BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kreativitas Pengertian Kreativitas Guilford (1975) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda, belum ada sebelumnya berupa suatu gagasan atau ide, hasil karya, serta respon dari situasi yang tidak terduga. Menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru merupakan suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, bisa berupa ide yaitu pemikiran yang dituangkan dalam pendapat yang bisa saja pendapat tersebut berbeda dengan orang lain. Sedangkan hasil karya yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh orang lain bisa berupa seni atau kerajinan bahkan pendapat. Respon atau situasi yang tidak terduga merupakan suatu pemikiran atau sikap dimana orang dengan cepat merespon dan melakukan sesuatu dengan cepat yang bisa melalui pemikiran kreatif ataupun memperbaiki barang yang rusak. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya. Interaksi yang unik dapat berupa kegiatan yang dapat mengambangkan kreativitas yang mungkin berbeda dengan yang lain, karena kreativitas merupakan suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan dan originilitas dalam berfikir. Kreativitas dapat menghasilkan sesuatu yang baru apakah suatu gagasan atau objek dapat terbentuk dan tersusun kedalam situasi yang baru karena proses kreatif dapat muncul dalam tindakan yang dapat menghasilkan suatu produk baru 8

2 yang tumbuh dalam keunikan individu. Kreativitas dapat menghasilkan kemampuan dengan memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan, sehingga orang dapat mengambangkan kreativitas anak yang diwujudkan dalam potensi kreatif. Dalam mengambangkan kreativitas yang diwujudkan kedalam potensi kreatif diperlukannya bimbingan yang intensif dan dorongan dari orang tua karena penerapan pola asuh orang tua sangat menunjang kreativitas anak. Kreativitas juga berhubungan dengan kemampuan untuk melihat bermacammacam kemungkinan penyelesaian masalah berdasarkan informasi yang tersedia untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban baik berupa pemikiran yang imajinatif dan pemikiran terbuka yang menjajaki bermacam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan atau masalah serta fokus pada tercapainya satu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah. Maka melalui kreativitas, orang mampu mengadaptasi dalam semua situasi agar tujuannya tercapai. Diperlukannya penenkanan arah tujuan yang jelas sehingga penerapan kreativitas akan berkembang dengan cara menghasilkan banyak gagasan atau ide yang baru yang akan berakibat pada mengembangan sikap dan cara berfikir kreatif. Guilford (1975) menyatakan bahwa kreativitas digambarkan dalam model struktur intelek yang dikelompokkan kedalam tiga matra (dimensi) yaitu 1. Matra Operasi (proses) yang memuat lima proses berpikir yaitu kognisi ingatan, berfikir kreatif, berfikir konvergen dan evaluasi yang mencangkup proses-proses pemikiran. Menurut Guilford (1975) kognisi adalah penerimaan dan 9

3 pengenalan kembali informasi atau proses terbentuknya sebuah pengertian dan pematapan informasi yang baru diperoleh. Berfikir konvergen yaitu pemberian jawaban atau penarikan kesimpulan yang logis (penalaran) dari informasi yang diberikan dengan penekanan dan pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat atau satu-satunya jawaban yang benar. Selain kognisi dan berfikir konvergen ada berfikir kreatif yaitu memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Evaluasi yaitu membuat pertimbangan dengan membandingkan bahan-bahan informasi sesuai dengan tolak ukur tertentu. 2. Matra Konten (materi) menunjukkan bermacam-macam materi yang digunakan meliputi figural simbolik dan perilaku. Simbol mewakili objek tertentu yang disimbolisasikan sedangkan figural merupakan kemampuan dengan memberikan dua atau lebih garis yang dikombinasikan sebanyak mungkin. Dalam kreativitas simbolik dihadapkan dengan pertanyaan masalah berupa symbol. 3. Matra produk menunjukkan hasil dan proses tertentu yang diterapkan mencangkup enam bentuk yaitu unik, kelas, hubungan, sistem, transformasi dan implikasi. Kelas merupakan kemampuan membuat perubahan dari satu kelas atau golongan kedalam kelas lain. Unit merupakan pertanyaan tugas yang dilakukan dengan memberi bahan dasar sebanyak mungkin dari objek nyata yang diminta untuk dibuat. Kedalam bentuk figural, pernyataan dapat dilakukan dengan meminta siswa membuat sebanyak mungkin gambar objek nyata dari sebuah lingkaran dalam waktu tertentu. Hubungan dilakukan dengan melengkapi struktur dari dua hal. Transformasi melibatkan kemampuan memanipulasi objek yang 10

4 diberikan kepada siswa. Implikasi merupakan kemampuan membuat antisipasi dan prediksi terhadap keadaan-keadaan tertentu di masa yang akan datang sedangkan sistem melibatkan urutan rasional dari langkah yang bermakna Aspek-aspek Kreativitas Guilford (1975) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang yang dapat menghasilkan macam-macam idea atau gagasan. Aspekaspek yang berkaitan dengan kreativitas adalah 1. Fluency (kelancaran) Kelancaran dalam berfikir merupakan kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, menggunakan bermacam-macam cara pemikiran kreativitas dan mudah menghasilkan cara berfikir yang baru. Anak dapat memberikan lebih dari satu jawaban, gagasan dan anak dapat memberikan kemampuan untuk memberikan berbagai cara atau saran dalam melakukan berbagai hal sehingga dapat mengatasi suatu masalah. Selain itu anak juga diharapkan dapat menghasilkan banyak ide dengan pemikiran yang cepat. Anak dapat menghasilkan sejumlah ide dengan cepat yang sesuai dengan fungsi atau kegunaan yang diminta. Dapat berupa gambar, cerita dan kalimatkalimat pendek yang merupakan kesatuan sebagai hasil dari pemikiran. Guilford (1950) mengemukakan bahwa kelancaran diartikan dengan mengeluarkan pemikiran yang dengan mudah mengalir, baik alam bentuk kebebasan dalam berfikir atau yang lainnya. 11

5 2. Flexsibility (fleksibilitas) Guilford (1975) menyatakan bahwa fleksibilitas mencerminkan kemampuan untuk cepat menghasilkan berbagai pemikiran yang berkembang menjadi sebuah pemikiran yang berbeda dan berkaitan dengan satu sikap tertentu. Fleksibilitas pada dasarnya bergatung pada kecepatan menghasilkan berbagai pemikiran yang berbeda bersamaan dengan suatu sikap. Fleksibilitas juga terkait dengan pengubahan pola pikir yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu problematika tertentu dan kemampuan yang berhubungan dengan kesiapan mengubah arah atau modifikasi informasi. Dalam kaitannya fleksibilitas adalah Anak dapat menghasilkan gagasan, jawaban, yang bervariasi, serta memiliki kemampuan untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Anak memiliki kemampuan untuk mengubah cara pendekatan dan cara pemikiran dan biasanya penekanannya pada kualitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban. Jadi semata-mata bukan banyak jawaban yang diberikan yang menentukan kualitas seseorang, tetapi juga ditentukan oleh kualitas atau mutu dari jawaban. Fleksibilitas adalah Anak dapat menyelesaikan masalah dengan ide-ide yang bebas dari hambatan atau keterpaksaan. Anak dapat fleksibel dalam menghadapi suatu masalah untuk dapat pemecahan masalah yang anak hadapi. Selain itu kecepatan dalam berfikir kreatif ini merupakan kemampuan untuk cepat menghasilkan banyak pemikiran dalam mengembangkan kreativitas. 12

6 3. Orisinality (keaslian) Orisinality merupakan salah satu aspek yang penting dalam kreativitas. Pemikiran-pemikiran ini muncul dari seseorang dan menjadi hak miliknya, serta mencerminkan karakter kepribadiannya. Dengan demikian orang yang memiliki orisinilitas itu adalah orang yang berfikir dengan sendirinya. Orisinality adalah Anak dapat menghasilkan ide-ide yang luar biasa, jarang ditemui dan juga unik. Biasanya anak menghasilkan ide yang lebih jauh dari kenyataan yang ada atau hanya ada di imajinasi anak saja. Oleh Karena itu, dianggap sebagai ide yang lain dari biasanya. Orisinality dapat mempunyai arti sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru walaupun sesungguhnya yang diciptakan itu tidak perlu berupa hal-hal yang baru sama sekali, tapi merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. 4. Elaboration (keterperincian atau penguraian) Elaboration merupakan kemampan dalam mengemukakan suatu gagasan dan menambah atau memperinci detail-detail dari suatu objek gagasan atau situasi sehingga lebih menarik. Elaboration adalah Anak dapat mengembangkan suatu gagasan, produk atau hasil karya untuk menambah atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Anak memiliki kemampuan dalam menambah atau melengkapi unsur-unsur paling penting pada jawaban-jawaban yang diberikan, agar dapat menghasilkan jawabanjawaban yang lebih lengkap dan jelas. Dalam hal ini dapat juga merupakan aktivitas untuk merangkai sebuah ide atau jawaban yang umum dan simpel agar menjadi lebih khusus atau mendetail. Serta menjadi suatu runtutan atau sistematik 13

7 yang merupakan tahapan penting untuk sampai pada pelaksanaan ide tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa elaborasi sebagai suatu kemampuan berupa suatu gagasan, poduk dengan menambah memperinci dan melengkapi sesuatu sehingga menghasilkan suatu hasil yang lebih kreatif. Anak juga sering berkhayal yang akan dapat menimbulkan imajinasi anak Guilford (dalam Munanadar, 2002) setiap orang pada dasarnya memiliki potensi kreatif dan kemampuan mengungkapkan dirinya secara kreatif. Yang terpenting dalam dunia pendidikan adalah meningkatkan kreativitas dan mengambangkannya. Pengambangan kreativitas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Person Seseorang yang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian tertentu seperti mempunyai rasa ingin tahu yang besar, mempunyai daya imajinasi yang kuat, mempunyai minat yang besar, tekun dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Kreativitas adalah ungkapan keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungan. Dari pribadi yang unik inilah yang diharapkan timbul ide baru dan produk yang inovatif. b. Proses Seseorang yang senang dan berminat untuk melibatkan diri dalam proses kreatif. Melibatkan diri secara kreatif maksudnya adalah kecenderungan untuk selalu melihat dan membentuk kombinasi baru dari unsur-unsur yang diamati dari lingkungan atau dari pemikirannya. Untuk mengambangkan kreativitas siswa, perlu diberi kesempatan untuk bersibuk diri secara aktif. Penting dalam hal memberi kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. 14

8 c. Press atau dorongan Yaitu kondisi yang dapat mendorong atau menghambat seseorang untuk bertindak kreatif. Dorongan bisa berasal dari luar atau dari dalam diri (motivasi pribadi). Jika kedua kondisi menunjang akan lebih memungkinkan untuk lebih kreatif. Untuk mewujudkan kreativitas siswa diperlukan dorongan dan dukungan dari lingkungan yang berupa apresiasi, dukungan pemberian pujian dan dorongan didalam diri siswa sendiri untuk menghasilkan sesuatu. Kreativitas dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung, tetapi dapat pula dihambat dalam lingkungan yang kurang mendukung. d. Produk Ditinjau dari produk kemampuan berfikir merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Baik itu untuk individu yang menciptakan atau untuk lingkungannya. Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif yang bermakna adalah kondisi pribadi dan lingkungan yaitu sejauhmana keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses kreatif Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kreativitas Didalam mengembangkan kreativitas terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan aptitude dan non uptitude karena berfikir kreativitas meliputi kelancaran, kelenturan dan orisinilitas. Ini ditunjukkan dengan kemampuan 15

9 berfikir secara kreatif sedangkan secara non aptitude atau afektif meliputi kepercayaan diri, keuletan dan kemandirian. Adapun faktor kebebasan yang dikemukakan Guilford (didalam Al-khalili, 2005) adalah 1. Faktor kebebasan a. Kefasihan kata yaitu menyusun huruf dalam beberapa kata dengan cepat. b. Ketepatan memutuskan yaitu menciptakan beberapa kata tertentu dan memiliki makna secara tepat. c. Kebebasan berfikir yaitu kecepatan mengeluarkan pemikiran dalam mengambil sikap. d. Kebebasan berekspresi yaitu kebebasan mengungkapkan berbagai pemikiran. Hurlock (1999) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kreativitas anak yaitu 1. Jenis Kelamin Anak laki-laki menunjukkan memiliki kreativitas yang lebih besar dari pada anak perempuan. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri, mereka dipaksa oleh lingkungan untuk lebih berani mengambil resiko dan mendapat dorongan dari lingkungan. 2. Status sosial ekonomi Anak-anak yang golongan ekonomi tinggi akan lebih kreatif, pendidikan yang memungkinkan anak untuk mengembangkan kreativitasnya, karena anak 16

10 akan mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya dan mempunyai keinginan untuk memilih aktivitas-aktivitasnya sendiri. Namun anak yang golongan ekonomi rendah juga lebih kreatif karena anak dapat mandiri dalam mengembangkan kreativitas yang dimilikinya 3. Urutan dalam keluarga Anak dengan urutan kelahiran yang berbeda akan memperlihatkan kemampuan kreatif yang berbeda-beda. Anak yang lahir ditengah atau anak yang lahir berikutnya dan anak tunggal cenderung lebih kreatif daripada anak yang lahir diurutan pertama. Anak yang lahir dengan urutan pertama biasanya diarahkan untuk mengikuti harapan-harapan orang tua, sebaliknya anak tunggal lebih banyak diberi kesempatan dalam mengembangkan dirinya Pengukuran Kreativitas Pada penelitian ini Kreativitas siswa diukur dengan menggunakan skala kreativitas dimana aspek-aspek penyusunannya menggunakan aspek kreativitas dari Guilford (1975) yaitu fluency, fleksibility, orisinility, elaboration. Subjek diminta merespon sejumlah pernyataan dengan memilih lima buah pilihan jawaban yang paling sesuai sampai yang paling tidak sesuai dengan dirinya. 2.2 Pola Asuh Permisif Pengertian Pola Asuh Permisif Orang Tua Pola asuh permisif yaitu orang tua yang serba memperbolehkan anak dan memberikan pengawasan yang longgar serta menghindari adanya pemberian 17

11 hukuman kepada anak. Orang tua yang permisif merupakan karakeristik yang tingkat kehangatannya tinggi akan tetapi kontrol terhadap anak yang rendah. Penerimaan dari orang tua terlihat dengan cara mereka yang selalu mengikuti apa yang dirasakan anak, yang diinginkan dan apa saja yang diperbuat dari anak. Pola asuh permisif mempunyai ciri-ciri tidak ada aturan yang ketat dari orang tua, tidak ada pengendalian dan pengontrolan serta tuntutan kepada anak dan anak diberikan kebebasan membuat keputusannya untuk dirinya sendiri. Hal ini diwujudkan dengan adanya kontrol yang rendah dari orang tua terhadap anak. Dalam pola asuh permisif anak harus belajar sendiri untuk berprilaku sosial yang baik. Orang tua yang permisif tidak terlalu banyak terlibat dalam setiap pengambilan keputusan dari anaknya, apapun yang terbaik menurut anak akan mereka ikuti. Mereka mengijinkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan sebisa mungkin akan menghindari pengendalian terhadap anaknya. Interaksi orang tua dengan pola asuh permisif merupakan pola asuh orang tua bagi anak yang meliputi proses mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak untuk mencapai kedewasaan yang sesuai dengan norma-norma yang ada pada masyarakat karena merupakan hal yang penting. Dalam gaya pengasuhan permisif, kontrol yang rendah dari orang tua mengakibatkan anak terlalu bebas dalam menentukan arah hidupnya dan berekspresi sesuatu dengan keinginanya. Baumrind (1971) menemukan bahwa tipe pola asuh permisif merupakan suatu tipe pola asuh orang tua yang mengacu pada sikap orang tua yang terlampau bermurah atau baik hati dalam mendidik anak-anaknya dan terkadang cinderung untuk lebih mematuhi permintaan anak-anaknya. Orang tua permisif memiliki 18

12 persepsi yang tidak realistis atas anak mereka. Orang tua permisif melihat anak mereka lebih didominasi oleh desakan ego dan permitif. Orang tua permisif memberikan kebebasan pada anak dalam perwujudan implus tetapi tidak mengajarkan atau mendukung kontrol diri dan aturan diri terkait dengan ketidakmatangan dan ketergantungan dalam diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kehangatan orang tua terhadap anak yang tinggi. Menurut Baumrind, seorang pakar parenting berpendapat bahwa ada cara terbaik untuk mengasuh anak. Dia dipercaya bahwa orang tua tidak boleh terlalu menghukum dan tidak terlalu peduli. Sebaiknya orang tua menyusun aturan bagi anak dan disaat yang sama bersifat membimbing dan mengasuh. Baumrind (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa ada empat bentuk gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua yaitu 1. Authoritative Karakteristik yang pengasuhan dengan tingkat kehangatannya orang tua terhadap anak yang tinggi dan kontrol orang tua terhadap anak tinggi. Orang tua menetapkan peraturan dengan tegas dan standar. Anak-anak dari orang tua Authoritative menunjukkan hasil yang positif, gaya pengasuhan positif yang mendorong anak untuk berkembang tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anak. Biasanya pola pengasuhan ini disebut pola pengasuhan demokratis, perbincangan tukar pendapat diperoleh dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung. Anak seringkali berprilaku kompeten secara sosial, mereka cenderung mandiri, tidak cepat puas, mudah bergaul. Remaja dengan orang tua 19

13 authoritative berhubungan dengan perkembangan anak yang positif, keterlibatan dalam pembelajaran sekolah baik, kepercayaan diri yang baik. 2. Authoritarian Orang tua otoriter dengan kehangatan orang tua terhadap anak yang rendah dan kontrol orang tua terhadap anak yang tinggi. Mereka menetapkan standar perilaku yang mutlak. Gaya pengasuhannya bersifat membatasi dan menghukum dimana hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan anak. Orang tua otoriter memerintahkan anak untuk mengikuti petunjuk mereka dan menghormati mereka. Mereka membatasi dan mengontrol anak mereka dengan cara tidak mengijinkan mereka berbicara banyak. Anak dari orang tua otoriter seringkali berprilaku secara tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial tidak bisa membuat inisiatif untuk berkreativitas dan memiliki keahlian komunikasi yang buruk. 3. Permisif Karakteristik pengasuhan yang kehangatannya orang tua terhadap anak yang tinggi sedangkan kontrolnya orang tua terhadap anak yang rendah. Anak-anak dari orang tua permisif selalu menerima apapun yang dilakukan anak dan memberikan kebebasan pada anak. Anak cenderung tidak taat, memberontak, remaja dengan orang tua yang permisif cenderung lebih kreatif. Baumrind (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa pola asuh permisif dan kreativitas merupakan suatu hal yang saling berhubungan. Penerapan pola asuh permisif menjadikan seseorang lebih kreatif. Kontrol yang rendah dari orang tua menyebabkan anak 20

14 terlalu bebas untuk berekspresi dan melakukan kegiatan yang disukai serta di dukung dengan adanya perhatian yang tinggi dari orang tua siswa. 4. Neglectful Pola pengasuhan yang tingkat kehangatannya orang tua terhadap anak rendah dan kontrol orang tua terhadap anak rendah. Remaja yang dengan pola asuh neglectful menunjukkan pengendalian emosi yang buruk disekolah, kekurangan tujuan dalam jangka yang panjang dan rentang untuk terlibat dalam tindakan kenakalan. Tabel 2.1 Karakteristik Pola Asuh Orang Tua Authoritative Authoritarian Permisif Neglectful Warmth Tinggi Rendah Tinggi Rendah Control Tinggi Tinggi Rendah Rendah Sumber : Tan, 2004 Kehangatan atau Warmth berarti terlibat dan tertarik dalam kegiatan anak mendengarkan anak dan menjadi suportif. Hal ini mengacu pada jumlah kontrol orang tua terhadap anak misalnya harapan terhadap perilaku anak. Sejauhmana orang tua memberlakukan standart dan aturan terhadap anak. Kehangatan menggambarkan keterbukaan dan ekspresi kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua yang domain pada aspek ini menunjukkan sikap ramah, memberikan pujian dan memberikan semangat ketikan anak mengalami masalah. hal ini dibuat agar anak lebih mudah menerima dan menginternalisasikan standar nilai yang diberikan oleh orang tua. Sebaliknya orang tua yang tidak domain pada aspek ini akan menunjukkan perilaku seolah-olah mereka tidak mencintai dan bahkan 21

15 menolak kehadiran anak. Hal ini membuat anak tidak perlu mencintai orang tuanya dan mudah mengalami stress. Kontrol mengacu pada derajat dimana orang tua membuat tuntutan terhadap anak. Hal ini diwujudkan oleh orang tua melalui bagaimana mereka memberikan batasan-batasan, menetapkan tuntutan dan harapan serta menunjukkan kekuasaannya pada anak. Kontrol orang tua ini berfungsi sebagai pelindung atau pencegah bagi anak dari perilaku-perilaku negatif. Orang tua menerapkan kontrol dalam tingkat relatif rendah akan kurang menuntut tanggung jawab anak dan memberikan kebebasan pada anak untuk mengeksplorasi lingkungannya secara tak terbatas. Orang tua menerapkan kontrol dalam tingkatan tinggi akan membatasi kebebasan remaja dengan menentukan banyak tuntutan yang disertai dengan pengawasan yang ketat. Sebaliknya kontrol yang diberikan secara tidak menentu akan bersifat sangat kaku Baumrind (dalam Tan, 2004) Dimensi Pola Asuh Permisif Terdapat dimensi tentang pola asuh permisif yang dikemukakan oleh Baumrind (1971) yaitu a. Parental control (kontrol orang tua) Orang tua ingin memaksakan kehendak terhadap anak, sangat bertahan pada tekanan-tekanan anak dan konsisten dalam memaksakan perintah-perintahnya, tindakan mengontrol diartikan bahwa orang tua berusaha merubah perilaku anak sesuai standart yang ditetapkan oleh orang tua. Merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak secara berlebihan untuk mencapai tujuan, menimbulkan 22

16 ketergantungan pada anak. Orang tua menginginkan agar anak-anaknya memiliki kemampuan dibidang social, intelektual, emosional. Orang tua juga menuntut kemandirian dan memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat keputusan sendiri. b. Naturance (Kehangatan atau Kasih sayang) Orang tua menunjukkan kasih sayangnya dengan tindakan dan sikap yang memperhatinkan kesejahteraan fisik dan mental anak dan juga menunjukkan kebanggaan serta kebahagiaan atas keberhasilan anak. Orang tua menggunakan alasan untuk melakukan suatu tindakan, menanyakan pendapat anak dan berusaha mencari tahu bagaimana perasaan anak mengenai permasalahan yang dibicarakan sebelumnya. Orang tua juga bersedia untuk mendengarkan pendapat anak, alasanalasan anak, dan menyetujui apa yang dikemukakan anak Ciri-ciri Pola Asuh Permisif Karakteristik pengasuhan yang kehangatannya orang tua terhadap anak tinggi sedangkan kontrolnya orang tua terhadap anak yang rendah. Baumrind (1971) Pola asuh permisif merupakan suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, orang tua selalu memperbolehkan anak untuk melakukan kegiatan yang disukai anak, memanjakan anak, dan besikap lunak terhadap anak. Sangat terlibat dalam kehidupan anak, orang tua yang bersifat permisif akan mengijinkan anak melakukan apa yang mereka iginkan dan akibatnya anak tidak pernah belajar dalam mengendalikan prilaku merekan sendiri. Pola pengasuhan permisif bersifat lunak dan memberi kebebasan terhadap 23

17 anak, jika peraturan yang diberikan oleh orang tua terhadap anak terlalu ketat orang tua anak dapat mengatakan keluahnnya sesuai dengan keinginan anak dan tuntutan orang tua terhadap anak rendah. Penerimaan dari orang tua terlihat dari cara mereka yang selalu mengikuti apa yang dirasakan oleh anak dan apa saja yang diinginkan oleh anak. Hal ini menunjukkan kehangatan yang tinggi orang tua terhadap anak. Kontrol yang rendah dari orang tua terhadap anak ditandai dengan memberikan kebebasan pada anak, jika peraturan dibuat oleh orang tua, maka peraturan tersebut hanyalah formalitas, anak tidak memiliki kewajiban untuk menaati peraturan tersebut. Orang tua permisif membiarkan anaknya untuk bertindak dan berprilaku sesuai dengan keinginanya, tidak memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan. Orang tua permisif memberikan kebebasan pada anak dalam perwujudan implus tetapi tidak mengajarkan atau mendukung kontrol diri atau aturan diri terkait dengan ketidak matangan dan ketergantungan dalam diri anak. Orang tua permisif terkadang membiarkan prilaku anak yang membuat mereka marah, karena orang tua merasa tidak nyaman untuk mengekspresikan kemarahannya. Hal ini berakibat pada kemarahan dari orang tua yang menumpuk dan tak terkontrol sehingga orang tua dalam melepaskan kemarahannya dengan tiba-tiba serta cenderung melukai anak lebih dari yang mereka kira Baumrind (1971). 24

18 2.2.4 Meningkatkan Pola Asuh Permisif Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya untuk memfasilitasi serta mengembangkan kemampuan berprilaku sesuai dengan perkembangannya guna mendorong peningkatan kemampuan berprilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakini. Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga lain terdahulu. Orang tua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru (anak) serta mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak guna menjadi generasi yang baik Baumrind (1971) Dalam meningkatkan pola asuh permisif orang tua Baumrind (1991) menjelaskan bahwa orang tua harus memberikan pengawasan yang sangat longgar dan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan suatu hal yang di sukai. Selain itu dalam meningkatkan pola permisif dapat dilakuakan jika orang tua bersifat hangat, sehingga anak suka pada tipe pola asuh permisif Pengukuran Pola Asuh Permisif Pada penelitian ini pola asuh permisif diukur dengan skala pola asuh permisif dimana aspek-aspek penyusunannya menggunakan aspek pola asuh permisif dari Baumrind (1971) yaitu tingkat kehangatan orang tua terhadap anak tinggi dan kontrol orang tua terhadap anak yang rendah. 25

19 2.3 Kajian Yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian Rintih (2010) tentang hubungan antara pola asuh permisif orang tua dengan kreativitas siswa SD Sidorejo Kidul dengan sampel 33 orang siswa, data dianalisis menggunakan rumus Kendall s_tau, ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif dan tidak signifikan antara pola asuh permisif orang tua dengan kreativitas anak dengan koefisien korelasi rxy= -0,192 dan p=0,127 (p>0,05). Hasil penelitian Setiawan (2011) tentang hubungan antara pola asuh permisif orang tua siswa dengan berfikir divergen kelas IV dan V SD Girisonta Karangjati, Kab Semarang dengan sampel 60 siswa, data dianalisis menggunakan Kendall s tau_b ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan arah positif antara pola asuh permisif orang tua siswa dengan berfikir divergen siswa dengan koefisien korelasi rxy= 0,240 dengan p=0,020 (p<0,05). Dari penelitian Wesberg dan Sringer (dalam Munandar, 1988), diperoleh hasil bahwa anak-anak yang kreatif mempunyai orang tua yang mampu mendorong anaknya untuk mandiri dan memberikan kebebasan anak-anaknya untuk menentukan tindakannya sendiri (tidak tergantung pada orang lain). Dacey (dalam Munandar, 1988) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peran besar penerapan pola asuh didalam keluarga yang menghasilkan anak kreatif merupakan anak yang tidak diberlakukan aturan sedangkan anak yang remajanya biasa saja, orang tua selalu memberlakukan aturan untuk dipatuhi dan apabila dilanggar akan mendapat hukuman. 26

20 2.4 Hipotesis Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif dengan kreativitas siswa kelas VIII SMP Negeri 7 Salatiga. 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu hidup dalam lingkungan. Manusia tidak bisa dipisahkan dengan. memberikan keakraban dan kehangatan bagi anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu hidup dalam lingkungan. Manusia tidak bisa dipisahkan dengan. memberikan keakraban dan kehangatan bagi anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Sejak seorang anak lahir, remaja, dewasa sampai tua, manusia akan selalu hidup dalam lingkungan. Manusia tidak bisa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda, belum ada

BAB II LANDASAN TEORI. untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda, belum ada BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kreativitas 2.1.1 Pengertian kreativitas verbal Guilford (1975) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gemilang bagi putra-putrinya. Mereka berharap agar putra-putrinya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. gemilang bagi putra-putrinya. Mereka berharap agar putra-putrinya menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya setiap orangtua menginginkan masa depan yang gilang gemilang bagi putra-putrinya. Mereka berharap agar putra-putrinya menjadi orang yang sukses, berguna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan dan digali sebesar-besarnya karena hal tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan dan digali sebesar-besarnya karena hal tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, kita memasuki dunia yang berkembang serba cepat sehingga memaksa setiap individu untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut. Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak menggunakan angka-angka,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja a. Pengertian Kepercayaan Diri Salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi dan kenyataan bahwa kreativitas masyarakat yang rendah pada

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi dan kenyataan bahwa kreativitas masyarakat yang rendah pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dewasa ini tampak adanya kesenjangan antara kebutuhan atas kreativitas yang tinggi dan kenyataan bahwa kreativitas masyarakat yang rendah pada umumnya, dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. suatu makna (Supardi, 2011).

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. suatu makna (Supardi, 2011). 6 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teoritik 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis a. Berpikir Kreatif Kemampuan berpikir adalah kecakapan menggunakan akal menjalankan proses pemikiran/kemahiran berfikir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam setiap dunia pendidikan, sehingga tanpa belajar tak pernah ada pendidikan. Belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelidiki sebuah proyek dari sudut pandang yang tidak biasa.

BAB I PENDAHULUAN. menyelidiki sebuah proyek dari sudut pandang yang tidak biasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ditinjau dari seluruh aspek kehidupan, kebutuhan akan kreativitas sangatlah penting. Seperti yang dikatakan oleh Munandar dalam bukunya (1999:6) kreativitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA BAB IV HASIL PENELITIAN A. Orientasi dan Kancah Penelitian Penelitian ini dilakukan pada remaja berusia 17-21 tahun. Para remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA Ksatrian dan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal

Lebih terperinci

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS ANAK SEKOLAH DASAR

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS ANAK SEKOLAH DASAR PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS ANAK SEKOLAH DASAR Murhima A. Kau Universitas Negeri Gorontalo Email : murhimakau@ymail.com ABSTRAK Permasalahan kreativitas menjadi sangat penting untuk dibicarakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan: a. Remaja kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan 2 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang dapat dicapai dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. fisik, psikis dan sosial. Namun sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. fisik, psikis dan sosial. Namun sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Focused Coping Pada umumnya setiap individu memiliki banyak kebutuhan yang ingin selalu dipenuhi dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan fisik,

Lebih terperinci

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga Pola asuh: cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT Dwi Retno Aprilia, Aisyah Program Studi PGPAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari kajian teoretis dan temuan penelitian sebagaimana telah disajikan pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun) Pertemuan Orang Tua Masa perkembangan setelah masa anak-anak dan menuju masa dewasa, yang meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, moral, dan kesadaran beragama. REMAJA Batasan Usia Remaja

Lebih terperinci

Untuk mewujudkan generasi unggul di masa depan, orang tua perlu :

Untuk mewujudkan generasi unggul di masa depan, orang tua perlu : Kontribusi Pola Pengasuhan Orang Tua Terhadap Perkembangan Kemandirian dan Kreativitas Anak Oleh Dra. Rahayu Ginintasasi, M.Si Untuk mewujudkan generasi unggul di masa depan, orang tua perlu : 1. Memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah kreativitas berasal dari bahasa Inggris to create yang berarti mencipta, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah kreativitas berasal dari bahasa Inggris to create yang berarti mencipta, yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kreativitas 1. Pengertian Kreativitas Istilah kreativitas berasal dari bahasa Inggris to create yang berarti mencipta, yaitu mengarang atau membuat sesuatu yang berbeda baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang nampaknya tidak

BAB II LANDASAN TEORI. yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang nampaknya tidak BAB II LANDASAN TEORI II. A. KREATIVITAS II. A. 1. Pengertian Kreativitas Kreativitas merupakan kemampuan untuk melihat dan memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang

Lebih terperinci

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Artikel MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Oleh: Drs. Mardiya Selama ini kita menyadari bahwa orangtua sangat berpengaruh terhadap pengasuhan dan pembinaan terhadap anak. Sebab

Lebih terperinci

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Selamat membaca, mempelajari dan memahami

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pola asuh yang diberikan oleh orang tua pada remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Metode Diskusi 1. Pengertian Diskusi Dalam kegiatan pembejaran dengan metode diskusi merupakan cara mengajar dalam pembahasan dan penyajian materinya melalui suatu problema atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self regulated learning 1. Pengertian Self regulated learning Menurut Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) self regulated learning adalah tingkatan dimana partisipan secara aktif

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi pada data penelitian.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi pada data penelitian. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Sebelum melakukan uji hipotesis, maka peneliti terlebih dahulu melakukan uji asumsi normalitas dan linearitas data penelitian. Uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perkembangan (developmental) merupakan bagian dari masalah psikologi. Masalah ini menitik beratkan pada pemahaman dan proses dasar serta dinamika perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. globalisasi ini, karena yang dibutuhkan bukan hanya sumber daya manusia dengan

BAB II LANDASAN TEORI. globalisasi ini, karena yang dibutuhkan bukan hanya sumber daya manusia dengan BAB II LANDASAN TEORI A. Kreativitas Kretaivitas penting bagi individu dan masayarakat terutama dalam era globalisasi ini, karena yang dibutuhkan bukan hanya sumber daya manusia dengan intelegensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE SAKAMOTO UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA PELAJARAN MATEMATIKA (PTK

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE SAKAMOTO UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA PELAJARAN MATEMATIKA (PTK PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE SAKAMOTO UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA PELAJARAN MATEMATIKA (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VIII E SMP Negeri 3 Patebon Kendal Pokok Bahasan Balok

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1. Pengertian Disiplin BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS Menurut Hurlock. (1999: 82) Konsep populer dari disiplin adalah sama dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis 6 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teoritik 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis a. Pengertian Berpikir Kreatif Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia selalu mengalami perubahan sepanjang kehidupan yakni sejak dalam kandungan sampai meninggal. Fase-fase perkembangan yang terjadi hampir bersamaan

Lebih terperinci

PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL

PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL Belum memiliki budi pekerti tertentu, belum memiliki bentuk jiwa yang tetap dan masih bersifat global. Anak masih mudah menerima pengaruh dari lingkungan POTENSI KELUARGA

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan upaya pembinaaan dan pengasuhan yang ditujukan kepada anak sejak lahir hingga anak usia 6 tahun, meskipun sesungguhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masih terdapat orang - orang tidak mampu untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk berkembang. Pada masa ini anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk berkembang. Pada masa ini anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak khususnya anak usia dini merupakan masa yang paling optimal untuk berkembang. Pada masa ini anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan melakukan apapun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak awal biasanya dikenal dengan masa prasekolah. Pada usia ini, anak mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan orangtuanya untuk masuk dalam lingkungan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MENDENGAR CERITA FIKSI TERHADAP PENINGKATAN KREATIVITAS VERBAL ANAK

EFEKTIVITAS MENDENGAR CERITA FIKSI TERHADAP PENINGKATAN KREATIVITAS VERBAL ANAK EFEKTIVITAS MENDENGAR CERITA FIKSI TERHADAP PENINGKATAN KREATIVITAS VERBAL ANAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : NUR ATHIATUL MAULA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Kemampuan Berpikir Kreatif Kreativitas seringkali dianggap sebagai sesuatu keterampilan yang didasarkan pada bakat alam, dimana hanya mereka yang berbakat saja yang bisa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kreativitas diperlukan setiap individu untuk menghadapi tantangan dan kompetisi yang ketat pada era globalisasi sekarang ini. Individu ditantang untuk mampu

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH Orientasi Baru Dalam Psikologi

BAHAN KULIAH Orientasi Baru Dalam Psikologi BAHAN KULIAH Orientasi Baru Dalam Psikologi Oleh: ASEP SUPENA Program Pasca Sarjana UNJ 2005-2006 KREATIVITAS Kreativitas berkaitan dengan kemauan dan kemampuan. Kreativitas berkaitan dengan sesuatu yang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EMOSI DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK KELOMPOK B RAUDHATUL ATHFAL DI KECAMATAN KALIJAMBE KABUPATEN SRAGEN TAHUN AJARAN

PERKEMBANGAN EMOSI DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK KELOMPOK B RAUDHATUL ATHFAL DI KECAMATAN KALIJAMBE KABUPATEN SRAGEN TAHUN AJARAN PERKEMBANGAN EMOSI DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK KELOMPOK B RAUDHATUL ATHFAL DI KECAMATAN KALIJAMBE KABUPATEN SRAGEN TAHUN AJARAN 2014/2015 Artikel Publikasi Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

KAJIAN PENDEKATAN INDUKTIF-DEDUKTIF & BERPIKIR KREATIF

KAJIAN PENDEKATAN INDUKTIF-DEDUKTIF & BERPIKIR KREATIF KAJIAN PENDEKATAN INDUKTIF-DEDUKTIF & BERPIKIR KREATIF A. Pendekatan Induktif-Deduktif Menurut Suriasumantri (2001: 48), Induktif merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah proses komunikasi transaksional yang melibatkan guru, siswa, media, bahan ajar dan komponen lainnya sehingga tercipta proses interaksi belajar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian korelasional. Menurut Arikunto (2002) penelitian korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat mencapai tujuannya. Setiap perusahaan selain bersaing dengan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat mencapai tujuannya. Setiap perusahaan selain bersaing dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada era globalisasi ini, setiap perusahaan bersaing dengan sangat ketat untuk dapat mencapai tujuannya. Setiap perusahaan selain bersaing dengan perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian, BAB I PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian, batasan masalah, dan rumusan masalah. Selanjutnya, dipaparkan pula tujuan dan manfaat penelitian. Pada bagian berikutnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Hakikat Perilaku Sosial Anak 2.1.1) Pengertian Perilaku Sosial Anak Hakikat manusia adalah mahluk sosial yang selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tahapan dalam memperoleh informasi dan pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tahapan dalam memperoleh informasi dan pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas manusia salah satunya ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan tahapan dalam memperoleh informasi dan pengetahuan yang ditetapkan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta cepatnya dalam mendapatkan suatu informasi di

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta cepatnya dalam mendapatkan suatu informasi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Zaman yang semakin berkembang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta cepatnya dalam mendapatkan suatu informasi di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu keluarga kehadiran anak adalah kebahagiaan tersendiri bagi orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah amanah, titipan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam masyarakat modern, karena dapat membuat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan berpikir kreatif sehingga mampu memecahkan permasalahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan berpikir kreatif sehingga mampu memecahkan permasalahan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini seiring kemajuan zaman perubahan kehidupan berlangsung sangat cepat dan kompleks dengan berbagai tantangan dan permasalahan. Setiap orang dengan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. BAB II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki banyak tujuan dalam kehidupan, salah satunya adalah untuk menciptakan manusia yang mandiri. Seperti yang tertera dalam Undang undang Republik

Lebih terperinci

Seminar Internasional, ISSN Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia

Seminar Internasional, ISSN Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia PEMBELAJARAN TATA BUSANA BERBASIS KREATIVITAS DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN Oleh: Suciati Prodi Pendidikan Tata Busana, Jurusan PKK, FPTK UPI ABSTRAK Kreativitas atau daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Disiplin memiliki arti penting bagi setiap individu yang bertujuan atau ingin mencapai sesuatu. Sebagai contoh, individu yang ingin menjadi juara kelas, juara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa termasuk di dalam kategori remaja akhir dan dewasa awal. Pada masa itu umumnya merupakan masa transisi. Mereka masih mencari jati diri mereka masing-masing,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika BAB III METODELOGI PENELITIAN Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR Kuesioner Gaya Pengasuhan No. Item Spearman Diterima / Ditolak 1 0,304 Diterima 2 0,274 Ditolak 3 0,312 Diterima 4 0,398 Diterima 5 0,430 Diterima 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mempunyai bakat kreatif tertentu yang dibawa sejak lahir.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mempunyai bakat kreatif tertentu yang dibawa sejak lahir. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu mempunyai bakat kreatif tertentu yang dibawa sejak lahir. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Devito (Supriadi, 1994:15) bahwa kreativitas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pengertian Berpikir Kreatif Kreatif merupakan istilah yang banyak digunakan baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Umumnya orang menghubungkan kreatif dengan sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk. mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr.

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk. mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman, ketua pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran a. Pengertian Model pembelajaran Menurut Muhaimin dalam Yatim Riyanto (2010: 131) Pembelajaran adalah upaya membelajarkan

Lebih terperinci