Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria Manusia pada Dua Populasi Asli Indonesia Tenggara. Program Studi Kimia FPMIPA UPI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria Manusia pada Dua Populasi Asli Indonesia Tenggara. Program Studi Kimia FPMIPA UPI"

Transkripsi

1 Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria Manusia pada Dua Populasi Asli Indonesia Tenggara Heli Siti HM, M.Si., Gun Gun Gumilar, M.Si. 1) Dessy Natalia, Ph.D., Achmad Saifuddin Noer, Ph.D., 2) 1) Program Studi Kimia FPMIPA UPI 2) Program Studi FMIPA ITB Abstrak DNA mitokondria (mtdna) manusia mudah mengalami mutasi sehingga memiliki laju polimorfisme yang tinggi. Daerah genom mtdna yang memiliki laju polimorfisme tertinggi adalah D-Loop, yaitu daerah non penyandi. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan database varian normal mtdna manusia Indonesia. Pada penelitian ini dilaporkan urutan nukleotida daerah D-Loop menggunakan metode direct sequencing untuk populasi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi amplifikasi fragmen mtdna dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dilanjutkan dengan sekuensing menggunakan metode dideoksi Sanger. Deteksi hasil PCR menggunakan elektroforesis untuk 9 sampel yang diamati memperlihatkan satu pita pada daerah 0,9 kb, dan hasil sekuensing seluruh sampel menghasilkan kurang lebih 7141 pb. Urutan nukleotida hasil sekuensing kemudian dibandingkan dengan urutan nukleotida daerah D-loop Cambridge (rcrs) sebagai standar. Hasil sekuensing menunjukkan adanya 53 variasi nukleotida pada daerah non penyandi dari 9 manusia Indonesia dengan jumlah mutasi yang terjadi berkisar antara 5 sampai 11 mutasi, namun tidak ditemukan mutasi spesifik untuk populasi tertentu. Meskipun demikian, hasil analisis homologi menunjukkan dua mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi pada dua populasi manusia Indonesia, yakni mutasi insersi 310.1C dan mutasi transisi A263G. Munculnya kedua jenis mutasi tersebut pada kedua populasi mengindikasikan bahwa mutasi yang terjadi tidak bersifat spesifik terhadap populasi tertentu. Kata kunci : DNA mitokondria, direct sequencing, D-Loop, mutasi 1. Pendahuluan Salah satu organel yang ditemukan dalam sitoplasma dari setiap sel organisme eukariotik adalah mitokondria. Jumlah mitokondria dalam setiap sel berbeda tergantung pada sel dan fungsinya. Mitokondria mempunyai beberapa DNA tersendiri yang dikenal juga dengan DNA mitokondria (mtdna) dan dapat membuat sejumlah proteinnya. mtdna ini berbentuk sirkular dan berada dalam matriks, yang bisa mengandung 4-5 kopi DNA mitokondria. Berbeda dengan DNA inti, mtdna tidak mengalami perubahan pada tiap generasi sehingga perubahan terjadi pada laju yang sangat lambat. Kenyataan ini kemudian digunakan untuk mempelajari evolusi manusia. Urutan lengkap genom mtdna manusia mengandung pb yang terdiri dari gen penyandi 12S dan 16S, 22 trna dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi [Anderson, 1981]. Dalam perkembangan studi genetika molekul selanjutnya, urutan nukleotida mtdna yang ditemukan oleh Anderson ini dijadikan sebagai standar yang kemudian dikenal juga dengan urutan nukleotida Cambridge. 440

2 Penelitian terhadap mtdna semakin berkembang karena beberapa kelebihan yang dimilikinya diantaranya : jumlah kopi sel yang banyak sehingga terdapat ratusan bahkan ribuan mtdna dalam tiap sel manusia dan pola pewarisan yang bersifat maternal. DNA mitokondria hanya diturunkan dari garis keturunan ibu dan antara saudara kandung yang dihubungkan dengan garis keturunan ibu tanpa mengalami rekombinasi dengan mtdna ayah [Holland, et al., 1993]. Berdasarkan kelebihan ini maka mtdna juga dapat dijadikan sebagai referensi dengan menggunakan sampel dari garis keturunan ibu yang bersangkutan dalam kasus orang hilang atau korban musibah massal. Daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi dalam mtdna dikenal juga dengan daerah kontrol atau D-loop. Pada D-loop terdapat dua daerah hipervariabel yaitu daerah hipervariabel 1 (HV1) pada posisi dan daerah hipervariabel 2 (HV2) pada posisi Penelitian tentang kedua daerah ini terus berkembang, namun informasi tentang daerah HV2 yang tersedia masih sedikit sehingga diperlukan informasi yang lebih banyak tentang daerah ini. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada daerah D-Loop adalah analisis urutan nukleotida manusia Indonesia yang memiliki hubungan keluarga menurut garis keturunan ibu pada tiga dan tujuh generasi serta analisis daerah HV2 mtdna manusia dari tiga dan tujuh generasi seketurunan ibu serta empat individu korban musibah Bali 1 Oktober 2002 [Ngili, 2004]. Pada penelitian ini dilakukan penentuan urutan nukleotida daerah D-Loop untuk populasi Indonesia Tenggara yang meliputi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) serta mutasinya. Sampel berupa sel rambut yang di lisis dan kemudian diamplifikasi secara in vitro dengan teknik PCR menggunakan primer M1 dan HV2R. Fragmen hasil PCR kemudian disekuensing dengan metode Dideoksi Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-posisi dan jumlah mutasi daerah D-Loop, sekaligus memberi kontribusi terhadap penyusunan database mtdna populasi Indonesia yang berdasarkan pada pola keteraturan genetik. 2. Bahan dan Metode Penelitian Dalam penelitian ini strategi yang dikembangkan meliputi dua metode utama yakni PCR, dan sekuensing PCR Penyiapan Templat Templat mtdna yang akan diamplifikasi diperoleh langsung dari hasil lisis sel rambut menggunakan 20 L bufer lisis 10X (500 mm Tris HCl ph 8,5 (Pharmacia Biotech), 10mM EDTA ph 8 (J.T. Baker), dan 5% Tween 20 (Merck)), 10 L enzim proteinase K 10 mg/ml (USB Corporation) dan ditambahkan ddh 2 O steril hingga volume 200 l. Campuran reaksi selanjutnya diinkubasi pada suhu 55 C selama 1 jam dalam inkubator (Waterbath-Grant Instrument Ltd) dan dilanjutkan dengan inaktifasi enzim proteinase K pada suhu 95 C selama 5 menit. Setelah inkubasi campuran reaksi disentrifugasi menggunakan alat mikrosentrifuga tipe 5417C (Eppendorf) pada g selama 3 menit kemudian diambil supernatannya yang selanjutnya digunakan sebagai templat untuk reaksi PCR Amplifikasi in vitro mtdna Manusia Proses amplifikasi fragmen D-Loop mtdna manusia menggunakan primer M1 dan HV2R. Campuran reaksi PCR dilakukan di dalam tabung 0,15 ml (Eppendorf), yang terdiri atas 5 L templat mt DNA hasil lisis, 0,5 L primer M 1 (20 pmol/ L), 0,5 L primer HV2R (20 pmol/ L), 2,5 L bufer PCR 10 x (Amersham life science: 500 mm KCl, 100 mm Tris-HCl ph 9,0 pada suhu 25 C, 1,0 % Triton X-100, 15 mm MgCl 2 ), 441

3 0,15 L enzim Taq DNA Polymerase (5 unit/ L, Amersham life science), 0,5 L campuran dntp (Amersham life science) dan ditambah ddh 2 O steril sehingga volumenya mencapai 25 L. Proses PCR dilakukan dengan mesin Automatic thermal cycler (Perkin Elmer) sebanyak 30 siklus. Tahap awal dari proses PCR adalah tahap denaturasi awal yang dilakukan pada suhu 94 C selama 4 menit, kemudian masuk ke program siklus PCR dengan masing-masing siklus terdiri 3 tahap yaitu tahap denaturasi yang dilakukan pada suhu 94 C selama 1 menit, tahap annealing yang dilakukan pada suhu 50 C selama 1 menit dan tahap extention atau polimerisasi pada suhu 72 C selama 1,5 menit. Akhir dari semua siklus dilakukan tambahan proses polimerisasi pada suhu 72 C selama 4 menit. DNA hasil PCR disimpan pada suhu 20 C Analisis Hasil PCR Hasil amplifikasi dari proses PCR dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa 1 % (b/v) menggunakan alat Mini sub TM DNA electrophoresis cell (Biorad). Komposisi gel agarosa dapat dibuat dengan melarutkan agarosa (Boehringer-Manheim) dalam bufer TAE 1 x (Merck : tris-asetat 0,04 M, EDTA 0,001 M ph 8,0). Larutan tersebut dipanaskan hingga agarosanya larut semua, lalu didinginkan hingga suhu larutan mencapai C. Sebelum dituangkan ke dalam cetakan gel yang memiliki sisir sebagai pembentuk sumur gel, ditambahkan 3 L larutan EtBr 10 g/ml (Merck). Pada masing-masing sumur gel dimasukkan 25 L sampel hasil PCR yang telah dicampur dengan 3 L loading bufer (Merck : sukrosa 50 %, EDTA 0,1 M ph 8,0, bromfenol biru 0,1 % ph 8,0 ) [Sambrook et al., 1989]. Proses elektroforesis ini dilakukan dalam bufer TAE 1 x sebagai media penghantar arus pada tegangan 75 volt selama 25 menit. Marker atau penanda kontrol yang digunakan adalah puc19/hinfi (Amersham Life Science) yang memiliki 5 pita (masing-masing berukuran 1419 pb, 517 pb, 396 pb, 214 pb, dan 75 pb). Hasil elektroforesis divisualisasi dengan lampu UV seri nm (Cole Parmer). Prediksi konsentrasi DNA dapat dilakukan dengan membandingkan ketebalan pita yang dianalisis terhadap pita-pita dari marker yang konsentrasinya telah ditentukan sebelumnya Sekuensing Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir dalam menentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi dengan PCR. Sekuensing dilakukan dengan metode Dideoksi Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer yang berdasarkan pada metode dye terminator labeling. Tahapan sekuensing DNA yang dilakukan pada penelitian ini meliputi : (1) penyiapan DNA templat, (2) proses amplifikasi melalui PCR dengan menggunakan primer universal, (3) pemurnian DNA, (4) elektroforesis, dan (5) pembacaan elektroforegram hasil sekuensing Pembacaan Elektroforegram Pembacaan hasil sekuensing dapat dilihat dari data elektroforegram yang menunjukkan masing-masing basa memperlihatkan warna dan tinggi puncak yang berbeda. Untuk basa A berwarna hijau, basa G berwarna hitam, basa C berwarna biru, dan basa T berwarna merah [Perkin Elmer, 1995] Analisis Urutan Nukleotida mtdna Hasil Sekuensing Analisis data urutan fragmen D-Loop mtdna manusia hasil sekuensing dilakukan dengan menggunakan program komputer DNAstar-versi 4. Setiap sampel mutasi dianalisis homologi terhadap urutan nukleotida yang sudah ada yaitu urutan Cambridge yang telah direvisi Andrew et al (rcrs) dan data mitomap. Hasil analisis ini diharapkan dapat melengkapi urutan mtdna dan memberikan kontribusi tambahan terhadap data base mtdna manusia. 442

4 3. Hasil dan Pembahasan 3.1.Penyiapan Templat Penyiapan templat DNA untuk PCR diawali dengan pengambilan sampel berupa sel rambut untuk sampel NTT dan NTB yang selanjutnya dilakukan lisis sel untuk mendapatkan DNA mitokondria. Penyiapan templat mtdna dari sel rambut diperoleh langsung dari hasil lisis sel menggunakan prosedur standar (Sambrook, et al., 1989) tanpa melalui pemurnian terlebih dahulu. Supernatan hasil lisis pertama-tama di amplifikasi dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan sepasang primer, M1 dan HV2R yang dapat mengamplifikasi fragmen dengan ukuran 0,9 kb. Tabel 3.1 Urutan nukleotida primer M 1 dan HV2R Hasil Amplifikasi Fragmen 0,9 kb mtdna manusia dengan Teknik PCR Hasil PCR dilihat menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) dengan menggunakan puc19/hinfi sebagai marker. Gambar elektroforesis sampel seperti terlihat pada gambar 3.1. Gambar tersebut memperlihatkan adanya fragmen DNA pada posisi 0,9 kb untuk 2 sampel yang menunjukan bahwa amplifikasi terjadi pada templat mtdna dengan primer M1 dan HV2R. Begitu juga dengan 7 sampel lainnya yang juga menunjukan hasil yang sama. Fungsi kontrol positif dalam proses PCR ini adalah untuk mengetahui jalannya proses PCR. Munculnya pita pada kontrol positif membuktikan bahwa proses PCR berjalan dengan benar serta pita yang muncul pada sampel adalah pita dari fragmen D-loop. Hal ini diperkuat dengan diikutsertakannya kontrol negatif dalam proses PCR. Kontrol negatif dalam proses PCR bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya kontaminan dalam campuran reaksi PCR. Tidak munculnya pita pada kontrol negatif membuktikan bahwa dalam campuran reaksi tidak terdapat kontaminan yang dapat mengganggu proses PCR pb 517 pb Gambar 3.1. Fragmen hasil PCR. Lajur 3 dan 4 menunjukkan fragmen 0,9 kb sampel NT20 dan NB21. Lajur 1, marker DNA puc19/hinfi. Kontrol negatif dan positif masing-masing ditunjukkan pada lajur 4 dan 5. Munculnya pita DNA pada sampel NT 20 dan NB 21 menunjukkan bahwa sel rambut dapat digunakan sebagai sumber mtdna. Untuk sel rambut diambil bagian akar karena pada bagian akar ini terjadi pertumbuhan setiap saat sehingga diperkirakan pada bagian ini akan terdapat mtdna yang lebih banyak dibanding pada bagian pangkal rambut. Deteksi yang sama untuk tujuh sampel yang lain menghasilkan hasil yang serupa yakni terdapat satu pita fragmen berukuran 0,9 kb standar puc19/hinfi (gambar tidak ditampilkan). 3.2 Hasil Direct Sequencing DNA hasil PCR yang sudah dimurnikan dan ditentukan konsentrasinya di sekuensing menggunakan primer yang sama untuk proses PCR yaitu M1 dan HV2R. Gambar 3.2 memperlihatkan salah satu bentuk elektroforegram dari sampel yang disekuensing yang berasal dari sampel NT 20, sedangkan hasil sekuensing lengkap dari 8 sampel lainnya tidak ditampilkan. Jumlah nukleotida hasil sekuensing yang diperoleh bervariasi untuk tiap sampel mulai dari 800 pb sampai 876 pb. 443

5 Analisis terhadap daerah 0.9 D-Loop mtdna dilakukan pada daerah dan sebagai standar digunakan urutan nukleotida CRS (Cambridge Reference Sequence) Anderson yang telah di revisi oleh Andrew [Mitomap, 2005]. Untuk mengetahui urutan nukleotida yang mengalami mutasi dilakukan analisis menggunakan program seqman DNA star dengan menempatkan posisi nukleotida sampel sejajar dengan urutan nukleotida CRS. Pada program ini juga dapat dilihat bentuk tampilan elektroforegram urutan nukleotida sampel. Gambar elektroforegram yang diberi kotak menunjukan urutan nukleotida sampel yang berbeda dengan urutan nukleotida Cambridge (Gambar 3.2). Berdasarkan gambar 3.2 ditunjukkan bahwa pada posisi 73 terjadi mutasi transisi basa A menjadi sedangkan pada posisi 150 terjadi mutasi basa C menjadi T. Berdasarkan analisis mutasi daerah D-Loop mtdna terhadap 9 sampel yang dianalisis, ditemukan beberapa jenis, posisi dan jumlah mutasi pada daerah ini. Jumlah mutasi terbanyak dari empat populasi sampel yang dianalisis adalah 11 mutasi sedangkan jumlah terkecil adalah 5 dengan jenis mutasi secara keseluruhan adalah 53 jenis yang tersebar di daerah Secara lengkap mutasi pada setiap sampel ditunjukkan pada tabel 3.1. Analisis homologi sampel menunjukkan adanya mutasi insersi pada urutan basa nukleotida posisi pada daerah D-loop yang menyebabkan ketidakstabilan poli-c. Jumlah rangkaian poli-c berbeda karena bervariasinya jumlah insersi yang terjadi sebelum dan setelah nukleotida T. Adanya rangkaian ini menyebabkan kesulitan pada saat pembacaan urutan nukleotida secara direct sequencing. Hal ini didasarkan pada prinsip kerja sekuensing yang hanya dapat membaca fragmen dominan saja (Gambar 3.3). Pada gambar tersebut diperlihatkan insersi pada urutan basa 303 dengan jumlah yang berbeda posisi menyebabkan perbedaan rangkaian C sebelum basa timin. Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan fenomena ketidakterbacaan sampel yang mengadung poli-c di antaranya dilakukan oleh Levin. Melalui penelitiannya disimpulkan bahwa ketidakterbacaan sampel tersebut dengan direct sequencing disebabkan karena terdapatnya campuran heteroplasmi rangkaian poli-c dalam satu individu. A73G Mutasi transisi C150T Mutasi transisi Gambar 3.2. Contoh tampilan elektroforegam mutasi daerah D-Loop mtdna manusia dengan menggunakan Program Seqman 444

6 Tabel 3.1 menunjukkan bahwa mutasi yang terjadi pada sampel populasi Indonesia Tenggara bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Jenis mutasi yang terjadi diantaranya mutasi transversi, insersi dan delesi. Hasil analisis homologi menunjukkan dua mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi pada dua populasi manusia Indonesia, yakni mutasi insersi 310.1C dan mutasi transisi A263G. Tabel 3.1. Jumlah Dan Jenis Mutasi Pada Empat Populasi No Populasi Kode Jumlah Jenis Mutasi Sampel Sampel Mutasi 1 NT10 T16314C; T16237C; A73G; A266G; 312.1C 5 2 NT16 T16102C; T16298C; T16314C; T16321C; T16369C; 8 T16305C; 304.1C; 312.1C 3 NT20 T16086C; G16129A; T16239C; C16278T; C16294T; 9 NTT A73G; C150T; A263G; 310.1C 4 NT21 T16249C; T16288C; T16035C; G16390A; A73G; T153C; 9 A263G; 310.1C; G239A 5 NT22 T16086C; G16129A; C16192T; C16223T; T16239C, 11 T16297C; A73G; C150T; T199C; A263G, 310.1C 6 NB18 C16186T; C16276T; C16301T; C16302T; T16367C; C; 312.1C 7 NB19 T16140C; D; T16189C; T16223C; A213G; A266G; C; 312.1C NTB 8 NB20 G16139A; T16154C; C16158T; T16182C; C16223T; 9 T16321C; A16353G; 304.2C; 312.1C 9 NB21 C16223T; C16305T; T146C; T199C; A263G; 309.1C; 310.1C 7 Mutasi insersi Mutasi insersi Gambar 3.3. Perbedaan rangkaian poli-c yang disebabkan adanya mutasi insersi basa sitosin yang berbeda. 445

7 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh urutan nukleotida DNA mitokondria manusia daerah D-Loop melalui direct sequencing untuk sampel-sampel dua populasi Indonesia Tenggara. Analisis polimorfisme urutan nukleotida sampel memberikan informasi variasi mutasi dengan jenis dan posisi mutasi yang beragam dengan jumlah mutasi secara keseluruhan sebanyak 53 mutasi. Mutasi yang ada meliputi mutasi insersi, transversi dan delesi. Berdasarkan informasi muutasi-mutasi yang diperoleh tersebut diharapkan dapat melengkapi database varian normal mtdna manusia Indonesia. Ucapan Terima Kasih Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas yang telah mendanai penelitian pekerti ini. Giles, R.E., Blane, H., Cann, H.M., and Wallace, D.C., (1980). Maternal inherintance of human mitochondrial DNA. Proc.Nat.Acad.Sci.USA. 77: Fengzhu Sun, (1997). Biological and Statistical studies for diseases involving mtdna mutation. Department of Genetics, Emory University School of Medicine. Kirches, et.al., (2001). Heterogenous tissue distribution of a mitochondrial DNA polimorphism in heteroplasmic subject without mitochodrial disorders. jmed. Genet. 38: Wallace, D.C., (1981). Mitochondrial DNA Mutations and Neuromuscular Disease, Hum.Genet.Disease, 5:9-13. Daftar Pustaka Anderson, S. Bankier, A.T. Barrrel, B.G. de Bruijn, M.H. Coulson, A.R. Drouin,J. Eperon, I.C. Nierlich, D.P. Roe, B.A. Sanger,F. Schreier, P.H. Smith, A.J. Staden, R andyoung, I.G. (1981). Sequence and organization of the Human Mithocondrial Genome, Nature (5806). 446

8 Pembuatan dan Pemanfaatan Membran Chitosan Dari Limbah Cangkang Kepiting Untuk Pemisahan Deterjen Nita Kusumawati ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan membran chitosan untuk memisahkan deterjen. Membran chitosan ini dibuat dengan memanfaatkan limbah industri pengepakan kepiting, yaitu berupa kulit dan cangkangnya yang diekstrak terlebih dahulu menjadi chitin. Chitin selanjutnya mengalami transformasi menjadi chitosan. Setelah menjadi chitosan, untuk membuat membran harus dicampurkan dengan asam asetat terlebih dahulu dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Membran chitosan diuji untuk pemisahan limbah deterjen menggunakan reaktor dead-end. Kualitas membran chitosan adalah nilai fluks dan efisiensi rejeksi yang diperoleh melalui variasi terhadap tekanan operasi, dan komposisi penyusun membran. Dari penelitian ini diketahui bahwa membran mempunyai ketebalan 0,044 0,064 mm dengan komposisi optimum untuk pemisahan deterjen sebesar 3 gram. Pada tekanan operasi sebesar 3 atm, didapatkan penyisihan deterjen optimum. Untuk deterjen anionik yang digunakan sebagai umpan dihasilkan nilai fluks sebesar 30,91 L/m 2.hr dan rejeksi sebesar 98,50%. Kata kunci : Membran chitosan, deterjen, fluks, rejeksi Pendahuluan Meningkatnya kepadatan penduduk dan kegiatan industri pada suatu daerah, terutama daerah yang maju, mengakibatkan penggunaan deterjen sebagai bahan pencuci atau pembersih semakin meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan masalah pencemaran lingkungan yang serius karena limbah deterjen dapat menyebabkan turunnya kualitas perairan yang ditandai dengan timbulnya buih dan peristiwa eutrofikasi. Peristiwa eutrofikasi adalah tumbuhnya tumbuhan air (misalnya enceng gondok dan algae) dengan cepat karena pertumbuhannya dirangsang oleh nutrient dari bahan aditif deterjen terutama fosfat organik. Peristiwa itu dapat mengurangi kandungan oksigen dalam air, akibatnya dapat membunuh hewan air dengan kebutuhan oksigen yang tinggi. Matinya hewan air dapat menimbulkan bau busuk dan mengganggu keseimbangan alam. Selain itu limbah deterjen juga menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yaitu iritasi kulit dan mata, kerusakan pada ginjal dan empedu (Sugai dkk, 1990) dan pada hewan (Ritz dkk, 1993). Pengolahan limbah deterjen secara konvensional yang selama ini dilakukan antara lain dengan cara (a) aerasi yaitu memompa limbah deterjen yang menghasilkan gelembung udara, sehingga deterjen terkonsentrasi di 447

9 permukaan bersama gelembung udara yang dipompakan tersebut. Tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena daya reduksinya kecil dan membutuhkan bahan bakar yang cukup besar untuk energi pemompaan; (b) adsorpsi oleh arang atau bentonit atau campuran keduanya. Walaupun hasilnya cukup efektif, namun arang aktif relatif mahal; (c) koagulasi dengan garam-garam karbonat atau sulfat, sehingga sebagian dapat terendapkan. Meskipun daya reduksi mencapai 75 %, namun diperlukan koagulan dalam jumlah yang banyak, sehingga biaya operasionalnya relatif mahal; (d) metode lumpur aktif yaitu digunakan mikroorganisme pemakaian deterjen. Metode ini memerlukan upaya pengkayaan mikroorganisme yang tidak mudah dan kontrol pertumbuhan serta pengendalian mikroorganisme (Prasetyo, 2002). Usaha mengurangi pencemaran limbah deterjen ini perlu diupayakan, karena meskipun secara alamiah limbah tersebut di perairan dapat mengalami proses dekomposisi senyawa organik secara mikrobiologis, yang dikenal dengan istilah biodegradasi, namun tidak semua bahan deterjen dapat terbiodegradasi oleh bakteri pengurai sehingga prosesnya sangat lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Di sisi lain di Indonesia masakan laut dan pengolahan hasil laut dari Crustaceae belum dapat dioptimalkan, sebab pada umumnya baru digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kerupuk, terasi atau makanan ternak, dimana harga ketiga bahan hasil olahan tersebut tidak setinggi harga chitosan. Salah satu iklan di internet menyebutkan bahwa harga 50 gram chitosan ± $ 23 US. Belum dimanfaatkannya limbah pengolahan udang, cumi, dan kepiting sebagai sumber chitosan boleh jadi dikarenakan belum dikenalnya industri chitosan secara umum atau karena tidak ada publikasi yang memuat proses yang dikerjakan secara sederhana di Indonesia. Chitin pertama kali ditemukan lebih dari 180 tahun yang lalu, tetapi manfaatnya baru diperhatikan 20 tahun belakangan ini. Chitin dapat dibuat bahan lain yang disebut chitosan. Chitin tersebut merupakan polisakarida utama dari cangkang udang-udangan dan kepiting, selain itu juga terdapat pada fungi, kulit spora, lumut, dan kerangka luar serangga. Sumber utama chitin yang dapat digunakan untuk diperoleh chitosannya adalah chitin dari jenis udang-udangan (Crustaceae) seperti kepiting, lobster, dan udang. Hal tersebut disebabkan jenis udang-udangan itu dipanen secara komersial, sehingga menghasilkan limbah yang tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu salah satu keunggulan dari membran chitosan terletak pada bahan dasarnya yang ramah lingkungan karena dibuat dari limbah udang-udangan. Teknologi membran merupakan teknologi pemisahan yang berkembang dengan pesat dan relatif baru bila dibandingkan dengan teknologi pemisahan yang sudah berkembang sebelumnya seperti absorbsi, ekstraksi, dan destilasi. Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan, yaitu proses pemisahan berlangsung pada suhu kamar dan sebagian besar membran yang diproduksi dapat digunakan kembali, membran yang telah rusak dapat didaur ulang sehingga relatif tidak menghasilkan limbah, sifatnya bervariasi, dan dapat diatur sesuai kebutuhan (Mulder, 1991). TINJAUAN PUSTAKA 448

10 Kata membran berasal dari bahasa latin membrana yang berarti potongan kain. Membran didefinisikan sebagai lapisan tipis (film) yang fleksibel yang merupakan pembatas antara dua fasa yang bersifat semipermeabel. Membran berfungsi sebagai media pemisahan yang selektif berdasarkan perbedaan koefisien difusi, muatan listrik, atau perbedaan kelarutan. Membran dapat berupa cairan maupun padatan. Untuk pengolahan limbah cair, umumnya digunakan membran mikrofiltrasi. Membran tersebut digunakan untuk memisahkan partikel, termasuk bakteri dan ragi, dari larutan. Tekanan yang diperlukan selama operasi tidak terlalu besar yaitu kurang dari 2 bar. Aplikasi proses ini juga dapat diterapkan pada sterilisasi minuman, penjernihan jus, ataupun pemisahan emulsi minyak-air. Struktur membran mikrofiltrasi umumnya simetrik (Wenten, 1995). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mencari alternatif baru dalam proses pengolahan limbah deterjen dengan memanfaatkan limbah industri pengepakan udang kepiting sebagai membrannya. Bahan Persiapan bahan disini kebanyakan diperlukan untuk persiapan pembuatan larutan sampel, antara lain H 2 SO 4, NaH 2 PO 4, serbuk methylene blue dan aquades untuk membuat larutan methylene blue. Untuk membuat larutan pencuci diperlukan H 2 SO 4, Aquades dan NaH 2 PO 4. Bubuk NALS (Natrium Lauril Sulfat) dan Aquades untuk membuat larutan induk NALS. PP (Phenolftalein) sebagai indikator warna. Kloroform untuk mengikat kandungan deterjen. Alat Alat-alat yang perlu disiapkan dalam penelitian ini adalah : alat uji dead-end dan alat laboratorium yang menunjang penelitian ini, seperti peralatan kaca laboratorium, neraca analitik, magnetic stirrer, spektrofotometer Beckman, cetakan membran acrylic berukuran 10 x 10 cm dan kompresor. Prosedur Kerja Pembuatan Cangkang Kepiting Menjadi Serbuk Chitin dan Chitosan Tahap ini diawali dengan pencucian cangkang kepiting dicuci sampai bersih dari kotoran yang menempel kemudian direbus dalam air mendidih ( 80 C) selama 15 menit. Setelah itu dikeringkan dibawah sinar matahari dan diblender. Untuk menjadi serbuk chitin, cangkang kepiting akan mengalami proses isolasi chitin meliputi tiga tahap yaitu tahap deproteinasi didapat crude chitin, demineralisasi dan depigmentasi didapatkan serbuk chitin. Setelah itu chitin melalui suatu proses dan mengalami transformasi menjadi chitosan.serbuk chitosan inilah yang merupakan bahan dasar pembuat membran chitosan. Pembuatan Membran Chitosan Setelah menjadi serbuk chitosan dapat langsung dibuat membran dengan melarutkannya dalam Asam Asetat sebagai pelarut. Sebelumnya harus dipastikan bahwa cetakan yang akan 449

11 digunakan harus dibersihkan dahulu dengan menggunakan aceton. Setelah terbentuk suatu lapisan film basah cetakan dioven sampai film menjadi kering dimana diperlukan larutan NaOH 4% untuk merendam membran kering agar terlepas dari cetakannya. Selanjutnya agar membran bersih dari alkali diperlukan aquabidestilata untuk pembilas. Penentuan Fluks dan Rejeksi Volume permeat yang dihasilkan ditimbang dengan neraca analitik untuk mengetahui berat. Selanjutnya untuk mengetahui konsentrasi deterjen setelah dilewatkan membran dilakukan penentuan kadar deterjen melalui proses ekstraksi. Setelah itu baru diukur nilai absorbansi dengan spektrofotometer dan hasil yang diperoleh dimasukkan pada persamaan regeresi pada kurva kalibrasi, untuk selanjutnya bisa dihitung nilai fluks dan rejeksinya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penentuan λmaks Kompleks Methylen Blue Dengan NALS Tujuan dari tahap ini adalah menentukan panjang gelombang yang memberikan nilai absorbansi yang maksimal. Dimana pengukuran dilakukan dalam rentang panjang gelombang nm (Metode Standard). Dari data yang tersaji pada Tabel 4.1 didapatkan bahwa yang memberikan nilai absorbansi maksimal adalah panjang gelombang 650 nm. Pembuatan Kurva Kalibrasi Setelah diperoleh panjang gelombang maksimum, maka selanjutnya adalah membuat kurva kalibrasi yang nantinya digunakan untuk menemukan persamaan regresi. Dari data yang diperoleh, dapat dibuat kurva kalibrasi sebagai berikut (Gambar 1). Absorbansi Kurva Kalibrasi y = x R 2 = Konsentrasi NALS (ppm) Gambar 1. Kurva kalibrasi Dari gambar 1 didapat persamaan regresi adalah y = 0,1749 x + 0,005 dengan nilai R 2 = 0,9992. Pembuatan Membran Penelitian ini dimulai dengan kegiatan membuat larutan chitosan terlebih dahulu. Bubuk chitosan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik sesuai dengan berat yang diinginkan untuk selanjutnya ditambah dengan larutan asam asetat 0,75%. Setelah dilakukan penimbangan dilanjutkan dengan pengadukan awal yaitu dengan spatula kaca agar bubuk chitosan benar-benar terendam dalam larutan asam asetat, kemudian dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer untuk memastikan serbuk chitosan larut sempurna sehingga didapatkan larutan yang homogen. Pengadukan dilakukan selama 24 jam untuk mempercepat proses pelarutan. Sebelum dicetak di atas pelat kaca, larutan harus didiamkan selama 24 jam 450

12 untuk menghilangkan gelembunggelembung udara yang ada di dalamnya. Proses pencetakan membran diawali dengan pembersihan sisi-sisi cetakan menggunakan aseton. Larutan selanjutnya dicetak diatas pelat kaca dengan berat yang sama yaitu sebanyak 20 gram. Kemudian cetakan yang telah terisi larutan chitosan diangin-anginkan selama 24 jam (sampai setengah kering), selanjutnya cetakan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 C selama ± 5 jam. Untuk memastikan membran kering sempurna cetakan didiamkan selama 24 jam di udara terbuka, karena apabila langsung direndam membran akan rusak dengan menjadi menggelembung dan berkerut. Membran disimpan bersama dengan cetakannya, baru akan dilepas apabila akan diaplikasikan pada reaktor dead-end. Pengukuran Ketebalan Membran Ketebalan membran diukur dengan mikrometer sekrup buatan Austria. Ketelitian alat tersebut adalah 0,01 mm dengan kapasitas 0 25 mm. Ketebalan membran dikontrol dengan potongan kaca yang ditempelkan di sekeliling plat kaca dengan ketebalan 0,5 cm. Dari pengukuran didapatkan hasil bahwa pada komposisi chitosan 2 gram diperoleh ketebalan sebesar 0,044 mm, selanjutnya pada komposisi 2,5 diperoleh ketebalan 0,054 mm dan 0,064 mm pada komposisi chitosan 3 gr. Membran yang sudah jadi sebelum diaplikasikan pada alat deadend dilakukan pengukuran, dimana membran yang digunakan adalah membran yang mempunyai ketebalan sama untuk tiap komposisi. Membran yang baik adalah membran yang tipis tapi kuat. Semakin tebal membran, jarak yang harus ditempuh permeat semakin panjang, sehingga kemungkinan terjadinya fouling makin besar. Pengaruh Variabel Terhadap Fluks dan Rejeksi Pengaruh Tekanan Tekanan operasi sangat mempengaruhi fluks dan rejeksi membran. Pada percobaan ini tekanan dioperasikan pada 1 atm, 2 atm dan 3 atm. Pada membran chitosan dengan komposisi 2 gr yang digunakan untuk menyisihkan larutan deterjen anionik tampak bahwa fluks semakin meningkat dengan meningkatnya tekanan. Pada 5 menit pertama, fluks meningkat dari 86,12 L/m 2.hr menjadi 94,95 L/m 2.hr dan 99,69 L/m 2.hr, ketika tekanan ditingkatkan dari 1 atm menjadi 2 atm dan 3 atm. Nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan fluks pada penyisihan deterjen anionik dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 1. Fluks Membran Chitosan (Komposisi 2 gram) Waktu (menit) Tekanan 1 atm Fluks (L/m 2.hr) ANIONIK Tekanan 2 atm Tekanan 3 atm Dari data penelitian dan analisa statistik terlihat jelas bahwa tekanan sangat mempengaruhi nilai fluks, dimana peningkatan tekanan memberikan peningkatan nilai fluks. 451

13 Hanya yang perlu diperhatikan adalah terjadinya peristiwa fouling yang ditandai adanya polarisasi konsentrasi yang mengakibatkan penurunan nilai fluks seiring dengan pertambahan waktu operasi. Fluks(L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (C hitosan 2 gr) Tekanan 1 atm Waktu (menit) Tekanan 2 atm Tekanan 3 atm Gambar 2. Peningkatan Fluks Pada Membran Chitosan (Komposisi 2 gr) Akibat Peningkatan Tekanan Peristiwa turunnya fluks seiring dengan pertambahan waktu operasi disebabkan karena semakin lama poripori yang terbuka akibat adanya tekanan operasi akan terisi molekul-molekul larutan membentuk suatu lapisan dipermukaan membran dan mungkin sampai masuk kedalam pori-pori membran. Adanya deposisi partikel pada membran yang menyebabkan penurunan fluks yang merupakan fungsi dari waktu dan akan memperbesar resistensi total membran, yaitu resistensi yang disebabkan oleh membran dan resistensi oleh lapisan gel karena deposisi. Nilai fluks larutan naik ketika tekanan naik dan stabil pada tekanan tertentu. Kenaikan tekanan mengakibatkan kenaikan fluks pada permukaan membran. Kenaikan tekanan juga menyebabkan proses fouling menjadi lebih cepat. Peristiwa ini dapat dilihat pada Gambar 3 11, ketika yang digunakan sebagai larutan umpan adalah deterjen anionik. Peristiwa fouling oleh larutan deterjen ini dikarenakan pada tekanan 1 atm, 2 atm dan 3 atm menyebabkan partikel-partikel deterjen menjadi pecah sehingga teradsorpsi oleh permukaan membran dan akhirnya menyumbat poripori membran. Sebagaimana yang diketahui bahwa sifat deterjen juga sebagai pembersih, dapat mengurangi terjadinya fouling hanya pemberian tekanan operasi yang dilakukan tidak boleh sampai memecah partikel deterjen. Fluks(L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 1 atm;chitosan 2 gr) Waktu (menit ) Fluks "Rejeksi" Gambar 3. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) Fluks(L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 2 atm ;Chitosan 2gr) Waktu (menit) Fluks Rejeksi Gambar 4. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) Fluks (L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 3 atm;chitosan 2 gr) Waktu (menit) Fluks Gambar 5. Fluks dan Rejeksi Rejeksi %Rejeksi %Rejeksi %Rejeksi 452

14 (Tekanan 3 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 1 atm ;Chitosan 2,5 gr) Dete rje n ANIO NIK (Tekanan 1 atm;chitosan 3 gr) Fluks (L/m2.hr) %Rejeksi Fluks (L/m2.hr) %Rejeksi Waktu (menit) Wakt u (menit ) Fluks Rejeksi Fluks Rejeksi Gambar 6. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) Gambar 9. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) Fluks (L/m2.hr) Deterje n ANIONIK (Tekan an 2 atm;chitosan 2,5 gr) Waktu (menit) Fluks Rejeksi Gambar 7. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) Fluks (L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 3 atm ;Chitosan 2,5 gr) Waktu (menit) Fluks Rejeksi Gambar 8. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 3 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) %Rejeksi % Rejeksi Fluks (L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 2 atm;chitosan 3 gr) Waktu (menit) Fluks Rejeksi Gambar 10. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) Fluks (L/m2.hr) Dete rje n ANIONIK (Tekanan 3 atm;chitosan 3 gr) Waktu (menit) Fluks Rejeksi Gambar 11. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 3 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) Terjadinya fouling ini diawali adanya peningkatan lokal konsentrasi solute pada permukaan membran, sehingga akhirnya fluks menjadi tergantung pada transfer massanya. Kenaikan tekanan melebihi kondisi ini % Rejeksi %Rejeksi 453

15 akan membawa kenaikan fluks lebih cepat dan segera terjadi keseimbangan antara laju transport solute ke dan dari permukaan membran sehingga fluks berubah menjadi stabil. Kondisi kemudian berubah ketika terbentuk lapisan fouling dan mulai terkompresinya pada tekanan tinggi dan menyebabkan peningkatan tekanan di atas titik kritis yang akan menghasilkan fluks lebih kecil. Dalam pengukuran efisiensi rejeksi maka yang diukur adalah kadar deterjen sebelum dilewatkan membran dan sesudah dilewatkan membran. Membran dikatakan baik apabila efisiensi rejeksinya adalah 100%. Dalam pengukuran kadar deterjen digunakan spektro UV-VIS dengan λ= 650 nm, karena pada panjang gelombang inilah deterjen memberikan nilai absorbansi maksimum. Selanjutnya dilakukan prosedur ekstraksi untuk menentukan penurunan konsentrasi yang dihasilkan setelah dilewatkan membran dengan memasukkan nilai absorbansi yang dihasilkan pada persamaan kurva kalibrasi. Dengan memasukkan nilai absorbansi untuk tiap-tiap larutan deterjen ke dalam persamaan sebelum dan sesudah dilewatkan membran maka dapat dilihat perubahan nilai efisiensi rejeksi untuk tiap membran. Tabel 2. Penurunan Rejeksi pada Pemberian Tekanan Berbeda (Komposisi 2 gr) Waktu (menit) % Rejeksi ANIONIK Tekanan 1 atm Tekanan 2 atm Tekanan 3 atm Sumber : Penelitian (2007) Pada Tabel 2 dapat dilihat juga peristiwa turunnya rejeksi karena kenaikan tekanan pada deterjen anionik, dimana tekanan pada 1 atm turun dari 98,05% menjadi 97,49% pada tekanan 2 atm dan pada 3 atm diperoleh rejeksi 96,96% pada 5 menit waktu operasi. Pertambahan nilai rejeksi dari setiap waktu operasi sampai terjadi fouling dan penurunan nilai rejeksi dari setiap peningkatan tekanan dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13 untuk tekanan operasi 1 dan 2 atm. %Rejeksi Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 1 atm Tekanan 1 atm;chitosan 2 gr Tekanan 1 atm;chitosan 3 gr Waktu (menit) Gambar 12. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;tekanan 1 atm) % Rejeksi Gambar 13. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;tekanan 2 atm) Tekanan 1 atm;chitosan 2,5 gr Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 2 atm Waktu (menit) Tekanan 2 atm;chitosan 2 gr Tekanan 2 atm;chitosan 2,5 gr Tekanan 2 atm;chitosan 3 gr 454

16 Sedangkan untuk tekanan operasi 3 atm, diperoleh nilai % rejeksi seperti yang tampak pada Gambar 14 di bawah ini. %Rejeksi Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 3 atm Tekanan 3 atm;chitosan 2 gr Tekanan 3 atm;chitosan 3 gr Waktu (menit) Gambar 14. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;tekanan 3 atm) T ekanan 3 atm;chitosan 2,5 gr Tekanan yang rendah mengakibatkan rejeksi naik, seperti yang tampak pada Gambar 12 14, dimana nilai rejeksi terbesar didapat pada tekanan 1 atm. Fenomena ini terjadi karena tekanan dalam tangki rendah, kemungkinan terbentuknya polarisasi konsentrasi atau fouling di permukaan membran kecil sekali. Hal ini disebabkan lemahnya tekanan yang diberikan terhadap partikel untuk melewati membran. Akibatnya partikel yang menempel di permukaan membran akan tersapu mudah oleh larutan umpan. Sebaliknya pada tekanan lebih tinggi efisiensi rejeksi akan menurun. Karena kuatnya tekanan yang diberikan pada partikel sehingga interaksi antara partikel dan membran akan meningkat. Kondisi ini akan berpeluang meningkatkan terbentuknya fouling atau polarisasi konsentrasi. Pada tekanan yang sama semakin lama seiring dengan waktu operasi mengakibatkan rejeksi naik, hal ini disebabkan karena ukuran partikel solute teradsorbsi atau terdeposisi partikelpartikel dari sekeliling bagian dalam pori membran. Setelah pori-pori membran terisi penuh maka molekul-molekul tersebut membuat lapisan diatas permukaan membran. Lapisan diatas permukaan membran ini seolah-oleh berfungsi sebagai membran lapisan kedua yang turut berperan menyaring molekul. Lapisan ini semakin lama mampu menahan molekul semakin banyak menahan molekul. KESIMPULAN Dari data yang telah diperoleh dan dibahas pada bab sebelumnya, maka dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu : Membran chitosan yang dihasilkan termasuk membran ultrafiltrasi dengan ukuran pori 0,05 µm- 0,1 µm dan ketebalan 0,044 mm-0,064 mm. Peningkatan tekanan operasi menyebabkan peningkatan fluks dan penurunan rejeksi sedangkan peningkatan komposisi chitosan menyebabkan peningkatan rejeksi dan penurunan fluks. Komposisi dan kondisi optimum untuk menyisihkan deterjen anionik dihasilkan nilai fluks sebesar 30,91 L/m 2.hr dan rejeksi sebesar 98,50%. DAFTAR PUSTAKA Aamodt, B and Michael, D. (1995). Solubilization of uncharged molecules in ionic surfactant aggregate micellar phase. Journal of Physical Chemical, vol. 96 (2) Januari 2002, pp Abuin, S and Lissi, C. (1992). Affinity membranes : Their chemistry and performance in adsorptive separation process. John Wiley & Sons, Inc. New York. Acosta, J.E. (1991). Extraction and characterization of chitin from 455

17 crustaceans. Biomass and bioenergy. Vol 5 no.2 : Acosta, M.J. (1991). Membrane process. John Wiley & Sons, England. Adiarto, T. (1996). Pengolahan limbah industri electroplating dengan membran komposit. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Kimia. Institut Teknologi Bandung. Amin, F and Jayson, C.P. (1996). A Conventional experimental methode for determining cationic surfactant concentration. Journal of Chemical Engineering of Japan, vol. 25 (4) Agustus 2002, pp Anselme, C., Ford T., Hurley, D and Martin, G. (1993). Ultrafiltration water treatment membrane process. Mc-Graw Hill. New York. Beckers, T. (2000). Catagories of membrane operations in water treatment membrane process. Mc-Graw Hill. New York. Blair, W. (1987). Introduction to surfactant snalysis. First Edition. Chapman & Hall. London. Chan, L and Lyn, D. (1983). Apparent chitin digestibility in penaeid shrimp. Aquaculture, vol. 109 (1), Januari 1999, pp Clint, B. (1992). Adsorption of metal ions polyaminated highly porous chitosan chelating resin. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 32 (3) Maret 2003, pp Costa, G.T. (1982). Pervaporation performance of hollow-fiber chitosan-polyacrylonitrile composite membrane in dehydration of ethanol. Journal of Chemical Enggineering of Japan, vol. 25 (1), Pebruari 1999, pp Duranceau, A. (1992). Surfactant agregation. Glasgow Blackie. London. Hill, B. (1995). Reaction between chitosan and cellusa on biodegradable composite film formation. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 30 (4) April 2001, pp Jacangelo, J., Thomas, J., Cooper, P., Graff, B., and Atkinson, B. (1995). Membrane filtration for microbial removal. An overview, AWWA Journal. Kirk, D. (1983). Effect of syntesized surfactant in the separation of rare earth metals by liquid surfactant membrane. Industrial & Chemistry Engineering Research, vol. 32 (8) Agustus 1993, pp Knorr, D. (1991). Recovery and utilization of chitin and chitosan and food processing waste management. Food Tecnology, Januari 1991 : Lygre, P. (1991). Synthetic detergents. Sixth Edition. John Wiley & Sons. New York. 456

18 Mulder, M. (1991). Basic priciples of membrane technology. Khewer Academic Publisher. Netherlands. Mulder, M. (1996). The use of membrane process in water purification. Proceeding. Bandung. Nemeh, A. (1993). Membrane recycling in the liquid surfactant membarane process. Industrial & Engineering Chemistry Research,vol. 32 (7) Juli 1993, pp Nilson, R.J. (1990). Azeotropic and critical phenomenone in a water, ionic surfactant, alcohol system. Journal of Psysical and Chemical, vol. 95 (3) Pebruari 2001, pp Prasetyo, B.A. (2002). Rekayasa pembuatan membran sellulosa asetat untuk pemisahan detergen. Tesis. Program Pasca Sarjana Teknik Lingkungan ITS. Surabaya. Ritz, C. (1993). Membrane technology. Encyclopedia of chemical technology. Volume 15. Third Edition. John Wiley & Sons. New York. Hal Schirg, N and Winder, L. (1992). Synthesis of porous magnetic chitosan beads for removal of cadmium ions from wastewater. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 32 (9) September 2003, pp Stephenson, T., Judd, S., Jefferson, B., and Brindle, K. (2000). Membrane bioreactors for wastewater treatment. IWA Publishing. London. Sugai, D. (1990). Synthetis of basic and overbasic sulfonate detergent additives. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 32 (12) Desember 2001, pp Taylor, S. (1997). The effect of dietary chitin on the growth, survival and chitinase levels of the digestive cland of juvenile penaeus momoon. Aquaculture, vol. 109 (1), Januari 1999, pp Tan, C.S and Sudak, M.E. (1992).Environmental chemistry : Essential of chemistry for engineering practice. Departement of Environmental Engineering & Civil Engineering, University of Sothtern California. Prentice Hall, Inc. Tahid. (1995).Detergen dalam air limbah dan analysis. Makalah pada Seminar HKI, Yogyakarta. Wenten, I.G. (1995). Teknologi membran industrial. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Widarta, R.A. (2004). Pembuatan membran chitosan untuk proses pengolahan limbah detergen. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya. 457

19 PENENTUAN KADAR BIOLOGICAL OXYGEN DEMAND (BOD), CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD), DAN LOGAM BERAT TIMBAL (PB) PADA AIR SUMUR DI SEKITAR PT. LAPINDO BRANTAS SIDOARJO Agung P., Nur Fitriyah, Nailir R., Muthmainnah, Nur H. R., Rusmini Jurusan Kimia FMIPA UNESA ABSTRAK Pengeboran ekplorasi gas oleh PT. Lapindo Brantas mengakibatkan semburan lumpur panas yang berasal dari sumur BJP-1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lumpur tersebut ternyata mengandung gas H 2 S yang cukup pekat, serta logam berat seperti Pb, Cd, As, dan Hg yang relatif tinggi, sehingga mencemari lingkungan dan berpotensi mencemari air tanah permukaan yang merupakan sumber air sumur warga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan BOD, COD, dan logam berat Pb dalam air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo. Sampel penelitian diambil dari 15 air sumur warga dari 5 desa di sekitar tanggul PT. Lapindo Brantas yang masih digunakan. Metode untuk penentuan kadar BOD menggunakan titrasi Winkler, penentuan kadar COD menggunakan pendekatan metode spektrofotometer, dan penentuan kadar logam berat Pb menggunakan pendekatan metode SSA. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kadar BOD rata-rata dari 15 sampel air sumur adalah 3,46 mg/l, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I dan II (PP No 82. Tahun 2001). Range kadar BOD sampel 1,68-8,91 mg/l. Sedangkan kadar COD rata-rata dari 15 sampel air sumur 7,4317 mg/l, menunjukkan bahwa ratarata air sumur masih memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I. Range kadar COD sampel 3, ,896 mg/l yang menunjukkan ada sampel yang telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I. Kadar Pb rata-rata air sumur adalah 0,58 mg/l, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I, II, dan III. Range kadar Pb adalah 0,45-0,86 mg/l. Kata kunci: BOD, COD, Pb, air sumur, lumpur Lapindo PENDAHULUAN Lebih dari satu tahun sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas (Lapindo), tepatnya disekitar Sumur Banjar Panji di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Volume semburan yang keluar awalnya masih pada tingkat m 3 /hari, diperkirakan telah mengalami peningkatan menjadi m 3 /hari, kemudian m 3 /hari dan akhirnya m 3 /hari (1). Dari sumur BJP Lapindo Brantas, selain lumpur yang keluar juga terkandung gas H 2 S, serta terkandung logam berat seperti Pb, Cd, Cr, As, dan Hg yang kadarnya tinggi (2).Dugaan lain menyebutkan adanya tren kenaikan logam berat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan pada bulan Desember 2006 dengan lumpur Lapindo yang diambil pada titik di sekitar 200 meter dari pusat semburan menunjukkan adanya logam berat berbahaya jauh di atas ambang batas yang dipersyaratkan dengan analisa 458

20 total logam berat. Misalnya Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, Hg 1,96 ppm dan ph lumpur sekitar 3-4 (3). Lumpur lapindo telah mengakibatkan hilangnya vegetasi (flora dan fauna), berpotensi mencemari air permukaan, sumber air, dan air tanah karena logam berat. Jika logam berat terserap ke dalam tanah, kemudian memasuki ekosistem, melarut ke dalam air dan kemudian terserap dan terakumulasi pada tanaman yang dikonsumsi oleh manusia, bisa berdampak pada penyakit-penyakit seperti kesalahan sekuen ekspresi otak, yang disebut autisme (4). Informasi dari Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya menunjukkan kandungan logam-logam berat pada lumpur yang amat besar, termasuk kandungan timbal (Plumbum, Pb). Kadar timbal maksimal yang diizinkan standar EPA (Environment Protection Agency) hanya sebesar 0,5 ppm (mg/liter). Namun, laporan hasil analisa Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian UNIBRAW mencapai 5 ppm. Ini jumlah yang teramat besar (5). Sungai pemukiman Jatianom menunjukkan, parameter timbal (Pb) 0,0734 (standar maksimal 0,003), sedang sumur milik Sukir, warga RT 12 RW 3 Desa Jatianom menunjukkan parameter timbal (Pb) 0,1048 (standar maksimal 0,05) (5). Pb meracuni sistem pembentukan darah merah. Pada anak-anak, timbal dapat menurunkan kemampuan otak. Sedangkan pada orang dewasa timbal dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, kemandulan (infertilitas), serta keracunan jaringan lainnya. Setiap kenaikan 1 µg/m3 Pb dalam darah akan menurunkan 0,975 skor IQ (intelligent Quotient) pada seorang anak. Prof. Moch. Saeni, FMIPA IPB, mengatakan bahwa keracunan timbal selain mempengaruhi sistem saraf, intelegensia dan pertumbuhan anak-anak, juga dapat menyebabkan kelumpuhan. Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, anemia, dan sakit di perut (6). Hasil dari laboratorium ITS menyimpulkan bahwa nilai BOD dan COD serta kandungan minyak dan lemak dalam lumpur dan cairan di lokasi cukup tinggi (7). Hasil laboratorium dari selokan Desa Kedungbendo menunjukkan, Bological Oxigen Demand (BOD) sebanyak 68,3 mg/l (standar maksimum 12 mg/l) serta Chemical Oxigen Demand (COD) 138,8 mg/l (standar maksimum 100 mg/l). Sehingga air sungai sekitar lokasi luapan lumpur tidak memenuhi kriteria baku mutu air kualitas III, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sumber air tak lagi dapat dikonsumsi karena telah tercemar, warnanya berubah kekuningan (seperti mengandung minyak tanah). Sementara itu, sumur-sumur warga yang berada di enam desa seputar kolam lumpur sudah keruh, kehitaman dan berbau. Air sumur sudah terasa agak licin di tangan, rasanya sedikit asin dan getir. Jika dipakai mandi, badan terasa gatal (8). Ikut tercemarnya air sumur menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan penduduk sebab sumber utama air bersih mereka adalah air sumur. Selama inii penelitian tentang kandungan BOD, COD dan logam berat Pb masih pada lumpur yang keluar dari sumur BJP-1, dan belum dilakukan pada air sumur warga di sekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo. Maka dilakukan pengujian terhadap kadar BOD, COD, dan kadar logam berat (Pb) pada 15 air sumur warga dari 5 desa yang terletak disekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo yaitu pada desa Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Timur, dan Gempol Sari. 459

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian terhadap urutan nukleotida daerah HVI mtdna manusia yang telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya rangkaian poli-c merupakan fenomena

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Biokimia, Program Studi Kimia, Institut Teknologi Bandung. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan berdasarkan langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dalam empat bagian yang meliputi; sampel mtdna,

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL

ANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL ISSN 1907-9850 ANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL Ketut Ratnayani, I Nengah Wirajana, dan A. A. I. A. M. Laksmiwati Jurusan Kimia FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian Bab III Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan, dimulai dengan pengumpulan sampel, kemudian lysis sel untuk mendapatkan template DNA, amplifikasi DNA secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk keperluan

Lebih terperinci

Profil Genetik Daerah Hipervariabel I (HVI) DNA Mitokondria pada Populasi Dataran Tinggi. Gun Gun Gumilar, Ridha Indah Lestari, Heli Siti HM.

Profil Genetik Daerah Hipervariabel I (HVI) DNA Mitokondria pada Populasi Dataran Tinggi. Gun Gun Gumilar, Ridha Indah Lestari, Heli Siti HM. Gun Gun Gumilar, Ridha Indah Lestari, Heli Siti HM. J.Si. Tek. Kim Profil Genetik Daerah Hipervariabel I (HVI) DNA Mitokondria pada Populasi Dataran Tinggi Gun Gun Gumilar, Ridha Indah Lestari, Heli Siti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh: Nita Kusumawati FMIPA Universitas Negeri Surabaya

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh: Nita Kusumawati FMIPA Universitas Negeri Surabaya PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI Oleh: Nita Kusumawati FMIPA Universitas Negeri Surabaya Abstract This research was aimed to study the made of chitosan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode dalam proses elektrokoagulasi larutan yang mengandung pewarna tekstil hitam ini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

3 Metodologi Percobaan

3 Metodologi Percobaan 3 Metodologi Percobaan 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tugas akhir ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia, FMIPA Institut Teknologi Bandung. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian. Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini.

Metodologi Penelitian. Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini. Bab III Metodologi Penelitian Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini. III.1 Rancangan Penelitian Secara garis besar tahapan penelitian dijelaskan pada diagram

Lebih terperinci

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu)

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu) Reaktor, Vol. 11 No.2, Desember 27, Hal. : 86- PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu) K. Haryani, Hargono dan C.S. Budiyati *) Abstrak Khitosan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia saat ini mencapai

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon, pengujian aktivitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

JADWAL PRAKTIKUM BIOKIMIA

JADWAL PRAKTIKUM BIOKIMIA JADWAL PRAKTIKUM BIOKIMIA Waktu Kegiatan dan Judul Percobaan 2 Februari 2018 Penjelasan Awal Praktikum di Lab. Biokimia Dasar 9 Februari 2018 23 Februari 2018 2 Maret 2018 9 Maret 2018 16 Maret 2018 23

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ). 0.45 µm, ph meter HM-20S, spektrofotometer serapan atom (AAS) Analytic Jena Nova 300, spektrofotometer DR 2000 Hach, SEM-EDS EVO 50, oven, neraca analitik, corong, pompa vakum, dan peralatan kaca yang

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisik dan Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA

MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA CELLULOSE ACETATE MEMBRANE FROM PINEAPPLE CROWN (Ananas Comocus)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

Deteksi DNA Seara Visual Dengan Teknik Elektroforesis

Deteksi DNA Seara Visual Dengan Teknik Elektroforesis Deteksi DNA Seara Visual Dengan Teknik Elektroforesis Laurencius Sihotang I. Tujuan 1. Mempelajari 2. Mendeteksi DNA yang telah di isolasi dengan teknik spektrofotometrik 2. mengetahui konsentrasi dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan eksperimental. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

K. Ratnayani, Sagung Chandra Yowani, dan Liangky Syane S. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran ABSTRAK

K. Ratnayani, Sagung Chandra Yowani, dan Liangky Syane S. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran ABSTRAK AMPLIFIKASI FRAGMEN 0,4 KB DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA LIMA INDIVIDU SUKU BALI TANPA HUBUNGAN KEKERABATAN DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) K. Ratnayani, Sagung Chandra Yowani, dan Liangky

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang berasal dari sisa tanaman yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen kelapa sawit.

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu, tahap isolasi kitin yang terdiri dari penghilangan protein, penghilangan mineral, tahap dua pembuatan kitosan dengan deasetilasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. elektrokoagulasi sistem batch dan sistem flow (alir) dengan aluminium sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. elektrokoagulasi sistem batch dan sistem flow (alir) dengan aluminium sebagai 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah industri penyamakan kulit, yang dilakukan di laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menguji potensi inhibisi produk dari kitosan yang berasal dari cangkang rajungan sebagai inhibitor korosi baja karbon dalam

Lebih terperinci

Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat

Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat Diajukan oleh Tika Kumala Sari (3310100072) Dosen Pembimbing Alia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tahap Persiapan Tahap persiapan yang dilakukan meliputi tahap studi literatur, persiapan alat dan bahan baku. Bahan baku yang digunakan adalah nata de banana. 3.1. Persiapan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 yang meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : peralatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian konversi lignoselulosa jerami jagung (corn stover) menjadi 5- hidroksimetil-2-furfural (HMF) dalam media ZnCl 2 dengan co-catalyst zeolit,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011 36 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Kimia Analitik, Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Analisis Kekeruhan (29 Palm Laboratory 2003) Pengukuran TPH cair (EPA 1999) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keasaman

Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Analisis Kekeruhan (29 Palm Laboratory 2003) Pengukuran TPH cair (EPA 1999) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keasaman Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Nilai TPH diukur menggunakan metode gravimetri. Sebanyak 5 gram limbah minyak hasil pengadukan dibungkus dengan kertas saring. Timbel yang telah dibuat tersebut dimasukan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk modifikasi elektroda pasta karbon menggunakan zeolit, serbuk kayu, serta mediator tertentu. Modifikasi tersebut diharapkan mampu menunjukkan sifat

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium 29 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa, Laboratorium Biokimia, dan Laboratorium

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Isolasi Kitin dan Kitosan Isolasi kitin dan kitosan yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti metode isolasi kitin dan kitosan dari kulit udang yaitu meliputi tahap deproteinasi,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) Marry Fusfita (2309105001), Umi Rofiqah (2309105012) Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng

Lebih terperinci

KEGUNAAN KITOSAN SEBAGAI PENYERAP TERHADAP UNSUR KOBALT (Co 2+ ) MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

KEGUNAAN KITOSAN SEBAGAI PENYERAP TERHADAP UNSUR KOBALT (Co 2+ ) MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM KEGUNAAN KITOSAN SEBAGAI PENYERAP TERHADAP UNSUR KOBALT (Co 2+ ) MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM Harry Agusnar, Irman Marzuki Siregar Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS SURFAKTAN DAN RECOVERY MEMBRAN DALAM DIFUSI FENOL ANTAR FASA TANPA ZAT PEMBAWA. Skripsi Sarjana Kimia. Oleh KHAIRUNNISSA NO.

EFEKTIFITAS SURFAKTAN DAN RECOVERY MEMBRAN DALAM DIFUSI FENOL ANTAR FASA TANPA ZAT PEMBAWA. Skripsi Sarjana Kimia. Oleh KHAIRUNNISSA NO. EFEKTIFITAS SURFAKTAN DAN RECOVERY MEMBRAN DALAM DIFUSI FENOL ANTAR FASA TANPA ZAT PEMBAWA Skripsi Sarjana Kimia Oleh KHAIRUNNISSA NO.BP : 06132064 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan Membran 4.1.1 Membran PMMA-Ditizon Membran PMMA-ditizon dibuat dengan teknik inversi fasa. PMMA dilarutkan dalam kloroform sampai membentuk gel. Ditizon dilarutkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorim Fisika Material Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Laboratorium Metalurgi ITS Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA IV Peran Riset dan Pembelajaran Kimia dalam Peningkatan Kompetensi Profesional Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan. 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Kerja Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biomassa dari bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT.

III. METODOLOGI PENELITIAN. dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan juni 2011 sampai Desember 2011, dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT. Indokom

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu Dan Tempat Penelitian. B. Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu Dan Tempat Penelitian. B. Alat dan Bahan BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan, yaitu pada 7 Oktober 2015 hingga 7 November 2015 di Sub Lab Kimia FMIPA UNS dan Balai Laboratorium Kesehatan

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Cair Tahu Menggunakan Membran Nanofiltrasi Silika Aliran Cross Flow Untuk Menurunkan Kadar Nitrat dan Amonium

Pengolahan Limbah Cair Tahu Menggunakan Membran Nanofiltrasi Silika Aliran Cross Flow Untuk Menurunkan Kadar Nitrat dan Amonium Oleh Pengolahan Limbah Cair Tahu Menggunakan Membran Nanofiltrasi Silika Aliran Cross Flow Untuk Menurunkan Kadar Nitrat dan Amonium : Dwi Rukma Puspayana NRP : 3309.100.009 Dosen Pembimbing : Alia Damayani,

Lebih terperinci

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A PETUNJUK PRAKTIKUM PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A Cemaran Logam Berat dalam Makanan Cemaran Kimia non logam dalam Makanan Dosen CHOIRUL AMRI JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA 2016

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses elektrokoagulasi terhadap sampel air limbah penyamakan kulit dilakukan dengan bertahap, yaitu pengukuran treatment pada sampel air limbah penyamakan kulit dengan menggunakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran terhadap lingkungan hidup akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian pemerintah, khususnya pihak akademisi, terutama terhadap kehadiran polutan beracun

Lebih terperinci

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Kolokium Ajeng Ajeng Siti Fatimah, Achmad Farajallah dan Arif Wibowo. 2009. Karakterisasi Genom Mitokondria Gen 12SrRNA - COIII pada Ikan Belida Batik Anggota Famili Notopteridae. Kolokium disampaikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di II. MATERI DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di enam desa yaitu tiga desa di Kecamatan Grokgak dan tiga desa di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Air Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu atom oksigen (O) yang berikatan secara kovalen yang sangat penting fungsinya. Dengan adanya penyediaan

Lebih terperinci

3 Percobaan. 3.1 Bahan Penelitian. 3.2 Peralatan

3 Percobaan. 3.1 Bahan Penelitian. 3.2 Peralatan 3 Percobaan 3.1 Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air kelapa, gula pasir yang diperoleh dari salah satu pasar di Bandung. Zat kimia yang digunakan adalah (NH 4 ) 2

Lebih terperinci

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR Noor Isnawati, Wahyuningsih,

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, tahap pertama sintesis kitosan yang terdiri dari isolasi kitin dari kulit udang, konversi kitin menjadi kitosan. Tahap ke dua

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Teknologi membran telah banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan dan pemekatan karena berbagai keunggulan yang dimilikinya, antara lain pemisahannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2013 dan berakhir pada bulan Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2013 dan berakhir pada bulan Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Riset Material dan Pangan Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA, UPI. Penelitian ini dilakukan menggunakan sel elektrokoagulasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci