BAB II KAJIAN PUSTAKA. berpori-pori atau saluran. Spons sebagai invertebrata laut multi sel yang fungsi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. berpori-pori atau saluran. Spons sebagai invertebrata laut multi sel yang fungsi"

Transkripsi

1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spons Spons merupakan kelompok porifera yaitu hewan yang mempunyai tubuh berpori-pori atau saluran. Spons sebagai invertebrata laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana. Biota laut ini dikenal dengan filter feeders, yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Makanan spons berupa zooplankton atau hewan kecil dan bakteri yang terbawa oleh arus serta masuk ke dalam tubuhnya (Amir, 1996). Tubuh spons terdiri dari jelly seperti mesohyl terjepit di antara dua lapisan tipis sel. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan mempertahankan aliran air konstan melalui badan spons untuk mendapatkan makanan dan oksigen ataupun untuk menghilangkan limbah (Rosmiati dan Suryati, 2001). Larva spons dapat menyebar secara luas, terbawa arus dan bergerak sangat aktif, tetapi setelah dewasa hidup melekat dan menetap pada karang batu dan dasar laut Morfologi dan fungsi tubuh spons Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung mengalami pertumbuhan yang pendek atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dan jenis yang sama pada lingkungan yang 7

2 8 terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal. Spons pada jenis yang sama pertumbuhannya cenderung semakin besar dan semakin tinggi dengan bertambahnya kedalaman laut (Amir, 1992). Spons secara morfologi berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis tidak teratur serta tubuhnya berpori (ostium). Spons membuat kerak pada batu, cangkang, tongkat atau tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Tubuh spons asimetri (tidak beraturan), meskipun ada yang simetri radial, berbentuk seperti tabung, vas bunga, mangkuk, atau tumbuhan, memiliki warna yang bervariasi. Dahuri (2003) melaporkan beberapa jenis spons ada yang bercabang seperti pohon, berbentuk seperti sarung tinju dan cawan sedangkan yang lainnya berbentuk kubah. Spons banyak dijumpai di laut dengan bentuk dan warna yang sangat beraneka dan sangat menarik, hal ini disebabkan oleh zooxanthellae yang hidup dalam jaringan tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah. Struktur tubuh spons terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, mesoglea dan endodermis. Epidermis merupakan lapisan luar yang terdiri atas sel-sel epitelium berbentuk pipih (pinakosit). Pinakosit berfungsi sebagai pelindung. Endodermis terdiri atas sel berflagela yang berfungsi mencerna makanan dan

3 9 bercorong yang disebut sel leher atau koanosit. Struktur sel spons ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Struktur Sel Spons a. Oskula, b. Sel penutup (pinakosit), c. Sel amobosit, d. Sel pori (porosit), e. Pori saluran masuk (ostia), f. Telur, g. Spikula triaxon, h. Mesohil, i. Sel mesenkim, j. Bulu cambuk (flagela), k. Sel kolar (choanosit), 1. Sklerosit, m. Spikula monoaxon (Amir, 1996) Makanan spons berupa bahan-bahan organik dan organisme kecil yang masuk bersama air melalui pori-pori tubuhnya. Makanan ditangkap oleh flagela pada koanosit. Flagela yang bergerak pada koanosit berfungsi untuk membentuk aliran air satu arah sehingga air yang mengandung makanan dan oksigen masuk melalui pori ke spongosol. Di spongosol makanan ditelan secara fagositosis dan oksigen diserap secara difusi oleh koanosit. Sisa pembuangan dikeluarkan melalui lubang yang disebut oskulum. Zat makanan dan oksigen selain digunakan oleh

4 10 koanosit, sebagian juga ditransfer secara difusi ke sel-sel yang selalu bergerak seperti amoeba, yaitu sel amoebosit. Di antara lapisan epidermis dan endodermis terdapat bahan gelatin yang disebut mesoglea. Mesoglea terdiri atas beberapa macam sel, yakni: a. Sel amoebosit, yaitu sel yang berfungsi mengangkut zat makanan dan zat sisa metabolisme dari satu sel ke sel yang lain b. Sel skleroblas, yaitu sel yang fungsinya membentuk spikula yang bisa terbuat dari zat kapur, kersik, atau sponging c. Porosit, sel yang fungsinya membuka dan menutup pori-pori d. Arkeosit, sel amebosit embrional yang tumpul dan dapat membentuk sel-sel reproduktif e. Spikula, sel pembentuk tubuh Porifera memiliki saluran air yang berfungsi sebagai jalan masuknya air ke spongosol lalu dari spongosol dikeluarkan melalui oskulum. Saluran ini memiliki tiga bentuk yaitu: sikon, askon dan leukon. Tipe saluran air pada spons ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Sistem Saluran Air Pada Spons (a) Askon; (b) Sikon; (c) Leukon

5 11 a. Askon, tipe ini adalah tipe paling sederhana. Bentuk spons seperti jambangan bunga. Air yang masuk melewati saluran yang langsung terhubung dengan spongosol lalu keluar melalui oskulum. Saluran ini pendek dan tidak memiliki cabang maupun lekuk-lekuk. Contoh : Leucosolenia sp. b. Sikon, pada tipe ini air yang melalui ostium akan masuk ke spongosol melalui saluran yang bercabang-cabang. Setelah itu air akan keluar melalui oskulum. Tipe ini dimiliki oleh Scypha c. Leukon (ragon), tipe ini adalah tipe yang paling kompleks. Air masuk melalui ostium menuju ke rongga-rongga bulat yang saling berhubungan. Dari rongga ini barulah mengalir menuju spongosol dan keluar melalui oskulum Klasifikasi spons Menurut beberapa pakarnya, spons termasuk filum porifera yang dibagi dalam tiga kelas, seperti di bawah ini: Hexactinellida (Hyalospongiae) Hexactinellida (dalam bahasa Yunani, hexa = enam) atau Hyalospongiae (dalam bahasa yunani, hyalo = kaca/transparan, spongia = spons), disebut juga spons gelas. Kelas ini dibedakan menjadi dua subkelas, empat ordo, 19 famili dan 113 genus. Hexactinellida memiliki spikula yang tersusun dari silika. Ujung spikula berjumlah enam seperti bintang. Semua spons kaca berdiri tegak dan memiliki struktur khusus di pangkalnya untuk melekat kuat pada dasar laut. Secara morfologi bentuknya radial simetris, biasanya silinder, tetapi ada juga yang

6 12 berbentuk cangkir, guci atau bercabang. Tubuh spons ini tidak memiliki permukaan epitel. Hexactinellida kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau mangkuk. Tinggi tubuhnya rata-rata cm dengan saluran tipe sikonoid. Spons ini hidup soliter di laut pada kedalaman m. Hexactinellida memiliki rongga sentral yang luas (atrium) dimana air melewati rongga tersebut, spikula yang berbentuk seperti anyaman topi yang rapat melapisi osculum pada beberapa spesies. Contoh Hexactinellida adalah Euplectella yang terlihat seperti Gambar 2.3. Gambar 2.3 Spons Euplectella Hexactinellida hidup pada material detritus makroskopik, mengkonsumsi bahan selular, bakteri dan partikel abiotik yang sangat kecil. Hexactinellida kurang selektif terhadap makanan yang mereka telan (setiap makanan yang cukup kecil untuk menembus syncytium dicerna oleh mereka). Hal ini disebabkan oleh spons Hexactinellida memiliki sedikit membran luar dan kurangnya ostia, sehingga tidak dapat mengontrol seberapa banyak air yang melewati tubuh mereka.

7 Calcarea (Calcisspongiae) Calcarea (dalam latin, calcare = kapur) atau Calcisspongiae (dalam latin, calci = kapur, spongia = spons) memiliki rangka yang tersusun dari kalsium karbonat. Kelas ini terdiri atas dua subkelas, empat ordo, 19 famili dan 98 genus. Spons dari kelas ini memiliki jumlah kurang dari 10 % dari semua spons yang ada di laut (Amir dan Budiyanto, 1996). Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk seperti vas bunga, dompet, kendi, atau silinder. Tinggi tubuh kurang dari 10 cm. Struktur tubuh ada yang memiliki saluran air askonoid, sikonoid, atau leukonoid. Calcarea hidup di laut dangkal, contohnya Sycon, Clathrina dan Leucettusa lancifer. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula triaxon. Kelas Calcarea terlihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Spons Kelas Calcarea Demospongiae Demospongiae (dalam bahasa Yunani, demo = tebal, spongia = spons) memiliki rangka yang tersusun dari serabut spongin. Demospongiae bertulang lunak karena tidak memiliki rangka, jika ada yang memiliki rangka terdiri atas serabut spongin dengan spikula dari silikat atau spongia. Tubuhnya berwarna

8 14 cerah karena mengandung pigmen yang terdapat pada amoebosit. Fungsi warna diduga untuk melindungi tubuhnya dari sinar matahari. Bentuk tubuhnya tidak beraturan dan bercabang. Tinggi dan diameternya ada yang mencapai lebih dari satu meter. Seluruh Demospongiae memiliki saluran air tipe leukonoid. Habitat Demospongiae umumnya di laut dalam maupun dangkal, meskipun ada yang di air tawar. Demospongiae dibagi menjadi tiga subkelas, 13 ordo, 71 famili dan genus. Demospongiae merupakan kelas terbesar yang mencakup 90% dari seluruh total spesies yang hidup di dunia. Kelas Demospongiae adalah spons yang paling banyak ditemukan dan penyebarannya luas, jenis-jenisnya paling beragam dan relatif banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti. Salah satu contoh spons dari kelas Demospongiae adalah genus Haliclona Grant, Taksonomi spons ini sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Sub kelas Ordo Subordo : Animalia : Porifera : Demospongiae : Ceractinomorpha : Haplosclerida : Haplosclerina Familia : Chalinidae Gray, 1867 Genus : Haliclona Grant, 1836

9 15 Genus Haliclona Grant, 1836 berbentuk lembaran polimorpik, seperti bantal tipis, terdapat percabangan, dengan cabang-cabang anastomosing. Tumbuh dari kerak dan tersebar di daerah bebatuan. Warna orange, krem, coklat muda. Batas antara zona warna biasanya tajam, terdapat karakter diagnostik berupa: tidak berbau, konsistensi keras, rapuh, mampat, permukaan halus, aperture dengan oskula secara teratur tersebar disepanjang cabang, biasanya pada gundukan kecil, tidak ada kontraksi, skeleton pada permukaan kerangka sangat teratur dapat berupa retikuler, dan unispikuler, pada bagian interior berupa jaringan polyspicular padat, dengan jumlah spongin yang cukup, terutama pada nodus jaring. Identitas: cukup keras, bercabang, oskula yang terstruktur tetap terbuka ketika spons diawetkan, kerangka biasanya Haplosclerid (Ackers et al., 2007). Genus Haliclona Grant, 1836 dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Spons Genus Haliclona Grant, 1836 (Sumber: Dokumen Pribadi)

10 Kandungan Kimia Spons dan Aktivitas Sebagai Antikanker Invertebrata laut mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut. Oleh karena itu, untuk mempertahankan diri dilakukan dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense) (Murniasih, 2005). Motomasa (1998) menyebutkan sistem biodefense yang dikembangkan oleh spons berupa zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan obat. Nybakken (1993) melaporkan bahwa spons memiliki kemampuan untuk menyaring bakteri dalam lingkungannya hingga 77% melalui utilitas makanan yang dicerna secara enzimatik. Senyawa bioaktif yang dimiliki oleh spons kemungkinan bermanfaat dalam proses pencernaan, sehingga senyawa bioaktif yang diperoleh diperkirakan bervariasi sesuai dengan kebiasaan makan masingmasing jenis spons (Hanani et al., 2005). Spons mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih dan Rachmaniar, 1999). Ekstrak metabolit sekunder dari spons mengandung senyawa bioaktif yang diketahui mempunyai sifat aktifitas seperti sitotoksik dan antitumor (Kobayashi dan Rahmat, 1999), antivirus dan antibakteri (Munro et al., 1989), anti HIV dan antiinflamasi (Haefner, 2003), antifungi (Muliani et al., 1998), antileukemia (Trianto, 2005), antibiofouling (Suryati et al., 2000), penghambat enzim (Soest dan Braekman, 1999).

11 17 Beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari biota spons telah terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker. Berikut adalah senyawa yang diisolasi dan aktivitas sitotoksik yang dimiliki oleh spons: a) Spongouridin dan spongothymidine, adalah senyawa yang disintesa dari spons Cryptotetis crypta yang mempunyai keaktifan sitotoksik terhadap sel karsinoma pada manusia. Senyawa ini merupakan sebuah nukleosida yang berbeda dari biasanya dan dapat berfungsi sebagai terapi terhadap nukleosida virustatik Ara-A. Kedua senyawa ini merupakan zat aktif terhadap virus harpes simplex (Bergman dan Feeny, 1951). Gambar 2.6 Struktur Kimia Senyawa Spongouridine dan Spongothymidine b) Adociaquinon B diisolasi dari spons Xestospongia sp. Senyawa ini aktif dalam menghambat pertumbuhan sel tumor manusia (Human Colon Tumor) (Swersey, 1988). Di bawah ini adalah gambar struktur kimia dari senyawa Adociaquinon B. O O 2 S O O Gambar 2.7 Struktur Adociaquinon B O N H

12 18 c) Nursid et al. (2006) melaporkan bahwa fraksi metanol spons Petrosia nigricans dari Perairan Gosong Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memiliki aktifitas sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC 50 sebesar 11,9 μg/ml. d) Bistratamide D diisolasi dari senyawa Lissoclinum bistratum. Senyawa ini aktif menghambat sel tumor HCT (Human Colon Tumor) (Concepcion et al., 1995). Gambar 2.8 Struktur Bistratamide D e) Spons Hyrtios erecta menghasilkan spongistatins yang merupakan metabolit yang paling penting dari spons ini. Senyawa spongistatins merupakan senyawa antikanker. f) Makaluvamine N, senyawa ini diisolasi dari Zyzzyafiiliginosa dikumpulkan dari Filipina, mempunyai keaktifan menghambat aktifitas katalitik topoisomerase II (Foster et al., 1992). Berikut ini adalah struktur kimia dari senyawa makaluvamine N.

13 19 Gambar 2.9 Struktur Makaluvamine g) Alluri (2012) dalam jurnal Cytotoxic Activity of Methanol and Dichloromethane Extracts Soft Halicona Species menyebutkan ekstrak metanol dan diklorometana spons spesies Halicona lunak dapat memberikan efek menghambat sel HeLa. Persentase kelangsungan hidup sel Hela ditentukan menggunakan metode kolorimetri. Sitotoksik sel Hela dihitung dengan uji MTT. Persentase penghambatan sel HeLa dari ekstrak metanol 61,40 % dan ektrak diklorometana 46,98 %. h) Dua senyawa golongan alkaloid isoquinolin diisolasi dari fraksi sitotoksik spons Haliclona sp. Struktur senyawa tersebut terdiri dari 1-hydroxymethyl-7- methoxyisoquinolin-6-ol dan mimosamycin. Mimosamycin adalah sitotoksin utama dengan IC 50 sekitar 10 µg/ml terhadap melanoma dan kultur sel tumor ovarium manusia (Rashid et al., 2001). i) Dua senyawa baru, makrolida yang bersifat sitotoksik yaitu salicylihalamida A dan B diisolasi dari spons Haliclona sp (Erickson, 1997). Kelas makrolida ini menggabungkan asam salisilat, cincin lakton dan rantai amida. Profil skrining grafik salicylihalamida A tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap profil senyawa antitumor yang dikenal dalam database agen standar NCI, sehingga mendukung kesimpulan bahwa salicylihalamides merupakan

14 20 senyawa baru yang berpotensi penting untuk optimasi antitumor lead dan penyelidikan in vivo. Kelas baru obat antikanker yang diisolasi dari spons telah terbukti memiliki aktivitas sitotoksik. Hussain et al. (2011) melaporkan senyawa yang diisolasi dari spons dan mekanisme reaksinya tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Senyawa Hasil Isolasi dari Spons (Hussain et al., 2011) No Golongan Senyawa Senyawa Kimia 1. Alkaloid Aaptamin 2. Steroid 3. Alkaloid Agosterol A dari spongia sp. Garam alkilpiridinim 4. Alkaloid Bastadin 6 5. Alkaloid Kortistatin A 6. Makrolida Diktiostatin-1 7. Poliketida Discodermolida 8. Poliketida Onnamida A 9. Makrolida Pelorusida A Mekanisme Reaksi Induksi gen p21 dan penghambatan terhadap siklus sel G2/M Agosterol A menghambat fungsi MRPI (trans-membrane glycol-protein) Menghambat apoptosis dan mengurangi adhesi sel Menghambat angiogenesis invitro dan invivo yang melibatkan apoptosis Menghambat angiogenesis secara selektif Pengikatan tubulin oleh situs toksoid dan memiliki efek antiproliferasi yang sebanding dengan discodermolida Mengikat residu asam amino dalam lingkaran S9 S10 b-tubulin Menghambat sintesis protein dan apoptosis pada sel HeLa Memiliki efek sinergetik dengan situs taksoid obat.

15 Teknik Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder Ekstraksi Ekstraksi adalah cara untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan organik dan daya penyesuaian dengan tiga macam metode ekstraksi (Stahl, 1985) yaitu: 1) Maserasi Maserasi digunakan dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang sesuai, baik murni maupun campuran. Setiap waktu tertentu filtratnya diambil dan residunya ditambahi pelarut baru. Demikian seterusnya sampai semua metabolit yang diperkirakan ada dalam sampel tersebut terekstrak. Rendaman disimpan agar terlindung dari cahaya langsung sehingga mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna. 2) Sokletasi Metode sokletasi digunakan untuk mengekstrak komponen kimia dengan menggunakan alat soklet. Penggunaan soklet dapat menghemat pelarut yang digunakan. Alat ini bekerja cukup sederhana dengan cara menguapkan pelarut (dalam labu yang direndam penangas air pada suhu tertentu), lalu uap pelarut yang naik ke bagian atas soklet akan didinginkan oleh air dingin yang mengalir secara terus menerus sehingga uap pelarut tersebut mengembun kembali dan mengalir ke bawah membasahi atau merendam sampel. Dengan demikian sampel yang akan diekstraksi terendam secara kontinyu di dalam pelarut yang selalu dalam keadaan bersih.

16 22 Cara sokletasi baik digunakan untuk mengektrak komponen kimia yang kandungannya dalam jumlah yang sedikit. Swantara (2005) menyebutkan kelemahan metode sokletasi adalah adanya perlakuan suhu tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya proses degradasi atau penguraian senyawa-senyawa dalam ekstrak. 3) Perkolasi Perkolasi digunakan dengan cara melewatkan pelarut tetes demi tetes pada sampel yang diekstrak. Pelarut yang digunakan sebaiknya tidak mudah menguap. Pada metode ini dibutuhkan pelarut yang lebih banyak. Hasil ekstraksi dari ketiga metode berupa filtrat. Setelah pelarut diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum akan menghasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan. Pada umumnya ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal disebut ekstrak kasar (crude extract) Metode pemisahan dan pemurnian Pemisahan kandungan kimia dari suatu sampel dapat dilakukan dengan cara berikut: 1) Partisi Pemisahan kandungan senyawa organik pada tahap awal biasanya dilakukan dengan metode partisi, yang bertujuan untuk mengelompokkan senyawa-senyawa yang terdapat di dalam ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Umumnya partisi dimulai dengan pelarut nonpolar seperti n- heksana atau petroleum eter, kemudian dilanjutkan dengan pelarut semipolar seperti kloroform, etil asetat atau aseton dan terakhir dengan pelarut polar seperti

17 23 metanol atau n-butanol. Senyawa-senyawa nonpolar akan larut ke dalam pelarut nonpolar sedangkan senyawa-senyawa polar akan larut ke dalam pelarut polar (Sudjadi, 1992). Teknik yang paling umum untuk metode partisi menggunakan corong pemisah dengan memasukkan dua pelarut yang saling tidak tercampur. Untuk senyawa-senyawa yang berwarna, partisi dihentikan bila ekstrak terakhir sudah tidak berwarna. Sedangkan untuk senyawa yang tidak berwarna, partisi dihentikan setelah tiga sampai empat kali penggantian pelarut (Sudjadi, 1992). 2) Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Pemisahan terjadi karena adanya perbedaan afinitas masing-masing komponen terhadap fase diam dan fase gerak. Jenis interaksi yang terjadi pada teknik ini adalah adsorpsi. Senyawa yang teradsorpsi lebih kuat dalam fase diam tidak akan bergerak jauh dibandingkan dengan senyawa yang teradsorpsi lebih lemah. Pemisahan secara KLT memiliki kelebihan yaitu peralatan yang digunakan sederhana, waktu analisis cepat, ketajaman pemisahan yang besar, kepekaan yang tinggi serta hanya menggunakan sampel dalam jumlah sedikit (Sudjadi, 1992). Campuran yang akan dipisahkan secara KLT berupa larutan yang ditotolkan berupa bercak. Setelah pelat diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi fase gerak yang sesuai, pemisahan komponen akan terjadi. Setelah elusi selesai, noda diamati dengan lampu UV atau pereaksi penampak noda

18 24 (Anwar, 2004). Noda-noda yang terbentuk diberi tanda dan karena pengaruh adsorpsi masing-masing senyawa berbeda-beda, maka hambatan pergerakan juga berbeda. Besarnya hambatan ditentukan dengan harga Retardation factor (Rf) (Gritter et al., 1991; Sudjadi, 1992). Rf = Jarak tempu masing masing komponen Jarak tempu pelarut Kromatografi lapis tipis dapat digunakan dengan dua tujuan. Pertama, digunakan sebagai metode untuk tujuan kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua, digunakan untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al., 1991). 3) Kromatografi Kolom Kromatografi kolom adalah teknik kromatografi yang didasarkan pada pemisahan komponen senyawa organik karena adanya perbedaan serapan masingmasing komponen zat pada fase diam. Sebagai fase diam biasanya digunakan silika atau alumina. Pada proses pemisahan ini, kolom diletakkan pada posisi vertikal dan dimasukkan glasswool untuk menyangga zat penyerap yang digunakan. Selanjutnya dimasukkan fase gerak terbaik yang diperoleh dari hasil KLT. Fase gerak dicampur dengan silika gel, diaduk hingga homogen dan menjadi bubur. Bubur ini dimasukkan ke dalam kolom sambil mengalirkan fase gerak sampai terjadi pemampatan sempurna. Senyawa yang akan dipisahkan bergerak karena adanya gaya gravitasi bumi. Zat yang akan dianalisis dimasukkan ke dalam kolom dengan pipet tetes melalui bagian atas kolom, kemudian dialiri fase gerak yang akan membawa

19 25 komponen-komponen turun. Komponen yang diserap lemah oleh fase diam akan keluar lebih cepat bersama fase gerak, sebaliknya komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lambat. Komponen-komponen keluar satu per satu dan dapat ditampung pada wadah yang berbeda-beda. Komponen dianalisis dengan KLT, dan komponen yang memiliki pola noda dengan Rf yang sama dapat digabungkan dalam satu fraksi (Sastroamidjojo, 1991). 2.4 Metode Analisis Senyawa Bahan Alam Identifikasi senyawa bahan alam dapat dilakukan dengan uji fitokimia dan kromatografi gas-spektroskopi massa Uji fitokimia Uji fitokimia dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi golongan pada piring tetes atau dengan teknik penyemprotan pada pelat KLT. Pengamatan pada pelat KLT dilakukan di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm. Pengamatan pada piring tetes dapat dilakukan dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Reaksi warna dapat memberikan informasi mengenai golongan senyawa berdasarkan warna yang khas yang diberikan oleh pereaksi spesifik dari senyawa tersebut. Dalam Harborne (1987) disebutkan pereaksi pendeteksi yang digunakan untuk uji fitokimia antara lain: a. Uji senyawa alkaloid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan alkaloid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Mayer. Reaksi dikatakan positif apabila terbentuk endapan berwarna putih. Selain itu, dapat juga digunakan pereaksi Wagner yang akan

20 26 membentuk endapan berwarna coklat dan pereaksi Dragendorff yang akan membentuk endapan berwarna merah jika isolate positif mengandung alkaloid. b. Uji senyawa flavonoid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan dengan test Bate Smith-Metcalfe, yaitu uji warna dengan menggunakan HCl pekat sebagai pereaksi dengan bantuan pemanasan, jika reaksinya positif akan memberikan warna merah. Test Wilstatter merupakan pengembangan dari teknik Bate Smith, yang selain penambahan HCl juga ditambahkan logam Mg. Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida. Uji warna yang lain yaitu menggunakan NaOH 10% yang reaksinya positif jika terjadi perubahan warna yang spesifik. c. Uji senyawa triterpenoid atau steroid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan triterpenoid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Buchard, dikatakan reaksi yang positif apabila terbentuk warna merah-ungu untuk triterpenoid dan warna biru hijau untuk steroid. Selain itu dapat juga digunakan pereaksi asam sulfat 10 % dalam alkohol yang akan memberikan hasil positif bila terbentuk warna ungumerah-coklat untuk triterpenoid dan warna biru-hijau bila positif steroid. d. Uji senyawa saponin Keberadaan senyawa saponin pada sampel bahan alam dapat diketahui dengan uji busa. Uji ini dilakukan dengan cara menambahan sedikit sampel dengan air, kemudian dipanaskan kira-kira lima menit dan dikocok kuat-kuat,

21 27 maka akan terbentuk busa stabil kira-kira sepuluh detik yang tidak akan hilang bila ditambahkan HCl encer. e. Uji senyawa polifenol Senyawa fenol dapat dideteksi dengan menggunakan pereaksi besi (III) klorida 1 % dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa Kromatografi gas merupakan jenis kromatografi dengan fase diam berupa cairan sedangkan fase geraknya adalah gas, sehingga sering disebut kromatografi gas-cair. Kromatografi gas bertujuan untuk analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kromatografi gas bertujuan untuk mengidentifikasi komponen senyawa yang terdapat dalam suatu cuplikan. Identifikasi kualitatif didasarkan pada perbandingan waktu retensi komponen yang tidak dikenal dengan waktu retensi komponen standar. Secara kuantitatif dengan membandingkan kelimpahan suatu puncak senyawa yang belum diketahui terhadap kelimpahan suatu puncak standar (Gritter et al., 1991). Pada GC-MS, alat kromatografi gas disambungkan dengan spektrometer massa sebagai detektor. Spektroskopi massa dapat digunakan untuk mengidentifikasi massa molekul relatif (Mr) suatu senyawa dengan membandingkan pola fragmentasi dengan pola fragmentasi senyawa standar. Dari data yang diperoleh, apabila terdapat kesamaan dapat dianggap bahwa senyawa tersebut kemungkinan sama atau mirip (Creswell, 1982).

22 Kanker Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan oleh kerusakan DNA, sehingga menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel yang disebabkan oleh zat karsinogen (Krishna dan Hayashi, 2000). Sel-sel kanker menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya (Tjay, 2002). Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu: a. Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen. Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya. b. Fase promosi: zat karsinogen tambahan diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel sehingga sel-sel rusak menjadi ganas. c. Fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Salah satu penyakit kanker adalah kanker serviks yang merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak ditakuti kaum wanita. Menurut para ahli kanker, kanker serviks termasuk salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan disembuhkan dari semua kanker. Kanker ini terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan vagina (Riono, 1999).

23 29 Kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus (HPV) terutama tipe 16, 18, 31, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58. HPV adalah virus DNA yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa. Faktor resiko lain dari kanker serviks diantaranya perilaku seksual, merokok, nutrisi dan perubahan sistem imun (Diananda, 2007). 2.6 Pengobatan Kanker Serviks Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, kemoterapi, terapi gen dan imunoterapi. a. Pembedahan Pada kanker in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure) atau konisasi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. b. Radioterapi (Terapi penyinaran) Radioterapi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih, rektum dan ovarium berhenti berfungsi.

24 30 c. Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Efek samping kemoterapi adalah terjadinya penurunan jumlah sel-sel darah (akan kembali normal sekitar seminggu kemudian), infeksi (ditandai dengan panas, sakit tenggorokan, rasa panas saat kencing, menggigil dan luka yang memerah, bengkak, dan rasa hangat), anemia, pendarahan seperti mimisan, rambut rontok, kadang ada keluhan seperti kulit yang gatal dan kering, mual dan muntah. Antikanker adalah senyawa kemoterapi yang digunakan untuk pengobatan kanker. Pertumbuhan sel kanker yang cepat dan tidak normal menyebabkan terapi kanker secara kimia ditujukan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Mekanisme antikanker dapat dibedakan menjadi: 1) Antikanker yang bekerja dengan cara mempengaruhi DNA atau biosintesis protein 2) Antikanker sebagai penghambat polimerisasi dan depolimerasi pada mikrotubula 3) Antikanker sebagai penghambat enzim 4) Antikanker sebagai pengikat khas dan pengubah reseptor

25 31 5) Antikanker produk alami, mekanisme kerjanya dengan mengikat tubuli dan menghambat pembentukan mikrotubuli pada siklus mitosis, sehingga proses metaphase terhenti (Siswandono, 1995). Proliferasi sel dikendalikan oleh faktor pertumbuhan yang mengikat reseptor permukaan sel yang terhubung ke molekul sinyal. Untuk mempelajari induksi dan inhibisi proliferasi sel pada beberapa model in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan proliferasi assay kit. Salah satunya adalah MTT cell proliferasi assay. Pengujian dengan menggunakan MTT didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium yang berwarna kuning dan larut dalam air menjadi kristal biru keunguan (formazan) yang tidak larut dalam air. 2.7 Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach Uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Leach merupakan metode skrining awal untuk menentukan sifat sitotoksik suatu ekstrak ataupun senyawa. Penggunaan larva Artemia salina Leach sebagai bioindikator pertama kali dilakukan pada tahun 1956, kemudian penggunaannya meluas untuk toksintoksin alami dan sebagai skrining umum untuk substansi bioaktif yang terdapat pada ekstrak tanaman (Meyer et al., 1982). Artemia salina Leach termasuk organisme omnivora dan bersifat non selective feeder sehingga semua bahan yang masuk ke dalam tubuhnya dianggap sebagai makanan, begitu juga dengan senyawa toksik. Mekanisme kematian Artemia salina Leach diperkirakan berhubungan dengan fungsi senyawa yang terkandung pada ekstrak yang dapat menghambat daya makan (antifeedant). Cara

26 32 kerja senyawa-senyawa tersebut adalah bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh Artemia salina Leach, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut. Hal ini mengakibatkan Artemia salina Leach gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya sehingga akan mati kelaparan (Rita et al., 2008). Metode pengujian dengan larva Artemia salina Leach merupakan cara yang paling efektif dan sederhana karena ketersediaan telur-telur udang yang mudah menetas, pertumbuhannya cepat dan relatif mudah pengaturan populasinya pada kondisi laboratorium. Uji ini menggunakan larva Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama 24 jam. Dalam setiap vial konsentrasi, percobaan ini diulang sebanyak 3 kali. Data mortalitas larva selanjutnya dianalisis untuk memperoleh nilai LC 50 (konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% larva). Apabila LC 50 kurang dari 1000 ppm, dikatakan mempunyai potensi sebagai antikanker (Steven, 1993 dan Meyer, 1982). 2.8 Uji in vitro terhadap Sel HeLa Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada tahun 1951 (Amalia, 2008). Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel.

27 33 Penggunaan kultur sel untuk pengujian sitotoksik pada penentuan aktivitas antikanker didasarkan atas beberapa alasan. Diantaranya dengan menggunakan kultur sel, mekanisme toksisitas biokimia dapat dikerjakan dengan lebih efektif karena kondisi lingkungan sel mudah dikontrol. Metode in vitro sebagai alternatif pengganti uji menggunakan hewan uji mempunyai relevansi yang cukup baik untuk mendeteksi potensi suatu obat pada manusia. Wilson (2000) menyebutkan bahwa pengujian secara in vitro menggunakan kultur sel memiliki kelebihan dibandingkan secara in vivo yaitu bahan uji yang dibutuhkan lebih sedikit, murah, dan waktu pengujian relatif lebih singkat. Sel HeLa mempunyai telomerase aktif selama pembelahan sel, sehingga mencegah pemendekan telomer yang menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer, 2006). Dengan demikian HeLa bersifat imortal yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi human papilloma virus 18 (HPV 18) dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan dua onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 menghambat aktivitas tumor supresor p53 dan protein Rb (Chakrabarti O and Krishna S, 2003). Protein p53 adalah protein tumor supresor yang berperan penting pada siklus sel. P53 berfungsi sebagai faktor transkripsi gen-gen yang terlibat pada fase checkpoint siklus sel dan proses apoptosis. Scheffner et al. (1993) melaporkan pada kanker serviks, modifikasi p53 sebagian besar adalah modifikasi posttranslasional, dimana protein onkogenik E6

28 34 bekerjasama dengan E6AP sebagai E3 ubikuitin ligase memediasi degradasi proteosomal dari p53. Proliferasi sel yang tidak terkontrol serta penurunan apoptosis merupakan salah satu fungsi seluler yang berubah pada kanker serviks yang diakibatkan degradasi p53 (SchmittE, 2007). Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Sukardiman, 2006). Gambar sel HeLa dapat dilihat pada Gambar Gambar 2.10 Sel HeLa Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang digunakan adalah media DMEM (Dulbecco s Modified Eagle s Medium. Media DMEM terdiri dari nutrisi yang dibutuhkan sel seperti asam amino, vitamin, garam-garam organik dan glukosa. Serum yang dicampurkan dalam media kultur adalah Fetal Bovine Serum sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel dan faktor yang membantu pelengketan sel dari jaringan.

29 35 Metode yang digunakan dalam uji in vitro umumnya melalui uji antiproliferatif kultur sel. Proliferasi merupakan kemampuan sel untuk bertahan hidup. Kemampuan proliferasi sel dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, meningkatnya jumlah protein atau DNA yang disintesis. Kemampuan sel untuk bertahan hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker (Freshney,1992). Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan diantaranya metode MTT. MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromide) merupakan garam tetrazolium yang berwarna kuning dan larut dalam air. Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna biru. Reaksi ini terjadi pada mitokondria sel yang hidup oleh enzim suksinat dehidrogenase. Kristal formazan yang terbentuk dapat dilarutkan dalam pelarut organik, yang kemudian dapat dibaca absorbansinya menggunakan ELISA microplates reader. Absorbansi yang dihasilkan sebanding dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin banyak kristal formazan yang terbentuk, semakin tinggi nilai absorbansi yang diperoleh dan mengindikasikan mortalitas yang rendah (Sukardiman, 2006).

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masih tingginya angka kematian akibat kanker. Lebih detail, jenis kanker serviks

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masih tingginya angka kematian akibat kanker. Lebih detail, jenis kanker serviks 36 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sampai saat ini penyakit kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, baik di Indonesia maupun di

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

Adina Rizka Amalia. Hafizhuddin Wafi. Annisa Putri Ningsih FILLUM PORIFERA. Nurul Hasna K. Bunga Amalia. Ulya Amalia

Adina Rizka Amalia. Hafizhuddin Wafi. Annisa Putri Ningsih FILLUM PORIFERA. Nurul Hasna K. Bunga Amalia. Ulya Amalia Adina Rizka Amalia Hafizhuddin Wafi Annisa Putri Ningsih Nurul Hasna K Bunga Amalia Ulya Amalia FILLUM PORIFERA Istilah porifera berasal dari bahasa latin, yaitu Pori yang artinya lubang dan Fere yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. identifikasi, sedangkan penelitian eksperimental meliputi uji toksisitas dan

BAB IV METODE PENELITIAN. identifikasi, sedangkan penelitian eksperimental meliputi uji toksisitas dan 42 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu: deskriptif eksploratif dan eksperimental. Penelitian deskriptif eksploratif meliputi isolasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons 96 97 98 Lampiran 2. Pembuatan Larutan untuk Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach A. Membuat Larutan Stok Diambil 20 mg sampel kemudian dilarutkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. identifikasi senyawa aktif yang terkandung dalam spons Clathria (Thalysias) sp,

BAB IV METODE PENELITIAN. identifikasi senyawa aktif yang terkandung dalam spons Clathria (Thalysias) sp, 45 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif eksploratif dan eksperimental. Penelitian deskriptif eksploratif meliputi isolasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno,

BAB I PENDAHULUAN. senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan laut merupakan reservoir yang luar biasa sebagai penghasil senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno, 2002). Lautan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Sebanyak 10 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Sebanyak 10 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker Lampiran. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Pereaksi pendeteksi Flavonoid Pereaksi NaOH 0% Sebanyak 0 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar dengan dua pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam hayati laut yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung Lawu. Sedangkan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Biologi dan Kimia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji 19 BAB III METODOLOGI Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji pendahuluan golongan senyawa kimia, pembuatan ekstrak, dan analisis kandungan golongan senyawa kimia secara

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

I MA Y UDHA P E R W I R A

I MA Y UDHA P E R W I R A PORIFERA IMA YUDHA PERWIRA Porifera (Latin, Phorus = pori-pori, ferre = pembawa) adalah hewan invertebrata yang mempunyai tubuh berpori-pori. Bentuk tubuh hewan ini tidak hanya kotak, tapi bermacam macam.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Sampel Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar Bringharjo Yogyakarta, dibersihkan dan dikeringkan untuk menghilangkan kandungan air yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 6 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman uji dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UMS dengan cara mencocokkan tanaman pada kunci-kunci determinasi

Lebih terperinci

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini : Kompetensi Dasar: Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan metode pemisahan dengan KLT dan dapat mengaplikasikannya untuk analisis suatu sampel Gambaran Umum KLT Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST)

UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST) UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST) Oleh: FRANSISCHA GALUH KARTIKASARI 15060002 Dosen Pembimbing: Awik Puji Dyah Nurhayati S.Si, M.Si Drs. Agus Wahyudi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daun pohpohan merupakan bagian tanaman yang digunakan sebagai lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki aktivitas antioksidan yang besar,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks (Leher Rahim) Kanker serviks merupakan salah satu ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di negara berkembang, kanker serviks menduduki urutan teratas bagi kanker

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Rambut jagung (Zea mays L.), n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, gliserin, larutan kloral hidrat 70%, air, aqua destilata, asam hidroklorida, toluena, kloroform, amonia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2014. Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat, antara lain: a. Determinasi sampel

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat - Beaker glass 1000 ml Pyrex - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex - Maserator - Labu didih 1000 ml Buchi - Labu rotap 1000 ml Buchi - Rotaryevaporator Buchi R 210 - Kain

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia BAB 3 PERCOBAAN Pada bab ini dibahas tentang langkah-langkah percobaan yang dilakukan dalam penelitian meliputi bahan, alat, pengumpulan dan determinasi simplisia, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat 1. Alat Destilasi 2. Batang Pengaduk 3. Beaker Glass Pyrex 4. Botol Vial 5. Chamber 6. Corong Kaca 7. Corong Pisah 500 ml Pyrex 8. Ekstraktor 5000 ml Schoot/ Duran

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di 30 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 - Januari 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel pada pasir,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel pada pasir, 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spons Spons adalah salah satu hewan dari filum porifera. Spons merupakan invertebrata laut yang hidup pada ekosistem terumbu karang (Rosmiati dan Suryati, 2001). Spons merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) Nadia Rahma Kusuma Dewi*, Hadi Kuncoro, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Uji Flavonoid Dari 100 g serbuk lamtoro diperoleh ekstrak metanol sebanyak 8,76 g. Untuk uji pendahuluan masih menggunakan serbuk lamtoro kering,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Tumbuhan labu dideterminasi untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tumbuhan yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan bahwa tanaman yang diteliti adalah Cucubita

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 15 HN DN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan iodegradasi UPT. alai Penelitian dan Pengembangan iomaterial LIPI dan Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker ditetapkan sebagai penyebab utama kematian di dunia dengan angka yang mencapai 7,6 juta atau (sekitar 13% dari semua kematian setiap tahunnya) pada tahun

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2010 di Area Perlindungan Laut Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van 22 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi merupakan suatu langkah untuk mengidentifikasi suatu spesies tanaman berdasarkan kemiripan bentuk morfologi tanaman dengan buku acuan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu, dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cibarunai, Kelurahan Sarijadi, Bandung. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BABm METODOLOGI PENELITIAN

BABm METODOLOGI PENELITIAN BABm METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat-alat yang digunakan Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat destilasi sederhana (Elektromantel MX), neraca analitik, ultrasonik Kery Puisatron,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah 39 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka dan Konsep Penelitian Kanker merupakan penyebab kematian utama kedua (untuk semua umur) di Amerika Serikat. Hampir 1 juta individu

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Pengumpulan Bahan Tumbuhan yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah daun steril Stenochlaena palustris. Bahan penelitian dalam bentuk simplisia, diperoleh dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel PBAG di lingkungan sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan daerah Cipaku.

Lebih terperinci

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi 3 2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong dan Badan Tenaga Atom

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa Roxb.) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

PERCOBAAN 04 KROMATOGRAFI KOLOM DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS : ISOLASI KURKUMIN DARI KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN PEMISAHAN ZAT (KI- 2051)

PERCOBAAN 04 KROMATOGRAFI KOLOM DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS : ISOLASI KURKUMIN DARI KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN PEMISAHAN ZAT (KI- 2051) PERCOBAAN 04 KROMATOGRAFI KOLOM DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS : ISOLASI KURKUMIN DARI KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN PEMISAHAN ZAT (KI- 2051) Tanggal Praktikum : 02 Oktober 2014 Tanggal Pengumpulan: 9 Oktober

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan 1 I. PENDAHULUAN Jamur makroskopis digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan khasiatnya, yaitu jamur yang dapat dimakan, jamur berkhasiat obat, jamur beracun dan jamur yang belum diketahui khasiatnya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat dari Didemnum sp. Langkah awal dalam penelitian ini adalah membuat sediaan ekstrak etil asetat. Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br)

IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br) IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br) Hindra Rahmawati 1*, dan Bustanussalam 2 1Fakultas Farmasi Universitas Pancasila 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tanaman dengan kode AGF yang diperoleh dari daerah Cihideng-Bandung. Penelitian berlangsung

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi koleksi contoh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan 4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol, maserasi dilakukan 3 24 jam. Tujuan

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratorium. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi kandungan kimia dalam daun ciplukan (Physalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal, (yaitu tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama) yang dapat menyusup ke jaringan tubuh

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.)

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) Disusun oleh: Nama : Eky Sulistyawati FA/08708 Putri Kharisma FA/08715 Gol./Kel.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal (Herien, 2010). Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa abnormal pada jaringan yang tumbuh secara cepat dan tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap walaupun rangsangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan

BAB VI PEMBAHASAN. Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan 40 BAB VI PEMBAASAN 6.1 Isolasi Minyak Atsiri dengan Destilasi Uap Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan menggunakan destilasi uap. Pemotongan sampel dengan ukuran kecil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci