KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA AKHMAD RIZALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA AKHMAD RIZALI"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA AKHMAD RIZALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 ABSTRAK AKHMAD RIZALI. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERMANU TRIWIDODO. Penelitian ini mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan sistem informasi geografi (SIG), (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu. Penelitian dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang secara geografi terbentang antara BT dan LS. SIG digunakan untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau yang merupakan lokasi pengambilan contoh semut. Jarak isolasi pulau yang terukur berkisar antara 2,2-62,6 km, sedangkan luas pulau antara 1,00-52,87 ha. Pengambilan contoh semut dilakukan dengan metode koleksi intensif dalam plot pada keseluruhan patch di suatu pulau. Kurva akumulasi spesies digunakan untuk menduga keseluruhan spesies semut yang ada. Berdasarkan total plot contoh yang dilakukan, spesies semut yang berhasil dikoleksi di Kepulauan Seribu mencapai 96,87% yaitu berdasarkan nilai incidence-base coverage estimator (ICE). Secara keseluruhan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan. Analisis multidimensional scalling (MDS) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang digambarkan dalam grafik dua dimensi. Secara umum terlihat bahwa terdapat kecenderungan karakteristik pulau yaitu luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga mempengaruhi keanekaragaman semut di suatu pulau. Terkait dengan pola distribusi dan keberadaan spesies semut, berdasarkan hasil analisis dengan canonical correspondence analysis (CCA) menunjukkan bahwa masing-masing karakteristik pulau memiliki pengaruh terhadap jenis spesies semut tertentu. Polyrachis abdominalis keberadaannya dipengaruhi oleh peningkatan jarak isolasi pulau. Beberapa spesies cryptic seperti Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.4 dan Ponera sp. 1, hanya ditemukan pada pulau-pulau yang lokasinya dekat dengan Pulau Jawa. Spesies semut endemik tidak ditemukan di Kepulauan Seribu dari hasil penelitian ini. Sebaliknya, spesies semut eksotik berhasil ditemukan yaitu Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis yang ketiganya dikenal bersifat invasif. A. gracilipes dan S. geminata hanya ditemukan pada pulau-pulau yang memiliki dermaga saja. Kata kunci: semut, karakteristik pulau, SIG, MDS, CCA, spesies invasif

3 KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA AKHMAD RIZALI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

4 Judul penelitian : Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia Nama : Akhmad Rizali NIM : A Program studi : Entomologi - Fitopatologi Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 18 Mei 2006 Tanggal Lulus :

5 PRAKATA Alhamdulillahirabbil alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc. dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Kepada Dr. Christian H. Schulze, disampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya atas bimbingan teknis-ilmiahnya. Prof. Seiki Yamane atas bantuan dan kesediaannya untuk mengecek ulang spesimen dan identifikasi semut hingga tingkat spesies. Selain itu kepada Anna Spengler dan Peter Hartmann penulis juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) atas izin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kepulauan Seribu. Penelitian ini dibiayai oleh Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) Peka Indonesia Foundation, Hibah Tim Pasca Sarjana - DIKTI, dan Universitas Bayreuth - Jerman. Kepada kedua orang tua tercinta - Ayahanda Inhakam dan Ibunda Siti Aminah (alm.), istri, dan seluruh saudara disampaikan terima kasih karena atas doa merekalah penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga. Kepada rekan-rekan sekalian, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB; anggota tim Hibah Pascasarjana; dan rekan-rekan Peka Indonesia, yang telah memberikan dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian. Tak lupa ucapkan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan jagawana Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atas kesediaanya dalam menemani selama pengambilan contoh semut. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi yang memerlukannya. Bogor, Juni 2006 Akhmad Rizali

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 15 April 1977 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Inhakam dan ibu bernama Siti Aminah (alm). Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wungu, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan ke IPB melalui jalur Undangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (USMI). Penulis memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (sekarang menjadi Departemen Proteksi Tanaman) - Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf peneliti di Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) Peka Indonesia Foundation. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari tempat penulis bekerja. Penulis pernah mengikuti pelatihan yang terkait dengan bidang yang diminati yaitu (1) pelatihan taksonomis muda yang diselenggarakan oleh ARCBC (ASEAN Regional Center for Biodiversity Conservation) pada tahun 2002 dan (2) pelatihan GIS (Geographical Information Systems) yang diselenggarakan oleh SCGIS (Society for Conservation GIS) dan ESRI (Environmental Systems Research Institute) pada tahun Selain itu penulis juga aktif mengikuti organisasi seperti menjadi anggota PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) dan ANeT (international network for ant research (myrmecology) in Asia).

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x 1 PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)... 3 Pendahuluan... 3 Bahan dan Metode... 4 Lokasi Penelitian... 4 Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan... 4 Pemetaan Pulau... 6 Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau... 6 Hasil dan Pembahasan... 7 Akurasi Pemetaan Pulau... 7 Karakteristik 18 Pulau di Kepulauan Seribu... 9 Kesimpulan HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU Pendahuluan Bahan dan Metode Lokasi Penelitian Pengambilan Contoh Semut Analisis Data Hasil dan Pembahasan Estimasi Kekayaan Spesies Semut Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau Kesimpulan... 31

8 4 POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU Pendahuluan Bahan dan Metode Lokasi Penelitian Pengambilan Contoh Semut Analisis Data Hasil dan Pembahasan Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu Keanekaragaman Spesies Semut pada Berbagai Habitat Keberadaan dan Pola Distribusi Spesies Semut Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 52

9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan penelitian Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu Jenis spesies semut yang ditemukan dan keberadaannya pada pulaupulau di Kepulauan Seribu Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat tanah atau serasah dan permukaan tanah Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat permukaan tanah dan vegetasi Frekuensi ditemukannya spesies semut pada keseluruhan habitat (habitat tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi)... 40

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa menggunakan perangkat lunak ArcView Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau Onrust Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau Payung Besar Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira Kecil Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c) Pulau Nyamplung Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga... 29

11 13 Ordinasi canonical corespondence analysis (CCA) antara spesies semut ( ) dengan karakteristik pulau (panah). Spesies yang berposisi di pusat tidak dimunculkan namanya karena terlalu padat Pola distribusi dan keberadaan spesies semut cryptic di Kepulauan Seribu Pola distribusi dan keberadaan spesies semut invasif di Kepulauan Seribu Pola distribusi dan keberadaan beberapa spesies semut yang dipengaruhi oleh jarak isolasi pulau di Kepulauan Seribu... 46

12 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Studi keanekaragaman spesies pada kepulauan selalu mengaitkan kekayaan spesies dengan luas pulau dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber kolonisasi. Hubungan kekayaan spesies dengan luas dan jarak isolasi pulau telah dibahas mendalam oleh MacArthur & Wilson (1967) melalui model equilibrium (kesetimbangan) dalam teori biogeografi kepulauan. Semakin luas ukuran suatu pulau maka kekayaan spesies yang ada di dalamnya semakin tinggi. Ukuran pulau yang luas menjadikan keanekaragaman habitatnya tinggi, sehingga peluang keberadaan niche yang sesuai semakin tinggi pula (MacArthur & Wilson 1967). Semakin jauh jarak suatu pulau dari sumber kolonisasi maka kekayaan spesiesnya semakin rendah. Jauhnya jarak suatu pulau menjadi hambatan bagi spesies tertentu untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut. Sehingga hanya spesies yang memiliki kemampuan dispersal (penyebaran) tinggi yang dapat melakukan migrasi ke pulau tersebut. Perkembangan penelitian yang dilakukan memunculkan paradigma baru mengenai teori biogeografi kepulauan. Whittaker (1998) mengemukakan bahwa sejarah geologi pulau, fragmentasi habitat, dan intensitas gangguan manusia juga dapat mempengaruhi keanekaragaman spesies pada suatu pulau selain faktor luas dan jarak isolasi pulau. Bahkan menurut Brown & Lomolino (2000) kekayaan spesies pada suatu pulau ternyata tidak dalam equilibrium. Kekayaan spesies pada suatu pulau tidak hanya dipengaruhi oleh luas area dan jarak isolasi pulau tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik pulau yang lain. Pengaruh karakteristik pulau dijelaskan oleh Lomolino (2000) melalui model tripartite yang menggambarkan bahwa migrasi, kepunahan, dan evolusi sebagai fungsi dari karakteristik pulau. Karakteristik pulau akan mempengaruhi migrasi, kepunahan, spesiasi, dan keberadaan spesies endemik di suatu pulau. Penelitian ini akan mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Kepulauan Seribu dipilih untuk tempat penelitian karena dianggap mewakili kepulauan daerah tropik dan

13 2 terdiri atas banyak pulau dengan berbagai variasi penggunaan lahan. Menurut Alamsyah (2003) Kepulauan Seribu terdiri atas 106 pulau dengan luas tiap pulaunya kurang dari 1 km 2. Beberapa pulau seperti pulau-pulau di bagian utara telah dijadikan sebagai daerah konservasi yaitu Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, karena pulau-pulau telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan akibat aktivitas manusia, bahkan berdasarkan laporan UNESCO (1997) beberapa pulau telah hilang. Sistem informasi geografi (SIG) akan digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan karakterisasi pulau tempat pengambilan contoh semut dilaksanakan. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Adapun tujuan khusus berdasarkan topik-topik penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG, (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai (1) gambaran kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu dan (2) keanekaragaman semut yang ada di Kepulauan Seribu. Gambaran kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu bermanfaat untuk referensi penelitian berikutnya yang akan menghubungkan keanekaragaman spesies dengan kondisi pulau di Kepulauan Seribu. Keanekaragaman semut yang diperoleh pada berbagai kondisi pulau di Kepulauan Seribu juga dapat memberikan informasi mengenai arti penting pulau kecil di daerah tropik untuk pengaturan keanekaragaman semut.

14 BAB II KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) PENDAHULUAN Dewasa ini sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dimanfaatkan untuk penelitian ekologi seperti di antaranya mempelajari pola dan distribusi spasial organisme (Wadsworth & Treweek 1999). Komponen spasial yang berguna untuk mengetahui hubungan interaksi organisme dengan lingkungannya (Gilbert 1997) memungkinkan diukur secara kuantitatif dengan menggunakan SIG. Demikian juga interaksi antar spesies dalam skala lanskap yang mempelajari perpindahan spesies antar patch habitat sangat terbantu dengan SIG (Tischendorf & Fahrig 2000). SIG juga mempermudah dalam studi monitoring spesies invasif melalui pemetaan distribusi pada ekosistemnya berdasarkan lanskap, bioiklim, dan faktor yang memfasilitasi proses invasi (Joshi et al. 2004). Bahkan SIG juga digunakan dalam ilmu genetika sebagai perangkat untuk mempermudah melakukan modeling, seperti penelitian Manel et al. (2003) yang menghubungkan genetika populasi suatu spesies dengan ekologi lanskap. Menurut Aronoff (1995) SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang memiliki kemampuan menangani data bereferensi geografi meliputi pemasukan data, manajemen data, analisis dan manipulasi data, serta menghasilkan data. Dalam penggunaannya, SIG memerlukan komponen berupa komputer, perangkat lunak, data-data geografi, dan sumberdaya manusia untuk mengoperasikannya. Salah satu perangkat lunak SIG yang banyak digunakan adalah ArcView yang dikembangkan ESRI (Environmental Systems Research Institute). Perangkat lunak tersebut dapat digunakan untuk melakukan analisis fungsi-fungsi dasar SIG seperti membuat peta dan analisis statistik data spasial (Prahasta 2002). Fungsi-fungsi SIG khusus juga dapat dilakukan dengan ArcView yaitu dengan menggunakan ekstensi ArcView. Di antara ekstensi yang digunakan untuk melakukan analisis data spasial adalah patch analyst (Rempel et al. 1998). Perangkat lunak tersebut mempermudah untuk melakukan pengukuran

15 4 dan penjabaran data spasial meliputi ukuran, bentuk patch, dan keanekaragaman lanskap. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG. Perangkat lunak ArcView akan digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau. Hasil yang diperoleh akan digunakan untuk mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang terbentang antara BT dan LS dengan variasi luas dan jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa yang berbeda-beda (Gambar 1). Informasi awal mengenai pulau-pulau di Kepulauan Seribu diperoleh berdasarkan (1) peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999) dan (2) SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000 Tanggal 27 Juli Pulau terdekat dengan Pulau Jawa yang dipilih adalah Pulau Onrust, sedangkan yang terjauh Pulau Dua Timur. Luas pulau bervariasi antara 0,75 ha (Pulau Semak Daun) hingga 41,32 ha (Pulau Pari). Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu berdasarkan keberadaan pemukiman dan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian pada beberapa pulau masih memiliki kondisi hutan yang baik seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor. Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan Data karakteristik pulau yang akan diukur dan dipelajari pada penelitian ini adalah (1) jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa, (2) luas pulau, (3) bentuk pulau, (4) tipe penggunaan lahan, dan (5) keberadaan dermaga. Pengambilan data jarak isolasi, luas, dan bentuk pulau dilakukan dengan metode pengukuran pulau di

16 lapangan menggunakan GPS (global positioning system), sedangkan tipe penggunaan lahan dan keberadaan dermaga melalui pengamatan secara visual. 5 Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu

17 6 Pengukuran pulau atau pemetaan pulau di lapangan pada penelitian ini menggunakan GPS Garmin Etrex Vista. Peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999) digunakan untuk memberikan gambaran awal pada saat pengukuran pulau di lapangan. Pengukuran pulau dilakukan bila GPS telah mencapai tingkat akurasi di bawah 20 m yaitu dengan cara mengelilingi pulau sepanjang garis pantai, sehingga akan diperoleh data keliling pulau dan sekaligus bentuk pulau. Pemetaan Pulau Data hasil pengukuran di lapangan dengan GPS yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam komputer dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 (ESRI 2002). Bentuk pulau dan jenis penggunaan lahan pulau dipetakan dengan melakukan digitasi on-screen pada peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999). Hasil pengukuran pulau di lapangan digunakan sebagai referensi geografi sebelum digitasi dilakukan. Peta yang dihasilkan dibuat dalam dua sistem koordinat yaitu degree minute second (DMS) dan universal transver mercator (UTM). DMS digunakan untuk pembuatan peta lokasi penelitian sehingga dapat diperlihatkan posisi koordinat dari masing-masing pulau, sedangkan UTM digunakan untuk melakukan pengukuran karakteristik pulau. Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau Pengukuran jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan measure tool dalam perangkat lunak ArcView 3.3. Jarak suatu pulau ditentukan berdasarkan jarak terdekat pulau dengan tepi pantai Pulau Jawa (Gambar 2). Jarak terdekat diperoleh dengan cara melakukan eksplorasi jarak (d ) untuk mendapatkan jarak terdekat (d) antara suatu pulau dengan tepi pantai Pulau Jawa. Luas dan struktur lanskap masing-masing pulau diukur dengan menggunakan patch analyst (Rempel et al. 1998) yang merupakan perangkat lunak ekstensi ArcView. Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak tersebut adalah berupa data-data kuantitatif dari masing-masing pulau di antaranya

18 adalah luas (area), keliling (perimeter), bentuk (MSI = mean shape index), dan keanekaragaman lanskap (Elkie et al. 1999). 7 d = jarak pengukuran terdekat, d = jarak pengukuran jauh Gambar 2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 HASIL DAN PEMBAHASAN Akurasi Pemetaan Pulau Pemetaan yang dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu dibedakan menjadi dua yaitu pemetaan lapangan dan pemetaan on-screen. Pemetaan lapangan merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan GPS yang dijadikan sebagai sumber acuan untuk membuat peta pulau dengan menggunakan teknik digitasi on-screen. Gambar 3 menunjukkan posisi relatif antara pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen. Pengukuran di lapangan hasilnya cenderung sama dengan digitasi on-screen berdasarkan peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999). Titik-titik hasil pengukuran di lapangan terlihat sama mengikuti sepanjang pinggir pulau baik pada Pulau Pari

19 8 maupun Pulau Putri Barat. Pengukuran di lapangan sangat berguna untuk melakukan koreksi geografi terhadap peta. Koreksi yang dilakukan bertujuan untuk menetapkan posisi yang sebenarnya dan memberikan ketepatan pada saat pengukuran variabel pulau termasuk di dalamnya luas dan jarak isolasi pulau. Pari Putri Barat : pengukuran di lapangan Gambar 3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen Keakuratan pengukuran di lapangan bergantung pada penutupan kanopi dan keberadaan awan. Kondisi pulau dengan penutupan kanopi yang tinggi menjadikan GPS tidak dapat menangkap satelit dengan baik, demikian juga pada saat cuaca sedang berawan. Hal tersebut menjadikan tingkat akurasi atau ketepatan posisi menjadi rendah. Walaupun demikian, penelitian ini menggunakan ketepatan akurasi GPS di bawah 20 meter. Apabila akurasi masih di atas 20 meter maka tidak dilakukan pengukuran pulau. Keakuratan dan ketepatan posisi titik pada saat pengukuran di lapangan juga ditentukan oleh jenis GPS yang digunakan. GPS dengan tingkat akurasi tinggi akan menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang tinggi pula.

20 9 Karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu Jenis penggunaan lahan dari 18 pulau di Kepulauan Seribu disajikan dalam gambar peta penggunaan lahan (Gambar 4 9). Jenis penggunaan lahan tiap pulau adalah berdasarkan peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999), sehingga tidak menggambarkan kondisi sebenarnya pada saat penelitian dilakukan. Walaupun demikian berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan yang dilakukan (ground check) terdapat kesamaan jenis habitat di dalamnya, sedangkan luas tiap patch habitat berbeda. Jenis penggunaan lahan tiap pulau juga didiskripsikan berdasarkan kelas penggunaan lahan yaitu I - IV (Tabel 1). Perbedaan jenis penggunaan lahan adalah berdasarkan keberadaan rumah, hutan dan gangguan manusia di pulau tersebut. Pulau yang masuk dalam kelas I, seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor (Tabel 1), merupakan pulau dengan jenis penggunaan lahan hanya terdiri atas hutan dan dengan intensitas gangguan manusia rendah. Pulau Onrust dan Pulau Lancang Besar termasuk ke dalam kelas IV (Tabel 1) karena kedua pulau tersebut hanya terdiri atas perumahan dan dengan intensitas gangguan manusia tinggi. Pulau Onrust sering dikunjungi manusia karena merupakan daerah tempat wisata. Sedangkan Pulau Lancang Besar, merupakan pulau yang padat penduduknya sehingga gangguan habitat yang ada di pulau tersebut sangat tinggi. Informasi intensitas gangguan manusia berguna untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi gangguan habitat pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu. Bentuk masing-masing pulau di Kepulauan Seribu selain dapat langsung dilihat melalui gambar (Gambar 4 9), kompleksitasnya juga dapat diketahui berdasarkan nilai MSI (Tabel 1). MSI merupakan indeks yang menggambarkan kompleksitas bentuk suatu pulau, semakin tinggi nilai MSI suatu pulau maka bentuk pulau tersebut semakin kompleks. Di Kepulauan Seribu bentuk pulau paling sederhana adalah Pulau Dua Timur yaitu dengan nilai MSI 0,9071, sedangkan bentuk paling kompleks adalah Pulau Tidung Kecil dengan MSI 2,6143 (Tabel 1). Data jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa yang diperoleh berdasarkan SIG berkisar antara 2,2 62,6 km (Tabel 1). Pulau dengan jarak isolasi terjauh adalah

21 10 Pulau Dua Timur, sedangkan yang terdekat Pulau Onrust (Tabel 1, Gambar 1). Terdapat sedikit perbedaan antara hasil pengukuran dengan SIG dan pengukuran secara manual (Tabel 2) yaitu dengan perbedaan jarak berkisar antara 0-6 km. Perbedaan terjauh adalah hasil pengukuran pada Pulau Putri Barat (Tabel 2). Pengukuran jarak secara manual adalah pengukuran berdasarkan peta sehingga dimungkinkan terdapat kesalahan pada saat pengukuran. Walaupun demikian, ketepatan pengukuran dengan menggunakan SIG relatif bergantung pada akurasi dan jenis GPS yang digunakan pada saat digitasi di lapangan dilakukan. Tabel 1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG 1) 2) No Pulau Jarak Luas (km) 1) MSI 2) Penggunaan pulau (ha) lahan 2) Dermaga 3) 1. Onrust 2,2 8,23 0,9295 IV P 2. Rambut 4,2 45,80 1,3272 I P 3. Untung Jawa 4,8 39,12 2,0181 III P 4. Bokor 7,0 16,34 1,0267 I P 5. Lancang Besar 9,4 26,43 1,3542 IV P 6. Pari 16,1 52,87 2,3955 III P 7. Payung Besar 20,8 22,74 2,1066 III P 8. Tidung kecil 22,8 19,71 2,6143 II P 9. Pramuka 28,6 19,92 1,7803 III P 10. Semak Daun 31,2 1,00 1,1740 I A 11. Kotok Besar 34,2 22,65 1,2382 II P 12. Paniki 35,1 5,80 1,6019 I A 13. Bira Kecil 43,2 8,62 1,0032 II P 14. Putri Barat 45,9 9,63 1,3327 II P 15. Bundar 52,6 5,76 1,9667 II P 16. Nyamplung 54,9 8,96 1,3493 I A 17. Penjaliran Barat 59,6 21,65 0,9292 I A 18. Dua Timur 62,6 21,42 0,9071 I A Jarak = jarak isolasi pulau tersebut dari Pulau Jawa MSI = mean shape index, indeks yang menggambarkan bentuk pulau 2) I = hutan dengan intensitas gangguan manusia rendah, II = perumahan dan hutan dengan intensitas gangguan manusia rendah, III = perumahan dan hutan dengan intensitas gangguan manusia tinggi, IV = perumahan dengan intensitas gangguan manusia tinggi 3) P = presence, ada dermaga, A = absence, tidak ada dermaga

22 11 (a) (b) (c) Gambar 4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau Onrust

23 12 (a) (b) (c) Gambar 5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor

24 13 (a) (b) (c) Gambar 6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau Payung Besar

25 14 (a) (b) (c) Gambar 7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun

26 15 (a) (b) (c) Gambar 8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira Kecil

27 16 (a) (b) (c) Gambar 9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c) Pulau Nyamplung

28 Tabel 2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG No Pulau Jarak pulau (km) 1) Luas pulau (ha) Manual 2) SIG 3) SK Gubernur 4) SIG 3) 1. Onrust 3 2,2 12,00 8,23 2. Rambut 5 4,2 20,00 45,80 3. Untung Jawa 6 4,8 40,10 39,12 4. Bokor 7 7,0 18,00 16,34 5. Lancang Besar 10 9,4 15,13 26,43 6. Pari 16 16,1 41,32 52,87 7. Payung Besar 21 20,8 20,86 22,74 8. Tidung kecil 22 22,8 17,40 19,71 9. Pramuka 27 28,6 16,00 19, Semak Daun 29 31,2 0,75 1, Paniki 30 35,1 3,00 5, Kotok Besar 32 34,2 20,75 22, Putri Barat 40 45,9 8,29 9, Bira Kecil 43 43,2 7,30 8, Bundar 49 52,6 1,28 5, Nyamplung 54 54,9 6,58 8, Penjaliran Barat 57 59,6 17,90 21, Dua Timur 62 62,6 18,48 21, ) 2) 3) 4) Jarak pulau = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa Manual = pengukuran berdasarkan peta rupabumi Kepulaun Seribu (Bakosurtanal 1999) SIG = pengukuran dan penghitungan dengan menggunakan ArcView 3.3 SK Gubernur = SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000, Tanggal 27 Juli 2000 Hasil pengukuran luas pulau dengan menggunakan SIG berkisar antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52, 87 ha (Pulau Pari) (Tabel 1). Hasil pengukuran dengan SIG berbeda dengan data berdasarkan SK Gubernur Tahun 2000, bahkan perbedaan hingga mencapai 25,8 ha yaitu pada Pulau Rambut (Tabel 2). Perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan secara pasti melalui penelitian ini. Diduga terdapat perbedaan dalam metode pengukuran dan penetapan standar wilayah pulau yang menjadi faktor penyebab ketidaksamaan luas pulau. Data hasil pengukuran berdasarkan SIG akan digunakan pada penelitian selanjutnya yaitu untuk mempelajari hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Data berdasarkan SIG dinilai lebih

29 18 menggambarkan kondisi pulau yang sebenarnya karena pengukuran pulau di lapangan dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh semut, dan lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu. KESIMPULAN Penggunaan SIG memudahkan dalam pengukuran karakteristik pulau. Bentuk pulau dapat langsung diketahui pada saat melakukan pengukuran pulau di lapangan dengan menggunakan GPS. Perangkat lunak ArcView mempermudah dalam proses pengambilan data dari GPS, pengukuran karakteristik pulau (luas, jarak isolasi, dan bentuk pulau), dan penampilan data (pembuatan peta penggunaan lahan). Luas dan jarak isolasi pulau dapat diukur secara tepat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Walaupun demikian, keakuratan penggunaan SIG untuk pengukuran karakteristik pulau ditentukan oleh sumber data (keakuratan GPS yang digunakan) dan kondisi lapangan (kondisi cuaca dan penutupan kanopi pulau).

30 BAB III HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Semut merupakan kelompok hewan terestrial paling dominan di daerah tropik (Atkins 1980). Semut berperan penting dalam ekosistem terestrial sebagai predator, scavenger, herbivor, detritivor, dan granivor, serta memiliki peranan yang unik dalam interaksinya dengan organisme lain seperti tumbuhan atau serangga lain (Holdobler & Wilson 1990). Keberadaan semut sangat terkait dengan kondisi habitatnya. Menurut Andersen (2000) terdapat faktor pembatas utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah, habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber makanan yang terbatas, dan daerah jelajah yang tidak mendukung. Adanya aktivitas dan keberadaan manusia juga mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu ekosistem (Suarez et al. 1998; Gibb & Hochuli 2003; Graham et al. 2004; Schoereder et al. 2004). Beberapa spesies semut bahkan telah beradaptasi dan hidupnya berasosiasi sangat dekat dengan manusia, sehingga disebut sebagai semut tramp. Beberapa spesies semut tramp memiliki sifat invasif dan selalu membuat sarang di sekitar struktur yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000), serta memiliki mekanisme kolonisasi khusus sebagai hasil adaptasi terhadap gangguan manusia (Gibb & Hochuli 2003). Spesies semut yang bersifat invasif tersebut juga dapat menjadi faktor pembatas keberadaan semut yang lain (Suarez et al. 1998; Andersen 2000; Holway et al. 2002; Hill et al. 2003). Keberadaan semut di daerah kepulauan dapat dipengaruhi oleh luas pulau dan jarak isolasi pulau tersebut dengan pulau utama. Semakin luas ukuran suatu pulau maka akan semakin tinggi keanekaragaman semutnya (Wilson 1961). Model equilibrium dalam teori biogeografi kepulauan yang dikemukakan oleh MacArthur & Wilson (1967) dapat digunakan untuk memprediksi jumlah spesies semut di suatu pulau berdasarkan luas dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber kolonisasi. Karakteristik pulau yang lain seperti umur pulau atau sejarah

31 20 gangguan habitat pada suatu pulau juga dapat mempengaruhi keanekaragaman semut di pulau tersebut. Hasil penelitian Badano et al. (2005) pada kepulauan di danau buatan Cabra Corral yang terletak di Timur Laut Argentina menunjukkan bahwa umur pulau memiliki kontribusi dalam pembentukan struktur komunitas semut di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Karakteristik pulau yang digunakan merupakan hasil pengukuran dengan sistem informasi geografi (SIG) meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Data berdasarkan SIG dinilai lebih menggambarkan kondisi pulau yang sebenarnya karena (1) pengukuran pulau di lapangan dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh semut, dan (2) lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu. BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian lapangan adalah kegiatan pengambilan contoh semut di Kepulauan Seribu. Penelitian lapangan dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang terbentang antara BT dan LS. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan SIG, karakteristik pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga berbeda-beda untuk setiap pulaunya (Tabel 3). Luas pulau bervariasi antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52,87 ha (Pulau Pari). Pulau terdekat dengan Pulau Jawa adalah Pulau Onrust yaitu 2,2 km, sedangkan pulau terjauh Pulau Dua Timur yaitu 62,6 km. Penggunaan lahan terdiri atas tiga jenis yaitu (1) pulau yang hanya terdapat perumahan (seperti Pulau Onrust), (2) pulau yang terdapat hutan dan perumahan (seperti Pulau Untung Jawa), dan (3) pulau yang hanya terdiri atas hutan (seperti Pulau Bokor).

32 21 Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu ditunjukkan dengan keberadaan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian, ada beberapa pulau yang tidak memiliki dermaga seperti Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Dua Timur (Tabel 3). Penelitian laboratorium merupakan kegiatan penanganan spesimen semut hasil koleksi di lapangan. Penanganan spesimen yang dilakukan meliputi kegiatan sortasi dan identifikasi spesimen semut yang dilaksanakan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Tabel 3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan penelitian 1) 2) No Pulau Jarak (km) 1) Luas pulau (ha) Penggunaan lahan 2) Dermaga 3) Jumlah plot Waktu pengambilan contoh 1. Onrust 2,2 8,23 R P 7 8 Mei Rambut 4,2 45,80 H P Mei Untung Jawa 4,8 39,12 HR P Mei Bokor 7,0 16,34 H P 10 5 Mei Lancang Besar 9,4 26,43 R P Mei Pari 16,1 52,87 HR P 20 1, 2, 4 Mei Payung Besar 20,8 22,74 HR P April Tidung kecil 22,8 19,71 HR P April Pramuka 28,6 19,92 HR P 17 26, 29 April Semak Daun 31,2 1,00 H A 8 12 Maret Kotok Besar 34,2 22,65 HR P April Paniki 35,1 5,80 H A Maret Bira Kecil 43,2 8,62 HR P April Putri Barat 45,9 9,63 HR P 9 12 April Bundar 52,6 5,76 HR P 9 28 April Nyamplung 54,9 8,96 H A 8 27 April Penjaliran Barat 59,6 21,65 H A April Dua Timur 62,6 21,42 H A 9 9 April 2005 Jarak = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan 3) P = presence, ada dermaga, A = absence, tidak ada dermaga

33 22 Pengambilan Contoh Semut Pengambilan contoh semut dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2005 (Tabel 3). Setiap pulau dilakukan pengambilan contoh semut pada plot berukuran 5 m x 5 m dengan jumlah plot bergantung pada jenis penggunaan lahan (keanekaragaman patch) di suatu pulau dan kelengkapan spesies semut yang diperoleh. Pulau yang heterogen, plot pengambilan contoh semut ditempatkan mewakili keseluruhan patch (Gambar 10). Spesies semut pada suatu pulau dinilai lengkap (mewakili keseluruhan spesies semut yang ada di suatu pulau) apabila tidak ditemukan lagi spesies semut yang baru dengan penambahan jumlah plot. Pulau Lancang Besar Pulau Pramuka (1) Pulau Semak Daun Pulau Bokor (2) : plot pengambilan contoh semut Gambar 10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen

34 23 Setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode koleksi intensif (Bestelmeyer et al. 2000; Delabie et al. 2000; Hashimoto et al. 2001). Koleksi intensif semut dilakukan pada tiga habitat yaitu (1) di dalam serasah atau tanah, (2) di atas permukaan tanah, dan (3) pada tumbuhan (vegetasi). Lama pengambilan contoh semut untuk satu plot berkisar menit. Jenis semut yang sama pada satu plot hanya dikoleksi beberapa individu saja, sehingga data kekayaan spesies yang diperoleh berupa data presence-absence atau ada tidaknya spesies semut pada suatu plot. Semut yang dikoleksi dimasukkan dalam micro tube yang berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya spesimen semut tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan sortasi dan identifikasi. Identifikasi awal dilakukan sampai tingkat morfospesies genus dengan menggunakan buku Identification Guide to The Ant Genera of The World (Bolton 1997) dan selanjutnya spesimen dikirim kepada ahli taksonomi semut (Prof. Seiki Yamane, Universitas Kagoshima - Jepang) untuk dilakukan pengecekan ulang dan identifikasi hingga tingkat spesies. Analisis Data Kelengkapan pengambilan contoh semut di Kepulauan Seribu yang dilakukan ditampilkan dalam bentuk kurva akumulasi spesies (Colwell & Coddington 1994; Willot 2001). Kelengkapan pengambilan contoh semut ditunjukkan berdasarkan kurva kejenuhan, yang berarti bahwa jumlah plot yang digunakan dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut yang ada di Kepulauan Seribu. Kurva tersebut diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Colwell 1997). Kurva akumulasi spesies yang halus dihasilkan dengan melakukan pengacakan sebanyak 50 kali. Kekayaan spesies semut yang terdapat pada suatu pulau atau keseluruhan pulau diduga dengan menggunakan incidence-based coverage estimator (ICE) yang merupakan penduga kekayaan spesies berdasarkan data presence-absence (Colwell & Coddington 1994). Nilai ICE diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Colwell 1997).

35 24 Indeks Sorenson (Magurran 1988) digunakan untuk mengetahui kemiripan komposisi dan kekayaan spesies semut antar pulau. Indeks tersebut dihitung dengan menggunakan Biodiv 97 yang merupakan perangkat lunak macro untuk Microsoft Excel (Messner 1997). Matrik kemiripan yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS) (Hair et al. 1998; Cheng 2004). Kemiripan kekayaan spesies semut antar pulau adalah berdasarkan kedekatan jarak antar obyek yang digambarkan pada grafik dua dimensi. Ketepatan obyek pada posisinya ditunjukkan dari nilai stress. Semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi obyek semakin tepat. Perangkat lunak Statistica for Windows 5.0 (StatSoft 1995) digunakan untuk melakukan analisis MDS. HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Kekayaan Spesies Semut Metode koleksi intensif telah digunakan untuk pengambilan contoh semut pada keseluruhan habitat di setiap plot meliputi habitat tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi. Hal tersebut untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kekayaan spesies semut yang ada pada suatu pulau, sehingga data kekayaan spesies semut tersebut dapat dibandingkan dengan data kekayaan spesies semut yang pada pulau yang lain. Penelitian ini menggunakan kurva akumulasi spesies dan penduga ICE (Colwell & Coddington 1994) untuk mengetahui kekayaan spesies suatu pulau berdasarkan jumlah plot yang dilakukan pada pulau tersebut. Berdasarkan keseluruhan plot (210 plot) yang digunakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu, spesies semut yang ditemukan berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus (Tabel 4). Kelengkapan pengambilan contoh semut berdasarkan penduga ICE pada tiap pulau berbeda-beda (Tabel 4). Prediksi kekayaan spesies semut terendah pada Pulau Onrust yaitu hanya ditemukan 67,02 % dari total spesies semut yang ada di pulau tersebut, sedangkan prediksi tertinggi pada Pulau Payung Besar yaitu

36 25 96,70 % spesies semut berhasil ditemukan dari total spesies semut yang ada. Rendahnya prediksi kekayaan spesies semut berdasarkan ICE pada Pulau Onrust dan beberapa pulau yang lain disebabkan kurangnya jumlah plot pengambilan contoh yang dilakukan. Penentuan cukup tidaknya plot pengambilan contoh sesuai dengan ICE sulit diprediksi di lapangan. Pengambilan contoh semut diprediksi kelengkapannya di lapangan berdasarkan tidak ditemukannya lagi spesies semut yang baru dengan ditambahnya jumlah plot. Hal tersebut dilakukan untuk efisiensi pelaksanaan penelitian di lapangan. Tabel 4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu 1) 2) No Pulau Subfamili Genus Total spesies Obs 1) Sp (%) ICE 2) 1. Onrust ,89 (67,02) 2. Rambut ,37 (68,87) 3. Untung Jawa ,42 (77,50) 4. Bokor ,51 (87,65) 5. Lancang Besar ,06 (86,93) 6. Pari ,18 (91,45) 7. Payung Besar ,82 (96,70) 8. Tidung Kecil ,89 (81,53) 9. Pramuka ,86 (81,39) 10. Semak Daun ,43 (79,33) 11. Kotok Besar ,20 (80,11) 12. Paniki ,85 (87,52) 13. Bira Kecil ,11 (92,75) 14. Putri Barat ,39 (88,85) 15. Bundar ,12 (85,85) 16. Nyamplung ,25 (81,75) 17. Penjaliran Barat ,07 (80,55) 18. Dua Timur ,47 (71,78) Total ,55 (96,87) Obs = kekayaan spesies semut dari hasil observasi ICE = incidence-based coverage estimator, prediksi keseluruhan spesies semut; Sp = jumlah spesies semut berdasarkan prediksi, % = persentase spesies hasil observasi dengan spesies hasil prediksi

37 Spesies ICE 96.87% Jumlah plot Gambar 11 Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu Jumlah spesies

38 27 Nilai prediksi ICE yang sempurna memungkinkan diperoleh apabila dilakukan sensus dan dengan jumlah unit pengambilan contoh yang banyak (Colwell & Coddington 1994). Tingginya perbedaan spesies antar plot yang diperoleh menyebabkan nilai prediksi ICE menjadi rendah setelah dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Tabel 4). Nilai prediksi ICE yang rendah pada jumlah plot rendah ditunjukkan dari fluktuasi nilai prediksi jumlah spesies semut pada kisaran unit pengambilan contoh 1 sampai 20 plot (Gambar 11). Walaupun demikian, secara keseluruhan pengambilan contoh semut yang dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa 96,87 % spesies semut berhasil diperoleh dari penelitian ini (Tabel 4). Hal tersebut berarti bahwa pengambilan contoh semut telah lengkap dan dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut yang ada di Kepulauan Seribu. Pengambilan contoh yang lengkap ditunjukkan dengan kejenuhan kurva akumulasi spesies hasil observasi (Gambar 11). Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masingmasing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan (Tabel 4). Perbedaan tersebut diduga terkait dengan karakteristik masing-masing pulau yang berbeda meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Analisis MDS digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang ada di dalamnya. Kemiripan komposisi spesies semut antar pulau yaitu berdasarkan indeks Sorenson yang digunakan dinilai lebih dapat menggambarkan hubungannya dengan karakteristik pulau dibandingkan hanya berdasarkan jumlah spesies semut. Hal tersebut sejalan dengan Cheng (2004) yang menyatakan bahwa MDS merupakan cara terbaik untuk menggambarkan variasi dari keanekaragaman spesies bila dibandingkan dengan analisis multivariat yang lain. Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa secara umum terdapat kecenderungan karakteristik pulau mempengaruhi keanekaragaman semut. Luas

39 28 pulau yang berbeda cenderung memiliki perbedaan keanekaragaman semut. Komposisi spesies semut pada kelompok luas pulau antara 0-20 ha (L1) terlihat berbeda pengelompokannya dengan kelompok pulau dengan luas di atas 20 ha (L2) (Gambar 12a). Hal tersebut sejalan dengan Wilson (1961) bahwa terdapat hubungan antara luas suatu pulau dengan keanekaragaman semut di dalamnya. Ukuran pulau yang luas akan mendukung pertambahan ukuran populasi spesies semut karena tersedianya sumber makanan dan habitat yang sesuai (MacArthur & Wilson 1967). Walaupun demikian, adanya irisan antara L1 dan L2 menunjukkan bahwa perbedaan luas pada beberapa pulau memiliki komposisi spesies semut yang sama. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan luas pulau di Kepulauan Seribu yang rendah dan pengaruh karakterisitik pulau yang lain. Jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa juga cenderung memiliki hubungan dengan komposisi spesies semut. Hal tersebut berdasarkan adanya pemisahan antara kelompok pulau dengan kisaran jarak 0 15 km (J1), km (J2), km (J3), dan km (J4) (Gambar 12b). Jarak isolasi suatu pulau terkait dengan kemampuan dispersal (penyebaran) spesies semut untuk melakukan migrasi ke suatu pulau. Semakin jauh jarak isolasi suatu pulau dari utama (sumber kolonisasi) maka semakin tinggi hambatan spesies semut untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut. MacArthur & Wilson (1967) menyatakan bahwa spesies dengan kemampuan menyebar rendah, tidak akan ditemukan pada pulau yang terisolasi sangat jauh dengan sumber kolonisasi. Walaupun demikian, hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan batas jarak isolasi pulau yang menyebabkan perbedaan keanekaragaman semut. Hal tersebut ditunjukkan menyatunya kelompok J3 dengan J1 dan J4 (Gambar 12b). Pulau dengan jenis penggunaan lahan berbeda juga cenderung memiliki keanekaragaman semut yang berbeda pula (Gambar 12c). Hal ini ditunjukkan dengan adanya pemisahan antara kelompok pulau yang memiliki jenis habitat hutan (H), hutan dan perumahan (HR), dan perumahan saja (R). Adanya irisan antara H, HR, dan R menunjukkan bahwa beberapa pulau memiliki kemiripan spesies semut walaupun jenis penggunaan lahannya berbeda. Hal tersebut diduga disebabkan masih terdapatnya habitat yang sesuai untuk spesies semut tertentu.

40 Karakteristik pulau yang lain diduga juga memberikan pengaruh keanekaragaman semut yang ada stress: 0, stress: 0, Dimension L L2 18 Dimension J J J J Dimension 1 (a) stress: 0, Dimension 1 (b) stress: 0, Dimension R HR H 18 Dimension P A Dimension 1 (c) Dimension 1 (d) 1 = Pulau Onrust, 2 = Pulau Rambut, 3 = Pulau Untung Jawa, 4 = Pulau Bokor, 5 = Pulau Lancang Besar, 6 = Pulau Pari, 7 = Pulau Payung Besar, 8 = Pulau Tidung Kecil, 9 = Pulau Pramuka, 10 = Pulau Semak Daun, 11 = Pulau Kotok Besar, 12 = Pulau Paniki, 13 = Pulau Bira Kecil, 14 = Pulau Putri Barat, 15 = Pulau Bundar, 16 = Pulau Nyamplung, 17 = Pulau Penjaliran Barat, 18 = Pulau Dua Timur L1 = 0 20 ha, L2 = > 20 ha J1 = 0 15 km, J2 = km, J3 = km, J4 = km H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan P = ada dermaga, A = tidak ada dermaga Gambar 12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga

41 30 Keberadaan dermaga pada suatu pulau juga terlihat cenderung mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu pulau. Hal ini ditunjukkan dengan pemisahan yang sangat jelas antara kelompok pulau yang ada dermaga di dalamnya (P) dan kelompok pulau yang tidak ada dermaganya (A) (Gambar 12d). Keberadaan dermaga berhubungan dengan kemudahan manusia mengakses pulau tersebut sehingga memfasilitasi penyebaran spesies semut tertentu. Spesies semut tramp misalnya sangat terbantu dengan keberadaan manusia (Schultz & McGlynn 2000; Gibb & Hochuli 2003). Keberadaan manusia dan semut tramp akan mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu habitat (Suarez et al. 1998; Andersen 2000; Holway et al. 2002; Gibb & Hochuli 2003; Hill et al. 2003; Graham et al. 2004; Schoereder 2004). Beradasarkan hal tersebut di atas, kombinasi keseluruhan karakteristik pulau memiliki hubungan yang kuat terhadap keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Pulau yang luas dan dengan jenis penggunaan lahan hutan memiliki keanekaragaman semut yang tinggi, walaupun ditentukan juga oleh jarak isolasi pulau tersebut dengan Pulau Jawa. Pulau Pari misalnya, dengan luas pulau 52,87 ha memiliki kekayaan spesies semut sama tingginya dengan Pulau Rambut yang memiliki luas pulau lebih rendah (45,80 ha) tapi dengan jarak isolasi dari Pulau Jawa lebih dekat (Tabel 4). Kedua pulau tersebut memiliki jenis penggunaan lahan yang berbeda. Keseluruhan habitat di Pulau Rambut adalah hutan dengan tingkat gangguan manusianya rendah. Sedangkan jenis penggunaan lahan Pulau Pari adalah kombinasi antara perumahan dan hutan. Jarak isolasi pulau yang dekat juga tidak selalu menentukan tingginya keanekaragaman spesies semut pada suatu pulau. Pulau Onrust misalnya, keanekaragaman semut yang ada pada pulau tersebut paling rendah walaupun jaraknya paling dekat dengan Pulau Jawa. Habitat yang sangat terganggu diduga menyebabkan banyak spesies semut yang tidak dapat bertahan atau bahkan mengalami kepunahan, sehingga menjadikan tidak banyak ditemukannya spesies semut pada pulau tersebut. Spesies semut yang mendominasi Pulau Onrust adalah kelompok semut tramp yang hidup berasosiasi dengan manusia. Tingginya intensitas gangguan pada Pulau Onrust karena pulau tersebut merupakan daerah

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker

Lebih terperinci

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan di Taman Nasional Gunung Halimun, Desa Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Di bawah bimbingan Damayanti Buchori dan Hermanu Triwidodo).

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO Oleh DIDIK YULIANTO A34202008 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP PETANI DALAM PENERAPAN USAHATANI ORGANIK DI JAKARTA TIMUR

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP PETANI DALAM PENERAPAN USAHATANI ORGANIK DI JAKARTA TIMUR ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP PETANI DALAM PENERAPAN USAHATANI ORGANIK DI JAKARTA TIMUR Oleh : MUANIS NUR AENI INSTITUT PERTANIAN B O G O R PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGGUNAAN REGRESI SPLINE ADAPTIF BERGANDA UNTUK DATA RESPON BINER AZWIRDA AZIZ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

PENGGUNAAN REGRESI SPLINE ADAPTIF BERGANDA UNTUK DATA RESPON BINER AZWIRDA AZIZ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 PENGGUNAAN REGRESI SPLINE ADAPTIF BERGANDA UNTUK DATA RESPON BINER AZWIRDA AZIZ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System) Sistem Populasi Hama Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Sistem Kehidupan (Life System) Populasi hama berinteraksi dengan ekosistem disekitarnya Konsep sistem kehidupan (Clark et al.

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKKAN KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKKAN KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKKAN KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA DAN KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU SELATAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) :

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) : APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENENTUAN DAERAH PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP GOMBANG DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS KECAMATAN BENGKALIS KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU Irwandy Syofyan 1), Rommie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu ABSTRAK ADITYA NUGROHO. Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. Dibimbing oleh SUCAHYO SADIYO dan MOHAMMAD MUSLICH. Penelitian

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PENGARUH KEPEMIMPINAN

Lebih terperinci

METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI

METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN, POLA PENYEBARAN DAN CIRI- CIRI SUBSTRAT POLIKAETA (FILUM: ANNELIDA) DI PERAIRAN PANTAI TIMUR LAMPUNG SELATAN OLEH: JCTNARDI

KEANEKARAGAMAN, POLA PENYEBARAN DAN CIRI- CIRI SUBSTRAT POLIKAETA (FILUM: ANNELIDA) DI PERAIRAN PANTAI TIMUR LAMPUNG SELATAN OLEH: JCTNARDI KEANEKARAGAMAN, POLA PENYEBARAN DAN CIRI- CIRI SUBSTRAT POLIKAETA (FILUM: ANNELIDA) DI PERAIRAN PANTAI TIMUR LAMPUNG SELATAN OLEH: JCTNARDI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2001 ABSTRAK JUNARDI.

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENYUSUNAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PEMELIHARAAN POHON PENGISI JALUR HIJAU JALAN DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR OLEH : RR. RIALUN WULANSARI A

PENYUSUNAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PEMELIHARAAN POHON PENGISI JALUR HIJAU JALAN DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR OLEH : RR. RIALUN WULANSARI A PENYUSUNAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PEMELIHARAAN POHON PENGISI JALUR HIJAU JALAN DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR OLEH : RR. RIALUN WULANSARI A 34201036 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

PELABELAN OTOMATIS CITRA MENGGUNAKAN FUZZY C MEANS UNTUK SISTEM TEMU KEMBALI CITRA MARSANI ASFI

PELABELAN OTOMATIS CITRA MENGGUNAKAN FUZZY C MEANS UNTUK SISTEM TEMU KEMBALI CITRA MARSANI ASFI PELABELAN OTOMATIS CITRA MENGGUNAKAN FUZZY C MEANS UNTUK SISTEM TEMU KEMBALI CITRA MARSANI ASFI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) SRI WAHYUNI WERO G 621 08 264 Skripsi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAHARI TERHADAP KOMUNITAS LAMUN DI KEPULAUAN KARIMUN JAWA

BAHARI TERHADAP KOMUNITAS LAMUN DI KEPULAUAN KARIMUN JAWA JUDUL : DAMPAK AKTIVITAS PARIWISATA BAHARI TERHADAP KOMUNITAS LAMUN DI KEPULAUAN KARIMUN JAWA PENULIS : YUANDITA GESTI V K NPM : 230110090030 Jatinangor, 9 Oktober 2013 Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua,

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci