan harus secara berkeadilan dinikmati bersama oleh masyarakat luas Masyarakat Desa Hutan Menurut Soejarwo (1998), masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang pada umumnya merupakan suatu masyarakat zona sosial ekonomi yang berada di dalam kawasan hutan dan luar hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya kuat dalam menjaga adat istiadat dari berbagai pengaruh dari luar, memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber ekonomi untuk bertani dan sumber energi. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merasakan betapa pentingnya hutan dalam menunjang kehidupan mereka. Hutan disamping dapat menyediakan keperluan hidup mereka sehari-hari seperti kebutuhan pangan (vitamin, protein, karbohidrat dan lain-lain), kayu bakar, kesuburan tanah, sumber air dapat juga memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan, seperti kayu, rotan, madu, getah-getahan dan lain-lain. Masyarakat memiliki pandangan dan persepsi tertentu mengenai hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya mempunyai makna ekonomis, tetapi juga sosial budaya dan religius. Hutan bukan hanya dilihat sebagai sumber flora dan fauna yang beraneka ragam, tetapi mereka menganggap bahwa masyarakat dan hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan Dengan demikian, sangat jelas bahwa hutan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat. Menurut Laksono et al. (1995) agar masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat hidup dengan baik, harus meliputi beberapa dimensi : 1. Keamanan dan kecukupan akses ke sumber daya alam baik untuk saat ini dan masa yang akan datang xxxiii

34 2. Kesempatan yang bersifat ekonomi aktifitas yang dilakukan sebaiknya dapat memelihara atau meningkatkan kesempatan hidup 3. Kesempatan pengambilan keputusan aturan tentang partisipasi yang berarti dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka 4. Keadilan pemecahan konflik yang fair dan distribusi keuntungan, aturan, tanggung jawab dan insentif 5. Keaslian dan identitas respek terhadap nilai kultural masyarakat, perilaku, penggunaan lahan dan bahan-bahan baku, baik pada saat ini dan untuk masa yang akan datang bagi kelangsungan generasi 6. Keselamatan dan kesehatan baik fisik dan mental Anwar (2000) menyebutkan bahwa tiadanya keseimbangan hak-hak dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut sering menimbulkan kebocoran wilayah, terjadinya proses pemiskinan masyarakat komunal lokal serta beban-beban (social costs) yang harus ditanggung oleh masyarakat tersebut sedangkan mereka tidak memperoleh kompensasi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa untuk mendapatkan manfaat hutan yang optimal maka harus memperhatikan kelestarian fungsi kawasannya, oleh sebab itu untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari adalah sangat penting untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat khususnya yang tinggal didalam dan disekitar hutan. Selain itu, masalah hak-hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Dengan adanya pengukuhan hak-hak kepemilikan, akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak itu dapat menjaga kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi atau ancaman dari pihak luar (Anwar 2000) Selanjutnya Anwar (1995) menyatakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan wilayah sangat tergantung apakah masyarakat lokal diberi hak-hak bahwa mereka dapat diikut-sertakan dalam pengambilan pilihan keputusan dalam merancang dan melaksanakan proyek pembangunan yang bersangkutan.apabila masyarakat lokal dapat diikut-sertakan dan mereka mempunyai hak-hak akses kepada sumber daya proyek pembangunan wilayah maka mereka akan xxxiv

35 mempunyai rasa memiliki. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan, maka mereka akan tidak menghiraukan proyek tersebut dan mungkin bahkan sampai mencoba menentangnya atau merusaknya. Dengan demikian, maka secara umum adanya penegasan hak-hak akses atau kepemilikan merupakan aspek fundamental dalam sistem ekonomi, khususnya dalam ekonomi pertukaran (exchange economy). Hakhak tersebut mengandung arti bahwa akses dalam bentuk hak-hak pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap sumberdaya (access to resources) menjadi sangat penting. Menurut Fuad (2001), masyarakat lokal memang mempunyai posisi sangat penting sebagai subyek pengelolaan hutan karena : 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap mereka yang sebenarnya. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan. Mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki. Kepercayaan ini penting bila kehutanan memerlukan dukungan masyarakat. 3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan sebagai subyek dalam pembangunan masyarakat sendiri. Dapat dirasakan bahwa mereka pun mempunyai hak untuk urun rembug dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development, yaitu bahwa pembangunan harus dipusatkan kepada kepentingan manusia artinya suatu jenis pembangunan lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Prinsip kelestarian hutan tidak cukup hanya ditinjau dari sisi mempertahankan jika memungkinkan meningkatkan daya dukung dan fungsi lingkungan (environmental sustainability) atau dari sisi produktifitas dan keuntungan ekonomi antar generasi (economic sustainability) semata, tetapi juga tidak bisa mengabaikan kelestarian ditinjau dari aspek sosial (social xxxv

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KAYU PERTUKANGAN KEPADA PT. SUMATERA SYLVA LESTARI ATAS AREAL HUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DALAM KAWASAN HUTAN (IPHHDKH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN KAPUAS HULU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KEPADA PT. SATRIA PERKASA AGUNG ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 76.017

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I. UMUM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai oleh Allah Yang Maha

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN NURJANNAH YUSUF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERIZINAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (HPHH) BUKAN KAYU DI DALAM KAWASAN HUTAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci