STATUS KONTAMINAN PADA SAYURAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI INDONESIA 1)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STATUS KONTAMINAN PADA SAYURAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI INDONESIA 1)"

Transkripsi

1 Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: STATUS KONTAMINAN PADA SAYURAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI INDONESIA 1) Christina Winarti dan Miskiyah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor Telp. (0251) , , Faks. (0251) PENDAHULUAN Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak mengandung vitamin dan mineral, serta berpotensi sebagai sumber pendapatan petani dan devisa negara. Konsumsi sayuran dari tahun ke tahun cenderung meningkat sampai 26%. Hal tersebut antara lain terkait dengan makin meningkatnya kepedulian konsumen terhadap mutu produk dan kesehatan tubuh. Sampai saat ini, aspek mutu dan keamanan pangan masih menjadi salah satu masalah utama dalam produksi dan pemasaran sayuran. Mutu sayuran yang tidak konsisten dengan tingkat kontaminan yang cukup tinggi ditengarai dapat merugikan perdagangan komoditas tersebut di pasar regional maupun internasional. Salah satu masalah yang dihadapi oleh sebagian pengekspor dan produsen makanan adalah terjadinya kasus penahanan otomatis (automatic detention) terhadap produk pangan asal Indonesia. Kasus penahanan ini terjadi setiap tahun sehingga dapat menurunkan devisa. Pada bulan 1) Bagian dari naskah yang diterbitkan pada Jurnal Hortikultura Volume 19 Nomor 1, Tahun 2009, hlm Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli 2007 di Bogor. April 2005 terjadi 39 kasus penolakan produk makanan asal Indonesia oleh FAO karena mengandung berbagai bahan berbahaya yang dilarang dipergunakan. Kasus tersebut meningkat dibandingkan dengan bulan Januari 2005 dengan 15 produk yang ditolak, Februari 2005 sebanyak 29 produk, dan Maret 2005 meningkat menjadi 31 produk (Media Indonesia 2005). Kasus penolakan produk pangan dari Indonesia terutama (80%) karena kotor, dan persentase tersebut relatif tetap dari tahun ke tahun. Kasus penolakan terhadap sayuran dari Indonesia oleh beberapa negara menunjukkan bahwa penanganan keamanan pangan di Indonesia masih belum optimal. Minimnya penerapan teknologi produksi dan penanganan pascapanen sayuran mengakibatkan mutu yang tidak konsisten. Masalah tersebut masih ditambah dengan penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga produk sayuran Indonesia memiliki jaminan keamanan pangan yang rendah dan tingkat kontaminasi yang tinggi. Jenis kontaminan yang menjadi perhatian utama saat ini adalah mikroba, logam berat, dan residu pestisida. Dalam memproduksi sayuran, petani menghadapi masalah serangan hama dan penyakit yang sering menyebabkan gagal panen. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan meng-

2 gunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida yang berlebihan menjadi sumber pencemaran pada bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Akibatnya, residu yang ditinggalkan secara langsung maupun tidak langsung sampai ke tubuh manusia. Upaya meningkatkan keamanan pangan produk pertanian, khususnya sayuran, telah dilakukan antara lain melalui program pengendalian hama terpadu (PHT). Pada PHT, produksi pertanian tidak hanya mempertimbangkan tingkat produksi yang tinggi, tetapi juga keberlanjutan produksi, kelestarian lingkungan, dan keamanan pangan. Sayangnya, sejauh ini upaya tersebut belum mampu memecahkan berbagai persoalan keamanan pangan karena adanya praktek produksi yang menyimpang dari anjuran. Munculnya beberapa kasus keracunan makanan dan penyakit karena mengonsumsi buah-buahan atau sayuran segar maupun olahan mengindikasikan adanya kontaminan (pestisida, mikroba, logam berat) dalam bahan pangan tersebut. World Health Organization (WHO) mendefinisikan penyakit asal pangan (foodborn disease) sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang disebabkan oleh senyawa yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi. Menurut data FDA Amerika Serikat, penyakit asal pangan yang disebabkan oleh kontaminasi mikroba menempati urutan pertama di atas racun alami, residu pestisida, dan bahan tambahan pangan. Hasil penelitian Munarso et al. (2004, 2005) menunjukkan bahwa kandungan kontaminan logam berat pada sayuran bervariasi, termasuk logam berat timbal (Pb). Sementara itu, hasil pengujian kandungan residu pestisida memperlihatkan bahwa secara kualitatif sayuran terdeteksi mengandung residu pestisida, namun secara kuantitatif kandungan tersebut masih di bawah ambang batas yang diizinkan. Tulisan ini menyajikan kajian dan hasil penelitian mengenai kontaminan pada sayuran dan upaya pengendaliannya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai status kontaminan pada sayuran dan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya sehingga keamanan dan mutu sayuran makin meningkat. KONTAMINAN MIKROBA PADA SAYURAN Beberapa jenis sayuran yang biasa dikonsumsi segar berpotensi merugikan kesehatan karena rentan terkontaminasi mikroba. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kontaminasi mikroba pada sayuran segar yang diambil di tingkat petani maupun pedagang (Isyanti 2001). Demikian pula hasil penelitian Susilawati (2002) menunjukkan adanya kandungan Salmonella pada sayuran segar di tingkat petani dan pedagang di Bogor. Di Amerika Serikat, patogen yang menjadi perhatian utama pada buah dan sayuran adalah Salmonella, Shigella, Entamoeba histolytica, dan Ascaris spp. Kontaminasi mikroba pada sayuran bisa berasal dari penyemprotan atau pengairan dengan air yang terkontaminasi Salmonella dan pemupukan dengan kotoran hewan, sehingga pada sayuran seperti selada ditemukan Salmonella (Lund et al. 2000). Menurut Sapers (2001), kontaminasi mikroba patogen pada produk pertanian terjadi pada beberapa titik, mulai dari tahap produksi, panen, pengepakan, pengolahan, distribusi hingga pemasaran. Marriot (1999) melaporkan bahwa Salmonella dapat tumbuh dan memproduksi

3 endotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Salmonellosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Salmonella. Jumlah bakteri yang dapat menyebabkan infeksi bergantung pada jenis Salmonella dan keadaan kesehatan seseorang. Jumlah bakteri dapat menyebabkan infeksi. Salmonellosis ditandai dengan sakit perut, mual dan diare, kadang disertai demam ringan dan sakit kepala. Salmonellosis timbul 8-72 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Beberapa strain Escherichia coli dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan dengan memproduksi enterotoksin dan menimbulkan gejala menyerupai kolera, menyerang sel-sel epitelium saluran usus dengan melakukan adhesi dan kolonisasi pada saluran usus halus serta mengeluarkan enterotoksin. Bakteri E. coli patogen dapat menimbulkan sindrom klinis, yaitu gastroenteritis akut pada anakanak dan infeksi pada saluran pencernaan. Kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari air yang digunakan untuk mencuci bahan makanan yang akan dikonsumsi maupun peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas. Oleh karena itu, untuk mencegah pertumbuhan bakteri tersebut pada makanan, sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah (Supardi dan Sukamto 1999). International Commision on Microbiological Specification for Foods (ICMSF) (1996) merekomendasikan, sayuran yang akan dikonsumsi mentah mengandung E. coli kurang dari 10 3 CFU/g, Salmonella harus tidak ada dalam 25 g sampel, dan tiga dari lima sampel yang dianalisis boleh mengandung total mikroba CFU/g. Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1989) mensyaratkan sayuran yang dikonsumsi maksimum mengandung E. coli 10 2 CFU/g dan tidak mengandung Salmonella. KASUS KERACUNAN KARENA KONSUMSI SAYURAN Kasus keracunan karena mengonsumsi buah dan sayuran yang terkontaminasi bakteri patogen, terutama E. coli, Listeria monocytogenes dan Salmonella cenderung meningkat (Tauxe et al. 1997; Singh et al. 2002). Beberapa kasus penyakit di beberapa negara yang disebabkan konsumsi sayuran segar seperti selada, lobak, dan kecambah disajikan pada Tabel 1. Di Indonesia, kasus keracunan pangan cukup sering terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 dilaporkan bahwa dari 18 kasus yang tercatat, 83,3% diduga karena bakteri patogen, sedangkan pada tahun 2004 sebanyak 60% dari 41 kasus, dan pada tahun 2005, dari 53 kasus 72,2% karena bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu mikrobiologis pada jajanan umumnya sangat rendah. Beberapa makanan jajanan seperti gado-gado, ketoprak, dan tauge goreng mengandung bakteri koliform antara 1 x 10 4 sel sampai 1,7 x 10 4 sel/g dan koliform fekal antara 3,6 x 10 sel sampai 5,0 x 10 3 sel/ g, selain mengandung Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus. HASIL PENELITIAN KONTAMINAN PADA SAYURAN Hasil penelitian tingkat kontaminasi mikroba, logam berat, dan residu pestisida pada sayuran di beberapa sentra produksi di Jawa oleh Munarso et al. (2004, 2005) disajikan pada Tabel 2-4. Pengambilan con-

4 Tabel 1. Beberapa kasus keracunan karena konsumsi sayuran di beberapa negara, Tahun Jenis patogen Komoditas Jumlah kasus Lokasi 1992 Salmonella enteritidis Selada 12 Vermont E. coli Wortel 1993 E. coli Wortel 47 Rhode Island, AS 1993 E. coli Selada 121 New Hampshire, AS 1995 Campylobacter jejuni Selada 23 Ontario, Kanada 1995 E. coli Selada 14 Oklahoma, AS 1996 E. coli Selada 49 Dua negara bagian di AS 1996 E. coli Selada 61 Connecticut, Illinois, New York 1996 E. coli Selada (daun merah) 27 Chicago 1996 E. coli Selada 11 Ohio 1996 E. coli Kecambah lobak Jepang 1997 E. coli Kecambah lobak 126 Jepang 1997 Cyclospora Selada 29 Florida 1998 Shigella sonnei Selada 160 Minnesota 1999 E. coli Selada 47 Ohio, Indiana 1999 E. coli Kubis 2 7 Indiana 1999 E. coli Kubis 1 9 Ohio 1999 Salmonella Kecambah 26 California 2000 Salmonella enteritidis Kecambah kacang 25 Belanda 2000 Samonella enteritidis Kecambah 45 California 2001 Salmonella enteritidis Kecambah 84 Alberta, B.C, Saskatchewan Sumber: OMAFRA (2002) Tabel 2. Jumlah mikroba pada beberapa jenis sayuran segar. Sayuran Jumlah mikroba (sel/g) di tingkat Petani Pasar BMR 1) Kubis 1,4 x ,1 x ,3 x ,6 x Tomat 5,4 x ,7 x ,3 x ,5 x Wortel 1,8 x ,2 x ,1 x ,7 x Cabai merah 5,7 x ,4 x ,2 x Bawang merah 8,4 x ,1 x ,7 x ,7 x Selada 3,6 x ,8 x ,1 x ,1 x Sumber: Munarso et al. (2004, 2005); 1) Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1989) toh dilakukan secara acak terstruktur, selanjutnya sampel dianalisis di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Bogor. Kandungan mikroba pada sayuran segar umumnya masih sangat tinggi, yaitu sel/g sampel pada penanganan di tingkat petani dan pasar tradisional. Jumlah

5 ini melebihi ketentuan yang dipersyaratkan, yaitu 10 3 sel/g sampel. Tingkat kontaminan mikroba pada sayuran segar di tingkat petani cukup tinggi, yaitu untuk kubis 2,6 x 10 6 sel sampai 8,0 x 10 7 sel/g, tomat 2,0 x 10 5 sel sampai 2,6 x 10 6 sel/g, dan wortel 1,8 x 10 6 sel sampai 1,2 x 10 8 sel/ g. Pada selada, kandungan mikroba berkisar antara 3,63 x 10 4 sel sampai 2,09 x 10 7 sel/g, pada cabai merah 5,04 x 10 5 sel sampai 2,19 x 10 7 sel/g, dan bawang merah 4,77 x 10 6 sampai 7,1 x 10 7 sel/g. Dari ketiga jenis sayuran tersebut, beberapa sampel yang diuji positif mengandung E. coli. Ambang batas jumlah mikroba dalam pangan adalah 10 3 sel/g. Berdasarkan SNI 7388: 2009 tentang batas cemaran mikroba dalam pangan, batas kandungan E.coli pada sayuran adalah < 3/g sampel dan Salmonella sp. negatif untuk 25 g sampel (BSN 2009b). Hasil penelitian tingkat kontaminasi logam berat sangat bervariasi, bergantung jenis kontaminannya. Kandungan logam berat besi (Fe) pada semua jenis sayuran secara umum melebihi ambang batas maksimum residu (BMR) yang direkomendasikan. Demikian pula kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa sayuran melebihi ambang batas, walaupun ada yang tidak terdeteksi, seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat kontaminasi logam berat pada beberapa jenis sayuran segar. Sayuran dan jenis logam Kadar (ppm) BMR (ppm) (SNI 7387: 2009) 1) Kubis Fe 3,99-5,99 5,0 Pb 0,175-0,830 0,5 Cd 0,005-0,200 0,2 Tomat Fe 3,985-4,874 5,0 Pb 0,050-0,166 0,5 Cd 0,004-0,166 0,2 Wortel Fe 1,594-7,518 5,0 Pb 0,10-0,21 0,5 Cd 0,005-0,019 0,2 Cabai merah Fe 15,98-17,06 5,0 Pb ttd 0,5 Cd ttd 0,2 Bawang merah Fe 8,29-8,32 5,0 Pb ttd 0,5 Cd ttd 0,2 Selada Fe 6,71-6,89 5,0 Pb ttd 0,5 Cd ttd 0,2 Sumber: Munarso et al. (2004, 2005); 1) BSN (2009a)

6 Tabel 4. Residu pestisida pada beberapa jenis sayuran. Jenis sayuran dan residu pestisida Kadar (ppm) BMR (ppm) (SNI 7313:2008) 1) Kubis Endosulfan (organoklorin) 0, ,0074 1,00 Metidation (organofosfat) 0,0005-0,0018 0,10 Klorpirifos (organofosfat) 0,0004-0,0053 0,05 Tomat Metidation (organofosfat) 0,0037-0,0085 0,10 Profenofos (organofosfat) 0,0014-0,0079 2,00 Karbofuran (karbamat) 0,0014-0,0047 0,10 Wortel Endosulfan (organoklorin) 0,0011-0,0106 2,00 Metidation (organofosfat) ttd - 0,0041 0,10 Klorpirifos (organofosfat) 0,0013-0,005 0,50 Karbofuran (karbamat) ttd - 0,0027 0,50 Cabai merah Dieldrin (organoklorin) 0,0018-0,0070 0,10 Heptaklor (organoklorin) ttd - 0,0011 0,02 Endosulfan (organoklorin) 0,0022-0,0047 2,00 Klorpirifos (organofosfat) 0,0016-0,0041 0,50 Malation (organofosfat) ttd - 0,0006 3,00 Profenofos (organofosfat) 0,0008-0,0046 2,00 Bawang merah Aldrin (organoklorin) 0,0007-0,0028 0,10 Dieldrin (organoklorin) ttd - 0,0008 0,10 Heptaklor ep (organoklorin) 0,0020-0,0021 0,20 Endosulfan (organoklorin) 0,0012-0,0027 1,00 Klorpirifos (organofosfat) 0,0004-0,0022 0,05 Profenofos (organofosfat) ttd - 0,0021 0,05 Karbofuran (karbamat) ttd - 0,0004 0,10 Selada Aldrin (organoklorin) 0,0014-0,0106 0,10 Dieldrin (organoklorin) ttd - 0,0013 0,05 Heptaklor ep (organoklorin) 0,0035-0,0039 0,05 Endosulfan (organoklorin) 0,0012-0,0045 1,00 Klorpirifos (organofosfat) 0,0004-0,0050 0,10 Profenofos (organoofosfat) 0,0007-0,0023 1,00 Sumber: Munarso et al (2004, 2005); 1) BSN (2008) Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, baik jenis, komposisi, takaran, waktu, maupun interval pemakaian. Hal ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembapan dan curah hujan yang tinggi sehingga sangat baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan insektisida pada tanaman pangan, termasuk sayuran selama 25 tahun terakhir meningkat 20 kali. Meskipun PHT telah diterapkan, pada

7 prakteknya masih banyak petani yang menggunakan pestisida secara berlebihan. Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat terserap hasil panen berupa residu yang dapat terkonsumsi oleh konsumen. Residu pestisida dapat berasal dari pestisida yang terpapar langsung pada produk atau terserap dari dalam tanah, terutama pada tanaman yang dipanen umbinya. Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam produk pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Residu pestisida menimbulkan efek yang bersifat tidak langsung terhadap manusia, namun dalam jangka panjang menyebabkan gangguan kesehatan antara lain gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim. Tabel 4 menyajikan hasil pengujian kadar residu pestisida pada beberapa jenis sayuran dan batas maksimum yang diizinkan. Data pada tabel tersebut menunjukkan hampir semua sampel yang diuji positif mengandung residu pestisida walaupun kadarnya di bawah ambang batas yang diizinkan. Sekitar 200 jenis pestisida untuk pertanian yang beredar di Indonesia telah terdaftar dan diizinkan oleh pemerintah, antara lain pestisida golongan organofosfat. Pestisida golongan ini banyak digunakan petani karena mudah larut dalam air dan mudah terhidrolisis menjadi senyawa yang pada kadar tertentu tidak beracun dibandingkan dengan pestisida golongan lain. Berdasarkan Kepmentan No. 473/Kpts./TP.270/619/1996, 28 jenis bahan aktif pestisida dilarang untuk diedarkan dan digunakan, seperti asetat, azinfosmetil, diazinon, diklorfos, endosulfan, fention, kuinalfos, dan triklorfos. Namun, residu pestisida yang dilarang tersebut masih terdeteksi pada sayuran yang dibudidayakan petani. Hasil deteksi terhadap residu pestisida pada sayuran menunjukkan, meskipun secara kualitatif beberapa senyawa bahan aktif pestisida dapat terdeteksi, secara kuantitatif kandungan senyawa tersebut masih berada di bawah ambang batas yang diizinkan (Munarso et al. 2009). UPAYA PENGENDALIAN KONTAMINAN PADA SAYURAN Pengendalian kontaminan pada sayuran segar diperlukan untuk mengurangi residu kontaminan tersebut. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah: (1) pencucian menggunakan air mendidih, air mengalir, larutan sabun, maupun ozon terlarut; (2) pembersihan, pengupasan, dan pemotongan bagian akar maupun kulit terluar; (3) pencelupan dalam air panas atau pemblansiran; dan (4) penggunaan sanitizer. Sanitizer sering digunakan untuk mengendalikan kontaminan pada sayuran dan buah-buahan. Beberapa jenis sanitizer yang sering digunakan adalah klorin dan hidrogen peroksida. Penelitian tentang aplikasi sanitizer pada sayuran telah dilakukan di Indonesia, namun pada skala laboratorium yaitu pada selada (Marlis 2004) dan tauge (Wulandari 2004). Pemilihan jenis sanitizer didasarkan pada kemudahan dalam penggunaan dan nilai ekonomi sanitizer yang digunakan. Kombinasi larutan klorin dalam bentuk natrium hipoklorit (NaOCl) dan asam asetat mampu mematikan mikroba patogen karena suasana asam akan memacu pembentukan asam hipoklorit dari natrium hipoklorit yang merupakan agens bakterisidal yang lebih tinggi dibanding ion-ion klorida (Cl 2 dan OCl - ). Menurut Marriot (1999), sanitizer adalah suatu bahan yang dapat mengurangi

8 kontaminan mikroba yang sedang tumbuh hingga 99,9%. Efektivitas sanitizer, terutama sanitizer kimia, dipengaruhi oleh faktor fisik-kimia seperti waktu kontak, suhu, konsentrasi, ph, kebersihan peralatan, kesadahan air, dan serangan bakteri. Beberapa jenis sanitizer yang sudah dikenal adalah senyawa fenol dan fenolik, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, detergen, senyawa amonium quarterner, asam, dan alkali. Sanitizer dapat diaplikasikan dengan cara sirkulasi, perendaman, penggunaan sikat, fogging (pembentukan kabut), dan penyemprotan (Jenie 1988). Klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat memengaruhi DNA. Natrium hipoklorit bereaksi dengan DNA sel hidup, menyebabkan mutasi akibat reaksi oksidasi basa purin dan pirimidin. Bakteri vegetatif umumnya lebih terpengaruh oleh sifat inaktivasi klorin daripada mikroba yang membentuk spora. Hasil penelitian Munarso et al. (2005) menunjukkan bahwa formula sanitizer hasil penelitian yang dapat diterapkan di tingkat petani adalah kombinasi asam asetat 2% dan natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit. Kombinasi ini memberikan efektivitas yang tinggi terhadap inaktivasi mikroba patogen. Kombinasi asam asetat 2,75%, natrium hipoklorit 77 ppm dengan waktu kontak 3,5 menit menurunkan residu pestisida hingga 3,32%. Evaluasi penerapan sanitizer pada kelompok tani menunjukkan tingkat inaktivasi rata-rata 5,59 log CFU/g dan pengurangan residu pestisida rata-rata 24,61%. Hasil penelitian aplikasi sanitizer pada terminal agribisnis yang dilakukan oleh Winarti et al. (2007) menunjukkan bahwa formula sanitizer dengan kombinasi natrium hipoklorit 100 ppm dan asam asetat 2% dengan lama perendaman 4 menit memberikan efektivitas yang cukup tinggi terhadap mikroba, tetapi menyebabkan pencoklatan terutama pada wortel dan selada. Modifikasi formula dengan menurunkan konsentrasi asam asetat menjadi 1% dan 0,5% masih efektif terhadap mikroba dengan sifak fisik dan organoleptik sayuran yang baik. Jumlah total mikroba dan E. coli pada sayuran yang direndam dengan sanitizer turun di bawah ambang batas yang diizinkan untuk produk pangan yang dikonsumsi mentah. Demikian pula kadar residu klorin berada di bawah BMR klorin untuk air minum. Total mikroba dan E. coli pada tomat, wortel, dan selada yang diberi sanitizer tidak berbeda di antara ketiga konsentrasi asam asetat. Hasil pengamatan setelah penyimpanan menunjukkan perubahan warna, penurunan tingkat kekerasan dan kadar vitamin C pada tomat dan kadar beta-karoten pada wortel. Secara organoleptik, sayuran yang diberi sanitizer dapat diterima dengan nilai 4-5 (agak suka sampai suka). Metode lain untuk mengendalikan kontaminan pada sayuran adalah aplikasi ozon. Menurut Sugiharto (2007), ozon merupakan zat aktif yang jika bereaksi dapat mematikan bakteri. Ozon adalah bentuk lain dari oksigen; perbedaannya terletak pada jumlah molekul O. Oksigen mengandung dua molekul O (O 2 ), sedangkan ozon mengandung tiga molekul O (O 3 ). Teknologi ozon yang sudah berkembang adalah sterilisasi dengan menggunakan air berozon. Teknologi ozon telah diuji coba untuk mengawetkan tomat di Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang, dengan cara penyemprotan. Sampel tomat yang diteliti berasal dari lima mata rantai pemasaran, yaitu petani, pengumpul, grosir, pasar tradisional, dan pasar swalayan. Konsentrasi larutan ozon yang digunakan adalah 1 mg/l, 1,5 mg/l, 2 mg/l, dan kontrol

9 (tanpa larutan ozon). Hasil penelitian menunjukkan, kualitas fisik, kimia, dan organoleptik tomat yang dicuci dengan air berozon lebih baik dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol). Pencucian menggunakan larutan ozon menurunkan residu pestisida dan logam berat. Tomat yang disemprot dengan larutan ozon lebih bersih dan awet hingga 3 minggu. Penggunaan ozon dianggap aman karena tidak meninggalkan residu pada produk. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Beberapa sayuran seperti kubis, tomat, wortel, cabai merah, bawang merah, dan selada yang berasal dari petani maupun yang ada di pasaran mengandung mikroba di atas ambang batas yang direkomendasikan Kementerian Pertanian. Hal ini memengaruhi pula kandungan mikroba pada makanan yang menggunakan sayuran segar, seperti gado-gado, ketoprak, dan tauge goreng. Jenis mikroba yang banyak ditemui adalah bakteri koliform, koliform fekal, E.coli, Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus. 2. Tingkat kontaminasi logam berat pada sayuran bervariasi, bergantung pada jenis logam dan sayuran. Kandungan logam berat Fe pada semua jenis sayuran yang diamati umumnya melebihi BMR. Kandungan logam berat Pb dan Cd yang melebihi BMR ditemukan pada kubis, tomat, dan wortel, sedangkan pada cabai merah, bawang merah, dan selada tidak terdeteksi. 3. Pada umumnya sayuran yang diamati mengandung residu pestisida di bawah BMR. 4. Formula sanitizer dengan kombinasi asam asetat 2% dan natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit memberikan efektivitas yang tinggi terhadap inaktivasi mikroba patogen. Implikasi Kebijakan 1. Kontaminasi mikroba patogen, logam berat, dan residu pestisida pada sayuran terjadi karena petani, pengumpul, distributor, dan pedagang belum menerapkan standar prosedur operasi secara benar. Oleh karena itu, Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Pratices (GHP) harus diterapkan pada rantai pemasaran sayuran. 2. Perlunya dilakukan revitalisasi terminal agribisnis di sentra produksi sayuran agar dapat berfungsi sebagai pasar produk sayuran bermutu dan memudahkan pengawasannya. 3. Menyusun dan melengkapi SNI untuk komoditas sayuran dengan memperhatikan faktor keamanan pangan dan tuntutan perdagangan bebas sehingga komoditas sayuran Indonesia mampu bersaing di pasar domestik maupun ekspor. 4. Perlunya sosialisasi yang intensif mengenai kontaminan yang berbahaya bagi kesehatan, ambang batas yang direkomendasi, serta standar mutu berbagai sayuran. 5. Diperlukan adanya kepastian hukum yang mengikat semua pihak, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian. Keamanan

10 produk pertanian belum menjadi perhatian utama saat ini karena belum ada aturan dan sanksi yang tegas terhadap kasus keracunan. 6. Mempermudah mekanisme klaim konsumen kepada produsen dan adanya kepastian hukum bagi produsen yang tidak melaksanakan persyaratan mutu. DAFTAR PUSTAKA BSN (Badan Standardisasi Nasional) SNI 7313: Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. BSN, Jakarta. 147 hlm. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009a. SIN 7387: Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. BSN, Jakarta. 25 hlm. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009b. SIN 7388: Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan. BSN, Jakarta. 37 hlm. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Keputusan Ditjen POM RI No /B/SK/VII/1990 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. ICMSF (International Commision on Microbiological Specification for Foods) Microorganisms in Food. 2. Sampling for Microbiological Analysis Principles and Specific Aplications. 2 nd Edition. Chapman and Hall, Glasgow. Isyanti, M Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalap dari Pasar Tradisional di Daerah Bogor dan Pengaruh Pascapanen Minimal untuk Menjamin Keamanannya. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jenie, B.S.L Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Lund, B.M., T.C. Baird-Parker, and G.W. Gould The Microbial Safety and Quality of Food. Vol. II. Aspen Publ. Inc., Gathesburg, Maryland. Marriot, N.G Principle of Food Sanitation. 4 th Edition. Aspen Publ. Inc., Gather-sburg, Maryland. Marlis, A Efektivitas Hidrogen Peroksida dan Asam Asetat untuk Inaktivasi Salmonella pada Selada Segar. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Media Indonesia Produk Makanan Indonesia Ditolak di AS. Media Indonesia 12 Mei 2005: 4. Munarso, S.J., Misgiyarta, R. Nurjanah, Murtiningsih, E. Mulyono, Suismono, Syaifullah, D. Amiyarsi, S. Nugraha, dan S.I. Kailaku Penelitian Perilaku Kontaminan pada Komoditas Sayuran. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Munarso, S.J., Misgiyarta, Syaifullah, Murtiningsih, Miskiyah, W. Haliza, Suismono, E. Mulyono, S. Nugraha, D. Amiyarsi, R. Nurjanah, Widaningrum, P. Yuwono, S.I. Kailaku, dan A. Budiyanto Identifikasi Kontaminan dan Perbaikan Mutu Sayuran. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasacapanen Pertanian, Bogor. Munarso, S.J., Miskiyah, dan Wisnubroto Studi kandungan residu pestisida pada kubis, tomat dan wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Penelitian Pascapanen Pertanian 5(1): OMAFRA (Ontario Ministry of Agriculture Food and Rural Affairs)

11 Selected foodborn outbreaks traced to fresh produces and juices. In Food Safety Risk Assessment Foods of Plant Origin. Appendix A. OMAFRA Food Inspection Branch. Sapers, G.M Efficacy of washing and sanitizing methods for disinfection of fresh fruit and vegetable products. Food Technol. Biotechnol. 39(4): Singh, N., R.K. Singh, A.K. Bhunta, and R.L. Stroshine Effect of inoculation and washing methods on the efficacy of different sanitizers against Escherichia coli O157:87 on lettuce. Food Microbiol. 29: Sugiharto, A.T Teknologi ozon alternatif pengawetan makanan yang aman. Trubus 4 Juli Supardi, I. dan M. Sukamto Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung. Susilawati, A Keamanan Mikrobiologi dan Survei Lapangan Sayuran di Tingkat Petani dan Pasar Tradisional di Daerah Bogor. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tauxe, R., H. Kruse, C. Hedberg, M. Potter, J. Madden, and K. Wachsmuth Microbial hazards and emerging issues associated with produce. A preliminary report to the National Advisory Committee on Mocrobiological Criteria for Foods. J. Food Prot. 11: Winarti, C., Abubakar, Misgiyarta, dan R. Nurdjannah Penelitian Formulasi dan Aplikasi Sanitiser pada Sayuran untuk Mengurangi Kontaminan Mikroba. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Wulandari, D.S Efektivitas Hidrogen Peroksida dan Asam Asetat sebagai Sanitiser dalam Menginaktivasi Salmonella pada Tauge Segar. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung.

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung. Luas lahan sayuran di Tanggamus adalah 6.385 ha yang didominasi oleh tanaman cabai 1.961

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, air, protein, lemak, serat, dan asam amino yang paling mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Mengkonsumsi sayuran hijau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sawi pakcoy adalah jenis sayuran yang termasuk keluargan Brassicaceae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sawi pakcoy adalah jenis sayuran yang termasuk keluargan Brassicaceae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sawi pakcoy (Brassica rapa L) Sawi pakcoy adalah jenis sayuran yang termasuk keluargan Brassicaceae. Sayuran sawi pakcoy berasal dari Cina dan telah dibudidayakan secara luas setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida dimaksudkan untuk meningkatkan produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belajar biologi tidak hanya berasal dari buku saja, melainkan seperti proses

BAB I PENDAHULUAN. belajar biologi tidak hanya berasal dari buku saja, melainkan seperti proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari segala hal yang berhubungan dengan makhluk hidup. Seperti struktur yang membentuk makhluk hidup, komponen yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran yang dikonsumsi oleh sebagian

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran yang dikonsumsi oleh sebagian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bedugul adalah pusat produksi pertanian hortikultura dataran tinggi di Bali yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

SNI 3165:2009. Standar Nasional Indonesia. Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Panitia Teknis Perumusan SNI Pertanian.

SNI 3165:2009. Standar Nasional Indonesia. Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Panitia Teknis Perumusan SNI Pertanian. Standar Nasional Indonesia Jeruk keprok ICS 67.080.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Ketentuan

Lebih terperinci

Tingkat Kontaminan Mikroba Dan Residu Pestisida Pada Sayuran Segar. Contaminants Microbial Level and Residual Pesticide in Fresh Vegetables

Tingkat Kontaminan Mikroba Dan Residu Pestisida Pada Sayuran Segar. Contaminants Microbial Level and Residual Pesticide in Fresh Vegetables Tingkat Kontaminan Mikroba Dan Residu Pestisida Pada Sayuran Segar Contaminants Microbial Level and Residual Pesticide in Fresh Vegetables Ade Vera Yani 1*), Hasbi 1, G. Priyanto 1, R. Pambayun 1, A. Wijaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan komoditas sayuran bernilai ekonomi yang banyak diusahakan petani setelah cabai dan bawang merah. Kentang selain digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dampak negatif terhadap kesehatan manusia (Wudianto, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. dan dampak negatif terhadap kesehatan manusia (Wudianto, 1999). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan pestisida dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari manfaat yang dirasakan masyarakat dari penggunaan pestisida tersebut. Bahkan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kacang panjang, daun kecipir, buncis, seledri, dan lain-lain. Kacang panjang

I. PENDAHULUAN. kacang panjang, daun kecipir, buncis, seledri, dan lain-lain. Kacang panjang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral terutama vitamin B dan C. Jenis sayuran yang banyak mengandung mineral dan serat diantaranya bayam, kacang panjang, daun kecipir,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia. Penggemar makanan jajanan ini merata mulai dari anak-anak sampai orang dewasa sehingga pedagang makanan

Lebih terperinci

SNI 4230:2009. Standar Nasional Indonesia. Pepaya

SNI 4230:2009. Standar Nasional Indonesia. Pepaya Standar Nasional Indonesia Pepaya ICS 67.080.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Ketentuan mengenai

Lebih terperinci

KUALITAS BAKTERIOLOGIS BERDASARKAN KEBERADAAN Salmonella sp PADA SELADA (Lactusa sativa)

KUALITAS BAKTERIOLOGIS BERDASARKAN KEBERADAAN Salmonella sp PADA SELADA (Lactusa sativa) Ramadhani, Dian dan Yuliawati Jurnal Kesmas Jambi (JKMJ) KUALITAS BAKTERIOLOGIS BERDASARKAN KEBERADAAN Salmonella sp PADA SELADA (Lactusa sativa) Bacteriological Quality Based n The Existence Salmonella

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel

Lebih terperinci

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME MAKANAN DAN KEMASAN Bahan pangan mempunyai mikroflora spesifik yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kubis (Brassica Olearecea Var Capitata). Kubis memiliki kandungan gizi yang

I. PENDAHULUAN. kubis (Brassica Olearecea Var Capitata). Kubis memiliki kandungan gizi yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini sayuran sangat berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan gizi terhadap manusia, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

The Identification of Klorpirifos Residues on Carrots (daucus carota ) in Pabaeng-Baeng Market and Lotte Mart of Makassar City

The Identification of Klorpirifos Residues on Carrots (daucus carota ) in Pabaeng-Baeng Market and Lotte Mart of Makassar City IDENTIFIKASI RESIDU PESTISIDA KLORPIRIFOS DALAM SAYURAN WORTEL (Daucus Carota )DI PASAR PABAENG-BAENG DAN LOTTE MART PANAKUKANG KOTA MAKASSAR The Identification of Klorpirifos Residues on Carrots (daucus

Lebih terperinci

Tahun Bawang

Tahun Bawang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar

Lebih terperinci

PENINGKATAN MUTU SAYURAN MELALUI SERTIFIKASI PRIMA 3 PADA KAWASAN PRIMA TANI PAAL MERAH KOTA JAMBI. Abstrak

PENINGKATAN MUTU SAYURAN MELALUI SERTIFIKASI PRIMA 3 PADA KAWASAN PRIMA TANI PAAL MERAH KOTA JAMBI. Abstrak PENINGKATAN MUTU SAYURAN MELALUI SERTIFIKASI PRIMA 3 PADA KAWASAN PRIMA TANI PAAL MERAH KOTA JAMBI Kiki Suheiti dan Syafri Edi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal Lima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGARUH FREKWENSI PENCUCIAN TERHADAP RESIDU PESTISIDA (GOLONGAN ORGANOPOSPAT JENIS PROFENOFOS) PADA CABE MERAH (Capsium annum)

PENGARUH FREKWENSI PENCUCIAN TERHADAP RESIDU PESTISIDA (GOLONGAN ORGANOPOSPAT JENIS PROFENOFOS) PADA CABE MERAH (Capsium annum) PENGARUH FREKWENSI PENCUCIAN TERHADAP RESIDU PESTISIDA (GOLONGAN ORGANOPOSPAT JENIS PROFENOFOS) PADA CABE MERAH (Capsium annum) Awalia Gusti (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang) ABSTRACT Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah menjadi pelengkap kebutuhan pangan manusia yang mempunyai banyak variasi rasa, warna, dan serat yang bermanfaat untuk kesehatan. Selain dikonsumsi secara langsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indra Sukarno Putra, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indra Sukarno Putra, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan terhadap produk pertanian semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Bahan pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

Teknologi Arang Aktif untuk Pengendali Residu Pestisida di Lingkungan Pertanian

Teknologi Arang Aktif untuk Pengendali Residu Pestisida di Lingkungan Pertanian Teknologi Arang Aktif untuk Pengendali Residu Pestisida di Lingkungan Pertanian Oleh Asep Nugraha Ardiwinata Pestisida telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu yang baru keluar dari kelenjar mamae melalui proses pemerahan merupakan suatu sumber bahan pangan yang murni, segar, higienis, bergizi, serta mengandung sejumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization atau WHO (2006), mendefinisikan foodborne disease sebagai istilah umum untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman

Lebih terperinci

STATUS JUMLAH KUMAN TOTAL PADA SELADA (Lactusa sativa) DI TINGKAT PEDAGANG

STATUS JUMLAH KUMAN TOTAL PADA SELADA (Lactusa sativa) DI TINGKAT PEDAGANG STATUS JUMLAH KUMAN TOTAL PADA SELADA (Lactusa sativa) DI TINGKAT PEDAGANG Total number status of germ on teh Lettuce (Lactusa Sativa) At the Merchant Level Nur Rizky Ramadhani ¹ 1 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saus Sambal Saus Sambal merupakan salah satu jenis pangan pelengkap yang sangat populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI 0129762006), saus sambal didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fosfor 40 mg; dan menghasilkan energi 30 kalori (Tarmizi, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. fosfor 40 mg; dan menghasilkan energi 30 kalori (Tarmizi, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonium L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang dikembangkan dan memiliki prospek yang bagus serta memiliki kandungan gizi yang berfungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman sehingga bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman sehingga bisa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Makanan dan minuman selain berfungsi dalam mendukung kesehatan juga bisa menjadi sumber penyakit bagi manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan sayuran umbi yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap masakan, di samping sebagai obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan sandang dan papan. Sandang dan papan menjadi kebutuhan pokok manusia karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman pertanian sering diganggu atau dirusak oleh organisme pengganggu yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu Tanaman/Tumbuhan (OPT) ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

I. PENDAHULUAN. sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keamanan pangan, dalam UU RI no 7 tahun 1996 didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makanan Makanan diperlukan untuk kehidupan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan berfungsi untuk memelihara proses tubuh dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dhora Dwifianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dhora Dwifianti, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kebutuhan pangan nasional dengan laju 1-2% per tahun terutama disebabkan oleh pertambahan penduduk yang saat ini sudah berjumlah lebih dari 220 juta jiwa

Lebih terperinci

RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN

RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN 1 RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN Pendahuluan Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan

Lebih terperinci

Air mineral alami SNI 6242:2015

Air mineral alami SNI 6242:2015 Standar Nasional Indonesia Air mineral alami ICS 67.160.20 Badan Standardisasi Nasional BSN 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen

Lebih terperinci

Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia

Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia Dengan semakin meluasnya kawasan pemukiman penduduk, semakin meningkatnya produk industri rumah tangga, serta semakin berkembangnya Kawasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan dikonsumsi

Lebih terperinci

STUDI KEAMANAN SUSU PASTEURISASI YANG BEREDAR DI KOTAMADYA MALANG (KAJIAN DARI MUTU MIKROBIOLOGIS DAN NILAI GIZI)

STUDI KEAMANAN SUSU PASTEURISASI YANG BEREDAR DI KOTAMADYA MALANG (KAJIAN DARI MUTU MIKROBIOLOGIS DAN NILAI GIZI) STUDI KEAMANAN SUSU PASTEURISASI YANG BEREDAR DI KOTAMADYA MALANG (KAJIAN DARI MUTU MIKROBIOLOGIS DAN NILAI GIZI) Elok Zubaidah *, Joni Kusnadi *, dan Pendik Setiawan ** Staf Pengajar Jur. Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat sekarang ini pertanian tidak lagi menjadi aktivitas yang sederhana, tidak sekedar bercocok tanam, tetapi menjadi suatu kegiatan bisnis yang kompleks. Pasar

Lebih terperinci

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA Siti Fatimah1, Yuliana Prasetyaningsih2, Meditamaya Fitriani Intan Sari 3 1,2,3 Prodi D3 Analis Kesehatan STIKes Guna Bangsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda-benda yang

BAB 1 PENDAHULUAN. mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda-benda yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia.keamanan pangan menurut UU RI No. 7 Tahun (1996) adalah upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan salah satu komoditas unggulan di beberapa daerah di Indonesia, meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok tetapi hampir selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gayatri Anggi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gayatri Anggi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sayuran dalam kehidupan manusia sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan gizi, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia pathogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai Salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

RENDAMAN DAUN PEPAYA (Carica papaya) SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura) PADA TANAMAN CABAI

RENDAMAN DAUN PEPAYA (Carica papaya) SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura) PADA TANAMAN CABAI RENDAMAN DAUN PEPAYA (Carica papaya) SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura) PADA TANAMAN CABAI Prehatin Trirahayu Ningrum, Rahayu Sri Pujiati, Ellyke, Anita Dewi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

Terasi udang SNI 2716:2016

Terasi udang SNI 2716:2016 Standar Nasional Indonesia ICS 67.120.30 Terasi udang Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan peningkatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan peningkatan jumlah konsumsi pangan, sehingga Indonesia mencanangkan beberapa program yang salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Food

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Food BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan bahwa pestisida adalah setiap zat yang diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya makanan maka manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Makanan

BAB I PENDAHULUAN. adanya makanan maka manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya makanan maka manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Makanan berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat pula. Peningkatan kebutuhan pangan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI RESIDU PESTISIDA LINDANE DALAM TOMAT BUAH DAN TOMAT BIASA DI PASAR TERONG DAN LOTTE MART KOTA MAKASSAR

IDENTIFIKASI RESIDU PESTISIDA LINDANE DALAM TOMAT BUAH DAN TOMAT BIASA DI PASAR TERONG DAN LOTTE MART KOTA MAKASSAR IDENTIFIKASI RESIDU PESTISIDA LINDANE DALAM TOMAT BUAH DAN TOMAT BIASA DI PASAR TERONG DAN LOTTE MART KOTA MAKASSAR IDENTIFICATION OF LINDANE PESTICIDES RECIDUES IN FRUIT TOMATO AND ORDINARY TOMATO AT

Lebih terperinci

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin modern serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat telah mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi makanan dan minuman. Sebagian

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan Teknologi Pangan Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi permintaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG (Penaeus sp) UNTUK PENGANEKARAGAMAN MAKANAN RINGAN BERBENTUK STICK Tri Rosandari dan Indah Novita Rachman Program Studi Teknoogi Industri Pertanian Institut Teknologi Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oksigen, dan karbon (ACC, 2011). Formalin juga dikenal sebagai formaldehyde,

BAB 1 PENDAHULUAN. oksigen, dan karbon (ACC, 2011). Formalin juga dikenal sebagai formaldehyde, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Formalin (CH 2 O) merupakan senyawa kimia yang terdiri dari hidrogen, oksigen, dan karbon (ACC, 2011). Formalin juga dikenal sebagai formaldehyde, methanal, methylen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. melindungi kebersihan tangan. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara

TINJAUAN PUSTAKA. melindungi kebersihan tangan. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Higienis dan Sanitasi Higienis adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap orang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dalam. terbawa hingga dewasa. Kegemaran masyarakat akan jajan atau

I. PENDAHULUAN. setiap orang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dalam. terbawa hingga dewasa. Kegemaran masyarakat akan jajan atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jajan merupakan suatu kebiasaan yang telah lama tertanam dalam diri setiap orang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dalam Taryadi (2007), jajanan merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia hidup membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Selain itu pangan juga berfungsi

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas dan Kecepatan Kematian. Tingkat mortalitas walang sangit pada aplikasi kontak dengan konsentrasi

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas dan Kecepatan Kematian. Tingkat mortalitas walang sangit pada aplikasi kontak dengan konsentrasi IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Mortalitas dan Kecepatan Kematian Hasil penelitian menunjukkan perlakuan konsentrasi ekstrak daun picung kontak dan anti-feedant berpengaruh nyata terhadap mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi diantaranya mengandung mineral, vitamin dan lemak tak jenuh. Protein dibutuhkan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu isi dari dasar-dasar pembangunan kesehatan di Indonesia adalah adil dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci