BAB I PENDAHULUAN. dihasilkannya, entah sebagai subjek pelaku, sebagai objek ataupun praktik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dihasilkannya, entah sebagai subjek pelaku, sebagai objek ataupun praktik"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanguning urip punika, tan dumunung ana bagusing rupi, dalah sugih banda bandu, miwah sugih kapinteran, amung ing manah ingkang slamet satuhu, pangerehing poncondriyo, minongko sedyo pambudi. (Ki Kusumawicitra, 1917) Bekal hidup itu, tidak berada pada keelokan rupa, Serta kekayaan yang dimiliki, ataupun kekayaan pengetahuan, Tetapi ada di hati yang selamat, Pengendalian hawa nafsu, sebagai tekad yang harus dijalani Manusia menjadi objek yang menarik untuk dibicarakan dan dikaji dalam berbagai wilayah pembahasan disiplin pengetahuan. Segala hal yang dihasilkannya, entah sebagai subjek pelaku, sebagai objek ataupun praktik yang dijalankan seakan menjadi sumber yang berlimpah bagi perkembangan pengetahuan. Demikian pula untuk manusia di Jawa dengan segala peradaban dan kebudayaan yang dihasilkannya. Perkembangan peradaban dan budaya yang terbentuk di Jawa telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Dalam sejarah panjang yang dilalui tentunya ditemukan jejakjejak pemikiran yang dipraktikan, diwariskan, dan dikembangkan. Jalinan perdagangan dan komunikasi dengan pihak luar Jawa turut mewarnai perkembangan budaya Jawa akibat adanya budaya asing yang dibawa oleh pendatang. Akibatnya, terjadilah pertemuan dua kebudayaan yang berbeda, yakni kebudayaan yang dibawa pendatang bertemu dengan budaya yang diyakini masyarakat Jawa pada waktu itu. Interaksi antar budaya inilah 1

2 yang berakibat pada terbentuknya perpaduan budaya baru yang dihasilkannya. Perpaduan yang terjadi tidak hanya pada batas wilayah kehidupan sehari-hari, tetapi juga sampai pada wilayah kehidupan spiritual berupa pemikiran tentang hakikat hidup dan tujuan hidup manusia di dunia. Para peneliti sebelumnya memperkirakan pada awal tarikh Masehi telah terjadi hubungan di nusantara (khususnya manusia Jawa) dengan para pedagang dari India yang membawa dan menyebarkan kebudayaan Hindu. Kondisi ini semakin berkembang hingga abad ke-6 Masehi. Pada perkembangan berikutnya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 diwarnai kedatangan pengaruh Islam yang dibawa para pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia. Seiring perjalanan waktu, pada abad ke-15 Islam di Jawa berkembang pesat ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak. Pada abad ke-16 diwarnai kedatangan bangsa barat yang menjadikan Indonesia sebagai koloninya (Simuh, 1995: ). Khususnya untuk pulau Jawa, merupakan daerah tempat pertemuan kebudayaan asli dengan kebudayaan Hindu dan Islam yang paling intensif. Akibatnya, sukar sekali untuk mengetahui persis bagaimana keadaan kebudayaan asli Jawa itu (Hadiwijana, 1983: 12). Simuh (1995: ) beranggapan jika agama asli Jawa, yang oleh para pemikir barat disebut Religion Magis, berbentuk kepercayaan animisme-dinamisme. Kepercayaan terhadap ruh-ruh halus dan daya magis di alam semesta dan alam rohani yang eksistensinya berpengaruh dan berkuasa atas hidup manusia. Dalam perkembangannya, paham agama Hindu dan Islam justru malah berbaur 2

3 dengan kepercayaan orang Jawa. Bagi orang Jawa, yang menganut paham sinkretis, yang memandang semua agama baik dan benar, yang suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda atau berlawanan, menerima pengaruh dari luar dengan sikap aktif (Simuh, 1995: ). Akibatnya, timbullah kondisi budaya Jawa yang sudah mengalami perpaduan dengan berbagai unsur budaya lain dari luar Jawa. Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Hindu di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para bangsawan dan cendekia Jawa. Para cendekia Jawa mengolah teks Hindu berbahasa Sansekerta dan menulisnya ke dalam bahasa Jawa yang terpengaruh huruf-huruf Hindu. Penggunaan tulisan ini merupakan awal sejarah permulaan bagi pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa. Demikian halnya dengan pengaruh Islam yang masuk di Jawa. Pandangan sinkretis menunjang pertumbuhan kepustakaan Islam Jawa yang berkembang di lingkungan pesantren (Kepustakaan Islam Santri) dan lingkungan istana (Kepustakaan Islam Kejawen) (Simuh, 1988: 1-2). Dengan demikian, lalu timbul beberapa pertanyaan seputar pembentukan ajaran mistik, tokoh-tokoh penganut ajaran mistik dan praktik mistik yang dilakukannya. Salah satu cara yang ditempuh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ialah melalui naskah dan teks-teks sastra, yang dalam penelitian ini dipilih dari kategori sastra lama. Menurut perkiraan Zoetmoelder (1983: 21), naskah Jawa berawal sejak abad 9, adapun jumlah naskah hingga saat ini belum dapat ditentukan (Behrend, 1993: ). 3

4 Demikian halnya dengan naskah karya kesusastraan Jawa pasca Islamisasi Jawa, masih merupakan wilayah yang belum bisa dipetakan dengan jelas (Behrend, 1995: 1). Naskah dan teks ini merupakan warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Warisan ini mengandung banyak nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Dalam kaitannya dengan ketersediaan objek kajian ilmiah, sastra Jawa yang merupakan karya sastra berbahasa Jawa aksara Jawa menyediakan materi yang berlimpah. Namun demikian, penelitian karya sastra Jawa bagi para peneliti masa sekarang ini berhadapan dengan dua permasalahan mendasar. Pertama, yaitu adanya keterbatasan penguasaan bahasa Jawa yang rumit dan lebih tua jika dibandingkan dengan bahasa sekarang serta klasifikasi tingkat tutur bahasa. Kedua, berkaitan dengan penggunaan tulisan huruf Jawa yang sudah sulit dikenali oleh sebagian masyarakat Jawa masa kini. Bagi kebanyakan orang Jawa, sastra Jawa berarti karya para pujangga di kraton-kraton Surakarta dan Yogyakarta yang menulis terutama dalam abad ke-18 dan ke-19 (Damono, 1993: 2). Suatu hal yang sangat menarik ditinjau adalah pandangan yang bersifat sinkretis yang mempengaruhi watak dari kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan Jawa sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen. Menurut Simuh (1995: 2-3) kepustakaan Islam santri bercirikan muatan ajaran syariat, yang merupakan dasar fundamental, yang merupakan ukuran untuk membedakan antara ajaran yang lurus dan yang benar dengan ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam. 4

5 Kepustakaan Islam Kejawen merupakan perpaduan unsur-unsur ajaran Islam dengan tradisi budaya Jawa. Ciri utamanya adalah penggunaan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syariat, bahkan sebagaian ada yang kurang menghargai syariat. Kajian dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana dalam karya sastra Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra Jawa yang dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen. Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik mistik jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana ini muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini. Kepustakaan Islam Kejawen lazim disebut dengan istilah primbon, serat, suluk dan wirid (Simuh, 1988: 3). Serat berarti surat, tulisan atau kitab (Poerwadarminta 1939: 559). Suluk berasal dari kata salaka berarti melalui, menempuh, jalan atau cara. Dalam kaitannya dengan ajaran spiritual, suluk juga dapat dimaknai transformasi sikap mental spiritual untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan penyucian diri lahir batin menempuh jalan kehidupan rohani yang lebih baik, yang lebih sempurna, sehingga tercapai kedekatan dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan (Salam, 2004: 41). Wirid bermakna ajaran rahasia yang berkaitan dengan 5

6 tasawuf. Serat, suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf, yang sering disebut ajaran mistik Islam (Simuh, 1988: 3). Adapun primbon berupa rangkuman macam-macam ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu petung, ramalan, guna-guna dan sebagainya. Salah satu pujangga Jawa yang terkenal menghasilkan karya Islam kejawen adalah R. Ng. Ranggawarsita. Berbagai karya agung yang monumental terutama berupa karya-karya sastra dalam tradisi tulis hasil peninggalannya sampai saat ini masih bisa kita nikmati keindahannya. Karya yang dihasilkannya cukup banyak dan sangat populer. Karya-karya besar inilah yang menjadi warisan budaya adiluhung dan merupakan aset yang tak ternilai harganya yang sangat berguna bagi perkembangan sastra Jawa di masanya dan bahkan terasa sampai sekarang. Muatan pandanganpandangan hidup yang dikandungnya berpengaruh terhadap pandangan masyarakat. Oleh karena itu bisa digunakan sebagai salah satu sumber orientasi yang tidak hanya akan memberi inspirasi bagi generasi sekarang untuk berekspresi, tetapi juga menjadi bahan kajian sebagai upaya untuk menginterpretasikan kembali ajaran-ajaran yang dikandungnya pada era sekarang. Ranggawarsita sebagai pujangga penutup di tanah Jawa. Ranggawarsita adalah nama pemangku jabatan di bawah tumenggung yang turun temurun, maka perlu peneliti jelaskan bahwa yang dimaksud disini adalah Ranggawarsita III. Ranggawarsita I adalah Yasadipuro II (kakek dari Ranggawarsita III), dan Ranggawarsita II adalah Suradimejo yang notabene 6

7 adalah ayah dari Ranggawarsita III (Day, 1981: ; Simuh, 1988: 36; Mulyanto, 1990: 36; Florida, 2008: 78-85,). Pujangga yang hidup sekitar tahun 1802 sampai tahun 1873 masehi ini mengartikulasikan ide, pemikiran dan hasil proses kreatifnya dalam karya yang dituliskanya dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi (tembang) ataupun prosa. Karyanya banyak dikutip, dikaji dan diteliti dalam berbagai kegiatan ilmiah. Sebagai seorang pujangga sekaligus bangsawan keraton Kasunanan Surakarta yang pernah dididik di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo, Ranggawarsita berhasil mempertemukan tradisi kejawaan dengan ajaran Islam. Hasil dari perpaduan tersebut termuat beberapa karya yang berkonsepsi tasawuf, misalnya Serat Salokajiwa,Serat Wirid Hidayat Jati, Wirid Maklumat Jati, Serat Kalatidha, Serat Pranawa Jati, dan Serat Sabda Jati (Mulyanto, 1990: 50-51). Dari karya-karya yang dihasilkannya, ada satu karya yang masih jarang dikaji secara ilmiah yaitu Serat Wedaraga. Serat Wedaraga (selanjutnya disingkat SWR) adalah salah satu karya sastra Ranggawarsita ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa Jawa aksara Jawa yang dapat dikategorikan kedalam naskah dan teks sastra lama. Teks-teks sastra lama kebanyakan masih tersimpan dalam bahan pustaka berupa naskah tulisan tangan yang sudah rapuh dan rusak kondisinya. Dalam tradisi sastra tulis, sastra Jawa sejak awal perkembangannya menggunakan pelbagai media sebagai sarana penyebarluasannya. Berbagai jenis bahan dan alat telah dimanfaatkan oleh para pujangga dalam mewariskan pengetahuan 7

8 berdasarkan pengalaman dan penghayatan hidupnya (Zoetmoelder, 1983: 186). Dari segi aksara dan bahasa mungkin sudah tidak banyak yang mengetahui dan memahami teks SWR ini, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan akses dan koleksi tempat penyimpanannya. Jika tahap pembacaan di level awal saja masih sulit diakses, apalagi proses pemahaman yang mendalam terhadap teks. Teks SWR yang diperkirakan ditulis sekitar tahun Media penulisan yang bersifat tradisional berakibat pada keterbatasan persebarannya. Akibatnya, karya ini jarang dijumpai di masyarakat dan kalaupun ada, koleksinya sangat terbatas. Persebaran dalam bentuk naskah yang berupa manuskrip bisa dijumpai di beberapa perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah kuna. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan dalam mengakses pembacaan karya ini, apalagi kondisi naskah yang sudah tua, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam membacanya. Tugas berat pelacakan persebaran dan perkembangan teks SWR dalam berbagai media, mengingat adanya keterbatasan koleksi naskah dan tempat penyimpanannya. Berangkat dari fakta-fakta keterbatasan koleksi naskah, keterbatasan kemampuan membaca aksara Jawa, keterbatasan memahami bahasa Jawa, dan keterbatasan buku-buku yang mengulasnya, maka proses pengkajian teks SWR menjadi salah satu permasalahan yang harus dikerjakan dalam rangka menghadirkan teks yang terbaca dan siap dianalisis menggunakan teori-teori sastra. 8

9 Teks sastra ditulis untuk dibaca, pembaca mempunyai hak untuk menginterpretasi karya sastra sesuai dengan kemampuan dan latar belakang budayanya. Pada hakikatnya teks mampu menembus ruang dan waktu, sedangkan penulis dan pembaca tidak. Itulah sebabnya dalam kesusastraan masalah interpretasi menjadi penting, bahkan meskipun pengarang dan pembaca berasal dari zaman dan kebudayaan yang sama ataupun berbeda (Sedyawati, 201: 464). Pandangan Anthony Day (1981:3) yang menyatakan bahwa secara sekilas puisi dari abad ke-19, meskipun secara tersamar dalam memuat teks historis, ternyata dikandung nilai tertinggi dan tak tergantikan. Meskipun sangat mungkin atau perlu sekali untuk mendiskusikan keseluruhan bentuk puisi dalam sebagian kalimat pendahulunya dan untuk membuktikan secara tekstual kontinuitas dan diskontinuitas dengan masa lalu direpresentasikan, yang artinya sisa-sisa yang akan sulit dipahami (Day, 1981: 247). Teks SWR ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa Jawa. Bahasa Jawa digunakan sebagai sarana vital untuk menyampaikan wacana. Bahasa yang digunakan dalam teks SWR adalah bahasa menurut versi pengarang. Wacana sebagai dasar dalam pemahaman teks sangat diperlukan oleh masyarakat bahasa agar dapat menyampaikan informasi wacana secara utuh. Para ahli bahasa pada umumnya berpendapat sama mengenai wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Penyajian wacana dalam bentuk tembang gambuh perlu dilakukan, mengingat bahasa yang digunakan oleh pengarang 9

10 banyak menggunakan ungkapan simbolik yang perlu dikaji lebih mendalam. Simbol-simbol itu disajikan secara tersurat, sehingga diperlukan pemahaman untuk mengungkapkan wacana yang tersirat didalamnya. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada, maka permasalahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: pertama, teks SWR yang termasuk dalam kategori sastra lama berhuruf jawa, hadir dalam sejumlah naskah dan edisi, sehingga dirasa membahas pernaskahan dan perteksan serta menyajikan suntingan; kedua, teks SWR hadir dalam konvensi yang asing bagi pembaca masa kini terutama dalam hal bahasa, teks SWR disajikan dengan medium bahasa Jawa. Oleh karena itu, dipandang perlu menghadirkan teks SWR dalam sebuah bentuk terjemahan yang dapat dibaca oleh pembaca masa kini; dan ketiga, permasalahan analisis wacana yang terkandung dalam teks SWR. Adapun masalah-masalah tersebut selanjutnya dijadikan batasan dalam penelitian ini. Masalah yang dimaksud: pertama, bagaimanakah agar teks sastra lama berbahasa Jawa aksara Jawa yang berupa teks SWR dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca masa kini?; kedua, bagaimana wacana praktik mistik terbentuk dalam teks sastra SWR? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk menguraikan apa yang telah menjadi pokok permasalahan seperti yang diuraikan sebelumnya, yaitu: 10

11 a. Melakukan proses inventarisasi naskah yang memuat teks SWR. b. Menyajikan suntingan teks dan terjemahan teks SWR, sehingga bisa dijangkau dan dipahami oleh pembaca yang lebih luas. c. Mengupas wacana tentang praktik mistik yang dimuat dalam teks SWR sebagai produk budaya masa lalu yang dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh pembaca masa sekarang. Adapun tujuan praktis penelitian ini berkaitan dengan sejarah panjang sastra Jawa. Hingga saat ini, studi terhadap sastra Jawa dan lingkupnya yang sangat luas. Banyak khasanah sastra Jawa yang sebenarnya punya peran sebagai penyumbang data sejarah sastra Jawa yang masih terkandung dalam naskah-naskah kuna yang rapuh kondisinya dan terancam rusak. Kondisi iklim di Indonesia, perawatan dan penanganan koleksi naskah yang kurang memadai, bisa berdampak pada kerusakan naskah-naskah. Penelitian ini diharapkan punya peran dalam upaya preservasi teks SWR sebagai salah satu produk budaya masa lampau melalui pembuatan suntingan teks. Teks yang telah disunting dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah selanjutnya bisa digunakan sebagai sumber bagi peneliti selanjutnya, ataupun sebagai referensi bacaan tentang salah satu renik budaya Jawa yang selama ini jarang dibaca dan bahkan diabaikan. 1.4 Tinjauan Pustaka Pelacakan teks SWR dilakukan melalui studi katalog naskah. Katalog merupakan alat bibliografis yang bertujuan memberi akses pada naskah, namun kenyataannya katalogpun jumlahnya sudah ratusan dan tidak diketahui 11

12 umum. Menurut Loir (1999: 8), katalog yang terbaik adalah yang mampu melampaui dimensi pemerian naskah dan dapat memberikan uraian terlengkap tentang masing-masing kesusastraan tersebut. Katalog merupakan alat penelitian dan penggarapan naskah yang paling mendasar, yang memungkinkan peneliti memasuki rimba raya pernaskahan dan mengurangi resiko tersesat karena tidak menemukan semua pohon yang dicarinya. Katalog deskriftif lebih lagi membantu dalam menghemat waktu penelitian (Behrend, 1997: ix). Berdasarkan studi katalog ditemukan data-data teks SWR yang telah mengalami katalogisasi. Katalog-katalog yang memuat naskah teks SWR yaitu: (1) Katalog naskah induk Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo, Yogyakarta (Behrend, 1990); (2) Katalog induk naskah Nusantara Jilid 3 Fakultas Sastra Universitas Indonesia dua jilid yang disusun T.E Behrend dan Titik Pujiastuti (1997); dan (3) Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman yang disusun Sri Ratna Saktimulia, dkk (2005). Dalam studi katalog ditemukan 10 naskah yang memuat teks SWR yang dikoleksi oleh empat perpustakaan. Adapun deskripsi data 10 naskah yang ditemukan akan dibahas lebih detail dalam bab dua penelitian ini. Selain 10 naskah koleksi berbagai perpustakaan, juga ditemukan buku cetakan yang memuat teks SWR. Pertama, Serat Wedaraga berupa buku yang diterbitkan oleh Radya Pustaka Surakarta pada tahun Buku ini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Kedua, Serat Wedaraga disusun oleh Hardjosupadijo Kediri, diterbitkan dan dijual 12

13 oleh Boek handel Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922 berupa terbitan berbahasa Jawa aksara Jawa. Yang ketiga, Serat Wedaraga yang diterbitkan oleh Yayasan penerbitan Djojobojo cetakan pertama pada tahun 1963, berupa terbitan berbahasa Jawa aksara Jawa yang disertai catatan huruf latin yang diperkirakan bersumber dari naskah PW 48 koleksi perpustakaan FS UI; dan yang keempat, Dalam buku Lima Karya Ranggawarsita yang ditulis oleh Karkono Kamajaya dan diterbitkan Balai Pustaka cetakan pertama tahun 1985, cetakan kedua 1991, berupa terbitan berbahasa Jawa huruf latin dan disertai terjemahan. Dalam terbitan ini tidak menyebutkan naskah sumber terbitan. Buku-buku yang telah ada sebelumnya baik yang disalin secara terbatas ataupun yang sudah diterbitkan belum menyelesaikan pokok masalah penelitian ini dan belum mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ada buku yang sebatas menyalin teks SWR berupa tulisan tangan aksara Jawa kedalam tulisan tangan aksara yang sama (manuskrip), ada pula yang melakukan proses transliterasi dan diketik ulang ke dalam aksara latin bahasa Jawa, dan ada pula yang menerbitkan kedalam bentuk tulisan Jawa versi cetak, serta juga ditemukan satu buku yang menerbitkan dalam bentuk huruf latin yang disertai terjemahan. Adanya buku-buku terdahulu diharapkan bisa melengkapi pemecahan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Pelacakan penelitian terdahulu terkait teks SWR yang dapat ditemukan yaitu: (1) Eksplorasi Indikator Regulasi Diri pada Remaja versi Serat Wedharaga, hasil penelitian: Sudarmanto, staf pengajar di Fakultas 13

14 Psikologi Universitas Gadjah Mada dan (2) Konsep Regulasi Diri Remaja Berdasar Serat Wedharaga Dalam Piwulang Warna-warni, berupa tulisan Skripsi atas nama Anggiastri Hanantyasari Utami. Dari penelitian terdahulu ini, permasalahan kajian sastra belum tersentuh sama sekali, sehingga dirasa perlu dikajikan secara lebih lanjut dalam penelitian ini. Selanjutnya, kajian tentang relasi Islam dengan budaya Jawa berbasiskan pada naskah juga telah banyak dilakukan oleh para sarjana. Mereka melakukan pembuatan suntingan maupun kajian terhadap teks-teks Islam Jawa. Apa yang dilakukan para sarjana Barat lebih banyak berfokus pada jenis karya-karya hikayat, syair, serta sajak atau tembang macapat daripada karya-karya yang berjenis prosa. Nampaknya, penelitian sastra dan bahasa maupun sejarah lebih banyak dilakukan daripada teks-teks keagamaan. Namun demikian, apa yang Kraemer dan Schrieke yang kemudian dikoreksi dan diperbaiki oleh Drewes (1969) adalah bentuk kajian yang berbasis pada teks keagamaan pada naskah abad ke-16. Periode yang dapat dianggap sebagai periode transisi di pesisir utara Jawa, yaitu periode ketika sejumlah orang tetap menganut kepercayaan lama sedangkan sebagian yang lain telah menganut Islam sebagai agama. Salah satu karya Drewes yang menunjukan hal itu adalah The Admonitions of Seh Bari. Tulisan ini adalah koreksi dari karya Schrieke yang mengatakan bahwa naskah yang ia temukan adalah karya dari Sunan Bonang atau muridnya. Menurut Drewes, bahwa mungkin saja jika berdasarkan kolofon naskah itu ditulis oleh penyalin naskah yang belum tentu Sunan Bonang sendiri. Terkait dengan teks yang 14

15 dikandung dalam naskah mengenai inti sari dari ajaran tasawuf. Drewes berpendapat bahwa ajaran tasawufnya merupakan tasawuf yang mendapat inspirasi dari ajaran al-ghazali dan Junaid al-baghdadi, yaitu tasawuf yang dianggap sebagai ortodoks. Sebagian besar ide yang dimuat dalam naskah ini adalah juga terdapat dalam karya-karya berbahasa Arab mengenai agama Islam, sedangkan unsur-unsur kejawennya tidak ada. Dengan demikian, ini memperkuat pandangan bahwa Islam yang dipeluk oleh orang Jawa di Pesisir utara pulau Jawa pada abad 16 tentu merupakan Islam yang ortodoks yang tidak atau belum tentu dicampuri oleh unsur-unsur kejawen yang baru muncul pada periode sesudahnya. Naskah ini, secara garis besar menganjurkan agar orang melaksanakan kewajiban Islam, seperti shalat dan puasa. Selain itu, diberikan pula sejumlah kata hikmah yang bercorak tasawuf moderat, yang sama sekali tidak ditemukan pemikiran-pemikiran spekulatif yang berunsur monisme atau panteisme. Zoetmulder (1991) dalam buku berjudul Manunggaling Kawula Gusti : Pantehisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa Suatu Studi Filsafat. Ia berpendapat jika terdapat kedua unsur tersebut dalam sastra suluk Jawa, khususnya terhadap karya-karya sastra Islam Jawa pedalaman. Dalam karyanya, Zoetmulder memulai dengan konsep panteisme dan monisme. Konsep ini tidak dikenal dalam dunia pemikiran Jawa, tetapi diambil dari filsafat klasik yang telah lama dipegang kuat dalam gereja Katolik. Rumusan ini diterapkan dalam ajaran Hindu dan Islam. Sebagai sumber telaahnya, ia menggunakan sejumlah episode dari Serat Centhini. 15

16 Selain itu pula dipakai dua buah naskah yang panjang, yang merupakan bunga rampai suluk yang disusun di kraton Surakarta pada pertengahan abad 19. Melalui konsep yang diambil dari luar dunia Islam dan Jawa, ia melakukan penilaian terhadap sastra suluk ini. Kajian yang membahas kepustakaan Islam kejawen juga dilakukan Soebardi (1975) yang diterbitkan dalam buku berjudul The Book of Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes. A Contribution to the Study of Javanese Mystical Tradition. Kajian filologi terhadap naskah yang ditulis abad ke-18 ini terungkap temuan bahwa pengarang teks Serat Cebolek, Yasadipura I, seorang Pujangga Kraton Surakarta telah memadukan unsur tasawuf Islam dan tradisi Jawa. Terdapat kesan memihak ulama yang menganggap syariat sebagai tuntunan formal dalam kehidupan religius lahiriah orang Jawa. Tetapi, hal yang membedakan adalah cara mencapai kesempurnaan hidup, orang Jawa harus mengikuti cerita Dewa Ruci, yang unsur Hindunya kental, sebagaimana yang termuat dalam naskah tersebut. Pada tahun 1983, Hadiwijana menerbitkan buku berjudul Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa. Dalam buku ini menjelaskan tentang konsepsi manusia Jawa semenjak sebelum kedatangan agama hingga tumbuhnya berbagai aliran kebatinan pada abad ke-20. Tujuannya adalah untuk memberikan deskripsi konsep-konsep tentang Manusia dan Tuhan berdasarkan sejarah perkembangan konsep religi dan keagamaan yang terjadi di Jawa. Terkait pembahasan dalam Serat Wirid Hidayat Jati, 16

17 Hadiwijana (1983: 100) menyatakan, Secara positif hanya dapat dikatakan bahwa Allah adalah kekosongan, awang-uwung yang mengingatkan pada ajaran Hindu dan Budha tentang Niskala dan Sunyata. Pertautan antara Islam dan Jawa juga tampak dalam Serat Wirid Hidayat Jati yang dikaji oleh Simuh (1998) dalam disertasinya dengan judul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Teks Serat Wirid Hidayat Jati adalah hasil karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang merupakan seorang sastrawan istana Surakarta yang sangat terkenal, yang juga digelari sebagai pujangga penutup. Teks ini disusun dalam bentuk prosa (jarwa) bukan puisi (macapat). Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap, padat, dan bulat. Isi kandungan teksnya adalah upacara sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang mengajarkan ilmu mistik, uraian mengenai guru dan murid, ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara zat, sifat, asma dan perbuatan Tuhan, uraian mengenai cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan, jalan untuk mencapai kesatuan tersebut, tingkat-tingkat pengahayatannya, uraian mengenai penciptaan manusia dan hakikat manusia, serta aspek budi luhur. Simuh dengan disertasinya membantah pendapat Hadiwijono (1983) yang mengatakan bahwa ajaran Serat Wirid Hidayat Jati adalah doktrin Hindhu dengan pakaian Islam. Menurut Simuh, pendapat Harun ini kurang tepat, karena keseluruhan ajaran Wirid Hidayat Jati dijiwai oleh ajaran tasawuf, gagasan tentang Allah sebagai zat mutlak, kediaman Allah 17

18 dalam diri manusia yang sumbernya adalah ajaran tasawuf, yaitu dalam ajaran martabat tujuh. Namun, Simuh hanya sampai pada kesimpulan bahwa Serat Wirid Hidayat Jati adalah ajaran Islam Kejawen (Simuh, 1988: ). Artinya, dalam teks tersebut pokok-pokok ajaran tasawuf dipadukan dengan berbagai ajaran kejawen. Hal yang patut disayangkan, Simuh tidak memerinci lebih jauh dan detail mengenai unsur-unsur kejawen dalam teks tersebut, ia hanya mengajukan adanya nilai-nilai Hindu, seperti konsep atma dan rahsa. Peran penting Islam dalam kraton Jawa juga diungkap oleh Nancy K. Florida. Dengan menelusuri sejarah keluarga pujangga kraton Surakarta di abad 18 dan 19, yakni Yasadipura I (lahir pada 1729) (pengarang Serat Cebolek), Yasadipura II (w.1844) (Ranggawarsita I) (pengarang Serat Centhini), dan Ranggawarsita III (anak Yasadipura II) ( ), yang dikenal sebagai pujangga penutup yang diantaranya karyanya yang terkenal adalah Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Tapel Adam, dan Serat Kalatidha (Florida, 2008: 78-85). Ia menunjukan kembali tempat Islam dalam dunia kepujanggan dan kesusastraan di kraton Surakarta. Menurutnya, dengan menelusuri karya-karya teks Jawa dan pengarangnya, tampak bahwa kehidupan dunia kraton sangat meluas jauh dari balik tembok kraton dan bersifat sangat Islami, yang penyebabnya adalah karena para pengarang yang menghasilkan karya-karya ini banyak dibesarkan dalam lingkungan pesantren di pedesaan Jawa (Florida, 2008: 79). 18

19 Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, sudah banyak penelitian yang membahas seputar ajaran mistik Islam Kejawen. Penelitian yang menggunakan objek material teks SWR juga sudah ada. Namun demikian, masih ada celah-celah yang belum tersentuh, yaitu kajian sastra terkait teks SWR. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap perlu dan relevan. Kajian dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana dalam karya sastra Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra Jawa yang dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3). Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik mistik jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana ini muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini. 1.5 Landasan Teori Penelitian terhadap teks sastra lama seringkali terkendala oleh keterbatasan dan kemampuan bahasa yang digunakannya. Objek material dalam penelitian ini adalah teks SWR yang merupakan salah satu produk sastra lama berbahasa Jawa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua teori yang terdiri dari teori terjemahan dan teori wacana (arkeologi pengetahuan dan genealogi Michel Foucault). 19

20 1.5.1 Teori Terjemahan Terjemahan adalah hasil dari proses penerjemahan. Sebagai sebuah kegiatan, menerjemahkan secara umum merupakan suatu proses pengalihan rangkaian kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Menurut Goethe (1992:60 dst. dalam Soekatno, 2009: 72 ) ada tiga jenis terjemahan dari sebuah teks yang tertulis dalam bentuk puisi. Jenis pertama ialah terjemahan segala sesuatu yang dijumpai dalam teks yang disesuaikan dengan konteks budaya pembaca masa kini. Terjemahan dalam bentuk ini adalah yang paling mudah. Apabila yang menjadi fokus adalah kisah yang terkandung dalam teks, seyogyanya terjemahan diubah ke dalam bentuk prosa. Jenis kedua ialah terjemahan sesuai bentuk teks asli yang tetap mempertahankan bentuk syair dengan metrum tembang macapat. Jenis terjemahan ketiga bisa disajikan dengan menanggalkan bentuk teks asli dan menggunakan sebuah bentuk yang mirip, disesuaikan dengan bahasa alih bahasa. Dengan kata lain teks tembang dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam metrum tembang macapat digubah dalam sebuah bentuk syair dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penerjemahan semantis berdasarkan pertimbangan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran, sehingga hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional atau dapat dengan mudah dimengerti. Sifat penerjemahan semantis lebih luwes jika dibandingkan dengan penerjemahan setia yang terkesan lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah bahasa sasaran. Konteks kalimat harus diperhatikan agar 20

21 penempatan suatu informasi bermakna jelas bagi penerima informasi. Selain itu, apabila penerjemahan tidak menemukan padanan yang diharapkan, maka langkah yang dilakukan adalah pemadanan bercatatan dengan memberikan catatan terjemahan yang disajikan dalam komentar (Machali, 2000: 71-73). Adapun proses penerjemahan dapat digambarkan sebagai berikut: Teks dalam bahasa sumber Analisis Pengalihan Penyusunan kalimat Teks dalam bahasa sasaran Langkah pertama yang dilakukan oleh penerjemah adalah menganalisis teks sastra dalam bahasa sumber. Adapun kegiatan awal yang dilakukan adalah membaca teks sastra dan memahami hubungan antar elemen kalimat sekaligus memahami gagasan, pesan dan informasi yang ada dalam teks bahasa sumber. Langkah kedua adalah pengalihan, dalam hal ini penerjemah harus bisa menyepadankan kata-kata dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam hal konteks harus diperhatikan, teks sastra hanya akan memiliki makna yang pasti jika teks berada pada sebuah konteks. Tahap berikutnya adalah tahap penyusunan kalimat, maksudnya apabila kata-kata dalam teks sastra sudah diketahui artinya, yang dilakukan adalah penyusunan kalimat-kalimat ke dalam bahasa sasaran. Adapun jenis 21

22 penerjemahan sesuai dengan tujuan masing-masing ada delapan, antara lain sebagai berikut: Penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harafiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantis, penerjemahan adaptasi, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif (Newmark dalam Machali 2000: 49-50). Adanya prinsip dasar bagi seorang penerjemah yang dituntut untuk mandiri atau independent. Dalam konteks ini, seorang penerjemah mempunyai pilihan untuk menghasilkan hasil terjemahan yang mudah dipahami, dengan berpegang teguh pada kenyataan bahwa dirinya bukanlah pencipta teks asli, melainkan bertugas sebagai pengalih bahasa. Dengan demikian, penerjemah bukanlah dalam cakupan tugasnya untuk menambah atau mengurangi informasi pada teks yang dikerjakannya Teori Wacana (Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi) Ada dua kata kunci yang sangat penting dalam analisis wacana Michel Foucault, yaitu istilah arkeologi dan genealogi. Dalam perkembangannya pada tahun 1970-an, kedua istilah ini menjadi metode yang digunakan untuk menganalisis praktik diskursif. Menurut Habermas (dalam Hardiyanto, 1997: 17) metode arkeologi dan genealogi Foucault bertujuan untuk melakukan dekontruksi atas historiografi tradisional yang masih tertangkap dalam pemikiran antropologis dan keyakinan humanistis. Metode arkeologi berusaha untuk menggali praktik-praktik diskursif sampai akarnya, sebagai totalitas yang partikular dengan perspektif dari luar yang dapat ditentukan batas-batasnya, sehingga ruang sejarah dapat diisi oleh kalaideskop, di mana 22

23 bentuk-bentuk diskursus yang plural datang dan pergi. Genealogi bertugas untuk menjelaskan asal-usul kebetulan dari bentuk-bentuk diskursus itu dari rongga-rongga pembentukan yang saling membatasi (Hardiyanto, 1997: 17-18) Arkeologi Arkeologi diartikan sebagai ilmu yang selalu bersentuhan dengan monumen-monumen bisu, benda-benda mentah, objek-objek tanpa konteks dan segala hal yang dicecerkan masa lalu (Foucault, 2012: 26). Foucault menyatakan menggunakan terminologi arkeologi secara metaforis untuk menunjuk pada sesuatu yang disebut arsip. Ciri yang menonjol dari arkeologi salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran pengarang dalam mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa peniadaan peran pengarang ini berguna untuk dapat mencari modus eksistensi dari sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran formasi diskursif. Modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka kita tidak dapat kemudian menyandarkannya pada pengarang untuk bisa mengetahuinya. Cara mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat kehadiran pengarang saja tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar lingkaran pengarang (Foucault, 2012: 52-54). Dalam rangka menyelidiki wacana, Foucault menggunakan tiga konsep yakni positivitas, apriori historis dan arsip (2012: ). Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan wacana dalam satu periode. Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal 23

24 yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah lingkup komunikasi antar pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault disebut sebagai apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang menjadi syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai apriori historis masing-masing. Dalam Arkeologi Ilmu Pengetahuan, Foucault tertarik untuk melakukan penyelidikan terhadap fenomena kesejarahan. Dengan metode arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen pembentuk sejarah dengan menyelidiki peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif, pernyataan-pernyataan yang dibicarakan dan dituliskan dalam sebuah konteks sejarah (2012: 246). Menurutnya, arkeologi pengetahuan berbeda dengan sejarah pemikiran. Hal ini dirumuskan dalam empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut, yakni: Pertama, Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi, yang tersembunyi atau tampak dalam wacana. Arkeologi lebih membahas wacana itu sendiri sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya sendiri; Kedua, Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar wacana, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari wacana itu sendiri; Ketiga, Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktik diskursif yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu arkeologi menolak kehadiran pengarang sebagai bagian dari kesatuan kajian; dan keempat, Arkeologi tidak lebih dari sekedar penulisan ulang: yakni, 24

25 dalam bentuk ekterioritas yang diusahakan agar tetap awet, dia adalah transformasi reguler dari apa yang telah dituliskan. Dia tidak menyelidiki kelahiran wacana tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek wacana (2012: ). Foucault beranggapan bahwa wacana adalah jembatan penghubung antara satu kontradiksi dengan kontradiksi lain. Dalam analisis arkeologis, bertujuan untuk memetakan titik di mana mereka terbentuk di dalam praktik diskursif tertentu, menentukan bentuk-bentuk yang diandaikannya, relasirelasi yang terjadi diantara mereka, serta domain yang mereka bentuk. Singkat kata, tujuannya adalah menegaskan wacana dalam segala bentuk irregularitasnya; dengan demikian, untuk menentukan tema-tema kontradiksi yang telah hilang dan ditemukan kembali, yang telah selesai tetapi kemudian muncul di sepanjang elemen tunggal logos (Foucault, 2012: ). Dalam memahami sejarah Foucault melihat bahwa sejarah bukan sebagai rentetan kesinambungan tetapi sebagai suatu diskontinuitas. Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai sebuah keterputusan dimana sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan baru (2012: ). Pelacakan asal pengetahuan ini dikenal dengan istilah episteme. Episteme dipahami sebagai total sekumpulan hubungan yang menyatukan, pada periode tertentu, praktik diskursif yang memunculkan figur-figur epistemologis, ilmu pengetahuan, dan mungkin sistem yang yang terbentuk dari pengetahuan (2012: 341). 25

26 Foucault (2012: 341) menawarkan analisis episteme untuk mengungkapkan analisis tentang formasi-formasi diskursif, analisis tentang positivitas-positivitas dan pengetahuan yang berkaitan dengan pola-pola epistemologis dan sains-sains. Ia menemukan episteme yang menjadi dasar disiplin ilmu dan cirinya yang menentukan pada tiap periode. Episteme merupakan totalitas relasi-relasi yang bisa ditemukan, di dalam masa tertentu (Foucault, 2012: 342). Analisis episteme menghubungkan fakta tersebut bukan kepada otoritas aktus original yang menciptakannya, aktus yang membentuk fakta dan hak dalam subjek transendental, akan tetapi kepada proses-proses praktik historis (Foucault, 2012: 343). Dalam setiap perubahan zaman terdapat perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme tiap zaman dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme. Perubahan episteme dalam setiap zaman yang tidak langsung sekali jadi tersebut dijelaskan Foucault dengan menerangkan bahwa telah terjadi penyebaran formasi diskursif dalam masyarakat (2012: ) Genealogi Foucault dalam judul esainya pada tahun 1971: Nietzsche, Genealogi, History menyatakan bahwa genealogi dilengkapi dan dibantu oleh arkeologi. Menurut Habermas, dengan metode genealoginya, Foucault ingin 26

27 meninggalkan presentisme kesadaran waktu modern. Presentisme maksudnya kesadaran bahwa masa kini itu unik, langka, terpenting dan berkaitan dengan desakan tanggung jawab akan masa depan, sedangkan masa lampau membentuknya. Genealogi tidak mencari asal-usul, melainkan menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari ilusi tentang identitas (Foucault dalam Hardiyanto, 1997: 14). Ia menggunakan metode yang sama dengan Nietzsche yaitu mulai dari masa kini, lalu bergerak mundur ke masa lalu untuk menemukan suatu perbedaan, dan bergerak maju lagi untuk menelusuri sebuah proses transformasi dari masa lalu (Sarup, 2011: 90). Istilah genealogi untuk merujuk pada kesatuan pengetahuan intelek dan ingatan-ingatan lokal yang memungkinkan kita membangun pengetahuan historis tentang perjuangan hidup dan menggunakan pengetahuan tersebut secara taktis dalam kehidupan sehari-hari (Sarup, 2011: 91). Menurut Foucault, genealogi tidak berusaha menegakkan pondasipondasi epistemologis yang istimewa, tapi lebih mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam satu kata kuasa (Hardiyanto, 1997: 15). Sebagaimana dikatakan Faruk (2012: 250) analisis genealogis berkaitan dengan tiga prinsip yaitu: pertama, prinsip diskontinutas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekedar sebagai yang ditekan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak 27

28 berkesinambungan dengannya, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi juga saling mengeksklusi dan tidak saling kenal; kedua, prinsip spesifitas, yakni anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan, dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip regularitasnya; dan ketiga, prinsip eksterioritas, yakni menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana, pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkan batas-batasnya. Analisis genealogis berusaha mengungkapkan bagaimana rangkaian wacana terbentuk, melintasi apa, menggantikan apa, atau dengan dukungan sistem-sistem hambatan ini. Apa norma spesifik dari masing-masing prinsip itu, bagaimana kondisi permunculannya, pertumbuhannya dan variasinya. Dalam genealogi dipelajari formasi wacana yang sekaligus tersebar, diskontinu, dan regular (Faruk, 2012: 251). Sebagaimana dinyatakan Habermas, bagi Foucault, metode arkeologi dan genealogi bukan merupakan dua metode yang kontradiktoris, melainkan yang saling melengkapi. Arkeologi berusaha untuk menyendirikan tingkat praktik-praktik diskursif dan untuk merumuskan aturan-aturan produksi dan transformasi bagi praktik-praktik tersebut, sedangkan genealogi memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa yang dikaitkan dengan praktik-praktik diskursif (Hardiyanto, 1997: 16). 28

29 Berdasarkan paparan sebelumnya, penelitian ini mencoba menerapkan pendekatan arkeologi yang difokuskan pada proses transformasi dan pendekatan genealogi yang difokuskan pada prinsip ekterioritas berdasarkan kondisi-kondisi eksternal yang terkait dengan wacana praktik mistik yang dimuat dalam teks SWR. 1.6 Hipotesis Teks SWR memuat wacana jalan keselamatan yang membimbing manusia (khususnya orang Jawa) menentukan jalan keselamatan yang dipilihnya sesuai dengan sistem yang harus dipertanggungjawabkannya sendiri sebagai konsekuensi atas tujuan keselamatan hakiki yang ingin dicapainya. Variabelnya adalah teks SWR, jalan keselamatan, sistem dan konsekuensi praktik jalan keselamatan, serta keselamatan hakiki. Relasi antar variabel sangat berpengaruh untuk mencapai keselamatan yang hakiki. Apabila jalan yang dipilih benar sedangkan praktiknya salah, maka keselamatan yang hakiki tidak dapat dicapai. 1.7 Populasi Sampel Sebagaimana disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa persebaran teks SWR tersimpan di beberapa tempat yaitu di Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan Leiden. Populasi penelitian ini dibatasi pada teks SWR yang terjangkau tempat penyimpanannya dan terbaca dengan jelas. Berdasarkan studi awal dapat dipetakan persebaran teks SWR seperti dalam tabel berikut: 29

30 Nama Kota No Tempat Asal Koleksi Yogyakarta 1 Perpustakaan Museum Sana Budaya Jumlah Eksemplar 3 2 Surakarta 3 4 Perpustakaan Pura Pakualaman Perpustakaan Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta Perpustakaan Radya Pustaka Jakarta 5 Perpustakaan FS UI 2 Leiden 6 Universitas Leiden 1 Jumlah eksemplar teks SWR 10 Perincian 10 eksemplar naskah itu adalah sebagai berikut. 3 eksemplar koleksi Perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta. Dua eksemplar koleksi Pura Pakualaman. Satu eksemplar koleksi Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta. Satu eksemplar koleksi Radya Pustaka Surakarta. 2 eksemplar koleksi perpustakaan FS UI. Satu eksemplar koleksi perpustakaan universitas Leiden. Sampel penelitian ini adalah 4 naskah yang terjangkau terdiri: A. naskah PB C 108 Serat Multatuli; B. teks SWR terbitan Djayabaya; C. naskah Pi 29 Serat Piwulang warni-warni B; dan D. naskah PB E 34 Serat Dharma Gandoel e.a. (en audere = dan yang lain). 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan pustaka (library research), yaitu suatu pendekatan yang mengkaji 30

31 serta mengggunakan literatur sebagai bahan acuan dan rujukan dalam mengelola data. Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang dapat diamati. Hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan objek material sebagai bahan penelitian. Objek material penelitian ini adalah teks SWR. Karena objek material termasuk dalam kategori sastra lama yang ditulis dalam aksara Jawa berbahasa Jawa, maka dalam penelitian ini digunakan dua metode, yaitu metode filologi dan metode penelitian sastra Metode filologi Robson (1994: 12) mengatakan bahwa pendekatan filologis tujuannya adalah untuk menjembatani komunikasi antara teks yang terdapat dalam naskah dengan pembacanya. Dengan demikian, tugas filolog adalah menghadirkan teks yang siap baca, dan selanjutnya melanjutkan interpretasi atas teks tersebut agar dapat dimengerti oleh pembaca. Untuk sampai pada tujuan tersebut, maka dalam tesis ini, dilakukan inventarisasi dan deskripsi naskah yang menjadi sumber utama penelitian. Tahap terakhir dari penelitian filologi dalam teks ini adalah menyajikan edisi teks dan terjemahannya. Dalam penelitian ini penyuntingan teks disajikan dengan menggunakan metode diplomatis dan metode kritis dengan perbaikan bacaan. Namun, oleh karena aparat kritik dianggap penting dalam menunjang pemahaman terhadap teks, penelitian ini tetap menyajikan aparat kritik dalam melakukan penyuntingan. 31

32 Secara garis besar, langkah-langkah penelitian terhadap teks SWR terdiri dari tiga tahap, yaitu: pertama, pemilihan naskah dasar kajian; dan kedua, penyuntingan teks; dan ketiga, penyajian laporan. Pada tahap pertama, kegiatan yang dilakukan meliputi: pertama, Inventarisasi naskah, yaitu dengan mendaftar semua naskah teks SWR berdasarkan katalogus. Dalam inventarisasi ini didapatkan 10 naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan; kedua, observasi pendahuluan, yaitu mengecek kondisi naskah yang terjangkau dan membuat deskripsi naskah yang masih bisa terbaca sebagai bahan kajian; dan ketiga, penentuan naskah dasar kajian. Berdasarkan hasil observasi, teks SWR yang dimuat dalam naskah berjudul Serat Multatuli koleksi Museum Sanabudaya digunakan sebagai naskah dasar kajian karena kondisinya masih bagus, tulisannya terbaca dengan jelas dan muatan teksnya lengkap. Pada tahapan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah: pertama, melakukan transliterasi dengan metode diplomatis pada setiap teks yang sudah ditentukan sebagai sampel penelitian; kedua, melakukakan penyuntingan teks SWR, disertai dengan aparat kritik; ketiga, pembuatan edisi kritis dengan perbaikan bacaan berdasarkan naskah dasar kajian yang sudah ditentukan; dan keempat, proses translasi ke dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, Pada tahapan ketiga, kegiatan yang dilakukan adalah penyusunan laporan hasil penelitian ke dalam bentuk sajian teks yang siap dikaji dengan menggunakan teori-teori sastra 32

33 1.8.2 Metode Penelitian Sastra Metode penelitian sastra diterapkan dalam penelitian ini karena teks SWR adalah teks sastra yang memuat wacana. Penerapannya bertolak dari interpretasi atas data berupa teks yang dibaca, dengan mencoba mengerti bahwa melalui kata-kata sebuah wacana akan menjadi sesuatu yang lebih esensial. Metode yang digunakan adalah interpretasi. Foucault menyimpulkan bahwa basis dari interpretasi adalah nihil kecuali orang yang menginterpretasi itu sendiri. Setiap interpretasi harus menginterpretasi dirinya sendiri. Kematian interpretasi didasarkan pada keyakinan bahwa tanda itu tidak ada, dalam arti tanda itu tidak hadir secara mutlak: tanda yang eksis secara primer, orisinal, dan aktual sebagai hasil yang berhubungan, bersangkutan, dan sistematis (Foucault, 2011: 62). Kehidupan interpretasi pada akhirnya hanya meyakini bahwa yang ada hanyalah interpretasi. Basis dari interpretasi adalah nihil, kecuali orang yang menginterpretasi itu sendiri (Nietzche dalam Rabinow, 2009:62). Bertolak dari pendapat tersebut, maka penelitian ini merupakan interpretasi peneliti atas wacana yang dimuat dalam teks SWR. Dengan demikian, penerapan metode itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, terhadap data representatif yang dijadikan dasar penelitian, yaitu teks SWR, dilakukan pembacaan secara cermat dan menginterpretasi wacana yang ada di dalamnya. Kedua, melakukan identifikasi wacana yang dimuat dalam teks SWR. Ketiga, menelusuri sumber-sumber teks-teks terkait yang menjadi rujukan. Keempat, mengaitkan wacana teks SWR dengan teks-teks lain dan menentukan relasi- 33

34 relasinya. Kelima melakukan analisis data temuan dengan menggunakan pendekatan arkeologi dan genealogi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat keterkaitan antar teks, yang juga berfungsi untuk melihat saling keterkaitan dan keterpengaruhan antar teks satu dengan lainnya, sehingga dapat diketahui sejarah perkembangan wacananya. Pendekatan arkeologi dan genealogi juga digunakan sebagai kerangka penafsiran teks yang dihubungkan dengan konteks yang tidak hanya bermakna keterhubungan sesama teks tertulis, tetapi juga semua fenomena kebudayaan yang dapat ditafsirkan. 1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori (teori terjemahan dan teori wacana), hipotesis, populasi sampel, metode penelitian (metode filologi dan metode analisis wacana), dan sistematika penyajian. Bab II Pernaskahan dan Perteksan Serat Weda Raga berisi penulisan hasil penelitian kajian filologi teks SWR. Bab III Suntingan Teks dan Terjemahan. Bab IV Wacana Praktik Mistik dalam Teks SWR yang berisi jawaban dari permasalahan yang diuraikan dalam bab pendahuluan. Bab V Kesimpulan. 34

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuna mempunyai peran penting dalam peradaban umat manusia, karena naskah kuna berisi berbagai macam tulisan tentang: adat istiadat, cerita rakyat, sejarah, budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya-karya peninggalan masa lampau merupakan peninggalan yang menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filologi merupakan suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baroroh-Baried,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada jaman sekarang dapat dikatakan merupakan buah pikir dari warisan leluhur. Warisan leluhur dapat berupa artefak yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan suatu bangsa pada masa sekarang ini merupakan suatu rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin memahami lebih dalam mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai warisan kebudayaan para leluhur antara lain terdapat di dalam berbagai cerita lisan, benda-benda,

Lebih terperinci

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan. PATHISARI Skripsi punika asil saking panaliten filologi tumrap Sěrat Pangracutan ingkang kasimpěn ing Perpustakaan Pura Pakualaman Ngayogyakarta mawi kode koleksi 0125/PP/73. Skripsi punika awujud suntingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sêrat Cêcangkriman yang selanjutnya disingkat SC termasukk jenis teks wirid karena isinya memuat ajaran tasawuf atau mistik (Marsono, 1991: 559). SC dikarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum datangnya Islam masyarakat Indonesia masih percaya akan kekuatan roh nenek moyang yang merupakan sebuah kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Hal itu disebabkan karena budaya merupakan hasil olah rasa dan olah pikir manusia demi menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Naskah-naskah yang terdapat di Nusantara memiliki isi yang sangat kaya. Kekayaan itu dapat ditunjukkan oleh aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakan, misalnya masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai peninggalan tulisan, naskah menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan pandangan hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang dimiliki yaitu kebudayaan.koentjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari tujuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi pernasakahan di Indonesia bisa dikatakan sangat kurang peminat, dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah. Sedikitnya penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang wajib kita mensyukuri rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan yang tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Metode dapat diartikan sebagai cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004:34).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan tulisan tangan berupa benda konkret yang dapat dilihat dan dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang Oleh: Sugeng Triwibowo Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Miftah1919@gmail.com Abstrak:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak warisan hasil budaya dalam bentuk naskah atau manuskrip (Marsono, 2010), yang bahkan sampai saat ini belum dapat dihitung jumlahnya. Manuskrip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara sejak kurun waktu yang cukup lama memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Tutur adalah 'nasehat' atau 'bicara'. Kata perulangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya. Salah satu budaya yang terdapat dalam masyarakat Jawa adalah budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian

BAB I PENDAHULUAN. seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berbahagialah kita bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia mempunyai dokumentasi sastra lama yang. berkualitas setara dengan hasil sastra peradaban lain. Semua sastra daerah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia mempunyai dokumentasi sastra lama yang. berkualitas setara dengan hasil sastra peradaban lain. Semua sastra daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1LatarBelakangMasalah Bangsa Indonesia mempunyai dokumentasi sastra lama yang berkualitas setara dengan hasil sastra peradaban lain. Semua sastra daerah merupakan rekaman kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut dilestarikan. Kita juga perlu mempelajarinya karena di dalamnya terkandung nilainilai luhur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair.

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair. ABSTRAK Lucyana. 2018. Kritik Sosial dalam Syair Nasib Melayu Karya Tenas Effendy. Skripsi, Program Studi Sastra Indonesia, FIB Universitas Jambi, Pembimbing: (I) Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum (II) Dwi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nusantara memiliki beberapa jenis kesusastraan yang diciptakan, berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu kesusastraan yang berkembang

Lebih terperinci

Karya sastra melukiskan corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakat, sesuai dengan hakikat dan eksistensinya karya sastra merupakan

Karya sastra melukiskan corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakat, sesuai dengan hakikat dan eksistensinya karya sastra merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata satra dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata sas-, yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan

Lebih terperinci

2014 SAJARAH CIJULANG

2014 SAJARAH CIJULANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan warisan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah naskah Masaaila Aqiidatu `l-islam ( MAI ) hasil pemikiran Abu Laits As-Samarqandi. Data atau objek penelitian ini adalah teks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah islam si pulau Jawa telah berlangsung sangat lama. Selama perjalanan tersebut banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu, diantaranya yaitu dialog antar kebudayaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai suku bangsa tentunya kaya akan budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki banyak kekayaan kebudayaan yang tak ternilai harganya. Kebudayaan yang dimaksud dapat berupa benda (tangible

Lebih terperinci

Please purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark.

Please purchase PDFcamp Printer on  to remove this watermark. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata budaya terdiri dari dua kata yaitu budi dan daya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX 1. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Saputra

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koentjaraningrat (1990:2) menyebutkan, bahwa dalam kebudayaan Jawa terdapat 7 unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan tersebut ialah:1. sistem religi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan dinilai sebagai identitas kepribadian dan penentu kemajuan suatu bangsa yang tidak bisa di ukur dan kehadirannya hanya dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di 11 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di Nusantara. Pada masa itu, proses reproduksi naskah dilakukan dengan cara disalin. Naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI???

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa puing bangunan besar, semarak tapi belum cukup. Gambaran pikiran dan perasaan tersebut dapat dipahami lewat dokumen tertulis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Filologi 1. Pengertian Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Dengan demikian, kata filologi membentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kepustakaan yang relevan 1.1.1 Transliterasi Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah naskah Wawacan Pandita Sawang yang beraksara Arab (Pegon) dan berbahasa Sunda, teks di dalamnya berbentuk puisi/wawacan. Naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Bahasa selalu menggambarkan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan; lebih dalam lagi bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang fenomena kesusastraan tentu tidak lepas dari kemunculannya. Hal ini disebabkan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, tidak lepas dari maksud pengarang.

Lebih terperinci

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Humaniora Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Fitrianna Arfiyanti

Lebih terperinci

METODE EDISI: STEMMA

METODE EDISI: STEMMA METODE EDISI: STEMMA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Objek

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap naskah SDR, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra Indonesia terdiri dari karya sastra lisan dan karya sastra tulis. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian. 1.1

Lebih terperinci

PERAN TAMAN BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN LITERASI SENI DAN BUDAYA KREATIF BERBASIS NILAI-NILAI LUHUR DALAM NASKAH NUSANTARA

PERAN TAMAN BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN LITERASI SENI DAN BUDAYA KREATIF BERBASIS NILAI-NILAI LUHUR DALAM NASKAH NUSANTARA PERAN TAMAN BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN LITERASI SENI DAN BUDAYA KREATIF BERBASIS NILAI-NILAI LUHUR DALAM NASKAH NUSANTARA Oleh Drs. Djoko Nugroho Witjaksono, MA Kepala Taman Budaya Jawa Tengah disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi merupakan aktivitas ilmiah tentang prilaku manusia yang berkaitan dengan proses mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Naskah kuno merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan oleh nenek moyang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara teoretis kita dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya (a) bandingan intratekstual, seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 Tinjauan aspek sosiokultural puisi-puisi pada harian Solopos dan relevansinya sebagai materi ajar alternatif bahasa Indonesia di SMA (harian Solopos edisi oktober-desember 2008) Oleh: Erwan Kustriyono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kurikulum merupakan salah satu instrumen dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia diwarnai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerajaan, serta tindakan-tindakan penting lainnya (Kanta dalam Suarka, 1989: 1).

BAB I PENDAHULUAN. kerajaan, serta tindakan-tindakan penting lainnya (Kanta dalam Suarka, 1989: 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra di Bali masih berhubungan erat dengan masyarakat pendukungnya. Pada zaman kerajaan, sastra menjadi dasar dan cermin tindakan para raja dalam mengemban

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana ialah satuan bahasa yang terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 2006: 49). Menurut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Pembahasan masalah nilai etika dalam kaitannya dengan naskah ADK menjadi topik penting yang selalu dibicarakan, karena masalah ini menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rizwan, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rizwan, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peninggalan tradisi masyarakat Sunda merupakan sumber kebudayaan yang sangat kaya. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda sangat beragam, baik dari

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut

Lebih terperinci