BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA"

Transkripsi

1 BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA Pada bab ini akan dijelaskan konsep tentang teori-teori yang berkaitan dengan keterampilan sosial dan pola asuh orang tua yang meliputi pengertian keterampilan sosial, dimensi keterampilan sosial, aspek-aspek keterampilan sosial, keterampilan sosial pada anak tunanetra, pengertian pola asuh orang tua, jenisjenis pola asuh, dimensi pola asuh orang tua, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir. A. Konsep Dasar Keterampilan Sosial 1. Pengertian keterampilan sosial Menurut Chaplin (2004:465) keterampilan memiliki arti sebagai kemampuan bertingkat tinggi yang memungkinkan seseorang melakukan satu perbuatan motorik yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan. Walaupun pengertian di atas lebih menitikberatkan kemampuan motorik, namun istilah keterampilan (skill) itu sendiri memiliki keterkaitan yang erat dengan pengetahuan (knowledge) dan serangkaian pilihan yang diperlukan individu. Nelson-Jones (Nurfitriyah, 2003:27) menyebutkan bahwa kemampuan individu dalam membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan (implement sequence of choice) dalam rangka mencapai tujuan pribadinya merupakan hal yang esensial dalam istilah keterampilan. Dengan kata lain, penggunaan istilah keterampilan dalam 8

2 9 konteks sosial melibatkan fungsi psikis dan motorik dengan penggunaan kemampuan individu untuk berpikir (membuat pilihan-pilihan) dan bertindak (melaksanakan pilihan-pilihan) secara tepat. Istilah keterampilan sosial seringkali disamakan dengan kompetensi sosial. Hops (Cartledge & Milburn, 1993:8) menjelaskan istilah kompetensi lebih mengacu pada refleksi penilaian sosial secara umum tentang kualitas perilaku individu dalam situasi perilaku tertentu sedangkan istilah keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dengan lancar disertai dengan ketepatan. Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain. Berikut ini akan dipaparkan pengertian keterampilan sosial berdasarkan para ahli. a) Libert & Lewinshon (Cartledge & Milburn, 1993:7) menyebutkan keterampilan sosial sebagai kemampuan kompleks untuk melakukan perilaku yang mendapat penguatan positif dan tidak melakukan perilaku yang mendapat penguatan negatif. b) Combs & Slaby (Cartledge & Milburn, 1993:7) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain pada konteks sosial dalam cara-cara spesifik yang secara sosial diterima atau bernilai dalam waktu yang sama memiliki keuntungan untuk pribadi dan orang lain. c) Hersen & Bellack (Cartledge & Milburn, 1993:4) menjelaskan keterampilan sosial adalah berdasarkan situasi dan konsep keterampilan sosial, yaitu perilaku

3 10 efektif dalam melakukan interaksi sosial dan bergantung pada konteks dan parameter dari keadaan. Berdasarkan keseluruhan paparan mengenai pengertian keterampilan sosial, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan individu dalam membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan serta sikap sosial yang sesuai dengan lingkungan hidupnya, baik terhadap lingkungan pendidikan, antar pribadi, pribadi dan tugas-tugas akademis dengan tujuan agar dapat diterima secara positif oleh lingkungan tersebut. Salah satu perwujudan dari keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak adalah anak mampu menjalin hubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hubungan antara teman sebaya (peer ralationship) sebagai salah satu aspek yang penting dari perwujudan keterampilan sosial, sangat besar kontribusinya terhadap perkembangan sosial maupun kognitif anak (Tarsidi, 2010:25). 2. Dimensi keterampilan sosial Stephens (Cartledge & Milburn, 1993:14) menjelaskan bahwa keterampilan sosial melibatkan dua dimensi yaitu kognitif dan afektif. Proses kognitif dan afektif merupakan determinan yang sangat penting terhadap keberfungsian sosial. Sejumlah kemampuan yang harus dikuasai oleh anak berkaitan dengan dua dimensi ini adalah sebagai berikut. a. Dimensi afektif Pada dimensi ini, perasaan atau emosi anak cenderung sulit diukur tetapi pola perilaku yang tampak sebagai bentuk pengekspresian perasaan cenderung

4 11 menggambarkan bagaimana perasaan atau kondisi emosi anak. Krathwohl, Bloom dan Masin (Cartledge & Milburn, 1993:19) menjelaskan sejumlah kemampuan yang harus dicapai dalam pelatihan keterampilan sosial berkaitan dengan perkembangan afektif individu, yaitu: 1) rasa memiliki terhadap diri sendiri, identitas diri dan perkembangan harga diri sendiri secara objektif, memahami karakteristik pribadi, mengetahui kelemahan dan kelebihan diri sendiri, menerima pengalaman-pengalaman seperti kegagalan dan penolakan secara konstruktif; 2) pengekspresian dan keperluan terhadap perasaan sendiri yang ditandai dengan kemampuan untuk mengenali perasaannya terhadap perasaan sendiri yang ditandai dengan kemampuan untuk mengenali perasaannya terhadap peristiwa-peristiwa hidup yang berbeda, menggunakan simbol-simbol yang tepat untuk menggambarkan perasaannya yang positif atau negatif, mengekspresikan emosi termasuk pengekspresian perasaannya dengan pengalaman-pengalaman antar pribadinya; 3) kepedulian individu terhadap perasaan orang lain yang ditunjukkan baik secara verbal, nonverbal maupun sensitive terhadap perasaan orang lain; 4) kepedulian individu terhadap keragaman dalam mengekspresikan perasaan yang ditandai dengan kemampuan untuk memahami bahwa perasaan-perasaan yang muncul senantiasa akan berubah-ubah, bergantung pada situasi dan waktu yang tengah terjadi.

5 12 b. Dimensi kognitif Dimensi ini mempunyai fungsi dalam membantu individu untuk mengontrol emosi dan perilakunya agar selaras dengan lingkungan. Aspek keterampilan sosial yang berkenaan pada dimensi kognitif adalah: 1) persepsi sosial yaitu kemampuan individu untuk menerima dan mengukur situasi yang sedang terjadi disertai penentuan perilaku yang sesuai dengan respon terhadap perilaku orang lain; 2) pemecahan masalah; 3) pengajaran diri atau yang lebih memfokuskan dalam keterampilan mengendalikan diri; 4) restruksi kognitif yaitu dengan membangun kembali sistem keyakinan diri yang tidak rasional menjadi lebih rasional melalui pemahaman perasaan-perasaan negatif yang sering muncul, mengenali sistem-sistem keyakinan diri yang tidak rasional, menghadapi perasaan tidak berdaya dengan cara memunculkan pemahaman yang lebih positif tentang diri sendiri dan lebih realistis dalam memandang diri. 3. Aspek-aspek keterampilan sosial Stephen (Cartledge & Milburn, 1993:15) menegaskan bahwa keterampilan sosial mempunyai empat sub aspek dalam pengembangan perilaku sosial individu. Dalam hal ini keempat aspek perilaku menjadi indikator tinggi rendahnya keterampilan sosial anak. Perilaku tersebut antara lain: a. Environmental behavior (perilaku terhadap lingkungan), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan bagaimana tingkah laku sosial individu dalam mengenal dan memperlakukan lingkungan hidupnya. Pada kategori ini, lingkungan hidup individu berada di lingkungan rumah. Contoh perilaku tersebut adalah peduli

6 13 terhadap lingkungan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan rumah. b. Interpersonal behavior (perilaku interpersonal), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan tingkah laku sosial individu dalam mengenal dan mengadakan hubungan dengan sesama individu lain (dengan teman sebaya atau guru). Contoh perilaku tersebut terdiri dari: menerima otoritas, senang membantu orang lain, memulai percakapan dengan orang lain, bersikap positif terhadap teman, dan mengawali sapaan kepada orang lain. c. Self-related behavior (perilaku pribadi), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan tingkah laku sosial individu terhadap dirinya sendiri. Contoh perilaku tersebut yaitu dapat mengekspresikan perasaan, bersikap positif terhadap diri sendiri, menjaga dan merawat kondisi fisik, menyadari dan menerima konsekuensi atas perbuatannya sendiri. d. Task-related behavior (perilaku yang berhubungan dengan tugas), yaitu bentuk perilaku atau respon individu terhadap sejumlah tugas akademis yang terwujud dalam bentuk memperhatikan selama pelajaran berlangsung, aktif dalam diskusi kelas, memiliki kualitas belajar yang baik, memenuhi tugas-tugas pelajaran di kelas dan bertanya atau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.

7 14 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial a. Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial anak. Pada tahun-tahun awal kehidupan yang memberikan pengaruh terpenting terhadap keterampilan sosial dan sikap anak adalah pola asuh atau cara orang tua mendidik anak. Hal tersebut menggambarkan bahwa kegagalan yang dialami anak dalam hidupnya terutama dalam hubungan sosial dengan orang lain adalah sebagai akibat dari sikap atau pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Salah satu contoh pola asuh orang tua yang mempengaruhi keterampilan sosial anak, yaitu permissive indulgent parenting (terlalu melindungi). Perilaku orang tua yang permissive indulgent parenting (terlalu melindungi) kepada anak contohnya dengan memberikan perawatan/ pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu merawat dirinya sendiri, kontak yang berlebihan dengan anak, mengawasi kegiatan anak secara berlebihan dan memecahkan masalah anak. Dengan penerapan pola asuh tersebut, maka perilaku anak akan menjadi kurang percaya diri, sulit dalam bergaul, pembuat onar dan suka bertengkar dalam lingkungan sosial misalnya di lingkungan sekolah. Hal tersebut menunjukkan anak sulit dalam mengembangkan keterampilan sosialnya. Dan sebaliknya anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis, anak akan dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, mereka aktif secara sosial.

8 15 b. Sekolah Sekolah tidak hanya berperan dalam memberikan pengetahuan saja melainkan sebagai penyelenggara pendidikan yang mencakup pengajaran, latihan dan bimbingan. Oleh karena itu guru tidak hanya berperan sebagai pendidk untuk mengembangkan kemampuan akademik, namun berperan dalam mendidik, melatih dan membimbing siswa agar memiliki keterampilan sosial. Keterampilan sosial merupakan cara siswa dalam melakukan interaksi, baik dalam hal berkomunikasi maupun bertingklah laku dengan orang lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya baik di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. c. Teman sebaya Teman sebaya (peers) adalah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama (Santrock, 1995:268). Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apa yang mereka lakukan dalam arti apakah ini baik daripada apa yang dilakukan oleh anak-anak lain. Hal ini sulit dilakukan di rumah, karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atu lebih muda. d. Media massa Media massa sekarang menjadi sangat berpengaruh bagi anak, dapat dikatakan media massa kini menjadi salah satu lingkungan sosial yang juga memberikan banyak informasi. Televisi sebagai salah satu media yang berpengaruh

9 16 terhadap perkembangan sosial anak, juga selain itu seiring perkembangan zaman kini internet pun masuk dalam dunia anak. Hal tersebut sudah menjadi sebuah fenomena, dalam hal ini ada dua dampak yang muncul yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, media tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi anak, menyajikan program-program yang memotivasi dan memberi model-model perilaku prososial. Dan dampak negatifnya, terkadang dapat menjauhkan mereka dengan lingkungan di dunia nyata, seperti menjauhkan mereka dari pekerjaan rumah, mereka cenderung menjadi pasif, mengajarkan mereka berbagai stereotif, memberi mereka model-model agresi (kekerasan) dan dapat menjadikan mereka terobsesi dengan pandangan yang tidak realistis tentang dunia. B. Keterampilan Sosial Anak Tunanetra Persatuan Tunanetra Indonesia (Tarsidi, 2010:5) mendefinisikan pengertian tunanetra yaitu anak yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Kingsley (Tarsidi, 2010:4) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan serius yang berdampak pada perkembangan fungsi kognitif anak, yaitu: 1) dalam sebaran dan jenis pengalamannya; 2) dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; dan 3) dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan itu bukanlah dampak

10 17 langsung dari ketunanetraan, artinya bahwa jika tunanetra tersebut mendapat intervensi yang tepat dan sedini mungkin, maka dampak negatif terhadap perkembangan keterampilan sosial tunanetra tersebut dapat diminimalkan. Agar dapat beradaptasi dengan lingkungan, anak harus memiliki seperangkat perilaku verbal dan non verbal yang dipergunakannya untuk merespon individu lain (Sunanto, 2005:92). Keterampilan sosial oleh orang normal, sering dipelajari melalui observasi visual dan kegiatan meniru dalam kegiatan sehari-hari. Bagi anak awas beberapa tingkah laku sosial seperti penggunaan mimik, gerakan tubuh atau bahasa tubuh digunakan tanpa berfikir terlebih dahulu dalam arti langsung ditiru setelah melihatnya, sedangkan bagi tunanetra harus diajarkan satu per satu. Sunanto (2005:96) menyatakan bahwa perkembangan sosial antara anak tunanetra dan anak awas pada umumnya tidak berbeda akan tetapi untuk mengembangkan kompetensi tunanetra memerlukan penanganan khusus sebagai akibat ketunaannya khususnya yang berkaitan dengan penyediaan rangsangan yang bersifat non-visual. C. Konsep Dasar Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian pola asuh orang tua Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua

11 18 dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Darling (Rahmawati, 2006:14) mendefinisikan pola asuh sebagai aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Sejalan dengan itu Kohn (Octaria, 2007:12) mengemukakan definisi pola asuh sebagai sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara menunjukkan otoritasnya dan cara memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Octaria (2007:12) pun menambahkan bahwa pola asuh orang tua yang dirasakan anak adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan dan minum) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman dan kasih sayang) tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.

12 19 2. Dimensi pola asuh orang tua Ada bermacam cara untuk menggolongkan tingkah laku orang tua terhadap anak. Salah satu pendekatan yang sering dipilih, berakar dari seorang ahli psikologi adalah Diana Baumrind (Olive, Selasa 8 Juni 2010) yang mengemukakan empat dimensi pola asuh yaitu : a. Tuntutan (Demandingness) Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di luar batas kemampuan anak, ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku. Masing-masing orang tua memiliki kadar tuntutan yang berbeda satu sama lain. Hertherington dan Parke (Olive, Selasa 8 Juni 2010) menyatakan bahwa kadar tuntutan berkisar dari orang tua yang sangat menuntut, bersikap kaku dan cenderung memaksa (menuntut). Orang tua tidak menuntut di mana anak tidak mendapat kontrol dalam berperilaku, kalaupun batasan itu ada, sifatnya tidak mengikat dan sangat sedikit (tidak menuntut). Biasanya, orang tua menuntut untuk membuat anak-anaknya mempunyai kemampuan di bidang sosial, intelektual dan emosi. Orang tua juga menuntut kemandirian, termasuk memberi kesempatan kepada anak untuk membuat keputusannya sendiri. b. Kontrol (Controll) Dimensi ini menunjukkan pada upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan dimana orang

13 20 tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif dan senang bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang sudah ditetapkan. c. Respon (Responsiveness) Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua berespon kepada anaknya. Orang tua menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha untuk memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukkan kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya serta memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua berkisar antara: orang tua yang sangat tanggap dengan kebutuhan anak, hingga orang tua tidak tahu menahu mengenai kebutuhan anaknya. Hertherington dan Parke (Olive, Selasa 8 Juni 2010) menyatakan bahwa kadar respon berbeda berdasarkan kehangatan orang tua dengan anak. Pada orang tua yang memiliki hubungan hangat dengan anaknya maka orang tua akan sadar benar pada kebutuhan anaknya. Orang tua yang cenderung menolak anak (rejecting), tidak akan tahu kebutuhan anak dan lebih memperhatikan kebutuhan orang tua (parent centered). d. Penerimaan (Accepting) Dimensi ini menunjukkan pada kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan. Dari ke empat dimensi pola asuh di atas, ternyata memiliki kaitan dengan ke empat jenis pola asuh. Olive (Selasa 8 Juni 2010) menyimpulkan bahwa jika

14 21 dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan, maka akan terbentuk pola asuh yang authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya sedikit sementara penerimaan dan respon kadarnya tinggi digabungkan, maka akan terbentuk pola asuh permissiveindulgent atau memanjakkan; dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissiveindifferent atau pola asuh tidak peduli. 3. Jenis-jenis pola asuh orang tua Diana Baumrind (Santrock, 2003:185) mengemukakan empat macam pola asuh orang tua yaitu authoritative, authoritarian, permissive-indifferent, permissive-indulgent. Masing-masing gaya pengasuhan orang tua tersebut menggunakan cara berbeda dalam keluarga, dan masing-masing menunjukkan pengaruh penting atas perasaan dan perilaku anak atau remaja. a. Authoritarian parenting (pengasuhan otoriter) Authoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha (Baumrind dalam Santrock, 2003: 185). Orang tua ini berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikapsikap anak sesuai dengan yang telah ditentukan, terutama berdasarkan standar absolut mengenai perilaku. Orang tua ini menekankan nilai kepatuhan yang

15 22 tinggi terhadap kekuasaan atau wewenangnya. Mereka cenderung tidak mendorong tingkah laku independen dan justru menempatkan pentingnya perlakuan atau hubungan baik atas tindakan yang membatasi otonomi anak. Orang tua authoritarian bersikap kaku dan keras, cepat marah, otoritasnya tinggi, kasar dan tidak mau mendengarkan kebutuhan anak. Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (Santrock, 2003:185). b. Authoritative parenting (pengasuhan demokratis) Authoritative mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan tindakan-tindakan mereka (Baumrind dalam Santrock, 2003:186). Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Orang tua ini berusaha menunjukkan atau mengatur aktivitas anak mereka melalui penggunaan cara yang berpusat pada isu rasional. Melalui penjelasan kepada anak dan mempertimbangkannya dengan mereka, orang tua authoritative berusaha untuk mengontrol anak. Oleh karena itu, orang tua macam ini memberi dorongan lisan saling memberi dan menerima karena orang tua di sini mengijinkan anak duduk bersama-sama dengan dirinya untuk mempertimbangkan apa yang tersirat di balik kebijakan mereka. Orang tua ini memiliki kehangatan yang tinggi dan bersikap membatasi secara moderat, tetapi mau mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian terhadap kebutuhan anak karena mereka mengharapkan kematangan tingkah laku secara tepat pada anak (Steinberg,

16 ). Orang tua menggunakan kontrol terhadap anak, tetapi tidak membebani anak dengan kekangan. Mereka percaya bahwa orang tua dan anak sama-sama punya hak tetapi penentuan akhir dalam pengambilan keputusan ada pada orang tua. Gaya pengasuhan ini menjadikan anak sadar diri dan mempunyai tanggung jawab secara sosial (Santrock, 2003:186). c. Permissive Indifferent parenting (pola pengasuhan tidak peduli) Gaya pengasuhan permissif tidak peduli (permissive-indifferent parenting) adalah suatu pola di mana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak/ remaja (Santrock, 2003: 186). Mereka tidak mau tahu tentang aktifitas anak-anaknya, padahal anaknya itu sangat membutuhkan perhatian mereka. Anak yang mendapat perlakuan ini menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik. d. Permissive Indulgent parenting (pengasuhan permisif-memanjakan) Santrock (2003: 186) menjelaskan pengasuhan permisif memanjakan sebagai suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Orang tua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan si anak melakukan apa yang mereka inginkan, dan akibatnya adalah anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan selalu berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya. Beberapa orang tua memperlakukan anak mereka secara demikian karena mereka percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.

17 24 Perilaku anak yang terbentuk dengan gaya pengasuhan seperti ini adalah tidak patuh dan menentang peraturan yang ditetapkan. D. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang pola asuh orang tua yang berkaitan dengan perilaku yang ditimbulkan pada anak/ remaja telah diungkap pada penelitian-penelitian terdahulu. Berikut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. 1. Rizki Disniwati (2008) menyebutkan bahwa semakin authoritative pola asuh yang diterapkan orang tua, maka semakin rendah tingkah laku siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung. Semakin indulgent pola asuh yang diterapkan, maka semakin tinggi tingkah laku agresi siswa, dan semakin siswa merasakan pola asuh indifferent, maka semakin tinggi tingkah laku agresi siswa. 2. Enandes Kenyorini (2009) menyebutkan gaya pengasuhan authoritative yang berkategori tinggi berhubungan positif dengan kemandirian emosional remaja yang berkategori tinggi. Demikian juga dengan gaya pengasuhan authoritative rendah juga berhubungan positif dengan kemandirian emosional berkategori rendah. Sehingga semakin tinggi gaya pengasuhan authoritative yang diberikan orang tua di rumah, maka semakin tinggi pula kemandirian emosional pada remaja SMAN 77 Jakarta. 3. Penelitian lain yang dilakukan Ayuningtyas Nuryanto (2011) menjelaskan bahwa siswa yang merasakan pola asuh demokratis memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam aspek kepribadian order, endurance, achivement, deference, dan change. Siswa yang merasakan pola asuh otoriter memiliki kecenderungan

18 25 lebih tinggi dalam aspek kepribadian succorrance, nurturance, affiliation, dominance, intraception, aggression, autonomy, dan endurance. Siswa yang merasakan pola asuh pemanja memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam aspek kepribadian intraception, agression, autonomy, heterosexuality, nurturance, exhibition, igominance dan abasement. Berdasarkan kajian permasalahan dan temuan-temuan peneliti terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Penelitian ini, akan memberikan gambaran perlakuan orang tua yang lebih spesifik, sehingga dapat membuktikan bahwa yang melatar belakangi anak memperoleh keterampilan sosial baik dihasilkan oleh pola asuh orang tua tertentu. Dengan demikian, perlakuan orang tua tersebut dapat dijadikan acuan orang tua lain dalam mendidik anak. E. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SLB Negeri A Bandung di kelas D3 tahun ajaran 2011/ 2012, menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok keterampilan sosial anak, yaitu anak dengan keterampilan sosial baik, anak dengan keterampilan sosial sedang dan anak dengan keterampilan sosial rendah. Kebanyakan dari anak-anak tersebut termasuk dalam kategori keterampilan sosial sedang, ada pula anak dengan keterampilan sosial rendah dan hanya beberapa anak yang memiliki keterampilan sosial baik. Tetapi dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada keterampilan sosial baik saja. Anak dengan keterampilan

19 26 sosial baik (AG dan AN) menunjukkan sikap yang ramah, sopan terhadap orang yang lebih tua, dan mudah bergaul, sedangkan anak dengan keterampilan sosial sedang dan rendah menunjukkan kompetensi sosial yang lebih rendah dari anak dengan keterampilan sosial baik. Bar-Tal (Dewinuraida, 2010:4) mengemukakan faktor yang melatar belakangi perbedaan kemampuan keterampilan sosial tersebut salah satunya disebabkan oleh faktor pola asuh orang tua. Baumrind (Santrock, 2003: 185) mengemukakan pola asuh orang tua terbagi ke dalam empat bentuk, yaitu pola asuh orang tua authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive indulgent (memanjakan), dan permissive indifferent (tidak peduli). Untuk menentukan jenis pola asuh mana yang digunakan orang tua dalam mendidik anaknya, maka perlu diketahui lebih dulu bagaimana perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak. Perlakuan orang tua dapat kita nilai berdasarkan pada dimensi pola asuh orang tua menurut Baumrind (Olive, Selasa 8 Juni 2010), yaitu: tuntutan, kontrol, respon, dan penerimaan. Dari keempat dimensi pola asuh orang tua tersebut, maka akan terbentuk pola asuh tertentu yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak. Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan, maka akan terbentuk pola asuh yang authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya sedikit sementara penerimaan dan respon kadarnya tinggi digabungkan, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakkan; dan jika dimensi

20 27 menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. bahwa secara umum kecenderungan kepribadian siswa kelas X SMA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. bahwa secara umum kecenderungan kepribadian siswa kelas X SMA 106 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa secara umum kecenderungan kepribadian siswa kelas X SMA Pasundan 2 Bandung dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siswa 1. Pengertian Siswa Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses di dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualiatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA. Keterampilan sosial merupakan bagian penting dari kemampuan hidup

BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA. Keterampilan sosial merupakan bagian penting dari kemampuan hidup 13 BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA A. Keterampilan Sosial 1. Pengertian Keterampilan Sosial Keterampilan sosial merupakan bagian penting dari kemampuan hidup individu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena

pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak (Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa kanak-kanak akhir disebut juga sebagai usia sekolah dasar. Pada periode ini, anak dituntut untuk melaksanakan tugas belajar yang membutuhkan kemampuan intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap tergantung ke arah kemandirian. Pada mulanya seorang anak akan bergantung kepada orang-orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga Pola asuh: cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability Beban pengasuhan orang tua dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dirasakan orang tua akibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan satu jenis kecerdasan saja, karena kecerdasan merupakan kumpulan kepingan

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan satu jenis kecerdasan saja, karena kecerdasan merupakan kumpulan kepingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kecerdasan yang ada pada setiap individu merupakan suatu hal yang dapat berkembang dan meningkat sampai pada titik tertinggi apabila kita senantiasa mau untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan: a. Remaja kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia selalu mengalami perubahan sepanjang kehidupan yakni sejak dalam kandungan sampai meninggal. Fase-fase perkembangan yang terjadi hampir bersamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan akademik (kognitif) saja namun juga harus diseimbangkan dengan kecerdasan emosional, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak awal biasanya dikenal dengan masa prasekolah. Pada usia ini, anak mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan orangtuanya untuk masuk dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang bersifat numerikal (Azwar, 004). Pendekatan kuantitatif ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Prestasi Akademik A.1. Pengertian Prestasi Akademik Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kemampuan yang disebabkan karena proses belajar. Bentuk hasil proses belajar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self regulated learning 1. Pengertian Self regulated learning Menurut Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) self regulated learning adalah tingkatan dimana partisipan secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan

Lebih terperinci

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Selamat membaca, mempelajari dan memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, proses kehidupan manusia yang

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian, BAB I PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian, batasan masalah, dan rumusan masalah. Selanjutnya, dipaparkan pula tujuan dan manfaat penelitian. Pada bagian berikutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PERKEMBANGAN SOSIAL : KELUARGA S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PENGANTAR Keluarga adalah tempat dan sumber perkembangan sosial awal pada anak Apabila interaksi yang terjadi bersifat intens maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) termasuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) termasuk pada kategori remaja, tepatnya masa remaja awal. Konopka (Pikunas, 1976 dalam Yusuf, 2004 :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam setiap dunia pendidikan, sehingga tanpa belajar tak pernah ada pendidikan. Belajar

Lebih terperinci

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang nyaman dan bahagia, yaitu hidup dengan perlindungan dan kasih sayang dari kedua orang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA

HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA Lita Afrisia (Litalee22@gmail.com) 1 Yusmansyah 2 Ratna Widiastuti 3 ABSTRACT The research objective was to determine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang berkualitas. Maka untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas dan kewajiban orang tua bukan hanya memberikan kewajiban secara jasmani anak melainkan juga secara rohani yaitu dengan memberikan pendidikan akhlak yang baik,yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia tingkat kenakalan yang dilakukan remaja akhir-akhir ini sudah melebihi batas dan mulai meresahkan para orang tua.banyak remaja, yang masihduduk dibangku

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pola asuh yang diberikan oleh orang tua pada remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya menuju dewasa. Remaja cenderung memiliki peer group yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya menuju dewasa. Remaja cenderung memiliki peer group yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang saling bergantung dengan manusia yang lainnya sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Manusia merupakan makhluk sosial yang dapat membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak merupakan bagian dari perjalanan panjang setiap individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak merupakan bagian dari perjalanan panjang setiap individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa anak-anak merupakan bagian dari perjalanan panjang setiap individu yang meletakan dasar bagi kehidupannya dimasa dewasa. Masa anak-anak ini pula yang menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam rentang kehidupannya setiap individu akan melalui tahapan perkembangan mulai dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak, masa remaja, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan juga menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali seperti dijelaskan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era kompetitif ini, Indonesia adalah salah satu negara yang sedang mengalami perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hubungan interpersonal sangat penting untuk perkembangan perasaan kenyamanan seseorang dalam berbagai lingkup sosial. Hubungan Interpersonal membantu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar, terencana untuk mewujudkan proses belajar dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan karekteristik peserta didik. Dalam proses pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY 1. Definisi Permasalahan Perkembangan Perilaku Permasalahan perilaku anak adalah perilaku anak yang tidak adaptif, mengganggu, bersifat stabil yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kreativitas 2.1.1 Pengertian Kreativitas Guilford (1975) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa transisi yang diawali dengan perubahan biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja ditandai

Lebih terperinci

EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE EPPS

EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE EPPS LABORATORIUM LANJUT PSIKOLOGI EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE EPPS 2015/2016 EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE (EPPS) LATAR BELAKANG Merupakan tes kepribadian bersifat verbal (menggunakan kata -kata),dan

Lebih terperinci

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH Abstrak Kontrol belajar pada implementasi pendidikan praktis di rumah, terutama untuk anak usia dini dan usia sekolah seyogiyanya ada di bawah kendali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia yang didapatkan lewat sekolah. Setiap orang yang bersekolah harus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah swt kepada para orang tua. Tumbuh dan kembang anak tergantung dari sesuatu yang diberikan atau diajarkan oleh

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci