PEMANFAATAN TANAH SETRA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT THE UTILIZATION OF CEMETERY IN INDIGENOUS LAW PERSPECTIVE
|
|
- Agus Atmadja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PEMANFAATAN TANAH SETRA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT THE UTILIZATION OF CEMETERY IN INDIGENOUS LAW PERSPECTIVE Luh Putu Arya Stiti 1, A. Suriyaman Mustari Pide 2, I Made Suwitra 2 1 Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2 Bagian Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi: Luh Putu Arya Stiti Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, stitiarya@yahoo.com HP :
2 ABSTRAK Implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat, pada umumnya disebabkan karena beberapa hal, seperti tidak ikut mebanjar, kurang aktif di banjarnya dan juga karena sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu, sedangkan terhadap umat non Hindu belum pernah terjadi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu dan implikasinya terhadap konflik hukum adat. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian hukum normative, melalui pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Awig- Awig (ketentuan-ketentuan Hukum Adat Bali). Selain itu, digunakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan hukum adat. Hasil Penelitian menunjukan bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman dan menjadi warga Desa Pakraman tersebut. Sedangkan bagi umat non Hindu diawali dengan menghindukan dulu (Sudi Widani), kemudian dilanjutkan upakara/upacara sesuai dengan awigawig Desa Adat. Kata kunci: Tanah Setra, Konflik, Hukum Adat ABSTRACT Legal implications of the use of land conflicts Setra Village People, in general, caused by several things, such as not participating mebanjar, less active in banjarnya and also because it kesepekang (kanorahang) and this happens to Hindus, while the non-hindu people have never happened. This study aims to examine the use of land Setra by non-hindu people and the implications for indigenous conflict. This research was conducted with normative legal research, the approach of Law (Statute Approach) and Awig-Awig (Customary Law provisions Bali). In addition, the use of empirical legal research with indigenous approach. Research results showed that land use procedures Setra preceded by non-hindu people of the residents living in the area Pakraman and become citizens of the Pakraman. As for non-hindu people begins with the first Sudi Widani, then ceremonies in accordance with awig awig Village People. Keywords: Cemetery of Land, Conflict, Indigenous Law
3 PENDAHULUAN Dinamika kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks ini, ternyata menjadi salah satu faktor terjadinya konflik adat, yang disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara krama desa selaku individu atau kelompok dalam desa adat. Hicman Powell, seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, menjuluki Pulau Bali sebagai The Last Paradise. Julukan itu diberikan karena keindahan alam Bali, dan keharmonisan hubungan masyarakatnya, serta keramahan warganya (Sudantra, 2010). Namun demikian, sesungguhnya Bali tidaklah benar-benar bebas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali. Wayan P Windia mengatakan, konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya krama desa pakraman (krama desa), tetapi mungkin penduduk Bali secara umum. Dengan kata lain, setiap penduduk Bali, yaitu orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu, maupuan tamiu), potensial dapat menimbulkan biota atau wicara di tanah Bali. Tanah-tanah adat atau tanah-tanah ulayat di Bali lebih memasyarakat dengan sebutan tanah desa. Tanah desa ini dapat dibedakan tanah desa dalam arti sempit, atau sering disebut dengan tanah druwe desa atau tanah druwe, yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat melalui usahausaha pembelian ataupun usaha lainnya (Dharmayudha, 1990). Di Kabupaten Gianyar terjadi konflik tanah setra antara desa adat Semana Ambengan, Kecamatan Ubud, dan kasus tanah setra Ketandan Tegallinggah, Kecamatan Blahbatuh. Beragam konflik yang terjadi boleh saja sebagai bagian dari perubahan sosial yang selalu disertai dengan proses perubahan, atau mobilitas sosial yang membawa benturan-benturan nilai, yang mengakibatkan terjadinya konflik. Mengingat kejadian-kejadian di Bali, sejak era reformasi 1998, penduduk desa di Bali tampak sering mengalami konflik, dibandingkan dengan sebelumnya, baik konflik intern desa maupun antar desa. Konflik antar desa dinas yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi, belakangan juga mulai muncul. Selain konflik politik, konflik ekonomi, dan sosial, juga konflik adat terjadi di Bali.
4 Berdasarkan hasil penelitian Suardika (2010), konflik adat memang paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar. Sebaran konflik hampir terjadi diseluruh kecamatan yang ada, dan hampir terjadi setiap tahun. Dikatakan konflik yang menonjol karena telah muncul sebagai konflik terbuka, yang potensial menggangu ketertiban, kedamaian, dan ketentraman masyarakatnya. Di luar konflik-konflik tersebut, masih terdapat banyak kasus terutama konflik individu melawan individu dengan beragam permasalahan yang tidak terekam di Kecamatan, kantor Kesbang-Linmas, Majelis Desa Pakraman, ataupun di tingkat banjar atau desa, sehingga tidak muncul ke permukaan sebagai kasus yang mengancam ketertiban umum. Dalam persepsi filosofi hukum adat Bali, ketiga sumber kesejahteraan yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana, dituangkan kedalam tiga pola hubungan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan; Hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia; dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Keberadaan setra dalam sebuah desa adat, sama halnya dengan fasilitas milik desa lainnya, semua pemanfaatnya diatur berdasarkan hukum adat yang tertuang dalam bentuk aturan-aturan, berupa awigawig desa adat. Dengan demikian, bukan orang biasa yang bisa dikuburkan di sana (Dharmayudha et al., 1999). Atas dasar permasalahan itulah, dipandang perlu untuk meneliti mengenai aturan-aturan hukum yang mengatur tentang penggunaan setra Desa Adat. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan memperjelas pemahaman terhadap Desa Adat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah setra Desa Adat, jika dimanfaatakan oleh umat non Hindu di wilayah Kabupaten Gianyar. METODE PENELITIAN Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dipilih disesuaikan dengan masalah yang akan dikaji, untuk mengkaji mengenai pemanfaatan tanah setra Desa Adat dan prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu, dipergunakan penelitian hukum
5 normatif. Untuk melengkapi kajian tersebut terutama yang berkaitan dengan nilai yang hidup dalam masyarakat dan mengkaji konflik yang ada dipergunakan penelitian hukum empiris atau socio legal research dengan menggunakan pendekatan pendekatan sejarah (historical approach); pendekatan konseptual (conceptual approach); dan pendekatan sosiologi hukum atau siciology of law (Sunggono, 2006). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan di desa adat yang terdapat di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, oleh karena di kabupaten Gianyar ini sendiri terdapat tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Gianyar, Blahbatuh, Sukawati, Ubud, Payangan, Tegallalang dan Tampaksiring, dengan jumlah Desa Adat 271 Desa Adat dan 504 banjar adat yang tersebar di tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Gianyar tersebut, sudah ada umat non Hindu yang memanfaatkan tanah setra Desa Adat seperti desa Adat Beng, desa Adat Gianyar. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah Wilayah Kabupaten Gianyar. Sedangkan metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode non-probality sampling dengan ciri umunya adalah bahwa tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi responden dan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari penelitian, sehingga dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Dengan demikian, maka sampel yang terpilih kemudian menjadi responden dalam penelitian ini meliputi Desa Adat Beng, Kecamatan Gianyar; Desa Adat Peliatan, Kecamatan Ubud; dan Desa Adat Pejeng Kawan, Kecamatan Tampak Siring. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yakni analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti. Setelah data dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir
6 deduktif, yaitu suatu pola berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan yang bersifat khusus (Hadi, 2001). HASIL Posisi Kasus Kasus ini terjadi di Desa Adat Beng, Desa Beng, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar. Kasus ini menyangkut boleh tidaknya seorang non Hindu menggunakan setra desa pakraman. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak keluarga, kelian desa adat dan data tertulis, maka kasus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Seorang laki-laki bernama I Nyoman Pintrik (saat meninggal umur 40 tahun), pekerjaan buruh bangunan. Ia lahir dan dibesarkan di Banjar kauh Beng, beragama Hindu, terlahir dari pasangan yang sah antara pan Ketul (almarhum) dan ibunya Ni Rembug. Bersaudara 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Saat berumur 22 tahun I Nyoman Pintrik kawin dengan seorang wanita yang bernama Ni Ketut Manis dari desa Beng, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, beragama Kristen Protestan. Perkawinan dilaksanakan secara sah menurut Agama Hindu dimana pihak perempuan diminta secara sah oleh keluarga laki-laki disaksikan oleh Kelian Desa Adat Beng pada waktu itu. Dari perkawinannya tersebut I Nyoman Pintrik dikarunia dua orang anak laki-laki. Namun setelah anak pertama mereka berumur lima tahun, mulai terjadi ketidak harmonisan di dalam pasangan keluarganya yang akhirnya menyebabkan mereka berdua memilih untuk bercerai. Dalam perceraiannya itu, pihak perempuan dikembalika oleh pihak laki-laki dengan disaksikan oleh kelian Adat Desa Beng (pada saat itu oleh I Nyoman Gede Cemeng). Perceraian itu terjadi pada tahun Pihak perempuan kembali kerumah orang tuanya semasa gadis, dan kedua orang putranya mengikuti pihak bapaknya (I Nyoman Pintrik). Setelah perceraiannya, I Pitrik bersama anak-anaknya masih tetap tinggal di Tuban, dan tidak masuk makrama Desa Adat Beng. Lebih kurang dua tahun setelah perceraian itu, I Nyoman Pintrik kawin lagi dengan seorang perempuan yang bernama Makesah yang berasal dari Karangasem dan beragama Islam. Perkawinan yang kedua ini berlangsung secara diam-diam (tidak sah). Perkawinan yang kedua ini membuahkan seorang anak perempuan. Sampai saat perkawinan keduanya itu berjalan, I Pintrik masih belum tinggal di Desa Beng dan masih tetap tidak masuk dalam krama Desa Adat Beng. Perkawinan kedua ini berlangsung sampai menjelang I Nyoman Pintrik meninggal dunia. Selama bekerja di Ungasan, I Pintrik juga tidak tercatat sebagai penduduk Desa Beng, baik secara adat maupun dinas. Menurut keterangan keluarganya walaupun I Nyoman Pintrik telah tinggal di Desa Beng, tetapi tidak pernah sekalipun I Nyoman Pintrik bersembahyang baik di Pura keluarga (paibon) maupun di Pura desa. Dari pihak keluarga tidak ada yang yang berani menegur, karena mereka sadar I Nyoman Pintrik tidak beragama Hindu. Bahkan terakhir di ketahui ternyata I Pintrik dalam KTP nya tercantum beragama Islam. Pada saat I Nyoman Pintrik meninggal di rumah asalnya tanggal 4 Januari 2008, saudara laki-laki I Pintrik menanyakan pada istri almarhum, perihal suaminya, termasuk rencana penguburan, dimana dan bagaimana nantinya mayat I Pintrik akan dikuburkan. Ternyata istri almarhum mengatakan walaupun dalam KTP nya tercantum beragama Islam, tetapi I
7 Pintrik tidak pernah menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim sehingga menurut istrinya I Pintrik tidak berhak dikuburkan menurut Islam. Dalam hal ini Makesah (Istri I Pintrik) menyerahkan sepenuhnya pada keluarga almarhum suaminya untuk mengurus sepenuhnya penguburan mayat I Pintrik. Melihat kenyataan ini, maka satu-satunya jalan bagi saudara (almarhum) I Pintrik, adalah berusaha agar mayat I Pintrik dapat dikubur di setra Desa Adat Beng. Pada tanggal 4 Januari 2008, diadakanlah paruman prajuru desa adat, yang khusus membahas kasus ini. dalam paruman itu pun, belum didapat keputusan, karena ada penentangan dari peserta paruman, terutama dari Banjar Kelod Beng, dengan alasan bahwa awig-awig Desa Adat Beng tidak memperbolehkan hal tersebut dilaksanakan. Di samping itu, dikhawatirkan persoalan ini akan menjadi contoh kurang baik, bagi krama Desa Beng lainnya di kemudian hari. Mereka khawatir, kalau kasus ini ditoleransi, dikemudian hari, krama desa lainnya bisa saja mengikuti dengan mengelak untuk melaksanakan ayahannya di desa adat. Tidak mau masuk anggota krama desa, tidak melaksanakan agama dengan baik dan sebagainya, sehingga menyebabkan tatanan kehidupan desa adat akan menjadi kurang baik di kemudian hari. Dari keterangan-keterangan yang diperoleh pihak keluarga almarhum dan pihak prajuru desa adat Beng, maka pada hari itu juga, pukul Wita diadakanlah kembali peruman prajuru yang berakhir pada pukul yang menghasilkan keputusan sebagai berikut : Mayat I Nyoman Pintrik (almarhum) dapat dikubur di setra Desa Adat Beng, Penguburan dilaksanakan secara adat dan Agama Hindu, Pihak keluarga wajib menyerahkan surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa almarhum adalah anggota keluarganya yang masih menganut Agama Hindu, Pihak Keluarga almarhum wajib membayar penuku ayah/penanjung batu sebesar 200 kg. beras dan melaksanakan upacara pengeresikan desa dan Kahyangan Tiga. Keputusan Paruman Prajuru Desa Adat ini ditandatangani oleh Kelihan Desa Adat Beng, sekretaris, serta dilampiri dengan daftar hadir peserta paruman, serta surat-surat keterangan dari pihak keluarga almarhum I Nyoman Pintrik. Akhirnya mayat I Pintrik dapat di kuburkan disetra Desa Adat Beng. Mengingat semasa hidupnya I Nyoman Pintrik tidak ikut mekrama maka dalam hal ini warga banjar tidak diwajibkan untuk turun melaksanakan kewjiban suka duka. Walaupun ada warga banjar yang terlihat turut membantu mereka bukan atas nama banjar, tetapi atas pribadi yang turut simpati atas kejadian yang dialami keluarga I Nyoman Pintrik almarhum. Sehingga otomatis semua perlengkapan dan pelaksanaan upacara kematian I Pintrik dikerjakan oleh keluarga besar I Pintrik almarhum dalam hal ini keluarga besar Batu Sele Bendesa Mas Beng. Berdasarkan duduk perkara permasalahan almarhum I Nyoman Pintrik di atas, pertama-tama muncul karena berhadapan dengan desa adat dalam mengatur penggunaan setra. Secara hukum adat, kewenangan itu muncul karena aturanaturan tentang penggunaan setra, tertuang dalam awig-awig Desa Adat Beng. Dalam memutuskan penyelesaian masalah bagi almarhum I Nyoman Pintrik, prajuru desa juga diharuskan untuk menetapkan keputusan sesuai dengan sastra dresta sesuai Agama Hindu. Dengan demikian, di samping memutuskan tentang penukun setra, maka keputusannya juga harus terkait dengan ketentuan tata cara penguburan mayat berdasarkan Agama Hindu.
8 Permasalahan non Hindu menjadi persoalan yang paling spesifik dalam kasus almarhum I Nyoman Pintrik. Permasalahan ini menyangkut beberapa aspek yang tidak cukup dijelaskan dalam ketentuan awig-awig Desa Adat Beng, sehingga memerlukan penapsiran-penapsiran lebih lanjut terhadap pemahaman landasan filosofis yang mendasari isi awig-awig, yaitu sesuai ajaran Agama Hindu. I Nyoman Pintrik almarhum, sudah jelas sampai saat kematiannya bukanlah pemeluk Agama Hindu. Keinginan pihak keluarganya untuk menguburkannya di setra Desa Pakraman Beng, menyebabkan keharusan bagi almarhum I Nyoman Pintrik untuk berubah agama menjadi Hindu, agar proses penguburan secara Agama Hindu dapat dilaksanakan. Kalau saja almarhum sudah di Hindukan sebelum meninggal tentu tidak menimbulkan pertanyaan, karena perubahan agama seseorang menjadi Agama Hindu sudah ada mekanisme hukumnya, yaitu dengan melalui upacara "Sudi Wedani". Permasalahannya kemudian adalah karena belum jelasnya ketentuan yang mengatur boleh tidaknya upacara "sudi wedani" dilakukan terhadap orang yang telah meninggal. untuk itu diperlukan penapsiran-penapsiran tentang makna upacara dalam Agama Hindu serta meminta pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh Agama Hindu. Dalam kasus I Nyoman Pintrik, hak tersebut sudah dilakukan terhadap tokoh agama dari Geria Sanur, yang sekaligus merupakan staf penata Agama Hindu dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), sehingga cukup dapat dipercaya. Keluarga almarhum menjelaskan bahwa, beliau berpendapat memang dimungkinkan almarhum I Nyoman Pintrik dikuburkan atau diaben di setra desa adat secara Agama Hindu. Adapun caranya adalah dengan melalui beberapa tambahan upacara. Pertama, almarhum harus diberikan upacara peng-hinduan (sudi wedani), serta diberikan upacara manusa yadnya lain yang belum diberikan semasa jidupnya, kemudian baru dilaksanakan upacara penguburan (pengabenan). Masih ada sedikit tambahan upacara tertentu yang harus dilakukan disetiap persimpangan jalan yang dilalui, sebagai simbolis pembuka jalan sang atma menuju alamnya yang baru. Ditambahkan pula, cara seperti tersebut dapat pula
9 digunakan apabila ada umat non Hindu lainnya yang akan menggunakan setra desa adat. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, kewenangan Desa Adat dalam pengaturan tanah setra muncul karena kedudukan Desa Adat dalam sistem nasional diakui memiliki otonomi sendiri. Lingkup otonomi Desa Adat meliputi berbagai aspek kehidupan, terutama menyangkut pelaksanaan norma-norma adat dan agama yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat setempat, serta tidak bertentangan dengan asas Pancasila. Tanah setra Desa Adat, adalah tempat penguburan mayat bagi masyarakat desa adat, sesuai dengan norma-norma adat dan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Desa Adat, serta tidak bertentangan dengan asas Pancasila. Dengan demikian, maka secara logis desa adat memiliki dasar kewenangan yang kuat dalam pengaturan tanah setra Desa Adat-nya, sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang terkandung dalam asas negara, yakni Pancasila. Istilah setra berasal dari bahasa Bali yang maknanya sama dengan sema atau patunon. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kuburan atau makam (Lestawi, 1999). Dalam masyarakat desa adat di Bali, pemahaman terhadap setra terkait dengan pemahaman siklus kehidupan, yang terdiri dari tiga proses yaitu lahir (upti), hidup (shtiti) dan mati (pralina) sesuai konsepsi Tri Hita Karana. Dalam hal ini, setra dapat diartikan sebagai bagian dari wilayah (palemahan) desa adat yang diperuntukan bagi masyarakatnya (pawongan), untuk digunakan sebagai tempat melangsungkan acara mengembalikan unsur jiwa (purusa) dan unsur badan wadah (prakerti) bagi anggota masyarakat yang telah mati kepada asalnya, baik melalui proses alami maupun upacara tertentu, berdasarkan norma-norma adat dan agama Hindu. Dari pengertian tersebut di atas, maka terlihat adanya hubungan yang erat antara desa adat dengan setra. Untuk melihat secara lebih jelas hubungan yang dimaksud, maka akan dicoba melihatnya dari masing-masing unsur desa adat yaitu unsur parhyangan, pawongan dan palemahan.
10 Dasar kewenangan Desa Adat dalam pengaturan tanah setra juga dapat bersumber dari faktor kepemilikan wilayah dan faktor fungsi. Dari faktor kepemilikan wilayah, tanah setra adalah bagian dari territoir (pelemahan) Desa Adat, dan tanah setra adalah milik Desa Adat. Oleh karena Desa Adat sebagai pemilik, maka wajarlah memiliki kewenangan untuk mengatur hak miliknya tersebut. Dari faktor fungsi, tanah setra adalah untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat Desa Adat. Oleh karenanya, Desa Adat sebagai lembaga sosial keagamaan, berkepentingan mengatur agar proses penggunaannya dapat berlangsung dengan baik, tanah setra tidak menimbulkan permasalahanpermasalahan yang dapat mengganggu ketentraman dalam masyrakat. Di sisi lain, Desa Adat dalam fungsinya sebagai lembaga agama Hindu, juga berkepentingan untuk mengatur penggunaan tanah setra, agar dari proses penggunaannya, mampu meningkatkan penghayatan tanah setra pemahaman terhadap nilai-nilai agama bagi masyarakat. Aturan-aturan hukum yang berlaku untuk penggunaan setra desa adat, berhubungan dengan keseluruhan hak dan kewajiban krama desa, yang diatur di dalam awig-awig desa adat. Hal ini terutama dalam hal upacara kematian karena akan berhubungan dengan pemanfaatan setra, sebagai tempat untuk peristirahatan terakhir dari umat manusia. Dalam awig-awig Desa Adat pada intinya aturan tersebut menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu: 1). Aspek tentang pemenuhan kewajiban sebagai krama desa; 2). Aspek pemenuhan persyaratan upacara keagamaan; dan 3). Aspek pemenuhan terhadap hari baik (dewasa). Harsono, B (2007) dalam hubungannya dengan hak penguasaan atas tanah menyatakan, bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, dan dalam arti yuridism dan juga dapat beraspek perdata dan peraspek publik. Dengan demikian, hukum agraria adat dirumuskan sebagai keseluruhan dari kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanahtanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia (Santoso, 2006).
11 Disebutkan pula bahwa hak menguasai ini memberikan kewenangan kepada negera untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan agraria dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut agraria. Pelaksanaan atas hak menguasai dari negera ini dapat dikuasakan (dimandatkan) kepada daerahdaerah swatantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Pide, 2009). Mengenai upaya penggunaan setra oleh umat non Hindu, sebenarnya dalam awig-awig Desa Adat Beng tidak ada diatur. Oleh karenanya, persoalan ini mengandung keragu-raguan hukum yang memerlukan mekanisme penyelesaian tertentu. Mengenai persoalan seperti ini, maka didekati dengan hukum Hindu yang lebih tinggi, yaitu Kitab Manawa Dharmasastra, yang merupakan Weda Smerti sekaligus sebagai Compedium hukum Hindu, yang menjadi salah satu sumber inspirasi Hukum Adat di Bali, yang tertuang dalam awig-awig desa adat. 101 KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu ditinjau dari awig-awig adalah diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman dan menjadi warga Desa Pakraman tersebut, beragama Hindu, umat non Hindu diawali dengan menghindukan dulu (Sudi Widani), baru kemudian dilanjutkan upakara/upacara sesuai dengan awig-awig Desa Pakraman yang bersangkutan. Adapun implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra serta Desa Adat, memang sering terjadi tapi masih di dalam batas wajar, pada umumnya konflik terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat yang terjadi disebabkan karena beberapa hal seperti tidak ikut membanjar, kurang aktif dibanjarnya, sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu, sedangkan terhadap umat non Hindu belum pernah terjadi. Impilikasi konflik tersebut telah ada jalan keluarnya seperti terhadap krama tersebut dikenai penanjung batu sejenis sanksi adat yang ringan tanpa memberati warga/krama terlalu berat, seperti dikenai biaya lebih dari krama yang lain berupa
12 uang rupiah biasa atau uang kepeng dan lain-lain, sedangkan implikasi kedua yaitu dengan memanfaatan setra pengalu yang ada di desa adat berdekatan. DAFTAR PUSTAKA Dharmayudha, I Made Suasthawa. (1990), Hubungan Adat Agama dan Kebudayaan, Bali. Kayumas Denpasar. Dharmayudha, I Made Suasthawa dan Cantika, I Wayan Koti. (1999).Filsafat Adat Bali, Cet. IV. Bali. Upada Sastra. Hadi, Soetrisno. (2001), Metodelogi Research, Yogyakarta. Andi. Harsono, Boedi. (2007), Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan Belas. Jakarta. Djambatan. Lestawi, I Nengah. (1999). Hukum Adat. Surabaya. Penerbit Paramita. Pide, A. Suriyaman Mustari. (2009). Hukum Adat Dulu, kini dan Akan Datang. Jakarta. Pelita Pustaka. Santoso, Urip. (2006). Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta. PT. Pradnya Paramita. Suardika, I Gede. (2010). Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara Penyelesaiannya, Bali. Udayana University Press. Sudantra, I Ketut dan Parwata, A. A. Gede Oka. (2010), Wicara Lan Pamindanda. Bali. Udayana University Press. Sunggono, Bambang. (2006). Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI
KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The
Lebih terperinciPENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami. Wayan P. Windia Ketut Sudantra
PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami Wayan P. Windia Ketut Sudantra Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana
Lebih terperinciPENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI
PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana
Lebih terperinciPENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA
PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda
Lebih terperinciKONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK
1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been
Lebih terperinciSENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR)
SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) oleh I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A
Lebih terperinciOleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN) Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Bali memiliki bentuk-bentuk kebudayaan yang cukup beraneka ragam, kebiasaan masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya tarik tersendiri
Lebih terperinciABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli
ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli Pakraman village is a traditional law community unit which has a whole
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Lebih terperinciKEDUDUKAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN: PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT BALI
KEDUDUKAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN: PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT BALI Oleh Luh Putu Diah Puspayanthi I Ketut Sudantra Fakultas Hukum
Lebih terperinciKEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DESA SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DESA DI DESA PAKRAMAN TAMAN-TANDA KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN
KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DESA SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DESA DI DESA PAKRAMAN TAMAN-TANDA KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN Dewa Nyoman Anom Rai Putra I Nyoman Wita Hukum Dan Masyarakat, Fakultas Hukum
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan dipadukan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian dianalisis dengan cara kualitatif penulis dapat mengambil
Lebih terperinciPERANAN DESA PAKRAMAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI PEMERINTAHAN DESA
ABSTRACT PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI PEMERINTAHAN DESA Oleh Ni Putu Puja Sukmiwati I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Pakraman village
Lebih terperinciOLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM
OM SWASTI ASTU OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BH Primer 1. Norma atau kaedah dasar yakni Pembukaan UUD 1945. 2. Peraturan dasar (BT UUD
Lebih terperinciEKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG. Oleh :
257 EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG Oleh : I Wayan Eka Artajaya, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Pakraman Tegallalang
Lebih terperinciPELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT KEPADA ANGGOTA MASYARAKAT PADA LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI KOTA DENPASAR
PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT KEPADA ANGGOTA MASYARAKAT PADA LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI KOTA DENPASAR Oleh: Komang Gede Indra Parisuda Ngakan Ketut Dunia Dewa Gede Rudy Hukum Perdata Fakultas Hukum Udayana
Lebih terperinciSANKSI TINDAK PIDANA BAGI PELAKU PERJUDIAN ADU JANGKRIK. : Wayan Memo Arsana NPM : Pembimbing II : I Ketut Sukadana, SH., MH.
SANKSI TINDAK PIDANA BAGI PELAKU PERJUDIAN ADU JANGKRIK Oleh : Wayan Memo Arsana NPM : 1310120126 Pembimbing I : Diyah Gayatri Sudibya, SH., MH. Pembimbing II : I Ketut Sukadana, SH., MH. ABSTRAK In the
Lebih terperinciSINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI
SINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI Penyunting: Puteri Hikmawati, S.H., M.H. Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika
Lebih terperinciPERAN KRAMA DESA PAKRAMAN DALAM MENJAGA PALEMAHAN DI KABUPATEN GIANYAR (Studi Di Desa Pakraman Ubud, Lodtunduh dan Mawang)
481 PERAN KRAMA DESA PAKRAMAN DALAM MENJAGA PALEMAHAN DI KABUPATEN GIANYAR (Studi Di Desa Pakraman Ubud, Lodtunduh dan Mawang) I Wayan Gde Wiryawan, Wayan Suandhi, I Ketut Widnyana, I Wayan Wahyu Wira
Lebih terperinciJUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR)
JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR) Oleh Made Adi Berry Kesuma Putra A.A. Gde Oka Parwata A.A. Istri Ari Atu Dewi Bagian Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan manusia. Ketergantungan manusia pada tanah, baik untuk kebutuhan tempat pemukiman maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting
Lebih terperinciHAK AHLI WARIS BERKEWARGANEGARAAN ASING TERHADAP HARTA WARISAN BERUPA TANAH
HAK AHLI WARIS BERKEWARGANEGARAAN ASING TERHADAP HARTA WARISAN BERUPA TANAH Oleh: Ida Ayu Ide Dinda Paramita I Gede Yusa I Wayan Wiryawan Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRACT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciEKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI
EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI Kadek Yudhi Pramana A.A Gede Oka Parwata A.A Istri Ari Atu Dewi Hukun dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Desa Pakraman
Lebih terperinciJAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN
JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN Oleh Ni Putu Ayu Yulistyadewi Desak Putu Dewi Kasih I Gst Ayu Putri Kartika Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Traditional
Lebih terperinciKEDUDUKAN AHLI WARIS PEREMPUAN BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS DI INDONESIA
KEDUDUKAN AHLI WARIS PEREMPUAN BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS DI INDONESIA Oleh I Gede Putra Manu Harum A.A. Gede Agung Dharma Kusuma Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAC
Lebih terperinciBAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN
BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN 1.1 Profil Keluarga Dampingan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) merupakan suatu kegiatan intrakurikuler wajib yang merupakan pelaksanaan
Lebih terperinciPENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI
PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI Oleh I Nyoman Yatna Dwipayana Genta I Made Sarjana Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas
Lebih terperinciPELAYANAN KONSULTASI ADAT/BUDAYA BALI BALI SHANTI UNIVERSITAS UDAYANA Astariyani 1 N. L. G., I K. Sardiana 2 dan W. P.
1 PELAYANAN KONSULTASI ADAT/BUDAYA BALI BALI SHANTI UNIVERSITAS UDAYANA Astariyani 1 N. L. G., I K. Sardiana 2 dan W. P. Windia 1 ABSTRACT The present community service aimed to give consultation in order
Lebih terperinciPENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT
PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT Oleh Ida Bagus Gede Angga Juniarta Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The pratima thievery
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ketentuan hukum yang berlaku nasional dalam hukum perkawinan, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan Undang-undang
Lebih terperinciSANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER
SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ABSTRACT oleh : Cyntia Herdiani Syahputri Ni Luh Gede Astariyani Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum
Lebih terperinciRINGKASAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM DARI PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP STATUS ANAK
RINGKASAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM DARI PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP STATUS ANAK (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 50/ Pdt./ 2011/ PT.Dps) Oleh : Ni Nyoman Trisna Febri Jayanti I Nyoman
Lebih terperinciPENGARUH PARIWISATA TERHADAP PERALIHAN FUNGSI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI DI DESAPAKRAMAN PADANGTEGAL, UBUD, GIANYAR)
PENGARUH PARIWISATA TERHADAP PERALIHAN FUNGSI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI DI DESAPAKRAMAN PADANGTEGAL, UBUD, GIANYAR) Abstrak Gusti Ngurah Mendrawan I Nyoman Wita A.A Istri Ari Atu Dewi Hukum dan
Lebih terperinciBAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur
69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor
Lebih terperinciBandung, hlm Moh. Yasin, Rozy Munir, Dkk, 2000, Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi UI, Jakarta,
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK SEMENTARA (KIPS) DI KECAMATAN DENPASAR BARAT Oleh : Ayu Putu Vivi Viharani I Nyoman Suyatna
Lebih terperinciBAGIAN HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
PERKAWINAN NYEBURIN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI HUKUM ADAT BALI (Studi Kasus Di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan) oleh I WAYAN PUTRO ADNYANA I WAYAN WINDIA I KETUT SUDANTRA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Penjelasan pertama pada pendahuluan akan menjelaskan mengenai latar belakang dengan melihat kondisi yang ada secara garis besar dan dari latar belakang tersebut didapatkan suatu rumusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa wakaf adalah suatu lembaga
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN TANAH DI BALI OLEH ORANG ASING DENGAN PERJANJIAN NOMINEE
AKIBAT HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN TANAH DI BALI OLEH ORANG ASING DENGAN PERJANJIAN NOMINEE Oleh : I Wayan Eri Abadi Putra I Gusti Nyoman Agung, SH.,MH. Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK. Presiden Republik Indonesia,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. rahmat dan karunia-nya skripsi yang berjudul Peranan Awig-Awig Sebagai
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-nya skripsi yang berjudul Peranan Awig-Awig Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat Terkait Larangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang
Lebih terperinciSeptember2016. Oleh : Ni Made Lidia Lestari Karlina Dewi 2. Key words: role, pakraman, conflict, perarem
September2016 PERAN DESA PAKRAMAN DALAM PEMBENTUKAN PERAREM TERKAIT PENYELESAIAN KONFLIK ALIH FUNGSI LAHAN 1 (Studi Kasus Di Desa Pakraman Tunjuk, Kabupaten Tabanan) Oleh : Ni Made Lidia Lestari Karlina
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Era globalisasi menjadikan batas-batas antar negara semakin dekat. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara warga negara semakin
Lebih terperinciEKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI
EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama
Lebih terperinciPENGARUH EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGUASAAN TANAH PRABUMIAN BERDASARKAN KONSEPSI KOMUNALISTIK RELIGIUS DI BALI
Vol. 7 No. 2 Agustus 2016, hal. 182-195 ISSN: 1412-6834 PENGARUH EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGUASAAN TANAH PRABUMIAN BERDASARKAN KONSEPSI KOMUNALISTIK RELIGIUS DI BALI Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup
Lebih terperinciRESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG
RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG Disusun Oleh : BANUN PRABAWANTI NIM: 12213069 PROGRAM STUDI MAGISTER
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. A. Buku Abdurrachman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrachman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984. Adia, G.K Wiratmadja, Wanita Hindu Dalam Suatu Proyeksi, Ganexa Exact Bandung,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DALAM KERANGKA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPENDUDUKAN (SIMDUK) DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2005 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2005 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Bali sebagai daerah yang terkenal akan kebudayaannya bisa dikatakan sudah menjadi ikon pariwisata dunia. Setiap orang yang mengunjungi Bali sepakat bahwa
Lebih terperinciberagam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki
Lebih terperinciKONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGANGKATAN ANAK OLEH ORANG TUA TUNGGAL ( Single Parent Adoption)
SKRIPSI KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGANGKATAN ANAK OLEH ORANG TUA TUNGGAL ( Single Parent Adoption) (Studi Kasus Pengadilan Negeri Denpasar) NI LUH PUTU WIDIASTUTI NIM.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BADUNG DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL
PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL JALAN SURAPATI NO.2 TELP 242109 226920 Syarat syarat untuk mendapatkan Akta Perkawinan : NO. AKTA 1. Formulir Permohonan 2. Surat Pernyataan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi
Lebih terperinciPERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :
PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciKEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP HAK ATAS TANAH WARIS DI DESA KESIMAN
KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA TERHADAP HAK ATAS TANAH WARIS DI DESA KESIMAN Oleh : I Made Risky Putra Jaya Ardhana Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi Marwanto Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM PEMBERIAN WARISAN SAAT PEWARIS MASIH HIDUP BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
AKIBAT HUKUM PEMBERIAN WARISAN SAAT PEWARIS MASIH HIDUP BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Oleh: I Putu Budi Arta Yama Gde Made Swardhana Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Lebih terperinciEKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Oleh I Gede Made Gandhi Dwinata I Made Sarjana Ni Putu Purwanti Hukum Bisnis Fakultas
Lebih terperinciIDA BAGUS SUDARMA PUTRA
TESIS HAKIKAT DAN PERANAN SANKSI ADAT DALAM MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP AWIG-AWIG (STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN KERAMAS KECAMATAN BLAHBATUH KABUPATEN GIANYAR) IDA BAGUS SUDARMA PUTRA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan
Lebih terperinciPEREMPUAN BALI DALAM PERWALIAN ANAK : SUATU STUDI GENDER DALAM HUKUM
PEREMPUAN BALI DALAM PERWALIAN ANAK : SUATU STUDI GENDER DALAM HUKUM Oleh : Anak Agung Bayu Krisna Yudistira Made Suksma Prijandhini Devi Salain Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Kawasan Pura Agung Besakih
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE)
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) Oleh Gede Herda Virgananta I Nyoman Mudana I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Bisnis Fakultas
Lebih terperinciBAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN
BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN 1.1 Profil Keluarga Dampingan Program pendampingan keluarga (PPK) merupakan program unggulan yang dikembangkan sebagai muatan lokal dalam pelaksanaan program KKN-PPM
Lebih terperinciADAPTASI WANITA ISLAM TERHADAP KEHIDUPAN KELUARGA SUAMI STUDI KASUS PERKAWINAN AMALGAMASI WANITA ISLAM DAN PRIA HINDU DI BALI
ADAPTASI WANITA ISLAM TERHADAP KEHIDUPAN KELUARGA SUAMI STUDI KASUS PERKAWINAN AMALGAMASI WANITA ISLAM DAN PRIA HINDU DI BALI Oleh: DESAK PUTU DIAH DHARMAPATNI 1001605003 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menemani mereka menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya. Perkawinan adalah merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang akan tumbuh dan berkembang, lalu seiring perjalanan hidupnya maka mereka akan membentuk keluarga kecilnya sendiri dengan pasangan yang mereka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka sudah sewajarnya peraturan
Lebih terperinciSENI BUDAYA BALI. Tradisi Omed Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. Oleh (Kelompok 3) :
SENI BUDAYA BALI Tradisi Omed Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali Oleh (Kelompok 3) : Dewa Made Tri Juniartha 201306011 Ni Wayan Eka Putri Suantari 201306012 I Gusti Nyoman Arya Sanjaya 201306013 Dicky Aditya
Lebih terperinciTINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN. Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1.
TINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1 Abstrak Tulisan ini merupakan suatu hasil penelitian dengan pokok permasalahan,
Lebih terperinciSANKSI KASEPEKANG DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN TUKADMUNGGA, KECAMATAN BULELENG, KABUPATEN BULELENG
SANKSI KASEPEKANG DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN TUKADMUNGGA, KECAMATAN BULELENG, KABUPATEN BULELENG ARTIKEL OLEH KADEK AGUS SUKRADA 0914041024 JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Lebih terperinciKEDUDUKAN ANAK ANGKAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT BALI JURNAL ILMIAH
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT BALI JURNAL ILMIAH Oleh: I GDE NALA WIBISANA D1A 109 093 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2013 ii HALAMAN PENGESAHAN
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL Dr. LUH NILA WINARNI, S.H., M.H. 7 Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ngurah Rai Email: nilawinarnihukum@gmail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.
Lebih terperinciNi Wayan Ayu Suparmi, Ida Bagus Made Astawa, Sutarjo. Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
DIFERENSIASI PERSPEKTIF ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG (STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN TALEPUD, KECAMATAN TEGALLALANG, KABUPATEN GIANYAR) Ni Wayan Ayu Suparmi, Ida Bagus
Lebih terperinciPENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di desa adat yang terjadi konflik antara desa adat dengan warganya, ada kalanya desa adat menunjukkan sikap yang dapat dikatakan arogan dalam menjatuhkan sanksi kepada warganya.
Lebih terperinciPENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN
1 PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000 Oleh Desak Nyoman Oxsi Selina Ibrahim R I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas
Lebih terperinciHUKUM ADAT BALI DI TENGAH MODERNISASI PEMBANGUNAN DAN ARUS BUDAYA GLOBAL
HUKUM ADAT BALI DI TENGAH MODERNISASI PEMBANGUNAN DAN ARUS BUDAYA GLOBAL I Wayan Gde Wiryawan, Ketut Sukawati Lanang P. Perbawa, I Wayan Wiasta Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Lebih terperinciPERGESERAN FUNGSI DAN PERANAN PECALANG
PERGESERAN FUNGSI DAN PERANAN PECALANG TERHADAP PELAKSANAAN SWADHARMANYA DALAM DESA ADAT (Studi Kasus di Desa Adat Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem) ARTIKEL OLEH I WAYAN GEDE SUARNATA 0914041022
Lebih terperinciDHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG
DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinci1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada dasarnya apabila hubungan perkawinan antara suami dan istri telah terputus karena perceraian, maka akan ada beberapa hukum yang berlaku sesudahnya. Salah satu di
Lebih terperinciDIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN DAMPAKNYA DALAM HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BALI PERANTAUAN DI DKI JAKARTA Nada Farhana Bakri*, Sukirno, Sri Sudaryatmi Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciDirektori Putusan Mahkamah - 1 Agung - Republik Indonesia
Direktori Putusan Mahkamah - 1 Agung - Republia P U T U S A N Nomor : 05/G/2012/PTUN.DPS DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar yang memeriksa, memutus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan
Lebih terperinciAbstract. Balinese society are bound by two village system, they are village
MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id
Lebih terperinci