JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009"

Transkripsi

1 JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009 Korelasi Penilaian Asma Terkontrol Pada Penderita Asma Persisten Sesudah Pemberian Kortikosteroid Inhalasi dengan Menggunakan Asthma Control Scoring System dan Asthma Control Test Correlation of Controlled Asthma Assessment in Persistent Asthma Patients After Corticosteroid Inhalation Using Asthma Control Scoring System and Asthma Control Test Allen Widysanto*, Eddy Surjanto**, Suradi**, Faisal Yunus*** *Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH-RS Siloam Karawaci, Tangerang ** Bagian Pulmonologi FKUNS-RSUD Dr Moewardi, Surakarta *** Departemen Pulmonogi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta ABSTRACT Background: The individual parameters to define asthma severity and asthma control overlap significantly. Validated measures, such as ACT, ACS, ACQ, for assessing asthma control are now available, but no comparison among the existing measures has been performed. This study aimed to assess the correlation between ACT and ACS either before of after inhaled corticosteroid ( ICS ). Methods: This was a cohort study. Samples were collected by consecutive sampling. Two asthma control questionnaires, ACS and ACT, must be filled-up by the patients. Spirometry was performed after asthma control questionnaires were completely filled-up. The certain dose of inhaled corticosteroid (ICS ) was given for 2 months, and patients have to repeat the same procedure as they have done after 2 months inhaled corticosteroid administered. Results: The correlation of ACS score based on ACT category score before ICS showed no agreement. In contrary, the correlation of ACS score based on ACT category score after ICS showed significantly moderate agreement Conclusion: There was a moderate correlation statistically significant agreement between ACS and ACT assessment when ACS score of 60% was used as the cut off point. Jurnal Kedokteran Indonesia: 1 (1): Keywords: asthma, persistent, ACS, ACT PENDAHULUAN Teori interaksi antara sistem imun dan epitel saluran napas, pengaruh lingkungan dan patofisiologi yang mendasari sindrom klinik asma masih kurang jelas, akibatnya beberapa kasus dapat ditangani dengan mudah tetapi beberapa diantaranya sulit dikontrol secara adekuat (Holgate et al., 2000). Tujuan utama pengelolaan asma untuk mencapai kontrol optimum, yaitu, meminimalisasi gejala dan penggunaan b2 agonis kerja singkat, mencegah bronkokonstriksi sehingga mengurangi risiko eksaserbasi yang mengancam jiwa (Junniper et al., 1999). Cockroft dan Swystun menegaskan bahwa kontrol asma berbeda dengan derajat asma. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi, sedangkan derajat asma menitikberatkan pada proses yang mendasari penyakit. Persepsi umum dan salah yang berkembang sampai saat ini adalah asma yang terkontrol baik, dianggap sama dengan asma ringan sedangkan yang tidak terkontrol sama dengan asma berat (Cockroft dan Swystun, 1996) Kriteria asma terkontrol sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004; National Institute of Health, 2005).: Gejala klinik termasuk gejala malam hari minimal (sebaiknya tidak ada),tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise, kebutuhan bronkodilator (b 2 agonis kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan ),variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat. Menurut The Gaining Optimal Asthma Control (GOAL ) study, asma terkontrol dibagi menjadi 56

2 WIDYSANTO, et al./ KORELASI PENILAIAN ASMA TERKONTROL PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN dua yaitu terkontrol baik (well controlled) dan terkontrol total (total controlled). Asma terkontrol total jika pada pengamatan selama delapan minggu berturutan, tercatat tujuh minggu terkontrol total tanpa eksaserbasi, tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) atau tidak ditemukan efek samping obat untuk tiap hari setiap minggu. Asma terkontrol baik jika tercatat tujuh minggu dari delapan minggu, asma terkontrol baik yaitu masih diperkenankan terdapat gejala klinis dan penggunaan medikasi secara ringan (Bateman et al., 2004; Bousquet, 2004). Juniper, dkk., menulis bahwa kontrol asma dapat diskrining dalam bentuk kuesioner. Berbagai macam kuesioner sudah dipublikasikan antara lain Asthma Control Test (ACT), Asthma Control Questionnaire (ACQ), Asthma Control Scoring System (ACS) dan sebagainya (Juniper, 1999; Boulet et al., 2002; ALA, 2005). Boulet dkk., melakukan penelitian pada tahun 2002, menggunakan kuesioner kontrol asma berdasarkan sistem skoring (ACS). Sistem ini memakai 3 parameter pengukur asma yaitu gejala klinis, fungsi paru dan inflamasi saluran napas sebagai parameter opsi. Hasilnya digunakan sebagai metode praktis untuk menentukan kontrol asma berdasarkan nilai persentase global (kuantitatif) (Boulet, 2002). Asthma Control Test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung Association bertujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien untuk mengevaluasi asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol asma (Nathan et al., 2004). Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol sedangkan bila nilai lebih besar dari 19 adalah asma terkontrol (ALA, 2005). Tujuan Asthma Control Test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan menjadi lebih efektif, melaksanakan pedoman pengobatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya asma yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang.(nathan et al., 2004a); Yunus, 2005). Berdasarkan keterangan di atas, maka untuk mengetahui korelasi antara ACT dan ACS yang memiliki kekurangan dan kelebihan, maka dilakukan penelitian pada asma persisten sebelum dan sesudah pemberian Desain penelitian SUBJEK DAN METODE Penelitian menggunakan metode kohor dan dilakukan analisis statistik untuk mengetahui korelasi antara Asthma Control Scoring System dan Asthma Control Test pada penderita asma persisten sebelum dan sesudah pemberian steroid inhalasi. Sampel penelitian Sampel penelitian adalah semua penyandang asma persisten yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel secara consecutive sampling sampai jumlah sampel terpenuhi. Kriteria inklusi Kriteria inklusis sebagai berikut: (1) Penyandang asma persisten ( ringan, sedang dan berat); (2) Usia tahun; (3) Tidak memakai steroid sistemik dalam 2 minggu terakhir; (4) Tidak memakai steroid inhalasi dalam 3 hari terakhir; (5) Bersedia mengisi kuesioner secara lengkap dan benar; (6) Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani lembar persetujuan Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi sebagai berikut: (1) Asma yang disertai infeksi pernapasan akut (ISPA, bronkopneumonia, abses paru, empiema) maupun infeksi saluran napas kronik (tuberkulosis dan bronkiektasis ); (2) Perokok; (3) Riwayat penyakit paru kronik selain asma (Penyakit Paru Obstruksi Kronis, tumor paru); (4) Hamil/menyusui; (4) Asma dengan penyakit jantung. Instrumen Penelitian ini menggunakan dua macam kuesioner asma kontrol yaitu ACS dan ACT dan satu kuesioner untuk menilai kejujuran subjek. 1. Asthma Control Scoring System Kuesioner ACS yang diteliti menggunakan 2 parameter yaitu klinis dan fisiologis (Volume Ekspirasi Paksa 57

3 JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009 Detik Pertama/ VEP 1 ).Total skor dihitung dengan menjumlahkan kedua parameter kemudian dibagi dua. Belum ada cut off point untuk menentukan asma terkontrol maupun tidak terkontrol. 2. Asthma Control Test Kuesioner ACT hanya mencakup parameter klinis, tanpa ada pemeriksaan fungsi paru. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan 5 pertanyaan yang sudah diberi bobot nilai. Nilai lebih kecil atau sama dengan 19 disebut asma tidak terkontrol sedangkan nilai lebih besar 19 disebut asma terkontrol. 3. Le Minnesota Multiphasic personality Inventory (MMPI ) Instumen ini digunakan untuk menguji keseriusan subyek penelitian dalam menjawab pertanyaan kuesioner penelitian. Penelitian dilakukan untuk melihat korelasi antara ACS dan ACT baik sebelum dan sesudah pemberian Subyek penelitian diberi penjelasan tentang tujuan penelitian dan apabila bersedia ikut dalam penelitian diminta menandatangani lembar persetujuan. Setelah menandatangani lembar persetujuan, dilakukan pemeriksaan foto toraks dan elektrokardiografi. Subjek penelitian diedukasi kemudian mengisi kuesioner ACT, ACS dan MMPI. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan spirometri untuk menilai VEP 1. Kortikosteroid inhalasi 200 mcg diberikan dengan dosis sesuai derajat asma yang direkomendasikan GINA selama dua bulan. Pelega kerja singkat inhalasi juga diberikan dan dosis sesuai kebutuhan. Kontrol subyek penelitian dilakukan tiap bulan atau bila terjadi eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi dosis tertentu digunakan selama penelitian berlangsung, evaluasi ulang setelah dua bulan. Pengisian kuesioner ACT, ACS dan MMPI serta pemeriksaan fungsi paru diulangi pada akhir bulan ke-2. Kuesioner dikumpulkan ke peneliti dan dilakukan analisis. CARA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Data diolah dengan menggunakan komputer program STATA versi 7.0 dan SPSS 10.0 for windows. Analisis statistik memakai uji beda, korelasi dengan menggunakan Kappa Cohen. Nilai kemaknaan uji statistik pada penelitian ini adalah p < HIPOTESIS PENELITIAN 1. Terdapat korelasi antara ACS dan ACT pada pasien asma persisten sebelum pemberian 2. Terdapat korelasi antara ACS dan ACT pada pasien asma persisten sesudah pemberian 3. Nilai Asthma Control Scoring System sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi. 4. Nilai Asthma Control Test sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelum pemberian HASIL-HASIL Penelitian dilakukan pada pasien asma persisten yang berobat jalan di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, mulai bulan Mei 2006 sampai dengan Juli A. Karakteristik subyek penelitian Secara keseluruhan diperoleh 32 orang subyek penelitian yang terdiri dari 11 orang laki-laki (34%) dan 21 orang perempuan (66%) (Tabel 1). Rentang umur mulai dari 18 tahun hingga 45 tahun. Tingkat pendidikan bervariasi dari Sekolah Dasar gingga Pascasarjana. Tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan skor ACT dan ACS baik sebelum dan sesudah pemberian Diagnosis asma persisten terdiri dari asma persisten ringan sebesar 17 orang (53%), asma persisten sedang 14 orang (44%) dan asma persisten berat 1 orang (3%). Seluruh subyek penelitian sebelumnya tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan benar karena alasan yang berbeda. Terdapat 12 orang (37.5%) yang tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi karena takut efek samping, 7 orang ( 21.9% ) karena alasan biaya, 5 orang (15.6%) karena alasan efek kortikosteroid yang lambat, 4 orang (12.5% ) karena merasa sudah sembuh dan 4 orang (12.5% ) karena tidak mengerti manfaat kortikosteroid. Tabel 1 menunjukkan karakteristik subyek penelitian. 58

4 WIDYSANTO, et al./ KORELASI PENILAIAN ASMA TERKONTROL PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN Tabel 1. Data dasar subyek penelitian B. Rentang skor ACT dan ACS sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi Skor klinis ACS sebelum perlakuan berkisar 20% (terendah) hingga 80% (tertinggi). Nilai VEP 1 berkisar 31.6% (terendah) hingga 100% (tertinggi). Skor fisiologis ACS berkisar antara 20% hingga 100%. Skor ACS diperoleh dari penjumlahan skor klinis dan skor fisiologis dibagi 2. Hasil penelitian ini menunjukkan skor ACS sebelum perlakuan sebesar 20% (nilai terendah) hingga 80% (nilai tertinggi). Skor ACT berkisar antara 6 sebagai nilai terendah hingga 21 sebagai nilai tertinggi. C. Rentang skor ACT dan ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi Skor klinis ACS berkisar antara 50% (nilai terendah) hingga 100% (nilai tertinggi) sedangkan nilai VEP 1 berkisar antara 38.5% (nilai terendah) hingga 100% (nilai tertinggi). Skor fisiologis ACS berkisar antara 20% sebagai nilai terendah hingga 100% sebagai nilai tertinggi. Total skor ACS yang dihasilkan berada dalam rentang 30 % (terendah) hingga 95% (tertinggi). Hasil penelitian skor ACT menampilkan nilai terendah sebesar 6 dan nilai tertinggi sebesar 25. Tabel 2 menunjukkan rincian rata-rata skor ACT dan ACS baik sebelum maupun sesudah perlakuan. D. Distribusi skor kategori ACT pada pasien asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi Sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi, asma tidak terkontrol (skor ACT 19) pada APR, APS dan APB berturut-turut adalah 16 orang (50%), 14 orang (43.8%) dan 1 orang (3.1%) sedangkan hanya terdapat 1 orang (3,1% ) asma terkontrol pada APR. Sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi, skor ACT 19 pada APR, APS dan APB berturut-turut adalah 3 orang (9.4%), 5 orang (15.6%) dan 1 orang ( 3.1% ) sedangkan skor ACT > 19 adalah 14 orang (43.8%) pada APR, 9 orang (28.1% ) pada APS dan tidak ditemukan asma terkontrol pada APB. Tabel 3 menunjukkan distribusi skor ACT pada asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian E. Perbedaan rata-rata skor klinis ACS menurut kategori ACT sebelum pemberian Terdapat 31 orang (96.9%) yang mengidap asma tidak terkontrol (skor ACT 19) pada awal penelitian dan hanya 1 orang (3,1%) yang menunjukkan keadaan terkontrol (skor ACT > 19) (Tabel 4). Tabel 3. Distribusi skor ACT pada asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi di poli paru RSUD Dr Moewardi, tahun 2006 Tabel 4. Karakteristik skor ACT sebelum perlakuan di poli paru RSUD Dr.Moewardi, tahun Tabel 2. Rentang skor ACT dan ACS sebelum dan sesudah perlakuan di poli paru RSUD Dr. Moewardi, tahun 2006 Skor ACT dengan interpretasi tidak terkontrol ( 19) memberikan rentang skor klinis ACS sebesar 20% hingga 75% dengan rata-rata skor ACS sebesar 53.1%. Skor ACT dengan interpretasi terkontrol (> 59

5 JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/ ) memberikan skor klinis ACS sebesar 70% dengan rata-rata skor ACS sebesar 70%. Gambar 1 menunjukkan perbedaan skor rata-rata klinis ACS menurut kategori ACT sebelum pemberian dibandingkan dengan sebelum pemberian (64.5%), namun, tidak terdapat korelasi antara VEP 1 dengan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi (Gambar 2). F. Perbedaan rata-rata skor klinis ACS menurut kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 9 orang (28.1%) pengidap asma yang tidak terkontrol sesuai dengan skor ACT ( 19) dan 23 orang (71,9%) subyek yang terkontrol sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi, seperti tampak pada Tabel 5. Tabel 5. Karakterisitik skor ACT sesudah perlakuan di poli paru RSUD Dr.Moewardi, tahun 2006 Gambar 2. Korelasi antara Volume Ekspirasii Paksa Detik 1 (%) dengan skor Asthma Control Test sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi (r=0.30; p=0.10) G. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa detik pertama dengan skor ACT sebelum pemberian Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi antara VEP 1 dengan skor ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi (Gambar 1). I. Korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada median 47.5% terdapat 14 orang (93.3%) yang tidak terkontrol menurut ACT juga dinilai tidak terkontrol menurut ACS. Tidak ada subyek (0%) yang terkontrol menurut ACT dan terkontrol menurut ACS. Terdapat 17 subyek (100%) yang tidak terkontrol menurut ACT namun dinilai terkontrol menurut ACS dan ada 1 subyek (6.7%) yang terkontrol menurut ACT namun dinilai tidak terkontrol menurut ACS. Koefisien kesepakatan (k) antar dua kuesioner adalah lemah ( = 0.1 ; p= 0.860), sehingga disebutkan terdapat kesepakatan lemah dan tidak bermakna antara skor kategori ACT dengan skor ACS sebelum pemberian Penjelasan ini terangkum pada tabel 6. Gambar 1. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (%) dengan skor Asthma Control Test sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi (r=0.02; p=0.90) Tabel 6. Korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi H. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama dengan skor ACT sesudah pemberian Skor VEP 1 menunjukkan sedikit peningkatan (68.1% ) sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi 60

6 WIDYSANTO, et al./ KORELASI PENILAIAN ASMA TERKONTROL PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN J. Korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada median 60% terdapat 9 orang (56.3%) yang tidak terkontrol menurut ACT juga dinilai tidak terkontrol menurut ACS. Terdapat 16 orang (100%) yang dinilai terkontrol, baik oleh ACT maupun oleh ACS. Ada 7 orang (43.8%) dinilai terkontrol menurut ACT namun tidak terkontrol menurut ACS dan tidak terdapat subyek yang dinilai tidak terkontrol menurut ACT namun dinilai terkontrol menurut ACS. Penjelasan ini terangkum pada Tabel 7. Koefisien kesepakatan yang dicapai oleh kedua kuesioner adalah sedang ( = 0.6; p= 0.001), sehingga disebutkan terdapat kesepakatan sedang dan bermakna antara skor kategori ACT dengan skor ACS sesudah pemberian PEMBAHASAN Secara keseluruhan terdapat 32 orang subyek penelitian yang mayoriti perempuan (66%). Surjanto dalam penelitian di Poliklinik Asma Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, Jakarta mendapat sampel perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (Suryanto, 2004). Studi kontrol asma di Asia Pasifik oleh Zainudin dkk dan Lai dkk juga memperoleh sampel yang mayoritas perempuan. Derajat asma terbanyak berturut-turut adalah asma persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat. Karakteristik derajat asma pada penelitian ini serupa dengan dua penelitian terpisah yang dilakukan di Asia Pasifik oleh Zainudin dan Lai (Lai et al., 2003; Zainuddin et al., 2005). Seluruh subyek penelitian tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi secara rutin karena berbagai alasan. Takut terhadap efek samping kortikosteroid menjadi alasan utama, diikuti mahalnya biaya obat. Alasan serupa juga ditemukan pada penelitian Lai di Asia Pasifik pada tahun 2003 dan Humbert di Paris pada tahun 2006 (Lai et al., 2003; Humbert, 2006). Nilai rata-rata VEP 1 sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi sebesar 68.1% prediksi. Hasil ini hampir sama dengan penemuan Masoli dkk (69% prediksi) pada suatu studi metaanalisis tahun 2004 (Masoli et al., 2004) A. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama dengan skor ACT Sebelum perlakuan Tidak ada korelasi antara VEP 1 dengan skor ACT sebelum pemberian Hasil penelitian yang dilakukan Nathan dkk., pada tahun 2004 disimpulkan bahwa walaupun terdapat korelasi lemah antara skor ACT dan VEP 1, namun penilaian kontrol asma sebaiknya dilakukan berdasarkan kombinasi kedua variabel ini (Nathan et al., 2004b). Menurut Shingo (2001), tidak ada korelasi antara klinis dan VEP 1 disebabkan oleh dimensi yang berbeda oleh kedua variabel ini. Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama adalah parameter untuk menilai derajat obstruksi saluran napas (objektif) sedangkan penilaian klinis lebih melukiskan beban perasaan penyandang asma (subjektif) (Rabe et al., 2004). Menurut peneliti, hasil yang diperoleh disebabkan oleh dimensi berbeda antara klinis dan derajat obstruksi seperti yang telah diuraikan sebelumnya (Shingo, 2001). Peneliti menduga bahwa rentang waktu untuk menilai parameter klinis adalah 4 minggu sedangkan nilai VEP 1 dinilai hanya pada satu saat yaitu pada keadaan stabil. Hal ini menyebabkan tidak ada korelasi antara skor klinis dan VEP 1. Sesudah perlakuan Tidak ada korelasi antara VEP 1 dengan skor ACT sesudah pemberian Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab adalah airway remodeling, keterlambatan penggunaan kortikosteroid inhalasi seperti yang diteliti Humbert tahun 2006 di Paris dan overpersepsi mengenai kontrol asma (Rabe, 2004; Humbert, 2006 ). Menurut peneliti, hasil yang diperoleh lebih disebabkan oleh airway remodeling dan keterlambatan penggunaaan kontroler. Peneliti tidak melihat pengaruh kortikosteroid inhalasi terhadap persepsi asma yang berlebihan. B. Korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT Sebelum perlakuan Tidak ada korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sehingga hipotesis pertama ditolak. Belum ada kepustakaan yang mengkorelasikan 61

7 JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009 langsung kedua kuesioner ini, namun peneliti menduga bahwa mayoriti penyandang asma yang tidak terkontrol dan skor ACT yang rendah dibanding ACS, menyebabkan tidak ada korelasi antara kedua skor ini. Tujuan untuk menilai korelasi ini adalah untuk melihat validiti kriteria kedua kuesioner. Sesudah perlakuan Terdapat korelasi sedang dan bermakna pada hasil sesudah perlakuan sehingga hipotesis kedua diterima. Suatu penelitian hampir serupa ditampilkan Schatz tahun 2004 menunjukkan bahwa terdapat nilai sensitiviti dan spesifisiti yang hampir sama antara kuesioner ACT dan ACQ (Sorkness, 2005). Pencapaian hasil yang berlawanan dengan sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi, diduga disebabkan oleh kenaikan skor ACT dan skor ACS yang bermakna sedangkan nilai VEP 1 tidak mengalami kenaikan yang bermakna. Hasil ini dapat dipakai sebagai tolak ukur penilaian sifat ACT yang reliabel. C. Perbedaan rata-rata skor ACT dan perbedaan rata-rata skor ACS sebelum dan sesudah pemberiankortikosteroid inhalasi Terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor ACS dan rata-rata skor ACT sebelum dan sesudah perlakuan. Rata-rata skor ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelumnya, demikian juga rata-rata skor ACT lebih tinggi sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi dibanding sebelum pemberian. Hasil ini menyebabkan hipotesis ketiga dan keempat diterima. Tujuan peneliti untuk melihat perbedaan skor yaitu untuk menguji sifat evaluatif dan sifat responsif pada masing-masing kuesioner. Penelitian ini menyimpulkan, tidak terdapat korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian Terdapat korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sesudah pemberian Terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata skor ACS sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan sifat evaluatif dan responsif yang dimiliki ACS. Nilai rata-rata skor ACS sesudah perlakuan lebih tinggi. Terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata skor ACT sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan sifat evaluatif dan responsif yang juga dimiliki ACT. Nilai rata-rata skor ACT sesudah perlakuan lebih tinggi. Penelitian ini menyarakan perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan kualiti hidup (menggunakan kuesioner kualiti hidup) dan kontrol asma (menggunakan ACT dan ACS ), sehingga diperoleh data mengenai pengaruh faal paru pada asma terkontrol terhadap kualiti hidup penyandang asma. Berdasarkan sifat kuesioner yang telah dipenuhi ACT, maka penggunaan ACT sebagai suatu alat untuk menilai kontrol asma dapat disosialisasikan terutama di pusat kesehatan masyarakat dan sarana kesehatan lainnya. DAFTAR PUSTAKA ALA (2005). Take the asthma control test and know your asthma score. nodak. edu/education/asthmacontest-web.pdf. Diakses 9 September, Bateman ED, Boushley HA, Bousquet J, Busse WW, Clark T, Pauwels RA (2004). Can guideline-defined asthma control be achieved? Am J Respir Crit Care Med; 170: Boulet LP, Boluet V, Milot J (2002). How should we quantify asthma control? Chest;122: Bousquet J (2004). Is asthma control achievable? Eur Respir Rev; 13: Cockroft DW, Swystun VA (1996).Asthma control versus asthma severity. J Allergy Clin Immunol; 98: Holgate ST, Boushley HA, Fabbri LM (2000). Difficult asthma. NEJM; 342: Humbert M (2006). The right tools at the right time. Chest; 130: 29S-40S. Juniper Ef, O Byrne PM, Guyatt GH, Ferrie PJ, King DR (1999). Development and validation of a questionnaire to measure asthma control. Eur Respir J; 14: Lai CKW, De Guia TS, Kim YY, Kuo SH, Mukhopadhyay A, Soriano JB, et al (2003). Asthma control in the Asia-Pasific region: The asthma insight and reality in Asia-Pacific study. J Allergy Clin Immunol; 111: Masoli M, Holt S, Weatherall M, Beasley R (2004). Dose-response relationship of inhaled 62

8 WIDYSANTO, et al./ KORELASI PENILAIAN ASMA TERKONTROL PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN budesonide in adult asthma; a meta-analysis. Eur Respir J; 23: Nathan RA, Sorkness CA, Kosinski M, schatz M, Li JT, et al (2004a). Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma control. J Allergy Clin Immunol; 113 (1): Nathan RA, Sorkness CA, Kosinski M, Schatz M, Li JT, Marcus P, et al (2004b). Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma control. J Allergy Clin Immunol; 113: National Institutes of Health National (2005) Heart, Lung and Blood Institiute. Definition. Dalam: Clark TJH, Cagnani CB, Bousquet J, Busse J, Fabbri L, Grouse L, editors. Global Initiative For Asthma. Glaxo Smith Kline. hal Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004). Program penatalaksanaan asma. Dalam: Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjaparamita, dkk, editors. Asma. Jakarta:Balai Penerbit UI: hal Rabe KF, Adachi M, Lai CKW, Soriano JB, Vermeire PA, Weiss KB (2004). Worldwide severity and control of asthma in children and adults: The global asthma insights and reality surveys. J Allergy Clin Immunol, 114: Shingo S, Zhang J, Reiss TF (2001). Correlation of airway obstruction and patient-reported endpoints in clinical studies. Eur Respir J; 17: Sorkness CA (2005). Assessing asthma control in day to day practice. Partnerships for change in asthma management. Singapore, hal Surjanto E (2004). Klasifikasi imunologis derajat asma alergi kronik berdasarkan Il-4, IL-5 dan eosinophil cationic protein (ECP) dalam sputum. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Yunus F (2005). The asthma control test, a new tool to improve the quality of asthma management. Dalam: Surjanto E, Suradi, Reviono, Rima A, Widysanto A,Widiyawati, editors. Proceeding Book Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Edisi ke 1. Surakarta: Indah C omp, hal Zainuddin BM, Lai CKW, Soriano JB, Horng WH, de Guaia TS (2005). Asthma control in adults in Asia-Pasific. Respirology; 10:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada

Lebih terperinci

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Setyoko 1, Andra Novitasari 1, Anita Mayasari 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang ABSTRAK

Lebih terperinci

Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak

Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak Artikel Asli Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak Heda Melinda Nataprawira Subbagian Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

Study objective: To investigate wheter combination of steroid (fluticasone) and long acting β 2

Study objective: To investigate wheter combination of steroid (fluticasone) and long acting β 2 The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool. Nur Ahmad

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG Anita Mayasari 1, Setyoko 2, Andra Novitasari 3 1 Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Herry Priyanto*, Faisal Yunus*, Wiwien H.Wiyono* Abstract Background : Method : April 2009 Result : Conclusion : Keywords

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi

Lebih terperinci

ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA

ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA Michael Setiawan P., 2010 Pembimbing I: J. Teguh Widjaja., dr., Sp. P., FCCP. Pembimbing II: Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KONTROL ASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA UMUR DELAPAN BELAS SAMPAI DENGAN LIMA PULUH LIMA TAHUN DI BBKPM SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KONTROL ASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA UMUR DELAPAN BELAS SAMPAI DENGAN LIMA PULUH LIMA TAHUN DI BBKPM SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KONTROL ASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA UMUR DELAPAN BELAS SAMPAI DENGAN LIMA PULUH LIMA TAHUN DI BBKPM SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Diajukan oleh: Osa Erlita J.500.100070

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimulus tertentu. Manifestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya

Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya 517 Artikel Penelitian Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya Yessy Susanty Sabri, Yusrizal Chan Abstrak Asma adalah penyakit

Lebih terperinci

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN. Wulan Prisilla 1, Irvan Medison 2, Selfi Renita Rusjdi 3

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN.  Wulan Prisilla 1, Irvan Medison 2, Selfi Renita Rusjdi 3 72 Artikel Penelitian Hubungan Keteraturan Penggunaan Kortikosteroid Inhalasi dengan Tingkat Kontrol Asma Pasien Berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang Wulan Prisilla 1, Irvan Medison

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU. Syahira. Indra Yovi

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU. Syahira. Indra Yovi HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU Syahira Indra Yovi Miftah Azrin syahiralala93@yahoo.com ABSTRACT Asthma is a chronic inflammatory

Lebih terperinci

PENILAIAN DERAJAT ASMA DENGAN MENGGUNAKAN ASTHMA CONTROL TEST (ACT) PADA PASIEN ASMA YANG MENGIKUTI SENAM ASMA DI PEKANBARU

PENILAIAN DERAJAT ASMA DENGAN MENGGUNAKAN ASTHMA CONTROL TEST (ACT) PADA PASIEN ASMA YANG MENGIKUTI SENAM ASMA DI PEKANBARU PENILAIAN DERAJAT ASMA DENGAN MENGGUNAKAN ASTHMA CONTROL TEST (ACT) PADA PASIEN ASMA YANG MENGIKUTI SENAM ASMA DI PEKANBARU Desta Reviona Sri Melati Munir Miftah Azrin Email: Destafkur@gmail.com ABSTRACT

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU

ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR (VENTOLIN@) SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU Adhytiya D R T, 2004, PEMBIMBING 1. J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP. II. Slamet Santosa, dr., MKes.

Lebih terperinci

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR.

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ARUM

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee

Lebih terperinci

Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma The Effect of Pharmacist Education on The Level of Asthma Control

Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma The Effect of Pharmacist Education on The Level of Asthma Control Jurnal Farmasi Indonesia, Maret 2015, hal 85-93 Vol. 11 No. 1 ISSN: 1693-8615 EISSN : 2302-4291 Online : http://farmasiindonesia.setiabudi.ac.id/ Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma

Lebih terperinci

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Fisioterapi Disusun Oleh: NOVI LIQMAYANTI Nim : J120110036 PROGRAM STUDI S1 FISOTERAPI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN ASMA DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Novita Andayani dan Zabit Waladi Abstrak. Tingkat pengetahuan asma pada pasien

Lebih terperinci

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA

SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA OLEH: KADEK YUNITA PRADNYAWATI NIM. 1002105012 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU Putri Ratriviandhani, 2016. Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP Pembimbing II : Jo Suherman, dr.,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat tidak hanya di negara barat juga negara berkembang.dewasa ini rinitis alergika merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Respirologi, Alergi dan Imunologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN

LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN Nama : Umur : Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telepon : No RM : Jenis Kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan : cm Berat badan : kg Keluhan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

Hubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 2008

Hubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 2008 Hubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 28 Taufiq Hidayat, Zailirin Yuliana Zainoeddin,Yusrizal Chan,Taufik Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih menyeluruh mengenai determinan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE. eksaserbasi. 30%. Makin tinggiskor indeks BODE maka makin buruk prognosisnya, karena mengindikasikan lebih banyak

PENDAHULUAN METODE. eksaserbasi. 30%. Makin tinggiskor indeks BODE maka makin buruk prognosisnya, karena mengindikasikan lebih banyak Korelasi Penilaian Kualitas Hidup dan Prognosis Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan CAT, SGRQ dan BODE di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Tri Agus Yuarsa, Faisal Yunus, Budhi Antariksa Departemen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem respirasi tersering pada anak (GINA, 2009). Dalam 20 tahun terakhir,

Lebih terperinci

Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas

Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas Dr.Priyanti ZS SpP(K) & Dr.Mukhtar Ikhsan SpP(K), MARS RSUP PERSAHABATAN JAKARTA 1 PENDAHULUAN Penyakit paru : masalah kesehatan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan oleh : Angga Setyawan J

NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan oleh : Angga Setyawan J HUBUNGAN ANTARA SENAM ASMA DENGAN FREKUENSI PENGGUNAAN BRONKODILATOR PELEGA PADA PENDERITA ASMA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

I Ketut Darmayasa Unit Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Jalan Kesehatan Denpasar ABSTRAK

I Ketut Darmayasa Unit Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Jalan Kesehatan Denpasar ABSTRAK SENAM ASMA TIGA KALI SEMINGGU LEBIH MENINGKATKAN KAPASITAS VITAL PAKSA (KVP) DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK 1 (VEP 1) DARI PADA SENAM ASMA SATU KALI SEMINGGU PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN SEDANG I Ketut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi asma di berbagai negara sangat bervariasi, namun perbedaannya menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus asma meningkat secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima besar penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG

PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN ~ Asma penyakit kronik inflamasi saluran napas ~ Prevalensi

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam divisi Pulmonologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian ini adalah Rumah Sakit

Lebih terperinci

Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Asma dengan Tingkat Kontrol Asma

Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Asma dengan Tingkat Kontrol Asma 58 Artikel Penelitian Hubungan Mengenai dengan Kontrol Katerine, Irvan Medison, Erlina Rustam Abstrak Kontrol gejala asma yang baik merupakan tujuan pengobatan bagi pasien asma. Pengobatan medikamentosa

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lebih dari 60 tahun arah pembangunan dibidang kesehatan selama ini menekankan terhadap pengendalian penyakit menular. Kondisi yang sepenuhnya belum tertanggulangi ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis,

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Program terapi efektif untuk diabetes mellitus membutuhkan latihan komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis, dan regimen farmakologis

Lebih terperinci

Gambaran Pemeriksaan Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Berobat di Poli Paru RSUD Koja Periode Desember 2005-Desember 2008

Gambaran Pemeriksaan Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Berobat di Poli Paru RSUD Koja Periode Desember 2005-Desember 2008 Artikel Penelitian Gambaran Pemeriksaan Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Berobat di Poli Paru RSUD Koja Periode Desember 2005-Desember 2008 Indriani Kurniadi*, Mardi Santoso**,

Lebih terperinci

Kadar Nitrit Oksida Udara Ekspirasi pada Pasien Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol Berdasarkan Asthma Control Test di Rumah Sakit Persahabatan

Kadar Nitrit Oksida Udara Ekspirasi pada Pasien Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol Berdasarkan Asthma Control Test di Rumah Sakit Persahabatan Kadar Nitrit Oksida Udara Ekspirasi pada Pasien Terkontrol dan Tidak Terkontrol Berdasarkan Asthma Control Test di Rumah Sakit Persahabatan Ni Made Restiawati, Faisal Yunus, Ratnawati Departemen Pulmonologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstraparu yang signifikan dan berpengaruh terhadap keparahan penderita. Menurut GOLD (Global

Lebih terperinci

Abstrak. Dicky Sanjaya, 2009.Pembimbing I: Evi Yuniawati, dr., MKM Pembimbing II: Dani, dr., MKes

Abstrak. Dicky Sanjaya, 2009.Pembimbing I: Evi Yuniawati, dr., MKM Pembimbing II: Dani, dr., MKes Abstrak PERBEDAAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENDERITA TB DENGAN PENGOBATAN LENGKAP DAN PUTUS BEROBAT DI PUSKESMAS LANJAK DAN BADAU PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Dicky Sanjaya, 2009.Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ)

ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ) ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ) Felicia S., 2010, Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., SpP., FCCP. Pembimbing II

Lebih terperinci

Kata kunci: tingkat kontrol asma, nilai VEP1, rasio VEP1/KVP Keterangan:

Kata kunci: tingkat kontrol asma, nilai VEP1, rasio VEP1/KVP Keterangan: HUBUNGAN TINGKAT KONTROL ASMA DENGAN NILAI VEP1/ VEP1 (%) PREDIKSI DAN RASIO VEP1/KVP (%) PREDIKSI PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUD DOKTER SOEDARSO PONTIANAK Raisa Janet Ariestha 1 ; Abdul Salam 2 ; Heru

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN L-CARNITINE TERHADAP % VEP-1 dan SKOR CAT PENDERITA PPOK STABIL

PENGARUH PEMBERIAN L-CARNITINE TERHADAP % VEP-1 dan SKOR CAT PENDERITA PPOK STABIL PENGARUH PEMBERIAN L-CARNITINE TERHADAP % VEP-1 dan SKOR CAT PENDERITA PPOK STABIL T E S I S Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar DOKTER SPESIALIS PARU DAN PERNAPASAN Oleh Wahyu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau

I. PENDAHULUAN. mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau I. PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 2 Tahun Ika Alfinnisa Majida 1*, Tri Murti Andayani 2, Okti Ratna Mafruhah 3 ABSTRAK ABSTRACT

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 2 Tahun Ika Alfinnisa Majida 1*, Tri Murti Andayani 2, Okti Ratna Mafruhah 3 ABSTRAK ABSTRACT Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 2 Tahun 2013 ANALISIS HUBUNGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ANTIASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA DI RUMAH SAKIT KHUSUS PARU RESPIRA UPKPM YOGYAKARTA PERIODE FEBRUARI-APRIL

Lebih terperinci

HUBUNGAN EDUKASI FARMASIS TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA THE EFFECT OF PHARMACIST EDUCATION ON THE QUALITY OF LIFE OF ASTHMA PATIENTS

HUBUNGAN EDUKASI FARMASIS TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA THE EFFECT OF PHARMACIST EDUCATION ON THE QUALITY OF LIFE OF ASTHMA PATIENTS Jurnal Farmasi Indonesia, November 2015, hal 157-163 Vol. 12 No. 2 ISSN: 1693-8615 EISSN : 2302-4291 Online : http://farmasiindonesia.setiabudi.ac.id/ HUBUNGAN EDUKASI FARMASIS TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk proses respirasi. Respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA

HUBUNGAN RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA HUBUNGAN RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN TINGKAT KONTROL ASMA JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum ALISSA YUNITASARI G2A009124

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di negara dengan pendapatan tinggi sampai rendah. 1 Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecemasan merupakan salah satu masalah psikologi yang banyak dialami oleh seorang pasien di rumah sakit. Kecemasan adalah pengalaman umum manusia dan merupakan emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci