HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI ABNES OKTORA GINTING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI ABNES OKTORA GINTING"

Transkripsi

1 HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh ABNES OKTORA GINTING FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GENAP, 2008/2009

2 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kita ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa, berkat petunjuk dan anugerah-nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul : HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP N 10 MEDAN. Saya menyadari bahwa sungguh besar bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa awal penyusunan skripsi sampai pada perevisian skripsi. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi. 2. Filia Dina Anggaraeni, M.Pd. selaku dosen pembimbing serta penguji I yang telah banyak memberikan masukan dan arahan serta meluangkan waktunya untuk membimbing saya dengan penuh integritas. Terima kasih banyak ya Bu buat semuanya. 3. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua saya yang terhormat dan tercinta, karena telah memberikan dukungan yang sangat besar kepada anaknya, baik dukungan moril maupun materil, yang membuat penulis termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 4. Buat semua teman-teman yang banyak membantu saya selama dalam mengerjakan skripsi ini. Semoga perhatian yang sudah diberikan memberikan sumbangsih yang terbaik buat karya ilmiah ini.

3 Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca agar bisa lebih berkualitas buat ke depannya. Akhirnnya harapan saya semoga skripsi ini mampu memperkaya kajian psikologi di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Medan, April 2009 Penulis

4 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG MASALAH...1 B. RUMUSAN MASALAH...5 C. TUJUAN PENELITIAN....5 D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis.5 2. Manfaat Praktis... 6 E. SISTEMATIKA PENULISAN..6 BAB II LANDASAN TEORI....8 A. EMPATI.8 1. Definisi Empati Perspektif Teoritis Empati Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati Aspek-aspek yang Terdapat dalam Empati..15 B. COOPERATIVE LEARNING Definisi Cooperative Learning.20

5 2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cooperative Learning 22 C. HUBUNGAN EMPATI DAN PENELITIAN MENGENAI COOPERATIVE LEARNING..25 D. HIPOTESIS...26 BAB III METODE PENELITIAN.27 A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN...27 B. DEFINISI OPERASIONAL PENELITIAN Empati Cooperative Learning..28 C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL Populasi dan Karakteristik Subyek Penelitian Teknik Pengambilan Sampel Jumlah Subyek Penelitian...31 D. METODE PENGUMPULAN DATA Alat Ukur yang Digunakan 31 a. Skala Empati..32 b. Skala Cooperative Learning Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur..35 a. Validitas Alat Ukur 35 b. Uji Daya Beda 36

6 c. Reliabilitas Alat Ukur 37 E. HASIL UJI COBA ALAT UKUR Skala Empati Skala Cooperative Learning G. PROSEDUR PENELITIAN Tahap Persiapan Penelitian 43 a. Persiapan alat ukur penelitian.43 b. Perizinan.43 c. Uji coba alat ukur penelitian Pelaksanaan penelitian Tahap Pengolahan Data 46 H. Metode Analisis Data Uji Normalitas Uji Linearitas...47 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN.48 A. Gambaran Subyek Penelitian Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia..49 B. Hasil Analisis Data Hasil Utama Penelitian Hasil Uji Asumsi 50 a. Uji Normalitas 50 b. Uji Linearitas..50

7 3. Kategorisasi data penelitian..51 C. Pembahasan...54 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.56 A. Kesimpulan 56 B. Saran 57 DAFTAR PUSTAKA...60

8 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Blue Print Skala Empati...32 Blue Print Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...33 Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Empati...39 Distribusi Aitem-aitem Skala Empati...39 Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...40 Tabel 6. Distribusi Aitem-aitem Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...41 Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...48 Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia...49 Hasil Olah Data Korelasi Pearson Product Moment...49 Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov...50 Deskripsi Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning...52 Tabel 12. Kriteria Jenjang Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning 52 Tabel 13. Matriks Kategorisasi Variabel Empati dengan Cooperative Learning 53

9 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Grafik Linearitas Antara Empati dengan Cooperative Learning...51

10 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 3 Lampiran 4 Data Mentah Uji Coba Skala Reliabilitas Alat Ukur Data Mentah Penelitian Hasil Pengolahan Data Skala Asli Penelitian dan Surat Izin Penelitian

11 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap manusia yang lahir di dunia ini pada suatu ketika tentu akan mengetahui, bahwa hidup mempunyai persoalan-persoalannya, terutama hidup bermasyarakat. Ia bertemu dengan sesama hidupnya yang juga menghadapi persoalan-persoalan serupa dan lalu merasa perlu berhubungan dengan mereka untuk memecahkan persoalan-persoalan ini bersama. Malahan di dalam persoalanpersoalan yang bersifat pribadi pun, ia tetap membutuhkan orang lain yang dapat menyelami dan dapat membantunya untuk menyelami persoalan-persoalan itu. Tetapi bantuan orang lain ini terutama dibutuhkannya dalam memecahkan persoalan-persoalan sosial. Karena secara individual orang tidak akan mampu untuk menghadapinya, dan seandainya bisa juga tidak akan mungkin dapat menyelesaikannya dengan baik. Dari sebab itu, pemecahan persoalan-persoalan sosial dengan sendirinya menuntut adanya kerja sama (SJ, 1995). Sementara itu, ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai yang maha tahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam situasi yang membebani dan

12 menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai ujian yang tinggi. (Lie, 2003). Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator (Lie, 2003). Pada definisi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam belajar kooperatif banyaknya anggota kelompok kecil, kemampuan anggota-anggota kelompok yang berbeda, menggunakan aktivitas belajar yang bervariasi untuk meningkatkan pemahaman diri. Setiap anggota kelompok tidak hanya bertanggung jawab pada belajar sendiri tetapi juga membantu teman satu team yang lain dalam belajar, sehingga tercipta suasana sukses (Lie, 2003). Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah dan

13 perguruan tinggi untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilanketerampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat. (Lie, 2003). Dalam rimba modernitas sekarang ini, empati merupakan barang mahal yang cukup sulit didapat. Empati bukan hanya sekedar ikut merasakan, tetapi juga berbuat dengan tindakannya nyata. Di dalam tataran praktis hal ini cukup sulit untuk dilakukan, karena manusia-manusia modern terkurung oleh egonya, dan memberi empati sangatlah menyejukkan jiwa. (Arianto, 2008). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1995), empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Atau lebih gampangnya empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain. Mempunyai rasa empati adalah keharusan seorang manusia, karena di sanalah terletak nilai kemanusiaan seseorang. Empati merupakan emosi atau afeksi yang positif. Empati ini berperan penting dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi individu dan dalam membentuk sikap dan perilaku terhadap orang lain. Orang yang mempunyai empati tinggi lebih berorientasi pada orang lain yang mengalami kesulitan tanpa banyak mempertimbangkan kerugian-kerugian yang akan diperoleh, seperti pengorbanan waktu, tenaga dan biaya. Dengan demikian seseorang yang mempunyai empati tinggi akan peduli terhadap orang lain di sekelilingnya. (Brigham, 1991). Banyak segi positif bila seseorang berempati. Orang tersebut akan agresif dan senang membantu orang lain, karena empati berhubungan dengan kepedulian

14 terhadap orang lain, tak heran kalau empati selalu berkonotasi sosial seperti menyumbang, memberikan sesuatu pada orang yang kurang mampu. Rasa empati dapat dilakukan asalkan mau, kapan saja dan di mana saja kita berada. Setiap orang harus membiasakan dari hal-hal yang sederhana. (Arianto, 2008). Menurut definisi Mader & Mader (Understanding One Another, 1990), empati adalah kemampuan seseorang untuk menjalin ikatan dengan individu lainnya secara emosional (share-feeling) yang dilandasi kepedulian. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian atau empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional. Merujuk pendapat A, siswa kelas IX C SMP N 10 Medan, Kepedulian itu penting dimiliki tiap anggota kelompok. Biasanya kalau yang saya lihat rasa pedulinya tinggi maka kelompok diskusi tersebut mantap. H, siswi kelas IX B SMP N 10 Medan juga mengutarakan pendapatnya, Kalau belajar pake diskusi kelompok tambah semangat dan bisa mengeluarkan aspirasi kami tiap-tiap orang. Jadi kalau kami berdiskusi kami bisa saling berpendapat trus saling mengajarin. Pak L, guru mata pelajaran IPA di SMP N 10 Medan memberikan paradigma hubungan empati dengan cooperative learning dengan melihat fakta di lapangan bahwa ketika proses diskusi kelompok dilaksanakan, proses belajar siswa jadi lebih hidup. Siswa bertambah banyak yang aktif dan memicu semangat siswa yang lainnya untuk memberikan prestasi terbaiknya. Atas dasar penjelasan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti hubungan antara empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan.

15 B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP Negeri 10 Medan? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi mengenai empati dan cooperative learning. b. Memperkaya kajian penelitian di bidang Psikologi Pendidikan mengenai hubungan empati dan cooperative learning. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyesuaikan dan melihat hubungan antara empati dengan penerapan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan. b. Menjadi bahan pertimbangan guru untuk membimbing dan menjaga tingkat empati para siswanya ketika menerapkan proses belajar cooperative learning di kelas dalam meningkatkan mutu pendidikan.

16 E. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI Bab ini berisikan tentang teori-teori empati, cooperative learning, hubungan empati dan penelitian mengenai cooperative learning, serta hipotesa penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini membahas tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari empati dan cooperative learning, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan yang terdiri dari uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur dan hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisa data. BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subyek penelitian, laporan hasil penelitian yang meliputi hasil utama penelitian, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan linearitas, kategorisasi data penelitian, serta pembahasan.

17 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga akan memuat saran penyempurnaan penelitian berikutnya.

18 BAB II LANDASAN TEORI A. EMPATI 1. Definisi Empati Batson dan Coke (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) mengartikan empati sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain. Selain itu Hetherington dan Park (dalam Hetherington, 1999) mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama dengan emosi yang dirasakan orang lain. Empati yang dimiliki dapat membuat seseorang mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain. Sejalan dengan pendapat ahli di atas Wattson, (dalam Wattson, 1984) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain serta David (dalam Weinstein, 1987) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menilai secara akurat pandangan orang lain terhadap suatu situasi. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan semakin terampil ia membaca perasaan orang lain (Goleman, 1995). Higgins (dalam Higgins, 1982) juga mengungkapkan pendapat senada yang menyatakan bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Johnson,

19 (dalam Johnson, 1983) melihat empati sebagai kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain, kemampuan alih peran dan mengenali perasaan orang lain seperti sikap, motif, nilai serta keyakinannya. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Zahn, (dalam Wardhani, 1989) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mendeteksi emosi yang berbeda dan kemampuan untuk mengambil alih peran atau memahami emosi yang berbeda atau memahami perspektif orang lain, dalam rangka membandingkan dan mengkombinasikannya sehingga dapat menghasilkan respon emosi yang matang. Eisenberg dan Mussen (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi emosi orang tersebut. Respon afeksi itu sendiri menurut Hoffman (dalam Goleman, 1995) lebih jelas dirasakan sebagai situasi orang lain dari situasi diri sendiri, empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain tersebut. 2. Perspektif Teoritis Empati Thompson (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) mengemukakan 3 perspektif teoritis dalam menjelaskan empati, adapun perspektif tersebut adalah sebagai berikut: a. Psikoanalitik dan Neoanalitik Kedua konsep ini menggambarkan pentingnya empati dalam konteks kedekatan emosional antara ibu dan anak (Freud, dalam Eisenberg & Strayer,

20 1987). Ketergantungan anak pada ibu di masa awal kehidupannya merupakan bentuk hubungan yang bersifat simbiotik. Berdasarkan kedua perspektif tersebut anak dipandang sebagai sosok yang mempunyai sensitifitas yang tinggi dalam berbagai situasi yang bervariasi. Kesensitifan yang tinggi ini dipengaruhi oleh perasaan ibu (maternal affect) dan suasana hati (mood) ibu yang secara tidak sadar dipindahkan pada anak. Ibu memindahkan emosinya pada anak melalui kontak fisik yang ia lakukan saat mengasuh anak. Anak akan dapat merasakan suasana emosi ibu yang kurang baik melalui vokal dan ekspresi wajah. Reaksi emosional yang kurang baik tersebut akan menjadi stimulus yang dikondisikan dan selanjutnya menimbulkan distress pada anak. Respon emosional anak terhadap maternal affect ini dipandang sebagai bagian fungsi ego yang bersifat otonom (Stern, dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Kemampuan berempati pada anak akan bertambah seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup dan interaksinya dengan individu-individu lain. Peristiwa ini terjadi pada usia 2 tahun pertama (Kaplan dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Hal tersebut, dalam konteks ikatan antara ibu dan anak (motherinfant bonding) digunakan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya emosi (misalnya kecemasan) dan mood ibu yang dipindahkan pada anak, namun dalam jangka panjang disposisi atau karakteristik kepribadian ibu juga ikut berpengaruh (Spitz dalam Eisenberg & Strayer, 1987). b. Developmental Study Perspektif ini didasarkan pada penelitian sosial kognitif yang dikemukakan Piaget. Pandangan ini menyatakan bahwa kemampuan empati tergantung pada

21 penalaran kognitif, dalam hal ini kemampuan permanensi objek. Kemampuan permanensi objek adalah kemampuan untuk membedakan atribut psikologis diri sendiri dengan orang lain. Kemampuan ini berguna untuk memahami peran psikologis orang lain. (Feshbach dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Setelah anak berusia dua tahun akan berkembang kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara spontan. Spontanitas dalam mengungkapkan perasaan ini dipengaruhi oleh pengalaman internal dan eksternal yang mencerminkan perkembangan aspirasi emosi, kemauan dan aspek kognitif yang dialami individu. c. Early Socioemotional Development Steiberg dan Sroufe (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) menyatakan bahwa bayi dan anak-anak mempunyai motivasi yang tinggi dan responsive terhadap emosi partner sosialnya. Sejak lahir anak pada dasarnya sudah memancarkan signal socio-emotional dan merespon signal socio-emotional orang lain. Tingkah laku ini merupakan potensi awal untuk mendapatkan perhatian dan berguna untuk meningkatkan daya tahan. Biasanya perilaku ini ditujukan pada pengasuh dalam bentuk tangisan atau senyuman. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa empati adalah suatu kemampuan untuk menempatkan diri pada pikiran dan perasaan orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan maupun tanggapan orang tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi tersebut lebih nyata dirasakan sebagai situasi orang lain daripada situasi diri sendiri.

22 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu: a. Pola Asuh Franz (dalam Koestner, 1990) menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan empathic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan tolerance of dependency diinterpretasikan sebagai: (1) besarnya tingkat interaksi ibu dan anak, (2) refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial (Siegel dalam Laurence, 1982). Ibu yang puas dengan perannya akan mampu menciptakan anak yang memiliki empathic concern yang tinggi (Koestner, 1990). Hal ini terjadi karena ibu yang mempunyai keyakinan akan kemampuannya dan tidak cemas dalam pengasuhan anak akan menciptakan hubungan kelekatan antara ibu dan anak secara aman (secure attachement). Ibu yang mempunyai kepercayaan lebih juga dapat memberikan perhatian atau lebih peduli perasaan anak. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan empati adalah kehangatan orang tua (Shaffer 2004). Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung menghargai dan

23 jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih banyak menggunakan alasan-alasan yang dapat diterima anak dalam menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal-hal di atas akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau dengan kata lain anak akan melakukan proses modelling pada ibu dalam berempati. Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain. Matthews (dalam Barnett, 1979) berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar terjadi dalam lingkungan keluarga yang: (1). Memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi. (2). Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya. (3). Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi. b. Kepribadian Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990), sedangkan individu yang memiliki self direction, need for achivement dan need for power yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah. c. Jenis Kelamin Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki-laki.

24 Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki-laki adalah kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parsons dan Bales dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. (Buck, 1995) dalam penelitiannya menemukan hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri). d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs, 1987). e. Usia Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif (Mussen, 1989). Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang.

25 f. Derajat Kematangan Gunarsa (dalam Gunarsa, 1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional. g. Sosialisasi Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Matthew (dalam Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu: (1). Sosialisasi membuat seseorang mengalami banyak emosi. (2). Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain. (3). Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking. (4). Terdapat banyak afeksi sehingga seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain. (5). Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal. 4. Aspek-aspek yang Terdapat dalam Empati Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat ia mengamati pengalaman orang lain (Davis, 1983). Ada banyak bentuk reaksi yang mungkin terjadi setelah seseorang mengalami bermacam peristiwa. Para ahli membedakan respon empati menjadi dua komponen, yaitu: respon kognitif dan respon afektif

26 (Koestner, 1990; Davis, 1983). Westner menamakan dua komponen tersebut sebagai intelegensi dan sensitivitas terhadap isyarat (clue sensitivity). Komponen kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat, di sini diharapkan seseorang dapat membedakan emosi orang lain dan menerima pandangan mereka. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain. Feshbach dan Kuchenbecker (dalam Mussen, 1979) menyatakan ada tiga komponen empati yaitu: a. Kemampuan kognitif untuk membedakan perasaan. b. Kemampuan untuk mengambil alih perspektif atau memahami pengalaman orang lain. c. Perasaan atau emosi yang timbul atau digerakkan dari dalam diri sendiri. Berdasarkan skala empati yang dibuat Davis (1983) secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masing-masing mempunyai dua aspek yaitu: Komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking (PT) dan Fantacy (FS), sedangkan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Perspective Taking (PT) Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara spontan. Mead dalam (Davis, 1983) menekankan pentingnya kemampuan dalam perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada

27 kepentingan orang lain. Coke (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. b. Fantacy (FS) Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland (dalam Davis, 1983) mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. c. Empathic Concern (EC) Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain. d. Personal Distress (PD) Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi seseorang menjadi rendah. Agar seseorang dapat berempati, ia harus mengamati dan menginterpretasikan perilaku orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterpretasikan informasi yang

28 diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka (Lindgren 1974). Seseorang dapat menginterpretasikan orang lain bahagia, cemas, sedih, marah atau bosan biasanya melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti tersenyum, menyeringai, cemberut atau ekspresi lain. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang dialami seseorang (Lindgren dan Staub, 1978). Kemampuan berempati yang dimiliki oleh masing-masing individu berbeda-beda. Reaksi empati yang ditujukan pada orang lain seringkali didasarkan pada pengalaman masa lalu. Biasanya seseorang merespon pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila sebelumnya ia mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut (Staub, 1978), sebab itu akan menimbulkan kemiripan kualitas pengalaman emosi. Krebs (dalam Krebs, 1987) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah berempati terhadap orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya daripada orang yang tidak memiliki kesamaan. Johnson, (dalam Johnson, 1983) menambahkan bahwa orang yang empatik biasanya melukiskan dirinya sebagai orang yang lebih toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, punya pengaruh dan bersifat humanistik. Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek orang yang mempunyai karakteristik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern), yaitu: a. kemampuan dalam berperan imajinatif b. sadar terhadap pengaruh seseorang terhadap orang lain

29 c. kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain d. pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain e. mempunyai rasa pengertian sosial Empati bagi seorang individu mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a). Menyesuaikan Diri Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992) menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis, fleksibel dan kematangan emosi. b). Mempercepat hubungan dengan orang lain Lauster (dalam Lauster, 1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka salah paham, perdebatan dan ketidaksepakatan antar individu dapat dihindari. c). Meningkatkan harga diri Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones, 1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan Gewirtz, 1984). d). Meningkatkan pemahaman diri Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu akan menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan

30 pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk konsep diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain (Mussen, 1989). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa empati pada dasarnya terdiri dari komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan benar. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami pengalaman emosional orang lain. B. COOPERATIVE LEARNING 1. Definisi Cooperative Learning Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama (Hasan, 1996). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Hasan, 1996). Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau

31 lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok (Solihatin, 2008). Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok (Slavin, 1983; Stahl, 1994). Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl (1994) mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu getting better together, atau raihlah yang lebih baik secara bersama-sama (Slavin, 1992). Aplikasinya di dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh siswa dalam kesehariannya, dengan bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan kelas. Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar

32 bukan semata-mata harus diperoleh dari dosen, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya. Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompokkelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. Melalui belajar dari teman yang sebaya dan di bawah bimbingan dosen, maka proses penerimaan dan pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari. 2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Karakteristik pembelajaran kooperatif di antaranya (dalam Karlina, 2007): a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cooperative Learning Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2003) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan. a. Saling Ketergantungan Positif Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas

33 sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. Kondisi belajar ini memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar. b. Tanggung Jawab Perseorangan Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah bahwa keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik apabila dilakukan dengan bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya di antara siswa lainnya. Sehingga secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. c. Tatap Muka Dalam kelompok belajar, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar. Suasana belajar seperti itu akan membantu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan siswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Mereka akan saling memberi dan menerima masukan, ide, saran, dan kritik dari temannya secara positif dan terbuka.

34 d. Komunikasi Antar Anggota Dalam mengerjakan tugas kelompok, siswa bekerja dalam kelompok sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan siswa lainnya siswa tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, siswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksinya dalam memimpin, berdiskusi, bernegoisasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Dalam hal ini pengajar harus membantu siswa menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja sama yang bisa digunakan oleh siswa dalam kelompok belajarnya. e. Evaluasi Proses Kelompok Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajarnya, termasuk juga: (1) bagaimana hasil kerja yang dihasilkan, (2) bagaimana mereka membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan memahami materi dan masalah yang dibahas, (3) bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam interaksi kelompok belajar bagi keberhasilan kelompoknya, dan (4) apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan keberhasilan kelompok belajarnya di kemudian hari. Oleh karena itu, guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan siswa dan aktivitas mereka selama kelompok belajar siswa tersebut bekerja. Dalam hal ini, pengajar

35 harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik kepada mahasiswa lainnya maupun kepada pengajar dalam rangka perbaikan belajar dari hasilnya di kemudian hari. C. HUBUNGAN EMPATI DAN PENELITIAN MENGENAI COOPERATIVE LEARNING Van Sickle (1983) dalam penelitiannya mengenai model cooperative learning dan implikasinya terhadap perolehan belajar siswa dan pengembangan kurikulum social studies, menemukan bahwa sistem belajar kelompok dan debriefing secara individual dan kelompok dalam model cooperative learning mendorong tumbuhnya tanggung jawab sosial dan individual siswa, berkembangnya sikap ketergantungan yang positif, mendorong peningkatan dan kegairahan belajar siswa, serta pengembangan dan ketercapaian kurikulum. Stahl (1992) dalam penelitiannya di beberapa sekolah dasar di Amerika menemukan, bahwa penggunaan model cooperative learning mendorong tumbuhnya sikap kesetiakawanan dan keterbukaan di antara siswa. Penelitian ini juga menemukan bahwa model tersebut mendorong ketercapaian tujuan dan nilainilai sosial dalam pendidikan social studies. Mengkaji beberapa temuan penelitian terdahulu, tampaknya model cooperative learning menunjukkan efektivitas yang sangat tinggi bagi perolehan hasil belajar siswa, baik dilihat dari pengaruhnya terhadap penguasaan materi pelajaran maupun dari pengembangan dan pelatihan sikap serta keterampilan

36 sosial yang sangat bermanfaaat bagi siswa dalam kehidupannya di masyarakat (Solihatin, 2008). Sementara itu, Matthews, (dalam Barnett, 1979) mengidentifikasikan 15 sifat yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain yang terdiri dari tujuh sifat yang dinilai positif dan lima sifat yang dinilai negatif. Sifat-sifat positif itu antara lain: murah hati, suka menolong, baik hati, sensitive, lembut hati, simpati dan hangat, adapun sifat negatif tersebut antara lain: dingin, keras hati, egois, mementingkan diri sendiri dan tidak berperasaan. Akar cinta pada sesama juga terletak pada empati, yaitu kemampuan dan kepekaan untuk membaca emosi orang lain. Tanpa adanya kepekaan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain, tidak akan timbul kasih sayang, padahal menurut Goleman (1995) dua sikap moral saat ini adalah kendali diri dan kasih sayang. Dari penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat adanya hubungan antara empati dengan cooperative learning. Kondisi ini dilihat dari sifat positif yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain berkorelasi dengan unsur-unsur yang diperlukan agar cooperative learning berjalan dengan baik pada proses belajar siswa. D. HIPOTESIS Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa, ada hubungan antara empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan.

37 BAB III METODE PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu ingin melihat adakah hubungan empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan, maka peneliti akan menggunakan metode korelasi. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: - Variabel Bebas : Empati - Variabel Tergantung : Cooperative Learning B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN Definisi operasional memberikan batasan arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 2002). Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dalam melakukan interpretasi setiap variabel dalam penelitian ini, maka definisi operasional dibatasi secara jelas sebagai berikut: 1. Empati Empati adalah kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi atau keadaan pikiran, sifat serta perasaan orang lain; mampu merasakan dan memahami keadaan emosional orang lain sehingga timbul perasaan toleransi, menghargai perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah

38 dan humanis. Dalam penelitian ini empati seseorang dilihat dari jumlah skor empati yang diperoleh subyek dalam menjawab skala empati yang terdiri dari empat aspek, yaitu perspective taking (pengambilan secara spontan sudut pandang orang lain), fantacy (kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat dalam film-film, buku, maupun dalam permainan), empathic concern (orientasi seseorang terhadap orang lain berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan), personal distress (orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri meliputi perasaan cemas dan gelisah pada situasi interpersonal). Tinggi rendahnya empati seorang subyek tergantung pada tinggi rendahnya skor skala empati ini. Semakin tinggi skor subyek maka semakin tinggi pula tingkat empati subyek dan semakin rendah skor subyek maka semakin rendah pula tingkat empati subyek. 2. Cooperative Learning Cooperative learning terkandung pemahaman bahwa dalam belajar kooperatif tercipta kerjasama yang baik antar anggota team ada ketergantungan saling memerlukan yang positif (menanamkan rasa kebersamaan), tanggung jawab masing-masing anggota (setiap anggota memiliki sumbangan dan belajar), keterampilan hubungan antar person (komunikasi, keberhasilan, kepemimpinan, membuat keputusan, dan penyelesaian konflik), tatap muka menaikkan interaksi dan pengolahan data. Adapun aspek-aspek yang terdapat dalam empati antara lain: a. Saling Ketergantungan Positif b. Tanggung Jawab Perseorangan c. Tatap Muka

39 d. Komunikasi Antar Anggota e. Evaluasi Proses Kelompok Tinggi rendahnya cooperative learning seorang subyek tergantung pada tinggi rendahnya skor skala coopeartive learning ini. Semakin tinggi skor subyek maka semakin tinggi pula tingkat cooperative learning subyek dan semakin rendah skor subyek maka semakin rendah pula tingkat cooperative learning subyek. C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Karakteristik Subyek Penelitian Populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 10 Medan yang berlokasi di Jalan Letjend Djamin Ginting Km 4,5 Medan. Sementara itu, menurut Hadi (2000), sampel adalah bagian dari populasi. Sampel juga harus memiliki sedikitnya satu sifat yang sama agar dapat dilakukan generalisasi. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah: a. Siswa/i kelas VIII SMP N 10 Medan Dengan alasan, pelajar pada kelas ini telah mengenal dan melakukan cooperative learning sejak memasuki SMP, sehingga pengalaman akan metode belajar cooperative learning sudah betul-betul nyata dilakukan.

40 b. Usia siswa/i tahun Pada usia ini siswa berada pada fase perkembangan remaja di mana salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. (Hurlock, 1999). c. Siswa/i belajar dengan cooperative learning. Peneliti memilih sampel dengan cara memilih satu kelas yang nantinya akan menggunakan metode belajar cooperative learning. Peneliti selanjutnya menyesuaikan diri dengan jadwal belajar mengajar kelas tersebut dengan terlebih dahulu meminta ijin pada guru yang bersangkutan untuk melakukan penelitian. 2. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Hadi, 2000). Alasan penggunaan Purposive Sampling ini disebabkan karena, penelitian dilakukan terhadap sekelompok subyek berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VIII berjumlah 9 kelas dengan jumlah siswa keseluruhan 350 orang. Maka pada pelaksanaan uji coba alat ukur dan penelitian, dipilih 1 kelas yang akan menerapkan proses belajar cooperative learning. Berdasarkan pelaksanaannya di lapangan, pada uji coba alat ukur terpilih kelas VIIIB dan pada penelitian terpilih kelas VIIIA.

41 3. Jumlah Subyek Penelitian Jumlah subyek dalam penelitian ini direncanakan berjumlah siswa dan siswi kelas VIII sebanyak 39 orang dalam satu kelas dari populasi orang siswa. Banyak ahli riset menyarankan untuk mengambil sampel sebesar 10 % dari populasi, sebagai aturan kasar. Namun pertimbangan efisiensi sumber daya akan membatasi besarnya jumlah sampel yang dapat diambil (Azwar, 2004). D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Ukur yang Digunakan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis. Skala psikologis merupakan alat ukur aspek afektif yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2000). Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari dua skala, yaitu skala untuk mengukur empati dan skala untuk mengukur cooperative learning, yang digunakan dengan cara menyebarkan skala yang berisi sejumlah pernyataan yang telah disusun sedemikian rupa sehingga subyek penelitian dapat mengisinya dengan cermat. a. Skala Empati Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek-aspek empati yang dibuat oleh Davis (1983), yaitu: (1) Perspective Taking (PT) (2) Fantacy (FS)

42 (3) Empathic Concern (EC) (4) Personal Distress (PD) Skala empati ini menggunakan skala Likert. Masing-masing terdiri dari empat alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala ini disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai pilihan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot pernyataan mendukung (favorable) yaitu, SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk bobot pernyataan tidak mendukung (unfavorable) yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4. Tabel 1. Blue Print Skala Empati No. Aspek-aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1 Perspective Taking (PT) 1, 9, 17, 25, 33, 5, 13, 21, 29, 20 41, 49, 57, 65, 37, 45, 53, 61, , Fantacy (FS) 2, 10, 18, 26, 34, 42, 50, 58, 66, Empathic Concern (EC) 3, 11, 19, 27, 35, 43, 51, 59, 67, Personal Distress (PD) 4, 12, 20, 28, 36, 44, 52, 60, 68, 76. 6, 14, 22, 30, 38, 46, 54, 62, 70, 78. 7, 15, 23, 31, 39, 47, 55, 63, 71, 79. 8, 16, 24, 32, 40, 48, 56, 64, 72, 80. Jumlah Total Aitem Pada tabel 1. jumlah aitem yang akan dibuat pada skala empati ini adalah 80 aitem yang terdiri dari 40 mendukung (favorable) dan 40 aitem tidak mendukung (unfavorable). b. Skala Cooperative Learning Untuk mengukur variabel cooperative learning peneliti menggunakan metode observasi langsung tipe berstruktur di mana peneliti telah terlebih dahulu

43 mempersiapkan materi dan instrumen pengamatan yang akan digunakan. Instrumen pengamatan disajikan dalam bentuk skala di mana variabel penelitian diklasifikasikan secara rinci menjadi aitem-aitem berdasarkan aspek-aspeknya (Bungin, 2005). Skala cooperative learning ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang mempengaruhi cooperative learning yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, evaluasi proses kelompok. Nilai pilihan yang diberikan untuk penampilan yang dilakukan bergerak dari 1 sampai 3. Nilai 1 diberikan jika perilaku subyek tergolong tidak pernah, nilai 2 diberikan jika perilaku subyek satu kali, dan nilai 3 diberikan jika perilaku subyek lebih dari satu kali. Tabel 2. Blue Print Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning No. Aspek-aspek Indikator Perilaku Nomor Aitem 1. Saling Ketergantungan Positif 2. Tanggung Jawab Perseorangan Individu bertanya kepada teman-temannya sekelompok untuk memahami pelajaran. Individu menolong temannya dengan menjelaskan atau mengulang pelajaran. Individu membangun ide-ide orang lain. Individu menghindari menjatuhkan teman atau menyalahkan temannya yang lain ketika ada masalah. Individu tetap fokus pada tugas selama diskusi kelompok berlangsung. Individu memenuhi perannya sebagai organizer ataupun reporter. Pembagian tugas yang adil untuk setiap individu. Individu dengan seksama memikirkan tentang ide-ide Total

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Empati Empati adalah sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel adalah atribut seseorang atau obyek yang mempuanyai variasi antara orang yang satu dengan lainnya maupun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang menghubungkan antara penggunaan situs jejaring sosial (X) dengan empati (Y). Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : YUNITA AYU ARDHANI F 100 060

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Variabel tergantung Variabel bebas : Empati : Bermain peran (roleplay) B. Definisi Operasional 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah/madrasah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. sekolah/madrasah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad XXI ini, kita perlu menelaah kembali praktek pembelajaran di sekolah/madrasah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan orang yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti. bertujuan untuk menghibur. Seiring berjalannya waktudrama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti. bertujuan untuk menghibur. Seiring berjalannya waktudrama BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik 1. Sosiodrama a. Pengertian Sosiodrama Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Pada dasarnya, drama

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tipe Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tipe Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pendekatan BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan di uraikan tentang tipe penelitian, identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang II. KAJIAN PUSTAKA A. Aktivitas Belajar Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk mengembangkan dirinya agar dapat menghadapi segala permasalahan yang timbul pada diri manusia. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: SATRIA ANDROMEDA F 100 090 041 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN Dahlia Novarianing Asri* Tyas Martika Anggriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Sehubungan dengan pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Sehubungan dengan pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut sumber

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut sumber I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memegang peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut sumber daya yang lebih berkualitas.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Dalam melakukan penelitian, metode penelitian sangat erat kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kuantitatif dan (b). Penelitian kualitatif (Azwar, 2007: 5). Dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kuantitatif dan (b). Penelitian kualitatif (Azwar, 2007: 5). Dalam 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian dapat diklasifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang. Dilihat dari pendekatan analisisnya, penelitian dibagi atas dua macam, yaitu:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Istilah empati berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala psikologis, istrumen skala psikologis ini berjumlah tiga skala. Subyek penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu kata efektif juga dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu kata efektif juga dapat 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Efektivitas Pembelajaran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu

Lebih terperinci

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang HUBUNGAN KELEKATAN DAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang ABSTRAK. Kelekatan (Attachment) merupakan hubungan emosional antara seorang anak dengan pengasuhnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah Penelitian SMU N 1 Getasan adalah salah satu sekolah yang ada di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan yang beralamat di Jl. Raya Kopeng KM. 08 Getasan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti akan mengetahui hubungan pola asuh dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada remaja akhir, sehingga pendekatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyatakan bahwa pikiran anak seperti kertas kosong yang putih dan siap

I. PENDAHULUAN. menyatakan bahwa pikiran anak seperti kertas kosong yang putih dan siap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pendidikan paradigma lama mengenai proses belajar mengajar bersumber pada teori (atau lebih tepatnya asumsi) tabula rasa John Locke yang menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Makna Belajar Belajar merupakan proses perkembangan yang dialami oleh siswa menuju kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. laku peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu berdasarkan pengalaman dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. laku peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu berdasarkan pengalaman dan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Belajar merupakan suatu proses yang membawa perubahan tingkah laku peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu berdasarkan pengalaman dan latihan terus menerus.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai (A) Tipe Penelitian (B). Identifikasi Variabel Penelitian, (C). Definisi

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai (A) Tipe Penelitian (B). Identifikasi Variabel Penelitian, (C). Definisi BAB III METODE PENELITIAN Pembahasan pada bagian metode penelitian ini akan menguraikan mengenai (A) Tipe Penelitian (B). Identifikasi Variabel Penelitian, (C). Definisi Operasional Penelitian, (D). Subjek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. juga mengalami sehingga akan menyebabkan proses perubahan tingkah laku pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. juga mengalami sehingga akan menyebabkan proses perubahan tingkah laku pada II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya. Belajar bukan hanya sekedar mengetahui, tetapi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang menguraikan tentang variabel penelitian, definisi operasional, metodologi pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati tercipta dengan sifat yang unik, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan digilib.uns.ac.id 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Pengertian Empati Menurut Watson dkk. (dalam Brigham, 1991), empati merupakan suatu kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan moral bukanlah sebuah gagasan baru. Sebetulnya, pendidikan moral sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Sejarah di negara-negara di seluruh

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. peneliti memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penelitiannya.

BAB III METODE PENELITIAN. peneliti memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Menurut Kerlinger (2000:483) rancangan penelitian merupakan rencana dan stuktur penyelidikan yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Subjek SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya barat, tepatnya di Jalan Manukan Wasono. SMK ini berjumlah dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku siswa akibat adanya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku siswa akibat adanya II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku siswa akibat adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, kemauan, minat, sikap, kemampuan untuk berpikir logis, praktis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian. Dalam metode penelitian dijelaskan tentang urutan suatu penelitian yang dilakukan yaitu dengan teknik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha untuk membekali peserta didik dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha untuk membekali peserta didik dengan A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak 33 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak menggunakan angka-angka,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999). BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kematangan Emosional 2.1.1. Pengertian Kematangan Emosional Kematangan emosional dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK 1. Definisi Perilaku Altruistik Menurut Baron (2005) perilaku altruistik adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. variabel keaktifan bertanya dengan berpikir kreatif siswa. dan berpikir kreatif sebagai variabel dependen (terikat).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. variabel keaktifan bertanya dengan berpikir kreatif siswa. dan berpikir kreatif sebagai variabel dependen (terikat). 62 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif korelasional dimana penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian yang ditujukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan menunjukkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada prinsipnya proses belajar yang dialami manusia berlangsung sepanjang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada prinsipnya proses belajar yang dialami manusia berlangsung sepanjang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Makna Belajar Pada prinsipnya proses belajar yang dialami manusia berlangsung sepanjang hayat, artinya belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah

Lebih terperinci

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ S K R I P S I Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi OLEH : FINANDA SARAH SIREGAR 031301028 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya

LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya 8 II. LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Cooperative Learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dikemukakan sebelumnya, maka variabel-variabel yang akan digunakan. B. Definisi Operasional pada Wanita Pasca Melahirkan

BAB III METODE PENELITIAN. dikemukakan sebelumnya, maka variabel-variabel yang akan digunakan. B. Definisi Operasional pada Wanita Pasca Melahirkan BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. 1. Variabel Bebas : Keharmonisan Keluarga. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. 1. Variabel Bebas : Keharmonisan Keluarga. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Dalam penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: 1. Variabel Bebas : Keharmonisan Keluarga 2. Variabel Tergantung : Harga Diri B. Definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 44 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Metode penelitian korelasional digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Ilmu

I. PENDAHULUAN. rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Ilmu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. variabel-variabel yang diambil dalam penelitian ini.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. variabel-variabel yang diambil dalam penelitian ini. BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk menguji hipotesis penelitian, sebelumnya akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Belajar Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas dan kredibelitas sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terkadang dalam prakteknya, anak tidak selalu memahami arti. mendengarkan ceramah dari guru, mengerjakan tugas, dan belajar

BAB I PENDAHULUAN. Terkadang dalam prakteknya, anak tidak selalu memahami arti. mendengarkan ceramah dari guru, mengerjakan tugas, dan belajar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar adalah proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Proses Belajar - Mengajar a. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu kegiatan yang membawa perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai

Lebih terperinci

Upaya Meningkatkan Perilaku Empati Anak Melalui Teknik Two Stay Two Stray pada Anak Kelompok B Tk Islam Bakti IX Kerten Tahun Pelajaran 2013/2014

Upaya Meningkatkan Perilaku Empati Anak Melalui Teknik Two Stay Two Stray pada Anak Kelompok B Tk Islam Bakti IX Kerten Tahun Pelajaran 2013/2014 Upaya Meningkatkan Perilaku Empati Anak Melalui Teknik Two Stay Two Stray pada Anak Kelompok B Tk Islam Bakti IX Kerten Tahun Pelajaran 2013/2014 Rita Yuliani¹, Samidi², Ruli Hafidah¹ ¹Program Studi PG-PAUD,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai variabel penelitian, definisi operasional, alat ukur penelitian, populasi, sampel, teknik penentuan sampel, validitas, reliabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti yaitu kecerdasan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti yaitu kecerdasan BAB III METODE PEELITIA A. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti yaitu kecerdasan emosional dan komunikasi interpersonal. Untuk jenis penelitian kuantitatif ini, maka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Konsep Belajar Pada dasarnya belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat Indonesia. dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat Indonesia. dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Karena pendidkan merupakan saran yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel

Lebih terperinci

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization Abstrak. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian (Usman, 1996: 16).

BAB III METODE PENELITIAN. peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian (Usman, 1996: 16). 46 BAB III METODE PENELITIAN Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi ialah suatu pengkajian dalam memperlajari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan sosial (IPS) di tingkat sekolah dasar (SD). Pembelajaran IPS

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan sosial (IPS) di tingkat sekolah dasar (SD). Pembelajaran IPS 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini berawal dari keresahan penulis terhadap pembelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) di tingkat sekolah dasar (SD). Pembelajaran IPS masih dianggap

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. hasil belajar. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku

LANDASAN TEORI. hasil belajar. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku LANDASAN TEORI A. Hasil Belajar Bahasa Indonesia 1. Definisi Hasil belajar Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur, yaitu: tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman (proses)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal di

Lebih terperinci