Statuta Roma HUKUM ACARA DAN PEMBUKTIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Statuta Roma HUKUM ACARA DAN PEMBUKTIAN"

Transkripsi

1 Statuta Roma HUKUM ACARA DAN PEMBUKTIAN

2 BAB 1 KETENTUAN UMUM Aturan 1 Pemakaian Istilah Dalam dokumen ini: Kata Pasal mengacu pada pasal Statuta Roma [yang sejajar dengan kata Aturan dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.]; Kata Sidang mengacu pada Sidang Mahkamah; Kata Bagian mengacu pada Bagian dari Statuta Roma [yang sejajar dengan kata Bab dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.]; Hakim Ketua mengacu pada Hakim Ketua Sidang [Mahkamah]; Ketua mengacu pada Ketua Mahkamah; Peraturan mengacu pada Peraturan Mahkamah; Aturan mengacu pada Aturan dalam dokumen Hukum Acara dan Pembuktian ini. Aturan 2 Naskah Autentik Aturan-aturan dalam Hukum Acara ini telah diadopsi dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 40, Ayat 1. Semua teks atau naskah yang tertulis dalam bahasa-bahasa tersebut sama autentiknya. Aturan 3 Amandemen 1 Amandemen terhadap aturan dalam hukum acara ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 51, Ayat 2, harus diajukan kepada Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak. 2 Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua amandemen yang diajukan telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah dan disampaikan kepada Negara-Negara Pihak. 3 Prosedur yang telah digambarkan pada sub-aturan 1 dan 2 di atas berlaku juga bagi aturan dalam hukum acara sementara sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 51, Ayat 3

3 BAB 2 SUSUNAN DAN ADMINISTRASI MAHKAMAH Bagian I Ketentuan Umum Berkaitan dengan Susunan dan Administrasi Mahkamah Aturan 4 Sidang Umum 1. Para hakim harus mengadakan pertemuan dalam forum sidang umum tidak lebih dari dua bulan terhitung sejak mereka dipilih. Pada sidang pertama tersebut, setelah mereka melakukan sumpah jabatan, dalam kesesuaiannya dengan aturan 5, para hakim harus: (a) Memilih Ketua dan Wakil Ketua (Mahkamah) (b) Membagi dan menempatkan para hakim berdasarkan divisi-divisinya 2. Para hakim harus mengadakan sidang umum, setelah sidang umum pertama, sekurangkurangnya sekali setahun untuk menguji apakah pelaksanaan tugas dan fungsi mereka sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta, aturan-aturan dalam Hukum Acara, dan peraturan-peraturan dalam Tata-Tertib (Tatib), dan, jika dianggap perlu, mengadakan sidang umum khusus yang dipimpin oleh Ketua atas mosinya sendiri atau atas permintaan setengah dari keseluruhan jumlah hakim Mahkamah. 3. Kuorum yang memenuhi syarat untuk setiap sidang umum adalah dua per tiga dari keseluruhan jumlah hakim 4. Sepanjang tidak ditetapkan lain daripada yang telah termaktub dalam Statuta atau Hukum Acara, keputusan dalam sidang umum harus diambil berdasarkan moyoritas jumlah hakim yang hadir. Jika terjadi kesamaan jumlah suara, Ketua, atau hakim yang bertindak atas nama Ketua, harus mengambil keputusan berdasarkan kewenangan yang ada padanya. 5. Tata Tertib harus diadopsi sesegera mungkin dalam sesi sidang umum. Aturan 5 Sumpah Jabatan di Bawah Ketentuan Pasal Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 45, sebelum melaksanakan tugas dan fungsi mereka berdasarkan ketentuan Statuta, pengambilan sumpah jabatan harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan seperti berikut: a. Untuk hakim, ia harus mengucapkan sumpah seperti ini: Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai hakim Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan dan kerahasiaan pengambilan keputusan. ; b. Untuk Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera dari Mahkamah ini: Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan

4 pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan. 2. Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan disaksikan oleh Ketua atau seorang Wakil Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus diarsipkan bersama Berita Acara dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. Aturan 6 Sumpah Jabatan oleh Staf Kantor Penuntut Umum, Kepaniteraan, Penafsir dan Penerjemah 1. Dalam kaitan dengan tugas sesuai jabatan masing-masing, setiap staf dari Kantor Penuntut umum dan Kepaniteraan harus melakukan pengambilan sumpah sebagai berikut: Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan. ; Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan disaksikan, sebagaimana seharusnya, oleh Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. 2. Sebelum melaksanakan berbagai tugasnya, orang yang bertindak sebagai penafsir atau penerjemah dalam sidang Mahkamah harus mengucapkan sumpah seperti berikut: Dengan tulus saya menyatakan bahwa saya akan melaksanakan segala tugas saya dengan penuh pengabdian, tidak memihak dan dengan segala rasa hormat pada kewajiban menjalankan tugas dengan penuh kebenaran dan kesahihan. ; Sumpah, yang ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah dan disaksikan oleh Ketua Mahkamah atau orang yang mewakilinya, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. Aturan 7 Hakim Tunggal di Berdasarkan Ketentuan Pasal 39, Ayat 2 (b) (iii) 1. Jika Sidang Pra-peradilan menetapkan seorang hakim sebagai hakim tunggal sesuai ketentuan pasal 39, ayat 2 (b) (iii), hal itu harus dilakukan dengan berdasarkan pada kriteria objektif yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Hakim yang telah ditentukan tersebut harus membuat keputusan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan dalam Sidang Pra-peradilan, yaitu pertanyaanpertanyaan yang di atasnya keputusan yang diambil oleh Sidang lengkap [Sidang yang terdiri dari seluruh hakim yang bertugas untuk persidangan suatu kasus] tidak secara tegas diungkapkan dalam ketentuan Statuta atau aturan Hukum Acara.

5 3. Sidang Pra-peradilan, berdasarkan mosinya sendiri atau, jika dipandang tepat, berdasarkan permintaan salah satu pihak, boleh memutuskan bahwa tugas hakim tunggal perlu diuji atau diperiksa oleh Sidang lengkap. Aturan 8 Kode Etik Jabatan 1. Ketua, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, harus menetapkan sebuah draf Kode Etik Jabatan bagi jasa konsultasi hukum, setelah dimintakan persetujuan dari Penuntut Umum. Dalam penyiapan proposal tersebut, Panitera harus melakukan konsultasi dengan berbagai pihak sebagaimana ditetapkan dalam aturan 20, sub-aturan 3 dari Hukum Acara dan Pembuktian ini. 2. Draf Kode Etik tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Negara-Negara Pihak, agar diadopsi, sesuai dengan ketentuan pasal 112, ayat Kode Etik tersebut harus mengandung ketentuan tentang prosedur yang bisa diambil jika diperlukan adanya amandemen. Bagian II Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum) Aturan 9 Kegiatan Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum) Dalam menjalankan tugasnya dalam hal manajemen dan administrasi di Kantor Kejaksaan, Penuntut Umum harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya tugas institusi tersebut. Dalam penyiapan ataupun amandemen terhadap peraturan-peraturan tersebut, Penuntut Umum harus merundingkannya dengan Panitera terutama menyangkut hal-hal yang mungkin akan mempengaruhi kinerja kerja Kepaniteraan. Aturan 10 Penahanan Informasi dan Bukti Penuntut Umum harus bertanggung jawab terhadap penahanan, penyimpanan, dan keamanan informasi dan bukti-bukti fisik yang diperoleh selama penyelidikan oleh Institusi Kejaksaan tersebut. Aturan 11 Pendelegasian Tugas Penuntut Umum Kecuali wewenang inheren Penuntut Umum sebagaimana termaktub dalam Statuta, antara lain, ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal 15 dan 53, Penuntut Umum atau Deputi boleh menguasaan atau melimpahkan wewenang kepada seorang anggota staf Kantor Kejaksaan, di luar yang telah ditetapkan dalam pasal 44, ayat 4, untuk mewakilinya dalam menjalankan tugas [sejauh bisa diwakilkan]. Bagian III Kepaniteraan Sub-bagian 1

6 Ketentuan Umum Berkaitan dengan Kepaniteraan Aturan 12 Persyaratan dan Pemilihan Panitera dan Deputi Panitera 1. Segera setelah terpilih, Dewan Ketua harus menyusun daftar para kandidat yang memenuhi kriteria sebagaimana ditegaskan dalam pasal 43, ayat 3, dan harus menyampaikan daftar tersebut kepada Dewan Negara-Negara Pihak disertai permintaan untuk mendapatkan rekomendasi. 2. Setelah menerima berbagai rekomendasi dari Dewan Negara-Negara Pihak, Ketua harus segera, tanpa penundaan dengan alasan apa pun, menyerahkan daftar tersebut bersama dengan rekomendasinya ke hadapan sidang umum. 3. Sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 43, ayat 4, Mahkamah, yang mengadakan rapat dalam sidang umum, harus, sesegera mungkin, memilih Panitera dengan sistem pemilihan mayoritas absolut, dengan mempertimbangkan segala rekomendasi yang telah diberikan oleh Dewan Negara-Negara Pihak. Dalam hal bahwa tiada satu pun kandidat yang mendapatkan suara mayoritas absolut pada pemilihan pertama, maka pemilihan susulan harus segera diadakan lagi sampai seorang kandidat mendapatkan suara mayoritas absolut. 4. Jika ternyata ada kebutuhan kuat akan seorang Deputi Panitera, maka Panitera bisa membuat rekomendasi kepada Ketua untuk maksud tersebut. Ketua kemudian harus meminta diadakannya sidang umum untuk membahas dan memutuskan hal tersebut. Jika Mahkamah, yang mengadakan rapat atau sidang umum tersebut, memutuskan dengan suara mayoritas absolut bahwa seorang Deputi Panitera akan dipilih, maka Panitera harus mengusulkan atau menyerahkan daftar sejumlah kandidat deputi tersebut kepada Mahkamah. 5. Deputi Panitera harus dipilih oleh Mahkamah, yang mengadakan sidang umum tersebut, dengan cara yang sama seperti pemilihan Panitera. Aturan 13 Tugas Panitera 1. Tanpa melanggar wewenang Penuntut Umum sesuai ketentuan Statuta untuk menerima, memperoleh dan menyediakan informasi dan untuk membangun saluransaluran komunikasi untuk tujuan ini, Panitera harus menjalankan tugas sebagai saluran komunikasi itu sendiri kepada Mahkamah. 2. Panitera juga harus bertanggung jawab untuk keamanan internal Mahkamah berdasarkan hasil kesepakatan atau konsultasi dengan Dewan Ketua dan Penuntut Umum, juga dengan Negara tuan rumah. Aturan14 Kegiatan Kepaniteraan 1. Dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk organisasi dan manajemen Kepaniteraan, Panitera harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya kegiatan Kepaniteraan. Dalam menyiapkan atau melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan ini, Panitera harus mengkonsultasikan dengan Penuntut Umum berbagai hal yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas Kantor Kejaksaan. Peraturan-peraturan termaksud harus disahkan oleh lembaga Dewan Ketua.

7 2. Peraturan-peraturan tersebut harus memberikan kemungkinan dan kemudahan bagi tim pembela untuk memiliki akses terhadap bantuan administratif yang tepat dan masuk akal dari Kepaniteraan. Aturan 15 Rekaman 1. Panitera harus menyimpan database yang berisikan semua hal khusus dari masingmasing kasus yang dibawa ke hadapan Mahkamah, hal-hal yang melahirkan keputusan hakim atau Sidang menyangkut berbagai dokumen atau informasi yang belum diungkapkan, dan hal-hal yang menyangkut perlindungan data personal yang sensitif. Informasi tentang database harus tersedia bagi publik dalam bahasa kerja Mahkamah. 2. Panitera juga harus membuat berbagai rekaman lainnya dari kerja Mahkamah. Sub-bagian 2 Unit Korban dan Saksi Aturan 16 Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Korban dan Saksi 1. Dalam kaitannya dengan korban, Panitera harus bertanggung jawab terhadap beberapa kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini: (a) Menyediakan catatan atau pemberitahuan kepada korban atau kuasa hukum mereka. (b) Membantu mereka [para korban] dalam memperoleh nasihat hukum dan mengorganisir pemwakilan kuasa hukum mereka, dan memberikan kuasa hukum mereka dukungan, bantuan dan informasi yang tepat dan sesuai, termasuk fasilitasfasilitas yang secara langsung dianggap penting bagi pelaksanaan kewajiban mereka, dan bagi perlindungan hak-hak mereka selama berlangsungnya tahap-tahap persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91 dari Hukum Acara ini; (c) Membantu mereka untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai fase berbeda dari proses persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91; (d) Mengedepankan pertimbangan sensitif jender dalam memfasilitasi keterlibatan atau partisipasi korban-korban kekerasan seksual pada semua tahap proses persidangan. 2. Berkaitan dengan korban, saksi dan pihak lainnya lagi yang sama-sama menduduki posisi riskan karena kesaksian yang mereka berikan, Panitera harus bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini: (a) Memberikan informasi kepada mereka tentang hak-hak mereka yang termaktub dalam ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini, selain juga tentang eksistensi, tugas dan ketersediaan Unit untuk Urusan Korban dan Saksi; (b) Menjamin bahwa mereka sadar, dalam setiap tahap dan sepanjang proses persidangan, terhadap keputusan Mahkamah yang mungkin mendatangkan dampak bagi kepentingan mereka, sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku. 3. Sebagai bagian dari pemenuhan tugas dan tanggung jawabnya, Panitera boleh membuat dan menyimpan sebuah daftar khusus bagi korban yang telah mengekspresikan maksud mereka untuk berpartisipasi dalam dan kalau ada kasus-kasus khusus. 4. Persetujuan terhadap relokasi dan ketentuan soal pelayanan pendukung di wilayah sebuah Negara tempat tinggal korban yang traumatis dan merasa seperti selalu

8 terancam, para saksi dan pihak lain yang riskan oleh kesaksian yang diberikan para saksi tersebut bisa dinegosiasikan dengan Negara-Negara Pihak oleh Panitera yang bertindak atas nama Mahkamah. Persetujuan seperti ini boleh saja diperlakukan sebagai hal yang rahasia. Aturan 17 Tugas Unit 1. Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan pasal 43, ayat Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus, antara lain, menjalankan tugas-tugas, sesuai dengan ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara, dan dirundingkan dengan Sidang, Penuntut Umum dan pembela, seperti secara tepat digambarkan berikut ini: (a) Berkenaan dengan para saksi, korban yang dihadirkan di hadapan Mahkamah, dan pihak lain yang menanggung risiko yang mungkin oleh kesaksian yang diberikan oleh saksi, dalam kaitan dengan kebutuhan dan lingkungan atau kondisi khas mereka: (i) Menyediakan mereka fasilitas [berupa peraturan atau standar lainnya] perlindungan dan keamanan yang tepat dan memformulasikan rencana jangka (ii) panjang dan jangka pendek untuk perlindungan mereka itu; Memberikan rekomendasi kepada badan-badan Mahkamah untuk mengadopsi berbagai standar atau peraturan yang memberikan perlindungan kepada korban dan saksi dan pihak yang terkena risiko atas kesaksian yang disampaikan itu dan juga memberikan nasihat yang relevan kepada Negara- Negara Pihak menyangkut standar semacam itu; (iii) Memberikan bantuan kepada mereka dalam memperoleh bantuan medis, psikologis, dan bantuan lainnya yang tepat dan relevan; (iv) Menyediakan bagi Mahkamah dan para pihak training menyangkut isu trauma, kekerasan seksual, keamanan dan kerahasiaan; (v) Memberikan rekomendasi, setelah berkonsultas dengan Penuntut Umum, tentang elaborasi kode etik jabatan, memberikan tekanan pada hakikat vitalnya keamanan dan kerahasiaan bagi para penyelidik dari Mahkamah dan tim pembela dan semua organisasi pemerintahan maupun non-pemerintahan yang bertindak atas permintaan Mahkamah, dengan cara yang setepat mungkin; (vi) Bekerja sama dengan Negara-Negara [Pihak], sejauh dipandang penting dan perlu, dalam menyediakan berbagai fasilitas atau pertimbangan sebagaimana ditetapkan secara stipulatif dalam aturan ini; (b) Berkenaan dengan para saksi: (i) (ii) Memberikan nasihat kepada mereka di mana bisa memperoleh bantuan hukum berupa nasihat atau pertimbangan hukum lainnya untuk melindungi hak-hak mereka, khususnya berkaitan dengan kesaksian yang mereka berikan; Membantu mereka ketika mereka dipanggil untuk dimintakan keterangan atau kesaksiannya oleh Mahkamah; (iii) Mengedepankan pertimbangan yang sensitif gender ketika memfasilitasi kesaksian korban kekerasan atau kejahatan seksual pada setiap tahap proses persidangan.

9 3. Dalam menjalankan tugas atau fungsinya, Unit ini harus menyediakan kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, para manusia lanjut usia (manula), dan orangorang tertentu yang cacat fisik. Dalam dan untuk memfasilitasi partisipasi dan perlindungan terhadap anak-anak sebagai saksi, Unit ini boleh meminta atau membuat usulan mendesak, sebagai mana seharusnya, dan dengan persetujuan orang tua atau pemegang hak asuh, untuk menghadirkan orang yang bertugas membantu anak-anak (saksi anak) tersebut pada seluruh tahap proses persidangan. Aturan 18 Tanggung Jawab Unit Agar bisa menjalankan tugas dan pekerjaannya secara efektif dan efisien, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus: (a) Menjamin bahwa staf dalam Unit tersebut tetap menjaga kerahasiaan sepanjang waktu; (b) Sembari tetap mengakui kepentingan khusus dari Kantor Kejaksaan, pembela dan saksi, harus menghormati kepentingan saksi, termasuk, sejauh dipandang perlu, mengupayakan pemisahan yang tepat dari pelayanan yang ditujukan bagi penuntutan dan pelayanan bagi saksi-saksi yang membela, dan juga harus bertindak tidak memihak ketika menjalin kerja sama dengan semua pihak dan ketika menjalankan tugas yang bersinggungan dengan berbagai peraturan dan keputusan Mahkamah; (c) Harus memiliki bantuan administratif dan teknikal yang tersedia bagi saksi, korban yang hadir di persidangan Mahkamah, dan pihak lain yang berisiko oleh adanya kesaksian yang diberikan oleh para saksi, selama semua tahap proses persidangan dan seterusnya, sebagaimana seharusnya; (d) Menjamin diadakannya pelatihan bagi para stafnya berkenaan dengan keamanan, integritas dan martabat korban dan saksi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sensitivitas gender dan kultural; (e) Selain itu, kapan dan di mana perlu dan dipandang tepat, harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi antar-pemerintahan maupun organisasi non-pemerintah. Aturan 19 Keahlian dalam Unit Sebagai tambahan bagi staf seperti yang disebutkan dalam pasal 43, ayat 6, dan mengikuti ketentuan pasal 44, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi boleh mempekerjakan, sejauh dipandang tepat, orang-orang dengan keahlian, antara lain, dalam hal-hal berikut: (a) Perlindungan dan keamanan saksi; (b) Hal-hal yang berkenaan dengan hukum dan administratif, termasuk bidang hukum humanitarian dan hukum pidana; (c) Administrasi logistik; (d) Psikologi yang berkenaan dengan proses atau acara persidangan tindak pidana; (e) Keanekaragaman gender dan kultural; (f) Masalah anak-anak, khususnya masalah anak-anak yang mengalami trauma; (g) Masalah orang tua atau manusia lanjut usia, khususnya berkenaan dengan masalah orang tua yang mengalami trauma karena konflik bersenjata dan pembuangan atau pengasingan; (h) Masalah orang-orang yang cacat atau tidak mampu melakukan hal-hal yang seharusnya mampu ia lakukan; (i) Kerja sosial dan bimbingan dan penyuluhan;

10 (j) Masalah pemeliharaan kesehatan; (k) Penafsiran (interpretasi) dan penerjemahan. Sub-bagian 3 Tim Pembela Aturan 20 Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Hak atas Pembelaan 1. Berkenaan dengan ketentuan pasal 43, ayat 1, Panitera harus mengorganisir staf Kepaniteraan dengan cara yang mengedepankan promosi hak-hak pembela, yang konsisten atau sejalan dengan prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) sebagaimana ditegaskan dalam Statuta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Panitera harus, antara lain: (a) Memfasilitasi perlindungan kerahasiaan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 67, ayat 1 (b); (b) Memberikan dukungan, bantuan, dan informasi kepada semua tim penasihat hukum atau pembela yang hadir di hadapan Mahkamah dan, sejauh dipandang tepat, memberikan dukungan bagi penyelidikpenyelidik profesional yang perlu bagi efisiensi dan efektivitas kinerja pembela; (c) Membantu orang-orang yang ditahan, orang-orang yang sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 55, ayat 2, dan orang-orang yang didakwa untuk mendapatkan bantuan hukum baik berupa nasihat maupun bimbingan; (d) Memberikan nasihat kepada Penuntut Umum dan Sidang Mahkamah, sejauh dianggap perlu, tentang isu-isu yang berkaitan dengan pembelaan; (e) Menyediakan bagi pembela semua fasilitas sepanjang dianggap perlu bagi kemudahan kerja dan kegiatan yang menjadi kewajiban pembela; (f) Memfasilitasi diseminasi atau penyebaran informasi dan berbagai keputusan Mahkamah [yang bisa dijadikan sebagai preseden bagi keputusan hakim dalam perkara selanjutnya] kepada dewan penasihat atau pembela terdakwa dan, sejauh dipandang tepat, bekerja sama dengan asosiasi pembela dan advokat tingkat nasional atau badan-badan perwakilan independen lainnya dari berbagai asosiasi bantuan hukum yang dirujuk pada sub-aturan 3 untuk mempromosikan spesialisasi dan pelatihan para pengacara dalam hal prosedur hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta dan Hukum Acara ini. 2. Panitera harus menjalankan tugas sebagaimana termaktub dalam sub-aturan 1, termasuk administrasi keuangan Kepaniteraan, dengan suatu cara yang sebisa mungkin menjamin kebebasan profesional dari dewan penasihat hukum atau tim pembela. 3. Untuk tujuan semacam manajemen bantuan hukum dalam kaitan dengan aturan 21 dan pengembangan suatu Kode Etik Jabatan dalam kaitan dengan aturan 8, Panitera harus membicarakannya dengan, sebagaimana seharusnya, berbagai badan perwakilan independen dari asosiasi-asosiasi lembaga bantuan hukum atau asosiasi pembela, termasuk berbagai badan serupa yang didirikan atau dimaksudkan memang untuk tujuan seperti itu oleh Dewan Negara-Negara Pihak. Aturan 21 Penyediaan Bantuan Hukum

11 1. Berdasarkan ketentuan pasal 55, ayat 2 (c), dan pasal 67, ayat 1 (d), kriteria dan prosedur untuk penyediaan bantuan hukum harus ditetapkan dalam Tata Tertib, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, dengan mengedepankan konsultasi atau perundingan dengan badan-badan perwakilan independen baik dari dewan pembela maupun dari asosiasi bantuan hukum lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam aturan 20, sub-aturan Panitera harus membuat dan menyediakan sebuah daftar kumpulan para pembela atau pengacara yang memenuhi kriteria sebagaimana digariskan dalam aturan 22 dan Tata Tertib. Orang [yang menjadi terdakwa atau tertuduh] harus diberi kebebasan untuk memilih pengacara atau pembelanya dari daftar tersebut atau dari referensi lain yang memenuhi kriteria yang diperlukan dan yang tidak berkeberatan dicantumkan dalam daftar pengacara atau pembela untuk tujuan ini. 3. Seseorang [terdakwa atau tertuduh] boleh meminta dari Dewan Ketua suatu tinjauan ulang atas sebuah keputusan untuk menolak permintaan akan penyediaan jasa pengacara atau pembela. Keputusan dari Dewan Ketua harus bersifat final. Jika sebuah permohonan ditolak, maka dimungkinkan pengajuan permohonan lebih lanjut oleh orang tersebut kepada Panitera, dengan memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam situasi atau keadaan yang berkembang. 4. Seorang yang memilih hadir sendiri tanpa bantuan kuasa hukum atau pihak lain harus memberitahukan hal itu kepda Panitera secara tertulis pada kesempatan pertamanya. 5. Jika terjadi seseorang menyatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk membayar jasa bantuan hukum dan kemudian hal itu diketahui ternyata tidak benar, maka Sidang (Mahkamah) yang menangani kasus tersebut bisa membuat perintah kepadanya untuk memberikan kontribusi menutupi biaya penyediaan jasa bantuan hukum atau pengacara selama kasus itu diproses hingga selesai. Aturan 22 Penunjukkan dan Syarat-Syarat bagi [Dewan] Pembela 1. Orang yang menjalankan tugas pembelaan harus sudah memiliki kompetensi dalam hukum internasional atau hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk juga berbagai pengalaman relevan lainnya, entah sebagai hakim, Penuntut Umum, advokat atau pengacara dan pembela yang sudah bisa disetarakan dengan advokat, dalam proses acara persidangan kasus kejahatan pidana. Pembela harus memiliki pengetahuan yang baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya, Mahkamah, berbagai ketentuan hukum dan sistem hukum yang relevan dengan kasus yang ditangani Mahkamah itu, dan pengetahuan lainnya yang relevan, dan harus lancar dalam paling kurang salah satu dari bahasa kerja Mahkamah. Pembela boleh dibantu oleh orang lain, termasuk profesor di bidang hukum, dengan keahlian yang relevan. 2. Pembela yang diminta oleh seseorang yang sedang berupaya memenuhi haknya berdasarkan ketentuan Statuta untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan pilihannya sendiri harus memasukkan bukti kewenangannya sebagai pengacara kepada Panitera pada kesempatan paling pertama. 3. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pembela harus tunduk pada ketentuan Statuta, aturan Hukum Acara, Tata Tertib, Kode Etik Jabatan bagi Pembela yang diadopsi berkenaan dengan aturan 8 dan berbagai dokumen lain yang juga diadopsi oleh Mahkamah yang berkemungkinan relevan bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban mereka.

12 Bagian IV Keadaan-Keadaan yang Bisa Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas Mahkamah Sub-bagian 1 Pemberhentian Jabatan dan Sanksi Disipliner Aturan 23 Prinsip Umum Seorang hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera harus segera dipindahkan dari kantor atau dilepas dari jabatannya atau harus dikenakan sanksi disipliner berkenaan dengan kasus-kasus yang membuat mereka harus dikenakan tindakan seperti itu sesuai ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini dan harus disertai dengan jaminan sebagaimana digariskan juga dalam Statuta dan Hukum Acara ini. Aturan 24 Batasan Pelecehan Berat dan Penyelewengan Berat terhadap Kewajiban 1. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), pelecehan berat harus dinyatakan demikian jika memenuhi kriteria berikut: (a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu berarti tidak sesuai dengan fungsi jabatan, dan menyebabkan atau sepertinya menyebabkan pelanggaran serius terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti: (i) Membongkar fakta atau informasi yang ia perlukan dalam kaitan dengan tugasnya atau berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sub judice, di mana pembongkaran tersebut akan memberikan dampak prejudisial yang serius (ii) terhadap proses peradilannya atau terhadap orang lain; Menutupi informasi atau keadaan-keadaan dari suatu hal yang sangat serius yang menghalangi dia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; (iii) Penyelewengan terhadap kegiatan lembaga peradilan supaya mendapatkan perlakuan menyenangkan yang tak ada jaminannya dari berbagai pemegang otoritas, pemegang jabatan atau para profesional; atau (b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka itu berarti suatu pelecehan serius yang menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius pada keberadaan Mahkamah. 2. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), suatu penyelewengan berat terhadap tugas dan kewajiban terjadi ketika seseorang secara nyata-nyata menolak atau mengabaikan kewajibannya untuk menjalankan tugasnya atau diketahui bertindak justru bertentangan dengan kewajiban-kewajiban atau tugasnya itu. Ini bisa mencakupi, antara lain, situasisituasi di mana orang tersebut: (a) Gagal memenuhi kewajiban untuk meminta pengampunan, kendatipun ia tahu bahwa ada dasar atau alasan untuk melakukan hal itu; (b) Berulang-ulang menyebabkan penundaan tanpa jaminan dalam hal inisiasi (memulai), penuntutan atau pengadilan sebuah kasus, atau dalam hal penggunaan kewenangan judisial. Aturan 25 Batasan Pelecehan terhadap Hal yang Kurang Serius

13 1. Sesuai ketentuan pasal 47, pelecehan terhadap hal yang kurang serius harus dinyatakan demikian jika memenuhi kriteria berikut atau jika melakukan hal-hal berikut: (a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu akan menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti: (i) Mencampuri pelaksanaan tugas seseorang yang ditunjukkan dalam pasal 47; (ii) Berulang-ulang gagal memenuhi atau mengabaikan permintaan yang diajukan oleh Hakim Ketua atau oleh Dewan Ketua berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan hukum mereka; (iii) Gagal melaksanakan ketentuan disipliner yang kepadanya Panitera atau Deputi Panitera dan pejabat-pejabat lainnya dalam tubuh Mahkamah tunduk ketika seorang hakim mengetahui atau seharusnya mengetahui penyelewengan serius terhadap tugas yang menjadi bagian dari kewajibannya; atau (b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka hal itu menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius terhadap keberadaan Mahkamah. 2. Tak satu pun dari aturan dalam Hukum Acara ini mencegah kemungkinan terjadinya tindakan sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 1 (a) yang menetapkan pelecehan serius atau penyelewengan berat terhadap kewajiban sesuai dengan maksud yang termaktub dalam pasal 46, ayat 1 (a) Aturan 26 Penerimaan Pengaduan 1. Sesuai dengan ketentuan pasal 46, ayat 1, dan pasal 47, berbagai pengaduan mengenai berbagai tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam aturan 24 dan 25 harus mencakupi dasar-dasar yang menjadi alasan pengaduan tersebut, identitas pengadu dan, jika tersedia, berbagai bukti yang relevan. Pengaduan tersebut harus tetap dijaga kerahasiaannya. 2. Semua pengaduan harus diajukan kepada Dewan Ketua, yang bisa juga memulai dilakukannya persidangan atas mosinya sendiri, dan yang akan, mengikuti ketentuan dalam Tata Tertib, mengesampingkan pengaduan yang tidak jelas siapa pengadunya atau pengaduan yang tidak jelas pendasarannya dan menyerahkan pengaduan lainnya kepada badan yanag lebih berkompeten. Dewan Ketua harus dibantu dalam menjalankan tugas ini oleh seorang atau lebih hakim, yang ditunjuk berdasarkan rotasi jabatan yang automatis, sesuai dengan ketentuan Tata Tertib. Aturan 27 Ketentuan Umum tentang Hak atas Pembelaan 1. Dalam hal adanya pertimbangan untuk pemberhentian jabatan berdasarkan ketentuan pasal 46 atau adanya sanksi disipliner berdasarkan ketentuan pasal 47, maka orang yang dimaksud harus dipastikan mendapatkan pemberitahuan resmi melalui pernyataan tertulis.

14 2. Orang yang dimaksud harus diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menghadirkan atau menerima bukti, membuat pengajuan tertulis dan memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diarahkan kepadanya. 3. Orang yang dimaksud boleh diwakili oleh pengacara selama berlangsungnya proses penerapan ketentuan sebagaimana dimaksudkan aturan ini. Aturan 28 Pembebastugasan dari Kewajiban Jika sebuah tuduhan terhadap seseorang yang menjadi alamat atau sasaran pengaduan ternyata sangat serius, maka orang tersebut boleh dibebastugaskan dari kewajiban dengan menunda keputusan final dari badan yang berkompeten. Aturan 29 Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan Pemberhentian Jabatan 1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, persoalan pemberhentian jabatan harus diambil dengan pemungutan suara di sidang umum. 2. Dewan Ketua harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak dalam menulis berbagai rekomendasi yang diadopsi dalam hal untuk seorang hakim, dan berbagai keputusan yang diadopsi dalam hal untuk seorang Panitera atau Deputi Panitera. 3. Penuntut Umum harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak dalam menulis berbagai rekomendasi yang ia buat dalam hal untuk seorang Deputi Penuntut Umum. 4. Jika sebuah tindakan ditemukan ternyata bukanlah sebuah tindakan pelecehan serius atau bukan sebuah penyelewengan serius terhadap kewajiban, maka hal itu boleh diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 47 bahwa orang yang dimaksud telah dimasukkan dalam kategori melakukan pelecehan yang kurang serius dan telah dikenakan sanksi disipliner. Aturan 30 Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan untuk Dikenakan Sanksi Disipliner 1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi disipliner harus diambil oleh Dewan Ketua. 2. Dalam hal Penuntut Umum, berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi disipliner harus diambil dengan suara mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak. 3. Dalam hal seorang Deputi Penuntut Umum: (a) Berbagai keputusan untuk memberikan teguran keras harus dilakukan oleh Penuntut Umum; (b) Berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi denda harus diambil dengan suara mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak berdasarkan rekomendasi dari Penuntut Umum. 4. Teguran keras harus direkam dalam tulisan dan harus diserahkan kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak. Aturan 31 Pemberhentian Jabatan

15 Sekali pemberhentian jabatan diumumkan, maka hal itu akan berlaku segera setelah atau sejak saat diumumkannya. Orang yang dimaksud (yang terkena pemberhentian jabatan) harus menghentikan diri menjadi bagian dari Mahkamah, termasuk dari kasus-kasus yang belum terselesaikan di mana ia sebelumnya ia mengambil bagian di dalam prosesnya. Aturan 32 Sanksi Disipliner Sanksi disipliner yang boleh diberikan adalah berupa: (a) Teguran keras; atau (b) Sanksi berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh melebihi enam bulan gaji yang dibayar oleh Mahkamah kepada orang yang terkena hukuman tersebut. Sub-bagian 2 Pembebastugasan, Pemberhentian, Meninggal Dunia dan Pengunduran Diri Aturan 33 Pembebastugasan Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum 1. Seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum yang meminta pengunduran diri dari tugasnya atau meminta pembebastugasan harus membuat permintaan tertulis kepada Dewan Ketua, dengan mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar atau alasan mengapa ia mengundurkan diri. 2. Dewan Ketua harus memperlakukan permintaan-permintaan pengunduran diri tersebut secara rahasia dan tidak boleh mengatasnamakan kepentingan umum sebagai landasan penyebaran kepada publik tanpa izin atau persetujuan dari orang yang dimaksud. Aturan 34 Pemberhentian Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum 1. Sebagai tambahan pada dasar yang termaktub dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat 7, dasar pendiskualifikasian seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum harus mencakupi, antara lain, hal-hal seperti berikut ini: (a) Adanya kepentingan atau hubungan pribadi dalam penanganan suatu kasus, termasuk hubungan suami dan istri, hubungan orang tua dan anak atau hubungan keluarga lainnya, hubungan pertemanan atau hubungan kerja (profesional), atau hubungan bawahan dan atasan, dengan pihak-pihak mana pun yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani itu; (b) Adanya keterlibatan, dalam kapasitas pribadinya, dalam berbagai tahapan upaya hukum yang dimulai jauh sebelum ia dilibatkan dalam penanganan kasus tersebut, atau yang kemudian dimulai olehnya, di mana orang yang sedang diselidiki atau dituduh adalah pihak yang musuh; (c) Adanya pelaksanaan tugas, sebelum memangku jabatan, selama ia diharapkan telah membentuk opini terhadap kasus yang sedang ditangani, terhadap pihak-pihak atau terhadap wakil atau kuasa hukum mereka yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud;

16 (d) Adanya ekspresi pemikiran, melalui media komunikasi, dalam bentuk tertulis atau bentuk publikasi lainnya, yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud. 2. Tunduk pada ketentuan yang digariskan dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat 8, permintaan pendiskualifikasian harus dibuat dalam bentuk tertulis segera setelah diketahuinya ada dasar atau alasan cukup untuk melakukan hal itu. Permintaan itu harus menyertakan dasar atau alasan dan dilampiri dengan bukti-bukti relevan, dan harus diberikan kepada orang yang dimaksud, yang kemudian diharuskan mengajukan surat pengunduran diri. 3. Berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan pendiskualifikasian Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum harus diputuskan dengan suara mayoritas oleh hakimhakim di Tingkat Sidang Banding. Aturan 35 Kewajiban Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum untuk Meminta Pengampunan Jika seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum memiliki alasan untuk percaya bahwa ada suatu dasar atau alasan bagi pendiskualifikasian terhadapnya, maka ia harus segera membuat permohonan untuk dibebastugaskan dan sebaiknya tidak boleh menunggu permintaan untuk didiskualifikasi oleh pihak lain sesuai ketentuan pasal 41, ayat 2, atau pasal 42, ayat 7, dan aturan 34. Permohonan tersebut harus dibuat dan Dewan Ketua harus mempertimbangkan hal itu sesuai dengan ketentuan aturan 33. Aturan 36 Kematian Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis, kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak tentang kematian seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau seorang Deputi Panitera. Aturan 37 Pengunduran Diri dari Jabatan Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera 1. Seorang Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera harus mengkomunikasikan kepada Dewan Ketua, secara tertulis, tentang pengunduran dirinya. Kemudian, Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis pula, hal tersebut kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak. 2. Seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau seorang Deputi Panitera harus berupaya optimal untuk memberitahukan waktu atau tanggal persisnya pengunduran dirinya itu mulai berlaku untuk sekurang-kurangnya enam bulan ke depan. Sebelum keputusan tentang pengunduran diri seorang hakim mulai berlaku, ia harus membuat segala upaya untuk tetap menjalankan tanggung jawabnya sesuai tugas dan jabatannya itu. Sub-bagian 3 Penggantian dan Hakim Pengganti

17 Aturan 38 Penggantian 1. Seorang hakim dapat diganti dengan alasan yang objektif dan sah, seperti antara lain: (a) Pengunduran diri; (b) Diterimanya permintaan pembebastugasan; (c) Diskualifikasi; (d) Pemberhentian jabatan; (e) Kematian. 2. Penggantian harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya dalam ketentuan-ketentuan Statuta, aturan dalam Hukum Acara, dan Tata Tertib. Aturan 39 Hakim Pengganti Jika seorang hakim pengganti telah ditetapkan oleh Dewan Ketua untuk suatu Sidang Pengadilan dengan mengikuti ketentuan pasal 74, ayat 1, maka ia harus menduduki jabatannya sebagai hakim dalam persidangan tersebut pada keseluruhan proses dan pertimbangan untuk mencapai keputusan terhadap sebuah kasus yang disidangkan itu. Akan tetapi, dalam posisi sebagai hakim pengganti seperti itu, ia tidak boleh mengambil bagian apa pun dan tidak boleh melakukan fungsi apa pun yang merupakan wewenang dari anggota Sidang Pengadilan yang seharusnya menangani persidangan kasus tersebut [hakim yang digantikannya], kecuali dan jika ia memang diperlukan untuk menggantikan seorang anggota Sidang Pengadilan jika anggota Sidang tersebut tetap tidak bisa hadir untuk seterusnya. Hakim pengganti harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan prosedur sebagaimana telah diputuskan atau digariskan oleh Mahkamah. Bagian V Publikasi, Bahasa dan Terjemahan Aturan 40 Publikasi Keputusan dalam Bahasa Resmi yang Digunakan Mahkamah 1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 1, maka keputusan-keputusan berikut harus dipertimbangkan sebagai pemecahan terhadap isu-isu fundamental: (a) Semua keputusan dari Divisi Banding; (b) Semua keputusan dari Mahkamah menyangkut jurisdiksinya atau menyangkut dapat diterimanya sebuah perkara sesuai dengan ketentuan pasal 17, 18, 19, dan 20. (c) Semua keputusan dari suatu Sidang Pengadilan atas bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa, pemberian hukuman terhadap terdakwa, dan pemulihan kepada korban sesuai dengan ketentuan pasal 74, 75, dan 76; (d) Semua keputusan dari Sidang Pra-peradilan sesuai dengan ketentuan pasal 57, ayat 3 (d). 2. Keputusan-keputusan menyangkut konfirmasi atas dakwaan sesuai ketentuan pasal 61, ayat 7, dan menyangkut pelanggaran terhadap administrasi pengadilan [Mahkamah] sesuai dengan ketentuan pasal 70, ayat 3, harus dipublikasikan dalam semua bahasa

18 resmi Mahkamah ketika Dewan Ketua menentukan bahwa keputusan-keputusan tersebut merupakan isu-isu fundamental. 3. Dewan Ketua bisa memutuskan untuk mempublikasikan keputusan-keputusan lain dalam semua bahasa resmi Mahkamah jika keputusan-keputusan tersebut menyangkut isu-isu utama yang berkaitan dengan penafsiran atau implementasi Statuta atau jika menyangkut suatu isu utama dari kepentingan umum. Aturan 41 Bahasa Kerja Mahkamah 1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 2, Dewan Ketua harus menetapkan dan mengesahkan penggunaan salah satu bahasa resmi Mahkamah sebagai bahasa kerja jika: (a) Bahasa tersebut dimengerti dan bisa digunakan sebagai bahasa lisan oleh mayoritas semua orang yang terlibat dalam proses sebuah perkara di hadapan Mahkamah dan berbagai peserta dalam proses persidangan perkara yang dimaksud; atau (b) Penuntut Umum dan pembela yang menangani perkara tersebut. 2. Dewan Ketua bisa menetapkan dan mengesahkan penggunaan suatu bahasa resmi Mahkamah sebagai bahasa kerja jika Dewan Ketua menganggap bahwa bahasa kerja tersebut akan membantu meningkatkan efisiensi proses persidangan sebuah perkara. Aturan 42 Layanan Penerjemahan dan Penafsiran Mahkamah harus mengatur adanya layanan penerjemahan dan penafsiran yang perlu untuk menjamin pengimplementasian kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuanketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini. Aturan 43 Prosedur yang Dapat Diterapkan untuk Publikasi Dokumen-Dokumen Mahkamah Mahkamah harus menjamin atau memastikan bahwa semua dokumen yang akan diterbitkan sesuai ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara tetap menghargai kewajiban untuk melindungi kerahasiaan dan keterpercayaan proses persidangan dan keamanan korban dan saksi.

19 BAB 3 JURISDIKSI DAN SOAL DAPAT DITERIMANYA SUATU PERKARA Bagian I Deklarasi dan Penyerahan Berkaitan dengan Pasal 11, 12, 13, dan 14 Aturan 44 Deklarasi yang Dibolehkan dalam Pasal 12, Ayat 3 1. Panitera, atas permintaan Penuntut Umum, bisa menanyakan pendapat sebuah Negara yang bukan merupakan Negara Pihak dari Statuta atau yang sudah menjadi Negara Pihak dari Statuta setelah mempunyai kekuatan berlaku, dengan dasar argumentasi yang sahih, tentang apakah Negara tersebut bermaksud menyatakan deklarasi sebagaimana diatur dalam pasal 12, ayat Ketika sebuah Negara mengajukan, atau menyatakan kepada Panitera tentang maksudnya untuk mengajukan, suatu deklarasi kepada Panitera sesuai dengan ketentuan pasal 12, ayat 3, atau ketika Panitera bertindak mengikuti ketentuan subaturan 1 dari Hukum Acara ini, Panitera harus memberitahukan kepada Negara termaksud bahwa deklarasi berdasarkan ketentuan pasal 12, ayat 3 tersebut berlaku baginya, dalam arti mendatangkan konsekuensi diterimanya jurisdiksi berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 tentang relevansinya dengan situasi dan ketentuan Bagian 9 Statuta, dan berbagai aturan lain berkaitan dengan Negara- Negara Pihak. Aturan 45 Penyerahan Kasus kepada Penuntut Umum Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum harus dalam bentuk tertulis. Bagian II Dimulainya Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15 Aturan 46 Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan bagi Penuntut Umum Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 1 dan 2 Jika suatu informasi diserahkan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 1, atau ketika kesaksian lisan atau tertulis diterima dengan mengikuti ketentuan pasal 15, ayat 2, di hadapan Mahkamah, maka Penuntut Umum harus melindungi kerahasiaan informasi dan kesaksian semacam itu atau mengambil langkah-langkah yang perlu, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan Statuta. Aturan 47 Kesaksian (Testimoni) Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 2 1. Ketentuan aturan 111 dan 112 dari Hukum Acara ini harus berlaku, secara mutatis mutandis, untuk kesaksian yang diterima oleh Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 2.

20 2. Jika kemudian Penuntut Umum mempertimbangkan bahwa akan ada risiko yang sangat serius yang membuat tidak mungkin dilakukannya dengar kesaksian (testimoni), maka ia boleh meminta Sidang Pra-peradilan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin efisiensi dan integritas proses penanganan perkara tersebut dan, secara khusus, untuk menunjuk seorang penasihat hukum atau seorang hakim dari Sidang Praperadilan tersebut untuk hadir selama dilakukannya dengar kesaksian untuk melindungi hak-hak tertuduh. Jika kesaksian tersebut kemudian dihadirkan dalam acara persidangan, maka kedapat-diterimaannya harus diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 69, ayat 4, dan harus diberikan bobot semacam itu sebagaimana ditentukan oleh Sidang yang bersangkutan. Aturan 48 Pembatasan Dasar yang Masuk Akal untuk Melanjutkan Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 3 Dalam menentukan apakah ada suatu dasar yang masuk akal untuk memproses sebuah perkara dengan melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 3, Penuntut Umum harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana termaktub dalam pasal 53, ayat 1 (a) sampai (c). Aturan 49 Keputusan dan Catatan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 6 1. Jika suatu keputusan berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 6, diambil, Penuntut Umum harus serta merta mengeluarkan pemberitahuan atau pengumuman, termasuk alasan atas keputusannya itu, dengan suatu cara yang bisa mencegah adanya ancaman atas keselamatan, keamanan, dan kerahasiaan pribadi dari orang-orang yang telah memberikan informasi kepadanya berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 1 dan 2, atau integritas penyelidikan atau proses penanganan perkara. 2. Pengumuman tersebut juga harus berisikan ketentuan tentang kemungkinan dibolehkannya pengajuan informasi lebih lanjut tentang hal atau kasus yang sama jika terdapat fakta-fakta dan bukti-bukti baru. Aturan 50 Prosedur Otorisasi oleh Sidang Pra-peradilan tentang Mulai Dilaksanakannya Penyelidikan 1. Jika Penuntut Umum bermaksud mencari atau mendapatkan otorisasi dari Sidang Praperadilan untuk memulai dilakukannya penyelidikan sesuai ketentuan pasal 15, ayat 3, maka Penuntut Umum harus memberitahukan kepada korban, yang dia kenal, atau kepada Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, atau kepada wakil atau kuasa hukum mereka. Akan tetapi, Penuntut Umum dibolehkan untuk tidak mengambil langkah seperti itu jika ia berkeyakinan bahwa mengambil tindakan seperti itu justru mendatangkan bahaya atau ancaman bagi integritas penyelidikan atau keamanan dan kenyamanan hidup dari korban dan saksi. Penuntut Umum boleh mengeluarkan pemberitahuan dengan cara-cara umum supaya mudah mencapai kelompok-kelompok korban jika ia berkeyakinan bahwa, terutama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan khusus atas kasus yang sedang ditangani, pemberitahuan seperti itu tidak akan mendatangkan bahaya atau ancaman pada integritas dan efektivitas pelaksanaan

21 penyelidikan atau pada keamanan dan kenyamanan korban dan saksi. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, Penuntut Umum boleh meminta bantuan dari Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, sejauh dipandang perlu. 2. Permintaan Penuntut Umum untuk mendapatkan otorisasi dari Sidang Pra-peradilan harus dalam bentuk tertulis. 3. Mengikuti informasi yang diberikan dalam kaitannya dengan sub-aturan 1 di atas, korban boleh membuat pernyataan atau kesaksian secara tertulis pada Sidang Praperadilan dalam waktu yang sangat terbatas sebagaimana diatur dalam Tata Tertib. 4. Sidang Pra-peradilan, dalam membuat keputusan terhadap prosedur yang harus diikuti, bisa meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum dan dari para korban yang sudah membuat pernyataan tertulis di hadapan Sidang Pra-peradilan tersebut, dan, jika dianggap perlu dan tepat, boleh meminta diadakannya acara dengar pendapat. 5. Sidang Pra-peradilan harus mengumumkan keputusannya secara resmi, termasuk alasan-alasannya, tentang, misalnya, entah untuk mengotorisasi soal mulai dilaksanakannya penyelidikan dalam kaitan dengan pasal 15, ayat 4, yang bersesuaian dengan semuanya atau hanya pada bagian tertentu dari permintaan Penuntut Umum. 6. Prosedur di atas harus juga berlaku jika ada permintaan baru kepada Sidang Praperadilan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 5. Bagian III Keberatan-Keberatan dan Keputusan Pendahuluan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17, 18, dan 19 Aturan 51 Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17 Dalam mempertimbangkan masalah-masalah yang dimaksudkan dalam pasal 17, ayat 2, dan dalam hal konteks dari kasusnya, Mahkamah boleh mempertimbangkan, antara lain, informasi yang dirujuk oleh Negara dalam pasal 17, ayat 1, boleh memilih untuk meminta perhatian Mahkamah atas kasus tersebut yang memperlihatkan bahwa pengadilan di Negaranya telah menerapkan norma-norma dan standar-standar yang diakui secara internasional dalam hal penuntutan yang independen dan tidak memihak atas tindakan yang sama, atau memperlihatkan bahwa Negaranya telah memberikan konfirmasi secara tertulis kepada Penuntut Umum bahwa terhadap kasus tersebut telah dilakukan penyelidikan dan penuntutan. Aturan 52 Pemberitahuan Sesuai Ketentuan Pasal 18, Ayat 1 1. Tunduk kepada pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18, ayat 1, pemberitahuan harus mengandung informasi tentang ketentuan-ketentuan hukum yang menetapkan batasan kejahatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5, sesuai dengan tujuan dari ketentuan dalam pasal 18, ayat Suatu Negara boleh meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum untuk membantunya dalam hal penerapan pasal 18, ayat 2. Permintaan semacam itu tidak boleh berakibat pada terlanggarnya ketentuan tentang batasan waktu satu bulan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18, ayat 2, dan harus diberikan jawaban oleh Penuntut Umum dengan mengedepankan pertimbangan kesegeraan juga.

PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DALAM STATUTA ROMA

PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DALAM STATUTA ROMA PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DALAM STATUTA ROMA Supriyadi Widodo Eddyono Wahyu Wagiman Zainal Abidin Jakarta 2005 www.perlindungansaksi.wordpress.com 1 Pengantar Perlindungan terhadap korban dan saksi

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.353, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Organisasi. Tata Kerja. Majelis Kehormatan Disiplin. Kedokteran PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PERATURAN ORGANISASI IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA NOMOR : IV TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN ORGANISASI IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA NOMOR : IV TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN ORGANISASI IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA NOMOR : IV TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN KERJA BADAN KEHORMATAN IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN DAFTAR ISI

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN DAFTAR ISI BUKU REFERENSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN DAFTAR ISI i ii BUKU REFERENSI BUKU REFERENSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN 2006 DAFTAR ISI iii Buku ini disusun dan

Lebih terperinci

K O M I S I I N F O R M A S I

K O M I S I I N F O R M A S I K O M I S I I N F O R M A S I PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN TATA TERTIB KOMISI INFORMASI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Komisi Informasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA KERJA KOMISI PEMILIHAN UMUM, KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI, DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN/KOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.617, 2015 KKI. Pelanggaran Disiplin. Dokter dan Dokter Gigi. Dugaan. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.352, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Tata Cara. Penanganan. Kasus. Pelanggaran Disiplin. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1230, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa. Pencabutan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER 014/A/JA/11/2012 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA DENGAN

Lebih terperinci

PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA INDONESIAN LEGAL AID AND HUMAN RIGHTS ASSOCIATION

PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA INDONESIAN LEGAL AID AND HUMAN RIGHTS ASSOCIATION PERUBAHAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA BAB I PERHIMPUNAN WILAYAH Syarat dan Tatacara Pendirian Perhimpunan Wilayah Pasal 1 (1) Perhimpunan Wilayah adalah

Lebih terperinci

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM 1 (satu) Hari Kerja ~ waktu paling lama, Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebagaimana

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Tujuan Peraturan ini dibuat dengan tujuan menjalankan fungsi pengendalian internal terhadap kegiatan perusahaan dengan sasaran utama keandalan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BAB I ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/ MEDIATOR BAPMI Pasal 1 Etika Perilaku terhadap Lembaga dan Profesi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan ANGGARAN DASAR SAAT INI ANGGARAN DASAR PERUBAHAN PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan PASAL 3 MAKSUD DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha No.1775, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DJSN. Kode Etik. Majelis Kehormatan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG KODE ETIK DAN MAJELIS KEHORMATAN DEWAN JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN STATUTE OF THE INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (STATUTA LEMBAGA INTERNASIONAL UNTUK UNIFIKASI HUKUM

Lebih terperinci

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon No.1580, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPK. DPP-KPK. Pencabutan. PERATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PEGAWAI KOMISI PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR : 09/UU/DPM UI/IV/2008 Tentang : BADAN AUDIT KEMAHASISWAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Pembukaan Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Menegaskan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Diadopsi pada 20 Desember 2006 oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/61/177 Mukadimah Negara-negara

Lebih terperinci

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN - - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1

Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1 Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1 Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa sebagai badan kehakiman peradilan utama dari Perserikatan

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA INSTITUT AKUNTAN MANAJEMEN INDONESIA TAHUN 2009 BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1 KETENTUAN UMUM

ANGGARAN RUMAH TANGGA INSTITUT AKUNTAN MANAJEMEN INDONESIA TAHUN 2009 BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1 KETENTUAN UMUM ANGGARAN RUMAH TANGGA INSTITUT AKUNTAN MANAJEMEN INDONESIA TAHUN 2009 BAB I KEANGGOTAAN Pasal 1 KETENTUAN UMUM Anggota Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) adalah perseorangan dan perusahaan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA E/CN.4/2005/WG.22/WP.1/REV.4 23 September 2005 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah Asli dalam Bahasa Prancis) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN KASUS DUGAAN PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PERUBAHAN KE VII

ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PERUBAHAN KE VII ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PERUBAHAN KE VII Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Pra Kongres di Jakarta tanggal 25-26 Oktober 2013 BAB I STATUS PERKUMPULAN Pasal 1 IKATAN PEJABAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci