MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF. OLEH : UTOMO, M. Pd TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF. OLEH : UTOMO, M. Pd TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN"

Transkripsi

1 MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH : UTOMO, M. Pd TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN bekantan_mtp@yahoo.co.id ABSTRAK Indonesia telah mengenal dan mulai melaksanakan pendidikan inklusif yang diyakini oleh para pakar di bidang pendidikan merupakan paradigm pendidikan yang paling efektif untuk mewujudkan education for all. Indonesia telah meratifikasinya. Sebagai sebuah Negara yang telah menyepakati perjanjian internasional tersebut, tidak bisa semena-mena mengimplementasikannya. Dalam perjalanannya selama kurang lebih delapan tahun ini berbagai kemajuan telah tercapai, namun masih ada permasalahan-permasalahan yang muncul. Mungkin sebagian kalangan mengaanggap hal yang biasa jika terjadi permasalahan. Permasalahan yang paling menonjol adalah antara makna pendidikan inklusif itu sendiri dengan pelaksanaannya masih belum sempurna. Artinya beberapa komponen pendidikan inklusif belum sepenuhnya terealisasi. Hal inilah yang membuat terseok-seoknya perjalanan pendidikan inklusif di Indoensia. Hal ini perlu diluruskan. Jika tidak tentu akan menimbulkan dampak yang bisa jadi membuat sebagian lembaga enggan melaksanakan pendidikan inklusif. Beberapa ide untuk meluruskan pendidikan inklusif tersebut antara lain : (1) Para pelaku yang mengimplementasikan pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. (2) Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di sekolah terdekat dengan pendekatan rayonisasi. (3) Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan. (4) Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. (5) Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK. (6) Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guruguru yang ada, akan tetapi bagi calon guru. PENDAHULUAN Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan akses pendidikan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (penyandang kelainan dan kelompok anak kurang beruntung lainnya). Anak penyandang kelainan sementara ini mendapat pendidikan secara segregatif di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB). Dikarenakan jumlah SLB yang sangat terbatas dibandingkan dengan populasi anak penyandang kelainan dan lokasi SLB yang biasanya di perkotaan mengakibatkan anak penyandang kelainan, terutama yang di daerah pinggiran dan pedesaan, belum memperoleh layanan pendidikan formal secara memadai.

2 Pendidikan inklusif diyakini oleh sebagian besar ahli maupun praktisi di bidang pendidikan untuk mewujudkan Education for All (EfA). Dikatakan demikian karena paradigma tersebut sangat akomodatif terhadap semua perbedaan kondisi peserta didik, baik kondisi peserta didik yang berhubungan dengan fisik, mental, maupun social. Perbedaan merupakan hal yang biasa/wajar, karena pada kenyataannya semua manusia itu berbeda. Perbedaan tidak akan mungkin untuk bisa dihilangkan, namun bisanya hanya bisa difasilitasi untuk bisa berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing. Perbedaan sebaiknya bukan menjadi penghambat untuk bisa belajar bersama, namun perbedaan dijadikan sebuah kekayaan dan kekuatan untuk meraih prestasi pendidikan (perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik). Hal ini senada dengan pendapatnya Skjorten (2003:117). Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Di dalam pendidikan inklusif, hambatan seorang anak (baik hambatan yang ada pada diri anak maupun hambatan yang berasal dari lingkungan anak) untuk bisa belajar bersama merupakan sebuah tantangan yang perlu diatasi, sebab salah satu tujuan pendidikan inklusif yaitu sebisa mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Jikapun hambatan tersebut tidak bisa dihilangkan, tetap diusahan untuk dikurangi (peminimalan hambatan). Kondisi ini merupakan tantangan bagi upaya pensuksesan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Hal ini dapat ditengarai dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) secara nasional yang berada dalam kisaran 97,3 % untuk SD dan 84,2 % untuk SMP (berdasarkan data Susenas tahun 2005). Diduga permasalahan kurangnya kesempatan pendidikan bagi anak berkelainan menyumbang belum sampainya APS menjadi 100% terutama untuk jenjang SD, selain sumbangan dari faktor lain misalnya pembiayaan pendidikan dan hambatan geografis. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia telah dirintis sejak tahun 2003, dan sampai saat ini sudah berkembang menjadi sekitar 740 sekolah. Khusus untuk di Kalimantan Selatan telah tercatat lebih dari 29 sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah yang inklusif. Jumlah tersebut terdiri dari 2 TK Inklusi, 17 SD Inklusi, 5 SMP Inklusi, 4 SMA Inklusi, dan 1 SMK Inklusi. Penyelenggaraan pendidikan inklusif dilakukan di satuan pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif,

3 salah satunya didorong oleh semakin banyak orang tua yang memiliki anak penyandang kelainan dan anak cerdas dan/atau berbakat istimewa menuntut haknya untuk memperoleh pendidikan secara inklusif di satuan pendidikan reguler. Landasan hukum nasional yang secara eksplisit menyatakan pendidikan inklusif adalah pada penjelasan pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menegah. Selain itu dengan diterbitkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi anak penyandang kelainan dan cerdas istimewa dan bakat istimewa, serta terbitnya Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, tentang penyelenggaraan pendidikan, semakin menegaskan jaminan terbukanya kesempatan bagi anak penyandang ketunaan untuk memperoleh akses pendidikan di sekolah reguler. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia diyakini masih banyak menimbulkan permasalahan dan persepsi yang berbeda-beda, walaupun dalam perjalanannya telah menempuh kurang lebih 8 tahun. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga pendidikan baik TK, SD, SMP maupun SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara kualitas (kesesuain dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul. Ada beberapa permasalahan yang terekam, diantaranya : 1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model pendidikan. Hal ini tercermin bahwa sebuah sekolah yang menyatakan diri menjadi sekolah inklusif harus mendapat label sekolah inklusi. Kesesuain label dengan implementasi yang diharapkan kadang masih jauh. Bahkan dibeberapa sekolah masih jauh panggang daripada api. 2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. Bahkan dibeberapa sekolah, anak-anak yang

4 berkebutuhan khusus masih menjadi tamu, bukan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Paham ini berdampak pada pemindahan peserta didik yang ada di SLB ke sekolah regular. 3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi kebanjiran peserta didik yang berkebutuhan khusus. Hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi. Disamping itu pemahaman tentang sekolah terdekat dengan tempat tinggal anak belum sepenuhnya diimplementasikan. 4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta didiknya adalah anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model ini tentu menyimpang dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak bedanya dengan SLB yang terselenggara di sekolah regular. Permasalahan-permasalahan tersebut akibat tidak konsistennya dari berbagai kelangan, terutama pemerintah dalam menjalankan sebuah paradigm pendidikan inklusi. Beberapa komponen yang seharusnya ada di dalam menjalankan regulasi pendidikan inklusi, belum terimplementasikan dengan baik. Bahkan terkesan hanya sebagian komponen saja yang dilaksanakan. Penyebab lain adalah perubahan kearah paradigma pendidikan inklusi cukup besar tantangannya. Tantangantantangan tersebut antara lain : 1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi. Paradigma segregasi telah mengakar kepada penentu kebijakan dan para praktisi pendidikan, bahkan sering kali membelenggu para pengembang di bidang pendidikan. Mereka berasumsi bahwa dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kreteria yang telah ditentukan, maka akan mempercepat ketercapaian tujuan pendidikan. Kebijakan itu disatu sisi yaitu sisi kognitifnya mungkin benar, akan tetapi perlu diingat bahwa ranah pendidikan yang perlu dicapai tidak hanya ranah kognitif saja, akan tetapi ranah psikomotor dan ranah afektif tidak kalah pentingnya harus menjadi penyerta tujuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang berpendapat ada ranah social yang juga perlu dicapai. 2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak dan adil. Sekolah unggulan selama ini identik dengan kualitas IQ input peserta didik yang

5 diatas rata-rata dan biaya pendidikan yang cukup mahal yang harus ditanggung oleh para orangtuanya. Tentu hal ini akan membuat kesenjangan yang lebih dalam. Kesenjangan selamanya akan selalu menyakitkan bagi banyak orang. Memang kesenjangan akan selalu ada, akan tetapi jika jaraknya terlalu jauh akan selalu memperburuk keadaan. 3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. Penyebab ini yang sepertinya yang paling dominan. Pendidikan inklusif secara eksplisit memang sudah menjadi kebijakan secara nasional, akan tetapi secara filosofi belum bisa menyentuh ke semua komponen bangsa yang bergerak dibidang pendidikan. Tahap-tahapan sosialisasi tidak dilalui dengan benar. Hal ini diperparah dengan seringnya pergantian pejabat di lingkungan Kementarian/Dinas Pendidikan yang seharusnya menangani pendidikan inklusi. Jika memang sudah diyakini bahwa paradigm pendidikan inklusi sudah menjadi agenda yang hebat untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan, seyogyanya semua pihak harus komitmen untuk mengimplementasikannya. 4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan. Mereka sebagian besar lebih senang mendidik peserta didik yang biasa-biasa saja (tidak banyak permasalahan). Banyak diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi peserta didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat. Padahal jika mereka menanganinya dengan senang dan peduli tentu akan menambah profesionalisme mereka. 5. Acuan peserta didik yang mempunyai prestasi belajar sering diartikan secara sempit. Prestasi belajar sering diasumsikan dengan juara kelas, nilai yang tinggi, siswa yang dapat mengalahkan akademik siswa lainnya. Asumsi itulah yang membuat para pelaku bidang pendidikan berlomba-lomba menyeleksi input peserta didik yang hanya dilihat dari akademiknya saja. Hal ini tentu memperburuk keadaan perkembangan pendidikan inklusi. Masih banyak sebenarnya permasalahan-permasalahan lainnya. Mudahan beberapa identifikasi permasalahan perkembangan pendidikan inklusi diatas cukup menjadi gambaran sampai dimana perkembangan pendidikan inklusi dewasa ini sehingga para praktisi maupun penggendali pendidikan di Indoensia tercinta ini dapat segera mengambil langkah yang tepat. Tulisan berikutnya akan penulis coba memberikan beberapa alternative pemecahannya. Semoga menjadi inspirasi dan perdebatan yang membangun untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif secara benar agar bangsa ini sesegera mungkin bisa bangkit dari

6 keterpurukan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentu mengalami perkembangan, akan tetapi dampak buruknya juga tidak kalah berkembang. PEMBAHASAN Dunia pendidikan telah sepakat dengan geloranya education for all (EFA) harus sesegera mungkin untuk ditempuh. Bagi Negara-negara yang telah sepaham, maka Negara tersebut meratifikasinya. Indonesia telah meratifikasinya. Tentu ini sebuah kemajuan ditingkat silaturahmi internasional. Dunia juga telah sepakat bahwa untuk mewujudkan EFA akan ditempuh dengan paradigm pendidikan inklusif. Indonesiapun juga telah meratifikasinya. Pergaulan pendidikan di tingkat internasional sudah tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah komitmennya setelah meratifikasi. Jangan hanya karena sebuah tuntutan masyarakat internasional untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, adil dan tanpa diskriminasi saja kemudian Indonesia ikut-ikutan meratifikasi. Justru merupakan kebanggaan bagi kita bahwa Indoensia secara Internasional tetap komitmen dengan bangsa-bangsa lainnya. Yang perlu segera kita benahi adalah bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada setelah Indonesia mulai melaksanakan pendidikan inklusif 8 tahun yang lalu ini secara terus menerus dan konsisten tetap dicarikan pemecahannya. Pemecahannya jangan sampai lepas dari pundipundi pendidikan inklusif itu sendiri. Jika lepas, tentu mengurangi makna. Dan pada akhirnya akan memperburuk keadaan. Makalah ini mencoba mencari solusi. Harapannya bisa menjadi inspirasi. Permasalahan yang telah penulis sampaiakan dalam Pendahuluan diatas, berikut ini akan penulis sampaikan beberapa ide. 1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. Seperti contoh bahwa pendidikan inklusif hanya mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular saja tanpa dibarengi dengan implementasi pemahaman yang lain, tentu membuat berbagai pihak tambah bingung. Yang harus menjadi patokan utama adalah anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan anak-anak lainnya yang perlu saling pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu. Seperti yang telah dikemukan oleh Alimin (2005) yaitu sekolah yang ramah dan terbuka ditandai

7 antara lain dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak. Tahapan yang benar adalah menciptakan sekolah dan guru yang ramah terhadap semua anak (welcoming school and welcoming teacher) terlebih dahulu. 2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di sekolah terdekat. Layanan pendidikan terdekat lebih spesifik ditujukan bagi anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sapon-Shevin dalam O neil, 1994) yang mengemukakan pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Implementasi yang muncul saat ini adalah sekolahsekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusif kebanjiran peserta didik berkebutuhan khusus. Hal ini karena penyebaran sekolah inklusif tidak diikuti oleh sekolahsekolah yang lain. Kebanyakan sekolah enggan sekolahnya menjadi inklusif. Permasalahan ini sepertinya perlu digalakkan lagi system rayonisasi pendidikan. Artinya setiap sekolah mempunyai tanggung jawab mencerdaskan anak-anak bangsa ini dengan radius wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian sekolah-sekolah yang ada kedepannya tidak bisa menolak lagi jika diwilayahnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya telah membantu membuat dasar hukumnya yaitu dengan Kepmendiknas no 70 tahun Salah satu pasalnya bahwa setiap Kecamatan minimal ada 1 SD dan 1 SMP yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Dan 1 SMA setiap Kabupaten. Hal inipun belum tentu mengatasi masalah karena luas dan jumlah penduduk setiap kecamatan juga berbeda-beda. Sepertinya model rayon yang paling tepat. Jika sekolah inklusif semakin banyak tentu tidak akan terjadi penumpukan anak-anak berkebutuhan khusus di satu sekolah regular. Harapnnya kedepan bagaimana semua sekolah menjadi sekolah yang inklusif. Gambar dibawah ini mudahan menambah wawasan tentang rayonisasi pendidikan.

8 Sebuah Kecamatan Kelurahan/Desa dengan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah sekolah, dan potensi yang beragam/ berbeda 3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan. Rata-rata saat ini satu kelas berjumlah antara siswa. Satu kelas ditangani oleh satu orang guru. Padahal idialnya satu kelas sebaiknya hanya 20 siswa dan ditangani oleh dua orang guru. Satu orang guru menjadi pengajar di depan, kemudian satu orang guru menjadi asisten guru (prakteknya bisa bergantian). Dengan rasio tersebut asumsinya setiap peserta didik akan terlayani pendidikannya. Lebih-lebih jika di kelas tersebut ada anak berkebutuhan khusus. Maka asisten guru tersebut membantu anak yang berkebutuhan khusus. Sebaiknya kedepan hal ini menjadi kajian pemerintah untuk menselaraskan rasio sesuai dengan kemampuan guru. 4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. Istilah sekolah unggulan memang manis. Akan tetapi kenyataannya sekolah unggulan hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang bisa menjangkaunya. Secara kasat mata jelas sekolah unggulan akan lebih berhasil daripada sekolah biasa. Hal ini karena selain proses pembelajarannya baik, gurunya unggul, sarana dan prasarananya baik, akan tetapi dibarengi dengan input yang secara akademik memang sudah unggul. Ada yang ganjil dalam implementasinya yaitu sekolah unggulan kurang mengakomodir perbedaan yang sebenarnya kodrati. Bagi sekolah unggulan harus ingat bahwa masyarakat kita beragam. Penulis berharap

9 bahwa yang distandarkan bukan inputnya. Penulis berharap ada sekolah inklusif yang unggul. Bukan menjadi eksklusif. Sekolah yang eksklusif akan jauh dari masyarakat. Sering kali sekolah tersebut bukan milik masyarakat. 5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK Selama ini bagi sebagian besar daerah di Indonesia ini, adanya pusat sumber hanya masih menjadi angan-angan. Banyak kendala untuk mewujudkannya. Pusat sumber pada intinya sangat membantu terlaksananya pendidikan inklusif. 6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada, akan tetapi bagi calon guru. Calon guru yang dimaksud adalah mereka yang masih menempuh di bangku kuliah yaitu bagi mahasiswa-mahasiswa yang nantinya dipersiapkan untuk mencadi calon guru, baik mereka yang ada di keguruan maupun yang di ilmu pendidikan (FKIP). Pemikiran para mahasiswa biasanya masih idialis. Begitu juga jika mereka diberi materi tentang paradigma pendidikan yang luhur ini sudah barang tentu menjadi nilai plus bagi mahasiwa. Jika pemahaman mereka lebih awal dimulai, tentu akan lebih dini mereka nantinya setelah bekerja langsung bisa ikut mewarnai di tempat mereka untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi. Mahasiswa calon guru di negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Norwegia, dll telah mendapat program materi tentang penanganan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk di dalamnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Di Indonesia belum semua perguruan tinggi menerapkan hal tersebut. Yang penulis ketahui sebagian besar baru terimplementasi di PDSD/PGTK. Mungkin beberapa perguruan tinggi telah memulai di program studi/jurusan lainnya. Memulai memberikan pemahaman tentang pendidikan inklusif jika belum memungkinkan dalam bentuk mata kuliah, ada baiknya dimasukkan/diintegrasikan ke dalam mata kuliah yang sesuai. Seperti mata kuliah profesi keguruan atau pengantar pendidikan atau belajar dan pembelajaran. Tulisan ini tentu belum bisa sempurna untuk dijadikan kajian dalam upaya meluruskan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Walau begitu penulis berharap bisa menjadi salah satu inspirasi untuk terus mengembangkan pendidikan inklusif yang benar-benar inklusif, bukan sesuatu yang menjadi eksklusif.

10 KESIMPULAN Delapan tahun Indonesia telah mencoba mengimplementasikan paradigm pendidikan inklusif. Suka duka telah dilaluinya. Ada keberhasilan ada juga yang belum mencapai hal yang diharapkan. Itu semua sebuah proses panjang yang terus dievaluasi dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Pendidikan inklusif sebuah pendidikan yang luhur. Pendidikan inklusif sangat diyakini oleh sebagian besar pelaku bidang pendidikan untuk menuju education for all (EFA). Semua anak bangsa diberbagai belahan bumi ini mempunyai hak/kesempatan pendidikan yang layak, adil, bermutu dan tanpa diskriminasi. Pendidikan merupakan awal dari kebangkitan dari sebuah kemajuan suatu Negara. Bagaimana bisa maju jika pendidikan masih tidak adil, masih diskriminasi, walaupun berkualitas. Dalam perjalannan yang cukup panjang ini, permasalahan-permasalahan masih muncul dalam implementasinya. Permasalahan yang sempat terekam oleh penulis diantaranya : 1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model pendidikan. 2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. 3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi kebanjiran peserta didik yang berkebutuhan khusus, hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi. 4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Beberapa permasalahan yang sempat terekam oleh penulis tersebut, disinyalir sebagai akibat dari beberapa hal di bawah ini : 1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi sehingga mempengaruhi paradigm berfikir bagi pelaku pendidikan. 2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social

11 terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak dan adil. 3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. 4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan. 5. Acuan peserta didik yang mempunyai prestasi belajar sering diartikan secara sempit. Semua permasalahan implementasi pendidikan inklusif tersebut perlu dicarikan jalan keluanya. Ada beberapa ide dari penulis untuk menjadi inspirasi. Antara lain : 1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. 2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di sekolah terdekat. 3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan. 4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. 5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK 6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada, akan tetapi bagi calon guru. DAFTAR PUSTAKA Astati, (2001), Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa Budiyanto, (2005). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Depdiknas. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2005). Pedoman Implementasi Pendidikan Inklusif di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Direktorat PLB. (2004). Buku Seri : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan terpadu/inklusi. Jakarta: Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen, Depdiknas. Direktorat PSLB. (2005). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif, Penilaian Hasil Belajar Siswa pada Kelas Inklusif/Terpadu. Jakarta : Direktorat PSLB, Ditjen Manajemen Dikdsmen, Depdiknas.

12 Direktorat PLB, Draillo Norway, dan UNESCO. ( 2004). Buku Seri: Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP). Jakarta: Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO. Erlani L. (2002). Tinjauan Inklusi Eropa dan Amerika mengenai Pendidikan Inklusif (Kajian Filosofhis, Terminologi, Implementasi, Proses dan Evaluasi. Jepang: Shiusku University. Hidayat, (2005). Pengelolaan Kelas Inklusif di Sekolah Dasar Reguler. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Hildegun O. (2002). Pendidikan Inklusif suatu Strategi menuju Pendidikan Untuk semua.makalah pada Lokakarya Gabungan Pendidikan kebutuhan Khusus Tingkat Nasional Direktorat PLB, Mataram. J. Davit Smith. (2002), Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua. Terjemahan Denis, Ny Erica. Nuansa. Jakarta Johnsen B.H. (2003). Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual, Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Mutu, 7-10 Juni Salamanca, Spanyol: UNESCO dan Ministry of Education and Science, Spain.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF MENINGKATNYA KUALITAS LEMBAGA PENDIDIKAN

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF MENINGKATNYA KUALITAS LEMBAGA PENDIDIKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF MENINGKATNYA KUALITAS LEMBAGA PENDIDIKAN OLEH UTOMO, M. Pd TENAGA PENGAJAR PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN ABSTRAK Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agar keberlangsungan hidup setiap manusia terjamin maka kebutuhan dasar akan pendidikan harus terpenuhi sehingga lebih bermartabat dan percaya diri. Oleh karena itu

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan dan perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk bekal mengarungi samudera kehidupan yang semakin penuh dengan persaingan. Oleh karena itu pendidikan menjadi

Lebih terperinci

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sesungguhnya bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk dapat memperoleh pendidikan melekat pada semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).

Lebih terperinci

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI (Program Pengabdian Masyarakat di SD Gadingan Kulonprogo) Oleh: Rafika Rahmawati, M.Pd (rafika@uny.ac.id) Pendidikan inklusi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam UUD 1945 dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha 1.1.1 Bentuk Usaha Sebagai dampak berkembangnya suatu organisasi dan teknologi, menyebabkan pekerjaan manajemen pendidikan semakin kompleks.

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya. Surabaya semakin di percaya oleh mayarakat.

BAB V PEMBAHASAN. berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya. Surabaya semakin di percaya oleh mayarakat. BAB V PEMBAHASAN A. Peran guru bimbingan konseling dalam menangani anak berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya Pada intinya layanan bimbingan karir di SMK Negeri 8 Surabaya berjalan efektif sesuai

Lebih terperinci

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Volume Nomor September 2014 E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 221-229 Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN. A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi

BAB IV ANALISIS PENELITIAN. A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi BAB IV ANALISIS PENELITIAN A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi Pendidikan inklusi merupakan suatu terobosan dimana keberadaan serta operasionalnya dapat memudahkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis

Lebih terperinci

Educational Psychology Journal

Educational Psychology Journal EPJ 1 (1) (2012) Educational Psychology Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/epj TINJAUAN PSIKOLOGIS KESIAPAN GURU DALAM MENANGANI PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA PROGRAM INKLUSI (STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa dampak yang luar biasa pada mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan juga pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman membuat manusia menyesuaikan diri dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, bahasa, dan seni. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia pun memiliki keanekaragaman tersebut. Masyarakat

Lebih terperinci

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI Dieni Laylatul Zakia Program Magister Pendidikan Luar Biasa UNS dienizuhri@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimalisasiperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, Amandemen IV Pembukaan, alinea IV yaitu dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan jumlah sekolah luar biasa di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan jumlah sekolah luar biasa di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pendidikan sering kita temukan berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah masalah diskriminasi yang secara tidak langsung dialami oleh para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Haryanto REALITA PENCA DI LAPANGAN Belum ada data riil jumlah penca di Indonesia, Diperkirakan 10% dari populasi

Lebih terperinci

AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS MENEMPUH PENDIDIKAN TINGGI. OLEH : UTOMO PRODI PLB FKIP UNLAM

AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS MENEMPUH PENDIDIKAN TINGGI. OLEH : UTOMO PRODI PLB FKIP UNLAM 1 AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS MENEMPUH PENDIDIKAN TINGGI ABSTRAK OLEH : UTOMO PRODI PLB FKIP UNLAM Email : bekantan_mtp@yahoo.co.id Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah anak-anak normal yang tidak mengalami kebutuhan khusus dalam pendidikannya. Hal ini sudah berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam pendidikan, terus menerus melakukan upaya pembaharuan untuk meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami lebih jauh mengenai pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang masih dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.

Lebih terperinci

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Paud Inklusi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Abstrak Sri Huning Anwariningsih, Sri Ernawati Universitas Sahid Surakarta, Jl Adi Sucipto 154 Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang layak sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

POTENSI PENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK UNTUK MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANJARMASIN

POTENSI PENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK UNTUK MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANJARMASIN POTENSI PENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK UNTUK MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANJARMASIN Utomo, Imam Yuwono, Agus Pratomo Andi Widodo Universitas Lambung Mangkurat ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi PENDIDIKAN INKLUSIF Nenden Ineu Herawati ABSTRAK Uraian singkat tentang pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah untuk semua anak, dengan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Akselerasi atau Program Percepatan Belajar atau terakhir istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing

Lebih terperinci

PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS oleh: Ishartiwi PLB-FIP Universitas Negeri Yogyakarta -----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang berkebutuhan khusus (tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan, autisme, lambat belajar dan tunalaras),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak

Lebih terperinci

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **)

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **) REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Pendahuluan Oleh Edi Purwanta **) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bervariasi dalam suatu proses pembelajaran. Perbedaan tersebut dapat menjadi

I. PENDAHULUAN. bervariasi dalam suatu proses pembelajaran. Perbedaan tersebut dapat menjadi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kemampuan setiap peserta didik berbeda antara yang satu dengan lainya, hal ini dapat terlihat dari hasil belajar yang dicapai dan prestasi siswa yang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN 2016 Oleh SRI DELVINA,S.Pd NIP. 198601162010012024 SLB NEGERI PELALAWAN KEC. PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

KERANGKA RANCANGAN BELAJAR BI-TANDUR-LS-MK SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN BAGI SISWA DI KELAS INKLUSIF

KERANGKA RANCANGAN BELAJAR BI-TANDUR-LS-MK SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN BAGI SISWA DI KELAS INKLUSIF 1 KERANGKA RANCANGAN BELAJAR BI-TANDUR-LS-MK SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN BAGI SISWA DI KELAS INKLUSIF 1. Abstrak Oleh Imam Yuwono,M.Pd Dosen Prodi PLB FKIP Unlam Banjarmasin Pengembangan kerangka pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami menjadikan Anak Berkebutuhan Khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa sekarang menuju masa depan dengan nilai-nilai, visi, misi dan strategi

BAB I PENDAHULUAN. masa sekarang menuju masa depan dengan nilai-nilai, visi, misi dan strategi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi wadah dan berlangsungya proses pendidikan, memiliki sistem yang komplek dan dinamis dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. empirik kita bisa mengamati bahwa bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika,

BAB I PENDAHULUAN. empirik kita bisa mengamati bahwa bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Secara empirik kita bisa mengamati bahwa bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika, bahkan beberapa negara tetangga

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi peserta didik memperoleh layanan pendidikan yang bermutu adalah hak. Tidak terkecuali peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Sejauh ini layanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang membawahi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, pelaksanaan ditingkat provinsi khususnya di Provinsi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Seperti sebuah lagu yang baru saja diluncurkan, pendidikan inklusif mendapat sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya pemerataan pendidikan oleh pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar yang berkualitas memiliki makna yang sangat strategis untuk mencerdaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa: Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mohammad Effendi. Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkelainan.(Jakarta: Bumi Aksara. 2006). hlm 1

BAB I PENDAHULUAN. Mohammad Effendi. Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkelainan.(Jakarta: Bumi Aksara. 2006). hlm 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan anak berkebutuhan khusus bukan menjadi hal yang baru bagi masyarakat dalam beberapa dekade terakhir ini. Menurut World Health Organization, diperkirakan

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif Juang Sunanto dan Hidayat Departemen Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun desain

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dipaparkan simpulan dan saran yang berkenaan dengan hasil penelitian ini. A. SIMPULAN Berdasarkan analisis terhadap hasil pengolahan data, penulis membuat beberapa

Lebih terperinci

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) PENDIDIKAN INKLUSIF DISEKOLAH DASAR KOTA PADANG Oleh: Afrina Devi Marti Abstrak: Penelitian ini di latarbelakangi oleh Permendiknas No.20 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena pertumbuhan kehidupan masyarakat maju, semakin lama semakin menunjukkan bahwa kunci perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah dalam upaya pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi semua anak di Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus di Indonesia bila dilihat dari data statistik jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004 adalah

Lebih terperinci

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Nurul Hidayati Rofiah 1*, Muhammad Ragil Kurniawan 2 1,2 PGSD UAD *Email: nurulhidayati@pgsd.uad.ac.id Keywords: Wajib belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional dalam bidang pendidikan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional dalam bidang pendidikan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional dalam bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif menghargai keberagaman apapun perbedaannya. Pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa setiap individu dapat berkembang sesuai dengan potensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak berpartisipasi penuh dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan

Lebih terperinci

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Daftar Pustaka. Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Daftar Pustaka Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Alawi, Z. (2005). Program Inklusi Perlu Dukungan Semua Pihak. [online]. Tersedia http://www.pikiranrakyat.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,

Lebih terperinci