Bab Satu Pendahuluan Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab Satu Pendahuluan Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi"

Transkripsi

1 Bab Satu Pendahuluan Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan karena pertumbuhan sektor industri akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lain seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor jasa akan berkembang dengan adanya industrialisasi, dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemasaran/periklanan yang akan mendukung laju pertumbuhan industri. Industri sangat berperan dalam perkembangan struktural pada perekonomian. Tolok ukur dalam pengembangan industri antara lain : sumbangan sektor produksi (manufakturing) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri, dan sumbangan komoditi industri 1

2 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster terhadap ekspor barang dan jasa. Kontribusi sektor industri manufaktur/ pengolahan di Indonesia sejak tahun 1993 mempunyai skor terbesar terhadap PDRB yaitu sebesar 21,10 % dan tahun 2008 sumbangannya sebesar 26,79 %. Sumbangan terbesar pada industri manufaktur/ pengolahan adalah industri makanan dan minuman sebesar 2,5 %, industri tekstil barang kulit dan alas kaki 2,1 %, industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 2,9 % dan sumbangan yang terkecil adalah dari industri logam sebesar 0,6%. Pada tahun 2010 sumbangan industri manufaktur Jawa Tengah terhadap PDRB mencapai angka 32,83 % atau hampir sepertiga dari jumlah total PDRB Jawa Tengah. Sektor industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar dari PDRB di Jawa Tengah. Dalam struktur industri manufaktur, industri makanan, minuman dan tembakau merupakan penyumbang PDRB terbesar dari industri manufaktur dan diikuti oleh industri tekstil, barang kulit dan alas kaki serta barang kayu dan hasil hutan lainnya. Sedangkan untuk logam dasar besi dan baja merupakan penyumbang nilai terkecil dari PDRB industri manufaktur yaitu 0,29 %. Meskipun industri pengolahan logam di Jawa Tengah menyumbang prosentasi terendah terhadap PDRB ( 0,29 %), namun industri pengolahan logam di Jawa Tengah merupakan industri dasar yang menunjang seluruh kegiatan industri di Jawa Tengah. Hampir tidak ada industri yang tidak memerlukan logam, sehingga industri logam merupakan industri inti yang keberadaannya menjadi dasar pembangunan berbagai kelompok industri lainnya (industri berbasis agro, industri hasil hutan, industri berteknologi tinggi dan industri perdesaan). 2

3 Pendahuluan Tabel 1.1 Sub Industri Pengolahan Non Migas Menurut Produk Domestik Bruto Jawa Tengah Berdasar Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun (Juta Rupiah) Sub Industri Manufaktur Makanan Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki Barang Kayu dan Hasil Hutan Lain Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia & Barang dari Karet Semen dan Barang Lain bukan Logam Sub Industri Manufaktur Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkut, Mesin & Peralatan 2008 % 2009 % 2010 % 25,438, ,019, ,027, ,601, ,751, ,288, ,259, ,669, ,168, , , , ,620, ,691, ,053, ,341, ,431, ,519, % 2009 % 2010 % 131, , , ,431, ,468, ,570, Barang Lainnya 183, , , Jumlah 44,648, ,024, ,649, Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010 Pada tahun 2009 jumlah industri logam di Jawa Tengah sebanyak unit dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak orang dengan nilai produksi sebesar Rp.124,502 milyar. Secara garis besar, industri logam tersebut terdiri dari industri pengecoran logam fero (besi dan baja) dan industri pengecoran logam non fero (alumunium, kuningan 3

4 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster dan tembaga). Industri logam di Jawa Tengah tersebar di beberapa kabupaten, seperti: Kabupaten Tegal, Klaten, Boyolali, Purbalingga, Pati, Temanggung dan Semarang. Produksi industri logam Jawa Tengah umumnya masih belum mampu bersaing karena desain dan kualitasnya relatif rendah. Oleh karenanya industri logam perlu didorong dan ditumbuh kembangkan agar produk logam asal Jawa Tengah mempunyai daya saing dan akses pasar yang lebih luas (Sudrajat, 2010). Pertumbuhan industri pengolahan logam di Jawa Tengah pada tahun 2005 sebesar 0,075 pada tahun 2006 turun menjadi 0,046, pada tahun 2007 meningkat pertumbuhannya menjadi 0,054 dan tahun 2008 menurun menjadi Pada tahun 2009 meningkat pertumbuhannya menjadi 0,060 dan tahun 2010 menurun menjadi 0,059. Tabel 1.2 Kontribusi dan Pertumbuhan Industri Pengolahan Logam di Jawa Tengah Tahun Tahun Volume Pertumbuhan Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010 Salah satu pusat pertumbuhan industri logam di Jawa tengah adalah di Kabupaten Klaten yaitu tepatnya Desa Tagelrejo, Desa Ngawongggo dan 4

5 Pendahuluan Desa Batur yang berlokasi di Kecamatan Ceper. Produk yang dihasilkan antara lain komponen mesin, rem kereta api, pipa besi dan pagar besi. Klaster cor logam Ceper sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, bahkan menurut sejarah berdirinya ini sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram. Pada jaman penjajahan Belanda, pelaku usaha cor logam sudah mengerjakan pengecoran untuk perlengkapan pabrik gula. Pada jaman penjajahan Jepang, para pelaku cor logam disuruh membuat granat dan peralatan lainnya untuk perang. Setelah kemerdekaan, klaster ini mulai semakin tumbuh sejak adanya campur tangan Pemerintah Pusat pada tahun 1973 melalui Departemen Perindustrian. Bantuan yang paling besar yang diberikan adalah dalam bentuk bantuan peralatan dan modal yang diserahkan kepada Koperasi Batur Jaya sebagai koperasi produksi. Keberadaan koperasi akan mendorong pelaku usaha untuk bekerjasama meningkatkan produksinya. Pada tahun 1990-an Ceper pernah dimahkotai sebagai daerah pengecoran logam di Indonesia karena saat itu jumlah industrinya mencapai lebih dari 325 industri, bahkan kapasitas terpasang mencapai ton atau sekitar 40% kapasitas nasional (Baharuddin, 2010). Teknologi pengecoran yang selama ini diandalkan adalah tungkik 1 ) dan kupola 1) yaitu alat peleburan tradisional berbahan bakar kokas 2 ). Teknologi tersebut telah dikembangkan secara turun temurun, sehingga memiliki karakteristik pemanfaatan yang spesifik serta sangat sesuai dengan kultur masyarakat setempat. Tetapi ketika krisis ekonomi global tahun 1998 melanda dunia dan harga bahan bakar terus melonjak, banyak pengusaha pengecoran terpaksa menghentikan usahanya. Disamping permasalahan 1 Tungkik dan kupola adalah tungku pembakaran yang menggunakan bahan bakar kokas, Tungkik lebih tradisional daripada kupola. 2 Kokas adalah arang dari batubara 5

6 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster bahan bakar kokas dan cor logam, pasokan energi listrik yang cenderung naik juga berdampak pada pengusaha yang beralih dari tungkik dan kupola ke tanur induksi yang berbahan bakar listrik. Pada tahun 2009 jumlah perusahaan pengecoran di Klaten ada sebanyak 295 usaha, dengan jumlah tenaga kerja orang (Klaten Dalam Angka, 2009). Adapun daftar industri pengolahan di Klaten, dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Jumlah Unit Usaha Menurut Bidang Usaha Indutri Logam, Mesin Kimia dan Aneka Tahun 2009 No. Bidang Usaha Industri Jumlah Usaha (Unit) Jumlah tenaga kerja (orang) 01 Pengecoran logam Pandai besi Rekayasa Teknik Bengkel Percetakan, penerbitan dan foto copy Farmasi, kimia produk Kapas Kecantikan Vulkanisir ban, tambal ban Pembuatan Arang Gerabah Barang dari Bebatuan Tegel, Produksi dan Semen Bata Merah Genteng Keramik Perbaikan benang/ tali temali Sumber : Klaten dalam Angka (2009) 6

7 Pendahuluan Namun industri yang banyak menjadi tulang punggung warga setempat kini semakin terpuruk dan satu persatu gulung tikar. Pengrajin besi cor banyak yang menghentikan operasinya karena permintaan dari pelanggan menurun dan mahalnya bahan baku (untuk besi cor) dan bahan bakar (kokas dan batu bara) (Kompas, 14 Maret 2008). Kondisi tersebut memicu munculnya persaingan yang semakin tinggi diantara sesama pengrajin yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat kerja sama dan kepercayaan antar pengusaha (DISPERINDAG, 2002). Menurut informasi dari PEMDA Klaten, saat ini jumlah usaha yang masih berproduksi secara aktif tinggal 80 unit usaha saja (25%), 144 unit usaha (45%) berproduksi di bawah normal dan 96 unit usaha (30%) sudah tutup/mati. Pada umumnya industri yang sudah mati menghentikan produksi di pabriknya sendiri karena sudah tidak efisien lagi dengan menggunakan dapur tungkik. Mereka yang beralih menggunakan dapur kupola pada umumnya masih dapat bertahan. Usaha mereka tetap jalan dengan cara men-subkontrakan ke industri yang sudah menggunakan dapur induksi (Suara Merdeka, 2008). Pentingnya Klaster Dalam Pertumbuhan Industri Pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA), yang dimulai 1 Januari 2010, memunculkan dua pandangan yaitu pandangan optimis dan pesimis. Pandangan optimis melihatnya sebagai peluang pasar yang besar. Pandangan yang pesimis mengkuatirkan bahwa industri nasional akan hancur karena pasar domestik akan dibanjiri dengan produk China yang terkenal murah. 7

8 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Kekuatiran tersebut cukup beralasan karena data statistik Kementrian Perdagangan RI akhir-akhir ini menunjukan defisit sebesar 3,6 milliar AS (Kompas, Senin 18 Januari 2010). Menurut hasil pemetaan world economic forum (2011), daya saing Indonesia menduduki urutan ke 46 dari 142 negara, masih di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam dan Thailand. Kondisi ini tentunya memerlukan kerja keras untuk meningkatkan tingkat competitiveness Indonesia agar dapat menyirnakan anggapan yang pesimis terhadap masuknya Indonesia dalam ACFTA. Dalam ekonomi global modern, kemakmuran ekonomi suatu negara akan sangat ditentukan oleh tingkat produktivitasnya. Produktivitas merupakan basis dari daya saing, sehingga sangat tergantung pada bagaimana cara bersaing suatu negara dengan negara lainnya, melalui operasi industri dan strategi yang dilakukan. Paradigma produktivitas telah mengubah sumber-sumber kemakmuran ekonomi suatu negara, yang dahulu sangat tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki, sebagai keunggulan komparatif, menjadi sangat tergantung pada produktivitas sebagai keunggulan kompetitif. Dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation, Porter (1998) menyatakan bahwa produktivitas industri dapat ditingkatkan melalui klasterisasi lokasi industri. Dengan perkataan lain, lokasi industri dalam suatu klaster dapat menciptakan produktivitas. Teori ini kemudian menjadi dasar sebagai teori klaster. Model diamond dari Porter (1998) seperti pada gambar 1.1, menggambarkan bahwa ada empat faktor utama yang saling berkaitan dalam klaster yang menentukan daya saing usaha yaitu: kondisi faktor produksi internal, kondisi permintaan sistem industri pendukung dan industri yang terkait, strategi dan struktur usaha dan persaingan. 8

9 Pendahuluan Strategi dan struktur usaha dan pesaing Faktor produksi internal (input) Kondisi Permintaan Sistim industri pendukung dan Industri yang terkait Gambar 1.1. Diamond Model Cluster dalam buku The Competitive Advantages of Nations, Porter (1990) Model tersebut menggambarkan bahwa pendekatan klaster penting dalam peningkatan daya saing industri (khususnya UMKM), karena melalui pendekatan klaster maka akan dapat diciptakan peningkatan daya saing industri melalui adanya pertalian diantara industri dengan lembaga terkait yang ada dalam pemusatan geografis. Pendekatan klaster dapat memaksimalkan external economies yang muncul dari pemusatan geografis. Dengan lokasi yang berdekatan maka akan dapat diciptakan penguatan kapasitas kolektif klaster (JICA, 2004). Ada 3 (tiga) tipe klaster industri yang umumnya berada di negara berkembang. Pertama, dari aglomerasi dasar menuju bentuk distrik satelit (satelite districts), kedua, mengarah pada distrik pusat dan jari-jari (hub and spoke) yang dicirikan dengan peranan perusahaan besar sebagai lokomotif, dan ketiga, menuju kearah perkembangan klaster unggul yang juga dikenal dengan istilah distrik Italia ketiga (Third Italy) (Knorringa, 1999). Klaster mempunyai manfaat karena menciptakan efisiensi kolektif melalui kerjasama kegiatan sejenis (Schmitz, 2002). Kerjasama tersebut 9

10 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster dapat terjadi misalnya dalam hal pembelian bahan baku, pemasaran, produk bersama, dan atau dalam memanfaatkan jasa-jasa pihak ketiga. Selain itu, pembentukan klaster juga bermanfaat untuk menekan biaya transaksi dan meningkatkan kewirausahaan karena adanya proses saling tukar informasi, saling membandingkan pekerjaan dan sebagainya. Suatu klaster yang lengkap juga akan membentuk spesialisasi produk dan rantai nilai (value chain) antar perusahaan dengan berbagai skala, dan antar industri, sehingga memiliki efek nilai tambah dan produktivitasnya semakin meningkat. Mayoritas klaster di Indonesia terdiri dari usaha mikro, kecil dan menengah yang memiliki ciri-ciri antara lain: memproduksi barangbarang untuk pasar lokal dan domestik dan menggunakan tenaga kerja keluarga, atau hanya pada saat-saat tertentu menggunakan tenaga kerja luar yang dibayar (Sandee, 2002). Sayangnya, menurut Weijland (1999), banyak juga klaster yang didominasi oleh industri mikro kondisinya sedang tidur. Beberapa klaster di Indonesia bahkan menunjukkan kondisi yang tidak mampu bersaing dalam ACFTA dan mengalami penurunan sebagai akibat persaingan dengan produk China. Diantara klaster yang menunjukkan penurunan tersebut adalah klaster logam di Jawa Tengah (DISPERINDAG, 2002). Klaster logam di Jawa Tengah sebenarnya masih termasuk ke dalam distrik satelit (DISPERINDAG, 2002) dan belum mengarah pada hub and spoke. Tipe ini dicirikan dengan kurangnya kerjasama dengan pihak-pihak eksternal dan pada umumnya mengalami kompetisi yang tidak sehat dalam berbisnis. Disamping itu, karena pada umumnya lebih mengarah kepada diversifikasi, maka sulit untuk melakukan spesialisasi dan dikembangkan ke arah klaster yang lebih dewasa (JICA, 2004). 10

11 Pendahuluan Perkembangan klaster pada umumnya, termasuk klaster logam, tidak terlepas dari adanya tahapan-tahapan pengembangan yang memiliki kecenderungan untuk berulang dalam siklusnya. Tahapan perkembangan klaster dimulai dari embrio/aglomerasi, tumbuh, dewasa dan kemudian berujung pada transformasi yang bisa berupa pembentukan klaster baru ataupun penurunan. Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan Klaster Sumber: Waelbroek-Rocha dalam Anderson, (2004) Dari pengalaman Rocha dalam Anderson (2004), tahap awal perkembangan klaster dimulai dengan adanya unit-unit usaha yang beraglomerasi akibat dari pemanfaatkan keuntungan pemusatan usaha, yaitu keuntungan kolektif dari infrastruktur, pengumpulan pekerja, image lokasi, pemasaran dan penyediaan input. Tahap ini disebut sebagai tahap aglomerasi usaha. Dengan adanya kedekatan tempat usaha, masing-masing usaha yang memiliki keterkaitan komponen produksinya akan memulai hubungan komplementer satu sama lain. Tahapan ini dikenal sebagai awal mulai tumbuhnya klaster sesungguhnya, karena adanya indikasi pertalian usaha satu sama lain. Pertalian usaha ini terus berkembang dan menghubungkan 11

12 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Tahapan ini dikenal sebagai tahap pembangunan atau pengembangan klaster usaha. Pertalian usaha yang menguntungkan selanjutnya mendorong timbulnya unit-unit usaha baru pada wilayah klaster tersebut, yang selanjutnya semakin melengkapi unit-unit usaha yang ada. Tahapan ini dikenal sebagai tahap perkembangan klaster yang sudah matang. Pada tahap ini juga mulai ditandai dengan kejenuhan usaha yang ada. Apabila kondisi permintaan tidak bertambah, dapat menyebabkan degradasi unit-unit yang ada sehingga akhirnya usaha kelompok-kelompok kecil di dalam klaster terjadi pemisahan kelompok terspesialisasi dan membentuk kelompok klaster baru dengan produk yang lebih khusus. Kondisi seperti ini disebut tahapan transformasi dan selanjutnya kelompok kecil pertalian usaha ini dapat kembali pada tahap awal pembentukan klaster. Faktor Faktor yang Berpengaruh dan Keberadaan Modal Sosial Dalam Pengembangan Klaster Pembentukan klaster dianggap penting karena seringkali usaha yang dilakukan secara individu tidak efektif dibandingkan dengan usaha kelompok seperti halnya dalam klaster. Faktor yang mempengaruhi pengembangan klaster antara lain adalah : 1) kemampuan memenuhi kebutuhan pasar, 2) interaksi dalam kelompok untuk kerjasama produksi, 3) institusi bersama, dan 4) kemauan investasi (FPESD,2005). Mudrajad Kuncoro dan Supomo (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster adalah keaktifan berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja, umur. Djamhari (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor 12

13 Pendahuluan yang mempengaruhi daya hidup klaster adalah inovasi teknologi, modal sumber daya manusia dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, kepemimpinan, serta jejaring kemitraan. Jejaring kemitraan dilandasi oleh rasa saling melengkapi, saling memperkuat, dan saling membutuhkan, yang dikenal sebagai modal sosial. Modal sosial dibentuk oleh faktor perilaku: kemauan dan kebiasaan untuk bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan bersama jangka panjang (Sri Lestari, 2006). Modal sosial merupakan variabel yang signifikan untuk UKM dan klaster secara mikro karena dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan, berdasarkan kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan pertukaran informasi secara pribadi yang dapat berkontribusi bagi UKM. Dalam siklus perkembangan klaster, masing-masing tahapan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada 7 faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster tersebut adalah aspek modal sosial (Andersoon, 2004). Studi JICA (2004) juga menegaskan bahwa keberadaan modal sosial yang berupa kepercayaan timbal balik diantara anggota-anggota klaster akan memberikan pengaruh pada keempat kuadran model Berlian Porter. Sejalan dengan pengaruh modal sosial pada ke empat kuadran Berlian Porter tersebut, maka modal sosial akan mengalami dinamika seiring dengan kondisi ekonomi yang mempengaruhi setiap tahapan perkembangan klaster. Untuk melihat peranan modal sosial pada tahapan awal perkembangan klaster sampai dengan pada tahapan transformasi dibutuhkan penelitian pada klaster yang sudah lama tumbuh dan saat ini 13

14 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster mengalami penurunan. Sesuai dengan kondisi di Provinsi Jawa Tengah, banyak klaster logam yang berdasarkan sejarahnya sudah tumbuh cukup lama dan saat ini, karena permasalahan ekonomi berupa kesulitan bahan baku, pasar maupun kondisi perekonomian, klaster logam banyak yang mengalami penurunan ataupun menuju ke arah transformasi. Modal sosial klaster merupakan ikatan internal dan menjembatani pihak berkepentingan (stakeholders) eksternal. Modal sosial pada dasarnya terkait erat dengan hubungan antara individu, norma dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Bentuk dari keberadaan modal sosial tersebut adalah adanya kepercayaan, networking, relasi sosial dan relasi ekonomi. Relasi sosial akan memungkinkan para wirausaha dapat melakukan, memelihara dan memperluas akses terhadap sumber-sumber ekonomi serta menggunakan sumber ekonomi tersebut untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan modal sosial merupakan salah satu alternatif dalam menyiasati pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Masdin, 2002). Saling ketidak percayaan didalam klaster akan memecah keberadaan klaster sehingga akan mencegah proses pembentukan modal sosial. Ada tiga aliran tentang pemikiran modal sosial yang berbeda, yaitu 1) Bourdieu (1986) dengan marxisme lebih menitik beratkan pada soal ketimpangan akses terhadap sumber daya dan dipertahankannya kekuasaan,2) Coleman (1988) lebih menekankan gagasannya pada individu yang bertindak secara rasional dalam rangka mengejar kepentingannya sendiri,3)putman(1993) mewarisi dan mengembangkan gagasannya tentang asosiasi aktivitas warga sebagai dasar bagi integrasi sosial dan kemakmuran. Konsep modal sosial pertama kali dikemukaan oleh Coleman dalam 14

15 Pendahuluan Portes, (2000) yang mendefinisikan modal sosial sebagai aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilainilai baru. Sedangkan Putnam (1993) menyebutkan bahwa modal sosial sama seperti modal fisik dan modal manusia, yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas yang saling menguntungkan. Aspek-aspek modal sosial adalah kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (network). Keberadaan aspek-aspek modal sosial yang baik akan dapat meningkatkan efisiensi dari masyarakat. Modal sosial memiliki kontribusi penting dalam pembangunan, khususnya pembangunan yang berkelanjutan. Pada awal proses pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan baru terbatas pada natural capital, physical atau produced capital dan human capital. Kemudian disadari bahwa keberadaan ketiga capital tersebut baru menjelaskan kondisi keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi secara parsial. Satu mata rantai yang dianggap hilang (the missing link) adalah social capital (Grootaert, 1997). Istilah capital atau modal selama ini lebih banyak dikenal dalam kegiatan ekonomi. Pengertian ini membawa bias dalam pemaknaan modal sosial. Dalam pengertian yang mendasar, menurut kalangan ekonomi, modal sosial berperan dalam mekanisme alokasi sumber daya. Modal sosial menjadi dasar bagi orang yang bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam kelompok atau organisasi (Syahyuti, 2008). Contoh manfaat ekonomi dari keberadaan modal sosial di dalam klaster diantaranya adalah adanya tindakan kolektif untuk memperluas pasar, membuat design baru, pengadaan bahan baku, pendanaan, pengembangan fasilitas R&D, yang akhirnya secara menyeluruh akan mengurangi biaya transaksi. Modal sosial sifatnya tidak statis tetapi dinamis. 15

16 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Keberadaan modal sosial yang tinggi akan berdampak pada keuntungan jangka panjang. Misalnya dalam hal trust, kehidupan ekonomi sangat bergantung pada ikatan moral kepercayaan sosial yang akan memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan dan menjadi alasan bagi perlunya aksi kolektif. Ia merupakan ikatan tidak terucap dan tidak tertulis. Pada masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi, antara lain dapat dilihat dari rendahnya angka kriminal dan sedikitnya jumlah kebijakan formal. Namun jika modal sosial rendah, dan sosial norms-nya sedikit, maka kerjasama antar orang hanya dapat berlangsung di bawah sistem hukum dan regulasi yang bersifat formal. Modal sosial yang tinggi hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya interaksi bukan semata-mata hanya sebagai suatu pertukaran yang penuh perhitungan tapi kombinasi antara sifat altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan dalam jangka panjang (Syahyuti, 2008). Modal sosial barulah bernilai ekonomi kalau dapat membantu individu dalam kelompok, misalnya, untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha dan meminimalkan biaya transaksi (Tonkiss, 2000). Komponen-komponen modal sosial seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh individu pelaku usaha di dalam klaster, sebagai contoh jaringan sosial dimanfaatkan oleh individu pelaku usaha untuk mendapatkan pasar, pengetahuan, kerjasama dan bantuan alat, modal dan lainnya. Sedangkan kepercayaan dimanfaatkan oleh individu untuk membangun komitmen dengan pihak lain dalam rangka mempertahankan kerjasama yang sudah terjalin. Ada 2 (dua) pendapat tentang dimana posisi modal sosial. Menurut 16

17 Pendahuluan pendapat pertama, modal sosial melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling mendukung. Sementara pendapat lain meyakini bahwa modal sosial juga dapat dilihat sebagai karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu yang terlibat dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam jaringan namun pada individu-individunya. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilihat modal sosial pada jaringan klaster dalam berbagai tahapan perkembangan klaster, serta bagaimana individuindividu memanfaatkan modal sosial tersebut untuk pengembangan usahanya. Bazan dan Schmitz (1997) di Brazil membuktikan bahwa keberadaan modal sosial sangat berpengaruh pada performa ekonomi masyarakat Brazil. Bagi Schmitz, dengan pendekatan historis, hubungan antara modal sosial dengan performa ekonomi bukanlah hubungan satu arah. Ada tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Schmitz menegaskan bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), keberadaan dan dinamika modal sosial dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksernal. Faktor eksternal yang paling banyak berpengaruh adalah intervensi pemerintah, meskipun banyak pihak menyatakan bahwa tidak mudah mempromosikan ikatan modal sosial melalui intervensi kebijakan. Namun demikian, Field (2003), menegaskan bahwa kebijakan eksternal (pemerintah) tetap masih diperlukan untuk merancang dukungan dari modal sosial. Beberapa contoh kebijakan dan program di Inggris, sebagai contoh, juga berwujud 17

18 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster dalam bentuk dukungan terhadap sektor usaha. Dalam hubungannya dengan perkembangan klaster, Isham, Kelly dan Ramaswany (2002), menegaskan bahwa peranan fungsi kunci dari hubungan modal sosial disebabkan (sebagian besar) oleh kemampuan negara untuk mengelola sumber daya, gagasan dan informasi dari lembaga formal diluar komunitas. Disamping dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan klaster itu sendiri. Perumusan Masalah Dalam pandangan tentang modal sosial ada tiga aliran dimana modal sosial dapat dimanfatkan yaitu 1)Modal sosial dapat dimanfaatkan untuk penguasaan sumber daya dan untuk mempertahankan kekuasaan,2) di sisi lain modal sosial dapat dimanfaatkan individu untuk mengejar kepentingan individunya,3) dan modal sosial dapat dimanfaatkan oleh asosiasi suatu kelompok untuk kemakmuran Apabila dilihat dari sisi peranannya modal sosial sangat berpengaruh pada performa ekonomi masyarakat. Namun seperti apa yang diungkapkan oleh Schmitz, hubungan antara modal sosial dengan performa ekonomi bukanlah hubungan satu arah. Ada tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Schmitz menegaskan bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di masyarakat. Keberadaan dan dinamika modal sosial dipengaruhi oleh faktor 18

19 Pendahuluan internal dan faktor ekternal. Faktor eksternal yang paling banyak berpengaruh adalah intervensi pemerintah. Disamping dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan klaster itu sendiri. Pendapat tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial menjadi suatu perdebatan, hal ini dikarenakan variabel yang digunakan dalam penelitian, tempat / lokasi dan pendekatan penelitian yang berbeda dimana perilaku masyarakat maupun perilaku organisasinya berbeda pula. Berdasarkan pada berbagai pendapat tentang modal sosial dan pendapat tentang keberadaan dari modal sosial yang dipengaruhi oleh dinamika perkembangangan klaster, seperti yang terjadi pada klaster cor logam, maka peneliti ingin meneliti tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan klaster, yang merupakan studi pada klaster cor logam di Ceper, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah. Agar penelitian ini terfokus, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kondisi klaster cor logam di Ceper Kabupaten Klaten? 2. Bagaimana keberadaan modal sosial pada klaster cor logam di Ceper, Kabupaten Klaten? 3. Bagaimana pembentukan modal sosial, baik melalui lembaga formal maupun non formal dalam perkembangan klaster cor logam Ceper- Klaten? 4. Bagaimana pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha cor logam Ceper-Klaten bagi pengembangan usahanya? 5. Bagaimana upaya yang dilakukan bagi peningkatan modal sosial di klaster cor logam Ceper Klaten? 19

20 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian Mendasarkan pada latar belakang penelitian tersebut, maka alasan pemilihan klaster cor logam Ceper sebagai lokasi penelitian Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Studi pada Klaster Cor Logam Ceper - Klaten Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa industri cor logam di Ceper merupakan industri logam tertua di Jawa Tengah yang sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram, diteruskan masa penjajahan Hindia Belanda sampai saat ini. Sebagaimana Porter yang mendifinisikan klaster sebagai kelompok usaha sejenis dengan lokasi berdekatan secara administrasi dan didukung oleh multi stakeholder maka industri Ceper dengan kelengkapan value chain-nya dari pemasok, produsen, pembeli, pusat pendidikan, koperasi dan lain-lain sesuai dengan konsep klaster Porter. Dilihat dari sejarah perkembangannya klaster cor logam Ceper mengalami daur hidup klaster mulai dari awal pertumbuhan/embrio, tumbuh, dan dewasa, penurunan dan transformasi, sehingga menarik untuk dilakukan penelitian tentang perkembangan klaster. Berdasarkan sejarah perkembangan klaster tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan cor logam Ceper sebagaian besar didominasi oleh sistem kekeluargaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal tersebut menjadikan nilai kebersamaan dan kepercayaan diantara pelaku usaha yang merupakan instrumen modal sosial relatif cukup tinggi. Namun klaster tersebut selain pernah mengalami tumbuh menuju dewasa juga mengalami masa-masa transformasi. Untuk itulah maka perlu dilakukan penelitian tentang Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster 20

21 Pendahuluan dengan Studi Kasus Klaster Cor Logam Ceper Klaten Jawa Tengah. Tujuan Penelitian Harapan peneliti adalah dengan melihat aspek modal sosial pada klaster cor logam, peneliti dapat merumuskan teori tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial sepanjang kehidupan klaster cor logam. Penelitian ini mengacu kepada penelitian sebelumnya tentang modal sosial pada kasus industri sepatu di Brazil (Bazan and Schmitz, 1997) yang menyatakan bahwa unsur lembaga yang berfungsi mendorong ekonomi klaster justru melemahkan keberadaan social capital itu sendiri, karena ekspor naik mengakibatkan pertentangan yang berdampak pada penurunan social capital. Schmitz menjelaskan pula bahwa social capital lebih banyak dipengaruhi oleh struktur sosial baik internal maupun eksternal. Sejalan dengan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari kondisi klaster cor logam Ceper dari awal pertumbuhan/ embrio, tumbuh dan dewasa, penurunan dan transformasi. 2. Menggambarkan kondisi dan keberadaan modal sosial di klaster cor logam Ceper pada masa perkembangan klaster, terdiri dari tahapan awal pembentukan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta tahapan penurunan dan transformasi. 3. Merumuskan kerangka teoritis tentang peranan modal sosial dalam perkembangan klaster. 4. Melakukan analisis terhadap proses pembentukan modal sosial, baik melalui lembaga formal maupun non formal dalam perkembangan 21

22 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster klaster cor logam. 5. Melakukan analisis terhadap pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha dalam pengembangan usahanya. 6. Melakukan analisis terhadap upaya yang harus dilakukan bagi peningkatan modal sosial. Kerangka Pemikiran Dalam merumuskan teori yang berhubungan dengan peranan modal sosial dan pemanfaatan modal sosial perlu melihat dua sub konsep yaitu peran modal sosial dan pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan klaster. Dalam peranannya modal sosial tidak lepas dari perkembangan klaster, sehingga dalam setiap tahapan pertumbuhan klaster, yang dimulai dari tahapan awal pertumbuhan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta tahapan penurunan dan transformasi perlu dianalisa tentang bagaimana perkembangan klaster tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan baik dari sisi peluang karena potensi ekonomi, fasilitasi pemerintah, pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan teknologi. Demikian pula pada setiap tahapan tersebut yang juga mencerminkan dinamika perkembangan klaster perlu juga diketahui tentang bagaimana kondisi dari modal sosial, khususnya proses pembentukan modal sosial, bentuk modal sosial yang terjadi, jaringan sosial yang terjadi sampai bagaimana pengaruh pemerintah, ekonomi makro dan teknologi mempengaruhi dalam pengembangan modal sosial. Untuk mengetahui tentang pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan usaha perlu dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu bagaimana pembentukan modal sosial, 22

23 Pendahuluan pemanfaatan modal sosial dan upaya upaya untuk meningkatkan modal sosial. Pembentukan modal sosial di dalam klaster cor logam Ceper ditelusuri melalui kelembagaan formal maupun informal. Pembentukan melalui kelembagaan formal seperti halnya koperasi, pola kerja sama, sub kontrak maupun pola kemitraan plasma-inti. Sedangkan melalui kelembagaan non formal pembentukan modal sosial diciptakan melalui keluarga (misalnya perusahaan keluarga) maupun pertemuan sosial. Modal sosial seperti halnya pengertian modal lainnya yaitu sebagai sarana untuk pengembangan usaha. Bentuk modal sosial yang digunakan dalam pengembangan usaha diantaranya seperti jaringan, kepercayaan, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama maupun kepedulian terhadap organisasi/ lembaga. Dalam jaringan dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, perlu dilihat bentuk-bentuk dari jaringan yang ada, bagaimana jaringan tersebut dibentuk maupun dipelihara secara baik. Modal sosial kepercayaan, perlu dilihat bagaimana kepercayaan terhadap sesama pelaku, kepercayaan terhadap organisasi, kepercayaan terhadap pemerintah selama dalam perkembangan klaster cor logam Ceper. Demikian pula perlu ditelusuri bagaimana ketaatan terhadap norma agama maupun adat istiadat serta kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam organisasi yang digunakan dalam kegiatan untuk pengembangan usaha dari para individu pengusaha di dalam klaster. Proses pembentukan modal sosial dan pemanfaatannya untuk pengembangan klaster cor logam Ceper perlu dieksploitir bagaimana usaha-usaha yang dilakukan dalam peningkatan modal sosial, baik melalui 23

24 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster kelembagaan formal maupun non formal, melalui fasilitasi pemerintah serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti halnya faktor pertumbuhan ekonomi maupun perubahan teknologi. Kerangka pemikiran tersebut secara sistimatis dapat dilihat pada gambar 1.3. Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Perkembangan Klaster Peran Modal Sosial Pemanfaatan Modal Sosial Kondisi Bisnis dan Teknologi Klaster Tahapan awal pertumbuhan ( Embrio) Tahapan Tumbuh dan Dewasa Tahapan penurunan Dan Transformasi Kondisi Modal Sosial Pembentukan Modal Sosial Kelembagaan Formal Kelembagaan Non Formal Pemanfaatan Modal Sosial Jaringan Kepercayaan Ketaatan thd norma Kepedulian Thd Sesama Keterlibatan Dlm Organisasi Upaya Peningkatan Modal Sosial Kelembagaan Formal dan Non Formal Fasilitasi Pemerintah Kondisi yg mempengaruhi Modal Sosial Temuan Teori Peranan Modal Sosial dan Pemanfaatan Modal Sosial Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Sistematika Penulisan Desertasi ini ditulis dalam 10 (sepuluh) bab, dimana secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I, berisikan ulasan singkat 24

25 Pendahuluan perkembangan industri logam nasional maupun Jawa Tengah, tentang daya saing Indonesia ditengah persaingan ACFTA dan pentingnya peningkatan produktivitas untuk meningkatkan daya saing melalui pendekatan pengembangan klaster. Dalam bab ini juga diuraikan tentang peranan dari keberadaan modal sosial dalam pengembangan klaster, khususnya klaster cor logam Ceper, yang semua ini merupakan latar belakang pentingnya melihat peranan dan pemanfaatan modal sosial pada pengembangan klaster. Tentang rumusan masalah, tujuan penelitian dan juga kerangka penelitian termasuk dalam bab ini. Dalam Bab II, berisi kajian teoritis klaster dan teori modal sosial. Kajian teori klaster dimulai dari beberapa pengertian klaster, aktivitas yang terjadi didalam klaster serta perkembangan dari klaster dan tipologi dari pengembangan klaster. Sedang kajian teori modal sosial dimulai dari beberapa pengertian modal sosial secara lebih menyeluruh sampai pada peranan modal dalam perkembangan klaster. Kajian teori ini diharapkan sebagai dasar atau landasan teori dalam menganalisis peranan dan pemanfaatan modal sosial pada suatu klaster. Bab III tentang metodologi penelitian, berisikan pendekatan penelitian perkembangan (development research) yang bersifat lintas seksional (cross sectional) yang digunakan dalam penelitian dan juga tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari persiapan, pengumpulan data sampai pada tahapan analisa data, dan akhirnya hasil penelitian disampaikan dalam bentuk diskripsi naratif (narrative description). Dalam Bab IV berisikan tentang profil klaster cor logam Ceper, mulai dari uraian letak geografis, bahan baku yang digunakan dan jenis industri sampai dengan pengembangan teknologi yang digunakan. Dalam bab ini juga di uraikan pihak-pihak yang terkait serta permasalahan- 25

26 Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster permasalahan yang ada di dalam klaster. Adapun Bab V tentang perkembangan klaster cor logam, berisikan perkembangan Klaster cor logam dimulai dari pertumbuhan/embrio klaster, tahap tumbuh dan dewasa serta penurunan dan transformasi. Pada tahap awal klaster tumbuh, perkembangan klaster dipilahkan menjadi 3 (tiga) yaitu jaman kolonial Belanda, jaman pendudukan Jepang dan jaman kemerdekaan, dimana pada masing-masing perubahan jaman dan perubahan peluang ekonomi telah menyebabkan perkembangan klaster cor logam. Dalam tahap klaster tumbuh dan dewasa diuraikan bagaimana klaster memulai mengembangkan network ke luar, yang pada mulanya difasilitasi pemerintah. Klaster mengalami penurunan dan transformasi yang diakibatkan adanya krisis ekonomi pada akhir 1990an. Dalam bab ini pula diuraikan tentang perkembangan teknologi klaster cor logam Ceper. Bab VI berisi uraian tentang perkembangan modal sosial yang hidup dalam klaster cor logam Ceper. Untuk melihat perkembangan modal sosial yang terjadi dipilah menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap klaster awal pertumbuhan/embrio, tahap tumbuh dan dewasa serta tahap penurunan dan transformasi. Pada perkembangan setiap tahapan tidak lepas dari masalah budaya yang hidup, hubungan kekeluargaan antar pengusaha dan relasi pengusaha dengan pihak-pihak di luar klaster seperti halnya pemerintah dan para pabrikan diluar klaster. Demikian pula faktorfaktor eksternal lainnya seperti peraturan-peraturan pemerintah maupun kondisi ekonomi yang terjadi. Bab VII berisikan tentang pembentukan modal sosial baik melalui lembaga formal, seperti halnya koperasi, pola sub kontrak serta kemitraan dan pembentukan modal sosial melalui lembaga non formal, seperti halnya melalui hubungan keluarga maupun melalui pertemuan sosial. 26

27 Sedang Bab VIII berisi tentang pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha dalam pengembangan usahanya. Dalam bab ini diuraikan bagaimana individu memanfaatkan modal sosial, diantaranya membangun jaringan, membangun kepercayaan baik terhadap sesama pelaku usaha, konsumen maupun penyedia bahan baku, serta meningkatkan ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama, keterlibatan dalam organisasi, yang semuanya ini dalam rangka pengembangan usahanya. Adapun Bab IX berisi tentang upaya peningkatan modal sosial, baik yang dilakukan melalui kelembagaan formal maupun informal, melalui fasilitasi pemerintah maupun faktor kondisi eksternal seperti pertumbuhan ekonomi maupun perubahan teknologi. Bab X berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan atas penulisan desertasi, implikasi teori, implikasi kebijakan kontribusi dan saran penelitian selanjutnya.

28

Penutup. Bab Sepuluh. Kesimpulan. Kondisi dan Teknologi Klaster Cor Logam

Penutup. Bab Sepuluh. Kesimpulan. Kondisi dan Teknologi Klaster Cor Logam Bab Sepuluh Penutup Kesimpulan Kondisi dan Teknologi Klaster Cor Logam Kondisi bisnis dan teknologi klaster cor logam, dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap awal pertumbuhan/embrio, tahap tumbuh

Lebih terperinci

Metodelogi Penelitian

Metodelogi Penelitian Bab Tiga Metodelogi Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika modal sosial sepanjang kehidupan klaster pada klaster cor logam Ceper Klaten - Jawa Tengah. Untuk

Lebih terperinci

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh : SURYO PRATOMO L2D 004 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Di era globalisasi ini, industri menjadi penopang dan tolak ukur kesejahteraan suatu negara. Berbagai

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

Peranan Modal Sosial Pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten

Peranan Modal Sosial Pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten Bab Enam Peranan Modal Sosial Pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten Pengantar Peranan modal sosial pada dasarnya selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman. Demikian pula, Peranan modal sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan barang dan jasa antar negara di dunia membuat setiap negara mampu memenuhi kebutuhan penduduknya dan memperoleh keuntungan dengan mengekspor barang

Lebih terperinci

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH TUGAS AKHIR DISUSUN OLEH: HENDRA YUDHO PRAKOSO L2D 004 318 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model

Lebih terperinci

BAB IV INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Perkembangan Industri Kecil dan Menengah

BAB IV INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Perkembangan Industri Kecil dan Menengah BAB IV INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR 4.1. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami pertumbuhan yang signifikan. Data dari

Lebih terperinci

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini V. ANALISA SISTEM 5. Agroindustri Nasional Saat Ini Kebijakan pembangunan industri nasional yang disusun oleh Departemen Perindustrian (5) dalam rangka mewujudkan visi: Indonesia menjadi Negara Industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dampak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada di peringkat 55 dari 134 negara, menurun satu peringkat dari tahun sebelumnya. Dalam hal ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan restoran mengalami peningkatan kontribusi. Demikian juga pertanian, listrik,

BAB I PENDAHULUAN. dan restoran mengalami peningkatan kontribusi. Demikian juga pertanian, listrik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri pengolahan menjadi salah satu penopang perekonomian di kabupaten Klaten. Data dari Badan Pusan Statistik kabupaten Klaten sebagaimana tabel 1.1 menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan dunia bisnis dan industri saat sekarang ini semakin ketat dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat serta sangat cerdas dalam memilih produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaruan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di dunia

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing nasional. Selama dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi, peran sektor

BAB I PENDAHULUAN. saing nasional. Selama dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi, peran sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor ini tidak saja berpotensi mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ukuran pasar dalam sektor industri tertentu mengindikasikan potensi pasar dan tingkat kompetisi dalam industri tersebut. Jika pertumbuhan ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang punggung perekonomian. Tumpuan harapan yang diletakkan pada sektor industri dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Potensi UMKM Kota Bandung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di kota Bandung yang semakin berkembang ternyata membuat jumlah unit usaha tetap

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 2.1.1 Pengertian UMKM Beberapa defenisi dari UMKM memiliki pengertian yang berbeda berdasarkan sumbernya (Hubeis, 2009; Tambunan, 2009)

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Modal Sosial

Upaya Peningkatan Modal Sosial Bab Sembilan Upaya Peningkatan Modal Sosial Pengantar Peningkatan modal sosial dapat dilakukan melalui kelembagaan formal maupun informal. Peningkatan modal sosial melalui kelembagaan formal akan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia memproduksi banyak ragam alas kaki. Tingkat produksi domestik diperkirakan mencapai lebih dari 135 juta pasang dengan jumlah pekerja manufaktur alas

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi dunia cenderung bergerak lambat, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi dunia cenderung bergerak lambat, sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi dunia cenderung bergerak lambat, sedangkan perekonomin Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih tetap positif, utamanya bila mampu

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Menteri Perindustrian Republik Indonesia Menteri Perindustrian Republik Indonesia KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA MUSYAWARAH PROPINSI VI TAHUN 2015 KADIN DENGAN TEMA MEMBANGUN PROFESIONALISME DAN KEMANDIRIAN DALAM MENGHADAPI ERA

Lebih terperinci

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Mudrajad Kuncoro Juli 2008 Peranan Masing- Masing Cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Tahun 1995-2008* No. Cabang Industri Persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep pembangunan seringkali dianggap sama dengan proses industrialisasi. Proses industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan salah satu jalur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun telah. Tabel 1.1. Jumlah Unit UMKM dan Industri Besar

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun telah. Tabel 1.1. Jumlah Unit UMKM dan Industri Besar BAB I PENDAHULUAN No 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun 2007-2008 telah mengalami perkembangan yang positif jika dibandingkan dengan usaha yang berskala besar. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan kerajinan batiknya. Kerajinan batik telah secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di suatu negara. Fluktuasi harga minyak mentah dunia mempengaruhi suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih dikenal dengan istilah Plus Three

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak era reformasi di Indonesia, berbagai pihak termasuk pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak era reformasi di Indonesia, berbagai pihak termasuk pemerintah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak era reformasi di Indonesia, berbagai pihak termasuk pemerintah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap isu sentral keberadaan industri kecil. Para

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

sehingga mempunyai ciri-ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap

sehingga mempunyai ciri-ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional menempatkan manusia sebagai titik sentral sehingga mempunyai ciri-ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat Pembangunan mengandung makna yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi dinegara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki setiap negara dan keterbukaan untuk melakukan hubungan internasional

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi luar negeri. Apalagi bila negara tersebut semakin terbuka, keterbukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, hal ini diwujudkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

INDUSTRI.

INDUSTRI. INDUSTRI INDUSTRI Istilah industri mempunyai 2 arti: Himpunan perusahaan2 sejenis Suatu sektor ekonomi yg didalamnya terdapat kegiatan produktif yg mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau ½ jadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif, artinya mampu mengembangkan ekonomi daerahnya dan memberikan iklim yang kondusif untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur

I. PENDAHULUAN. industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan seringkali dikaitkan dengan proses industrialisasi. Proses industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur kegiatan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis

BAB V PENUTUP. Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis meliputi perluasan geografis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan produk, penetrasi pasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan direvisi menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENELITIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BESI COR KELABU DENGAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DARI KOKAS LOKAL DENGAN PEREKAT TETES TEBU DAN ASPAL

TUGAS AKHIR PENELITIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BESI COR KELABU DENGAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DARI KOKAS LOKAL DENGAN PEREKAT TETES TEBU DAN ASPAL TUGAS AKHIR PENELITIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BESI COR KELABU DENGAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DARI KOKAS LOKAL DENGAN PEREKAT TETES TEBU DAN ASPAL Disusun untuk memenuhi dan syarat guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013 OUTLINE V PENUTUP III II I PENDAHULUAN PERKEMBANGAN INDUSTRI MAKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL TUGAS AKHIR O l e h : E k o P r a s e t y o L2D 000 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian di Indonesia tidak sekedar terfokus pada peran pemerintah, banyak sektor yang mempunyai peran dalam kemajuan perekonomian di Indonesia. Proses

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Industri Hilir Aluminium Industri aluminium terdiri dari industri primer, industri antara dan industri hilir. Industri primer adalah industri peleburan alumina menjadi aluminium.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia selalu menarik untuk diteliti dan diperbincangkan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki tantangan tersendiri dalam mengatur kegiatan ekonominya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI MANUFAKTUR Sekilas Tentang Perusahaan Manufaktur

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI MANUFAKTUR Sekilas Tentang Perusahaan Manufaktur BAB II DESKRIPSI INDUSTRI MANUFAKTUR 2.1. Sekilas Tentang Perusahaan Manufaktur Manufaktur adalah suatu cabang industri yang mengaplikasikan mesin, peralatan dan tenaga kerja dan suatu medium proses untuk

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR Oleh: PATI GAMALA L2D 002 427 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari kegiatan perdagangan antar negara. Perdagangan antar negara

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari kegiatan perdagangan antar negara. Perdagangan antar negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini interaksi antar negara merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan hampir dilakukan oleh setiap negara di dunia, interaksi tersebut biasanya tercermin dari

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mampu meningkatkan taraf hidup penduduknya. Peningkatan pendapatan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mampu meningkatkan taraf hidup penduduknya. Peningkatan pendapatan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mampu meningkatkan taraf hidup penduduknya. Peningkatan pendapatan di wilayah ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kegiatan produksi

Lebih terperinci

w tp :// w ht.b p w s. go.id PERKEMBANGAN INDEKS PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG 2011 2013 ISSN : 1978-9602 No. Publikasi : 05310.1306 Katalog BPS : 6102002 Ukuran Buku : 16 x 21 cm Jumlah

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diikuti dengan adanya perubahan struktur ekonomi. Salah satu sektor di bidang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti dengan adanya perubahan struktur ekonomi. Salah satu sektor di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi merupakan suatu aspek dari pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan keberadaannya perlu mendapat dukungan dari semua pihak, baik dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di negara-negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di negara-negara berkembang dapat dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian negara. Dengan adanya UKM tersebut

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci