FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS"

Transkripsi

1 FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS Jumat, 17 Desember 2010 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine. Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang. Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang

2 bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991). Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil topik penelitian ini. A. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa?.

3 B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal akibat spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise. b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah a. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan kasus spondylosis lumbal dengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise. b. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya yang ingin membuat tugas, makalah atau menyusun diktat. c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar dalammelakukan penelitian lanjut. 2. Manfaat Praktis Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam penanganan kasus spondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Spondylosis Lumbal 1. Pengertian Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).

4 Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral. Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L 4 L 5 dan L 5 S 1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010). 2. Etiologi Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009). Spondylosis lumbal banyak pada usia tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) : a. Kebiasaan postur yang jelek b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang. c. Tipe tubuh Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) : a. Faktor usia Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis

5 meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun. b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis. c. Peran herediter Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training. d. Adaptasi fungsional Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar. 3. Patologi Terapan Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-

6 plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu : a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan. b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahuntahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.

7 c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak. Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L 5 S 1 dan pada L 4 L 5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular inferior superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf

8 sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009). 4. Gambaran Klinis Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010). 5. Anatomi Biomekanik Lumbal Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal. Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah. Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga

9 hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal. Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut : a. Thoracolumbal junction Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th 12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine memaksa th 12 hingga Th 10 mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 55 0 dan ekstensi b. Lumbal spine Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak L 3 sebesar 2 4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu sendiri. Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi lumbal. c. Lumbosacral joint L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal. Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal

10 junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks. a. Diskus Intervertebralis Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu : 1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsurunsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber. 2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30 o satu sama lainnya maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola. Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson

11 menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk. b. Facet Joint Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular. Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya. Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1. Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamenligamen yang memperkuat segmen gerak adalah : a. Ligamen longitudinal anterior Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal. b. Ligamen longitudinal posterior

12 Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. c. Ligamen flavum Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal. d. Ligamen interspinosus Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. e. Ligamen supraspinosus Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. f. Ligamen intertransversalis Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral. Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah: a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: 1) M. Transverso spinalis

13 2) M. Longissimus 3) M. Iliocostalis 4) M. Spinalis 5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak. b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior. c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari : 1) M. Quadratus Lumborum 2) M. Psoas Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal. Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior. Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain. Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser

14 kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun. Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10 o dan ROM segmental sekitar 2 o dan segmental unilateral sekitar 1 o. B. Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal 1. Problematik Fisioterapi Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal. 2. Tindakan Fisioterapi a. Short Wave Diathermy (SWD) Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas short wave diathermy (yang akan dibahas) dan microwave diathermy. Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave diathermy, yaitu : 1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter 2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter 3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter

15 Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter. Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD. 1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik, dimana energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari siklus/detik yang akan memberikan impuls setiap detik, sehingga durasinya 0,001 ms tiap detik. Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada sumber medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus (pulsed) akan terjadi pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik yang dihasilkan tergantung pada metode yang digunakan. a) Metode medan kondensor Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat metal elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada metode ini, medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena menggunakan plat metal elektrode. b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode) Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet yang lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan. Distribusi medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di jaringan superfisial apabila pemasangannya dililitkan. 2) Metode Aplikasi Metode aplikasi SWD terdiri atas : a) Metode Induktive (1) Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatu plastic drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode. (2) Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang tebal, dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus mengelilingi

16 bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentuk flat spiral. Kabel tersebut membentuk suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai perantara. b) Metode Capacitive/Condensor (1) Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid atau plate electrode atau space plate dan diposisikan oleh lengan penyanggah. (2) Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal dimana dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang sesuai (seperti handuk). Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode). Dalam penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya membahas aplikasi tersebut. Aplikasi Coplanar Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap jaringan yang diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan tidak terjadi aliran arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh lapisan jaringan sehingga absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam. Dengan demikian, metode ini hanya bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan efek yang dalam, maka dianjurkan untuk menerapkan jarak elektrode kulit yang cukup jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada jarak ½ kali dari diameter elektrode/condensator. Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah : a) Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi energi yang rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai. b) Jarak elektrode kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan point effek. 3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD) Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki thermosensor tetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah terjadi overthermal pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima

17 jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963) ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat. Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam Hyaluronik yang suhu optimalnya adalah 36,7 o, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan penambahan suhu 1 o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi 37,4 o, sementara pada suhu 37 o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi. Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme. 4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD) Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk untaian kalung. Kemudian bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD, mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 80 watt (tergantung pada pemilihan frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan kontraindikasi. Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition ( Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power (watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya. Dengan demikian, penerapanpulsed SWD dapat

18 memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan. Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah : a) Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio, hematoma. b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia, myalgia, (akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica, tendovaginitis, akut dan kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik, laryngitis dan peritonsilar abcess, adneksitis dan mamma abcess. 5) Efek Fisiologis a) Perubahan panas/temperatur (a) Reaksi lokal/jaringan (1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1 o C. (2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. (b) Reaksi general (1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general. (2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas. b) Jaringan ikat Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan peregangan. c) Otot (1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot. (2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP. d) Saraf (1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf. (2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold). 6) Indikasi

19 Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain, osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain). 7) Kontraindikasi Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah. b. William Flexion Exercise 1) Pengertian William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun Pada tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala kronik LBP. William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik. 2) Tujuan Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower

20 back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor & ekstensor. 3) Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus. 4) Prosedur Pelaksanaan Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah sebagai berikut : a) Latihan I (pelvic tilting) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian pertahankan 5 10 detik. Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise b) Latihan II (single knee to chest) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai. Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 10 detik. Kemudian diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5-10 detik.

21 Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise c) Latihan III (double knee to chest) Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 10 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya. Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise d) Latihan IV (partial sit-up) Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal

22 Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise e) Latihan V (hamstring stretch) Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki. Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise f) Latihan VI (hip fleksor stretch) Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain. Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise g) Latihan VII (squat) Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

23 Gambar 2.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise C. Tinjauan Alat Ukur 1. Visual Analogue Scale (VAS) Menurut International Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho DS (2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang, riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992). Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif. Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang

24 cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri hebat yang dirasakan. Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien. Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan ujung kanan diberi tanda bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992). VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE) Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya

PERENCANAAN PROGRAM LATIHAN UNTUK LBP (LOW BACK PAIN) ET CAUSA SPONDYLOSIS

PERENCANAAN PROGRAM LATIHAN UNTUK LBP (LOW BACK PAIN) ET CAUSA SPONDYLOSIS PERENCANAAN PROGRAM LATIHAN UNTUK LBP (LOW BACK PAIN) ET CAUSA SPONDYLOSIS DISUSUN OLEH : Sela Maudia (1406626274) PROGRAM VOKASI BIDANG STUDI RUMPUN KESEHATAN PROGRAM STUDI FISIOTERAPI KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era yang lebih maju dan berkembang disertai dengan peningkatan teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan perilaku hidup, hal ini mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di segala bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat aktivitas masyarakat Indonesia semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Kesehatan merupakan keadaan bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Kesehatan merupakan keadaan bebas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hal yang amat penting dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. Kesehatan merupakan keadaan bebas dari penyakit, baik penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan peran serta masyarakat untuk lebih aktif. Aktivitas manusia sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan peran serta masyarakat untuk lebih aktif. Aktivitas manusia sangat BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan yang semakin meningkat otomatis disertai dengan peningkatan peran serta masyarakat untuk lebih aktif. Aktivitas manusia sangat erat hubungannya dengan gerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Setiap orang mendambakan bebas dari penyakit, baik fisik maupun mental serta terhindar dari kecacatan. Sehat bukan suatu keadaan yang sifatnya statis tapi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menuju Indonesia Sehat 2010 merupakan program pemerintah dalam mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai macam kondisi yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk itu peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam rangka menciptakan. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Untuk itu peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam rangka menciptakan. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari keseluruhan upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan perilaku hidup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang berkembang kian pesat sangat berpengaruh pula aktivitas yang terjadi pada

PENDAHULUAN. yang berkembang kian pesat sangat berpengaruh pula aktivitas yang terjadi pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan mempunyai peranan penting dalam pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada perkembangan jaman sekarang ini, kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik

Lebih terperinci

ANATOMI FISIOLOGI TULANG BELAKANG

ANATOMI FISIOLOGI TULANG BELAKANG ANATOMI FISIOLOGI TULANG BELAKANG Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 5 di antaranya bergabung

Lebih terperinci

dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen

dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen 6 ke lateral dan sedikit ke arah posterior dari hubungan lamina dan pedikel dan bersama dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen yang menempel kepadanya. Processus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan saat ini merupakan hal yang sangat penting dikarenakan meningkatnya jumlah pasien di rumah sakit dan meningkat juga pengguna jasa asuransi kesehatan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan dan keselamatan dalam bekerja sangat penting bagi masyarakat yang berkaitan dengan semua pekerjaan yang berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN SPONDYLOSIS LUMBALIS 4-5 DENGAN MWD ULTRA SOUND DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE DI RSUD SRAGEN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN SPONDYLOSIS LUMBALIS 4-5 DENGAN MWD ULTRA SOUND DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE DI RSUD SRAGEN PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN SPONDYLOSIS LUMBALIS 4-5 DENGAN MWD ULTRA SOUND DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE DI RSUD SRAGEN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Dengan tingkat kesehatan yang optimal maka akan dapat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Dengan tingkat kesehatan yang optimal maka akan dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya ilmu kesehatan, semakin maju juga tingkat kesadaran manusia untuk hidup sehat. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya tingkat kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vertebra memiliki struktur anatomi paling kompleks dan memiliki peranan yang sangat penting bagi fungsi dan gerak tubuh. Patologi morfologi seperti HNP, spondyloarthrosis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bebas dari kecacatan sehingga untuk dapat melakukan aktivitas dalam

BAB I PENDAHULUAN. bebas dari kecacatan sehingga untuk dapat melakukan aktivitas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan satu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap makhluk Tuhan yang ada di dunia ini terutama manusia. Bagi manusia kesehatan mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia dibentuk oleh struktur tulang belakang yang sangat kuat dimana berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni

Lebih terperinci

Instabilitas Spinal dan Spondilolisthesis

Instabilitas Spinal dan Spondilolisthesis Instabilitas Spinal dan Spondilolisthesis Akhmad Imron*) Departemen Bedah Saraf FK.Unpad/RSHS Definisi Instabilitas Spinal : adalah hilangnya kemampuan jaringan lunak pada spinal (contoh : ligamen, otot

Lebih terperinci

By Sudaryanto, S.St Dosen Biomekanik BIOMEKANIK VERTEBRA

By Sudaryanto, S.St Dosen Biomekanik BIOMEKANIK VERTEBRA 1 BIOMEKANIK VERTEBRA Columna vertebralis terdiri dari 33 tulang vertebra yang membentuk kurva dan secara struktural terbagi atas 5 regio. Dari superior ke inferior, mulai dari 7 segmen vertebra cervical,

Lebih terperinci

MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION. Oleh: Sugijanto

MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION. Oleh: Sugijanto MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION Oleh: Sugijanto Pengertian Traksi: proses menarik utk meregangkan jarak antar suatu bagian. Traksi spinal: tarikan utk meregangkan jarak antar vertebra. Traksi Non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri menurut International Association For Study Of Pain / IASP yang dikutuip oleh Kuntono, 2011 adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG Karya Tulis Ilmiah Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN MWD DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP DENGAN TENS DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA OA LUTUT

PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN MWD DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP DENGAN TENS DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA OA LUTUT PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN MWD DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP DENGAN TENS DAN LATIHAN ISOMETRIK QUADRISEP TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA OA LUTUT SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai

Lebih terperinci

Anatomi Vertebra. Gambar 1. Anatomi vertebra servikalis. 2

Anatomi Vertebra. Gambar 1. Anatomi vertebra servikalis. 2 Anatomi Vertebra Tulang belakang (vertebra) dibagi dalam dua bagian. Di bagian ventral terdiri atas korpus vertebra yang dibatasi satu sama lain oleh discus intervebra dan ditahan satu sama lain oleh ligamen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada BAB I PENDAHULUAN Pembangunan Nasional adalah pembangunan yang meliputi segala aspek kehidupan termasuk salah satunya bidang kesehatan. Pembangunan di bidang kesehatan, pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia dibentuk oleh struktur tulang belakang yang sangat kuat dimana berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu

BAB I PENDAHULUAN. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam merupakan agama yang sempurna, dan telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dari yang terbesar hingga yang terkecil sekalipun. Salah satu kelebihan islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah menyelenggarakan. bagian-bagian integral dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah menyelenggarakan. bagian-bagian integral dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah menyelenggarakan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, demi terwujudnya kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri punggung merupakan keluhan yang sering dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Diperkirakan hampir semua orang pernah mengalami nyeri punggung semasa hidupnya. Nyeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu gerak dan fungsi dari sendi bahu harus dijaga kesehatannya. tersebut, salah satu diantaranya adalah frozen shoulder.

BAB I PENDAHULUAN. itu gerak dan fungsi dari sendi bahu harus dijaga kesehatannya. tersebut, salah satu diantaranya adalah frozen shoulder. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu keadaan bebas dari penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit mental dan juga bebas dari kecacatan, sehingga keadaan tubuh secara biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dewasa adalah wanita yang telah menyelesaikan masa

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dewasa adalah wanita yang telah menyelesaikan masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita dewasa adalah wanita yang telah menyelesaikan masa pertumbuhan dan siap menerima peran baru sebagai seorang istri maupun ibu. Perubahan peran ini secara

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA

PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH MEKANIK SKRIPSI DISUSUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi LBP dalam 1 tahun, adalah dari 3,9% hingga 65% (Andersson,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi LBP dalam 1 tahun, adalah dari 3,9% hingga 65% (Andersson, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Low Back Pain (LBP) atau nyeri punggung bawah (NPB) merupakan masalah umum yang dialami kebanyakan orang dalam hidup mereka. Dilaporkan bahwa prevalensi LBP dalam 1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam studi kasus ini, seorang pasien perempuan dengan inisial Ny. NF

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam studi kasus ini, seorang pasien perempuan dengan inisial Ny. NF BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Dalam studi kasus ini, seorang pasien perempuan dengan inisial Ny. NF berusia 52 tahun dengan keluhan nyeri pinggang bawah dan menjalar sampai kaki kiri akibat Hernia

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS: PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN e.c SPONDYLOSIS LUMBALIS DENGAN SWD DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE

LAPORAN KASUS: PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN e.c SPONDYLOSIS LUMBALIS DENGAN SWD DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI RSSA LAPORAN KASUS: PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN e.c SPONDYLOSIS LUMBALIS DENGAN SWD DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE KALAICHELVI REGUNATHAN 0710714014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO (Word Health Organization), sehat adalah Suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia globalisasi menuntut masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia globalisasi menuntut masyarakat untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia globalisasi menuntut masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Bekerja merupakan hal wajib yang dilakukan, seiring kemajuan globalisasi maka daya konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. sehingga dengan demikian walaupun etiologi LBP dapat bervariasi dari yang

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. sehingga dengan demikian walaupun etiologi LBP dapat bervariasi dari yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan manifestasi keadaan patologik yang dialami oleh jaringan atau alat tubuh yang merupakan bagian pinggang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di era yang serba modern seperti sekarang ini maka mudah sekali untuk mendapatkan semua informasi baik dalam bidang teknologi, bisnis, serta bidang kesehatan. Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang kini digalakan salah satunya adalah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang kini digalakan salah satunya adalah di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang kini digalakan salah satunya adalah di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia yang hakikatnya

Lebih terperinci

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTARA TERAPI LATIHAN WILIAM S FLEXION DENGAN MCKENZIE EXTENSION PADA PASIEN YANG MENGALAMI POSTURAL LOW BACK PAIN

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTARA TERAPI LATIHAN WILIAM S FLEXION DENGAN MCKENZIE EXTENSION PADA PASIEN YANG MENGALAMI POSTURAL LOW BACK PAIN PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTARA TERAPI LATIHAN WILIAM S FLEXION DENGAN MCKENZIE EXTENSION PADA PASIEN YANG MENGALAMI POSTURAL LOW BACK PAIN dr. Nila Wahyuni, S. Ked Program Studi Fisioterapi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian telah banyak di kembangkan untuk mengatasi masalah-masalah penuaan.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian telah banyak di kembangkan untuk mengatasi masalah-masalah penuaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan pembangunan dan pengetahuan serta teknologi memberikan dampak bagi segala bidang, khususnya dalam bidang ilmu kesehatan dan informasi. Meningkatnya ilmu pengetahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat yang akan memberikan dampak positif dan negatif secara

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat yang akan memberikan dampak positif dan negatif secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, teknologi pun berkembang dengan pesat yang akan memberikan dampak positif dan negatif secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupannya manusia memiliki banyak aktivitas untuk dilakukan baik itu rutin maupun tidak rutin. Ada berbagai macam aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Spine merupakan tulang penopang tubuh yang tersusun atas cervical

BAB I PENDAHULUAN. Spine merupakan tulang penopang tubuh yang tersusun atas cervical 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spine merupakan tulang penopang tubuh yang tersusun atas cervical spine, thoracic spine dan lumbal spine. Lumbal spine merupakan area yang paling mobile diantara bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan pembangunan dan teknologi memberikan dampak bagi segala bidang pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup manusia atau seseorang berarti secara otomatis berdampak pula

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup manusia atau seseorang berarti secara otomatis berdampak pula BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perbaikan tingkat harapan hidup manusia. Dengan bertambahnya tingkat harapan hidup manusia atau seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja. Hal ini disebabkan karena 65% penduduk Indonesia. adalah usia kerja 30% bekerja disektor formal dan 70% disektor

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja. Hal ini disebabkan karena 65% penduduk Indonesia. adalah usia kerja 30% bekerja disektor formal dan 70% disektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu dari negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, sangat berkepentingan terhadap masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pegal yang terjadi di daerah pinggang bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah

BAB I PENDAHULUAN. pegal yang terjadi di daerah pinggang bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di daerah pinggang bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah diagnosis tapi hanya

Lebih terperinci

PENGARUH TERAPI TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION DAN ULTRASOUND PADA LOW BACK PAIN KINETIK

PENGARUH TERAPI TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION DAN ULTRASOUND PADA LOW BACK PAIN KINETIK PENGARUH TERAPI TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION DAN ULTRASOUND PADA LOW BACK PAIN KINETIK SKRIPSI DISUSUN SEBAGAI PERSYARATAN DALAM MERAIH GELAR SARJANA SAINS TERAPAN FISIOTERAPI Disusun Oleh

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI PASKA OPERASI HERNIA NUCLEUS PULPOSUS DI VERTEBRA L5-S1 DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI PASKA OPERASI HERNIA NUCLEUS PULPOSUS DI VERTEBRA L5-S1 DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI PASKA OPERASI HERNIA NUCLEUS PULPOSUS DI VERTEBRA L5-S1 DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Disusun Oleh FITRI ISTIQOMAH NIM. J100.060.056 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan kuratif dan rehabilitatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang hidupnya, manusia tidak terlepas dari proses gerak. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai macam aktifitas yang dipengaruhi oleh tugas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang,

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro yang berarti sendi dan itis yang berarti inflamasi. Osteoarthritis tergolong penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular,

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup sehat adalah harapan setiap individu baik sehat fisik maupun psikis. Namun harapan tersebut kadang bertentangan dengan keadaan di masyarakat, dimana dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri pinggang bawah atau dalam istilah medisnya Low Back Pain (LBP)

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri pinggang bawah atau dalam istilah medisnya Low Back Pain (LBP) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri pinggang bawah atau dalam istilah medisnya Low Back Pain (LBP) merupakan masalah bagi setiap klinisi dewasa ini. Adapun penyebab dan faktorfaktor risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia melakukan aktifitasnya tidak pernah lepas dari proses gerak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat cepat. Setiap detik terdapat dua orang yang berulang tahun ke-60 di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat cepat. Setiap detik terdapat dua orang yang berulang tahun ke-60 di dunia, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global angka pertumbuhan lansia semakin hari semakin meningkat dan sangat cepat. Setiap detik terdapat dua orang yang berulang tahun ke-60 di dunia, atau 58 juta

Lebih terperinci

Kelainan Degeneratif SPINE Dr. Nuryani Sidarta,SpRM

Kelainan Degeneratif SPINE Dr. Nuryani Sidarta,SpRM Kelainan Degeneratif SPINE Dr. Nuryani Sidarta,SpRM Proses degeneratif sendi (1) Dimulai pada usia dewasa, terus mengalami progresifitas lambat sepanjang hidup Terjadi perubahan bertahap permukaan cartilago

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dari bayi sampai lanjut usia (lansia). Lanjut usia (lansia) merupakan kejadian yang pasti akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Angka kejadian Ischialgia bawah hampir sama pada semua populasi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Angka kejadian Ischialgia bawah hampir sama pada semua populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ischialgia merupakan salah satu keluhan nyeri yang sering didapatkan di masyarakat. Angka kejadian Ischialgia bawah hampir sama pada semua populasi masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri pinggang bawah merupakan salah satu keluhan yang cukup sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh semua, tidak memandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. populasi pada usia>50 tahun dan sering terjadi pada usia didapatkan pada usia tahun. Di Amerika Serikat, kasusnyeri

BAB I PENDAHULUAN. populasi pada usia>50 tahun dan sering terjadi pada usia didapatkan pada usia tahun. Di Amerika Serikat, kasusnyeri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri pinggang dilaporkan terjadi setidaknya 1 kali dalam 85% populasi pada usia>50 tahun dan sering terjadi pada usia 30-50 tahun.setiap tahun prevalensi nyeri pinggang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga manakala seseorang menderita sakit maka seseorang akan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga manakala seseorang menderita sakit maka seseorang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Sehat pada dasarnya merupakan dambaan atau kebutuhan setiap orang sehingga manakala seseorang menderita sakit maka seseorang akan mengusahakan dirinya untuk kesembuhan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk

BAB VI PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui perbedaan kombinasi Mc.Kenzie dan William flexion exercise dengan pilates exercise dalam meningkatkan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi tertinggi menyerang wanita (Hoy, et al., 2007). Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi tertinggi menyerang wanita (Hoy, et al., 2007). Di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri leher adalah masalah yang sering dikeluhkan di masyarakat. Prevalensi nyeri leher dalam populasi umum mencapai 23,1% dengan prevalensi tertinggi menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ihsan Baleendah Bandung, yang termasuk dalam sepuluh besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Ihsan Baleendah Bandung, yang termasuk dalam sepuluh besar penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Low Back pain atau nyeri pinggang bawah sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Berdasarkan data rekam medik pada bagian fisioterapi RSUD Al- Ihsan Baleendah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di setiap negara. Di dunia, sedikitnya 50% dari semua petugas. mencapai 80% dari semua tenaga kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di setiap negara. Di dunia, sedikitnya 50% dari semua petugas. mencapai 80% dari semua tenaga kesehatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perawat memainkan peran penting dalam memberikan pelayanan kesehatan di setiap negara. Di dunia, sedikitnya 50% dari semua petugas kesehatan adalah perawat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hal yang amat penting dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas dari penyakit,

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST DR. SOEDJONO MAGELANG

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST DR. SOEDJONO MAGELANG PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST DR. SOEDJONO MAGELANG Naskah Publikasi Diajukan Guna Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Sebagian persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN SHORT WAVE DIATHERMY DAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU DEXTRA DI RSOP dr. SOEHARSO SURAKARTA

PENATALAKSANAAN SHORT WAVE DIATHERMY DAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU DEXTRA DI RSOP dr. SOEHARSO SURAKARTA PENATALAKSANAAN SHORT WAVE DIATHERMY DAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU DEXTRA DI RSOP dr. SOEHARSO SURAKARTA Oleh: FITRIA ENDAH WIDYASTUTI J 100 050 022 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna

Lebih terperinci

Naskah Publikasi. Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program Pendidikan Diploma III fisioterapi

Naskah Publikasi. Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program Pendidikan Diploma III fisioterapi PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN (LBP) AKIBAT HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP) DENGAN SHOR WAVE DIATHERMY (SWD) DAN MC. KENZIE EXERCISE Naskah Publikasi Diajukan guna melengkapi tugas-tugas

Lebih terperinci

Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut

Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut Konsep kenyamanan Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak dijumpai dibanding dengan penyakit sendi lainnya. Semua sendi dapat terserang, tetapi yang paling

Lebih terperinci

BAB I. punggung bawah. Nyeri punggung bawah sering menjadi kronis, menetap atau. sehingga tidak boleh dpandang sebelah mata (Muheri, 2010).

BAB I. punggung bawah. Nyeri punggung bawah sering menjadi kronis, menetap atau. sehingga tidak boleh dpandang sebelah mata (Muheri, 2010). BAB I A. Latar Belakang Nyeri punggung bawah (low back pain) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama adanya nyeri atau perasaan tidak enak di daerah tulang punggung bawah. Nyeri

Lebih terperinci

kemungkinan penyebabnya adalah multifactorial sehingga sulit untuk mengetahui penyebab pasti dari keluhan tersebut dan kebanyakan LBP pada usia

kemungkinan penyebabnya adalah multifactorial sehingga sulit untuk mengetahui penyebab pasti dari keluhan tersebut dan kebanyakan LBP pada usia BAB V PEMBAHASAN Nyeri punggung bawah atau LBP merupakan penyakit muskuloskeletal yang dapat berasal dari mana saja seperti sendi, periosteum, otot, annulus fibrosus bahkan saraf spinal. LBP bukan merupakan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CERVICAL ROOT SYNDROME DI RSUD SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CERVICAL ROOT SYNDROME DI RSUD SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CERVICAL ROOT SYNDROME DI RSUD SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: EKO BUDI WIJAYA J 100 090 032 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna Melengkapi Tugas -Tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Punggung Bawah 2.1.1 Definisi Nyeri Punggung Bawah Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sosial masyarakat dan bangsa bertujuan untuk. memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sosial masyarakat dan bangsa bertujuan untuk. memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sosial masyarakat dan bangsa bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan yang telah kita laksanakan selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Sang Pencipta sebagai mahluk yang dapat berdiri tegak di atas kedua kakinya. Penganut teori revolusi Darwin harus menerima kenyataan bahwa sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. merupakan bagian pinggang atau yang ada di dekat pinggang.

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. merupakan bagian pinggang atau yang ada di dekat pinggang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan manifestasi keadaan patologik yang dialami oleh jaringan atau alat tubuh yang merupakan bagian pinggang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang saling berinteraksi dengan lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal dalam bergerak atau beraktivitas.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ergonomi 2.1.1. Pengertian Ergonomi Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam

Lebih terperinci

BEDA PENGARUH LIFTING TECHNIC EXERCISE DENGAN BACK EXERCISE TERHADAP NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PEKERJA GILING PADI

BEDA PENGARUH LIFTING TECHNIC EXERCISE DENGAN BACK EXERCISE TERHADAP NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PEKERJA GILING PADI BEDA PENGARUH LIFTING TECHNIC EXERCISE DENGAN BACK EXERCISE TERHADAP NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PEKERJA GILING PADI SKRIPSI DISUSUN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN MENDAPATKAN GELAR SARJANA SAINS TERAPAN FISIOTERAPI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian punggung bawah. Bahagian punggung berupa sebuah struktur kompleks terdiri daripada tulang, otot, dan jaringan-jaringan lain yang membentuk bahagian posterior tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. NPB lebih kurang 15% - 20% dari populasi, yang sebagian besar merupakan NPB

BAB I PENDAHULUAN. NPB lebih kurang 15% - 20% dari populasi, yang sebagian besar merupakan NPB BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, insiden nyeri punggung bawah (NPB) belum diketahui dengan jelas dan biasanya lebih banyak terkena pada buruh (Hendarta,2009). Berbagai data yang ada di

Lebih terperinci

Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN KARENA ISCHIALGIA DENGAN MODALITAS SHORT WAVE DIATHERMY (SWD) DAN TERAPI LATIHAN DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru. (Millson, 2008). Sedangkan menurut pendapat Departement of Trade and

BAB I PENDAHULUAN. baru. (Millson, 2008). Sedangkan menurut pendapat Departement of Trade and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Inovasi adalah perbuatan mengenalkan sesuatu yang baru dengan cara yang baru. (Millson, 2008). Sedangkan menurut pendapat Departement of Trade and Industry,

Lebih terperinci

yang sangat penting dalam aktifitas berjalan, sebagai penompang berat tubuh dan memiliki mobilitas yang tinggi, menyebabkan OA lutut menjadi masalah

yang sangat penting dalam aktifitas berjalan, sebagai penompang berat tubuh dan memiliki mobilitas yang tinggi, menyebabkan OA lutut menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disabilitas (ketidakmampuan) baik secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi kehidupan setiap orang. Adanya nyeri pada lutut yang disebabkan oleh osteoarthtritis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada masa sekarang banyak penduduk baik yang berusia produktif maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada masa sekarang banyak penduduk baik yang berusia produktif maupun BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa sekarang banyak penduduk baik yang berusia produktif maupun yang sudah usia non produktif yang mengalami gangguan kesehatan. Seiring dengan bertambahnya jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk hiduplebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. untuk hiduplebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia dituntut untuk hiduplebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. punggung antara lain aktifitas sehari-hari seperti, berolahraga, bekerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. punggung antara lain aktifitas sehari-hari seperti, berolahraga, bekerja, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Punggung merupakan salah satu dari bagian tubuh manusia yang sering digunakan untuk beraktifitas. Banyak aktifitas yang melibatkan pergerakan punggung antara lain aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memiliki aktivitas yang bermacam-macam dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menuntut manusia untuk memiliki kondisi tubuh yang baik tanpa ada gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidup sehat adalah tujuan semua orang. Salah satu yang mempengaruhi kualitas hidup individu adalah kondisi fisiknya sendiri. Sehingga manusia yang sehat sudah tentu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUD Kebumen pada bulan Juni 2015 Juli 2015. Dari penelitian didapatkan sebanyak 74 orang yang memeriksakan LBP ke RSUD Kebumen dan

Lebih terperinci